Anda di halaman 1dari 4

1.

Pendahuluan
Tingginya permintaan energi global dan peningkatan kadar gas rumah kaca serta polutan
mendorong kebutuhan adanya solusi mengenai teknologi energi baru yang bersih dan
ramah lingkungan. Dalam aplikasi kehidupan nyata, terdapat keterbatasan pembangkit
listrik tunggal sehingga dibutuhkan solusi mengenai energi atau sumber daya hibrida.
Solusi ini diharapkan mampu mengoptimalkan biaya, efisiensi, keandalan, serta masa
pakai.
Di masa depan bauran energi, sistem energi elektrokimia diharapkan dapat berperan dalam
keberlanjutan energi, konversi energi, konservasi dan penyimpanan, serta pengurangan gas
rumah kaca. Dalam teknologi elektrokimia, diperlukan suatu penelitian mengenai
rancangan bahan dan properti agar sesuai dengan aplikasi dan lingkungan di mana
teknologi ini akan digunakan. Oleh karena itu, pada paper ini akan dibahas beberapa
teknologi elektrokimia terbaru beserta tantangan dalam pengembangan teknologi tersebut.
2. Hydrogen Production Technologies
Hidrogen dianggap sebagai carrier and storage media untuk energi di masa depan. Hidrogen
diperkirakan dapat menjamin masa depan energi berkelanjutan, baik untuk penggunaan
transport maupun stationer. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan mendekati nol, terutama
jika dibuat dari pemisahan air dan digabungkan dengan sumber energi terbarukan lain.
Peran hidrogen dalam kombinasi ini adalah bertindak sebagai media penyimpan yang
mampu meratakan beban (load leveling) dan mengurangi beban puncak (peak load
shaving).
a. Low Temperature Water Electrolysis
Sistem LT-electrolysis dapat menggunakan alkali (konduktor ion hidroksil) ataupun
membran polimer (konduktor proton) sebagai elektrolit. Hidrogen yang dihasilkan dari
sistem LT-electrolysis dibandingkan dengan yang dihasilkan dari NG reforming
maupun gasifikasi batu bara memiliki keunggulan seperti pembangkitan on-site dan
on-demand, kemurnian tinggi, serta modularitas unit. Selain itu, sistem LT-electrolysis
juga memberikan waktu start-up dan shut-down yang relatif cepat serta kemampuan
mengikuti good load yang menjadikan sistem ini sesuai untuk diintegrasikan dengan
sumber energi terbarukan yang bersifat intermitten. Sistem LT-electrolysis
menggunakan membran polimer mempunyai kelebihan dibanding sistem alkali, yaitu
menghasilkan hidrogen dengan kemurnian lebih tinggi, current density lebih besar,
serta tidak memerlukan penambahan elektrolit (electrolyte top-up) (Badwal et al.,
2013).
Sistem electrolyzer umumnya terdiri atas tumpukan electrolyzer dan subsitem BOP
(Balance of Plant) untuk deionisasi air dan sirkulasi ke ruang anoda, water-gas
separation, heat management, pengeringan dan penyimpanan hidrogen, serta sumber
daya DC. Tumpukan electrolyzer terdiri atas sejumlah sel atau membrane electrode
assemblies (MEA) yang disusun secara seri di antara bipolar metallic interconnects.
Interconnect akan memasok dan mengumpulkan reaktan dan produk dari sel.
Sebagian besar electrolyzer komersial memerlukan daya listrik sebesar 6,7 – 7,3
kWh/Nm3. Hal ini dapat menyebabkan biaya produksi yang besar dan keunggulan
hidrogen sebagai clean fuel akan hilang apabila listrik dipasok dari bahan bakar fosil.
Teknologi ini menjadi menarik ketika suplai listrik didapat dari sumber energi
terbarukan dan efisiensi electrolyzer ditingkatkan menjadi 75-80%. LT-electrolyzer
dapat beroperasi dengan variasi beban yang besar sehingga cocok untuk dapat
diintegrasikan dengan sumber energi terbarukan yang bersifat intermitten.
Gambar 2:
- Pembangkitan hidrogen dengan coupling langsung dari tenaga surya dan generator
angin.
- Sistem dapat digunakan untuk menyimpan hidrogen dan mengoperasikan PEM
fuel cell untuk menyediakan daya pada saat energi terbarukan tidak dapat
memenuhi permintaan beban.
- Generator diesel digunakan sebagai cadangan
- Tangki air panas untuk menampung air panas dari PEM fuel cell yang kemudian
dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam sistem ini, harus dipastikan adanya transfer maksimum energi listrik dari
sumber energi terbarukan ke electrolyzer. Sudah dilakukan pengujian dengan
menggabungkan MPPT (Maximum Power Point Trackers) dan konverter DC-DC yang
sesuai dengan kriteria, namun hal ini akan menambah biaya dan menyebabkan sistem
pembangkitan hidrogen menjadi kurang layak. Oleh karena itu, akan lebih
menguntungkan jika sistem dibuat dengan menyambungkan langsung sumber energi
terbarukan ke electrolyzer tanpa melewati sistem kontrol dan tanpa kehilangan transfer
energi ke electrolyzer.
Gambar 3:
- Pencocokan kurva MPP (Maximum Power Point) susunan PV surya dengan
karakteristik V-I electrolyzer.
- Kriteria pencocokan untuk mencapai transfer energi maksimum dari PV surya ke
electrolyzer dengan dengan mencocokkan output PV dengan kebutuhan daya input
electrolyzer
- Pemodelan sistem menunjukkan ada rata-rata sebesar 99,7% transfer energi pada
semua nilai radiasi matahari, serta 8% efisiensi overall solar ke hidrogen.
Walaupun sistem direct coupling lebih murah dan lebih efisien dalam menghasilkan
hidrogen, terdapat 2 tantangan utama untuk teknologi ini, yaitu
a. Ukuran relatif 2 unit karena variasi sumber energi (solar dan angin) untuk
mencapai keuntungan maksimum
b. Kinerja jangka panjang electrolyzer pada variabel beban yang terus menerus.
b. High Temperature Water Electrolysis
Proses low temperature hydrogen distribution sudah mapan, namun membutuhkan
input energi listrik yang besar untuk dapat menghasilkan hidrogen.
Gambar 4:
- Pada 25°C, 1 Liter hidrogen membutuhkan energi listrik minimal 3,55 kWh
sebagai input dan akan meningkat menjadi 4,26 kWh ketika electrochemical cell
losses ikut diperhitungkan.
Proses elektrolisis pada high temperature memungkinkan pemanfaatan sebagian panas
untuk produksi hidrogen dengan kontribusi yang cukup tinggi hingga sepertiga dari
energi input yang dibutuhkan dari energi termal pada suhu 1000°C.
HT-electrolysis menggunakan ion oksigen (O2-) atau keramik konduktor proton (H+)
sebagai elektrolit. Proses yang terjadi berkebalikan dari SOFC (Solid Oxide Fuel Cell)
dengan banyak material serupa untuk konstruksi sel. Input termal untuk sistem HT
dapat dipasok dari bermacam sumber, termasuk energi terbarukan berkelanjutan dan
energi nuklir.
Sejumlah usulan sistem telah diterima, termasuk co-locating electrolyzer dengan solar
thermal source, stasiun energi nuklir, ataupun suplai panas dari pembakaran batu bara.
Beberapa konfigurasi sistem dan material telah diujicobakan dengan konduktor ion
berupa elektrolit zirconium-based oxide dengan anoda berbasis menganit dan katoda
cermet logam. Teknologi ini menunjukkan penampilan yang cukup signifikan tetapi
tidak ada prototype yang mendekati untuk dapat diproduksi. Uji coba juga telah
menunjukkan adanya kelayakan teknis dari teknologi ini, namun biaya, masa pakai,
dan keandalan masih menjadi tantangan utama.
Diperlukan adanya peningkatan yang signifikan dalam biaya bahan bakar hidrokarbon
dan penurunan signifikan dalam biaya sistem HT-electrolyzer. US DOE menetapkan
target biaya $3/kg hidrogen agar hidrogen menjadi kompetitif dengan bahan bakar
lainnya. Penurunan biaya listrik akan berkurang signifikan jika ditemukan sumber
energi panas yang sesuai.
c. Carbon Assisted Hydrogen Production
Proses elektrolisis hidrogen dinilai masih kurang efisien karena membutuhkan input
listrik sebesar 4,2 kWh/Nm3 untuk sel elektrolisis dan 6,7 – 7,3 kWh/Nm3 untuk
sistem. Partisipasi karbon pada reaksi anodik elektrolisis menghasilkan penurunan
thermo-neutral voltage dari 1,48 V menjadi 0,45 V sehingga berdampak pada
berkurangnya kebutuhan input energi listrik menjadi 1/3 dibandingkan elektrolisis
normal. Dengan kata lain 2/3 energi akan disuplai dari energi kimia karbon. Pada suhu
yang lebih tinggi, pengurangan kebutuhan input energi listrik akan menjadi semakin
besar karena adanya kontribusi energi termal.
Gambar 5:
- Pada LT: menggunakan elektrolit konduktor proton
- Pada HT: menggunakan elektrolit konduktor ion oksigen berupa keramik
Konsep hydrogen generation dengan metode ini menggabungkan tahap reaksi
pembentukan hidrogen dari NG reforming dan gasifikasi batu bara dalam sebuah
reaktor pada suhu operasi yang rendah. Reaksi keseluruhan menjadi
𝐶 + 2𝐻2 𝑂 → 𝐶𝑂2 + 2𝐻2
Kedua produk akan berada dalam kompartemen terpisah dalam sel elektrokimia yang
dipisahkan oleh membran elektrolit kedap air. Sumber karbon dapat dari biomassa
ataupun batu bara. Dengan demikian, dapat diperoleh proses yang sangat efisien
dengan total biaya yang rendah dan emisi CO2 yang kecil.
Masih dilakukan penelitian terkait metode ini, salah satunya dengan menggunakan
asam sulfat sebagai elektrolit pada suhu rendah. Hasil yang didapat adalah densitas
yang rendah akibat lambatnya kinetika oksidasi karbon di suhu rendah serta adanya
pembentukan film di permukaan yang menyebabkan reaksi tidak berkelanjutan. Efek
struktur karbon, kemurnian, morfologi, dan tambahan katalis pada performa sel juga
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Strategi yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan kinetika reaksi dan laju
pembentukan hidrogen adalah menjalankan reaksi pada suhu operasi dengan
menggunakan elektrolit keramik seperti doped zirconia. Keuntungan tambahan yang
didapat adalah berkurangnya tegangan yang diperlukan untuk elektrolisis secara
signifikan. Secara teoritis, pendekatan ini memberikan keuntungan yang besar dalam
biaya/unit hidrogen yang dihasilkan, namun penelitian ini masih berada di tahap yang
sangat awal sehingga diperlukan pendalaman mengenai ilmu dasar sebelum
perancangan prototype.

Anda mungkin juga menyukai