Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

“BPPV ( Benign Paroxysmal positional Vertigo )”

Disusun untuk memenuhi Tugas Praktik Klinik I


Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh :

ERLY DWI PUSPITASARI


NIM 202001021

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan dengan kasus BPPV disusun untuk
memenuhi tugas Praktik Klinik Keperawatan I Semester VI (Enam) pada tanggal 05- 10 Juni
2023 oleh mahasiswa Prodi S1 Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri.

Nama : Erly Dwi Puspitasari

NIM : 202001021

Judul : Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Diagnose
Penyakit “ BPPV ( Benign Paroxysmal positional Vertigo )”

Kediri, 06 Juni 2023

Mengetahui

Mahasiswa

Erly Dwi Puspitasari

NIM 202001021

CE Ruangan Supervisor

Mardiani,S.Kep.,Ns Pria Wahyu R G.,S.Kep.,Ns.,M.Kep


LEMBAR PENILAIAN PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN I

Ruang : Teratai Rumah Sakit Umum AMELIA

Tanggal Praktik : 05 Juni – 10 Juni 2023

Nama : Erly Dwi Puspitasari

NIM : 202001021

Periode Praktik : Keperawatan Medikal Bedah

Judul ASKEP : ”Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
”Ileus”

No. Elemen Nilai Total Nilai TT CE RUANGAN


(0-100) 1a+1b+1c+2+3
5
1. Asuhan Keperawatan
a. Pre Conference
b. Post Conference
c. Laporan Asuhan
Keperawatan
2. Attitude / Sikap
3. Keterampilan Klinis

No. Elemen Nilai Total Nilai TT PEMBIMBING


(0-100) 1+2+3 PENDIDIKAN
3
1. Laporan Pendahuluan
(LP)

Pria Wahyu
R.G.,S.Kep.,Ns.,M.
Kep
LAPORAN PENDAHULUAN

1. KONSEP PENYAKIT BENIGN PAROXISMAL POSITIONAL VERTIGO


(BPPV )
1.1. DEFINISI BPPV
BPPV merupakan suatu kondisi terjadinya gangguan dari sistem perifer
vestibular, ketika pasien merasakan sensasi pusing berputar dan berpindah yang
berhubungan dengan nystagmus ketika posisi kepala berubah terhadap gaya
gravitasi dan disertai gejala mual,muntah dan keringat dingin. Serangan biasa
dipicu ketika pasien merubah posisi kepala ke sisi yang terkena kemudian
berguling ke sisi berlawanan ataupun duduk dengan cepat. Sekitar 50%,
penyebab BPPV adalah idiopatik, selain idiopatik, penyebab terbanyak adalah
trauma kepala (17%) diikuti dengan neuritis vestibularis (15%), migraine,
implantasi gigi dan operasi telinga, dapat juga sebagai akibat dari posisi tidur
yang lama pada pasien post operasi atau bed rest total lama.

1.2. KLASIFIKASI BPPV


BPPV dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu :
1. Teori Cupulolithiasis
Pada tahun 1962, Harold Schuknecht mengusulkan teori 'heavy cupula' ini
dalam upaya untuk menjelaskan patologi yang mendasari BPPV. Dengan
bantuan fotomikrograf, partikel basofilik terlihat melekat pada cupula. Dia
mengemukakan teori bahwa partikel-partikel ini berperan dalam membuat
kanal setengah lingkaran posterior (PSC) responsif terhadap gravitasi. Hal
ini membuat cupula menjadi berat, dan begitu posisi tertentu tercapai, berat
partikel padat ini membuat cupula tidak bergerak, menjaganya agar tidak
kembali ke posisi netral. Inilah sebabnya mengapa ada nistagmus dan
pusing yang terus-menerus saat pasien bersandar ke belakang.
2. Teori Kanalitiasis
Pada tahun 1980, Epley mengusulkan teorinya berdasarkan canalithiasis.
Dia menganjurkan bahwa penyajian BPPV tidak konsisten dengan gagasan
kerapatan tetap yang melekat pada cupula. Dia berpendapat bahwa
kepadatan yang bergerak bebas di SCC posterior dapat menjelaskan gejala
BPPV jauh lebih baik. Dia menyebut kerapatan ini sebagai kanalit. Saat
kepala dalam posisi tegak, partikel mengendap di PSC pada posisi yang
paling bergantung pada gravitasi. Saat kepala disandarkan ke belakang,
partikel-partikel ini berputar ke atas kira-kira 90 derajat di sepanjang PSC.
Setelah jeda singkat karena inersia, gravitasi menarik partikel-partikel ini
menyebabkan endolimfe meluncur menjauh dari ampula. Ini, pada
gilirannya, menyebabkan kupula membelok, yang menghasilkan
nistagmus. Pembalikan rotasi primer (duduk kembali dalam kasus ini)
menyebabkan pembalikan defleksi cupula.

1.3. ETIOLOGI BPPV


Vertigo posisi paroksismal jinak terjadi karena perpindahan kristal kalsium-
karbonat atau otoconia di dalam kanal setengah lingkaran berisi cairan di telinga
bagian dalam. Otoconia ini sangat penting untuk berfungsinya utrikulus membran
otolitik dengan membantu membelokkan sel-sel rambut di dalam endolimfe, yang
menyampaikan perubahan posisi kepala, termasuk memiringkan, memutar, dan
percepatan linier.

Sekitar 50% hingga 70% kasus BPPV terjadi tanpa diketahui penyebabnya dan
disebut sebagai BPPV primer atau idiopatik. Kasus yang tersisa disebut BPPV
sekunder dan sering dikaitkan dengan patologi yang mendasarinya, seperti trauma
kepala, neuronitis vestibular, labirinitis, penyakit Ménière, migrain, iskemia, dan
penyebab iatrogenik. Penyebab paling umum dari BPPV sekunder adalah cedera
kepala, terhitung 7% sampai 17% dari kasus BPPV. Trauma pada kepala dapat
menyebabkan pelepasan banyak otoconia ke dalam endolymph; mungkin itu
sebabnya sebagian besar pasien ini memiliki BPPV bilateral. Labirinitis virus
atau neuronitis vestibular menyumbang hingga 15% dari kasus BPPV.

Penyakit Ménière diperkirakan terkait dengan BPPV pada 0,5% hingga 31%
kasus. Gross dan rekan mengamati bahwa 5,5% kasus penyakit Ménière memiliki
BPPV kanal posterior. Ini bisa menjadi konsekuensi dari cedera yang diinduksi
secara hidropik pada utrikulus atau obstruksi labirin membran.

Migrain juga ditemukan memiliki hubungan yang erat dengan BPPV. Ishiyama
dkk. mengamati peningkatan kejadian migrain pada pasien yang menderita BPPV
dan kekambuhan BPPV yang lebih tinggi setelah berhasil melakukan posisi pada
pasien dengan migrain. Telah dipostulasikan bahwa spasme arteri telinga bagian
dalam mungkin merupakan mekanisme penyebab yang mendasarinya, karena
vasospasme sering terlihat pada migrain.

BPPV sekunder juga dilaporkan setelah operasi telinga bagian dalam. Mekanisme
yang mendasari mungkin terkait dengan kerusakan utrikulus yang menyebabkan
pelepasan otoconia.

1.4. MANIFESTASI KLINIS BPPV


Gejala yang akan ditemukan pada BPPV berupa rasa berputar yang episodik dan
disertai mual atau muntah, gangguan pendengaran dapat terjadi dan dipicu oleh
adanya gerakan pada kepala. Bangkitan pada BPPV terjadi lebih mendadak dan
berat dan tidak ditemukan adanya tanda fokal otak.

1.5. PATOFISIOLOGIS BPPV


Untuk memahami etiologi vertigo posisi paroksismal jinak, pemahaman tentang
anatomi dan fisiologi kanal setengah lingkaran normal (SCC) sangat penting.
Setiap telinga bagian dalam terdiri dari tiga SCC yang terletak di tiga bidang
tegak lurus. Setiap kanal memiliki lengan tubular (crura) yang tumbuh dari
kompartemen besar seperti tong. Di ujung masing-masing lengan ini, ujung yang
melebar (ampullary) terletak lebih dekat ke bagian atas atau depan. Di sinilah
crista ampullaris dengan reseptor saraf hadir. Untuk mendeteksi aliran cairan di
SCC, setiap crista ampullaris berisi menara mirip layar, cupula. Jika ada gerakan
tiba-tiba ke arah kanan, cairan di kanal horizontal sisi kanan tertinggal, membuat
cupula dibelokkan ke kiri, aliran ampullopetal. Sinyal saraf dihasilkan dari
defleksi ini, mengkonfirmasi rotasi kepala ke kanan. Dengan cara ini, cupula
bekerja sebagai sistem tiga arah yang secara tepat menginformasikan tubuh
tentang sensasi gerak. Posisi netral tidak menimbulkan gerakan.
Dalam kasus vertigo, partikel di kanal melambat dan bahkan mungkin
membalikkan gerakan saklar cupula, menciptakan sinyal yang tidak koheren
dengan gerakan kepala yang sebenarnya. Perbedaan informasi sensorik ini
menyebabkan sensasi vertigo.
Dengan BPPV, otoconia (juga dikenal sebagai "otoliths" atau "canaliths") terlepas
dan menetap di dalam endolymph kanal setengah lingkaran. Saat kepala tetap
statis, tidak ada rangsangan. Namun, dengan gerakan, perpindahan otoconia
bergeser di dalam cairan, dan rangsangan berikutnya tidak seimbang sehubungan
dengan telinga yang berlawanan, menyebabkan gejala pusing, berputar, dan/atau
bergoyang secara tidak tepat.
1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG BPPV
Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah : Dix- Hallpike dan Tes kalori.

1) Dix-Hallpike test
Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan
leher dan punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan
vertigo dan untuk melihat adanya nistagmus. Cara melakukannya sebagai
berikut :
a) Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan,
dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa
detik.
b) Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga
ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 300-400, penderita
diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul
c) Kepala diputar menengok ke kanan 450 (kalau kanalis semisirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith
untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis
posterior.
d) Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
e) Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 10-15 detik.
f) Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet‟ (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
g) Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah
berlawanan.
h) Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri
450 dan seterusnya.

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan


provokasi ke belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak
tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan
nistagmus yang timbulnya lambat, 40 detik, kemudian nistagmus
menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada
kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya
serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.
2) Tes kalori
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2
macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 300C, sedangkan suhu
air panas adalah 440C. Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga
masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat
lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin,
diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri
dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap - tiap selesai pemeriksaan
(telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan
selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya)
3) Tes Sipine Roll
Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes Dix-
Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk memeriksa
ada tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut juga
BPPV kanal horizontal adalah BPPV terbanyak kedua. Pasien yang memiliki
riwayat yang sesuai dengan BPPV, yakni adanya vertigo yang diakibatkan
perubahan posisi kepala, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis BPPV
kanal posterior harus diperiksa ada tidaknya BPPV kanal lateral.

Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini bersifat


provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang berat
selama beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan memposisikan pasien dalam
posisi supinasi atau berbaring terlentang dengan kepala pada posisi netral
diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan dokter
mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.3 Setelah
nistagmus mereda (atau jika tidak ada nistagmus), kepala Kembali
menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Setelah nistagmus lain mereda,
kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 derajat ke sisi yang
berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada tidaknya
nystagmus
1.7. PENATALAKSANAAN BPPV
1) Non Farmakologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu penyakit yang
ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Namun telah
banyak penelitian yang membuktikan dengan pemberian terapi dengan
manuver reposisi partikel / Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat
secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas
hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari manuver-
manuver yang ada bervariasi mulai dari 70%-100%. Beberapa efek samping
dari melakukan manuver seperti mual, muntah, vertigo, dan
nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya debris otolitith yang
tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat
berpindah dari ampula ke kanal. 19 bifurcasio. Setelah melakukan manuver,
hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk
menghindari risiko jatuh.
Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke
posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada lima manuver yang dapat
dilakukan tergantung dari varian BPPV nya.
1. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal
vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit
sebesar 450, lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan
dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala ditolehkan 900 ke sisi
sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus
dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu
pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan.
2. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak,
lalu kepala dimiringkan 450 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat
bergerak ke posisi berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit.
Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien
pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke
posisi duduk lagi.
3. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi lalu
pasien menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan
membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh
ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral dekubitus.
Pasien kemudian menoleh lagi 900 dan tubuh kembali ke posisi
lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing
gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari
partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.
4. Forced Prolonged Position
Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya
adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus
pada sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.
5. Brandt – Daroff exercise
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien
yang tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan
ini juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi
sehingga dapat menjadi kebiasaan.
2) Farmakologi
Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk BPPV tidak secara rutin
dilakukan. Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk
gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada
pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk
vertigo yang disebut juga pengobatan suppresant vestibular yang digunakan
adalah golongan benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan antihistamine
(meclizine, dipenhidramin). Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi
berputar namun dapat mengganggu kompensasi sentral pada kondisi
vestibular perifer. Antihistamine mempunyai efek supresif pada pusat muntah
sehingga dapat mengurangi mual dan muntah karena motion sickness. Harus
diperhatikan bahwa benzodiazepine dan antihistamine dapat mengganggu
kompensasi sentral pada kerusakan vestibular sehingga penggunaannya
diminimalkan.
3) Operasi
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan
sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah
melakukan manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur
dikatakan indikasi untuk melakukan operasi adalah pada intractable BPPV,
yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti
BPPV biasa. Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat
dipilih, yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan
oklusi kanal posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi
karena teknik neurectomy mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang
tinggi
1.8. KOMPLIKASI BPPV
Apabila vertigo tidak segera ditangani dan dilakukan pengobatan, penderita bisa
saja mengalami gagar otak ringan maupun berat, itu merupakan akibat yang
ditimbulkan karena vertigo pada penderita yang sering kambuh (Yulianto et al.,
2016). Vertigo akan menyebabkan komplikasi berupa penurunan kualitas hidup
karena gangguan mobilitas. penderita vertigo juga akan mengalami penurunan
fungsi individu sebagai pekerja. Vertigo apabila terjadi saat berkendara juga akan
mengakibatkan kecelakaan (Benecke et al., 2013).
2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
2.1. KONSEP PENGKAJIAN
2.1.1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan yaitu tahapan yang paling pertama didalam
proses keperawatan, yaitu saat mengumpulkan data secara sistematis
dari berbagai seumberdata yang bertujuan untuk identifikasi dan
evaluasi status kesehatan klien. Pengkajian keperawatan akan menjadi
dasar untuk memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan klien (Budiono, 2016). Langkah langkah pengkajian
keperawatan pada klien BPPV meliputi :
A. Identitas klien
Pengkajian identitas yang dilakukan pada klien BPPV adalah:
a) Jenis Kelamin
Jenis kelamin perempuan lebih sering mengalami vertigo
karena faktor dari hormon, perempuan mengalami
menstruasi (Park et al., 2019).
b) Usia
Usia yang lebih sering mengalami vertigo adalah usia dari
40 tahun sampai 59 tahun (Park et al., 2019).
B. Keluhan utama
Menurut (Jusuf & Wahidji, 2016) keluhan utama yang dirasakan
oleh penderita vertigo adalah nyeri kepala, pandangan kabur dan
berbayang, mual & muntah

C. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi keluhan utama atau yang berhubungan dengan
gangguan atau penyakit yang dirasakan saat ini atau
perasaan pasien saat ini

b) Riwayat Kesehatan Dahulu


Meliputi penyakit lain yang dapat mempengaruhi penyakit
sekarang atau pernah mengalami penyakit seperti sekarang

c) Riwayat Kesehatan Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit
yang sama dengan pasien.
2.1.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan pada klien vertigo
antara lain adalah pemeriksaan kesadaran, Penampilan, Tanda
tanda vital, pemeriksaan mata ,Kepala, Hidung, Telinga, Mulut dan
tenggorokan, Dada, Abdomen, Genetalia, Ekstremitas, kulit.
Pemeriksaan fisik pada vertigo bertujuan untuk memeriksa
penyebab dari vertigo, baik kelainan sistemik, otologik ataupun
neurologik vestibular berupa pemeriksaan nistagmus, fungsi
serebrum dan pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan.
Beberapa faktor yang juga harus diperhatikan diantaranya adalah
hipertensi, hipotensi, gagal jantung, hipoglikemi, anemi, dan aritmi
jantung (Akbar, 2013).

2.1.3. Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2016)
pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah:
a) Pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan darah ini dapat
menggambarkan kondisi kesehatan.
b) CT Scan atau pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan yang
menggunakan komputer atau mesin yang memancarkan sinar x.
Hasil dari pemeriksaan ini akan menampilkan gambar struktur dan
jaringan tubuh.

2.1.4. Terapi Obat


Obat-obat yang dapat sering diunakan:
1) Antikolinergik
Obat-obatan antikolinergik bekerja pada reseptor muskarinik
dengan efek kompensasi. Contoh antikolinergik adalah
skopolamine. Efek samping dari antikolinergik adalah sedasi,
dilatasi pupil dan mulut kering (Pradnanying & Widiastuti,
2017).
2) Antihistamin
Antihistamin mempunyai efek sentral untuk mengurangi
vertigo, bekerja pada reseptoh H2. Antihistamin mempunyai
efek antikolinergik dan juga blok kanal kalsium (Pradnanying &
Widiastuti, 2017).
Antihistamin yang dapat diberikan pada penderita vertigo
menurut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2016)
adalah :
a) Dimenhidrinat
4 sampai 6 jam adalah lama kerja obat ini. Dapat diberikan
secara peroral atau atau parentral (iv atau im) dosis yang
diberikan adalah 25-50 mg (1 tablet) selama 4 hari.
b) Difenhidramin
Lama kerja dari obat ini adalah 4 sampai 6 jam , diberikan
secara peroral dengan dosis 25 mg (1 kapasul), diberikan 4
kali dalam sehari.
c) Senyawa betahisdin
a. Betahisdin meylate diberikan secara perolal, 3 kali
sehari dengan dosis 12 mg
b. Betahisdin HCl dengan dosis yang diberikan 8- 24
mg, diberikan 3 kali sehari.
d) Benzodiazepin
Benzodiazepine secara sentral bekerja mensupresi respon
vestibular. Obat ini mempunyai masa kerja yang singkat dan
mempunyai efek terapi dalam dosis yang kecil.
e) Kalsium Antagonis
Chinarizin, memiliki manfaat dapat menekan fungsi
vestibular dan bisa mengurangi respon kepada akselerasi
angular serta linear.biasanya dosis yang diberikan adalah
15- 30 mg, diberikan 3 kali sehari (Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia, 2016).

2.2. KONSEP ANALISA DATA


Menurut Setiawan (2012), Analisis data merupakan metode yang dilakukan
perawat untuk mengkaitkan data klien serta menghubungkan data tersebut dengan
konsep teori dan prinsip yang relevan keperawatan untuk membuat kesimpulan
dalam menentukan masalah Kesehatan pasien dan keperawatan pasien. Dalam
analisis data perawat juga menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk
memeriksa setiap potong informasi dan menentukan relevansinya terhadap
masalah kesehatan klien dan hubungannya dengan potongan informasi lain.
Keterampilan berpikir kritis untuk mempertimbangkan pertanyaan lain yang
mungkin penting atau mengembangkan gambaran visual mengenai apa yang klien
katakana kepeda perawat.

2.3. KONSEP DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon
indivu,keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan actual dan potensial,di
mana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya,perawat secara akuntabilitas
dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk
menjaga,menurunkan,membatasi,mencegah dan mengubah status Kesehatan
klien. Diagnosa keperawatan di tetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi
data yang di peroleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosa keperawatan
memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata
(actual) dan kemungkinan akan terjadi,dimana pemecahannya dapat dilakukan
dalam batasan wewenang perawat.
Adapun diagnose keperawatan pada pasien BPPV adalah :
1. Nyeri akut b/d peningkatan tekanan intra kranial
2. Nausea b/d peristaltic meningkat
3. Resiko jatuh b/d disorientasi

2.4. KONSEP INTERVENSI KEPERAWATAN


Tahap perencanaan memebrikan kesempatan kepada perawat, klien, keluarga dan
orang terdekat kilen untuk merumuskan rencana keperawatan guna mengatasi
masalah yang dialami klien. Perencanaan ini merupakan suatu petunjuk tertulis
yang menggambarkan secara tepat rencana. Tindakan keperawatan yang
dilakuakn terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosis
keperawatan.
Tahap perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan
sebab perzencanaan merupakan keputusan awal yang memberi arah bagi tujuan
yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan, termasuk bagaimana, kapan, dan
siapa yang akan melakukan Tindakan keperawatan untuk klien, keluarga dan
orang terdekat perlu dilibatkan secara maksimal (Asmadi,2008)
No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
1. D.0077 Nyeri Tingkat Nyeri ( L.08066 ) Manajemen Nyeri (I.08238)
akut b/d Setelah dilakukan intervensi
Observasi
peningkatan keperawatan selama 3x24
tekanan intra jam maka tingkat nyeri 1) Identifikasi lokasi,
kranial menurun dengan kriteria
karakteristik, durasi,
hasil :
 Keluhan nyeri frekuensi, kualitas,
menurun intensitas nyeri
 Gelisah menurun
 Kesulitan tidur 2) Identifikasi skala nyeri
menurun 3) Identifikasi factor yang
 Tekanan darah
membaik memperberat dan
 Pola tidur mrmbaik memperingan nyeri
 Pola napas membaik
Terapeutik
 Mual muntah
menurun 4) Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
5) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
6) Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi
7) Jelaskan strategi
meredakan nyeri
8) Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
9) Anjurkan penggunaan
analgesic secara cepat
Kolaborasi
10) Kolaborasi pemberian
analgesik
2. D.0076 Nausea Tingkat Nausea (L.08065 ) Manajemen Mual ( I.03117 )
b/d peristaltik Setelah dilakukan intervensi Observasi
meningkat keperawatan selama 3x24
jam maka tingkat nausea 1) Identifikasi penyebab
menurun dengan kriteria mual
hasil :
2) Identifikasi antiemetic
 Keluhan mual
menurun untuk mencegah mual
 Perasaan ingin 3) Monitor mual
muntah menurun
 Perasaan asam Terapeutik
dimulut menurun 4) Kurangi atau hilangkan
 Nafsu makan lingkungan penyebab
membaik
 Diaforesis menurun mual
5) Berikan makanan dalam
jumlah kecil dan menaik
6) Berikan makanan dingin,
cairan bening, tidak
berbau dan tidak
berwarna
Edukasi
7) Anjurkan istirahat dan
tidur yag cukup
8) Anjurkan makanan tinggi
karbohodrat dan rendah
lemak
9) Ajarkan penggunaan
teknik non farmakologis
untuk mengatasi mual
Kolaborasi
10) Kolaborasi untuk
pemberian antiemetik
3. D.0143 Resiko Tingkat jatuh (L.14138 ) Pencegahan Jatuh ( I.14540 )
jatuh b/d Setelah dilakukan intervensi Observasi
disorientasi keperawatan selama 3x24 1) Identifikasi faktor resiko
jam maka tingkat jatuh jatuh
menurun dengan kriteria 2) Monitor kemampuan
hasil : berpindah dari tempat
 Jatuh dari tempat tidur ke kursi roda dan
tidur menurun sebaliknya
 Jatuh saat berjalan Terapeutik
menurun 3) Pasang handrail tempat
 Jatuh saat dikamar tidur
mandi menurun 4) Alut tempat tidur
mekanis pada posisi
rendah
5) Tempatkan pasien
beresiko jatuh dekat
dengan pantauan perawat
6) Gunakan alat bantu
berjalan
Edukasi
7) Anjurkan menggunakan
alas kaki yang tidak licin
8) Anjurkan berkonsentrasi
untuk menjaga
keseimbangan tubuh
9) Anjurkan melebarkan
jarak kedua kaki untuk
meningkatkan
keseimbangan saat
berjalan.

2.5. KONSEP IMPLEMENTASI KEPERAWATAN


Implementasi Keperawatan Implementasi merupakan suatu proses
pelaksanaan terapi keperawatan yang berbentuk intervensi mandiri atau
kolaborasi melalui pemanfaatan sumber – sumber yang dimiliki klien.
Implementasi di prioritaskan sesuai dengan kemampuan klien dan sumber yang
dimiliki klien. (Friedman, 2010).
Implemetasi keperawatan merupakan kategori serangkaian perilaku perawat
yang berkoordinasi dengan pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan lain
untuk membantu masalah kesehatan pasien yang sesuai dengan perencanaan dan
kriteria hasil yang telah ditentukan dengan cara mengawasi dan mencatat respon
pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan (Potter & Perry 1997,
dalam Haryanto, 2007).
Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai lima tahap:
1) Mengkaji ulang klien
2) Menelaah dan memodifikasi rencana asuhan yang sudah ada
3) Mengidentifikasi area bantuan
4) Mengimplementasikan intervensi keperawatan
5) Mengomunikasikan intervensi
Cara melakukan Implementasi :
1) Mengkomunikasikan atau menginformasikan kepada klien tentang
keputusan tentang keputusan tindakan keperawatan yang akan
dilakukan oleh perawat.
2) Menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar
manusia dan kemampuan teknis keperawatan dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan yang telah diberikan oleh perawat.

2.6. KONSEP EVALUASI KEPERAWATAN


Evaluasi Keperawatan Evaluasi Keperawatan merupakan tahap akhir dari
proses keperawatan. Evaluasi merupakan sekumpulan metode dan keterampilan
untuk menentukan apakah program sudah sesuai dengan rencana dan tuntutan
keluarga. (Ayu, 2010).
Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam perencanaan, dengan cara membandingkan hasil tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya yang
telah ditetapkan dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap
pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan. (Mubarak, dkk., 2011).
Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai apakah
tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak untuk mengatasi
suatu masalah. Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana: (Suprajitno dalam
Wardani, 2013).
S : Ungkapan perasaan/keluhan yang diungkapkan secara subjektif oleh klien
setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang objektif.
A : Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis. Tugas dari
evaluator adalah melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai dengan
kriteria evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi untuk membuat
keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan. (Nurhayati, 2011).

DAFTAR PUSTAKA
Abraham A., 2014. Peripheral Vertigo – A Study Of 100 Cases: Our Experience.
Journal of Evolution of Medical and Dental Science. Vol 3(27)
Edward Y., Roza Y., 2014. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional
Vertigo. Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 3(1)
Moreno, Jose Luis Ballve, et al. 2014. Effectiveness of the Epley’s Maneuver
Performed in Primary Care to Treat Posterior Canal Benign Paroxysmal Positional Vertigo:
Study Protocol for a Randomized ontrolled Trial. Trials Journal. 15:179
Parham K., 2014. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: An Integrated Perspective.
Advances in Otolaryngology. Article ID 792635, 17 pages, 201
Purnamasari P., 2010. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional
Vertigo. Universitas Udayana: Denpasar
Sjahrir, Hasan. 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press
Gunawan. (2017). Asuhan Keparawatan Pada Klien Dengan Masalah Kebutuhan
Dasar Rasa Aman Nyaman Akibat Nyeri Karena Vertigo Di Rs Pku Muhammadiyah
Gombong Karya
PPNI, D., 2016. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1 Cetakan II ed.
Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia.
PPNI, D., 2016. Standart Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1 Cetakan II ed.
Jakarta: Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, D., 2016. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1 Cetakan II ed.
jakarta: Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai