Anda di halaman 1dari 9

HASIL DISKUSI

RUANG KOLABORASI - MODUL 1.1.A5.

Oleh : Kelompok I (Satu)


Kelas 09.68.

Aprilinus Halawa, S.Pd.


Bertuah Sri Khairani Pardede, S.Pd.
Dengin Fazlum Rahmad Waruwu, S.Pd.
Mitrafebriani Hulu, S.Pd.

PENDIDIKAN CALON GURU PENGGERAK A.9


KABUPATEN NIAS BARAT TAHUN 2023
1. Apa kekuatan konteks sosio-kultural di
daerah Anda yang sejalan dengan Pemikiran
KHD?
Pemikiran KHD Konteks Sosio Kultural :
“Pendidikan adalah tempat
persemaian segala benih- Tradisi “Fatanö Luo”
benih kebudayaan yang hidup merupakan suatu bentuk
dalam masyakarat” kearifan lokal yang
didalamnya terkandung nilai-
nilai musyawarah, gotong
royong, displin, tanggung
jawab sebagai falsafah hidup
yang digunakan hingga
sekarang, seperti istilah Nias:
“Aoha Noro nilului wahea,
aoha noro nilului waoso,
alisi tafadaya-daya, hulu
tafae wolo-wolo”
Tradisi “Fatanõ Luo’’: Tradisi Gotong Rotong Dalam
Bertani
“Fatanö luo” berasal dari kata dasar “tanö” (tanah) dan “luo” (hari).
Penggunaan kata "fa" di depan kata "tanö" dan “luo” adalah kata
bantu yang menyatakan sesuatu tindakan. Jadi jika diartikan secara
harafiah kata, “fatanö luo” memiliki arti "ber-tanah sehari".

Pengertian ini memberikan pesan bahwa “fatanö luo” merupakan


kegiatan bersama yang dilakukan seharian di tanah yang sedang
dikerjakan.

Oleh karena itu, “fatanö luo” diartikan sebagai pekerjaan yang


dilakukan sepanjang hari ini adalah jerih payah bersama sepanjang
hari dan tidak ada balasan dari si pemilik pekerjaan. Balasan jerih
payah ini tidak dibayarkan dengan uang atau imbalan jasa,
melainkan lewat kebersamaan lagi ketika bagian orang lain yang ikut
dalam kegiatan “fatanö luo” itu dilaksanakan.

Kegiatan ini menjadi suatu tradisi bagi masyarakat kepulauan Nias


dalam kegiatan bertani sebagai wujud kebersamaan dalam suatu
pekerjaan.
Ketika seseorang membuka lahan pertanian (sawah, ladang dan
perkebunan lainnya), dan membutuhkan banyak tenaga kerja maka
si pemilik lahan meminta bantuan kerja sama dengan yang lain
dengan sistem “fatanö luo” dan saling bermusyawarah kapan dimulai
pekerjaan hingga selesai.

Demikian bila suatu saat nanti, orang dan atau sekelompok yang
telah membantu tadi memiliki pekerjaan yang sama maka, tradisi
“fatanö luo” juga akan dilaksanakan sebagai balasan atas kegiatan
“fatanö luo” yang telah dikerjakan sebelumnya.

Oleh karena itu, “fatanö luo” merupakan satu gerakan gotong royong
yang masih berjalan hingga saat ini di kalangan Masyarakat Nias dan
menjadi gerakan saling bahu membahu, terutama banyak
dipraktekkan dalam kegiatan bercocok tanam.
Tradisi “fatanö luo” memiliki nilai-nilai yang sesuai
dengan pemikiran KHD adalah :
1. Musyawarah
2. Gotong Royong
3. Displin
4. Tanggung Jawab

Selain itu, masih terdapat tradisi budaya Nias yang


masih melekat dalam kehidupan masyarakat Nias yakni
kebiasaan saling sapa “Ya’ahowu”, Saling
berkomunikasi dengan bahasa lokal yaitu Bahasa Nias,
dan menyambut tamu melalui tari tarian, jamuan bagi
undangan/tamu disungguhkan 1 (satu) ekor babi
(simbi).

Semuanya itu menjadi suatu kearifan lokal yang patut


dijaga dan dikembangkan karena telah menjadi kodrat
alam setiap orang di Suku Nias.
Filosofi Pendidikan
Menurut KHD : Konteks Daerah :
Tujuan pendidikan Tradisi “Fatanö Luo”
menuntun segala kodrat merupakan gerakan
yang ada pada anak agar sekolompok orang yang
mereka sebagai manusia saling bahu membahu
dan anggota masyarakat (gotong royong) dalam
dapat mecapai menyelesaikan suatu
keselamatan dan pekerjaan tanpa menutut
kebahagiaan setinggi- imbalan jasa (gaji).
tingginya (Ki Hajar
Dewantoro, 1961)
2. Bagaimana pemikiran KHD dapat dikontekstualkan/
disesuaikan dengan nilai-nilai luhur kearifan budaya daerah
Anda yang relevan menjadi penguatan karakter murid
sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat
pada konteks lokal sosial budaya di daerah Anda?

Pemikiran KHD : Konteks Daerah :


Murid yang pada kodrat alamnya
Peran pendidik seperti di Nias Barat mayoritas sebagai
seorang petani atau tukang Petani yang sering menerapkan
kebun. Anak-anak hidup dan tradisi “Fatanö Luo” telah terbiasa
tumbuh sesuai kodratnya dengan musyawarah, gotong
sendiri. Pendidik hanya dapat royong, displin, tanggung jawab
merawat dan menuntun sebagai bibit budaya yang sudah
tumbuhnya kodrat itu.Oleh melekat dalam diri anak. Oleh
karena itu guru memelihara, karena itu, pendidik harus
dan berusaha untuk mampu mengembangkan hal
membantu dalam mencapai tersebut menjadi penguatan
keberhasilan belajarnya. karakter murid dalam kehidupan
sosial budaya.
3. Sepakati satu kekuatan pemikiran KHD yang menebalkan laku
murid di kelas atau sekolah Anda sesuai dengan konteks lokal
sosial budaya di daerah Anda yang dapat diterapkan.

Membagun semangat gotong royong, musyawarah, displin dan


tanggung jawab sebagaimana yang masih melekat dalam tradisi sosial
budaya “Fatanö Luo” di Nias Barat akan menjadi dasar untuk
mengembangkan dan menumbuhkan nilai-nilai budi pekerti pada
anak yang dapat diwujudkan melalui kegiatan piket kebersihan kelas,
kerja bakti sekolah, kegiatan kelompok belajar, pelaksanaan Proyek
Pengembangan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan toleransi
keberagaman ibadah sesama anak.

Kekuatan pemikiran KHD tentang Pendidikan “Budi Pekerti” dapat


untuk membangun karakter murid dengan proses belajar melalui nilai
kejujuran, ketekunan, keberanian, rajin belajar dan bekerja, sikap
percaya diri serta peduli terhadap orang lain.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai