Anda di halaman 1dari 9

Massa Abdomen bawah

Ova Emilia

I. Masalah
Seorang wanita, usia 45 tahun, P5A0 mengeluh teraba benjolan keras pada perut sejak 2
tahun yang lalu. Menstruasinya teratur, jumlahnya banyak dengan disertai gumpalan darah,
tidak nyeri. Pernah dilakukan kuretase setahun yang lalu karena perdarahan, dan hasil
patologi anatomi adalah hiperplasia endometrii. Tidak ada perdarahan antar masa menstruasi.
Sekitar 3 tahun yang lalu, dokter yang memeriksa pernah mengatakan bahwa rahimnya
sedikit membesar. Bila perdarahan kadang disertai nyeri sehingga sering minum ibuprofen.
Tekanan darah dan denyut nadi normal, berat badan 70 kg. Tes kehamilan negatif. Hb 9,2
g/dL, Angka Leukosit 6400/mm3 dan angka trombosit 160.000/mm3.

Diagnosis apa yang paling mungkin?


Bagaimana manajemen yang akan dilakukan?

II. Tujuan:
1. Memahami perbedaan berbagai massa pelvik secara klinis
2. Memahami myoma uteri
3. Memahami manajemen yang dilakukan pada kasus myoma uteri
4. Memahami indikasi histerektomi pada kasus myoma uteri dengan keluhan
5. Memahami teknik konseling yang dilakukan pada kasus myoma uteri

III. Ringkasan kasus:


Wanita, usia 45 tahun, P5A0 mengeluh perutnya terasa ada benjolan keras. Menstruasinya
reguler, banyak dengan disertai gumpalan darah pada 2 tahun terakhir. Tidak hamil, anemia,
profil leukosit dan trombosit normal.

IV. Langkah selanjutnya:


Pada wanita usia 45 tahun dengan adanya benjolan di perut dan riwayat gangguan
menorhagia, selalu dicurigai adanya kelainan di dalam rahim. Pemeriksaan bimanual
merupakan pemeriksaan awal kecurigaan adanya massa di perut bawah. Palpasi
menggambarkan massa, bila berbenjol-benjol dan di tengah perut maka kecurigaan kita pada
mioma uteri. Massa biasanya juga mudah bergerak bersamaan dengan serviks. Bila massa
besar, tidak berbenjol-benjol, kistik/sebagian padat, massa di lateral atau tidak berhubungan
dengan serviks, maka kemungkinan adalah massa ovarium. Keluhan utama berupa
perdarahan banyak paling sering terjadi. Bila ada perdarahan antar siklus, maka harus
dicurigai penyakit lain seperti hiperplasia endometrii, polip endometrii atau kanker uterus.
Bila siklusnya tidak teratur (menometrorhagia) maka kemungkinan proses anovulatoar.
Algoritme di bawah ini merupakan algoritme dalam tatalaksana pasien dengan benjolan di
perut bawah.
V. Algoritme kasus

Massa perut bawah

Anamnesis menorhagia, perdarahan intermenstrual,


dismenore, tekanan pada pevis, nyeri, gangguan
kemih

Pemeriksaan fisik, tes kehamilan, ultrasonografi,


IVP bila ada kecurigaan obstruksi uretra

Diagnosis dan terapi Konfirmasi diagnosis Myoma Uteri


kehamilan atau Tentukan kecepatan pertumbuhan massa melalui
komplikasinya anamnesis dan tanda-tanda fisik lainnya
Massa adneksa,
endometriosis, karsinoma
ovarium Pertumbuhan telah lama Pertumbuhan cepat

Tentukan jenis dan intensitas Periksa kemungkinan


gejala sarkoma rahim, ovarium
atau kanker endometrium

Pasien asimptomatik Lihat algoritme keganasan


Jenis gejala yang menyertai
Bila ukuran <12mg kehamilan,
observasi dan cek tiap 6 bulan.
Gejala merasa tertekan, Perdarahan
Bila ukuran >12 mg kehamilan,
lakukan IVP unt cek adanya nyeri tekan, gangguan BAK
Lakukan D/C, periksa PA.
obstruksi ureter. Rencanakan atau BAB
manajemen lanjut Bila temuan ada keganasan
Rencanakan manajemen lanjutkan dg algoritme
Rencanakan manajemen lanjut lanjut keganasan

Bila normal, Rencanakan


manajemen lanjut

Rencanakan manajemen
lanjut

Histerektomi bila tdk Miomektomi Embolisasi arteri Terapi DMPA,


reproduksi transabdominal atau uterina GNRH agonist
laparoskopi bila ingin
reproduksi

Pada pasien dengan benjolan perut bawah setelah dilakukan pemeriksaan fisik, maka yang
tidak boleh dilupakan adalah tes kehamilan. Meskipun jarang, beberapa massa bisa saja
disertai kehamilan sehingga akan mempengaruhi manajemen tatalaksananya. Pemeriksaan
ultrasonografi relatif mudah dilakukan. Beberapa studi menganjurkan pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal, sonohisterografi, histeroskopi dan magnetic resonance imaging
(MRI). Ultrasonografi transvaginal memiliki sensitivitas dan spesifisitas terendah, namun
merupakan pemeriksaan awal yang terbaik untuk memeriksa massa jinak dan murah. MRI
dilakukan bila kita memerlukan lokasi myoma untuk kepentingan operasi, namun sangat
mahal. Sonohisterografi dan histeroskopi dapat dipakai untuk mengevaluasi besarnya mioma
submukosa, namun tes ini relatif invasif. Hingga langkah ini kita sudah bisa memastikan
kemungkinan diagnosis pasien. Adanya kehamilan, massa adnex atau massa uterus secara
jelas dapat dibedakan.
Bila yakin ada massa di uterus, nilailah apakah pertumbuhannya cepat atau lambat. Cepat
artinya dalam beberapa bulan telah terjadi pertambahan ukuran massa dengan drastis. Bila
terjadi pertumbuhan cepat kita mencurigai adanya keganasan. (Baca lebih lanjut bab tentang
keganasan). Bila pertumbuhan lambat, kita menilai apakah kondisi sekarang menimbulkan
gejala atau tidak. Bila tidak ada gejala maka kita melihat ukuran massa. Massa kurang dari
ukuran rahim <12 minggu hanya memerlukan pemantauan rutin, misalnya tiap 6 bulan. Bila
massa lebih dari ukuran rahim >12 minggu maka perlu memastikan bahwa tidak ada gejala
penekanan terutama ke ureter dengan pemeriksaan IVP, selanjutnya dilakukan manajemen
mioma uteri. Bila menimbulkan gejala seperti perdarahan, kesulitan BAK dan BAB, nyeri
maka perlu manajemen lanjut. Perdarahan dilakukan penegakan diagnosis dengan sampling
endometrium ataupun D/C untuk merencanakan tindakan operasi yang diperlukan.
Manajemen mioma uteri dapat secara operatif berupa histerektomi, miomektomi ataupun
embolisasi arteri uterina. Manajemen medikamentosa dapat menggunakan
medroxyprogesterone acetate (provera) atau pemberian gonadotropin releasing hormone
(GnRH) agonist.

VI. Pendekatan diagnosis


Diagnosis banding pada kasus massa pelvik adalah:
 Mioma uteri
 Adenomyosis
 Endometriosis,
 Massa adneksa

Vi. 1. Mioma Uteri


VI. 1. 1. Definisi

Mioma uteri atau sering dikenal dengan fibroid uteri, leiomyomata merupakan massa
pelvik yang paling sering terjadi. Massa ini bersifat jinak merupakan pembesaran
fibromuskuler yang berasal dari dinding otot uterus yang sensitif terhadap estrogen.
Mioma uteri dapat berupa massa tunggal atau multipel dan bervariasi ukurannya dari
sebesar biji hingga sebesar bola sepak. Massa ini membentuk pseudokapsul yang menekan
jaringan sekitar oto uterus sehingga mudah dipisahkan saat dilakukan miomektomi.

VI. 1. 2. Patofisiologi
Penyebab mioma uteri tidak diketahui. Jarang ditemukan pada usia di bawah 30 tahun
dan sering ada keturunan yang kemungkinan disebabkan oleh profil hormonal yang dimiliki.
Paling banyak dialami pada perempuan Afro-karibia, nullipara ataupun fertilitas rendah.
Diagnosis mioma uteri dengan pemeriksaan palpasi bimanual yang meraba massa
padat kenyal, kadang berbenjol benjol, tidak nyeri dan massa bergerak bila serviks
digerakkan. Massa akan lebih cepat membesar saat kehamilan, sebaliknya saat menopause
massa akan mengecil.
Pada pemeriksaan USG, mioma uteri digambarkan sebagai massa padat, berbatas
tegas dengan ekhogenisitas sama dengan miometrium. Uterus tampak membesar sehingga
mengubah kontur uterus. Bayangan akustik posterior sering terjadi pada massa yang besar
baik pada mioma nonkalsifikasi ataupun mioma kalsifikasi. Gambaran degenerasi akan
tampak lebih kompleks dengan adanya area kistik, dan nekrotik.

Lokasi mioma uteri bisa submukosa (menonjol ke arah cavum uteri, menyebabkan
menorrhagia, dapat bertangkai dan keluar melalui serviks), intramural (paling banyak),
subserosa (menonjol ke luar uterus, bila bertangkai dapat menimbulkan torsi)

Mioma uteri sering tumbuh melebihi suplai darah sehingga menimbulkan degenerasi. Jenis
degenerasi dapat berupa hyalin (nekrosis tanpa sel otot dan menyebabkan kalsifikasi), kistik
(sisa degenerasi hyalin dan terbentuk kista), lemak (sebagian jaringan nekrosis menjadi lemak
dan kalsifikasi), merah (nekrobiosis terjadi pada perempuan hamil atau nifas) dan
sarkomatous (perubahan menjadi ganas, sangat jarang sekitar 0,2-0,4%).

VI. 1. 3. Tatalaksana

Seorang dokter umum harus mampu melakukan konseling pada pasien tentang
manajemen optimal mioma uteri. Jenis manajemen beragam termasuk manajemen ekspektatif
(observasi), operasi, embolisasi arteri uterina, teknik ablasi ataupun terapi medis. Algoritme
di atas memberikan panduan untuk tatalaksana mioma uteri. Beberapa pasien lebih
memperoleh manfaat bila operasi. Salah satu tantangan adalah membedakan massa ini
dengan keganasan leiomyosarkoma, karena identifikasi dengan pertumbuhan cepat saja
tidaklah cukup. Beberapa bukti menunjukkan bahwa MRI disertai pengukuran kadar serum
laktat dehidrogenase bermanfaat untuk membedakan leiomiosarkoma dengan mioma uteri
(Schwartz, 2006). Pendekatan ini sangat bermanfaat pada pasien tertentu seperti wanita
postmenopause dengan masa besar. Operasi juga bermanfaat untuk pasien dengan perdarahan
uterus yang persisten atau gejala karena penekanan uterus yang tidak membaik dengan terapi
lain (Myers et al., 2002).

Perbandingan terapi mioma uteri

Terapi Deskripsi Keuntungan Kerugian Fungsi


reproduksi?
Histerektomi Pengangkatan uterus Terapi definitif Risiko Tidak ada
(transabdominal, bagi yg tdk ingin operasi
transvaaginal atau reproduksi.
laparoskopik Prosedur vaginal
lebih sedikit
perdarahan,
nyeri, demam
dan kepuasan
pasien tinggi.
Miomektomi Operasi atau laparoskopi Gejala hilang Angka Ya
dan bisa rekurensi
reproduksi, miom 15-
morbiditas 30% pada 5
perioperatif thn stlh
sama dengan operasi
histerektomi.
Miolisis Destruksi tumor dengan Prosedur mudah Reduksi Tidak
kauter, laser atau cryoterapi dan cepat, darahukuran diketahui
minimal, uterus
kesembuhan terlambat,
cepat. risiko
rekurensi tdk
diketahui,
perdarahan
vaginal
Embolisasi Prosedur radiologik Minimally Gejala Bukti
arteri uterina intervensi untuk mengoklusi invasive, rekurensi masih
arteri uterina menghindari lebih dari terbatas
operasi, rawat 17% pada 30
inap pendek (24- bulan, risiko
36 jam) rawat inap
bila nyeri
pasca
tindakan
Gonadotropi Terapi praoperatif untuk Kehilangan Terapi Tergantung
n releasing mengurangi ukuran massa darah menurun jangka tindakan
hormone sebelum histerektomi, juga saat panjang lanjutannya
agonist miomektomi atau miolisis operasi, mahal, ada
kesembuhan gejala
cepat menopause,
tulang
keropos

Histerektomi. Histerektomi dianjurkan untuk menghilangkan gejala, walaupun bisa juga


dilakukan pada yang tanpa gejala bila lebih besar dari usia kehamilan 12minggu. Alasannya
adalah risiko adanya patologi adneksal, meningkatnya angka morbiditas operasi dan
kemungkinan keganasan. Bukti terakhir tidak mendukung histerektomi pada wanita yang
tanpa gejala (Lefebvre, 200, Myers 2002, Matcha2 2001). Secara umum studi yang
mengevaluasi tindakan histerektomi dengan seksualitas tidak banyak, bukti terbatas
menunjukkan bahwa tidak berpengaruh dengan seksualitas (Farrell SA, Kieser, 2000).

Miomektomi. Operasi ini secara tradisional dilakukan secara laparotomi, namun sekarang
banyak dilakukan secara endoscopy ataupun histeroscopy bila mioma uteri submukosa.
Pasien yang pernah miomektomi terutama yang mengenai cavum uteri dianjurkan untuk
seksio sesarea bila melahirkan, meskipun informasi penelitian tentang hal ini terbatas
(ACOG, 2001).

Embolisasi arteri uterina. Prosedur ini dilakukan dengan sedasi intravena. Mikrokateter
dimasukkan melalui arteri femoralis untuk masuk ke arteri uterina. Tujuan terapi ini adalah
oklusi arteri uterina namun data terakhir menunjukkan meskipun tidak dilakukan emboli
seluruhnya maka akan tetap menimbulkan infark mioma sehingga juga mengurangi nyeri
(Marshburn et al., 2006). Metode terapi ini cukup menjanjikan dan data menunjukkan hasil
yang positif, namun efek jangka panjang perlu tetap diamati.

Miolisis. Teknik ini dengan menggunakan laser ND Yag atau jarum bipolar dan seringkali
dikombinasi dengan ablasi endometrium pada pasien dengan perdarahan.

Terapi medis. GnRH agonist merupakan terapi yang banyak dikenal, menimbulkan amenorea
dan pengurangan ukuran massa. Keuntungan ini ada akibatnyanya sangat bermakna yaitu
kondisi hipoestrogenemia (gejala hot flashes, vagina kering, keropos tulang), sehingga tidak
sesuai untuk dipakai jangka panjang. Paling baik dipakai pada perimenopause atau
praoperatif (Rackow & Arici, 2006). Terapi memakai pil kombinasi estrogen progestin tidak
efektif mengurangi gejala ataupun menghambat pertumbuhan tumor. Tidak ada bukti pula
bahwa pil KB dosis rendah menimbulkan pertumbuhan massa, sehingga tidak merupakan
kontraindikasi. Terapi hormonal akan mengurangi perdarahan namun desain studi tersebut
tidak menggunakan kontrol. Terapi lain banyak dikembangkan dan belum direkomendasikan
untuk standard pelayanan.

VI. 2. Adenomyosis
VI. 2. 1. Definisi
Adenomyosis merupakan kondisi dimana kelenjar endometrium stroma terdapat di dalam otot
rahim. Sering disebut adenomyoma bila terlokalisir dalam satu tempat.
VI. 2. 2. Patofisiologi
Gambarannya seperti endometriosis yang menyebar di dalam otot rahim. Otot rahim menebal
dan ukuran membesar namun tidak dijumpai pseudokapsul seperti dalam fibroid. Diduga
merupakan sisa kelenjar endometrium yang tidak keluar saat menstruasi dan berasal dari
lapisan basal endometrium.
Gejala banyak dijumpai pada perempuan usia 35-40 tahun dengan fertilitas yang menurun.
Keluhan dapat berupa dismenore, menoragia ataupun dispareunia. Pada pemeriksaan uterus
membesar simetris dan jarang membesar lebih dari 12 cm, nyeri tekan terutama saat
menjelang menstruasi.
VI. 2. 3. Tatalaksana
Terapi medis mencakup terapi progestin mis noretisterone 10-20 mg/hari, Danazol
200-400 mg/hari atau gonadotropin analog seperti buserelin atau goserelin. Semua terapi
hormonal ditujakn untuk menekan menstruasi namun perlu dipertimbangkan efek
sampingnya sehingga tidak boleh dipakai lebih dari beberapa bulan. Histerektomi abdominal
merupakan terapi pilihan dan mungkin saja hanya berupa reseksi bagian-bagian yang terkena.

VI. 3. Endometriosis
VI. 3. 1. Definisi
Endometriosis adalah adanya endometrium di luar uterus. Jaringan ini berespon terhadap
siklus hormon yang terjadi pada tubuh. Penyakit ini sering terjadi pada wanita usia 30-45
tahun dan cenderung mengurang saat menopause. Paling banyak terjadi pada wanita yang
tidak memiliki anak, kondisi kehamilan akan menghambat pertumbuhannya.
Vi. 3. 2. Patofisiologi
Deposit endometriosis mengandung kelenjar dan stroma endometrium. Jaringan ini berdarah
saat siklus hormon dan tidak ada jalan keluar sehingga membentuk kista, terjadi infiltrasi ke
area sekitarnya. Bila kista tersebut pecah, yang bisa berukuran seujung jarum hingga cukup
besar (disebut kista coklat) maka dapat menimbulkan adhesi hebat.
Teori penyebab timbulnya endometriosis belum jelas, ada beberapa hipotesis:
1.Aliran retrograde sel endometrium saat menstruasi melewati tuba fallopii ke kavum
peritonei.
2. Embolisasi melalui aliran darah atau limfe
3. metaplasia pulau-pulau epitelium coelomic totipotential
4. Perubahan imunologis jaringan endometrium
Mungkin penyebab bisa merupakan gabungan antara teori 1 dan 4.
Lokasi endometriosis terbanyak adalah di pelvis terutama ovarium, dan sangat jarang
terjadi di pleura, umbilicus, luka parut SC, diafragma, tangan, paha atau ginjal. Klasifikasi
endometriosis dibedakan menjadi berat hingga ringan, tergantung dari luasnya keterlibatan
dan tingkat respon terhadap terapi.
Gejala utama endometriosis adalah nyeri, infertilitas, gangguan menstruasi,
hematuria, disuria, obstruksi intestinal, nyeri BAB, ruptur kista coklat yang menimbulkan
gejala akut abdomen.
Keluhan nyeri ada tiga jenis yaitu saat awal menstruasi (karena congestive dysmenorrhoea),
tengah siklus (karena ovulasi), nyeri di pelvis belakang dan saat koitus.
Pada pemeriksaan biasanya uterus retroversi dan membesar, ovarium nyeri tekan terikat di
belakangnya. Deposit di ligamentum uterosakral mungkin teraba sebagai nodul nyeri.
Laparoskopi sangat penting untuk menegakkan diagnosis.
Vi. 3. .3. Tatalaksana
Terapi cenderung konservatif karena gejala muncul di usia reproduktif, tidak menjadi
ganas dan menghilang saat menopause. Kajian sistematik terapi nyeri pada endometriosis
memunculkan pemakaian NSAIDs sebagai terapi pilihan pertama. Terapi hormon banyak
dipakai, yang paling sering dipakai adalah Danazol yang menghambat sekresi pituitary
gonadotropin. Dosis awal 200 mg terbagi dinaikkan sampai 600 mg terbagi. Terapi diberikan
6 bulan. Progesteron dalam bentuk norethisterone dimulai hari menstruasi ke 5 dengan dosis
10mg per hari dan meningkat hingga 40mg per hari. Atau diberikan Medroxyprogesterone
acetate (10–30mg perhari), dapat menekan menstruasi diberikan 6 bulan. Bila ada perdarahan
lucutan maka dosis harus dinaikkan. Pilihan lain adalah agen sintetik gonadotrophin
releasinghormone (GnRH) dan agonist nya. Terapi diberikan 3-6 bulan.
Operasi untuk lesi kecil dengan laparoskopi, diatermi atau laser. Laparotomi
diindikasikan untuk massa lebih dari 5 cm, ada ruptur kista, obstruksi intestinal. Pada kasus
berat dan wanita sudah tidak ingin anak maka dapat dilakukan histerektomi dengan bilateral
salpingo-oophorectomy.

Vi. 4. Massa adneks


Vi. 4. 1. Definisi
Mencakup berbagai kondisi yang berasal dari organ ginekologi ataupun bukan, dapat
bersifat jinak atau ganas. Pemeriksaan terhadap massa adneks harus dilakukan dengan
seksama melihat anamnesis dan pemeriksaan fisik juga petunjuk kunci lainnya seperti
laporatorium dan radiografik yang diperlukan. Gejala umum kanker ovarium adalah nyeri
pelvik atau abdomen, ukuran abdomen membesar, kembung, inkontinensia urine, mudah
kenyang, tidak nafsu makan dan berat badan turun. Gejala ini dapat berlangsung bertahun-
tahun, hilang timbul tanpa mengetahui penyebab utamanya. Ultrasonogravi transvaginal
merupakan pemeriksaan standard massa adneks. Kita mencurigai malignansi bila massa
padat, ada septa tebal (lebih dari 2-3 mm), bilateral, aliran Doppler ke bagian padat dan
adanya asites. Dokter umum dapat menatalaksana massa adneks jinak, tetapi pada perempuan
prapubertas atau postmenopause perlu dirujuk ke spesialis ginekologi onkologi untuk
pemeriksaan lanjut. Semua perempuan harus dirujuk bila ada bukti metastase penyakit, asites,
massa komples dan massa lebih dari 10 cm atau massa yang menetap lebih dari 12 minggu.

X. Daftar pustaka

Schwartz PE, Kelly MG. Malignant transformation of myomas: myth or reality? Obstet
Gynecol Clin North Am. 2006;33:183–98,xii.

Myers ER, Barber MD, Gustilo-Ashby T, Couchman G, Matcher DB, McCrory DC.
Management of leiomyomata: what do we really know?. Obstet Gynecol. 2002;100:8–17.

Rackow BW, Arici A. Options for medical treatment of myomas. Obstet Gynecol Clin North
Am. 2006;33:97–113

Lefebvre G, Vilos G, Allaire C, Jeffrey J, Arneja J, Birch C, et al., for the Clinical Practice
Gynaecology Committee, Society for Obstetricians and Gynaecologists of Canada. The
management of uterine leiomyomas. J Obstet Gynaecol Can. 2003;25:396–418.

Matchar DB, Myers ER, Barber MW, Couchman GM, Datta S, Gray RN, et al. Management
of uterine fibroids. Evidence Report No. 34. Rockville, Md.: Agency for Healthcare Research
and Quality, 2001.

Farrell SA, Kieser K. Sexuality after hysterectomy. Obstet Gynecol. 2000;956 pt 21045–51.

American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG practice bulletin. Surgical


alternatives to hysterectomy in the management of leiomyomas. Number 16, May 2000. Int J
Gynaecol Obstet. 2001;73:285–93
Marshburn PB, Matthews ML, Hurst BS. Uterine artery embolization as a treatment option
for uterine myomas. Obstet Gynecol Clin North Am. 2006;33:125–44

Rackow BW, Arici A. Options for medical treatment of myomas. Obstet Gynecol Clin North
Am. 2006;33:97–113.

SOGC guidelines The management of uterine leiomyomas No. 128, May 2003

Brown J, Pan A, Hart RJ. Gonadotrophin-releasing hormone analogues for pain associated
with endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 2010;(12):CD008475.

Selak V, Farquhar C, Prentice A, Singla A. Danazol for pelvic pain associated with
endometriosis Cochrane Database Syst Rev. 2007;(4):CD000068.

Allen C, Hopewell S, Prentice A, Gregory D. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs for pain


in women with endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 2009;(2):CD004753.

Davis L, Kennedy SS, Moore J, Prentice A. Modern combined oral contraceptives for pain
associated with endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 2007;(3):CD001019.

American College of Obstetricians and Gynecologists. Management of adnexal masses.


Obstet Gynecol. 2007:110(1):201–214

Im SS, Gordon AN, Buttin BM, et al. Validation of referral guidelines for women with pelvic
masses. Obstet Gynecol. 2005:105(1):35–41.

Anda mungkin juga menyukai