Anda di halaman 1dari 10

Bab 15

Kepemimpinan

Kemampuan memimpin (leadership) adalah keterampilan yang sangat diperlukan oleh setiap
manajer untuk dapat mengarah kan karyawan agar berkinerja secara optimal. Kegagalan manajer
membentuk teamwork akan memengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan.

Definisi Kepemimpinan

Menurut Stoner J.A., R.E. Freeman dan D.R. Gilbert Jr. (1995), leadership (kepemimpinan) adalah
proses mengarahkan dan memengaruhi anggota kelompok untuk menjalankan tugas. Menurut
Griffin (2004), pemimpin adalah individu yang mampu memengaruhi perilaku orang lain tanpa harus
mengandalkan kekerasan. Sedangkan pemimpin adalah orang yang menjalan kan kepemimpinan.

Ada keterkaitan erat antara kepemimpinan dan manajemen. Namun, ada pula perbedaannya.
Seperti telah dijelaskan bahwa pemimpin adalah orang yang menjalankan kepemimpinan,
sedangkan manajer orang yang menjalankan proses manajemen Namun, seseorang manajer belum
tentu bisa menjadi pemimpin, serta sebaliknya bahwa seorang pemimpin belum tentu memegang
jabatan sebagai manajer. Idealnya, seorang manajer juga mampu menjadi pemimpin. Seorang
manajer yang tidak mampu menjadi pemimpin, dapat dikategorikan sebagai manajer yang kurang
baik.

Kekuasaan

Pemimpin memiliki keterkaitan dengan kekuasaan. Menurut Griffin (2004), kekuasaan (power)
adalah kemampuan memengaruhi orang lain. Sedangkan menurut Schermerhorn, J.R. (1996),
kekuasaan adalah kemampuan untuk mendapatkan orang lain untuk bersedia melakukan sesuatu
yang diinginkan. Seorang pelatih memiliki kuasa untuk membangku-cadangkan pemain sepakbola.
Seorang manajer memiliki wewenang untuk memberi penilaian kinerja kepada karyawan. Seorang
pemegang saham mayoritas berwenang mengganti direksi. Seorang pimpinan perampok disegani
anak buahnya, serta mampu mengeluarkan anak buah dari jaringan perampok yang dipimpinnya.
Tanpa kekuasaan, seorang pimpinan akan menjadi "macan ompong". Menurut Griffin (2004)
terdapat lima jenis kekuasaan, yaitu:

1. Legitimate power (kekuasaan yang terlegitimasi atau sah) Legitimate power adalah
kekuasaan yang diperoleh sebagai konsekuensi hierarki dalam organisasi. Seseorang yang
me miliki jabatan sebagai manajer berwenang memberi target, mendelegasikan pekerjaan,
menilai kinerja, dan memberi peringatan kalau karyawan tidak menjalankan tugas
sebagaimana mestinya. Namun, menurut Griffin (2004), seseorang yang memiliki legitimate
power berupa wewenang belum tentu mampu menjalankan kepemimpinan dengan baik
Seorang manajer yang tidak mampu memotivasi dan tidak mampu memengaruhi karyawan
agar menunjukkan kinerja secara sukarela disebut sebagai manajer yang tidak atau kurang
menjalankan kepemimpinannya.

2. Reward Power (Kekuasaan Balas Jasa)

Reward power adalah kekuasaan untuk memberikan atau menunda balas jasa. Balas jasa
yang dimaksud dapat berupa gaji, bonus, rekomendasi promosi, pujian, pengakuan, dan
penugasan yang menarik. Jika bawahan hanya menghargai manajer atas balas jasa formal
(misal gaji), manajer senior belum menjadi pemimpin. Namun, kalau bawahan
mendambakan penghargaan informal dari manajer (misalnya pujian) manajer tersebut telah
menjadi pemimpin bagi anak buahnya.

3. Coercive power (Kekuasaan Paksaan)


Coercive power adalah kekuasaan untuk memaksakan kepada Tuhan dengan memakai
ancaman psikologis, emosional atau fisik. Pada zaman dahulu, paksaan fisik dalam organisasi
relatif lazim dilakukan. Namun, pada saat ini ancaman fisik akan bertentangan dengan
prinsip hukum dan etika bisnis. Pada saat ini, paksaan lebih terbatas pada peringatan verbal
(lisan), peringatan tertulis, demosi dan PHK (pemutusan hu hubungan kerja).

4. Referent Power (Kekuasaan Referen)


Referent power bersifat abstrak. Referent power merupakan kekuasaan yang diperoleh dari
karisma, keteladanan, sikap dan kepribadian dari pemimpin

5. Expert Power (Kekuasaan Ahli)


Expert Power merupakan kekuasaan karena informasi maupun keahlian. Semakin sedikit
orang yang memiliki informasi berharga, semakin besar expert power yang dimiliki. Selain
itu, seseorang akan memiliki expert power semakin tinggi kalau ia memiliki keahlian langka
dan semakin dibutuhkan.

Studi Sifat Kepemimpinan

Beberapa ahli psikologi (psychologist) dan peneliti berupaya mengidentifikasi karakteristik personal
dari pemimpin. Pendekatan ini berasumsi bahwa pemimpin memiliki sifat kepribadian yang
merupakan pembawaan sejak lahir.

1. Leaders dan Non-Leaders


Sebagian besar penelitian terhadap sifat pemimpin berke simpulan bahwa pemimpin
merupakan sosok yang cerdas, ekstrover, dan percaya diri. Hasil kajian juga menunjukkan
bahwa pemimpin biasanya sosok yang tinggi. Namun, Abraham Lincoln dikenal sebagai
sosok yang moody dan introver Selain itu, Napoleon juga berbadan pendek. Oleh karena itu,
sebagian kalangan kurang setuju dengan hasil kajian para peneliti yang berbasis sifat.

2. Effective dan Non-Effective Leaders


Studi yang dilakukan untuk membedakan antara pemimpin yang efektif dan tidak efektif
menemukan bahwa inteligensia, inisiatif, self assurance, dan kemampuan mensupervisi
memiliki keterkaitan dengan kinerja manajer. Semakin tinggi intelegensi, inisiatif, self
assurance, dan kemampuan mensupervisi seorang manajer, semakin mampu manajer
tersebut semakin menjadi pemimpin yang efektif.
Studi Perilaku Kepemimpinan

Setelah diyakini bahwa pemimpin yang efektif tidak ditentukan oleh sifat tertentu, para peneliti
mengalihkan perhatian untuk mengkaji karakteristik perilaku (behaviors) dari para pemimpin yang
efektif. Para peneliti memfokuskan pada dua aspek perilaku kepemimpinan, yaitu fungsi
kepemimpinan dan gaya kepemimpinan

Para peneliti yang mencoba mengeksplorasi fungsi kepemimpinan menyimpulkan bahwa ada
dua fungsi yang harus dimiliki seorang untuk bisa menjalankan kepemimpinan kelompok secara
efektif, yaitu:

⮚ Task-related (fungsi tugas) atau problem-solving function (fungsi pemecahan masalah).

⮚ Group-maintenance (fungsi pemeliharaan kelompok) atau social function (fungsi sosial),


termasuk di antaranya melakukan mediasi (menjadi mediator).

Apabila kedua fungsi tersebut bisa dijalankan dengan baik oleh seseorang, orang tersebut akan
menjadi pemimpin yang efektif.

Sedangkan pendekatan gaya kepemimpinan membedakan dua gaya kepemimpinan, yaitu:

⮚ Task-oriented Style (gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas)

⮚ Employee-oriented style (gaya kepemimpinan berorientasi pada karyawan)

Beberapa studi dilakukan terkait dengan pendekatan perilaku, yang di antaranya adalah studi
Michigan, studi Ohio State, dan Managerial Grid.

1. Studi Michigan

Pada tahun 1940-an, Reasis Likert memimpin penelitian mengenai kepemimpinan dengan payung
lembaganya adalah University of Michigan. Likert, dkk melakukan wawancara dengan para pimpinan
(leader) dan pengikut (follower). Hasil penelitian Michigan menyatakan bahwa terdapat 2 bentuk
dasar perilaku pemimpin, yaitu:

a. Job-centered leader behavior (perilaku yang berpusat pada pekerjaan). Perilaku pemimpin
jenis ini memberikan per hatian lebih pada pekerjaan karyawan, prosedur pekerjaan, dan
sangat tertarik terhadap kinerja.
b. Employee-centered leader behavior (perilaku yang berpusat pada karyawan). Perilaku
pemimpin jenis ini memberikan perhatian lebih pada membangun tim yang kompak, dan
memastikan bahwa kepuasan karyawan, di mana kepedulian utamanya adalah
kesejahteraan karyawan.

Kedua bentuk dasar perilaku tersebut diletakkan oleh Likert pada dua sisi yang ekstrem. Namun,
dalam kenyataannya terdapat pemimpin yang memperhatikan kedua-duanya, baik pekerjaan
maupun kesejahteraan karyawan. Likert sendiri merekomendasikan bahwa perilaku yang berpusat
pada karyawan secara umum lebih efektif.
2. Studi Ohio State

Pada waktu yang hampir sama dengan Studi Michigan, peneliti dari Ohio State juga melakukan
penelitian mengenai kepemimpinan. Namun, studi Ohio State menggunakan metode survei dengan
alat bantu kuesioner. Hasil riset menyatakan bahwa ter dapat dua perilaku atau gaya kepemimpinan
dasar, yaitu:

a. Initiating-structure behavior (berorientasi pada struktur). Tipe pemimpin ini akan mencoba
mendefinisikan secara jelas peran pemimpin dan karyawan sehingga masing-masing
memahami, serta membentuk komunikasi formal.
b. Consideration behavior (perilaku perhatian atau berorientasi pada karyawan) Tipe pemimpin
ini lebih memperlihatkan kepedulian terhadap karyawan, serta berupaya menciptakan
suasana kerja yang ramah dan kondusif.
Studi Ohio State memiliki kemiripan dengan studi Michigan. Perbedaannya, Studi Ohio
memandang bahwa dua gaya kepemimpinan bersifat independen, sedangkan Studi Michigan
memandang dua perilaku dasar tersebut bersifat kecenderungan mengarah pada satu di
antara dua bentuk perilaku yang bersifat ekstrem.
Hasil studi International Harvester Co. menunjukkan pimpinan beserta karyawan bertipe
initiating-structure behavior memiliki kinerja tinggi, namun tingkat kepuasan kerja relatif
lebih rendah dan tingkat absensi relatif lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya, pada
consideration behavior, kinerjanya cenderung lebih rendah, namun tingkat kepuasan kerja
cenderung lebih tinggi dan tingkat absensi cenderung lebih rendah.
c. Peta manajerial (managerial grid)
Managerial grid dikembangkan oleh Robert Blake Jan Jane Mouton untuk mengevaluasi
gaya kepemimpinan dan cara melatih manajer agar mengarah pada gaya perilaku yang ideal.
Terdapat 2 variabel dalam managerial grid yang dapat dijadikan acuan, yaitu: kepedulian
pada produksi dan kepedulian pada orang, di mana yang ideal adalah pimpinan yang tinggi
skornya pada kedua variabel tersebut.

Gambar 15.1. Managerial Grid

Sumber: Stoner J.A., R.E. Freeman dan D.R. Gilbert Jr. (1995)
Studi kepemimpinan Pendekatan Situasional

Pendekatan situasional berpendapat bahwa perilaku pemimpin yang tepat adalah bervariasi
tergantung situasi yang dihadapi. Teori kepemimpinan situasional fokus pada beberapa faktor, an
tara lain: (1) tuntutan tugas (task requirement), (2) harapan dan perilaku rekan kerja (peers’
expectation and behavior), (3) karakteristik, harapan, dan perilaku karyawan, serta (4) budaya dan
kebijakan, organisasi.

1. Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard: situational leadership model

Model kepemimpinan situasional dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kenneth H Blanchard. Hersey
dan Blanchard memper hitungkan "kesiapan" (readiness) dari karyawan, di mana kesiapan tersebut
meliputi: hasrat berprestasi, kesediaan menerima tanggung jawab, kemampuan, dan pengalaman.
Hersey dan Blanchard membagi dalam 4 fase, yaitu:

a. High task dan low relationship


b. High task dan high relationship
c. Low task dan relationship
d. Low task dan low relationship

Berikut rekomendasi kepemimpinan dari Harsey dan Blanchard dalam Schermerhorn, J.R. (1996):

⮚ Apabila karyawan mampu (able) dan mau (willing) atau percaya diri (confident), pemimpin
tidak perlu banyak mengintervensi. Kepemimpinan yang cocok untuk situasi ini adalah
kepemimpinan delegatif.
⮚ Apabila karyawan mampu (able) tetapi tidak mau (unwilling) atau merasa tidak aman
(unsecure), pemimpin perlu memberikan dukungan. Kepemimpinan yang cocok untuk situasi
ini adalah kepemimpinan fasilitatif.
⮚ Apabila karyawan tidak mampu (unable) tetapi mau (willing), pemimpin cenderung bersifat
high task orientation untuk menutupi kelemahan kemampuan karyawan dan high
relationship orientation agar karyawan mengikuti harapan pemimpin. Kepemimpinan yang
cocok untuk situasi ini adalah kepemimpinan selling (menjual) atau konsultatif.
⮚ Apabila karyawan tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling), pemimpin perlu
memberikan arahan yang spesifik dan jelas. Kepemimpinan yang cocok untuk situasi ini
adalah kepemimpinan telling atau otoritatif.

2.Model Fiedler (LPC)

Fred Fiedler mengembangkan teori LPC (least referred coworker) yang merupakan teori
kepemimpinan situasional pertama. Fiedler mencoba mengukur gaya kepemimpinan memakai
kuesioner LPC yang merupakan ukuran ketidaksukaan rekan kerja. Contohnya adalah sebagai
berikut:

Tabel 15.1. Contoh Kuesioner LPC

Menurut Fiedler, skor yang semakin tinggi mencerminkan pemimpin yang berorientasi pada
hubungan. Sedangkan, semakin rendah skornya mencerminkan pemimpin yang berorientasi pada
tugas. Namun, sejumlah peneliti mempertanyakan validitas teori LPC. Para peneliti tersebut
mempertanyakan apakah skor LPC merupakan indeks perilaku, indeks kepribadian atau indeks faktor
lain.

Menurut Fiedler, perilaku yang tepat bagi pemimpin bervariasi sesuai situasi yang dihadapi.
Menurut Fiedler, faktor situasional terpenting adalah daya tarik situasi yang ditentukan oleh relasi
pemimpin-anggota (leader-member relations), struktur tugas (task structure), dan kekuasaan jabatan
(position power). Menurut Fiedler, pemimpin yang berorientasi pada tugas adalah pemimpin yang
paling efektif. Namun, dalam situasi daya tarik moderat. pemimpin yang berorientasi pada hubungan
diperkira kan yang paling efektif

3.Teori Path-Goal

Teori jalur tujuan (path-goal) dikembangkan oleh Martin G. Evany dan Robert J. House Teori ini
berbasis teori motivasi harapan atau expectancy theory. Menurut teori in fungsi utama pemimpin
adalah menyediakan balas jasa yang diinginkan lingkungan serta menjelaskan kepada karyawan
mengenai perilaku yang akan mengarah pada pencapaian tujuan dan penerimaan balas jasa, yaitu
pemimpin harus mengklarifikasi rute atau jalur ke arah pencapaian tujuan. Berbeda dari teori
Fiedler, teori path-goal yang mengasumsikan bahwa pemimpin bisa mengubah gaya atau perilaku
agar sesuai dengan tuntutan situasi.

Teori Neocharismatic

Studi kepemimpinan terakhir disebut teori neocharismatic. Teoti neocharismatic menerangkan


mengenai simbol, daya tarik emosional, dan komitmen pengikut (follower) yang luar biasa (extra
ordinary).

1. Kepemimpinan karismatik

Menurut teori kepemimpinan karismatik, para pengikut mengaitkan kemampuan kepemimpinan


yang heroik atau extra ordinary setelah mereka melihat perilaku tertentu. Dalam teori ini
diperbandingkan antara pemimpin yang karismatik dan nonkarismatik. Beberapa studi menjelaskan
karakteristik kepemimpinan karismatik sebagai berikut:

❖ Vision and articulation. Pemimpin karismatik memiliki visi, yaitu tujuan ideal, dan mampu
menjelaskan visi ter sebut.
❖ Personal risk, di mana pemimpin karismatik berani mengambil risiko pribadi untuk mencapai
visi
❖ Environmental sensitivity, Pemimpin karismatik memiliki kepekaan terhadap lingkungan, di
mana mampu melaku kan perhitungan realitis mengenai hambatan dari ling kungan dan
kebutuhan sumber daya untuk mengupaya kan perubahan.
❖ Sensitivity to follower needs. Pemimpin karismatik mencoba memandang dari perspektif
orang lain (tidak hanya perspektif diri sendiri), serta responsif terhadap kebutuhan dan
perasaan orang lain.
❖ Unconventional behavior. Pemimpin karismatik menunjukkan perilaku di luar kebiasaan dan
sering kkalial. berani menentang norma yang mengakar dalam masyarakat.

2. Kepemimpinan transformasi
Studi Ohio State, model Fiedler's teori path-goal dan model kepemimpinan partisipasi memberi
perhatian kepada transactional leaders atau pemimpin transaksional. Dalam kepemimpinan
transaksional, pemimpin memberikan motivasi pengikut dan mengarahkan penetapan tujuan
melalui aturan main yang jelas. Namun, terdapat tipe kepemimpinan lain, yaitu kepemimpinan
transformasional. Dalam kepemimpinan transformasi, pemimpin menyediakan perhatian individu,
rangsangan intelektual serta pemimpin tersebut memiliki karisma

Tabel 15.2. Pemimpin Transaksional dan Pemimpin Transformasional

Sumber: Stoner J.A., R.E. Freeman dan D.R Gilbert Jr. (1995).

3. Kepemimpinan visioner

Adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh seseorang yang mempunyai kemampuan untuk
mengreasikan dan mengarti kulasi visi organisasi di masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik.

Isu Kontemporer Kepemimpinan

Terdapat beberapa isu kepemimpinan yang mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan pada
saat ini, yang antara lain adalah: emotional intelligence, team leadership, moral leadership, dan
cross-cultural leadership.

1. Emotional intelligence dan kepemimpinan

Beberapa studi menunjukkan bahwa emotional intelligence (EI) lebih mampu memprediksi siapa
yang akan muncul menjadi pemimpin dibandingkan IQ. Dalam penelitian sifat kepemimpinan
dikatakan bahwa pemimpin memerlukan basic intelligence dan pengetahuan yang relevan dengan
pekerjaan. Namun, IQ dan kemampuan teknis belumlah cukup. Dalam El, terdapat 5 komponen
kunci, yaitu:

a. Self awareness (kepedulian diri sendiri), antara lain: kepercayaan diri, pengukuran diri
sendiri (self assessment). Dan menghibur diri sendiri.
b. Self management (mengelola diri sendiri), antara lain: integritas, kenyamanan terhadap
ketidakjelasan dan keter bukaan terhadap perubahan.
c. Self motivation (memotivasi diri sendiri), antara lain: dorongan kuat berprestasi, optimisme,
dan komitmen tinggi.
d. Emphaty (empati), meliputi kemampuan membangun dan mempertahankan orang yang
berbakat, sensitivitas pada multi budaya dan melayani rekan serta konsumen.
e. Social skills (kemampuan sosial), yaitu kemampuan memimpin perubahan, persuasif, dan
membangun tim.

2. Team leadership

Dalam studi terhadap 20 organisasi ditemukan bahwa tanggung jawab pemimpin antara lain:
melatih (coaching), memfasilitasi. menangani masalah kedisiplinan, meninjau kinerja individu/ tim,
trainning, dan komunikasi. Menurut Stephens Robbins (2001) terdapat 4 peranan pimpinan, yaitu:

a. Liasons with external consitiencies, yaitu menjadi penghubung dengan pihak eksternal
b. Troubleshooters, yaitu sebagai penyelesai masalah.
c. Conflict managers, yaitu sebagai pengendali atau pengelola konflik.
d. Coaches, yaitu menjadi pelatih.

3. Moral leadership

Perhatian terhadap aspek moral dari pemimpin juga menjadi sorotan berbagai kalangan. Gerald
Chamales, President of Omni Computer Products, dapat dijadikan salah satu teladan. Chamales
mempekerjakan orang-orang yang kecanduan cbat dan mengadakan program pemulihan (recovery).
Chamales menyediakan mentor yang bertugas membimbing karyawan baru mengenai budaya
perusahaan. Chamales memandang bahwa upaya pemulihan karyawan baru tersebut sebagai
investasi jangka panjang dan ternyata Chamales berhasil membangun perusahaannya.

4. Cross-cultural leadership

Kepemimpinan yang tidak hanya menjalankan fungsinya pada satu gaya untuk menjadi seorang
pemimpin efektif. Dengan demikian, seorang pemimpin harus mampu menyesuaikan gaya
kepemimpinan sesuai dengan situasi yang dihadapi yang pada saat situasi dunia kerja cenderung
bersifat lintas budaya atau cross-cultural, bukan budaya yang homogen.

Kepercayaan dan Kepemimpinan

Pada saat ini isu kepercayaan semakin disorot dalam organisasi. Menurut Stephen Robbins (2001),
kepercayaan (trust) merupa kan harapan positif bahwa orang lain tidak akan bertindak oportunis,
baik dalam pernyataan, tindakan atau keputusan. Dalam hal ini oportunis dipersepsikan sebagai
sesuatu yang negatif, yaitu mengambil keuntungan secara sepihak.

Kepercayaan memiliki lima dimensi, yaitu: integritas (integrity), kompetensi (competence),


konsistensi (consistency), keter bukaan (openess), dan loyalitas (loyality).

1.Integritas adalah terkait kejujuran dan bisa dipercaya. Ada yang mengatakan integritas sebagai

kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Integritas dalam kepercayaan menjadi dimensi yang

paling kritis atau menentukan.

2. Kompetensi adalah pengetahuan dan keterampilan, baik yang bersifat teknis maupun
antarpribadi. 3. Konsistensi merupakan reliability (dapat diandalkan), predictability (dapat
diprediksi), dan good

judgement (keputusan yang baik) dalam menangani situasi.

4. Loyalitas terkait dengan kesediaan memproteksi dan mengamankan posisi orang lain.

5. Keterbukaan terkait dengan intensitas sharing informasi dan opini

Pada prinsipnya, kepercayaan merupakan fondasi dari kepemimpinan Ada tiga tipe kepercayaan,
yaitu

1. Deterrence-based trust (kepercayaan berbasis pencegahan)— kepercayaan yang


berdasarkan rasa takut untuk dibalas apa bila kepercayaan orang lain dikhianati
orang tersebut. Jenis kepercayaan ini paling mudah rusak apabila terdapat pihak
yang berkhianat atau tidak konsisten. Deterrence-based trust alan berfungsi dengan
baik apabila terdapat mekanisme pemberian sanksi yang jelas dan tegas bagi yang
melanggar kepercayaan.
2. Knowledge-based trust (kepercayaan berbasis pengetahu an)-kepercayaan yang
dibentuk berdasarkan seberapa jauh tingkah laku seseorang dapat diprediksi sebagai
hasil inter aksi di masa lalu. Kepercayaan dalam sebagian besar organi sasi berakar
pada kepercayaas, jenis ini.
3. Identification-based trust (kepercayaan berbasis identika si)-kepercayaan yang
berdasarkan pemahaman bersama terhadap maksud atau tujuan masing-masing,
serta apresiasi terhadap keinginan dan hasrat orang lain. Kepercayaan jenis ini
dikatakan sebagai kepercayaan level textinggi yang diben tuk dari suatu hubungan
emosional. Kontrol dalam keper cayaan jenis ini adalah paling minimal dibanding
jenis ke percayaan lainnya. Contoh dari jenis kepercayaan ini adalah kepercayaan
sepasang suami istri yang berbahagia dengan usia perkawinan sudah lama.

Anda mungkin juga menyukai