Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QUR’AN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembelajaran


Matematika SMP/MTs
Dosen Pengampu:

Sumiati, S.Pd.I

Disusun oleh:

Dea Permita Sari 2311050023

Ita Dwi Lestari 2311050055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirarahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan berkah yang nikmatnya tiada tara,sholawat serta salam
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Atas izinNya-lah kami dapat menyusun makalah ini “Pengantar Studi Al-
Qur’an dan Al-Hadist” yang InsyaAllah selesai tepat pada waktunya.

Dengan tulus kami mengucapkan Terima Kasih kepada Ibu Sumiati, S.Pd.I
yang telah memberikan kami amanah dan kesempatan untuk menyelesaikan tugas
kami ini,serta kepada kawan-kawan dan pihak-pihak yang sudah menghadirkan
dirinya untuk membantu dan melancarkan pengerjaan tugas ini,semoga Allah
SWT memberikan balasan dan imbalan yang lebih baik untuk kedepannya.

Kami menyadari bahwa kekurangan kami masihlah banyak maupun ilmu


kami yang masih terbatas,maka dari itu kami dengan lapang hati dan sadar diri
untuk menerima kritik dan saran yang dapat memberikan pemahaman baru bagi
kami umtuk mengembangkan diri lebih baik lagi kedepannya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bandar Lampung, 26 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2
A. Sejarah Turunnya Al-Qur’an.....................................................................2
B. Sejarah Penulisan Al-Qur’an.....................................................................6
BAB III PENUTUP.............................................................................................18
A. Kesimpulan................................................................................................18
B. Saran..........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an merupakan suatu pedoman hidup bagi umat muslim di
muka bumi ini. Oleh karena itu, umat muslim diwajibkan
mengikuti peraturan-peraturan yang ada di dalamnya. Dan Al-Qur’an
itu memiliki sejarah yang menakjubkan, dan proses penulisannya itu
sangatlah sulit dirasakan oleh para sahabat. Dengan jerih payah merekalah
Al-Qur’an itu tetap ada di muka bumi ini. Dan penulis pun ingin
mengingatkan kembali kepada kita semua sejarah yang berharga itu
dengan membuat makalah yang sederhana namun bermanfaat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari al-Qur’an?
2. Bagaimanakah sejarah turunnya Al-Qur’an itu?
3. Bagaimanakah proses turunnya Al-Qur’an itu?
4. Bagaimanakah sejarah penulisan Al-Qur,an itu pada zaman nabi
Muhammad SAW?
5. Bagaimanakah sejarah penulissan Al-Qur’an itu pada zaman
Khulafaur Rasyidin?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian al-Qur’an
2. Untuk mengetahui sejarah turunnya Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui proses turunnya Al-Qur’an
4. Untuk mengetahui sejarah penulisan Al-Qur’an pada zaman Nabi
Muhammad SAW
5. Untuk mengetahui sejarah penulisan Al-Qur’an pada zaman
Khulafaur Rasyidin

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN


A. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis lafadz al-Qur'an berasal dari fi'il Qara`a yang
mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu
ucapan yang tersusun rapih.. Sedangkan al- Qur'an pada dasarnya seperti
bacaan sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

١٧ ‫ِاَّن َع َلۡي َنا َج ۡم َع ٗه َو ُقۡر ٰا َنۚٗه‬


١٨ۚ ‫َفِاَذ ا َقَر ۡا ٰن ُه َفاَّتِبۡع ُقۡر ٰا َنٗه‬

“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di


dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu” (QS. Al-Qiyamah
[75]: 17-18).1
Dalam menerangkan pengertian al-Qur'an secara terminologis,
Manna' al-Qattan memberikan batasan tertentu sebagai gambaran yang
dimaksud yaitu adanya al-Qur'an tersebut adalah dapat disaksikan dengan
indera manusia, terdeskripsikan dalam pengertian 'tertulis dalam mushaf
dan atau dapat terbaca dengan lisan. Dari batasan inilah kemudian bisa
dipahami berbagai pengertian yang diuraikan oleh ulama.
a) Tujuan Kehadiran dan Turunnya al-Qur’an
Beberapa kali dinyatakan di dalamnya bahwa Al-Qur’an ada
sebagai pedoman untuk kebaikan seluruh alam Al-Qur'an merupakan kitab
suci yang ajarannya tidak hanya ditujukan untuk manusia, melainkan
mencakup makhluk yang lain juga, yaitu jin. la datang sebagai penawar
1
Tim Humas.Pengertian Al-Qur’an, Nama-Nama Al-Qur’an dan Sifatnya.
https://an-nur.ac.id/pengertian-al-quran-nama-nama-al-quran-dan-sifatnya/#:~:text=Secara
%20etimologi%2C%20lafadz%20al%2DQur,suatu%20ucapan%20yang%20tersusun%20rapih.
Diakses pada 28 September 2023.

2
dan obat dari penyakit-penyakit dunia dan akhirat, solusi dari berbagai
persoalan hidup manusia. "Al-Qur'an menempuh berbagai cara guna
mengantar manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya.
Para ulama membagi sejarah turunnya al-Qur'an secara umum
dalam dua periode;
 Periode sebelum hijrah dimana pokok seruannya adalah ajakan
ketauhidan dan akhlak terpuji
 Periode setelah hijrah, yaitu ketika masyarakat Muslim di Madinah telah
sampai pada keimanan yang cukup kuat namun muncul permasalahan
baru antara lain etika berhubungan dengan Ahl al-Kitab dan tentang
hukum-hukum praktis.

Berdasarkan hal tersebut, M. Quraish. Shihab menyimpulkan


bahwa tujuan pokok diturunkannya al- Qur'an adalah petunjuk aqidah dan
kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam
keimanan dan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari
pembalasan, petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh
manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif, petunjuk
mengenai syari'at dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar
hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan dan sesamanya. Dengan kata lain yang lebih singkat, al-Qur'an
adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat

Di lain kesempatan, Quraish Shihab pun kembali menguraikan


tujuan kehadiran al-Qur'an yang menurutnya bersifat terpadu dan
menyeluruh, bukan sekedar mewajibkan pendekatan religious yang
bersifat ritual dan mistis yang dapat memicu formalitas beku dan
kesengsaraan. Sehingga menurut Quraish Shihab juga, tujuan al-Qur'an
yang sering kita peringati nuzul-nya adalah untuk membersihkan akal dan
mensucikan jiwa dari segala bentuk kesyirikan serta memantapkan
keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam

3
Keyakinan yang tidak semata- mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi
falsafah hidup dan kehidupan bagi umat manusia.2

1) Hikmah Diwahyukannya Al-Qur’an secara Berangsur-Angsur


Secara berangsur-angsur artinya, tidak secara utuh satu Al-Qur'an,
melainkan sedikit-sedikit. Dalam hal ini, ada wahyu turun yang
menyampaikan satu surah utuh, seperti surah Al-Fatihah (1) atau surah-
surah pendek lain, ada yang berupa beberapa ayat, seperti wahyu pertama
yang menurunkan ayat pertama sampai ayat kelima surah Iqra (96), dan
ada pula yang hanya merupakan bagian dari satu ayat, seperti wahyu
terakhir yang merupakan bagian dari ayat 3 surah Al-Maidah (5).
Adapun diantara hikmah diturunkannya al-Qur'an secara
berangsur-angsur adalah menguatkan hati Nabi saw. Hal ini dikarenakan
beliau menanggung amanah yang agung untuk berdakwah dan tidak jarang
beliau beserta kaumnya pada saat itu disakiti dan dizalimi oleh musuh
Islam. Hadimya al-Qur'an adalah untuk menengahi permasalahan tersebut,
diantaranya dengan menyebutkan bahwa Rasul terdahulu beserta para
pengikutnya mengalami hal yang serupa. Selain itu agar lebih mudah
dihapalkan, dipahami dan dilaksanakan oleh umat Orang-orang musyrik
yang telah menanyakan mengapa al-Qur'an tidak diturunkan sekaligus
sebagaimana tersebut dalam QS al-Furqan: 32, berbunyi:

ۛ ‫َو َقاَل اَّلِذ ْيَن َك َفُرْو ا َلْو اَل ُنِّز َل َع َلْيِه اْلُقْر ٰا ُن ُج ْم َلًة َّو اِح َد ًةۛ َك ٰذ ِلَك‬
32 ‫ِلُنَثِّبَت ِبٖه ُفَؤ اَدَك َو َر َّتْلٰن ُه َتْر ِتْياًل‬
Dan orang-orang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur'an itu tidak
diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh
hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil
(berangsur-angsur, perlahan dan benar)
Al-Quran diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu
mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9
Dzulhijjah Haji Wada' tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.

2
Suryadilaga, Alfatih.(2018). Pengantar Studi Al-Qur'an dan Hadits. Depok: KALIMEDIA.

4
Proses turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW adalah melalui
tiga tahapan, yaitu:
a) Pertama, Al-Quran turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh
yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dar
kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. Al-Burúj (85)
ayat 21-22:

‫َبۡل ُهَو ُقۡر ٰا ٌن َّم ِج ۡي ٌد‬


‫ِفۡى َلۡو ٍح َّم ۡح ُفۡو ٍظ‬
“Bahkan (yang didustakan itu) ialah Al-Qur'an yang mulia,yang
(tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuzh)” Q.S. Al-Burúj
(85) ayat 21-22:
b) Tahap kedua, Al-Quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu kebait al-
Izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses ini diisyaratkan Allah
dalam surat Al-Qadr [97] ayat 1:

‫ِاَّنٓا َاْنَز ْلٰن ُه ِفْي َلْيَلِة اْلَقْد ِر‬


“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada
malam qadar” Q.S. Al-Qadr [97] ayat 1
c) Tahap ketiga, Al-Quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi
dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan yang diisyaratkan
dalam Q.S. Asy-Syu’ara’ [26] ayat 193-195:

١٩٣ - ۙ ‫َنَز َل ِبِه الُّر ْو ُح اَاْلِم ْيُن‬


١٩٤ - ۙ ‫َع ٰل ى َقْلِبَك ِلَتُك ْو َن ِم َن اْلُم ْنِذ ِرْيَن‬
١٩٥- ۗ ‫ِبِلَس اٍن َع َر ِبٍّي ُّم ِبْيٍن‬
“Yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan, dengan
bahasa Arab yang jelas”. Q.S. Asy-Syu’ara’ [26] ayat 193-195.

5
B. SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN
A. Proses Pengumpulan Al-Qur’an
Di kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-Quran (Jam Al-
Quran) memiliki dua konotasi: Konotasi penghapalan Al-Quran dan
konotasi penulisannya secara keseluruhan.
1. Proses Penghapalan Al-Quran
Pengumpulan dengan cara menghafal dilakukan oleh Rasulullah
SAW dan para sahabat. Penghafalan ini sangat penting mengingat Al-
Quranul Karim diturunkan kepada Nabi yang ummi (tidak bisa membaca
dan menulis) yang diutus ditengah kaum yang juga ummi.
Kedatangan wahyu merupakan susuatu yang dirindukan Nabi. Oleh
karena itu, begitu wahyu datang, Nabi langsung menghapal dan
memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang yang paling pertama
menghapal Al-Qur’an. Tindakan Nabi itu sekaligus merupakan suri
teladan yang diikuti para sahabatnya. Imam Al-Bukhari mencatat sekitar
tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan Al-Qurannya.
Mereka adalah 'Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Mi'qal (maula'-nya Abu
Hudzaifah), Mu'adz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid
bin As-Sakan, dan Abu ad-Darda’.
Penyebutan para penghafal yang berjumlah tujuh atau delapan
orang di atas, tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam
kitab-kitab sejarah dan Sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba
menghafalkan al-quran dan mereka memerintahkan anak-anak dan
istri-istri mereka untuk menghafalkannya.Maksud dari penyebutan di
atas adalah bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi al-quran di
luar kepala, dan selalu merujukkan hafalannya di hadapan Rasulullah
SAW, isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedangkan para penghafal al-
quran lainnya –yang berjumlah banyak-tidak memenuhi hal-hal
tersebut, terutama karena para sahabat telah tersebar di pelbagai
wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah
sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh di
Bi‟ru Ma‟unahsemuanya disebut qurra‟, jumlahnya tujuh puluh

6
orang sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih. Menurut al-Qurtubi,
”ada tujuh puluh orang qari‟ yang terbunuh pada Perang Yamamah. Pada
masa Nabi, dalam pertempuran di Bi‟ru Ma‟unah, terbunuh
juga sebanyak itu3
2. Proses Penulisan Al-Qur’an
Sejarah penulisan Al-Qur’an ini terbagi menjadi tiga masa, antara lain
masa Nabi Muhammad SAW, masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan masa
Utsman bin Affan. Pada masa Utsman bin Affan yaitu di tahun 15 Hijriah
sempat terjadi perbedaan bacaan dalam Al-Qur'an.
Hal tersebut terjadi karena banyaknya lembaran mushaf yang saat itu
beredar. Sehingga kekhawatiran seperti perpecahan antara kaum muslimin
pun terasa langsung oleh para khalifah.
a) Pada Masa Nabi
Tahap pertama ini dimulai pada saat zaman Nabi Muhammad SAW
Pada masa ini masih sedikit orang yang bisa baca tulis karena keterbatasan
media tulis pula.Sehingga saat itu, siapa pun umat Islam yang telah
mendengarkan satu ayat, maka dia langsung menghafalkan atau
menuliskan ayat tersebut dengan media yang seadanya. Baik di tulang
belikat unta, pelepah kurma, potongan kulit, atau permukaan batu cadas.
Tidak heran kalau jumlah penghafal Al-Qur'an pada saat itu sangat
banyak. Di kalangan para sahabat sendiri, masih banyak penghafal Al-
Qur'an lainnya seperti Khulafaur Rasyidin, Salim bekas budak Abu
Hudzaifah, Mu’adz Bin Jabal, Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu, Abdullah
Ibn Mas’ud, dan Zaid Bin Tsabit. Pada kitab sahih Bukhari yang
diriwayatkan dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu'anhu bahwa Nabi
Muhammad SAW telah memberi gelar Jama'ah Quraa' kepada 70 orang
yang hafal Al-Qur'an. Namun, mereka dihadang lalu dibunuh oleh para
pengkhianat yang berasal dari suku Ri’il, Dzakwah, Ushayyah, dan
Lahyan. Mereka dijaminkan surga Allah SWT karena telah meninggal
dalam jihad.

3
Anwar, Rosihon M.Ag. (2017). ULUM AL-QURAN. Bandung: CV PUSTAKA SETIA

7
Penulisan Al-Quran dilakukan sesuai tertib (urutan) ayat sebagaimana
ditunjukkan Nabi SAW sesuai perintah Allah SWT. Jadi, tartibayat al-
quran adalah tauqifi(menurut ketentuan wahyu, bukan ijtihad). Artinya,
susunan ayat dan surah dalam al-quran sebagaimana terlihat sekarang
dalam mushaf-mushaf adalah sesuai dengan perintah dan wahyu dari
Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Malaikat Jibril AS bila
membawa sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi, ia berkata: “Hai
Muhammad! Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kepadamu untuk
menempatkannya pada urutan kesekian surat anu. Demikian pula halnya
Rasul memerintahkan kepada para sahabat, “Letakkanlah pada urutan
ini, setelah ayat yang berbunyi begini, sebelum ini.”Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW, jika turun
kepadanya satu surat, beliau memanggil para sebagian penulis wahyu.
Beliau berkata, “Letakkanlah surat ini di tempat yang disebut begini dan
begini” Proses penulisan al-quran seperti itu berlangsung terus
sampai Rasulullah SAW wafat. Ketika Rasulullah SAW wafat, al-
quran telah sempurna dihafal oleh para sahabat dan lengkap tertulis
di pelepah, kulit, kepingan batu, dan lain-lain. inilah masa awal
penulisan atau kodifikasi al-quran, yaitu terjadi pada zaman Nabi.
Secara singkat faktor yang mendorong penulisan Al-Qur‟an pada masa
Nabi adalah:1) Membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi
dan para sahabatnya; dan 2) Mempresentasikan wahyu dengan cara
yang paling sempurna. Hal ini karena hafalan para sahabat saja
tidak cukup. Dan sebagian dari mereka ada yang sudah
wafat.Adapun pada masa Nabi ini penulisan al-Qur‟an tidak ditulis
pada satu tempat melainkan terpisah-pisahdengan alasan: 1) Proses
penurunan Al-Qur‟an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat
yang turun belakangan menasakh ayat sebelumnya; dan 2) Penyusunan
ayat dan surat Al-Qur‟an tidak sesuai dengan turunnya.
‫عن أيب سعيد اخلدري أن رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال ال تكتبوا عين ومن كتب عين غري‬
‫القرآن فلميحه‬

8
Diceritakan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda
“Jangan kalian menulis (selain Al-Qur’an) dariku. Barang siapa yang
menulis dariku selain Al-Qur’an hendaknya ia menghapusnya” (HR
Muslim).
Karakteristik penulisan Al-quran pada masa Nabi adalah bahwa Al-
QURAN ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat yang
terpisah pisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alasan berikut.
1. Proses penurunan Al-quran masih berlanjut sehingga ada
kemungkinan ayat yang turun belakangan “menghapus” redaksi
dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu.
2. Menertibkan ayat dan surat-surat alquran tidak bertolak dari
kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat
dengan ayat lainnya, atau antara satu surat dengan surat yang lain .
Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan
ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih
dahulu
b) Pada Masa Khulafa’ Al-Rasyidin
1) Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Selanjutnya yaitu pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu
‘anhu. Ini terjadi pada tahun 12 Hijriyah. Adapun penyebabnya yaitu saat
perang Yamamah, banyak sekali dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh
seperti Salem bekas budak Abu Hudzaifah.Lalu Abu Bakar memberikan
perintah agar mengumpulkan Al-Qur'an supaya tidak hilang. Dalam kitab
sahih Bukhari juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab mengemukakan
pandangannya kepada Abu Bakar usai perang Yamamah terjadi. Abu
bakar tidak mau melakukan hal tersebut karena takut akan dosa. Namun,
Umar bin Khattab terus menerus memberikan pandangannya tersebut.
Sehingga Allah SWT bukakanlah pintu hati dari Abu Bakar akan hal
tersebut. Abu Bakar pun memanggil Zaid Bin Tsabit dan berkata kepada
Zaid, “Sesungguhnya engkau merupakan seorang yang masih muda dan
berakal cemerlang, kami tidak meragukanmu, engkau dulu pernah menulis
wahyu untuk Rasulullah, maka sekarang carilah Al-Qur'an dan

9
kumpulkanlah.”Setelah itu Zaid berkata, “Maka aku pun mencari dan
mengumpulkan Al-Qur'an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan
dari hafalan orang-orang.” Mushaf tersebut kini ada di tangan Abu Bakar
sampai ia wafat. Lalu dipegang oleh Umar sampai ia juga wafat.
Selanjutnya dipegang oleh Hafsah Binti Umar. Kaum muslimin sudah
sepakat seluruhnya akan apa yang dilakukan Abu Bakar. Mereka
menganggap perbuatan ini sebagai hal yang positif. Sebagaimana Ali bin
Abi Thalib pun berkata, “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf
Al-Qur'an adalah Abu Bakar, semoga Allah SWT memberi rahmat kepada
Abu Bakar karena dialah orang yang pertama kali mengumpulkan kitab
Allah SWT.
Ada beberapa hal yang mengantarkan pada pilihan mumtaz
mengembankan tugas kodifikasi ini pada Zaid bin Tsabit, yaitu Abu Bakar
al-Shiddiq mencatat kualifikasi dirinya (Zaid) sebagai berikut:
a) Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya;
b) Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar memberi
pengakuan secara khusus dengan kata-kata “Kami tak pernah memiliki
prasangka negatif pada Anda.‟
c) Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran;
d) Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu; dan
e) Zaid salah seorang yang bernasib mujur di antarabeberapa orang
sahabatyang sempat mendengan bacaan al-Quran Malaikat Jibril
bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadhan.
Inilah masa kedua dari proses kodifikasi al-quran, yaitu yang
terjadi pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Adapun faktor yang
mendorong pengkodifikasian adalah banyaknya para qurra‟yang
terbunuh di medan perang hingga ditakutkan hal ini akan terus
terjadi dan berdampak pada punahnya para sahabat huffazhdan
berujung pada punahnya al-Quran itu sendiri. Sedangkan dalam
prosesnya, Abu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan al-quran dan menuliskan kembali pada lembaran-
lembaran yang kemudian disatukan hingga menjadi satu mushaf,

10
dengan ayat-ayat dan surat-surat yang tersusun serta dituliskan dengan
sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu al-quran
diturunkan. Dengan demikian, Abu Bakar adalah orang pertama yang
mengumpulkan al-quran dalam satu mushaf dengan cara seperti ini,
disamping terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat.
2) Pada Masa ‘Utsman bin ‘Affan
Tahap terakhir terjadi pada zaman Utsman Bin Affan di tahun 25
Hijriyah. Saat itu terjadi perbedaan kaum muslimin dialek bacaan Al-
Qur'an yang sesuai akan perbedaan mushaf tersebut.
Utsman juga berpendapat demikian bahwa sebagian perbedaan itu pun
terjadi pada orang-orang yang mengajarkan qira’at kepada anak-anak.
Lalu anak-anak itu akan tumbuh sedang di antara mereka terdapat
perbedaan dalam qir’at. Perbedaan-perbedaan ini dikhawatirkan akan
menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Bahkan tidak jarang
masalah ini menimbulkan konflik dan saling mengkakufurkan satu
sama lain. Hingga pada akhirnya Utsman bersama para sahabat
bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada
Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu
dengan bacaan-bacaan baku pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirim utusan kepada Hafshah (untuk
meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya), dan Hafshah
pun mengirimkan lembaran-lembaran itu padanya. Kemudian Utsman
memanggil Zaid bin Tsabit al-Anshari, Abdullah bin az-Zubair, Said
bin al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam (tiga
orang Quraisy). Lalu ia memerintahkan mereka agar menyalin dan
memperbanyak mushaf, jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga
orang Quraisy itu, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraisy, karena al-
quran turun dalam dialek bahasa mereka.
Utsman bin Affan segera memerintahkan pengumpulan mushaf
tersebut menjadi satu mushaf. Sehingga kaum muslimin bacaannya tidak
akan berbeda dan kemudian bertengkar.

11
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushar
yang memenuhi persyaratan berikut:
a) Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad
b) Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak
diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
c) Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda
dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf
'Utsman,
d) Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira'al yang
berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Quran ketika turun,
e) Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya yang ditulis
di mushal sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna ayat atau
penjelasan nasikh-mansukh di dalam mushaf.
Perbedaan pengumpulan yang dilakukan oleh Abu Bakar dan
Utsman adalah terletak pada tujuannya. Tujuan dari Abu Bakar untuk
menuliskan serta mengumpulkan seluruh ayat-ayat Al-Qur'an dalam satu
mushaf supaya tidak tercecer dan tidak hilang. Sedangkan tujuan Utsman
yaitu untuk mengumpulkannya karena dikhawatirkan akan adanya
perbedaan dialek pada bacaan Al-Qur'an tersebut. Sehingga dilakukannya
pengumpulan menjadi satu mushaf al quran. Sehingga diperolehlah hasil
pengumpulan dari musahf ini yang berupa satu ke satu di tengah tengah
umat muslim. Mudharat besar seperti perpecahan, perbedaan keyakinan,
dan juga permusuhan dapat dihindari.
3) Penyempurnaan Penulisan Al-Qur’an setelah Masa Khalifah
Sebagaimana diketahui, bahwa bentuk tulisan Al-Qur’an dan
tulisan-tulisan berbahasa Arab lainnya pada masa awal (masa Nabi dan
Khulafaurrasyidin) ditulis tanpa titik dan baris (syakal).
Sejalan dengan perkembangan agama Islam, semakin banyak
orang-orang non-Arab memeluk Islam, maka timbul persoalan bagi
mereka untuk membaca Al-Qur’an yang tanpa titik dan baris itu. Bahkan
tidak jarang kesalahan baris (harakat) dalam bacaan Al-Qur’an dapat
mengakibatkan perubahan makna yang sangat fundamental.

12
Sebagai contoh, suatu ketika Abul-Aswad ad-Du’ali mendengar
seorang qari membaca Surat at-Taubah ayat 3:
‫ أن هللا بريئ من المشركين و رسوُله‬.
Ayat ini seharusnya dibaca dengan tanda dhammah pada huruf lam
lafazh ‫وُله‬±±‫رس‬. Akan tetapi oleh qari’ tersebut dibaca ‫وِله‬±±‫ و رس‬dengan
membaca kasrah pada huruf lam.
Hal ini mengejutkan Abul Aswad dan ia berkata: “Maha Tinggi
Allah untuk meninggalkan rasul-Nya”.
Kemudian Abul Aswad melaporkan hal ini kepada Ziyad bin Samiyyah,
Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Mu’awiyah (661-680 M).
Lalu Abul Aswad diminta untuk membubuhkan tanda baca (syakal) guna
menghindari kesalahan membaca di kalangan kaum muslimin.
Memenuhi permintaan tersebut Abul Aswad memikirkan dan
merumuskan tanda baca berupa : titik satu di atas huruf ( • ) sebagai tanda
fathah (bunyi vokal ‘a’); titik satu di bawah huruf ( .) sebagai tanda kasrah
(bunyi vokal ‘i’) dan titik satu di depan huruf ( ·– ) sebagai tanda
dhammah (bunyi vokal ‘u’). Dalam penulisan mushhaf, tanda harakat ini
diberi warna berbeda dengan tulisan hurufnya, dan ia tidak dibubuhkan
pada setiap huruf melainkan hanya pada huruf terakhir setiap kata sebagai
tanda i’rab.
Setelah pemberian tanda syakal/harakat tersebut selesai, persoalan
lain yang muncul dalam pembacaan mushhaf Al-Qur’an adalah kesamaan
bentuk beberapa huruf yang tidak bisa dibedakan kecuali oleh orang yang
sudah terbiasa dengan huruf-huruf tersebut, atau mereka yang sudah hafal
Al-Qur’an. Seperti huruf bā’, tā’, tsā’, nūn’, dan yā’ yang dilambangkan
dengan bentuk huruf yang sama, tanpa titik (‫ )ٮ‬untuk Kelima, macam
huruf tersebut. Demikian pula huruf jīm, hā dan Khā yang ditulis tanpa
titik (‫ ;)ح‬huruf dāl dan dzāl ditulis ‫ ; د‬huruf rā dan zāy ditulis ‫ ; ر‬huruf sīn
dan syīn ditulis ‫ ;س‬dan lain-lainnya. Sehingga tidak bisa dibedakan antara
huruf yang satu dengan yang lainnya, kecuali bagi orang yang sudah hafal
atau pernah mempelajarinya secara lisan.

13
Untuk mengatasi kesulitan ini (membedakan huruf-huruf yang
berlambang sama), Gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf (714 M)
menugaskan kepada Nashr bin Ashim (708 M) dan Yahya bin Ya’mur
(747 M) – keduanya adalah murid Abul Aswad ad-Du’ali – untuk
membubuhkan tanda-tanda pembeda antara huruf-huruf yang bersimbol
sama. Dalam menjalankan tugasnya, Nashr bin Ashim dan Yahya bin
Ya’mur membubuhkan titik-titik diakritis untuk membedakan huruf-huruf
yang bersimbol sama. Hasil dari karya mereka berdua maka jadilah bentuk
abjad huruf Arab seperti yang kita kenal sekarang ini.
Setelah pembedaan huruf-huruf konsonan yang bersimbol sama
sudah selesai dilakukan, persoalan lain yang muncul adalah, bagaimana
membedakan antara tanda titik yang menunjukkan syakal (yang dibuat
oleh Abul Aswad Ad-Du’ali) dengan tanda titik diakritis yang
menunjukkan jenis huruf (yang dibuat oleh Nashr bin Ashim dan Yahya
bin Ya’mur)?
Untuk mengatasi masalah ini, maka Al-Khalil bin Ahmad (718–
786 M), melakukan penyempurnaan terhadap karya Abul Aswad Ad-
Du’ali dengan mengganti tanda titik yang menunjukkan bunyi vokal ‘a’,
‘i’ dan ‘u’, masing-masing diganti dengan huruf-huruf layyin (alif, yā’ dan
wāw).
Huruf-huruf tersebut ditulis dalam bentuk kecil pada posisi titi-titik
tanda vokal yang digantikannya. Sehingga untuk bunyi vokal ‘a’ diberi
tanda alif kecil di atas huruf ( -‫)–ا‬, untuk bunyi vokal ‘i’ diberi tanda huruf
ya’ kecil di bawah huruf ( –‫ى‬- ), dan untuk bunyi vokal ‘u’ diberi tanda
huruf waw kecil di depan huruf (–‫)و‬.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanda vokal dalam bentuk huruf
alif, yā’ dan wāw dipandang kurang efisien, maka digantilah huruf-huruf
tersebut dengan tanda baris seperti yang kita kenal sekarang ini.4

B. Rasm Al-Qur’an
4
Akbar, Ali. (2008). Membalik Sejarah Pengumpulan dan Penulis Al-Qur’an. Diakses pada 28
September 2023
https://www.academia.edu/5214502/MEMBALIK_SEJARAH_PENGUMPULAN_DAN_PENULISAN_
AL_QURAN_Oleh_Ali_Akbar

14
1. Pengertian Rasm Al-Quran
Yang dimaksud dengan rasm Al-Quran atau rasm 'Utsmani atau
rasm 'Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Quran yang ditetapkan pada
masa Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan
dengan lahimya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat
yang terdiri dari Zaid bin Tsabil, Abdullah bin Zubair, Sa'id ten Al Ash,
dan Abdurahman bin Al-Hart Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-
kaidah tertentu. Para ulama meningka kaidah-kaidah itu menjadi enam
istilah, yaitu:
a) Al-Hadz, artinya membuang, meniadakan, atau menghilangkan huruf
b) Al-Jiyadah, yaitu penambahan
c) Al-Hamzah
d) Yaitu pengganti
e) Washal dan Fashl, yaitu penyambuangan dan pemisahan
f) Kata yang dapat diabaca dua bunyi
2. Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Al-Qur’an;
a) Sebagain dari mereka berpendapat bahwa Rasm Al-Qur’an bersifat
Tauqifi, yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja
ketika menulis Al-Qur’an. Mereka bahkan sampai pada tingkat
menyakralkannya. Untuk pendapat ini, mereka merujuk pada sebuah
riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan kepada
Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya:
‫الق الدواة وحرف القلم وانصب الباء وفرق السين والتعور الميم وحسن هللا ومد‬
‫ فانه اذكرك‬,‫الرحمن وجود الرحيم وضع قلمك على اذنك اليسرى‬.
“Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik.Luruskan huruf ba’.
Bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim. Buat baguslah (tulisan) al-
rahman dan buatlah bagus (tulisan) al-rahim. Lalu, letakkan di atas telinga
kirimu, karena itu akan membuatmu lebih inget”.
Mereka pun mengutip pernyataan Ibn-Al-Mubarak,
“sahabat, juga yang lainnya, sama sekali tidak campur tangan dalam
urusan rasm mushaf, sehelai rambut sekali pun. Itu adalah ketetapan Nabi.
Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seperti dalam bentuknya

15
yang dikenal, dengan menambahkan alif dan menghilangkannya lantaran
rahasia yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Hal itu merupakan salah satu
rahasia yang khusus diberikan Allah untuk kirab suci-Nya yang tidak
diberikan untuk kitab samawi lainnya. Sebagaimana halnya susunan Al-
Quran itu mukjizat, rasm (tulisan) nya pun mukjizat pula.
Berdasarkan sabda Nabi dan pernyataan Ibn Al-Mubarak itu, mereka
memandang bahwa rasm ‘utsmani memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus
memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi. Misalnya adalah
penambahan huruf ya’ pada penulisan kata “aydin’(‫ )ايد‬pada ayat:
‫َو الَّس َم ۤا َء َبَنْيٰن َها ِبَاْيىٍد َّو ِاَّنا َلُم ْو ِس ُعْو َن‬
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami
benar-benar meluaskannya”. Q.S. Adz-Dzariyyat [51] ayat 47.5
b) Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa Rasm Al-Qur’an bukan tauqifi,
akan tetapi merupakan kesepatakan cara penulisan yang disetujui oleh
Ustman dan diteria oleh umat, sehingga wajib diikuti oleh siapapun ketika
menulis Al-Qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya. Banyak ulama
terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasm
‘Utsmani.Asyhab bercerita bahwa ketika ditanya tentang penulisan Al-
Quran, apakah perlu menulisnya seperti yang dipakai banyak orag
sekarang, Malik menjawa,
‫االعلى الكتابة االولى‬,‫ال‬
“Saya tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah sesuai
dengan tulisan pertama.”
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata,
‫تحرم مخلفة خط مصحف عثمان في واو اوياء او الف او غير ذ لك‬
“Haram hukumnya menyalahi khath mushaf ‘Utsman dalam soal
wawu, alif, ya’, atau huruf lainnya.”
c) Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi.
Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat
menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Quran yang nota bene
berlainan dengan rasm ‘Utsmani. Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakar Al-
5
Budihari, dkk. (2012). Ulumul Qur'an Rasm Al-Qur'an. Diakses pada 29 September 2023, dari
http://muhammadkasyafiaufa.blogspot.com/2012/12/ulumul-quran.html?m=1

16
Baqilani berkata, “Adapun tulisan, sedikit pun Allah tidak mewajibkan
kepada umat.Allah tidak mewajibkan juru tulis-juru tulis Al-Quran dan
kaligrafer mushaf-mushaf suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka
meninggalkan jenis tulisan lainnya. Sebab, keharusan untuk menerapkan
bentuk tertentu harus ditetapkan berdasarkan Al-Quran atau Hadits.
Padahal, tidak ada di dalam nash-nash Al-Quran, tidak tersirat juga dari
suatu (mafhum)-nya yabng mengatakan bahwa rasm dan dhabit Al-Quran
hanya dibenarkan dengan cara tertentu dan ketetapan tertentu yang boleh
dilanggar;Tidak juga di dalam sunnah yang mewajibkan dan menunjukkan
yang demkian. Dan tidak pula ditunjukkan qiyas syar’i. Bahkan, sunnah
menunjukkan bolehnya menuliskannya (mushaf) dengan cara bagaimana
saja yang mudah. Seba, Rasulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa
menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu. Oleh karena itu,
telah terjadi perbedaan khath mushaf-mushaf (yang ada).Ada di antara
mereka yang menulis kalimat berdasarkan makhraj lafazh dan ada pula
yang menambah dan menguranginya berdasarkan pengetahuannya bahwa
rasm ‘Utsmani hanyalah merupakan istilah semata... Jelasnya siapa saja
mengatakan bahwa siapa saja wajib mengikuti cara penulisan tertentu
ketika menulis Al-Quran, hendaklah ia mendukungnya dengan berbagai
argumentasi. Dan kami siap membantahnya.6

BAB III
PENUTUP

6
Anwar, Rosihon M.Ag. (2017). ULUM AL-QURAN. Bandung: CV PUSTAKA SETIA

17
A. Kesimpulan
Al-Quran adalah kitab suci dalam agama Islam yang diyakini
sebagai wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan
Malaikat Jibril. Proses penulisan Al-Quran tidak melibatkan manusia.
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu secara bertahap selama lebih
dari 23 tahun. Wahyu-wahyu tersebut diterima dalam berbagai situasi dan
konteks yang berbeda dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Setelah
menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabatnya
untuk mencatat dan menghafal ayat-ayat Al-Quran. Setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, ayat-ayat Al-Quran yang telah ditulis di berbagai
media seperti tulang belulang, kulit hewan, dan daun kurma, dikumpulkan
menjadi satu mushaf oleh Khalifah pertama, Abu Bakar al-Siddiq, atas
saran dari sahabat utama seperti Umar bin Khattab. Khalifah ketiga,
Utsman bin Affan, memerintahkan pembuatan salinan Al-Quran yang
disebut mushaf Utsmani yang kemudian disebarkan ke berbagai wilayah
Islam untuk menjaga keseragaman teks.
Dengan demikian, Al-Quran merupakan teks suci dalam Islam
yang dianggap sebagai wahyu Allah yang tidak mengalami perubahan
sejak penurunannya kepada Nabi Muhammad SAW.
B. Saran
Tentunya penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah di
atas masih banyak terdapat kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.
Adapun untuk selanjutnya penulis akan segera melakukan perbaikan
susunan makalah dengan menggunakan bimbingan dari beberapa sumber
dan kritik yang membangun dari pembaca.

wDAFTAR PUSTAKA

18
Anwar, Rosihon M.Ag. (2017). ULUM AL-QURAN. Bandung: CV PUSTAKA
SETIA.

Budihari, dkk. (2012). Ulumul Qur'an Rasm Al-Qur'an. Diakses pada 28


September 2023, dari
http://muhammadkasyafiaufa.blogspot.com/2012/12/ulumul-
quran.html?m=1

Chaer, Abdul. (2014). PERKENALAN AWAL DENGAN AL-QURAN. Jakarta: PT


RINEKA CIPTA

Suryadilaga, Alfatih.(2018). Pengantar Studi Al-Qur'an dan Hadits. Depok:


KALIMEDIA.

Tim Humas.(2018). Pengertian Al-Qur'an, Nama-Nama Al-Qur'an dan Sifatnya.


Diakses pada 28 September 2023, dari
https://an-nur.ac.id/pengertian-al-quran-nama-nama-al-quran-dan-
sifatnya/#:~:text=Secara%20etimologi%2C%20lafadz%20al
%2DQur,suatu%20ucapan%20yang%20tersusun%20rapih

19

Anda mungkin juga menyukai