Anda di halaman 1dari 24

Keperawatan Kritis

MAKALAH KELOMPOK
“ Trend Dan Issue Terkait Sistem Endokrin (KAD) ”

Dosen Pengampu : Ns. T. Abdur Rasyid, M.Kep

Disusun Oleh :
KELOMPOK 4 :
1. Indah Sri Ulandari 20031076
2. Ervima Neltra 20031078
3. Windy Ramadanianti 20031079
4. Juliana 20031081
5. Inas Putri Gusmayanti 20031082
6. Faiha Sry Rahmadhani 20031084

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAH HANG TUAH PEKANBARU
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan atas kehadiran Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Trend dan Issue
terkait masalah pada kasus kritis berbagai system : Endokrin KAD”.

Dengan segala pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki. Dalam penulisan
makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ns. T. Abdur Rasyid, M.Kep
sebagai dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yang telah memberikan tugas makalah ini.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan bagi para pembaca nantinya. Kami juga menyadari sepenuhnya dalam
pengerjaan tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan. Dengan ini, Kami memohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata, kalimat maupun bahasa yang kurang berkenan dan kami
mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu

Pekanbaru, 24 Oktober 2023

Penyusun,

Kelompok IV
DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………………………………………………..

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………...i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii

BAB I ……………………………………………………………………………………………..1

PENDAHULUAN………………………………………………………………………………..1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………....1


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………...2
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………………….....2
1.4 Manfaat Penulisan…………………………………………………………………………...2

BAB II…………………………………………………………………………………………….3

PEMBAHASAN………………………………………………………………………………….3

2.1 Konsep Teori…………………………………………………………………………………3

2.1.1 Definisi KAD……………………………………………………………………………….3

2.1.2 Etiologi……………………………………………………………………………………...3

2.1.3 Patofisiologi………………………………………………………………………………...4

2.1.4 Manifestasi Klinis………………………………………………………………………….5

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik…………………………………………………………………..6

2.1.6 Penatalaksanaan…………………………………………………………………………...8

2.1.7 Komplikasi…………………………………………………………………………………9
2.2 Trend pada area ePrawatan kritis terkait system Endokrin KAD/CAD (EBNP dan
teknologi terbaru dalam perawatan kritis) …………………………………………………..11

2.3 Issue pada Perawatan Kritis terkait system Endokrin ( Prinsi[ Etik, Masalah Etik, dan
Pengambilan Keputusan Etik ) ………………………………………………………………..13

2.3.1 Prinsip Etik……………………………………………………………………………….13

2.3.2 Masalah Etik……………………………………………………………………………...15

2.3.3 Pengambilan Keputusan Etik …………………………………………………………...16

BAB III…………………………………………………………………………………………..18

PENUTUP…………………………………………………………………………………….....18

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………….....18

3.2 Saran………………………………………………………………………………………...18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...20
BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Sistem Endokrin disebut juga kelenjar buntu, yaitu kelenjar yang tidak mempunyai
saluran khusus untuk mengeluarkan sekretnya. Sekret dari kelenjar endokrin dinamakan
hormon. Hormon berperan penting untuk mengatur berbagai aktivitas dalam tubuh hewan,
antara lain aktivitas pertumbuhan, reproduksi, osmoregulasi, pencernaan, dan integrasi
serta koordinasi tubuh.
Sistem endokrin hampir selalu bekerja sama dengan sistem saraf, namun cara
kerjanya dalam mengendalikan aktivitas tubuh berbeda dari sistem saraf. Ada dua
perbedaaan cara kerja antara kedua sistem tersebut. Kedua perbedaan tersebut adalah
sebagai berikut :

1. Dibandingkan dengan sistem saraf, sistem endokrin lebih nanyak bekerja melalui
transmisi kimia.
2. Sistem endokrin memperhatikan waktu respons lebih lambat daripada sistem saraf.
Pada sistem saraf, potensial aksi akan bekerja sempurna hanya dalam waktu 1-5
milidetik, tetapi kerja endokrin melalui hormon baru akan sempurna dalam waktu
yang sangat bervariasi, berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam. Hormon
adrenalin bekerja hanya dalam waktu singkat, namun hormon pertumbuhan bekerja
dalam waktu yang sangat lama. Di bawah kendali sistem endokrin (menggunakan
hormon pertumbuhan), proses pertumbuhan memerlukan waktu hingga puluhan
tahun untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang sempurna.
Dasar dari sistem endokrin adalah hormin dan kelenjar (glandula), sebagai senyawa
kimia perantara, hormon akan memberikan informasi dan instruksi dari sel satu ke sel
lainnya. Banyak hormon yang berbeda-beda masuk ke aliran darah, tetapi masing-masing
tipe hormon tersebut bekerja dan memberikan pengaruhnya hanya untuk sel tertentu.

Masalah satu sistem endokrin akan menyebabkan banyak pengaruh terhadap satu atau
beberapa bagian tubuh. Banyaknya penyakit baru dan penanganan yang datang pada akhir-
akhir ini membuat tim kesehatan harus meningkatkan skillnya dan pengetahuannya
dibidang ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas trend dan issue terkait

1
dengan masalah endokrin ini.

1.2.Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut :


a. Apa Konsep sistem Endokrin (KAD/CAD) dalam Keperawatan Kritis ?
b. Apa Trend pada area Keperawatan Kritis terkait system Endokrin ?
c. Apa Issue pada Keperawatan Kritis terkait ( Prinsip Etik, Masalah Etik, dan
Pengambilan Keputusan Etik) system Endokrin ?

1.3.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :


a. Mengetahui Konsep sistem Endokrin (KAD/CAD) dalam Keperawatan Kritis
b. Mengetahui Trend pada area Keperawatan Kritis terkait system Endokrin
c. Mengetahui Issue pada Keperawatan Kritis terkait ( Prinsip Etik, Masalah Etik,
dan Pengambilan Keputusan Etik) system Endokrin ?

1.4.Manfaat Penulisan

Dalam hal ini penulis bermaksud untuk menambah pengetahuan penulis


tentang masalah keperawatan terkini terutama terkait dengan sistem endokrin dan
trend issue pada keperawatan kritis terkait sistem Endokrin.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Definisi KAD

Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan salah satu komplikasi akut dari dibetes
melitus dimana morbiditas dan mortalitasya terus meningkat. KAD mungkin merupakan
manifestasi awal dari DM tipe 1 atau mungkin merupakan akibat dari peningkatan
kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau
kelainan lainnya (Benoit et al, 2018).
Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah keadaan dekompensasi atau kekacauan metabolic yang
di tandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relative. KAD merupakan komplikasi akut diabetes militus yang serius
dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat . Akibat diuresis osmotic, KAD biasanya
menglami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok (Pradana Soewondo
2006).

2.1.2 Etiologi

Penyebab KAD yang paling sering adalah infeksi. Pada infeksi akan terjadi
peningkatan sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula
darah yang bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse,
pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru
diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat. Faktor pencetus
yang lain meliputi penyakit berat (cedera serebrovaskuler, cerebrovaskular accident, infark
miokard akut, pankreatitis), penyalahgunaan alkohol, trauma, dan obat- obatan. Selain itu
juga banyak yang dikarenakan penderita diabetes tipe 1 yang tidak teratur dalam
penggunaan isulin atau berhenti dalam menggunakan insulin. (Barbara M.Gallo,dkk,2012)

3
2.1.3 Patofisiologi

a. Hiperglikemia dan Hiperosmolalitas

Hiperglikemia yang terjadi pada KAD merupakan akibat dari produksi glukosa hati
yang berlebihan. Pada defisiensi insulin, kadar glukosa plasma meningkat. Efek
yang terjadi bersamaan dari hormon pengatur keseimbangan, terutama kortisol
dan katekolamin, makin memperburuk hiperglikemia dengan peningkatan
glukogenesis, resistensi insulin, dan lipolisis. Hiperglikemia menyebabkan
penurunan volume, yang pada gilirannya menurunkan hilangnya glukosa lewat urin
dan memungkinkan gula darah meningkat bahkan lebih tinggi. Hiperosmolalitas
cairan tubuh dan dehidrasi ini dapat menyebabkan latergi, stupor, dan akhirnya
koma.
b. Ketosis dan Asidosis
Akibat mayor dari defisiensi insulin berat adalah ketogenesis yang tidak terkendali
saat asam keton masuk ke CES, ion hidrogen dilepaskan dari molekul dan
dinetralkan dengan bergabung dengan bufer ion bikarbonat, sehingga
mempertahankan pH CES dan menghasilkan residu anion asam keton. Asam
karbonat yang terbentuk dipecah menjadi air dan gas karbondioksida yang
dihembuskan keluar. Ketika asam keton terus menumpuk, bikarbonat serum
menurun dan celah anion meningkat. Jika hal ini terjadi dan terus berlanjut, pH
darah turun dan asidosis menjadi kondisi yang mengancam jiwa.

Penyebab lain asidosis metabolik pada KAD adalah pembentukan asidosis asam
akibat kurangnya perfusi jaringan dan hipovolemi. Netralitas cairan tubuh
dilindungi terutama oleh sistem bufer bikarbonat, yang menentukan pH setiap saat
dengan perbandingan anion bikarbonat terhadap karbondioksida plasma. Jika anion
bikarbonat menurun karena digantikan oleh anion asam keton, kelebihan
karbondiaoksida harus dibuang melalui paru dengan cara hiperventilasi. Proses ini
menjaga perbandingan anion bikarbonat terhadap karbondioksida plasma pada atau
mendekati nilai biasanya, yaitu 20:1 dan mempertahankan pH mendekati nilai
fisiologisnya yaitu 7,4. Hiperventilasi, yang terjadi secara bertahap pada
awalnya dan kemudian terjadi sangat cepat dan makin jelas ketika pH arteri turun
di bawah 7,2, merupakan temuan fisik pada KAD. Peningkatan cepat pada ventilasi

4
ini, yang terjadi lebih cepat dalam peningkatan kedalaman napas daripada
peningkatan kecepatan napas, dikenal sebagai pernapasan Kussmaul, dihubungkan
dengan pernapasan berbau “buah” yang klasik terjadi pada KAD. Adanya
pernapasan Kussmaul yang mencolok merupakan tanda bahwa pH CES adalah 7,2,
atau dibawah 7,2, yang secara relatif merupakan derajat asidosis berat.

c. Penurunan Volume

Asam keton diekskesikan di dalam urin dalam jumlah besar sebagai garam natrium
, kalium, dan amonium. Hal ini berkontribusi pada masalah ptofisiologis ketiga dari
KAD: penurunan volume dan kehilangan cairan dan elektrolit akibat diuresis
osmotik.
Glukosa yang tetap berada di dalam filtrat glomerulus setelah tubulus ginjal
merearbsorbsi semua zat yang dapat diserap memaksa air tetap berada dalam
tubulus. Filtrat yang kaya glukosa ini mengalir keluar dari tubuh , dengan
membawa air, natrium, amonium, fosfat, dan garam-garam lain. Aliran urin yang
cepat dan air serta elektrolit yang harus hilang ini disebut diuresis osmotik. Jumlah
rata-rata garam dan air yang hilang ke tubuh melalui diuresis osmotik selama
terjadinya KAD telah diukur. Kehilangan air pada pasien dewasa penderita KAD
yang memiliki berat 70 kg dapat mencapai 5 sampai 8 L atau 15 % dari total air
dalam tubuh. (Barbara M. Gallo,dkk, 2012)

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Susan B. Stillwell (2011) Manifestasi klinis dari KAD adalah :


a. Dehidrasi berat
b. Hipotensi dan syok
c. Mual muntah
d. Poliuria dan polifagia
e. Kelemahan dan kelelahan
f. Kebingungan
g. Mengalami peningkatan latergi
h. Mengalami defisit hemisensori, hemiparesis, dan afasia
i. Mengalami koma

5
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik

a. Glukosa
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien mungkin
memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian lainnya mungkin
memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang biasanya bergantung pada
derajat dehidrasi. Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan
dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai
kadar glukosa yang berkisar dari 100-200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin
tidak memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya
mencapai 400-500 mg/dl.

b. Natrium
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk setiap 100
mg/dL glukosa lebih dari 100 mg/dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6
mEq/L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah
yang sesuai.

c. Kalium
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan perawatan. EKG
dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat potasium.

d. Bikarbonat
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah (6,8-
7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan kompensasi
respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi badan
keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam
darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion
untuk menilai derajat asidosis.

e. Sel darah lengkap


Tinggi hitungan sel darah putih (> 15 X 109 / L) atau ditandai pergeseran kiri mungkin
menyarankan mendasari infeksi.

6
f. Analisa Gas Darah
Kadar pH arteri dapat digunakan untuk mengulang pH measurements. Brandenburg
dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas darah arteri pada pasien dengan KAD
adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada BGA. Karena perbedaan ini relatif dapat
diandalkan dan bukan dari signifikansi klinis, hampir tidak ada alasan untuk melakukan
lebih meyakinkan BGA. Akhir CO2 pasang surut telah dilaporkan sebagai cara untuk
menilai asidosis juga.

g. Keton
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu, ketonuria dapat
berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang mendasarinya.

h. β-hidroksibutirat.
Serum atau hidroksibutirat β kapiler dapat digunakan untuk mengikuti respons terhadap
pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol/L dianggap normal, dan tingkat
dari 3 mmol/L berkorelasi dengan kebutuhan untuk ketoasidosis diabetik (KAD).

i. Urinalisis
Cari glukosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi saluran
kencing yang mendasari.

j. Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq/L) + glukosa (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2.8. Pasien
dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan koma biasanya memiliki
osmolalitas > 330 mOsm/kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari > 330 mOsm/kg H2O
ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.

k. Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme kronis),
maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.

l. Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi pada

7
dehidrasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan BUN serum
yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami insufisiensi renal.
(Wira Gotea,dkk, 2010)

2.1.6 Penatalaksanaan

Penanganan KAD memerlukan pemberian tiga agen berikut:


a. Cairan
Pasien penderita KAD biasanya mengalami depresi cairan yang hebat. NaCl 0,9

% diberikan 500-1000 ml/jam selama 2-3 jam. Pemberian cairan normal salin
hipotonik (0,45 %) dapat digunakan pada pasien-pasien yang menderita hipertensi
atau hipernatremia atau yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif. Infus
dengan kecepatan sedang hingga tinggi (200-500 ml/jam) dapat dilanjutkan untuk
beberapa jam selanjutnya.

b. Insulin
Insulin intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah
alternatif bila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan,
misalnya pada anak kecil. Asidosis yang terjadi dapat diatasi melalui pemberian
insulin yang akan menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan
pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam. Insulin diberikan melalui
infus dengan kecepatan lambat tapi kontinyu ( misal 5 unit /jam). Kadar
glukosa harus diukur tiap jam. Dektrosa ditambahkan kedalam cairan infus bila
kadar glukosa darah mencpai 250 – 300 mg/dl untuk menghindari penurunan
kadar glukosa darah yang terlalu cepat.

c. Potassium
Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien penderita KAD
mengalami depresi kalium tubuh yang mungkin terjadi secara hebat. Input saline
fisiologis awal yang tinggi yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan
elektrolit pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu
dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplemen potasium ditambahkan

8
kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien
penderita KAD adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat. (Wira
Gotea,dkk, 2010)

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa:
a. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )
Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila penderita
mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat protein.
Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun
waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal dan
harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal
jantung kongesif.

b. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )


Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata.
Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan. Tetapi bila tidak
terlambat dan segera ditangani secara dini dimana kadar glukosa darah dapat
terkontrol, maka penglihatan bisa normal kembali.

c. Syaraf ( Neuropati Diabetik )


Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres, perasaan
berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati rasa). Telapak
kaki hilang rasa membuat penderita tidak merasa bila kakinya terluka, kena bara api
atau tersiram air panas. Dengan demikian luka kecil cepat menjadi besar dan tidak
jarang harus berakhir dengan amputasi.

d. Kelainan Jantung.
Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis pada
pembuluh darah jantung. Bila diabetes mempunyai komplikasi jantung koroner dan
mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan tersebut tidak disertai
rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian mendadak. Selain itu terganggunya
saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat jantung berdebar cepat.
Akibatnya timbul rasa sesak, bengkak, dan lekas lelah.

9
e. Hipoglikemia.
Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan kadar
glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera. Keterlambatan dapat
menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari rasa gelisah sampai berupa
koma dan kejang-kejang.

f. Impotensi.
Sangat banyak diabetisi laki-laki yang mengeluhkan tentang impotensi yang dialami.
Hal ini terjadi bila diabetes yang diderita telah menyerang saraf. Keluhan ini tidak
hanya diutarakan oleh penderita lanjut usia, tetapi juga mereka yang masih berusia
35 – 40 tahun. Pada tingkat yang lebih lanjut, jumlah sperma yang ada akan menjadi
sedikit atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ini terjadi karena sperma masuk ke
dalam kandung seni (ejaculation retrograde).
Penderita yang mengalami komplikasi ini, dimungkinkan mengalami kemandulan.
Sangat tidak dibenarkan, bila untuk mengatasi keluhan ini penderita menggunakan
obat-obatan yang mengandung hormon dengan tujuan meningkatkan kemampuan
seksualnya. Karena obat-obatan hormon tersebut akan menekan produksi hormon
tubuh yang sebenarnya kondisinya masih baik. Bila hal ini tidak diperhatikan maka
sel produksi hormon akan menjadi rusak. Bagi diabetes wanita, keluhan seksual
tidak banyak dikeluhkan. Walau demikian diabetes millitus mempunyai pengaruh
jelek pada proses kehamilan. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mudah
mengalami keguguran yang bahkan bisa terjadi sampai 3-4 kali berturut- turut, berat
bayi saat lahir bisa mencapai 4 kg atau lebih, air ketuban yang berlebihan, bayi lahir
mati atau cacat dan lainnya.

g. Hipertensi
Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal penderita
diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah pada diabetisi
juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan pembuluh kapiler serta
penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan mengirimkan signal ke otak
untuk menambah takanan darah. (Ridwan,dkk, 2016)

10
2.2 Trend pada area perawatan kritis terkait system Endokrin KAD/CAD (EBNP
dan teknologi terbaru dalam perawatan kritis)
Judul Jurnal : Renal Replacement Therapy sebagai Intervensi Dini pada
Tatalaksana Ketoasidosis Diabetik
Nama Jurnal : UMI Medical Journal Vol.8 Issue:1 (Juni, 2023)
a. Population
Pasien perempuan dengan KAD berumur 20 tahun
b. Intervention
1. Antibiotik
Pasien ini menerima terapi Ceftriaxone 2 gr/24 jam/IV + Moxifloxacin 400
mg/24jam/IV, keberhasilan terapi ini dapat terlihat pada nilai leukosit yang
menurun sampai mencapai nilai normal selama perawatan di ICU hingga pindah
ke ruangan.
2. Ventilasi Mekanik
Pasien ini menerima ventilasi mekanik (VM) dengan strategi proteksi paru dan
selanjutnya melalui NRM dan nasal kanula. Pasien menerima VM mode SPONT
hingga dilakukan ekstubasi. Selama awal berada di ICU tidal volume 6-8
ml/kgBB dan frekuensi napas pada ventilator diatur untuk dapat memperbaiki
PaCO2 dalam batas 35-45mmHg dimana minute volume(MV) tercapai , PEEP
diberikan 5 cmH2O, Pins pada kisaran 10 cmH2O, dan P supp 8 cmH2O dengan
FiO2: 40%.
3. Manajemen Cairan
Cairan pemeliharaan yang diberikan adalah Ringer laktat sekitar 1000 cc/24 jam,
dan dextrose 5% dititrasi sesuai nilai GDS. Cairan lainnya berasal dari nutrisi
enteral. Selama perawatan, status volume pasien dinilai dengan parameter
hemodinamik, dan penilaian PPV pada monitor invasive.
4. Renal Replacement
Pasien menjalani CRRT selama 36 jam pada hari perawatan ke I untuk mengatasi
asidosis metabolik berat dan AKI yang terlihat dari peningkatan ureum dan
creatinin pasien. Dimana setelah CRRT ditemukan perbaikan dari AGD dan nilai
ureum serta kreatinin.

11
c. Comparison
Tidak ada intervensi pembanding di dalam jurnal ini.

d. Outcomes
Pada hari pertama perawatan di ICU, didapatkan AGD Asidosis Metabolik
dengan kompensasi Alkalosis respiratorik dengan pH 7,149, PCO2 14,7, HCO3 4,3
BE -22,4 SaO2 98,4 PaO2 140,4, laktat 1,4 kemudian dilakukan intubasi dan
penggunaan ventilator mekanik. Dari pemeriksaan elektrolit didapatkan hasil:
kalium 3,2, ureum 114, dan kreatinin 2,98. Pasien dilakukan Renal Replacement
Theraphy untuk Asidosismetabolik dan AKI.
Pada hari perawatan kedua, dilakukan pemeriksaan AGD dengan Asidosis metabolic
kompensasi Alkalosis Respiratorik, dimana pH 7,329, PaCO2 32,7, PaO2 223,9,
SaO2 99,1, HCO3 16,6, BE -9,9, laktat 0,9. Pemeriksaan elektrolit didapatkan hasil:
kalium 2,7, clorida 127,1, ureum 97, kreatinin 1,74. Perubahan setting ventilator
mekanik mode SIMV-PC, rate30, Pirs 12, PS 8, PEEP 5, FiO2 40% dan Renal
Replacement Theraphy diteruskan. Koreksi kalium menggunakan KCl 50 Meq/24
jam/IV. Setelah ditemukan perbaikan AGD, Ureum, dan kreatinin. Renal
replacement terapi dihentikan, setelah penggunaan 36 jam.
Pada hari perawatan ketiga, dilakukan pemeriksaan AGD dengan pH 7,414, PaCO2
35,5, HCO3 23, BE -0,6 SaO2 93,9, PaO2 215, Laktat 1,1, pemeriksaan elektrolit
didapatkan hasil : K 1,96, koreksi kalium.
Pada hari perawatan keempat, dilakukan pemeriksaan AGD, elektrolit. Tandavital,
hemodinamik dalam batas normal. Kemudian pasien di ekstubasi.
Penatalaksaan dan pencegahan terhadap komplikasi yang tepat meliputi manajemen
kegawatdaruratan (intubasi, ventilasi mekanik dan resusitasi cairan, terapi insulin,
sourcecontrol dan tatalaksana gangguan elektrolit) dapat memperbaiki keluaran
pasien. Early Treatment RRT Dapat memperbaiki hemostasis sebelum terjadi
perburukan pH, elektrolit, cairan, zat terlarut, dimana dapat mengakibatkan
kerusakan organ lebih lanjut. Walaupun dapat terjadi perbaikan spontan fungsi
ginjal, tetapi lebih dimungkinkan apabila dilakukan early RRT.

12
2.3 Issue pada Perawatan Kritis terkait system Endokrin CAD/KAD (prinsip etik,
masalah etik, dan pengambilan keputusan etik)

2.3.1 Prinsip etik keperawatan kritis

a. Otonomi (Autonomy)

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk
respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi
saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang
perawatan dirinya.

b. Berbuat baik (Beneficience)

Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan


pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi
pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.

c. Keadilan (Justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan.

13
d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)

Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.

e. Kejujuran (Veracity)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk
meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar
menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani
perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya
batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk
pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab
individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi
penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun
hubungan saling percaya.

f. Menepati janji (Fidelity)

Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya


terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk
mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan
perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari
perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
kesehatan dan meminimalkan penderitaan.

14
g. Kerahasiaan (Confidentiality)

Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat
memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti
persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman
atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.

h. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional
dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

2.3.2 Masalah Etik

Contohnya :

Seorang laki-laki usia 65 tahun datang dibawa oleh anaknya ke IGD RS karena
ditemukan tidak sadar di kamarnya, setelah 1 hari sebelumnya mengeluh lemas,
nyeri perut, disertai mual muntah. Awalnya pasien mengeluh sesak nafas, namun
tidak lama kemudian terjatuh dan pingsan. Riwayat penyakit sebelumnya dikatakan
pasien memiliki DM tipe 2, namun menurut anak pasien, pasien tidak rutin kontrol
serta minum obat karena keterbatasan biaya.
Saat diperiksa, ditemukan pola pernafasan kussmaul (+), SpO2 78%, kesadaran
stupor, GDS 530, keton urin (+++) dan pada AGD ditemukan asidosis metabolik.
Tim dokter dan perawat IGD segera melakukan manajemen gawat darurat, namun
setelah manajemen awal, tanda-tanda vital belum menunjukkan perbaikan yang
signifikan. Dilakukan edukasi serta informed consent kepada keluarga pasien bahwa
kondisi pasien membutuhkan perawatan intensif di ICU karena diperlukan ventilator
serta terapi dan monitorin intensif lainnya, namun keluarga menolak dan ingin
membawa pulang pasien dengan alasan tidak ada BPJS.

15
2.3.3 Pemecahan masalah etik

Pemecahan dilema etik menurut Kozier (2004)


1. Mengembangkan data dasar
a) Orang yang terlibat:
- Keluarga
- Pasien
- Perawat
- Dokter
b) Tindakan yang diusulkan : penolakan perawatan kepada pasien
c) Maksud dari tindakan : Keluarga tidak memiliki biaya yang cukup untuk
perawatan
d) Konsekuensi tindakan : Tidak tertanganinya masalah kesehatan pada pasien yang
dapat berakibat mengancam nyawa pasien

2. Identifikasi konflik
Tidak disetujuinya pulang paksa karena akan melanggar UU :
- Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU
Kesehatan”). Ini artinya, rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan
kesehatan dilarang menolak pasien yang dalam keadaan darurat serta wajib
memberikan pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

3. Alternative tindakan :
Tetap dilakukan tindakan pengobatan sebagaimana mestinya dan diusahakan
agar keluarga memiliki waktu untuk mengurus BPJS pasien terlebih dahulu sesuai
dengan kebijakan RS terkait.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :


Pengambil keputusan yang tepat untuk kasus ini adalah keluarga dari pasien,
karena keluarga adalah yang paling berhak atas diri pasien.

5. Kewajiban perawat :

16
a) Memberikan pengertian kepada
b) keluarga pasien bahwa permintaannya (pulang paksa) adalah perbuatan yang
dapat mengancam nyawa pasien karena pasien saat ini sedang dalam kondisi
gawat darurat yang harus mendapatkan perawatan intensif khusus.
c) Perawat harus memberikan semangat kepada keluarga pasien agar tetap mau
mengusahakan pasien agar mendapatkan pengobatan yang sesuai
d) Perawat bersama tim harus dapat mengadvokasi pihak manajemen RS agar bisa
memberikan waktu untuk keluarga mengurus pembiayaan pasien.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

KAD merupakan komplikasi akut diabetes melitus tipe 1 yang ditandai oleh
hiperglikemia,lipolisis yang tidak terkontrol (dekomposisi lemak) ketogenesis (produksi
keton), keseimbangan nitrogen negatif, deplesi volume vaskuler, hiperkalemia dan
ketidakseimbangan elektrolit yang lain,serta asidosis metabolik.

Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada
pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus.
Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis
berulang.

Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan
obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Ketoasidois
terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan lemak untuk
memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton.

3.2 Saran

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman mahasiswa. Dan
sangat diharapkan agar kita semua paham akan materi tersebut dan menjadikan makalah ini
sebagai referensi pembelajaran.

18
DAFTAR PUSTAKA

Benoit, S. R., Zhang, Y., Geis, L. S., & Albright, A. (2018). Trends in diabetic
ketoacidosis hospitalizations and in hospital mortality — United States, 2000–
2014. Morbidity and Mortality Weekly Report, 67(12), 362–365. doi:
10.15585/mmwr.mm6712a3.

Pradana Soewondo. 2006. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 3. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal: 1896-1900.

M.Gallo, Barbara. dkk. (2012). Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik


Edisi.8, Volume.2. Jakarta. EGC.

Stillwell, B Susan. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis Edisi 3. Jakarta. EGC

WiraGotera,DewaGdeAgungBudiyasa. J Peny Dalam, Volume 11 Nomor 2 Mei 2010,


PENATALAKSANAAN KETOASIDOSIS DIABETIK (KAD)

Ridwan, Z., Bahrun, U., R Ruland DN Pakasi. 2016. Ketoasidosi Diabetik Di


Diabetes Melitus Tipe 1. Indonesian Journal Of Clinical Pathology and Medical
Laboratory. Vo. 22. No. 2. hal. 200–203

Kusuma, GA., Nurdin, H., Salam, SH., Palinrungi, AS.2023. Renal Replacement Therapy
sebagai Intervensi Dini pada Tatalaksana Ketoasidosis Diabetik. UMJ Medical
Journal, 8(1): 14-25
https://jurnal.fk.umi.ac.id/index.php/umimedicaljournal/article/download/204/158/
Nasrullah, D. (2019) Modul Kuliah Etika Keperawatan (1 vols). 1st Ed. Surabaya,
Indonesia:

19
Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Feriadi, A., Purwanti, E., & Novyriana, E. (2020). Gambaran Tingkat Penerapan Prinsip
Etik
Keperawatan di Ruang Rawat Inap Kelas III RS PKU Muhammadiyah Gombong.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 16(1)

20

Anda mungkin juga menyukai