DOSEN FASILITATOR:
Ns. T. Abdul Rasyid, M.Kep
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Tanpa pertolongan-Nya kami tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami
menghanturkan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik secara materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan tangan terbuka menerima
masukan, saran dan usul dari berbagai pihak guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami
selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Terimakasih.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..……….. ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………... 16
B. Saran ………………………………………………………………………………..... 16
Sistem endokrin hampir selalu bekerja sama dengan sistem saraf, namun cara kerjanya
dalam mengendalikan aktivitas tubuh berbeda dari sistem saraf. Ada dua perbedaaan cara kerja
antara kedua sistem tersebut. Kedua perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dibandingkan dengan sistem saraf, sistem endokrin lebih nanyak bekerja melalui
transmisi kimia.
2. Sistem endokrin memperhatikan waktu respons lebih lambat daripada sistem saraf.
Pada sistem saraf, potensial aksi akan bekerja sempurna hanya dalam waktu 1-5
milidetik, tetapi kerja endokrin melalui hormon baru akan sempurna dalam waktu yang
sangat bervariasi, berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam. Hormon
adrenalin bekerja hanya dalam waktu singkat, namun hormon pertumbuhan bekerja
dalam waktu yang sangat lama. Di bawah kendali sistem endokrin (menggunakan
hormon pertumbuhan), proses pertumbuhan memerlukan waktu hingga puluhan tahun
untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang sempurna.
Dasar dari sistem endokrin adalah hormin dan kelenjar (glandula), sebagai senyawa kimia
perantara, hormon akan memberikan informasi dan instruksi dari sel satu ke sel lainnya.
Banyak hormon yang berbeda-beda masuk ke aliran darah, tetapi masing-masing tipe hormon
tersebut bekerja dan memberikan pengaruhnya. hanya untuk sel tertentu.
Masalah satu sistem endokrin akan menyebabkan banyak pengaruh terhadap satu atau
beberapa bagian tubuh. Banyaknya penyakit baru dan penanganan yang datang pada akhir-
akhir ini membuat tim kesehatan harus meningkatkan skillnya dan pengetahuannya di bidang
ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas trend dan issue terkait dengan
masalah endokrin ini.
A. Sistem Endokrin
Kelenjar Endokrin adalah kelenjar yang mengirim hasil sekresinya langsung ke
dalamdarah yang beredar dalam jaringan, kelenjar ini tidak memiliki saluran tapi
mensekresi (mengeluarkan) hormon langsung ke dalam darah sehingga dapat mencapai
setiap sel darah didalam tubuh. Hormon bekerja pada sasaran jaringan atau organ tertentu
dan mengatur aktivitas mereka. Hormon mengatur proses seperti pemecahan subtansi
kimia dalam metabolisme,keseimbangan cairan dan produksi urin,pertumbuhan dan
perkembangan tubuh,serta reproduksi seksual. Hasil kerja hormon dari suatu kelenjar dapat
di pengaruhi oleh beberapa faktor termasuk kadar zat dalam darah dan masukan dari sistem
saraf,karena hormon mengalir dalam darah, setiap hormon dapat mencapai setiap bagian
tubuh. Namun demikian bentuk molekul khusus dari setiap hormon harus bisa masuk
kedalam reseptor (penerima) pada jaringan atau organ sasaran nya saja (Syafuddin.2009).
B. Fungsi Sistem Endokrin
Sistem endokrin mengatur pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi dan
menambah kapasitas tubuh untuk menangani stress fisik dan psikologis. Secara
keseluruhan, masing-masing kelenjar yang terdapat dalam tubuh memiliki fungsi yang
berbeda-beda tergantung dari mana kelenjar tersebut dihasilkan. Akan tetapi, secara umum
fungsi kelenjar endokrin adalah:
• Penghasil Hormon – Kelenjar endokrin bertugas untuk menghasilkan berbagai
macam jenis hormon yang nantinya akan disalurkan ke darah apabila diperlukan
oleh jaringan tubuh tertentu.
• Mengontrol Aktivitas – Kelenjar endoktrin bertugas untuk mengontrol aktivitas
dari kelenjar tubuh agar dapat berfungsi dengan normal dan maksimal.
• Merangsang Aktivitas – Kelenjar endoktrin juga bertugas untuk merangsang
aktivitas kelenjar tubuh untuk kemudian disampaikan ke sistem saraf dan
menciptakan suatu efek dari rangsangan tersebut.
• Pertumbuhan Jaringan – Kelenjar endoktrin juga mempengaruhi pertumbuhan
jaringan pada manusia agar jaringan tersebut berfungsi maksimal.
• Mengatur Metabolisme – Kelenjar endoktrin juga berfungsi untuk mengatur
A. TREND
1. Perkembangan Terkini di Bidang Terapi Farmakologis Diabetes Melitus.
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penderita Diabetes Melits (DM) di
seluruh dunia, semakin pesat pula perkembangan di bidang terapi farmakologis DM. Di
satu sisi, perkembangan ini menyediakan harapan baru bagi penderita DM. Di sisi lain,
timbul banyak pertanyaan baru mengenai waktu dan cara pemberian golongan obat terbaru
itu.
Acara tahunan PERKENI (Perhimpunan Endokrinologi Indonesia) yang luas dikenal
sebagai Jakarta Diabetes Meeting (JDM) mengumpulkan praktisi medis dari seluruh negeri
untuk mendiskusikan isu-isu tersebut serta isu terkini seputar DM secara umum. Bertempat
di Hotel Mercure, Ancol, acara yang berlangsung dari 12 hingga 13 November 2011, ini
mengambil tema "The Ait of Diabetes Management: Stratification Approach".
Terlepas dari ketersediaan sekian banyak golongan obat antidiabetik oral (OAD) seperti
metformin, sulfonilurea, glitazon maupun insulin, mayoritas pasien gagal mencapai atau
mempertahankan kontrol gula darah. Guideline dari American Diabetes Associtation
(ADA) merekomendasikan metformin sebagai obat antihiperglikemik lini pertama. Begitu
metformin gagal, direkomendasikan penambahan OAD lain. Sayangnya, kombinasi obat
seringkali menimbulkan efek samping yang signifikan dan menghambat intensifikasi
terapi. Penambahan berat badan dan hipoglikemia merupakan dua dari sekian banyak efek
samping yang menghambat kemajuan terapi pada penderita DM. Sesi simposium JDM
pertama didedikasikan untuk membahas perkembangan terbaru di bidang terapi DM
dengan tajuk "Current an Future Treatment in Managing Diabetes: GLP-1 analogue or
Insulin?".
Analog GLP-1 merupakan kelas obat antidiabetik terbaru dengan cara kerja yang
menyerupai hormon endogen, yaitu glucagon-like peptide (GLP). GLP-1 sendiri
merupakan salah satu jenis hormon saluran cerna yang bernama inkretin. Inkretin
dilepaskan ke sirkulasi sebagai respons dari nutrisi yang sedang dicerna dari makanan.
Menurut Prof. Dr. dr.Sarwono Waspadji, SpPD-KEMD, efek dari inkretin ini pertama kali
diketahui setelah adanya pengamatan bahwa pemberian glukosa secara oral dan intravena
menghasilkan respons yang berbeda. Rangsangan pelepasan insulin dari pankreas lebih
besar setelah pemberian glukosa oral dibandingkan dengan glukosa intravena yang
diberikan dalam jumlah sama.
Analog GLP-1 sendiri bukanlah satu-satunya terapi yang berbasis inkretin. Diketahui
pula bahwa terdapat enzim bemama DPP-4 yang menghancurkan GLP-1. Berangkat dari
pemahaman mengenai hal tersebut, peneliti menetapkan penghambatan enzim DPP-4 atau
dikenal sebagai inhibitor DPP-4, atau 'gliptin' sebagai target terapi selanjutnya. Gliptin
akan mencegah degradasi dari analog GLP-1 dan memperpanjang waktu paruhnya.
Kedua terapi berbasis inkretin ini memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan para
pendahulunya. Selain penurunan HbAIC dan kadar glukosa darah yang signifikan, terdapat
manfaat-manfaat lain. Oleh karena sekresi dari inkretin bergantung dari keberadaan
glukosa di saluran cerna, terjadi penurunan risiko hipoglikemia apabila dibandingkan
dengan OAD lainnya. "GLP-1 dikaitkan pula dengan timbulnya rasa kenyang yang
selanjutnya diikuti penurunan asupan makanan. Hasil akhir dari keadaan ini adalah
penurunan berat badan atau sekurang-kurangnya penderita tidak bertambah berat badan.
Inilah sebabnya analog GLP-1 direkomendasikan pada pasien dengan berat badan
berlebih," demikian menurut dr. E. M.Yunir, SpPD-KEMD. Ditambahkan pula oleh beliau
mengenai adanya penelitian yang mendapati preservasi fungsi sel beta pankreas setelah
konsumsi obat tersebut. Saat ini, analog GLP-I belum ada di Indonesia, namun
kehadirannya diharapkan dalam waktu dekat.
Selain analog GLP-1, topik lain yang cukup menyita perhatian adalah perkembangan
terbaru dari terapi insulin. Insulin dibutuhkan secara mutlak oleh pasien DM tipe 1 yang
tidak lagi memiliki sel beta pankreas fungsional serta oleh pasien DM tipe 2 dengan fungsi
sel beta pankreas yang menurun secara progresif. Untuk pasien DM tipc 2, pemberian
insulin mash cukup problematik. Walaupun penambahan insulin berimbas pada penurunan
kadar glukosa darah secara signifikan, banyak pasien tidak mampu mencapai target HbAlC
setelah pemberian regimen insulin konvensional. Selain itu, muncul kekhawatiran
mengenai hipoglikemia."Dapat timbul resistansi insulin fisiologis pada pasien DM yang
kapok setelah mengalami kejadian hipoglikemia," demikian ujar dr. Tri Juli Edi Tarigan,
SpPD, pada kesempatan yang sama.
Sebuah studi yang dijalankan oleh Rury R. Holman, dkk., dari kelompok studi 4-T
berupaya menggambarkan perbandingan berbagai jenis insulin sebagai tambahan untuk
terapi OAD pada pasien DM tipe 2. Studi ini membandingkan pemberian insulin aspart
bifasik (basal ditambah prandial), insulin prandial, dan insulin basal detemir pada pasien
yang sudah mendapat dosis maksimal metformin dan sulfonilurea yang mampu ditoleransi.
Hasilnya, didapatkan bahwa penambahan insulin bifasik atau prandial lebih menurunkan
kadar HbAIC dibandingkan pemberian insulin basal. Bagaimanapun, diamati pula adanya
peningkatan risiko hipoglikemia dan penambahan berat badan pada pemberian kedua
kelompok insulin pertama.
Insulin basal detemir pun ternyata memiliki kelebihan lain dalam hal variabilitas
intraindividu. Lebih dari 98% insulin detemir di aliran darah terikat pada albumin, sehingga
ia didistribusikan lebih lambat ke jaringan target perifer. Penambahan asam lemak juga
menjadikan detemir tidak mudah mengalami presipitasi saat pemberian atau saat
diabsorpsi. Stabilitas semacam ini lah yang berkontribusi mengurangi proses yang tidak
dapat diperkirakan sebelumnya, yaitu variabilitas intraindividu, pada pemberian detemir:
Salah satu merk insulin detemir yang beredar luas di Indonesia adalah Levemir keluaran
Novo Nordisk. Dengan alat injeksi yang mudah digunakan olch pasien, Levemir
menyediakan alternatif trapi yang baik untuk menurunkan hambatan adherensi terhadap
terapi insulin pada pasien DM tipe 2.
2. Program Penanggulangan Penyakit Diabetes Mellius Di Indonesia.
Program pencegahan primer di Indonesia telah dilaksanakan olch PT Merck Indonesia
Tbk bekerja samadengan Depkes RI dan organisasi profesi (PERKENI) dan organisasi
kemasyarakatan (PERSADI dan PEDI) yaitu program bertajuk Pandu Diabetes dengan
simbol Titik Oranye. Melakukan kegiatan-kegiatan antara lain memberikan informasi dan
edukasi mengenai Diabetes Mellitus dan pemeriksaan kadar gula darah secara gratis bagi
sejuta orang yang telah diluncurkan olehMenkes pada 15 Maret 2003.Menteri Kesehatan
Dr.dr.Siti Fadillah Supari, Sp.JP (K) akan membentuk direktorat baru di Departemen
Keschatan untuk menangani Penyakit Tidak Menular (PTM) karena berdasarkan data
Depkes untuk jumlah pasien Diabetes rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit
menempati urutan pertama untuk seluruh penyakit endokrin. Terdapat klinik kaki diabetes
di salah satu rumah sakit milik pemerintah yang merupakan bentuk layanan yang diberikan
bagi penderita diabetes. Ini salah satu bentuk perhatian pemerintah kepada penderita
Diabetes Mellitus mengingat penderita Diabetes sangat rentan untuk terkena infeksi, hal
ini juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi amputasi kaki akibat pekait Diabetes
Mellitus.
Federasi Diabetes Internasional (IDF) mengeluarkan pemyataan konsensus baru
mengenai pencegahan diabetes, menjelang resolusi Majelis Umum PBB pada bulan
Desember 2006 yang menghimbau aksi internasional bersama. Konsensus IDF baru ini
merekomendasikan bahwa semua individu yang beresiko tinggi terjangkiti diabetes tipe-2
dapat diidentifkasi melalui pemeriksaan oportunistik olch dokter, perawat, apoteker
dandengan pemeriksaan sendiri.
Profesor George Alberti, mantan presiden IDE sekaligus penulis bersama konsensus
baru IDF mengatakan: 'Terdapat banyak bukti dari sejumlah kajian di Amerika Serikat,
Finlandia, Cina, India dan Jepang bahwa perubahan gaya hidup (mencapai berat badan
yang sehat dan kegiatan olahraga yang moderat) dapat ikut mencegah berkembangnya
diabetes tipe-2 pada mereka yang beresiko tinggi (2-6). Konsensus baru IDF ini
menganjurkan bahwa hal ini haruslah merupakan intervensi awal bagi semua orang yang
beresiko terjangkiti diabetes tipe-2, dan juga fokus dari pendekatan keschatan penduduk.
(SUMBER: Federasi Diabetes Internasional)
B. ISSUE
1) Isu Mutakhir Tentang Penyakit Diabetes Mellitus
a) Adanya hubungan timbal balik antara periodontitis (infeksi pada mulut) dengan
Diabetes Mellitus, keterlibatan dokter gigi dalam penanganan pasien Diabetes Mellitus
perlu ditingkatkan.
b) Dokter gigi dituntut untuk lebih aktif memposisikan diri sebagai mitra dokter
umum/dokter spesialis dalam penanganan pasien Diabetes.
c) Perlu adanya perlindungan kepada obat tradisional untuk penyakit Diabetes Mellitus
agar tetap asli dari tanaman obat dan tidak diberi tambahan zat kimia.
d) Perlu dipelajari lebih lanjut dengan mengadakan pendekatan kasus dengan metode
penelitian yang khusus pula mengapa penderita IDDM dapat bertahan hidup selama I
minggu tanpa insulin dengan melalui penggantian insulin atau adaptasi.
e) Obat anti Diabetes oral sebaiknya tidak diberikan pada Diabetes Mellitus dengan
Tuberkulosis paru karena adanya efek rifampicin dan isoniazid yang mengurangi efek
obat tersebut.
f) Kadar glukosa darah yang terkontrol pada penderita Diabetes Mellitus dapat
menurunkan derajat kegoyahan gigi sebesar 51,45%.
g) Melakukan peneltian lanjutan dengan menggunakan bahan aktif yang disolasi dari
buahmengkudu untuk mengetahui efeknya dalam menurunkan kadar gula darah.
h) Perlu dikembangkan kegiatan di kelompok-kelompok masyarakat guna meningkatkan
pengetahuan kesehatan terutama gizi, sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan
dankemampuan untuk menangani masalah keschatan yang dihadapinya.
i) Perlunya melakukan penelitian isolasi kandungan Eugenia Polyantha.
j) Menguji khasiat hipoglikemianya untuk menurunkan kadar glukosa darah.
2) Terampil Gunakan Insulin Melalui INSPIRE
Insulin termasuk salah satu terapi kunci dalam penatalaksanaan diabetes mellitus
(DM). Akan tetapi, tidak semua dokter, baik dokter umum maupun spesialis, menguasai
teknik terapi insulin secara mahir. Olch karena itu, dibutuhkan pelatihan untuk
meningkatkan keterampilan memberikan terapi insulin.
Dalam mengelola diabetes, dibutuhkan kontrol gula darah, yang salah satunya dapat
dicapai melalui pemberian insulin. Akan tetapi, seiring semakin majunya ilmu
pengetahuan, modalitas terapi insulin juga mengalami perkembangan. Para dokter harus
menguasai metode terapi insulin yang mampu memberikan hasil terbaik bagi pasien.
Diharapkan dengan adanya INSPIRE ini pengelolaan diabetes di Indonesia, khususnya
pemberian terapi insulin, menjadi semakin optimal demi meningkatkan kualitas hidup
pasien.
3) Terapi Hiperglikemia Intensif vs Konvensional di ICU
Hiperglikemia adalah hal yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit akut,
termasuk mereka yang dirawat di ruang rawat intensif (ICU). Hiperglikemia berat
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, sehingga dipikirkan untuk
mengontrol kadar glukosa darah dengan ketat. Namun demikian, terdapat kontroversi
dalam pengontrolan kadar glukosa darah. Ada ahli yang menyarankan pengontrolan secara
ketat, tetapi ada pula yang lebih memilih cara konvensional.
Untuk memilih metode mana yang paling baik untuk diterapkan, dilakukanlah suatu
penelitian yang bernama (NICESUGAR). Sebanyak 6104 pasien ICU yang memiliki
karakterist dasar yang sama direkrut untuk penelitian ini. Mereka dibagi menjadi dua
kelompok. Pada kelompok pertama (3054 orang) diterapkan metode intensif, sedangkan
pada kelompok kedua (3050 orang) diterapkan metode konvensional.Pada metode intensif,
glukosa darah dijaga ketat pada kisaran 81 sampai 108 mg/dL.Sementara itu pada metode
konvensional, target glukosa darah yang dinginkan hanya 180 mg/dL atau kurang.
Normoglycemia in Intensive Care Evaluation?Survival Using Glucose Algorithm
Regulation Terapi Hiperglikemia Intensif vs Konvensional di ICU Setelah mengikuti para
responden tersebut selama 90 hari, tercatat bahwa kejadian hipoglikemia berat (kadar
glukosa darah kurang atau sama dengan 40 mg/dL) dialami oleh 6,8% responden dari
kelompok pertama dan hanya 0,5% dari kelompok kedua. Sementara itu, kematian dialami
oleh 27,5% pasien dari kelompok intensif, dibandingkan dengan 24,9% dari kelompok
konvensional. Perbedaan persentase sebanyak 2,6% tersebut didapati bermakna. Kematian
karena penyebab kardiovaskular juga lebih banyak didapati pada kelompok satu daripada
kelompok duaNamun demikian, tidak didapati adanya perbedaan lama perawatan antara
dua kelompok tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, studi NICE-SUGAR mengambil kesimpulan bahwa terapi
hiperglikemia konvensional, yaitu dengan mempertahankan target glukosa darah kurang
atau sama dengan 180 mg/dL memiliki mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
terapi hiperglikemia intensif, yaitu dengan menjaga kadar glukosa darah antara 81 sampai
108 mg/dL.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi sebagai seorang perawat mempunyai kewajiban untuk menjamin diterimanya
hak-hak pasien. Perawat harus membela pasien apabila haknya terabaikan advokasi juga
mempunyai arti tindakan melindungi, berbicara atau bertindak untuk kepentingan klien dan
perlindungan kesejahteraan Seringkali pasien mengalami ketakutan dan kecemasan
berlebihan terhadap penyakitnya. Perawat spesialis endokrin sebagai manajer asuhan
keperawatan, mempunyai kewajiban memberikan asuhan keperawatan lanjut pada kasus
gangguan endokrin kompleks secara komprehensifAplikasi asuhan keperawatan diberikan
berdasarkan analisis bahwa pada umumnya gangguan sistem endokrin berjalan dalam
waktu yang lama (dibanding sistem syaraf). Dari studi NICE-SUGAR mengambil
kesimpulan bahwa terapi hiperglikemia konvensional, yaitu dengan mempertahankan
target glukosa darah kurang atau sama dengan 180 mg/dL memiliki mortalitas yang lebih
rendah dibandingkan dengan terapi hiperglikemia intensif, yaitu dengan menjaga kadar
glukosa darah antara 81 sampai 108 mg/dL.
B. Saran
Diharapkan kepada pembaca yang nantinya akan menjadi tenaga Kesehatan di
Masyarakat dapat mengetahui Trend & Issue terkait masalah system endokrin dan
memahami apa saja Peran dan Fungsi sebagai Perawat Advokasi.
DAFTAR PUSTAKA
Luwita, Dwisang Evi, S.Si.2014. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Paramedis. Tangerang
Selatan.
Rubin, M. R. & J. Sliney Jr. 2014. Therapy of hypoparathyroidism with intact parathyroid
Brunner, Suddart, Susanne Smeltzer. C. 2007. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi VIII,
Vol II Buku Kedokteran. ECG. Jakarta.
Doenges, Marylinn, E. 2005. Rencana Asuhan. Keperawatan. Buku kedokteran. ECG. Jakarta
Depkes RI, 2008, Indonesia Sehat 2010; Visi Baru, Misi. Kebijakan dan Strategi
Pembangunan Kesehatan, Jakarta
Long C. Barbara, 2006, Keperawatan Medikal Bedah, Ikatan Alumni Pendidikan Padjajaran,
Bandung
Masjoer A, et. Al 2006 Kapikta Selekta Kedokteran. Jilid I. Media Aescupalius. Fakultas Ilmu
Kedokteran Jakarta. Universitas Indonesia
Lanywati, Endang, 2006, Diabetes Mellitus Penyakit Kencing Manis, Kanisius, Yogyakarta.