Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perekonomian di Indonesia yang semakin berkembang, ditandai dengan adanya


perusahaan-perusahaan baik dalam negeri maupun luar negeri yang melakukan investasi
dalam jumlah yang signifikan di ikuti dengan persaingan dunia bisnis yang semakin ketat
menuntut setiap perusahaan untuk meningkatkan kinerja dan mempertahankan kelangsungan
usaha (going cocern) disamping tujuan memperoleh laba yang besar.

Kinerja perusahaan dipengaruhi oleh ketersediaan dana sebagai sumber untuk


melakukan kegiatan operasional maupun non opersaional perusahaan. Untuk mendapatkan
asupan dana yang menguntungkan pada jangka waktu yang panjang maka pada sebagian
besar perusahaan menerapkan suatu konsep investasi yaitu penganggaran modal (capital
budgeting).

Investasi (sumber-sumber yang tersedia) jumlahnya sangat langka (terbatas), maka


tidak semua proyek/usaha /kegiatan dapat diselenggarakan walaupun semuanya memberikan
keuntungan. Dari berbagai kesempatan investasi, terbuka tingkat keuntungan yang berbeda-
beda untuk itu perlu adanya penilaian terhadap rencana investasi (analisis, rangking dan
pemilihan proyek/usaha yang akan dijalankan sesuai dengan keuntungan yang diharapkan).

Penganggaran modal dipandang sebagai suatu konsep investasi yang relevan untuk
mengatur dana yang akan di keluarkan dan memprediksi tingkat keuntungan masa depan
jangka panjang karena melibatkan suatu pengikatan (penanaman) modal suatu perusahaan.
Oleh karena itu, penganggaran modal sangat menarik untuk dipelajari guna membantu
seorang manajer membuat kepututsan sebelum berinvestasi.

Halaman 1
1.2 Perumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penganggaran modal?
2. Bagaimana tahap-tahap dalam proses penganggaran modal?
3. Berapa besar kebutuhan dana dalam penganggaran modal?
4. Dari mana saja sumber dana dan biaya modal diperoleh?
5. Seperti apa arus kas dalam penganggaran modal?
6. Bagaiamana pola arus kas?
7. Apa saja metode penilaian investasi dan analisis masing-masing metodenya?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari penganggaran modal
2. Untuk mengetahui tahap-tahap dalam proses penganggaran modal
3. Untuk mengetahui kebutuhan dana dalam penganggaran modal
4. Untuk mengetahui sumber dana dan biaya modal diperoleh
5. Untuk mengetahui arus kas dalam penganggaran modal
6. Untuk mengetahui pola arus kas
7. Untuk mengetahui metode penilaian investasi dan analisis masing-masing metode

Halaman 2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penganggaran Modal

Penganggaran modal adalah proses perencanaan pengeluaran modal untuk


memperoleh asset yang aliran kasnya diperkirakan di atas satu tahun. (Brigham and
Houston:2009).

Penganggaran modal mencakup keseluruhan proses penganalisisan proyek-proyek


dan penetapan proyek mana yang akan dimasukkan ke dalam penganggaran modal. Ada dua
jenis proyek dalam penganggaran modal, yaitu: proyek independen dan proyek saling
ekslusif. (Hansen dan Mowen:2005).

Ada dua aspek, yaitu aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif adalah
bagaimana menyiapkan anggaran modal tahunan, dimana anggaran modal tersebut digunakan
untuk menghasilkan suatu keputusan investasi yang mencerminkan tujuan usaha. Sedangkan
aspek kualitatif adalah faktor-faktor yang berasal dari luar meliputi keadaan lingkungan,
perekonomian, politik, sosial, kompetitor, kebijakan pemerintah, dll. Untuk menghasilkan
suatu keputusan investasi dibutuhkan suatu proses yang diawali dengan persiapan
penganggaran modal tahunan yang merupakan rangkaian rencana proyek investasi. Akhir
daripada penggangaran modal harus mencerminkan perencanaan strategis suatu usaha.
(Brealey/Myers/Allen, hal 299:2006).

Penganggaran modal digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang


merencanakan investasi penting yang mempunyai keterlibatan jangka panjang. Investasi
merupakan suatu pengaitan sumber-sumber daya atau pengeluaran modal saat ini untuk
memperoleh manfaat dimasa yang akan datang. (Suad Husnan dan Suwarsono Muhammad,
hal 5:2000).

Dalam studi kelayakan, yang dipelajari salah satunya adalah penilaian investasi
dengan kriteria investasi. (Suad Husnan dan Suwarsono Muhammad:2000)

Halaman 3
Capital Budgeting adalah keseluruhan proses dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan mengenai pengeluaran dana, jangka waktu pengembalian dana tersebut melebihi
satu tahun (Suratiyah:2006).

Capital Budgeting adalah menilai rencana investasi yang akan kembali dalam jangka
panjang. Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumberdaya lainnya yang
dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa datang
(Pangestu:2001).

Merunut kelompok kami definisi penganggaran modal (Capital Budgeting) proses


mengumpulkan, menganalisa, mengevaluasi, menyeleksi dan memilih proyek-proyek
investasi serta menentukan alternatif penanaman modal yang akan memberikan penghasilan
bagi perusahaan untuk jangka waktu lebih dari 1 tahun secara konsisten terhadap
maksimalisasi tujuan perusahaan. Penganggaran modal digunakan untuk melukiskan tindakan
perencanaan dan pembelanjaan pengeluaran modal sebagai bentuk investasi meliputi seluruh
pengeluaran-pengeluaran (capital expenditure) atau (cost) untuk keperluan investasi yang
memberikan manfaat (benefit) lebih dari satu tahun yang dikuantifikasi sehingga
memungkinkan untuk diadakan penilaian dan membandingkannya dengan alternatif investasi
lainnya.

Penganggaran modal menjadi sangat penting terkait fungsinya sebagai alat bantu
manajemen dalam menentukan dana yang dikeluarkan berbanding lurus dengan manfaat yang
didapatkan atau tidak melebihi dari target, alat pengambilan keputusan oleh manajer yang
tepat berkaitan erat dengan jangka waktu yang panjang yang memungkinkan manajer
mengambil keputusan menjadi kurang fleksibel, penanggaran modal yg efektif akan
menaikkan ketepatan waktu dan kualitas dari penambahan aktiva yang dibeli perusahaan,
pengembangan produk baru atau pembelian aktiva baru, pengurangan biaya dengan
mengganti aktiva yang tidak efisien, modernisasi atas aktiva tetap.

Halaman 4
2.2 Tahap-Tahap Dalam Proses Penganggaran Modal

Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber dana atau sumber daya
lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di
masa datang (Tandelilin, 2007:3).

1. Menentukan jenis investasi yang akan di pilih biasanya dikelompokkan ke dalam


empat golongan yaitu: (Warsono, 2003:165-166):
 Investasi penggantian (replacement)
Usulan investasi penggantian dilakukan apabila suatu aktiva tetap sudah habis
umur ekonimisnya. Tujuan dari usulan investasi penggantian ini adalah untuk
memperthankan efisiensi atau bahkan meningkatkan efisiensi, sehingga dapat
diperoleh penghematan biaya operasionalnya.
 Investasi perluasan (expansion)
Perluasan usaha dapat dilakukan dengan menambah kapasitas produksi yang
sudah ada dengan menambahkan mesin-mesin yang digunakan atau degan
membuka cabang baru.
 Investasi pertumbuhan (growth)
Usulan ini dilakukan dengan cara lini produk baru (new product aktivities).
Melakukan diversifikasi produk dapat mengurangi resiko usaha yang
disebabkan oleh di berbagai segmen pasar yang tidak tentu, sehingga jika
terjadi tidak berhasilnya pemasaran suatu produk pada segmen pasar tertentu,
secara relatif dapat dikompensasikan sebagai keberhasilan pemasaran produk
lain pada segmen pasar lainnya.
 Investasi lainnya
Usulan yang tidak termasuk dalam ketigagolongan tersebut, seperti
pengeluaran dana untu memenuhi standar kesehatan yang dituntut. Biasanya
usulan ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan pihak ekstern misalnya
peraturan pemerintah tentang BPJS.

Menurut jangka waktu lamanya investasi dibagi lagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Investasi jangka pendek, yaitu investasi yang umur ekonomisnya tidak lebih dari 1
tahun. Seperti deposito, warrant, reksadana dll.

Halaman 5
2. Investasi jangka menengah, yaitu investasi yang umur ekonomisnya mulai 1 hingga 5
tahun. Seperti emas, asuransi, atau reksadana. Untuk reksadana, pilihan bisa jatuh
pada reksadana jenis campuran. Dengan tingkat resiko dan fluktuatifnya lebih rendah
dari reksadana saham.

3. Investasi jangka panjang, yaitu investasi yang umur ekonomisnya minimal 5 tahun.
Seperti rumah, tanah, reksadana, saham atau obligasi. Untuk reksadana, ada baikmya
menjatuhkan pilihan kepada reksadana saham disebabkan nilai masa depan yang akan
bertambah. Karena secara teori, perekonomian diharapkan akan semakin baik di masa
depan, sehingga reksadana saham pun prospektif untuk tipe jangka panjang. Selain
itu, tingkat fluktuatif yang tinggi dari saham namun secara kecenderungan akan tetap
naik. Untuk asuransi, jangan sampai terjebak dengan iming-iming mendapatkan claim
yang besar, apalagi jika kita sudah tercover dalam asuransi di kantor. Sebisa mungkin
pisahkan antara urusan asuransi dengan investasi supaya fokus sesuai dengan tujuan
masing-masing.

2. Menentukan kebutuhan dana/modal kerja


3. Menentukan sumber dana
4. Estimasi arus kas

Perkiraan cash flow yang kompleks membutuhkan pemikiran dan perhitungan yang
matang agar estimasi cash flow yang diproyeksikan mampu mendekati perkiraan cash flow
yang dilaksanakan perusahaan. Dengan demikian, penilaian terhadap hasil analisis capital
budgeting akan memberikan penilaian yang akurat pada penentuan keputusan investasi.

5. Pos Audit

Aspek penting dari proses capital budgeting adalah post audit yang melibatkan:

 Perbandingan hasil aktual dengan hasil yang diprediksikan oleh sponsor investasi
 Penjelasan mengapa setiap perbedaan ini terjadi

Post audit memiliki 2 tujuan utama yaitu:

 Memperbaiki estimasi ketika pengambilan keputusan dibandingkan dengan proyeksi


terhadap hasil aktual dari segi metode estimasi sebagai kontrol bahwa berbagai
tindakan dimonitor.

Halaman 6
 Meningkatkan operasi pada tingkat efisiensi yang lebih tinggi atau lebih rendah
mengenai investasi maka para anggota mempertaruhkan reputasinya pada lini ini.
6. Pengambilan Keputusan

Manajemen setelah melakukakan penganggaran modal seketika itu juga harus segera
mengambil keputusan investasi seperti, penambahan dan perluasan fasilitas, produk baru,
inovasi dan perluasan produk, penggantian (replacements) untuk menentukan kepastian
dalam berinvestasi agar perusahaan dapat segera diuntungkan.

2.3 Kebutuhan Dana Dalam Penganggaran Modal

Kebutuhan dana untuk berinvestasi ditentukan pada jenis investasi apa yang akan
dipilih kemudian harus realistis dalam menilai investasi dan membandingkannya dengan dana
yang dimiliki. Misalnya Univesitas Widyagama memilih jenis investasi penggantian, yaitu
membeli gedung baru untuk menggantikan gedung lama. Dengan mempertimbangkan cash
flow, umur ekonomis dan risiko Universitas Widyagama memiliki 2 alternatif jika sewa
membutuhkan dana Rp. 25 juta per tahun, jika membeli gedung dinilai sekarang Rp. 200 juta.

2.4 Sumber Dana Dan Biaya Modal

Seorang manajer keuangan berkepentingan dalam memperoleh dana (raising of fund)


dan bagaimana menggunakan dana tersebut (allocation of fund). Untuk memperoleh dana ada
2 sumber, yaitu dari dalam adalah laba ditahan dan penyusutan. Dari luar perusahaan seperti
supplier, bank, pasar modal berbentuk hutang atau modal sendiri. Jika dana tidak terbatas,
maka perusahaan dapat memilih semua independen project yang sesuai dengan expected
return yang diharapkan. Jika dana terbatas maka perusahaan perlu melakukan capital
rationing dengan mengalokasikan dana hanya pada proyek yang memberikan return
maksimal saja.

Sumber dana yang dibentuk perusahaan terkait dengan biaya rill yang harus
dikeluarkan perusahaan untuk memperoleh dana baik berasal dari hutang, saham preferen,
saham biasa dan laba ditahan untuk mendanai suatu investasi atau operasi perusahaan maka
sebaiknya dipilih yang biaya modal (Cost of Capital) yang lebih rendah sebagai cutt off
penilaian profitabilitas dalam pengambilan keputusan investasi yang efisien dan ekonomis.

Halaman 7
2.5 Arus Kas Dalam Penganggaran Modal

Menurut (Bambang Rijanto, 1995) setiap usul penganggaran modal selalu mengandung
dua macam arus kas (cash flow), yaitu:

 Aliran kas keluar neto (Net Outflow of Cash) yaitu yang diperlukan untuk investasi
baru.
 Aliran kas masuk neto tahunan (Net Annual Inflow of Cash), yakni sebagai hasil dari
investasi baru tersebut, yang ini sering pula disebut “Net Cash Proceeds” atau cukup
dengan istilah “Proceeds”.
 Arus kas untuk tujuan capital budgeting didefinisikan sebagai arus kas sesudah pajak
atas semua modal perusahaan. Secara aljabar, definisi tersebut sama dengan laba
sebelum bunga dan pajak, dikurangi pajak penghasilan jika perusahaan mempunyai
hutang, ditambah beban penyusutan non kas. Rumusannya adalah sebagai berikut:

Cash Flow = EBIT (1 – T) + Depresiasi

Dimana :

EBIT = Laba Sebelum Bunga dan pajak

T = Pajak penghasilan perusahaan

Depr = Beban Penyusutan

Rumusan tersebut berlaku untuk perusahaan yang tidak memiliki hutang. Apabila perusahaan
memiliki hutang maka rumusannya adalah :

Cash Flow = NI + Depr + rD (1 – T)

Dimana:

NI = Net Income

rD = Interest expense (biaya bunga bank)

Halaman 8
2.6 Pola Arus Kas

Beberapa perusahaan dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan siklus hidup


perusahaan berdasarkan portofolio produk. Produk individual dapat digolongkan menjadi
empat fase tingkatan yaitu : startup, growth, mature, dan decline (Black, 1998).

1. Perusahaan yang berada pada tahap startup mempunyai volume penjualan awal
yang rendah serta menderita kerugian akibat adanya startup cost yang berhubungan
dengan usaha baru. Dana yang ada terutama berasal dari dana pinjaman. Tingkat
likuiditas perusahaan rendah karena dana yang masuk dengan cepat akan
dikeluarkan lagi untuk membayar berbagai macam biaya. Selain itu, perusahaan
yang berada pada tahap startup pada umumnya tidak membagikan dividen (Pashley
dan Philippatos, 1990 dalam Atmini, 2000 ). Namun tahap startup ini merupakan
tahap dimana perusahaan akan mengalami pertumbuhan penjualan yang paling
tinggi (Jones 2007).

2. Perusahaan yang berada pada tahap growth, mengalami peningkatan penjualan


(tetapi pertumbuhan penjualannya tidak setinggi pada tahap start up), keuntungan,
dan likuiditas serta mulai membayar dividen. Dalam hal pendanaan, rasio ekuitas
terhadap utang meningkat karena laba diinvestasikan kembali ke dalam perusahaan
dan beberapa kewajiban telah dibayar. Selain itu, perusahaan mulai melakukan
diversifikasi dalam lini produk yang berhubungan erat karena dana untuk
melakukan investasi semacam ini sudah tersedia (Pashley dan Philippatos, 1990
dalam Atmini, 2000). Pada saat tahap expansion (growth) ini perusahaan mulai
meningkatkan produknya dan mungkin mulai menurunkan harga. Margin laba pada
tahap ini sangat tinggi dan dividen sudah mulai dapat dibayarkan (Jones 2007).

3. Perusahaan yang berada pada tahap maturity mengalami puncak tingkat penjualan
(tetapi pertumbuhan penjualannya dibawah tahap startup dan growth), tetapi
mengalami penurunan laba akibat kompetisi harga. Selain itu, tingkat likuiditasnya
tinggi, karena kelangkaan kesempatan investasi yang bagus di dalam perusahaan.
Perusahaan menjadi cash cow. Perusahaan membayar dividen yang tinggi.
Menghadapi kondisi semacam ini, pada umumnya perusahaan memandang akuisisi
eksternal sebagai cara yang menarik untuk menginvestasikan dana yang berlebih
secara menguntungkan (Pashley dan Philippatos, 1990 dalam Atmini, 2000). Tahap

Halaman 9
ini mungkin merupakan bagian terlama dari siklus hidup perusahaan. Produk –
produk perusahaan semakin kurang inovatif dan pasar mulai penuh oleh kompetitor
(Jones 2007).

4. Perusahaan yang berada pada tahap decline memiliki growth opportunities yang
terbatas. Permintaan akan produk yang diproduksi perusahaan yang berada pada
tahap decline sangat rendah. Oleh karena itu, perusahaan, terutama yang berada
pada akhir tahap decline, mengalami penurunan penjualan secara signifikan
sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian dan terhentinya pembayaran dividen
(Pashley dan Philippatos, 1990 dalam Atmini, 2000).

Weston dan Brigham (1981) dalam Juniarti dan Limanjaya (2005) menyatakan bahwa
siklus hidup suatu perusahaan atau suatu industri akan cenderung digambarkan seperti bentuk
kurva S (Sshaped curve) seperti yang terlihat dalam gambar II.1, tahap 1 sampai dengan
tahap 4 dari gambar tersebut merupakan startup, high growth, maturity dan decline.

GAMBAR II.1

TAHAPAN SIKLUS HIDUP PERUSAHAAN

Sumber : Weston dan Brigham, 1981 dalam Juniarti dan Limanjaya, 2005)

Ada beberapa macam metode pengklasifikasian siklus hidup. Black (1998)


menggunakan metode yang didasarkan pada metode Anthony dan Ramesh (1992), yaitu:
untuk pengklasifikasian ke tahap start up, kriteria yang digunakan yaitu (1) perusahaan
didirikan antara tahun 19881997, (2) perusahaan tidak terbentuk sebagai akibat dari
divesture, merger, atau bentuk restrukturisasi lainnya, (3) perusahaan mulai melakukan
Halaman 10
penjualan tidak lebih dari satu tahun sebelum go public, (4) hanya data perusahaan selama
tiga tahun pertama setelah tanggal berdiri perusahaan yang dimasukkan. Kualifikasi observasi
tahun perusahaan ke dalam tahap growth, mature, dan decline dilakukan berdasarkan empat
variabel klasifikasi, yaitu Persentase Sales Growth (SG), persentase Dividen Payout (DP),
persentase Capital Expenditure (CEV), dan Firm Age (AGE). Kemudian tahap growth,
mature, dan decline akan diklasifikasikan berdasarkan tabel berikut ini :

TABEL II.1

KRITERIA PENGKLASIFIKASIAN SIKLUS HIDUP (BLACK, 1998)

Life cycle stages DP SG CEV AGE

Growth Low High High Young

Mature Medium Medium Medium Adult

Decline High Low Low Old

Sumber :
Black (1998)

Sedangkan Gub dan Agrrawal ( 1996) menggunakan metode

persentase pertumbuhan penjualan sebagai proksi untuk

mengelompokkan perusahaan ke dalam siklus hidupnya. Adapun metode


pengklasifikasiannya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Halaman 11
TABEL II.2

KRITERIA PENGKLASIFIKASIAN SIKLUS HIDUP

(GUB AND AGRRAWAL,1996)

Life cycle stages Growth Rate of Sales (5 years)

Pioneering 50% or More

Early Expansion 20 – 49,9%

Late Expansion 10 – 19,9%

Stabilization 09,9%

Decline Less than 0%

Sumber : Gub dan Agrrawal (1996)

Berbeda dengan metode pengkategorian siklus hidup perusahaan yang dipakai oleh
Black (1998), Atmini (2002), dan Gumantri dan Puspitasari (2005) serta penelitian-
penelitian terdahulu lainnya yang mengelompokkan siklus hidup perusahaan berdasarkan
metode Anthony dan Ramesh (1992) dan metode Gub dan Agrrawal (1996), metode
pengklasifikasian siklus hidup yang dipakai oleh Dickinson (2007) memakai pola arus
kas untuk mengklasifikasikan siklus hidup.

Dickinson (2007) mengatakan bahwa variabelvariabel pengklasifikasian siklus


hidup yang digunakan oleh penelitian terdahulu seperti penelitian Anthony dan Ramesh
(1992) dan Black (1998) hanya dapat menangkap siklus hidup produk dari perusahaan bukan
siklus hidup atau level dari perusahaan itu sendiri. Adapun metode pengklasifikasiannya
adalah sebagai berikut :

Halaman 12
TABEL II.3

KRITERIA PENGKLASIFIKASIAN SIKLUS HIDUP (DICKINSON, 2007)

Tipe Arus Kas Startup Growth Mature Decline

Operasi () (+) (+) ()

Investasi () () () (+)

Pendanaan (+) (+) () (+/)

Sumber : Dickinson (2007)

Jika perusahaan mempunyai arus kas operasi negatif, arus kas investasi negatif, dan
arus kas pendanaan positif, maka perusahaan tersebut dikelompokkan ke dalam tahap
startup. Jika perusahaan mempunyai arus kas operasi positif, arus kas investasi negatif, dan
arus kas pendanaan positif, maka perusahaan tersebut dikelompokkan ke dalam tahap growth.
Jika perusahaan mempunyai arus kas operasi positif, arus kas investasi negatif, dan arus kas
pendanaan negatif, maka perusahaan tersebut termasuk dalam tahap mature. Dan jika
perusahaan mempunyai arus kas operasi negatif, arus kas investasi positif, dan arus kas
pendanaan positif/negatif, maka perusahaan tersebut dikelompokkan ke dalam tahap decline.

Halaman 13
2.7 Metode Penilaian Investasi Dan Analisis Masing-Masing Metode

Syamsuddin (2007) menyatakan, ada beberapa metoda dalam Capital Budgeting untuk
penentuan rangking investasi dan pengambil keputusan,yaitu:

1. Average Rate of Return

Metode Average Rate of Return atau sering disebut juga dengan Accounting Rate of
Return, menunjukkan prosentase keuntungan netto sesudah pajak dihitung dari Average
Investment atau Initial investment.Metode ini mendasarkan diri pada keuntungan yang
dilaporkan dalam buku (Reported Accounting Income), (Bambang Riyanto, 1995).

Metode accounting rate of return adalah metode penilaian investasi yang mengukur
seberapa besar tingkat keuntungan dari invetasi.Metode ini menggunakan dasar laba
akuntansi sehingga angka yang dipergunakan adalah laba setelah pajak (EAT) yang
dibandingkan dengan rata-rata investasi.

Rata−rata EAT
ARR= ×100 %
Rata−rata Investasi

Untuk menghitung rata-rata EAT dengan cara menunjukkan EAT (laba setelah pajak)
selama umur investasi dibagi dengan umur investasi. Sedangkan untuk menghitung rata-rata
investasi adalah investasi ditambah dengan nilai residu dibagi 2.

Setelah angka accounting rate of return dihitung kemudian dibandingkan dengan


tingkat keuntungan yang diisyaratkan. Apabila angka accounting rate of return lebih besar
dibandingkan dengan keuntungan yang diisyaratkan, maka proyek investasi ini
menguntungkan, apabila lebih kecil daripada tingkat keuntungan yang diisyaratkan proyek ini
tidak layak.

Kebaikan metode ini adalah sederhana dan mudah, karena untuk menghitung ARR
cukup melihat laporan rugi-laba yang ada. Sedangkan kelemahan metode ini mengabaikan
nilai waktu nilai waktu uang (time value of money) dan tidak memperhitungkanaliran kas
(cashflow).

Halaman 14
Contoh:
Perusahaan “Sari Delima” sedang menilai dua buah proyek A, dan B, yang masing-
masing membutuhkan initial investment sebesar Rp. 6.000.000,00 untuk proyek
A, dan Rp 7.200.000,00 untuk proyek B. Perusahaan akan menggunakan metode
garis lurus (stright-line method) dalam mendepresiasi kedua proyek tersebut.
Umur ekonomis masing-masing proyek adalah 6 tahun dan tidak ada nilai residu
pada akhir tahun ke-6.
Berdasarkan informasi di atas, maka diketahui bahwa:

Proyek A Proyek B

Initial Investment Rp 6.000.000,00 Rp 7.200.000,00

Depresiasi Rp 1.000.000,00 Rp 1.200.000,00

Jumlah cash inflow untuk masing-masing proyek dapat dicari dengan cara sebagai berikut:

CI = EAT + D

Di mana:

CI = Cash Inflow

EAT = Earning after taxes atau laba bersih sesudah pajak

D = Depresiasi

Tabel 1 menyajikan jumlah proyeksi laba bersih sesudah pajak dan cash inflow untuk
masing-masing proyek.

Halaman 15
Tabel 1

Initial Investment, Earning After Taxes dan Cash Flow untuk

Kedua Usulan Proyek Perusahan “Sari Delima”

Proyek A Proyek B

Initial Investment Rp 6.000.000,00 Initial Investment Rp 7.200.000,00

Tahu EAT CI Tahun EAT CI


n

Rp. Rp. Rp. Rp.

1 1.000.000,00 2.000.000,00 1 3.300.000,00 4.500.000,00

2 1.000.000,00 2.000.000,00 2 1.000.000,00 2.200.000,00

3 1.000.000,00 2.000.000,00 3 800.000,00 2.000.000,00

4 1.000.000,00 2.000.000,00 4 100.000,00 1.300.000,00

5 1.000.000,00 2.000.000,00 5 100.000,00 1.300.000,00

6 1.000.000,00 2.000.000,00 6 100.000,00 1.300.000,00

Rata-
rata
1.000.000,00 2.000.000,00 900.000,00 2.100.000,00

Halaman 16
Average rate of return

Perhitungan average rate of return didasarkan atas jumlah keuntungan bersih sesudah
pajak (EAT) yang tampak dalam laporan rugi-laba. Pengukuran dengan teknik rate of return
ini sering pula disebut dengan istilah “accounting rate of return” yang perhitungannya
dilakukan sebagai berikut:
Average earning after taxes
Average rate of return=
Average investment

Average earning after taxes (rata-rata bersih sesudah pajak):


Average earning after taxes atau rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak dihitung dengan
jalan menambah keseluruhan keuntungan bersih sesudah pajak selama umur proyek,
kemudian dibagi dengan umur ekonomis proyek tersebut:

Average EAT =
∑ EAT
n
Di mana:
Average EAT = rata-rata keuntungan
∑EAT = total keuntungan
n = umur ekonomis
Rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak untuk kedua proyek adalah :
Rp . 6.000 .000 , 00
Average EAT proyek A =
6
= Rp.1.000.000,00
Rp . 5. 400 .000 , 00
Average EAT proyek B =
6
= Rp 900.000.00

Average investment (Rata-rata investasi):


Rata-rata investasi dihitung dengan jalan membagi dua jumlah investasi. Rata-rata ini
mengasumsikan bahwa perusahaan menggunakan metode depresiasi garis lurus dan tidak ada
nilai residu atau salvage value pada akhir umur ekonomis proyek. Dengan demikian, nilai
buku aktiva akan menurun pada tingkat yang konstan, mulai dari nilai investasi yang semula
sampai dengan Rp 0 pada akhir umur ekonomis proyek. Hal ini berarti bahwa rata-rata nilai
proyek adalah separuh dari nilai jumlah investasi yang semula. Latarbelakang pemikiran

Halaman 17
seperti ini sama dengan rata-rata persediaan yag digunakan dalam perhitungan EOQ yang
sudah disajikan didepan.

Halaman 18
Rata-rata investasi untuk masng-masingproyek adalah:
Nilai investasi
Rata-rata investasi =
2
Rp 6.000 .000 .00
Rata-rata investasi proyek A =
2
= Rp 3.000.000.00
Rp 7.200 .000 .00
Rata-rata investasi proyek B =
2
= Rp 3.600.000.00
Setelah mengetahui rata-rata laba bersih sesudah pajak dan rata-rata investasi, maka average
rate of return untuk masing-masing proyek adalah sebagai berikut:

Average rate of return:

Rp 1.000 .000 .00


Proyek A =
Rp 3.000 .000 .00

= 0,333 atau 33,33%

Rp 900.000 .00
Proyek B =
Rp 3.600 .000 .00

= 0,25 atau 25%

Dari hasil perhitungan di atas maka tampak bahwa proyek A lebih baik daripada
proyek B karena average rate of returnnya lebih besar dibandingkan dengan average rate of
return B. Metode lain untuk menghitung average rate of return dari suatu proyek. Salah-satu
dari metode tersebut menggunakan rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak. Dengan
menggunakan metode di atas, maka perlu terlebih dahulu dihitung rata-rata cash inflow
adalah:

Average cash inflow =


∑ Cashinflow
n

Di mana:

Average cash inflow = rata-rata cash inflow

∑ cash inflow = total cash inflow

Halaman 19
n = umur ekonomis proyek (jangka waktu proyekmenghasilkan).

Average cash inflow untuk:

Rp 12.000 .000 .00


Proyek A =
6

= Rp 2.000.000.00

Rp 12.000 .000 .00


Proyek B =
6

= Rp 2.100.000.00

Setelah mengetahui jumlah rata-rata inflow, maka perhitungan average rate of return
dengan cara yang kedua adalah sebagai berikut:

Average cash inflow


Average rate of return =
Average investment

Average rate of return untuk masing-masing proyek adalah:

Rp 2.000 .000 .00


Proyek A =
Rp 3.000 .000 .00

= 0,6667 atau 66,67%

Rp 2.100 .000 .00


Proyek B =
Rp .3 .600 .000 , 00

= 0,5833 atau 58 ,33 %

Dari hasil perhitungan di atas, maka proyek A menunjukkan average rate of return yang
lebih besar daripada proyek B, dengan demikian. Keadaan proyek A lebih menguntungkan
dibandingkan dengan proyek B.

Ada lagi metode lain yang sering digunakan dalam menentukan besarnya average rate
of return yaitu dengan menggunakan initial investment sebagai penyebut dan bukannya
average atau rata-rata initial investment. Dengan demikian, average rate of return untuk
masing-masing proyek dapat dihitung sebagai berikut:

Halaman 20
Average earning after taxes
Average of return =
initial investment

Rp 900.000 .00
Proyek A =
Rp 6.000 .000 .00

= 0,1667 atau 16,67%

Rp 900.000 .00
Proyek B =
Rp 7.200 .000 .00

= Rp 0,1250 atau 12,5%

Dengan mengggunakan metode average rate of return, maka keputusan-keputusan


sehubungan dengan usulan proyek mana yang akan diterima harus didasarkan pada
perbandingan antara average rate of return yang diperoleh oleh masing-masing proyek
dengan average rate of return minimal yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Kebaikan-kebaikan dan kelemahan metode average rate of return

Aspek yang paling menguntungkan dalam penggunaan teknik average rate of return
adalah kemudahan dalam penerapannya. Input utama yang harus diperoleh adalah jumlah
investasi atau initial investment dan proyeksi keuntungan bersih sesudah pajak, di mana hal
ini tidak terlalu sulit untuk diperoleh.

Adapun kelemahan-kelemahan dari average rate of return adalah sebagai berikut:

 Kelemahan pertama adalah karena penggunaan “accounting income” (keuntungan


bersih sesudah pajak). Akan tetapi hal ini bisa diatasi dengan menggunakan rata-rata
cash inflow seperti yang disajikan dalam cara kedua di atas.
 Kelemahan yang kedua adalah pengabaian terhadap nilai waktu dari uang yang akan
diterima pada masa yang akan datang. Seperti sudah dikemukakan dalam pembahasan
mengenai present value, uang Rp 1.00 pada saat ini nilainya lebih besar dibandingkan
dengan Rp 1.00 pada masa yang akan datang, di mana hal ini disebabkan karena
adanya faktor bunga atau “nilai waktu dari uang”. Besarnya perbedaan antara uang Rp
1.00 saat ini dengan Rp 1.00 setahun kemudian adalah sebesar tingkat bunga yang
berlaku. Perbedaan tersebut dapat diilustrasikan dengan menggunakan data dalam
tabel 2.

Halaman 21
Halaman 22
Tabel 2

Perhitungan Average Rate of Return Untuk

Tiga Proyek Capital Expenditure

Proyek

Keterangan X Y Z

1. Initial investment Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.000,00

2. Rata-rata investasi Rp 1.000.000,00 Rp 1.000.000,00 Rp 1.000.000,00

Tahun

1 Rp 200.000,00 Rp 4.00.000,00 Rp 600.000,00

2 Rp 300.000,00 Rp 400.000,00 Rp 500.000,00

3 Rp 400.000,00 Rp 400.000,00 Rp 400.000,00

4 Rp 500.000,00 Rp 400.000,00 Rp 300.000,00

5 Rp 600.000,00 Rp 400.000,00 Rp 200.000,00

3. Rata-rata EAT Rp 400.000,00 Rp 400.000,00 Rp 400.000,00

4. Average rate of return

5. (3) : (2)

40% 40% 40%

Halaman 23
Sekalipun average rate of return dari ketiga proyek tersebut di atas adalah sama, yaitu
40%, tetapi apabila faktor bunga ikut dipertimbangkan maka keadaannya akan lain. Manajer
keuanagn perusahaan akan lebih menyukai proyek Z dibandingkan kedua proyek lainnya, dan
akan lebih menyukai proyek Y dibandingkan dengan proyek X. Hal tersebut disebabkan
karena uang yang lebih besar diterima pada saat ini akan dapat memberikan return yang lebih
besar apabila diinvestasikan kembali pada proyek-proyek lain, dan hal ini tidak
diperhitungkan dalam metode average rate of return.

2. Pay Back Period


Perhitungan payback period untuk suatu proyek ynag mempunyai pola cash inflow
yang sama dari tahun ke tahun dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Initialinvesment
Pay Back Period=
Cashinflow
Perhitungan di atas yang menghasilkan payback period selama 3 tahun menunjukkan
bahwa modal yang diinvestasikan dalam proyek A akan dapat tertutup selama 3 tahun. Tahun
pertama akan tertutup sebanyak Rp 2.000.000,00 tahun kedua Rp 4.000.000,00 dan tahun
ketiga Rp 6.000.000,00.
Dalam hubungannya dengan proyek B maka cara di atas tidak dapat digunakan karena
cash inflow proyek tidak sama dari tahun ke tahun. Untuk menentukan payback period
proyek B maka perhitungan cash inflow yang diperoleh perlu dilakukan satu per satu, sebagai
berikut:

Initial investment Rp 7.200.000.00

Cash inflow: tahun 1 Rp 4.500.000.00 −

Belum tertutup Rp 2.700.000.00

Tahun 2 Rp 2.200.000.00 −

Belum tertutup Rp 500.000.00

Tahun 3 Rp 2.000.000.00 −

kelebihan Rp 1.500.000.00

Halaman 24
Cash inflow yang dibutuhkana dalam tahun ketiga untuk dapat menutup sisa initial
investment adalah sebesar Rp 500.000,00 maka jumlah kebutuhan sebesar Rp 500.000,00
tersebut hanya menggambrkan 25% dari cash inflow tahun ketiga (Rp 500.000,00 : Rp
2.000.000,00) x 100%. Dengan perkataan lain cash inflow sebesar Rp 500.000,00 dalam
tahun ketiga akan terkumpul dalam waktu 3 bulan (25 x 12 bulan). Dengan demikian,
payback period untuk proyek B adalah 2,25 tahun atas 2 tahun 3 bulan. Perhitungan payback
di atas dapat disederhanakan apabila dibuat jumlah kumulatif cash inflow dari tahun ke tahun
seperti pada tabel 3 berikut:

Tabel 3

Initial Investment, EAT, Cash Inflow dan Kumulatif Cash Inflow

Untuk Kedua Usulan Proyek Perusahaan “Sari Delima” (dalam ribuan)

Proyek A Proyek B

Initial investment Rp 6.000,00 Initial investment Rp 7.200,00

Tahun EAT Cash Cumulative EAT Cash Cumulative


inflow cash inflow inflow cash inflow

Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.

1) 1.000,00 2.000,00 2.000,00 3.300,00 4.500,00 4.500,00

2) 1.000,00 2.000,00 2.000,00 1.000,00 2.200,00 6.700,00

3) 1.000,00 2.000,00 6.000,00 800,00 2.000,00 8.700,00

4) 1.000,00 2.000,00 8.000,00 100,00 1.300,00 10.000,00

5) 1.000,00 2.000,00 10.000,00 100,00 1.300,00 11.300,00

6) 1.000,00 2.000,00 12.000,00 100,00 1.300,00 12.600,00

Halaman 25
Dengan adanya data tentang kumulatif cash inflow maka secara langsung dapat dilihat
bahwa initial investment untuk proyek A akan tertutup pada tahun ke-3, sedangkan payback
period untuk proyek B dapat dihitung sebagai berikut:

+ b−c
Payback period = t
d−c

Di mana: t = tahun terakhir di mana umlah cash inflow belum menutup

initial investment.

B = initial investment.
C = kumulatif cash inflow pada tahun ke ,t,
D = jumlah kumulatif cash inflow pada tahun t + 1
Dari contoh yang diberikan di atas, maka payback period untuk proyek B adalah:
Rp7.200 .000 , 00−Rp 6.700 .000 , 00
Payback period B =2+
Rp8.700 .000 , 00−Rp 6.700 .000 , 00
= 2 + 0,25 = 2,25 tahun atau 2 tahun 3 bulan.
Dengan membandingkan payback period kedua proyek tersebut maka keadaan proyek
lebih menguntungkan dibandingkan dengan proyek A karena proyek B dapat menutup modal
yang diinvestasikan dalam waktu yang lebih cepat.
Kebaikan-kebaikan dan Kelemahan Payback Period
Pengukuran usulan proyek capital budgeting dengan menggunakan metode payback
period seringkali dikatakan lebih baik daripada metode average rate of return karena dalam
perhitungannya digunakan cash inflow dan bukannya accounting income. Di samping itu,
payback period juga mempertimbangkian (walaupun tidak sepenuhnya) secara implisit faktor
“timing” atau saat penerimaan cash inflow, dan dengan demikian faktor waktu dari uang yang
akan diterima. Payback period merefleksikan tingkat likuiditas suatu proyek (kecepatan
dalam menutup kembali modal yang diinvestasikan), dan dengan demikian pertimbangan
tentang risiko untuk dapat segera menutup kembali investasi dengan cash inflow yang
dihasilkan oleh investasi tersebut.Semakin likuid suatu proyek, semakin kecil risiko yang
dihadapi oleh perusahaan, demikian pula sebaliknya.
Kelemahan utama dari payback period adalah tidak mempertimbangkan sepenuhnya
faktor atau nilai waktu dari uang.Pengukuran payback period menekankan pada “beberapa
cepat modal yang diinvestasikan akan tertutup” sebenarnya hanya mempertimbangkan secara
implisit saat atau timing penerimaan cash inflow.Kelemahan yang kedua timbul karena

Halaman 26
adanya suatu kenyataan sehubungan dengan penggunaan metode payback period yang tidak
mempertimbangkan cash inflow sesudah investasi dalam suatu proyek tertutup.Kelemahan
tersebut dapat diilustrasikan pada tabel 4.

Tabel 4

Perhitungan Payback Period Untuk Dua Alternatif Investasi

Proyek X Proyek Y

Initial investment Rp 100.000.00 Initial investment Rp 100.000.00

Tahun Cash inflow

1 Rp 50.000,00 Rp 50.000,00 Rp 30.000,00 Rp 30.000,00

2 Rp 50.000,00 Rp 100.000,00 Rp 40.000,00 Rp 70.000,00

3 Rp 10.000,00 Rp 110.000,00 Rp 30.000,00 Rp 100.000,00

4 Rp 1.000,00 Rp 111.000,00 Rp 40.000,00 Rp 140.000,00

5 Rp 1.000,00 Rp 112.000,00 Rp 30.000,00 Rp 170.000,00

Payback period = 2 tahun Payback period = 3 tahun

Payback period untuk proyek X adalah 2 tahun dan proyek B adalah 3 tahun. Dengan
mendasarkan keputusan pada pertimbangan payback period saja, maka proyek X akan lebih
disukai dibandingkan dengan proyek Y karena payback periodnya lebih cepat. Akan tetapi,
apabila kita memperhatikan cash inflow sesudah payback period tercapai, maka proyek X
hanya akan mampu menghasilkan sebesar Rp 12.000,00, sedangkan proyek Y hanya akan
mampu menghasilkan sebesar Rp 12.000,00, sedangkan proyek Y sebesar Rp 70.000,00.
Berdasarkan X. Dalam perhitungan payback period tidak dipertimbangkan junlah cash inflow
pada tahun ke-3, 4 dan 5 untuk proyek X, dan tahun ke-4 dan 5 untuk proyek Y. Sekalipun

Halaman 27
demikian, penggunaan payback period ini mungkin lebih baik dibandingkan dengan metode
averagerate of return karena di dalam metode payback period ini paling tidak secara implisit
masih mempertimbangkan faktor waktu dari penerimaan cash inflow.
3. Net Present Value (NPV)
Net present value adalah salah satu dari teknik capital budgeting yang
mempertimbngkan nilai waktu uang yang paling banyak digunakan. Definisi atau
perhitungan net present value (NPV) dilakukan sebagai berikut:
NPV = present cash inflow – present value investasi.
Keputusan tentang apakah suatu proyek dapat diterima atau tidak, akan sangat
tergantung pada hasil perhitungan net present value dari proyek tersebut.
Untuk menghitung NPV, pertama menghitung present value dari penerimaan atau
cashflow dengan tingkat discount rate tertentu, kemudian dibandingkan dengan present value
dari investasi. Bila selisih antara PV dari cashflow lebih besar berarti terdapat NPV positif,
artinya proyek investasi layak, sebaliknya bila PV dari cashflow lebih kecil dibanding PV
investasi, maka NPV negatif dan investasi dipandang tidak layak.

Contoh:
Misalnya proyek senilai Rp. 600.000.000,- menghasilkan cashflow selama 4
tahun masing-masing Rp. 150.000.000,-; Rp. 200.000.000,-; Rp.
250.000.000; dan Rp. 300.000.000,-. Bila diinginkan keuntungan sebesar
15%, maka NPVnya bisa dihitung sebagai berikut :

Halaman 28
Tabel 5

Perhitungan Net Present Value (r= 18%)

TAHUN CASHFLOW DISCOUNT FACTOR PRESENT


R= 15% VALUE OF
CASHFLOW

1 150.000.000,- 0,870 130.500.000,-

2 200.000.000,- 0,756 151.200.000,-

3 250.000.000,- 0,658 164.500.000,-

4 300.000.000,- 0,572 171.600.000,-

Total Present Value of Cashflow 617.800.000,-


Present Value of investment
NET PRESENT VALUE 600.000.000,-

17.800.000,-

Dari perhitungan tersebut diperoleh hasil NPV positif Rp. 17.800.000,- artinya proyek ini
layak.
4. Profitability Index (PI)
Metode profitability index (PI) ini menghitung perbandingan antara present value dari
penerimaan dengan present value dari investasi. Bila profitability index ini lebih besar dari 1,
maka proyek investasi dianggap layak untuk dijalankan. Metode ini lebih sering digunakan
untuk merangking beberapa proyek yang akan dipilih dari beberapa alternatif proyek yang
ada. Untuk memilih proyek dari beberapa alternatif proyek, yang diutamakan adalah yang
mempunyai profitability index paling besar. Rumus yang digunakan untuk mencari PI adalah
sebagai berikut :

Halaman 29
PV of Cashflow
PI =
Investasi

Bila kita menggunakan contoh pada metode NPV, maka bisa kita hitung profitability
indexnya:

617.900 .000
PI =
600.000 .000

= 1,03

5. Internal Rate of Return


Internal rate of return (IRR) didefinisikan sebagai tingkat discount atau bunga yang
akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek
yang sedang dinilai. Engan perkataan lain. IRR adalah tingkat discount yang akan
menyebabkan NPV sama degan nol, karena present value cash inflow pada tingkat discount
tersebut akan sama dengan initial inveestment.
Perusahaan mengunakan teknik IRR dalam mengevaluasi usulan proyek capital
budgeting, maka keputusan tentang diterima tidaknya proyek tersebut akan tergantung pada
“beberapa rate of return yng diperoleh dibandingkan dengan cost of capital yang digunakan
sebagai discount factor dalam memnentukan present value dari cash inflow yang diterima”.
Kriteria penerimaan atau penolakan suatu usulan cash inflow ditentukan sebagai berikut:
Usulan proyek investasi akan diterima apabila:
IRR ≥ cost of capital
Dan akan ditolak apabila:
IRR < cost of capital
Perhitungan IRR
Perhitungan IRR harus dilakukan secara “trial and error” (coba-coba) sampai pada
akhirnya diperoleh tingkat discount yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol.
Penentuan besarnya IRR untuk suatu pola cash flow yang berbentuk anuiler jauh lebih mudah
dibandingkan dengan pola cash inflow yang tidak sama dari tahun ke tahun (mixed stream of
flow). Dengan menggunakan contoh yang sudah diberikan di depan tentang perusahaan “Sari
Delima” maka IRR untuk proyek A dan B daoat ditentukan sebagai berikut:
Perhitungan IRR untuk cash inflow yang berbentuk anuitet (proyek A). Perhitungan
IRR untuk proyek A dan B dibahas secara terpisah mengingat pola cash inflow dari kedua

Halaman 30
proyek terseut berbeda satu sama lain, dalam artian bahwa pola cash inflow proyek A
berbentuk anuitet, sedangkan pola cash inflow proyek B tidak sama dari tahun ke tahun.

IRR proyek A

Untuk menentukan IRR proyek A yang cash inflownya berbentuk anuited, maka diperlukan 3
langkah perhitungan:
1. Hitungbesarnya payback period untuk proyek yang sedang dievaluasi.
2. Gunakan Tabel !-4 (PVIFAi_n), dan pada baris umur prpoyek ,n, carilah angka yang
sama atau hampir sama dengan hasil payback period dalam langkah 1 di atas. IRR tereltak
pada persentase terdekat dari hasil yang diperoleh.
3. Apabila masih diperlukan, maka dapat dilakukan langkah ketiga yaitu untuk
menentukan besar IRR yng sesungguhnya dari suatu proyek dengan jalan mengadakan
interpolasi.
Contoh: untuk mencari IRR ari usulan proyek perusahaan “sari Delima” maka IRR untuk
proyek A dapat langsung dihitung dengan menggunakan langkah-langkah yang sudah
disebutkan di atas. Langkah pertama yaitu menentukan payback period dari proyek A.

Rp 6.000 .000 .00


Payback period proyek A =
Rp 2.000 .000 .00

= 3.000

Menurut tabel PVIFAi,n (langkah kedua) maka faktor yang terdekat dengan nilai
sebesar 3.000 untuk jangka waktu 6 tahun adalah 3.020 (24%) dan 2,951 (25%). Dengan
demikian, IRR proyek a terletak di antara tingkat discount 24-25%. Dengan membandingkan
jarak dari rate yang sesungguhnya (3.000) dengan PVIFA 24% 6 dan PVIFA 25%,6 maka
dapat disimpulkan bahwa IRR proyek A lebih mendekati 24%.
Untuk menetukan tingkat IRR yang sesunguhnya maka perlu dilaksanakan langkah
ketiga yaitu dengan jalan mengadakan interpolasi atas hasil yang sudah diperoleh terseut,
sebagai berikut:

Interpolasi PVIFAi,n PVIFAi,n

24% 3.020 3.020

Halaman 31
Rate susungguhnya 3.000

25% 2,951− −

0,069 0.020

0.020
IRR yang sebenarnya = 24% + x 1%
0.069

= 24.28%

Mengingat cost of capital perusahaan “sari Delima” adalah sebesar 10%, maka IRR proyek A
sebesar 24.28% enunjukkan keadaan yang sangat baik.

IRR proyek B

Perhitungan IRR untuk cash inflow tidak sama dari tahun ke tahun. Untuk menghitung
IRR cash inflow yang tidak berbentuk anuitet (mixed stream of cash inflow) jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan penghitungan IRR untuk cash inflow yang tidak berbentuk
anuitet. Salah satu cara untuk menyederhanakan perhitungan IRR untuk cash inflow yang
tidak berbentuk anuitet adalah dengan jalan “menganggap cash inflow tersebut solah-olah”
suatu anuitet dengan jalan mengambil rata-ratanya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Hitunglah rata-rata cash inflow per tahun.
2. Bagilah initial investment dengan rata-rata tersebut untuk mengetahui “perkiraan”
payback period dari proyek yang sedang dievaluasi.
3. Gunakanlah tabel a-4 untuk menghitung besarnya IRR seperti langkah ke-2 dalam
menghitung IRR untuk pola cash inflow yang berbentuk anuitet. Hasil yag diperoleh akan
merupakan “perkiraan IRR”.
4. Kemudian sesuaikanlah (adjust) IRR yang diperoleh dalam langkah ke-3 di atas
(diperbesar atau diperkecil) ke dalam pola cash inflow yang sesungguhnya. Apabila cash
inflow yang sesungguhnya dalam tahun-tahun pertama ternyata lebih besar dari rata-rata yang
dipeoleh dalam langkah 1 di atas, maka perbesarlah tingkat disvount yang digunakan, dan
apabila sebaliknya maka perkecillah discount tersebut.

Halaman 32
5. Denganmengunakan discount rate baru yang diperoleh dalam langkah ke-4, hitunglah
net present value dari proyek tersebut.
6. Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari nol, maka naikkanlah discount rate yang
digunakan, dan apabila sebaliknya, maka turunkanlah discount rate tersebut.
7. Hitunglah kembali NPV dengan menggunakan disrate yang baru, sampai akhirnya
diperoleh discount rate yang secara erurutan menghasilkan NPV yang positif dan negatif.
Dengan mengadakan interpolasi, maka IRR yang sebenarnya akan dapat ditentukan.
Contoh aplikasi dari ke-7 langkah tersebut di atas ke dalam data poyek B adalah sebagai
berikut:
1. Rata-rata cash inflow = Rp 2.100.000.00 (Tabel 14.1)
Rp 7.200 .000 .00
2. Perkiraan besarnya payback period: =
Rp 2.100 .000 .00
=3.429
3. Dalam tabel A-4 (PVIFAi,n) pada ,n.6 tahun diketahui bahwa nilai yang terdekat
dengan 3.429 adalah 3.410 pada discount rate sebesar 19%. Dengan demikian, discount rate
sebesar 19% ini akan dijadikan sebgai titik awal penentuan IRR yang sebenarnya.
4. Karena itu cash inflow pada tahun-tahun pertama lebih besar dari rata-rata cash inflow
maka secara subyektif discount rate tersebut dinaikan sebesar 3% menjadi 22%.
5. Dengan menggunakan discount rate sebasar 22%, maka selanjutnya dihitung berapa
NPV dari proyek tersebut (lihat tabel6)
6. Karena NPV yang diperoleh dalam langkah 5 di atas masih jauh lebih besar dari nol,
maka discount rate tersebut harus ditingkatkan lagi, misalnya 26%. Perhitungan NPV pada
tingkat discount 26% disajikan pada tabel 7. Perhitungan pada tabel 7 menunjukkan bahwa
dengan discount rate sebesar 26%, NPV sudah semakin kecil tetapi masih lebih besar dari
nol. Dengan demikian discount rate harus ditingkatkan lagi, dan sekarang kita mencoba untuk
menghitung NPV yang positif dan negatif, maka proses trial and error tersebut sudah dapat
dihentikan karena IRR untuk proyek B.

Halaman 33
Tabel 6

Perhitungan NPV Proyek B pada discount Rate sebesar 22%

Tahun Cash inflow PVIF 22% Present value

(1) (2) (1) X (2)

1 Rp 4.500.000,00 0,820 Rp 3.690.000,00

2 Rp 2.200.000,00 0,672 Rp 1.478.400,00

3 Rp 2.000.000,00 0,551 Rp 1.102.000,00

4 Rp 1.300.000,00 0,451 Rp 586.300,00

5 Rp 1.300.000,00 0,370 Rp 481.000,00

6 Rp 1.300.000,00 0,303 Rp 393.300,00 +

Total PV cash inflow Rp 7.731.600,00

PV initial investment Rp 7.200.000,00 −

NPV Rp 531.600,00

Halaman 34
Tabel 7

Perhitungan NPV Proyek b pada Discount rate Sebesar 26%

Tahun Cash inflow PVIF 26 % Present value

(1) (2) (1) x (2)

1 Rp 4.500.000,00 0,794 Rp 3.573.000,00

2 Rp 2.200.000,00 0,630 Rp 1.386.000,00

3 Rp 2.000.000,00 0,500 Rp 1.000.000,00

4 Rp 1.300.000,00 0,397 Rp 516.100,00

5 Rp 1.300.000,00 0,315 Rp 409.500,00

6 Rp 1.300.000,00 0,250 Rp 325.000,00 +

Total PV cash inflow Rp 7.209.600,00

PV initial investment Rp 7.200.000,00 –

NPV Rp 9600,00

Perbandingan Antara Teknik NPV dan IRR

Perbedaan pokok di antara kedua pendekatan ini terletak pada asumsi tentang discount
rate yang digunakan sebagai dasar perhitungan bagi penginvestasian kembali cash inflow
yang diperoleh. NPV mengasumsikan bahwa cash inflow yang diterima diinvestasikan
kembali pada tingkat cost of capital atau discount rate minimum yang digunakan dalam
perhitungan sebelumnya, sedangkan IRR mengasumsikan bahwa cash inflow yang diterima
diinvestasikan kembali pada tingkat discount sebesar IRR.

Halaman 35
Apabila benar cash inflow yang diterima tersebut dapat diinvestasikan lagi pada tingkat
discount sebesar IRR, maka teknik IRR akan memberikan hasil yang sebenarnya, dan apabila
tidak demikian halnya, maka sebaiknya digunakan teknik NPV.
Salah satu cara untuk memecahkan konflik tersebut adalah dengan jalan mencari IRR
dari kelebihan/incremental cash inflow. Istilah incremental di sini dimaksudkan sebagai
kelebihan jumlah investasi dan cash inflow dari suatu proyek terhadap proyek lainnya.
Contoh:
Untuk mempermudah perhitungan, maka dibawah ini akan diberikan sebuah contoh tentang 2
buah proyek yang mempunyai cash inflow untuk jangka waktu 1 tahun.
Perusahaan “X” sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk membeli salah satu dari dua
mesin yang tersedia, mesin F dan mesin G. Mesin F membutuhkan initial investment sebesar
Rp 60.000,00, sedangkan mesin G sebesar Rp 100.000,00. Cash inflow yang dihasilkan oleh
masing-masing mesin tersebut adalah Rp 72.000,00 untuk mesin F dan Rp 118.000,00 untuk
mesin G. Cost of capital ditetapkan sebesar 10%.

Tabel 8

Perbandingan Antara Mesin F dan G

Keteranga ¿∗¿¿
Tahun 0 Tahun 1 IRR
n

investasi Cash inflow

Mesin F (Rp 60.000,00) Rp 72.000,00 20%

Mesin G (Rp 100.000,00) Rp 118.000,00 18%

Mesin (F-
(Rp 40.000,00) Rp 46.000,00 15%
G)

**Perhitungan IRR untuk masing-masing proyek dilakukan dengan cara yang sama seperti
sebelumnya

Halaman 36
Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka secara sederhana pilihan akan jatuh pada
mesin F karena IRR-nya lebih besar dari pada mesin G. Tetapi apakah memang benar
demikian? Apabila NPV kedua mesin tersebut dihitung dengan menggunakan cost of capital
sebesar 10% maka ternyata mesin G lebih menguntungkan karena NPV-nya lebih besar
dibandingkan dengan mesin F. Perhitungan NPV untuk kedua mesin tersebut adalah :

Mesin F

Cash inflow PVIF 10% Present value cash inflow

Rp 72.000,00 0,909 Rp 65.448,00

Initial investment (Rp 60.000,00) –

NPV mesin F Rp 5.448,00

Mesin G

Rp 118.000,00 0,909 Rp 107.000,00

Initial investment Rp 100.000,00

NPV mesin G Rp 7.262,00

Dari hasil perhitungan NPV tersebut ternyata bahwa mesin G mempunyai NPV yang
lebih besar Rp 7.262,00 dibandingkan dengan mesin F yang NPV-nya hanya sebesar Rp
5.448,00. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa teknik IRR tidak mempertimbangkan
besarnya atau “scale” dari net present value yang dihasilkan oleh suatu proyek. Selanjutnya
dari hasil perhitungan dalam tabel 14.13 di atas, ternyata IRR untuk incremental (G-F) adalah
sebesar 15% dimana hal ini masih lebih besar daripada cost of capital yang ditetapkan.

Grafik NPV dan IRR


Halaman 37
Hubungan antara NPV dengan discount factor dapat ditunjukkan dalam sebuah grafik
yang disebut dengan istilah “net present value profile”. Dalam grafik tersebut digambarkan
net present value untuk tingkat discount yang berbeda-beda dan tingkat discount di mana
tercapainya IRR maka net present value adalah nol. Net present value profile untuk proyek A
dan B (berdasarkan data yang disajikan dalam tabel 1) dapat dibuat sebagai berikut (lihat
gambar 1).
Dari gambar 1 dapat dilihat bahwa pada tingkat discount rate sebesar 0%, NPV untuk
masing-masing proyek adalah sebesar selisih antara cash inflow dengan initial invesment. Net
present value proyek A pada discount rate sebesar 0% adalah Rp 6.000.000,00 dan proyek B
sebesar Rp5.400.000,00. Dengan semakin besarnya discount rate, maka selisih NPV kedua
proyek tersebut akan semakin mengecil dan pada discount rate sekitar 12%, NPV untuk
kedua proyek tersebut relatif lama. Selanjutnya pada discount rate di atas 12% NPV untuk
proyek B akan lebih besar di bandingkan dengan NPV proyek a. NPV untuk kedua proyek
masih tetap positif sampai dengan tingkat IRR-nya masing-masing 24,29% untuk proyek A
dan 26,08% untuk proyek B.

Gambar 1

Net Present Value Profile untuk Proyek A dan B

Teknik Mana yang Lebih Baik: NPV Ataukah IRR?

Teknik NPV dengan IRR. Kelebihan teknik NPV antara lain:


a. NPV mengasumsikan bahwa cash inflow yang sudah diterima sebelum berakhirnya
umur proyek, diinvestasikan lagi pada tingkat discount sebesar cost of capital
perusahaan, sementara teknik IRR mengasumsikanbahwa investasikembali tersebut
dilakukan pada tingkat IRR di mana hal ini seringkali tidak realistis.

Halaman 38
b. Bukanlah suatu hal yang tidak biasa terjadi dalam pola cash flow yang non
konvensional di mana suatu proyek memiliki leih dari satu IRR. IRR yang lebih dari
satu ini disebabkan karena aspek matematik dalam perhitungan-perhitungan yang
dilakukan, (pembahasan mengenai proyek yang mempunyai lebih dari satu IRR tidak
akan dibahas dalam bku ini).
c. Dalam keadaan-keadaan tertentu, mungkin saja suatu proyek tidak mempunyai IRR.

Teknik NPV tidak mengandung kelemahan seperti yang disebutkan diatas, maka secara
teoritis teknik ini lebih baik dibandingkan dengan teknik IRR. Akan tetapi sekalipun
demikian, banyak perusahaan-perusahaan besar yang lebih menyukai teknik IRR daripada
teknik NPV. Hal ini disebabkan karena IRR lebih mudah dihubungkan dengan data finansial
perusahaan. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan diatas teknik mana yang lebih baik,
NPV atau IRR? Maka jawaban yang dapat diberikan adalah: “secara teoritis NPV yang lebih
baik”.

6. Capital Rationing
Tujuan daripada capital rationing adalah untuk memilih di antara proyek-proyek
tersebut yang akan memaksimumkan atau yang akan memberikan kontribusi yang paling
besar kepada pemilik perusahaan. Secara umum hal tersebut dilakukan dengan jalan memilih
proyek-proyek yang akan memberikan total net present value yang tertinggi.

Pendekatan Internal Rate of Return


Dengan menggunakan pendekatan internal rate of return dalam capital rationing, maka
IRR dari masing-masing proyek akan dibandingkan dengan modal yang sudah dibudgetkan
untuk melakukan investasi. Penilaian tersebut akan dimulai dari IRR yang tertinggi sampai ke
IRR yang terendah. Dengan menarik sebuah garis dari titik rate if return minimum yang
ditetapkan akan dapat diketahui proyek-proyek mana saja yang dapat diterima, dan langkah
selanjutnya adalah membandingkan proyek-proyek yang dapat diterima tersebut dengan
jumlah budget yang tersedia.

Halaman 39
Contoh:
Perusahaan “Bianglala Putih” memiliki modal sejumlah Rp 20.000.000,00
untuk diinvestasikan, dan pada saat ini perusahaan sedanga
mempertimbangkan 6 buah proyek.Jumlah investasi dan IRR untuk masing-

Tabel 9

Jumlah Investasi dan IRR untuk Masing-Masing Proyek

Proyek Initial Invesment IRR Ranking

A Rp 8.000.000,00 12% 1 B

B Rp 7.000.000,00 20% 2 C

C Rp 10.000.000,00 16% 3 E

D Rp 4.000.000,00 8% 4 A

E Rp 6.000.000,00 15% 5 F

F Rp 11.000.000,00 11% 6 D

Diketahui bahwa cost of capital perusahaan “Bianglala Putih” adalah sebesar 10%. Gambar 2
menyajikan susunan dari proyek yang sedang dievaluasi berdasarkan urutan besarnya IRR.
Menurut gambar 2 maka hanya proyek B, C dan E saja yang dapat diterima. Ketiga
proyek tersebut akan menyerap dana sebesar Rp 23.000.000,00 dari jumlah besar Rp
25.000.000,00 yang dibudgetkan. Proyek D tidak perlu dipertimbangkan karena rate of return
yang dihasilkan lebih dari cost of capital yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Halaman 40
Gambar 2

Susunan IRR untuk Masing-Masing Proyek yang Sedang Dievaluasi

oleh Perusahaan “Bianglala Putih”

Pendekatan Net Present Value


Pendekatan ini didasarkan pada present value dan IRR untuk menetukan proyek-proyek yang
akan memaksimumkan return bagi perusahaan. Proses yang dilakukan meliputi penentuan
ranking dari masing-masing proyek atas dasar IRR-nya, dan kemudian menilai present value
dari masing-masing proyek untuk menentukan kombinasi proyek yang akan menghasilkan
present value yang terbesar. Hal ini sama dengan memaksimumkan net present value, karena
baik keseluruhan budget digunakan ataupun tidak, hal tersebut dipandang sebagai “total
investasi” atas mana harus diperoleh net present value semaksimum mungkin.
Contoh:
Proyek-proyek yang sudah disajikan dalam contoh tentang pendekatan internal rate of return
di depan akan diranking kembali dalam tabel 10 atas dasar IRR-nya masing-masing, dan
disampng itu disajikan pula present value cash inflow untuk masing-masing proyek dengan
menggunakan discount rate sebesar 10%.

Halaman 41
Tabel 10

Ranking Proyek Atas Dasar tingkat IRR-nya Masina-Masing

PV cash inflow dengan


Ranking Proyek Initial invesment IRR
discount rate 10%

1 B Rp 7.000.000,00 20% Rp 11.200.000,00

2 C Rp 10.000.000,00 16% Rp 14.500.000,00

3 E Rp 6.000.000,00 15% Rp 7.900.000,00

4 A Rp 8.000.000,00 12% Rp 10.000.000,00

5 F Rp 11.000.000,00 11% Rp 12.650.000,00

6 D Rp 4.000.000,00 8% Rp 3.600.000,00

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa proyek B, C dan E menyerap dana-dana sebesar Rp
23.000.000,00 dan menghasilkan PV cash inflow sebesar Rp 33.600.000,00 (present value
cash inflow). Akan tetapi apabila proyek B, C dan A yang diterima, maka keseluruhan budget
akan habis digunakan dan return yang akan diperoleh adalah lebih besar dari return proyek B,
C dan E yaitu sebesar Rp 35.700.000,00.
Dengan menerima proyek B< C dan A maka perusahaan dapat memaksimumkan return
yang diperoleh, sekalipun IRR proyek A lebih kecil dibandingkan dengan proyek E. Sekali
lagi diingatkan disini bahwa bagian dari budget yang tidak digunakan sebesar Rp
2.000.000,00 (apabila proyek B, C dan E yang diterima) tidak akan memperbesar return yang
diterima oleh perusahaan karena bagian tersebut tidak digunakan, dan dengan demikian tidak
menghasilkan suatu apapun. Analisa ini sejalan dengan analisa tentang “Incremental cash
inflow” yang disajikan didepan, yang menyimpulkan bahwa sepanjang IRR dari incremental
lebih besar dari cost of capital, maka proyek tersebut dapat diterima.

Halaman 42
Metode 1 didasarkan pada data akutansi (laporan buku) dan metode2 sampai dengan 6
didasarkan pada aliran / arus kas (Cash Flow).
Aliran kas ada dua macam, yaitu(Suratiyah, 2006 dan Pangestu, 2001):
 Aliran kas keluar neto
 Aliran kas masuk neto (Proceeds)

Halaman 43
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas kelompok kami menyimpulkan bahwa penganggaran modal


(capital budgeting) adalah proses kegiatan yang mencakup seluruh aktivitas perencanaan
penggunaan dana dengan tujuan untuk memperoleh manfaat di masa yang akan datang.

Penganggaran modal sangatlah penting dalam menentukan proyek investasi apa yang
akan dipilih. Penganggaran modal didasarkan pada aliran kas perusahaan. Dimana bila
perhitungan atau keputusan dalam penganggaran modal tepat, maka keuntungan bagi
perusahaan akan meningkat sesuai dengan perhitungan.

Metode dalam penganggaran modal sebagai alat bantu manajemen untuk mengambil
keputusan sesuai dengan kriteria manajemen itu sendiri. Beberapa faktor dapat
mempengaruhinya seperti inflasi, tingkat suku bunga, pertumbuhan ekonomi, daya beli
masyarakat, sektor ekonomi swasta, isu-isu ekonomi, nilai tukar rupiah dll.

Dengan demikian di dalam memilih sumber dana terkandung tujuan bahwa


penggunaan sumber dana akan dapat menciptakan suatu struktur modal yang optimal, yaitu
suatu perimbangan yang sehat antara modal sendiri dengan modal hutang. Terdapat salah satu
cara yang dapat digunakan didalam menetapkan struktur modal, yaitu dengan menganalisa
pengaruh dari struktur modal terhadap rentabilitas modal sendiri melalui penganggaran
modal.

Halaman 44

Anda mungkin juga menyukai