Anda di halaman 1dari 81

LAPORAN KEGIATAN

ORIENTASI KHUSUS PEGAWAI PPPK


BIDANG KEPERAWATAN
RSUD PALEMBANG BARI
TAHUN 2023

HALAMAN JUDUL
LAPORAN ORIENTASI PERAWAT BARU
RSUD PALEMBANG BARI
TAHUN 2022

OLEH:

ADE OKTAVIA SAPARI, S. KEP.,NERS

BIDANG KEPERAWATAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Orientasi Khusus Perawat Baru Bidang Keperawatan RSUD Palembang
BARI yang dilaksanakan pada tanggal 19 juni sampai dengan 19 september 2023.
Dalam penyusunan laporan orientasi ini, penulis mendapat banyak bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak baik itu secara langsung maupun
tidak langsung, baik berupa moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu dr. Hj. Makiani, S.H., M.M., MARS, selaku Direktur RSUD Palembang BARI.
2. Bapak dr. Amalia, M.Kes, selaku Wakil Direktur Pelayanan RSUD Palembang
BARI.
3. Ibu Ns. Hj. Masrianah, S.Kep., M.Kes, selaku Kepala Bidang Keperawatan
RSUD Palembang BARI.
4. Ibu Farida Andriani, S.ST., M.Kes, selaku Katim Sumber Daya Pelayanan
Keperawatan.
5. Ibu Ns. Hj. Erni Endriani, S.Kep., M.M, selaku Katim Mutu Pelayanan
Keperawatan.
6. Segenap Kepala Ruangan dan Koordinator Ruangan RSUD Palembang BARI.
7. Seluruh Karyawan/Karyawati RSUD Palembang BARI.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan
penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua dan semoga segala
bantuan yang telah diberikan, sebagai amal shaleh senantiasa mendapat Ridho
Allah SWT, sehingga laporan orientasi khusus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua

Palembang, Oktober 2023

Ade Oktavia Sapari,S.Kep.,Ners


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................ iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
BAB I........................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang...........................................................................................................
B. Landasan Hukum.......................................................................................................
C. Maksud dan Tujuan...................................................................................................
1. Tujuan Umum..............................................................................................3
2. Tujuan Khusus............................................................................................3
BAB II....................................................................................................................... 4
A. Profil RSUD Palembang BARI...................................................................................
1. Sejarah RSUD Palembang BARI................................................................4
2. Visi, Misi, dan Motto RSUD Palembang BARI............................................5
3. Struktur Organisasi......................................................................................6
4. Fasilitas Pelayanan.....................................................................................8
B. Profil Bidang Keperawatan......................................................................................
1. Visi Bidang Keperawatan..........................................................................10
2. Misi Bidang Keperawatan..........................................................................11
3. Motto Bidang Keperawatan.......................................................................11
C. Uraian Tugas Perawat.............................................................................................
BAB III.................................................................................................................... 14
A. Laporan Pendahuluan.............................................................................................
Tinjauan Teori Diabetes Mellitus......................................................................14
Tinjauan Teori Cholelithiasis............................................................................23
Tinjauan Teori Chronic Kidney Disease (CKD)................................................31
Tinjauan Teori Fraktur..................................................................................... 38
Tinjauan Teori Benign Prostate Hyperplasia (BPH).........................................46
B. Laporan Kasus.........................................................................................................
1. Resume Kasus I (Diabetes Mellitus tipe 2)...............................................52
2. Resume Kasus II (Cholelithiasis)..............................................................55
3. Resume Kasus III (Chronic Kidney Disease (CKD)).................................58
4. Resume Kasus IV (Fraktur).......................................................................61
5. Resume Kasus V (Benign Prostatic Hyperplasia (BPH))..........................64
BAB IV....................................................................................................................67
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran.......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 70
LAMPIRAN............................................................................................................. 72
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber Daya Insani (SDI) memiliki peran strategis bagi suatu
organisasi. Sumber Daya Insani yang handal, ramah, peduli dan
berkarakter akan mampu menjadikan organisasi berkembang dengan
pesat dan mampu bersaing di era global. Mengingat pentingnya
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terus mengalami
perubahan maka setiap individu maupun kelompok dituntut harus mampu
meningkatkan kinerjanya. Salah satu hal yang dapat mewujudkannya
perlu adanya program orientasi kerja. Program orientasi kerja merupakan
suatu upaya mensosialisasikan pekerjaan dan organisasi kepada
pegawai baru untuk meningkatkan kontribusi pegawai baru tersebut
menjadi lebih efektif terhadap organisasi. Kegiatan dalam program
orientasi kerja lebih ditekankan kepada pemberian informasi yang
berhubungan dengan pekerjaan staf tersebut sesuai dengan posisinya
dalam bekerja (Hana, 2019).
Mengingat pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia
yang terus mengalami perubahan maka setiap individu maupun
kelompok dituntut harus mampu meningkatkan kinerjanya. Salah satu hal
yang dapat mewujudkannya perlu adanya program orientasi kerja.
Program orientasi kerja merupakan suatu upaya mensosialisasikan
pekerjaan dan organisasi kepada pegawai baru untuk meningkatkan
kontribusi pegawai baru tersebut menjadi lebih efektif terhadap organisasi
(Hariandja, 2019).
Alasan pelaksanaan dari program orientasi kerja adalah karena
adanya beberapa tantangan yang biasanya dihadapi oleh pegawai baru
khususnya pegawai yang masih muda dan belum berpengalaman ketika
pertama kali memasuki organisasi seperti menghadapi harapan yang
tidak realistis yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, jumlah feedback atau bantuan yang diterima, keseimbangan
antara tujuan pribadi dan organisasi dan lain sebagainya (Hariandja,
2019).
Program orientasi diarahkan pada pembentukan kemampuan
khusus yang dibutuhkan pegawai sesuai dengan golongannya untuk
melaksanakan tugasnya dalam instansi. Mekanisme dan materi orientasi
organisasi disusun dan dilaksanakan oleh unit kerja, termasuk
menetapkan kelulusan dan pengendaliannya (Marquis & Huston, 2010).
3

Orientasi terdiri atas orientasi umum dan khusus. Orientasi umum


dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka pengenalan
organisasi, dengan memberikan informasi yang berhubungan dengan
lingkungan kerja baru dalam suatu organisasi. Orientasi khusus dilakukan
untuk melihat kemampuan peserta orientasi dalam menjelaskan dan
melakukan tugas-tugas sesuai dengan jabatan yang diembannya
(Marquis & Huston, 2010).
Program orientasi kerja harus dilaksanakan dengan tujuan yang
jelas seperti membantu pegawai baru dengan menyediakan informasi
yang akan memperlancar transisi pegawai baru ke lingkungan kerja baru.
Program orientasi kerja yang memadai akan meminimalkan
kecenderungan pelanggaran peraturan, keluhan dan kesalahpahaman,
menumbuhkan perasaan memiliki, menerima, meningkatkan antusiasme
dan moral. Tujuan program orientasi kerja adalah membuat pegawai
merasa bagian dari tim, sehingga hal ini akan mengurangi gesekan dan
membantu pegawai baru menjadi mandiri dalam peran baru mereka
dengan lebih cepat. Begitupun di dalam lingkungan rumah sakit. Agar
Sumber Daya Insani dapat memberikan kontribusi yang positif bagi
organisasi maka diperlukan persamaan persepsi tentang visi misi dan
tujuan Rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan. Untuk
mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya orientasi bagi karyawan baru
seluruh staf baik klinis maupun non klinis pada unit kerja atau unit
pelayanan dimana mereka bertugas dan bertanggung jawab pada tugas
khusus sesuai penugasan dan penempatan mereka agar tetap dapat
mendukung peningkatan pelayanan di Rumah Sakit (Hana, 2019).

B. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan.
4. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan.
5. Permen PAN & RB Nomor 35 tahun 2019 tentang jabatan fungsional
perawat.
4

6. Surat Perintah Tugas Sementara Nomor 013/PWT/IV/2022 tentang


Orientasi Khusus di Bidang Keperawatan RSUD Palembang BARI
terhitung mulai tanggal 2 April 2022 s.d 31 Mei 2022.

C. Maksud dan Tujuan


1. Tujuan Umum
Tujuan umum diadakannya kegiatan orientasi khusus Calon Pegawai
Baru di RSUD Palembang BARI adalah untuk mengetahui fungsi,
peran dan tugas sebagai perawat di Rumah Sakit BARI.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dilaksanakan orientasi khusus dari Calon Pegawai Baru
di RSUD Palembang BARI adalah:
a. Calon Pegawai Baru dapat mengenal dan memahami struktur
organisasi, visi, misi dan motto, lingkungan baru, nilai-nilai dan
budaya organisasi Bidang Keperawatan RSUD Palembang BARI.
b. Calon Pegawai Baru dapat mengenal dan memahami tugas pokok
dan fungsinya sebagai perawat di RSUD Palembang BARI untuk
dapat melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan
psrosedur.
BAB II
DESKRIPSI ORIENTASI

A. Profil RSUD Palembang BARI


Rumah sakit Umum Daerah Palembang BARI merupakan unsur
penunjang pemerintah daerah di bidang pelayanan Kesehatan yang
merupakan rumah sakit umum milik Pemerintah Kota Palembang. RSUD
Palembang BARI terletak di Jalan Panca No. 1 Kelurahan 5 Ulu
Kecamatan Seberang Ulu 1 dan berdiri diatas tanah seluas 4,5 Ha.
Bangunan dari RSUD Palembang BARI berada kurang lebih 800
meter dari jalan raya jurusan Kertapati. Sejak tahun 2001, dibuat jalan
alternatif dari jalan Jakabaring menuju RSUD Palembang BARI dari Jalan
Poros Jakabaring.
1. Sejarah RSUD Palembang BARI

Gambar 2.1
RSUD Palembang BARI

Berdiri pada tahun 1968 sampai dengan 1994 yang awalnya


merupakan Poliklinik/Puskesmas Panca Usaha, kemudian diresmikan
menjadi RSUD Palembang BARI tanggal 19 Juni 1995 dengan SK
Depkes Nomor 1326/Menkes/SK/XI/1997 dan ditetapkan menjadi
Rumah Sakit Umum Daerah kelas C pads tanggal 10 November 1997.
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor: HK/00/06.2.2.4646, RSUD
Palembang BARI memperoleh status Akreditasi penuh tingkat dasar
pada tanggal 7 November 2003 kemudian di tahun berikutnya 2004
dibuat Master Plan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Pembangunan gedung dimulai pada tahun 2005 yakni Gedung
Bedah Central dan dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya (2006)
6

pembangunan Gedung Bank Darah. Pada tahun 2007 dilanjutkan


dengan pembangunan 1 Gedung Administrasi, Gedung Pendatiaran,
Gedung Rekam Medik, Gedung Farmasi, Gedung Laboratorium,
Gedung Radiologi, Gedung Perawatan VIP, dan Cafetaria. Pada
Februari 2008, berdasarkan Kepmenkes RI Nomor: YM.0l.10/III/334/08
RSUD Palembang BARI memperoleh status Akreditasi penuh tingkat
lanjut. Serta ditetapkan sebagai BLUD-SKPD RSUD Palembang BARI
berdasarkan Keputusan Walikota Palembang No. 9l5.b tahun 2008
penetapan RSUD Palembang BARI sebagai SKPD Palembang yang
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD) secara
penuh. Adapun pembangunan yang dilaksanakan pada tahun 2008
meliputi Gedung Poliklinik (3 lantai), Gedung Instalasi Gawat Darurat,
Gedung Instalasi Gizi (Dapur), Gedung Laundry, Gedung VVIP,
Gedung CSSD, Gedung ICU, Gedung Genset dan IPAL.
Pada tahun 2009 RSUD Palembang BARI di tetapkan sebagai
Rumah Sakit Tipe B berdasarkan Kepmenkes RI Nomor:
241/MENKES/W/2009 tentang peningkatan Kelas Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang BARI milik Pemerintah Kota Palembang Provinsi
Sumatera Selatan tanggal 2 April 2009. Adapun pembangunan gedung
yang berlangsung di tahun 2009 meliputi: Gedung Kebidanan, Gedung
Neonatus, Gedung Rehabilitasi Medik Serta Gedung Hemodialisa.
Selanjutnya pembangunan gedung yang berlangsung di tahun 2010 –
2011 meliputi Perawatan Kelas I, II, III, Kamar Jenazah, Gedung
ICCU, Gedung PICU, Workshop, dan Musholah.

2. Visi, Misi, dan Motto RSUD Palembang BARI


a. Visi
Menjadi Rumah Sakit yang Unggul, Amanah dan Terpercaya di
Indonesia.
b. Misi
1) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan berorientasi
pada keselamatan dan ketepatan sesuai stander mutu
berdasarkan pada etika dan profesionalisme yang menjangkau
seluruh lapisan masyarakat.
2) Meningkatkan mutu manajemen sumber daya kesehatan.
3) Menjadikan RSUD Palembang BARI sebagai rumah sakit
pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
7

c. Motto
Kesembuhanan dan Kepuasan Pelanggan adalah Kebahagiaan
Kami.

3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah salah satu unsur yang menentukan
sukses atau tidaknya untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.
Struktur organisasi yang baik harus mampu berfungsi sebagai alat
pengatur maupun pengawas seperti pelaksanaan, pencapaian, dan
tujuan, sehingga usaha- usaha yang dilakukan dapat berjalan secara
efisien dan efektif. Struktur organisasi yang disusun dengan baik dan
jelas akan mencerminkan sumber-sumber yang dimiliki dan di
gerakkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di
bawah ini adalah struktur organisasi RSUD Palembang BARI.
8
9

4. Fasilitas Pelayanan
a. Janji Layanan RSUD Palembang BARI
Janji Layanan RSUD Palembang BARI yaitu sebagai berikut:
1) Unit gawat darurat
Dalam waktu kurang dari 5 menit, anda sudah mulai kami layani.
2) Unit pendaftaran
Sejak pasien datang sampai dengan dilayani di loket pendaftaran tidak
lebih dari 10 menit.
3) Unit Rawat Jalan
Pasien sudah dijalani paling lambat 30 menit setelah mendaftar di
loket pendaftaran.
4) Unit Laboratorium
Pemeriksaan cito dan sederhana, hasil jadi kurang dari 3 jam.
5) Unit Radiologi
Pelayanan photo sederhana dilaksanakan kurang dari 3 jam.
6) Unit Farmasi
Obat jadi diserahkan maksimal 30 merit sejak resep diterima. Obat
racikan diserahkan maksimal 60 menit sejak resep diterima.

b. Pelayanan Rawat Jalan


Pelayanan Rawat Jalan terdiri dari:
Lantai 1:
1) Poliklinik Geriatri
2) Poliklinik Syaraf
3) Poliklinik Penyakit Dalam
4) Poliklinik Gastroenterohepatologi
5) Poliklinik Sub Imunologirespiratori
6) Poliklinik Sub Kardiovaskuler
7) Poliklinik Anak
8) Poliklinik Tubuh Kembang Terpadu
9) Poliklinik Obgyn
10) Poliklinik KB dan Kesehatan Reproduksi
11) Poliklinik Bedah
12) Poliklinik Sub Ortopedi
13) Poliklinik Sub Bedah Thorax
14) Poliklinik Bedah Digestif
15) Poliklinik bedah plastik
10

16) Poliklinik TB Dots


17) Poliklinik Anastesi
18) Poliklinik Konsul Gizi
Lantai 2 :
1) Poliklinik Gigi
2) Poliklinik THT
3) Poliklinik Mata
4) Poliklinik Psikologi
5) Poliklinik Jiwa
6) Poliklinik Kulit dan Kelamin
7) Poliklinik Senam Hamil
Lantai 3 :
1) MCU
2) EEG
3) Endoskopi

c. Pelayanan Gawat Darurat


Pelayanan Gawat Darurat terdiri dari:
1) Dokter dan perawat jaga 24 jam
2) Ambulance 24 jam

d. Pelayanan Rawat Inap dan Intensif Care


Instalasi Rawat Inap terdiri dari :
1) Rawat Inap Anak Kelas I dan II
2) Rawat Inap Anak Kelas III
3) Rawat Inap PDL Laki-laki
4) Rawat Inap PDL Perempuan
5) Rawat Inap TB Paru
6) Rawat Inap Bedah
7) Rawat Inap Kebidanan
8) Rawat Inap Neonatus
9) Rawat Inap Kelas I dan II
10) Rawat Inap VIP dan VVIP
Instalasi Intensif Care terdiri dari:
1) ICU
2) ICCU
3) PICU
11

4) NICU

e. Pelayanan Penunjang
Pelayanan penunjang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Pelayanan Penunjang Medis
1) Laboratorium
2) Bank Darah
3) Radiologi
4) Farmasi
5) Gizi
6) CSSD
7) Rekam Medis
8) Rehap Medik
9) Kamar Jenazah
10) Hemodialisa
Pelayanan Penunjang Non Medis
1) IPS-RS
2) IPL-RS
3) Laundry

B. Profil Bidang Keperawatan


Bidang keperawatan dipimpin oleh Ibu Ns. Masrianah, S. Kep. M.Kes.
Bidang keperawatan bertujuan dalam mengelola dan mengkoordinir seluruh
perawat dan bidan. Bidang keperawatan memiliki 2 seksi, yaitu seksi sumber
daya pelayanan keperawatan yang dikepalai oleh Ibu Hj. Farida Andriani,
S.ST., M.Kes dan Seksi mutu pelaynan yang dikepalai oleh Ibu Hj. Ns. Erni
Endriani, S. Kep., M.M. Seksi sumber daya pelaynan bertugas dalam
mengelola saran dan SDM keperawatan dan kebidanan, sedangkan seksi
mutu pelayanan bertugas dalam mengkoordinir mutu asuhan keperawatan dan
kebidanan. Terdapat 4 orang staff di bidang keperawatan diantaranya 2 orang
staff di seksi sumber daya yaitu Kak Yeni Indriani,Amd.Keb dan Kak Eni
Virgianti,S.Kep.,Ners serta 2 oarang staff di seksi mutu pelayanan yaitu Kak
Selvia Zulviani,S.Kep dan Kak Febriana V,S.Kep.,M.Kep.
1. Visi Bidang Keperawatan
Visi bidang keperawatan adalah Menjadi layanan keperawatan yang
terpercaya sesuai dengan perkembangan IPTEK.
12

2. Misi Bidang Keperawatan


Misi Bidang Keperawatan adalah:
a. Meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan yang beretika sesuai
dengan standar.
b. Mengembangkan sumber daya keperawatan sesuai dengan keilmuan.
3. Motto Bidang Keperawatan
Motto bidang keperawatan adalah “No Complaints Happiness Nurse”.

C. Uraian Tugas Perawat


Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2019 tentang
Jabatan Fungsional Perawat, uraian tugas perawat sesuai Bab IV Pasal 8
tentang Uraian Kegiatan Sesuai Jenjang Jabatan Perawat sebagai berikut:
Perawat Ahli Pertama
1. Melakukan pengkajian keperawatan lanjutan pada individu.
2. Melakukan pengkajian keperawatan lanjutan pada keluarga.
3. Melakukan pengkajian keperawatan dasar pada masyarakat.
4. Memberikan konsultasi data pengkajian keperawatan dasar/ lanjut.
5. Melakukan komunikasi terapeutik dalam pemberian asuhan keperawatan.
6. Melaksanakan manajemen surveilans hais sebagai upaya pengawasan
risiko infeksi dalam upaya preventif dalam pelayanan keperawatan.
7. Melakukan upaya peningkatan kepatuhan kewaspadaan standar pada
pasien/ petugas/ pengunjung standar pada pasien/ petugas/ pengunjung
sebagai upaya pencegahan infeksi.
13

8. Melakukan investigasi dan deteksi dini kejadian luar biasa yang


berdampak pada pelayanan kesehatan.
9. Mengajarkan teknik kontrol infeksi pada keluarga dengan penyakit
menular.
10. Merumuskan diagnosis keperawatan pada individu.
11. Membuat prioritas diagnosis keperawatan dan masalah keperawatan.
12. Menyusun rencana tindakan keperawatan pada individu (merumuskan,
menetapkan tindakan).
13. Menyusun rencana tindakan keperawatan pada keluarga (merumuskan,
menetapkan tindakan).
14. Melakukan tindakan keperawatan pada kondisi gawat darurat/ bencana/
kritikal.
15. Melakukan tindakan terapi komplementer/ holistik.
16. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan intervensi
pembedahan pada tahap pre/intra/post operasi.
17. Memberikan dukungan/ fasilitasi kebutuhan spiritual pada kondisi
kehilangan/ berduka/ menjelang ajal dalam pelayanan keperawatan.
18. Melakukan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi.
19. Melakukan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan eliminasi.
20. Melakukan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan mobilisasi.
21. Melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur.
22. Melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan kebersihan diri.
23. Melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan rasa nyaman dan pengaturan
suhu tubuh.
24. Melakukan stimulasi tumbuh kembang pada individu.
25. Memfasilitasi adaptasi dalam hospitalasi pada individu.
26. Melaksanakan case finding/ deteksi dini/ penemuan kasus baru pada
individu.
27. Melakukan support kepatuhan terhadap intervensi kesehatan pada
individu.
28. Melakukan pendidikan kesehatan pada individu pasien.
29. Melakukan pendidikan kesehatan pada kelompok.
30. Melakukan peningkatan/penguatan kemampuan sukarelawan dalam
meningkatkan masalah kesehatan masyarakat.
31. Melakukan pendidikan kesehatan pada masyarakat.
32. Melakukan pemenuhan kebutuhan oksigenasi kompleks.
33. Melakukan terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi.
14

34. Melakukan terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi sensorik.


35. Melakukan komunikasi dengan klien yang mengalami hambatan
komunikasi.
36. Melakukan intervensi keperawatan spesifik yang kompleks pada area
medikal bedah.
37. Melakukan intervensi keperawatan spesifik yang kompleks di area anak.
38. Melakukan intervensi keperawatan spesifik yang kompleks di area
maternitas.
39. Melakukan intervensi keperawatan spesifik yang kompleks di area
komunitas.
40. Melakukan intervensi keperawatan spesifik yang kompleks di area jiwa.
41. Melakukan perawatan luka.
42. Melakukan pemantauan atau penilaian kondisi pasien selama dilakukan
tindakan keperawatan spesifik sesuai kasus dan kondisi pasien.
43. Melakukan konsultasi keperawatan dan kolaborasi dengan dokter.
44. Melakukan rehabilitasi mental spiritual pada individu.
45. Melakukan penatalaksanaan manajemen gejala.
46. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada individu.
47. Melaksanakan fungsi pengarahan pelaksanaan pelayanan keperawatan
sebagai ketua tim/ perawat primer.
48. Melakukan pendokumentasian tindakan keperawatan.
49. Melakukan pengorganisasian pelayanan keperawatan antar shift/ unit/
fasilitas kesehatan.
50. Melakukan pemberian penugasan perawat dalam rangka melakukan
fungsi ketenagaan perawat.
51. Melakukan preseptorship dan mentorship.
BAB III
KEGIATAN ORIENTASI

A. Laporan Pendahuluan

Tinjauan Teori Diabetes Mellitus

1. Definisi Diabetes Mellitus


Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika
tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat
menggunakan insulin (resistensi insulin). Insulin merupakan hormon yang
dihasilkan oleh kalenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan
glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber
energi.
Diabetes Mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari
kerja dan atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada pasien
diabetes mellitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat
badan, dan kesemutan (IDF, 2017).

2. Etiologi Diabetes Mellitus


Brunner dan Suddarth (2018) menyatakan bahwa etiologi penyakit DM,
yaitu:
1. Kelainan genetik
DM dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen penyebab DM
akan dibawah oleh anak jika orang tuanya menderita diabetes mellitus.
2. Usia
Usia seseorang setelah >40 tahun akan mengalami penurunan
fisiologis. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi
endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.
3. Pola hidup dan pola makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya diabetes. Pola hidup
juga sangat mempengaruhi, jika orang malas berolahraga memiliki risiko
lebih tinggi untuk terkena diabetes, karena olahraga berfungsi untuk
membakar kalori yang berlebihan di dalam tubuh.
16

4. Obesitas
Seseorang dengan berat badan >90 kg cenderung memiliki peluang
lebih besar untuk terkena penyakit DM.
5. Gaya hidup stress
Stres akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan
kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja
pankreas sehingga pankreas mudah rusak dan berdampak pada
penurunan insulin.
6. Penyakit dan infeksi pada pankreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas
sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel beta
(β) pada pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi
insulin.
7. Obat-obatan yang dapat merusak pankreas
Bahan kimia tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan
radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan
pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon
yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon
insulin.

3. Patofisiologi Diabetes Mellitus


Patofisiologi DM dikaitkan dengan ketidakmampuan tubuh untuk
merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya
produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan
yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan
gula ke dalam sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada
penderita diabetes mellitus, insulin yang dihasilkan tidak mencukupi
sehingga gula menumpuk dalam darah (Khardori, 2017). Dalam
patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
1. Resistensi insulin
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun
karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya
aktivitas fisik serta penuaan.
2. Disfungsi sel β pankreas
17

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel β menunjukan gangguan


pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B
pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif
seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita DM tipe 2
memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi
insulin dan defisiensi insulin.
18

4. Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA)
(2018), dibagi menjadi 4 yaitu:
a. DM Tipe-1 Terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena
sebab autoimun.
19

b. DM Tipe-2 Terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya


kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
c. DM Gestasional Terjadi selama masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga.
d. DM Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, antara lain defek genetik fungsi
sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit
autoimun dan kelainan genetik lain.

5. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus


Manifestasi klinis yang serig dijumpai pada pasien DM menurut ADA
(2018), yaitu:
a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin). Jika konsentrasi glukosa dalam
darah tinggi, ginjal tidak mampu menyerap kembali semua glukosa yang
tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin
(glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam
urin, ekresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmosis. Sebagai akibat
dari kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria).
b. Polidipsia merupakan peningkatan rasa haus akibat volume urine besar
dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi
intrasel mengikuti dihidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi
keluar mengikuti penurunan gradient konsentrasi ke plasma hipertonik.
Dihidrasi intrasel merangsang pengeluaran Antideuretik Hormone (ADH)
dan menimbulkan rasa haus.
c. Polifagia (peningkatan rasa lapar) diakibatkan habisnya cadangan gula
didalam tubuh meskipun kadar gula darah tinggi.
d. Peningkatan infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan
pembentukan antibodi, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi
mucus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada
penderita diabetes kronik.
e. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan darah pada pasien
diabetes lama, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan
sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
20

f. Kelainan kulit, yaitu kelainan kulit gatal-gatal di ketiak dan di bawah


payudara, biasanya akibat tumbuh jamur.
g. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati, pada penderita DM
regenerasi sel persyarafan mengalami gangguan akibat kurangnya
bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibat banyak
persyarafan terutama perifer mengalami kerusakan.
h. Luka yang tidak sembuh-sembuh, proses penyembuhan luka
membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur makan yang
lain. Pada penderita DM bahan protein banyak diformulasikan untuk
kebutuhan energi sel sehingga bahan dipergunakan untuk pergantian
jaringan yang rusak mengalami gangguan. Selain itu luka yang sulit
sembuh juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang
cepat pada penderita DM.
i. Mata kabur yang disebabkan gangguan refraksi akibat perubahan pada
lensa oleh hiperglikemia. Dapat disebabkan juga kelainan pada korpus
itreum.

6. Pemeriksaan Penunjang Diabetes Mellitus


Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) (2019), menjelaskan
bahwa pemeriksaan penunjang atau diagnosis klinis DM ditegakkan bila
ada gejala khas DM berupa polyuria (peningkatan pengeluaran urin),
polydipsia (peningkatan rasa haus), polifagia (peningkatan rasa lapar) dan
penurunan berat badan yang tidak 24 dapat dijelaskan penyebabnya. Jika
terdapat gejala khas, maka pemeriksaan dapat dilakukan, yaitu:
a. Pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥200 mg/dl diagnosis DM
sudah dapat ditegakkan.
b. Pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥126 mg/dl juga dapat
digunakan untuk pedoman diagnosis DM.
c. Pemeriksaan Hemoglobin A1c (HbA1C) merupakan pemeriksaan
tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka
panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM. Pemeriksaan
HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM.
Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap
awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan
terhadap keberhasilan pengendalian. Untuk pasien tanpa gejala khas
DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
21

7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus


Tujuan utama terapi DM adalah menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropatik. Tujuan teraputik pada setiap tipe DM adalah
glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadi hipoglekemia dan
gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
a. Terapi farmakologi/medis
1) Obat-Obatan Penurun Gula Darah
Penderita diabetes tipe I tidak dapat membuat insulin karena sel-
sel beta pankreas mereka rusak atau hancur. Oleh karena itu
penderita diabetes melitus membutuhkan suntikan insulin untuk
mendukung tubuh mereka untuk memproses dan menghindari
komplikasi dari hiperglikemia. Penderita diabetes tipe 2 tidak
merespons dengan baik atau resistan insulin. Membutuhkan suntikan
insulin untuk membantu mengelola gula sehingga mencegah
komplikasi jangka panjang dari penyakit ini. Penderita diabetes tipe 2
mungkin pertama kali diobati dengan obat oral, bersama dengan diet
dan olahraga. Oleh karena diabetes tipe 2 adalah kondisi 26
progresif, semakin lama seseorang memiliki itu, semakin besar
kemungkinan mereka akan membutuhkan insulin untuk menjaga
kadar gula darah.
b. Terapi Keperawatan
Ada empat komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus:
1) Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita
diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut:
a) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin
dan mineral).
b) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai.
c) Memenuhi kebutuhan energi.
d) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui
cara-cara yang aman dan praktis.
e) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.
2) Latihan
22

Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan


meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki
pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan toonus otot juga diperbaiki
dengan berolahraga. Latihan dengan cara melawan tahanan
(resistance training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan
demikian menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic
rate). Semua efek ini sangat bermanfaat pada diabetes karena dapat
menurunkan berat badan, mengurangi rasa stress dan
mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan juga akan mengubah
kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol dan
menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida.
3) Terapi
Pada diabetes tipe II, insulin diperlukan sebagai terapi jangka
panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat
hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Penyuntikan insulin
dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar
glukosa darah sesudah makan dan pada malamhari. Karena dosis
insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar
glukosa darah yang akurat sangat penting.
4) Pendidikan Kesehatan
Penderita DM bukan hanya belajar keterampilan untuk merawat
diri sendiri guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa
darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif
dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi jangka panjang yang
dapat ditimbulkan dari penyakit diabetes mellitus (Khardori, 2017).

8. Komplikasi Diabetes Mellitus


Komplikasi yang berkaitan dengan DM diklasifikasikan sebagai
komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut terjadi apabila kadar glukosa
darah seorang meningkat atau menurun tajam dalam waktu yang singkat.
Sedangkan komplikasi kronik terjadi apabila kadar glukosa darah secara
berkeoanjangan tidak terkendali dengan baik sehingga menimbulkan
berbagai komplikasi kronik diabetes melitus. Beberapa komplikasi akut dan
kronik dari DM adalah:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar glukosa dalam darah yang abnormal rendah)
terjadi jika glukosa darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl. Penyebab
23

hipoglikemia dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral


yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena
aktivitas fisik yang berat. Gejala terdiri atas gejala adrenergik seperti
tremor, takikardia, palpitasi, rasa lapar, dan gejala neuro-glikopenik
seperti perasaan ingin pingsan, penurunan daya ingat, gelisah, kejang,
kesadaran menurun sampai koma.
b. Diabetes ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau
tidak cukupnya jumlah insulin. Terapi ketoasidosis diabetik diarahkan
pada perbaikan utama, yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan
asidosis.
c. Komplikasi kronik biasanya terjadi 10 – 15 tahun setelah awitan DM
yang mencakup:
1) Penyakit makrovaskuler (pembuluh darah besar) : memengaruhi
sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan pembuluh darah otak.
2) Penyakit mikrovaskuler (pembuluh darah kecil) : memengaruhi mata
(retinopati) dan ginjal (nefropati).
3) Penyakit neuropatik : memengaruhi saraf sensori motorik dan otonom
serta berperan memunculkan sejumlah masalah, seperti impotensi
dan ulkus kaki diabetik (Brunner & Suddarth, 2018).

9. Prognosis Diabetes Mellitus


Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh
pasien dalam mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik
ketat (HbA1c < 7%), tanpa disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan
juga tidak ada gangguan mikrovaskuler serta makrovaskuler akan
mempunyai harapan hidup lebih lama. Namun jika pasien memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler dan telah menderita diabetes lama (≥ 15 tahun)
akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun telah melakukan
kontrol glikemik ketak sekalipun. DM dapat menyebabkan mortalitas dan
morbiditas karena dapat berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler,
penyakit ginjal, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan saraf
(neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara
efektif untuk pencegahan DM (Khardori, 2017).
24

Tinjauan Teori Cholelithiasis

1. Definisi Cholelithiasis
Cholelithiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya. Cholelithiasis adalah material atau kristal yang terbentuk di dalam
25

kandung empedu. Beberapa faktor risiko yang sering ditemui pada


kejadian Cholelithiasis dikenal dengan 6F (Fat, Female, Forty, Fair, Fertile,
Family history) (Brunner & Suddarth, 2018).

2. Etiologi Cholelithiasis
Menurut Nurarif dan Kusuma (2018), etiologi cholelithiasis yaitu:
a. Supersaturasi kolesterol secara umum komposisi
Komposisi cairan empedu yang berpengaruh terhadap
terbentuknya batu tergantung dari keseimbangan kadar garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin
rendah kandungan garam empedu akan membuat keadaan di dalam
kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol (supersaturasi
kolesterol).
b. Pembentukan inti kolesterol
Kolesterol diangkut oleh misel (gumpalan yang berisi fosfolipid,
garam empedu dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol lebih tinggi
maka ia akan diangkut oleh vesikel yang mana vesikel dapat
digambarkan sebagai sebuah lingkarandua lapis. Apabila konsentrasi
kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel memperbanyak lapisan
lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung empedu, pengangkut
kolesterol, baik misel maupun vesikel bergabung menjadi satu dan
dengan adanya protein musin akan membentuk kristal kolesterol, kristal
kolesterol terfragmentasi pada akhirnya akan dilem atau disatukan.
c. Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding
kandung empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu,
kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan
membuat musin yang diproduksi dikandung empedu terakumulasi
seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung
empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat
sehingga semakin menyukitkan proses pengosongan cairan empedu.

3. Patofisiologi Cholelithiasis
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun
dari pigmen dan tersusun dari kolesterol. Batu pigmen akan terbentuk bila
pigmen yang terkonjugasi dalam empedu mengalami presipitasi atau
pengendapan, sehingga terjadi batu. Risiko terbentuknya batu semacam
26

ini semakin besar pada pasien serosis, hemolysis dan infeksi percabangan
bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan hanya dikeluarkan dengan jalan
operasi. Batu kolesterol, merupakan unsur normal pembentuk empedu
bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam empedu
dan lesitin (fosfo lipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, mengakibatkan supersaturasi
getah empedu oleh kolesterol dan keluar dari getah empedu mengendap
membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan
predisposisi untuk timbulnya batu empedu yang berperan sebagai iritan
yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.
Penderita batu empedu meningkat pada pengguna kontrasepsi pil,
estrogen, dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol
bilier. Insiden pembentukan batu meningkat bersamaan dengan
penambahan umur, karena bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan
menurunnya sintesis asam empedu juga meningkat akibat malabsorbs
garam empedu pada pasien dengan penyakit gastrointestinal, pernah
operasi resesi usus, dan DM (Brunner & Suddarth, 2018).
27

4. Klasifikasi Cholelithiasis
Adapun klasifikasi dari cholelithiasis menurut Febyan, Dhilion, Ndraha dan
Tendean (2017) adalah:
a. Batu kolestrol
Biasanya berukuran beasar, soliter, berstruktur bulat atau oval,
berwarna kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan
pigmen. Pada klien yang cenderung menderita batu empedu akan
terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis
kolesterol dalam hati.
b. Batu pigmen
Terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari anion (bilirubinat,
karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang). Batu-batu ini
cenderung berukuran kecil, multipel, dan berwarna hitam kecoklatan,
batu pigmen berwarna coklat berkaitan dengan infeksi empedu kronis
(batu semacam inilebih jarang di jumpai). Batu pigmen akan berbentuk
28

bila pigmen tidak terkonjugasi dalam empedu dan terjadi proses


presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu.

5. Manifestasi Klinis Cholelithiasis


Menurut Nurarif dan Kusuma (2018), tanda dan gejala dari cholelithiasis
adalah:
a. Sebagian bersifat asimtomatik.
b. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang
menjalar ke punggung atau region bahu kanan.
c. Sebagian klien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.
d. Mual dan muntah serta demam.
e. Icterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu yang tidak lagi
dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan
empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning.
Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit.
f. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal
akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi
diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat
yang disebut “clay colored”.
g. Regurgitas gas: flatus dan sendawa.
h. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan membantu
absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak.

6. Pemeriksaan Penunjang Cholelithiasis


Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien cholelithiasis menurut
Nurarif dan Kusuma (2018) adalah:
a. Pemeriksan sinar-X abdomen
Pemeriksaan dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala
yang lain.
b. Ultrasinografi
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi.
c. Pemeriksaan pencitraan radionuklida atau koleskintografi
Koleskintografi menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan
secara intravena. Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan
29

dengan cepat diekskresikan ke dalam sistem bilier. Selanjutnya


dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan gambar
kandung empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography)
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optim yang
fleksibel ke dalam eksofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke dalam duktus koledokus serta
duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam
duktus tersebut untuk memingkinkan visualisasi langsung struktur bilier
dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk
mengambil empedu.
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Pemeriksaan dengan cara menyuntikkan bahan kontras langsung
ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan itu relatif besar, maka semua komponen pada sistem bilier
(duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung
empedu) dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography)
Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur yang
terang karena mempunyai intensitassinyal tinggi, sedangkan batu
saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang
dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi.

7. Penatalaksanaan Cholelithiasis
Penanganan cholelithiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
non bedah dan bedah.
a. Penatalaksanaan Non bedah
1) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik, dan antibiotik. Manajemen terapi:
a) Diet rendah lemak, tinggi kalori, dan tinggi protein.
b) Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c) Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign.
d) Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
e) Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati).
30

2) Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu
dengan pemberian obat-obatan oral. Pemberian obat-obatan ini
dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis,
terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang
10%, terjadi dalam 3 – 5 tahun setelah terapi. Disolusi medis
sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi nonoperatif diantaranya
batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
3) Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk
menghancurkan batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan
pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus
melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan
yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan
dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
4) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut
berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu
didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud
memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.
5) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada
penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung
empedunya telah diangkat.
b. Penatalaksanaan Bedah
1) Kolesistektomi terbuka
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka
mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
31

Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris


rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2) Kolesistektomi laparaskopi
Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan
lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya pasien
dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut (Febyan,
Dhilion, Ndraha & Tendean, 2017).

8. Komplikasi Cholelithiasis
Adapun jenis komplikasi dari cholelithiasi sebagai berikut (Nabu, 2019):
a. Kolesistis
Kolesistitis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung
empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan
peradangan kandung empedu.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena
infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah
saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
c. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus
sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu
yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
d. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini
dapat membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat
segera.

9. Prognosis Cholelithiasis
Dari seluruh kasus kolelitiasis asimtomatik, sekitar 1 ‒ 2% berubah
menjadi simptomatik per tahunnya. Angka ini meningkat menjadi 20% jika
dilakukan follow up hingga 20 tahun berikutnya.Pada pasien yang menolak
atau tidak memenuhi kriteria operasi, sekitar 45% tetap asimptomatik
dengan 55% mengalami berbagai derajat komplikasi.
Tingkat mortalitas pasien yang dilakukan kolesistektomi elektif adalah
kurang dari 1%, sedangkan pada pasien dengan kolesistektomi darurat
tingkat kematian mencapai 3 ‒ 5%. Sekitar 40% pasien yang dilakukan
32

kolesistektomi, mengalami sindrom gejala pasca kolesistektomi (post-


cholecystectomy syndrome) berupa nyeri bilier sementara atau terus
menerus, mual muntah, diare, konstipasi, atau ikterus. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh batu empedu residu, disfungsi sfingter Oddi, komplikasi
bedah, atau distres psikologis (Tanaja, Lopez, Richard, Meer &
Cholelithiasis, 2019).
33

Tinjauan Teori Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah
penyakit ginjal tahap akhir yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus <20%. CKD dapat diakibatkan oleh adanya destruksi jaringan
serta hilangnya fungsi ginjal yang berlangsung progresif. Penyakit ginjal
yang berlangsung secara progresif dan disertai awitan mendadak dapat
menghancurkan nefron serta menyebabkan kerusakan ginjal yang
irreversibel (Kowalak, 2017).

2. Etiologi CKD
Menurut Guyton & Hall (2018), etiologi CKD antara lain:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis yang menyebar ke tubular, ruang interstisial dan
vaskular menggambarkan penyakit peradangan pada glomerulus tahap
akhir yang ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif,
perlahan-lahan, membahayakan, berlangsung lama sekitar 10 – 30
tahun, dan merupakan penyebab utama penyakit renal tahap akhir.
b. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal
yang berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat.
Terdapat 5 fase penyakit nefropati diabetik. Pada Fase I terjadi
hiperfiltrasi dengan peningkatan nilai GFR, AER (albumin excretion
rate), dan hipertropi ginjal. Pada fase II ekskresi albumin relatif normal
(<30 mg/24jam), tetapi pada beberapa penderita dengan hiperfiltrasi
yang menetap dapat berkembang menjadi nefropati diabetik. Pada Fase
III terdapat mikro albuminuria (30 – 300 mg/24jam). Fase IV ekresi
albumin >300 mg/24jam dan terjadi hipertensi serta penurunan GFR.
Fase V merupakan tahap ESRD dan dialisis biasanya dimulai ketika
GFRnya sudah turun sampai 15 ml/mnt.
c. Nefrosklerosis Hipertensif
Nefroskerosis hipertensif merupakan penyakit ginjal yang
diakibatkan rusaknya vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan
tekanan darah.
34

d. Penyakit ginjal polikistik


Suatu kelainan genetik berupa pertumbuhan banyak kista seperti
anggur yang berisi cairan di ginjal. Semakin lama, kedua ginjal akan
menjadi lebih besar. Selanjutnya, kista akan mengambil alih dan
merusak jaringan ginjal. Kondisi ini dapat menyebabkan penyakit ginjal
kronis bahkan ESRD.
e. Pielonefritis kronis dan nefritis interstitial lain
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan
jaringan interstisial. Bakteri dapat masuk ke kandung kemih melalui
uretra dan menjalar ke ginjal. Pielonefritis akut biasanya berlangsung
selama 1 – 2 minggu. Pielonefritis kronis dapat mengakibatkan inflamasi
berulang dan jaringan parut yang dapat menyebabkan terjadinya CKD.

f. Diabetes Melitus
Kadar glukosa yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya glikosilasi
protein membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran
basalis. Penumpukan zat serupa glikoprotein membran basalis juga
terjadi pada mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler
glomerulus terdesak dan aliran darah terganggu yang dapat
menyebabkan glomerulo sklerosis dan hipertrofi nefron yang akan
menimbulkan nefropati diabetik.

g. Hipertensi
Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik pada arteriol dan
glomeruli dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah glomeruli
atau glomerulosklerosis. Penurunan jumlah nefron akan menyebabkan
proses adaptif, yaitu meningkatnya aliran darah, peningkatan LFG, dan
peningkatan keluaran urin di dalam nefron yang masih bertahan. Proses
ini melibatkan hipertrofi dan vasodilatasi nefron serta perubahan
fungsional yang menurunkan tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulus
di dalam nefron yang masih bertahan. Perubahan fungsi ginjal dalam
waktu yang lama dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada
nefron yang ada. Lesi-lesi sklerotik yang terbentuk semakin banyak
sehingga dapat menimbulkan obliterasi glomerulus yang mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal lebih lanjut.

h. Obstruksi dan infeksi.

3. Patofisiologi CKD
35

Patofisologi gagal ginjal kronis tergantung pada penyakit yang


mendasarinya. Penurunan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factor memperantarai proses kompensasi ginjal. Proses
kompensasi ini akan mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti
oleh meningkatnya tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi akan berlangsung secara singkat dan dilanjutkan proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif.
Peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal juga
dapat mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas.
Progresifitas CKD juga dapat dipengaruhi oleh albuminuria, hipertensi,
dislipidemia serta hiperglikemia.
Pada stadium awal CKD terdapat kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve) tetapi nilai GFR masih normal. Selanjutnya akan terjadi
penurunan nefron progresif yang ditandai dengan meningkatnya kadar
urea dan kreatinin serum. Pada LFG 60% penderita masih asimtomatik,
tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. LFG 30%
akan terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti,
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, infeksi
saluran cerna, gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemi
serta gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Kowalak,
2017).
36

4. Klasifikasi CKD
Klasifikasi CKD menurut (Kowalak, 2017) adalah:

Derajat Glomerulus Filtrate Rate


(GFR)
ml/menit/1,73m2
1 90
2 60 – 89
3a 45 – 59
3b 30 – 44
4 15 – 29
5 <15

5. Manifestasi Klinis CKD


Penyakit CKD dapat menimbulkan gejala klinis pada berbagai organ tubuh
antara lain (Brunner & Suddarth, 2018):
a. Manifestasi kardiovaskular
Hipertensi, congestive heart failure (CHF), edema pulmonal, dan
perikarditis.
37

b. Manifestasi dermatologis
Kulit menjadi putih berlilin akibat penimbunan pigmen urin dan
anemia, tekstur kulit kering dan bersisik, rambut menjadi rapuh, berubah
warna serta terdapat pruritus pada penderita uremia.
c. Manifestasi gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting, singultus, penurunan aliran saliva,
haus serta stomatitis.
d. Perubahan neuromuskular
Perubahan tingkat kesadaran dan mental, penurunan konsentrasi,
fasikulasi, dan konvulsi.
e. Perubahan hematologis
Perdarahan, keletihan dan letargi, sakit kepala, kelemahan, lebih
mudah mengantuk, pernapasan kussmaul bahkan koma.

6. Pemeriksaan Penunjang CKD


Pemeriksaan atau hasil pemeriksaan diagnostic yang mendukung
diagnosis CKD adalah (USRDS, 2017):
a. Sinar-X Abdomen
Melihat gambaran batu radio atau nefrokalsinosis.
b. Pielogramintravena
Jarang dilakukan karena potensi toksin, sering digunakan untuk
diagnosis batu ginjal.
c. Ultrasonografi ginjal
Bertujuan untuk melihat ginjal polikistik dan hidronefrosis, yang tidak
terlihat pada awal obstruksi, Ukuran ginjal biasanya normal pada
nefropati diabetic.
d. CT Scan
Berfungsi untuk melihat massa dan batu ginjal yang dapat menjadi
penyebab CKD.
e. MRI
Bertujuan untuk diagnosis thrombosis vena ginjal. Angiografi untuk
diagnosis stenosis arteri ginjal, meskipun arteriografi ginjal masih
menjadi pemeriksaan standart.
f. Voding cystourethogram (VCUG)
Pemeriksaan standart untuk diagnosis refluk vesikoureteral.
38

7. Penatalaksanaan CKD
Penanganan CKD dapat dilakukan dengan cara (USRDS, 2017):
a. Kepatuhan diet
Kepatuhan diet menerapkan prinsip diet rendah protein, natrium,
dan kalium yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi ginjal secara
terus menerus. Penderita CKD harus dapat meluangkan waktu untuk
menjalani pengobatan yang dibutuhkan.
b. Terapi konservatif
Terapi konservatif berfungsi dalam mencegah memburuknya fungsi
ginjal secara progresif, memperbaiki metabolisme tubuh, mengurangi
keluhan akibat toksin azotemia serta memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5
pada saat nilai GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi pengganti ginjal
terdiri dari hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

8. Komplikasi CKD
Komplikasi yang dapat dtimbulkan dari penyakit CKD adalah (Brunner &
Suddarth, 2018):
a. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan
mengakibatkan dekasifilkasi matriks tulang, sehinggal tulang akan
menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama makan
menyebabkan phatologis.
b. Penyakit Kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara
sistemik berupa hipertensi, kelainan lipid, inteloransi glukosa, dan
kelainan himodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
c. Anemia
Selain berfungsi sebagai sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam
rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami
defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.
d. Disfungsi seksual
39

Adanya ggangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering


mengalami penurunan dan terjadi impotensi pada pria. Pada wanita,
dapat terjadi hiperprolaktinemia.
9. Prognosis CKD
Terapi penggantian ginjal dapat mempertahankan orang tanpa batas
waktu dan memperpanjang hidup, tetapi kualitas hidup dipengaruhi secara
negatif. Transplantasi ginjal meningkatkan kelangsungan hidup orang
dengan GGK tahap 5 bila dibandingkan dengan pilihan lain. Selain
transplantasi, hemodialisis intensitas tinggi di rumah tampaknya terkait
dengan peningkatan kelangsungan hidup dan kualitas hidup yang lebih
besar, bila dibandingkan dengan hemodialisis konvensional tiga kali
seminggu dan dialisis peritoneum.
Orang dengan ESRD berada pada peningkatan risiko keseluruhan
untuk kanker. Risiko ini sangat tinggi pada orang yang lebih muda dan
secara bertahap berkurang seiring bertambahnya usia. Organisasi profesi
khusus medis merekomendasikan bahwa dokter tidak melakukan skrining
kanker rutin pada orang dengan harapan hidup terbatas karena ESRD
karena bukti tidak menunjukkan bahwa tes tersebut mengarah pada hasil
yang lebih baik (Centers for Disease Control and Prevention, 2017).
40

Tinjauan Teori Fraktur

1. Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian
yang disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Brunner & suddarth,
2018). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat total
maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak di sekitarnya (Zen, 2019).

2. Etiologi Fraktur
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor. Beberapa penyebab
terjadinya fraktur, yaitu (Zen, 2019):

a. Fraktur traumatik
Disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat yang mengenai
tulang baik secara langsung maupun tidak.
b. Fraktur stress
Disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
c. Fraktur patologis
Disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi patologis penyakit yang
akan menimbulkan fraktur.

3. Patofisiologi Fraktur
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan
telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot
misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep
mendadak berkontraksi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
41

menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan


pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-
sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma
pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Brunner & suddarth, 2018).
42

4. Klasifikasi Fraktur
Menurut Noorisa, Apriliwati, Aziz dan Bayusentono (2017) fraktur dapat
diklasifikasikan menjadi:
a. Berdasarkan sifar fraktur
1) Fraktur tertutup (Closed)
Jika tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih karena kulit masih utuh tanpa
komplikasi.
2) Fraktur terbuka (Open/Compound)
Jika terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan kulit.
43

b. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur


1) Fraktur komplit
Jika garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur inkomplit
Jika garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma:
1) Fraktur tranversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik
Fraktur yang arah garis patahannya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fieksi yang mendorong
tulang arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif
Fraktur dimana garis patah lebuh dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak padda tulang
yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan masih
utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser)
44

Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen.


f. Fraktur kelelahan
Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

5. Manifestasi Klinis Fraktur


Menurut Noorisa, Apriliwati, Aziz dan Bayusentono (2017), manifestasi
klinik dari fraktur adalah:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

6. Pemeriksaan Penunjang Fraktur


Menurut Brunner dan Suddarth (2018), pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan adalah:
a. X-ray
Menentukan lokasi/luasnya fraktur.
b. Scan tulang
Memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak
c. Arteriogram
Memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap
Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada pendarahan,
peningkatan leukosit sebagai respons terhadap peradangan. Profil
koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
atau cidera hati.
e. Kretinin trauma otot meningkatkan kreatinin untuk klirens ginjal.
45

7. Penatalaksanaan Fraktur
Menurut Zen (2019), penatalaksanaan fraktur terdiri dari:
a. Prinsip penanganan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, immobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1) Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragment tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur harus segera
dilakukan untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
2) Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
3) Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
immobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi.
4) Reduksi terbuka
Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan
fragment tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau dipasang
melalui fragment atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragment
tulang.
5) Immobilisasi ftraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Immobilisasi segera dapat dilakukan setelah fiksasi
interna dan eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan
gips, bidai, traksi kontinyu, pin, dan teknik gyps, atau fiksator
eksterna. Implant logam dapat digunakan untuk fiksasi yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
6) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi (rehabilitasi)
46

Mempertahankan dan mengembalikan fungsi dilakukan untuk


penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imoblisasi
harus dipertahankan sesuai dengan kebutuhan. Status neurovaskuler
dipantau. Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atropi disuse dan meningkatkan peredaran darah.
b. Penatalaksanaan kedaruratan
Bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilasai bagian
tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami
cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan
pembidaian, ekstremitas harus disanga di atas dan di bawah tempat
patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Daerah yang
cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai yang kemudian dibebat dengan kencang.
Immobilisaasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan
dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstremitas yang
sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada
cedera ekstremitas atas lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digaantung pada sling. Peredaran di distal cedera
harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Pada
fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragment tulang yang keluar melalui
luka. Esktremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.

8. Komplikasi Fraktur
Beberapa komlikasi pada penderita fraktur antara lain (Diki, 2018):
1. Komplikasi awal
a. Kerusakan arteri
b. Sindrom kompartemen
c. Fat embolism syndrom
d. Infeksi
e. Avaskuler nekrosis
f. Shock
2. Komplikasi lanjut
47

a. Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap dan


penyakit degeneratif sendi pasca trauma.
b. Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur yang tidak
normal (delayed union, mal union, non union).
c. Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan rupture tendon lanjut.
d. Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf menebal
akibat adanya fibrosis intraneural.

9. Prognosis Fraktur
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat
daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktifitas
proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum dan juga
berhubungan dengan proses remodelling tulang pada anak sangat aktif
dan makin berkurang apabila umur bertambah. Selain itu fragmen tulang
pada anak mempunyai vaskularisasi yang baik dan penyembuhan
biasanya tanpa komplikasi. Waktu penyembuhan anak secara kasar
adalah setengah kali waktu penyembuhan pada orang dewasa (Zen,
2019).
48

Tinjauan Teori Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

1. Definisi BPH
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah kelenjar prostat mengalami,
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra. BPH adalah kelenjar prostat bila
mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika
dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Brunner
& suddarth, 2018).

2. Etiologi BPH
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan (Purnomo, 2017). Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain:
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen-testosteron.
c. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
d. Interaksi stroma-epitel.
e. Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
f. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
g. Teori sel stem
Menerangkan bahwa terjadinya poliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
49

3. Patofisiologi Fraktur
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30 –
40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan 8 patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan.
Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga
stromal dan elemen glandular pada prostat. Proses pembesaran prostat
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih
juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin
pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan
berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas (Sjamsuhidajat & Jong, 2017).
50

4. Klasifikasi BPH
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat & Jong (2017) dibedakan
menjadi 4 stadium, yaitu:
a. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60 – 150cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan,
urinemenetes secara periodik (over flow inkontinen).
51

5. Manifestasi Klinis BPH


Menurut Brunner dan Suddarth (2018) pada umumnya pasien BPH
datang dengan gejala-gejala truktus urinarius bawah (lower urinari tract
symptoms-LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi.
a. Gejala obtruksi
1) Miksi terputus
2) Hesitancy: saat miksi pasien harus menunggu sebelum urin keluar
3) Harus mengedang saat mulai miksi
4) Kurangannya kekuatan dan pancaran urine
5) Sensasi tidak selesai berkemih
6) Miksi ganda (berkemih untuk kedua kalinya dala waktu ≤ 2 jam
setelah miksi sebelumnya)
7) Menetes pada akhir miksi
b. Gejala Iritasi
1) Frekuensi sering miksi
2) Urgensi: rasa tidak dapat menahan lagi, rasa ingin miksi
3) Nokuria: terbangun dimalam hari untuk miksi
4) Inkotenensia: urine keluar di luar kehendak
c. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah,
dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat
dibagi menjadi:
1) Derajat I
Penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak
puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari.
2) Derajat II
Adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
3) Derajat III
Timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran reflek ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke
ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis, heronefrosi.

6. Pemeriksaan Penunjang BPH


Menurut Haryono (2017), pemeriksaan penunjang BPH meliputi:
a. Pemeriksaan Laboratorium
52

1) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar


gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum
klien.
2) Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
3) PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
b. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1) BOF (Buik Overzich), digunakan untuk melihat adanya batu dan
metastase pada tulang.
2) USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual
urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral
dan supra pubik.
3) IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi exkresi
ginjal dan adanya hidronefrosis.
4) Pemeriksaan Panendoskop, digunakan untuk mengetahui
keadaan uretra dan buli-buli.

7. Penatalaksanaan BPH
Menurut Haryono (2017), penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasia
(BPH) meliputi:
a. Terapi medikamentosa
1) Penghambat adrenergik, misalnya: prazosin, doxazosin, dan
afluzosin
2) Penghambat enzim, misalnya finasteride
3) Fitoterapi, misalnya eviprostat
b. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah
meliputi:
1) Prostatektomi
a) Prostatektomi suprapubis
53

Salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi


abdomen yaitu suatu insisi yang dibuat ke dalam kandung
kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b) Prostaktektomi perineal
Mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
c) Prostatektomi retropubik
Suatu teknik yang lebih umum dibanding tindakan
suprapubik di mana insisi abdomen lebih rendah mendekati
kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih
tanpa memasuki kandung kemih.
2) Insisi Prostat Transurethral (TUIP)
Suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil (30 g / kurang) dan efektif dalam
mengobati banyak kasus dalam BPH.
3) Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop di mana resektroskop merupakan
endoskopi dengan tabung 10- 3-F untuk pembedahan uretra yang
dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik (Haryono, 2017).

8. Komplikasi BPH
Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2017), komplikasi BPH adalah:
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi.
b. Infeksi saluran kemih.
c. Involusi kontraksi kandung kemih.
d. Refluk kandung kemih.
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagimenampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi.
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
54

keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.

9. Prognosis BPH
Prognosis pada benign prostatic hyperplasia umumnya baik. Pasien-
pasien dengan lower urinary tract symptoms (LUTS) berkepanjangan
dapat berisiko mengalami glaukoma (10%) serta disfungsi ereksi dan
ejakulasi. Pilihan terapi yang tepat sesuai kondisi klinis pasien sangat
penting dalam menentukan progresifitas benign prostatic hyperplasia.
Sebanyak 10% pasien dengan benign prostatic hyperplasia juga dapat
mengalami kekambuhan meskipun telah dilakukan reseksi prostat (Deters,
Costabile, Leveille & Moore, 2021).

B. Laporan Kasus
1. Resume Kasus I (Diabetes Mellitus tipe 2)
a. Pengkajian Keperawatan
Tanggal MRS : 13 April 2022
Tanggal Pengkajian : 16 April 2022
NRM : 62.12.59
1) Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Tanggal Lahir : 9 September 1951
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lrg. Syailendra 1 ulu
55

2) Status Kesehatan Ini


a) Keluhan utama
Ny.S mengeluh nyeri pada luka abses axila sinistra.
b) Riwayat penyakit sekarang
Ny.S memiliki abses di ketiak kiri dan pecah satu minggu
SMRS. Luka tidak kunjung membaik serta mengeluarkan darah dan
nanah dengan diameter ±15 cm. Ny.S menderita DM tipe 2 sejak 1
tahun yang lalu. Selama di rumah sakit, Ny.S mengatakan tidak
nafsu makan dan tidur tidak nyenyak.
Hasil pengkajian didapatkan KU sakit lemas, GCS 15, BB 69 Kg
TB 158 cm. TD 125/80 mmHg, N 102 x/mnt, RR 22x/mnt, T 36.5 0C.
Hasil laboratorium: RBC 3,94 juta µ/L, WBC 15,9 µ/L, PLT 422 mm 3,
HB 11,8 g/dL, HT 34%, GDS 249 mg/dL, BSN 110 mg/dL, BSPP
146 mg/dL, dan HbA1C 7%.
Berdasarkan hasil kolaborasi dari dokter, Ny.S mendapat terapi
Ceftriaxon 2x1, Ketorolac 3x1, Metronidazol 3x500, Levemir 1x8 ui,
IVFD NS 3% 250 cc/hari gtt 20x/mnt, Sucralfat 3x2, Cilostozol
2x100 mg, Spironalactone 1x12.5 mg, Ondansetron 1 mg, dan
perawatan luka dengan menggunakan kompres NaCl 0.9% + salep
Burnazine 2x/hari.

b. Diagnosis Keperawatan
Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (abses) d.d mengeluh nyeri, sulit
tidur, tidak nafsu makan, HR 102x/mnt, dan TD 125/80 mmHg.

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri
agen pencedera tindakan keperawatan Observasi:
fisik (abses) d.d selama 6 jam, tingkat - Identifikasi karakteristik
mengeluh nyeri, nyeri menurun dengan nyeri.
sulit tidur, tidak kriteria hasil: - Identifikasi respons
nafsu makan, - Keluhan nyeri nyeri non verbal.
HR 102x/mnt, menurun - Identifikasi faktor yang
56

dan TD 125/80 - Kesulitan tidur memperberat dan


mmHg. menurun memperingan nyeri.
- Frekuensi nadi Terapeutik
membaik - Berikan teknik
- Tekanan darah nonfarmakologis.
membaik - Fasilitasi istirahat dan
- Nafsu makan tidur.
membaik Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
Kolaborasi
- Pemberian obat
analgetik.

d. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tanggal EVALUASI Paraf


/
Jam
16 April S Ny.S mengatakan luka di ketiak masih terasa sedikit
2022 nyeri.
07.30 P: nyeri muncul ketika bergerak.
Q: nyeri seperti disayat-sayat
R: axila sinistra
S: 2
T: hilang timbul
O Luka tampak kemerahan, terdapat nanah, dan
mengeluarkan darah.
TTV: TD 120/80 mmHg, N 82 x/mnt, RR 20x/mnt, T
36.20C.
KU sakit lemas, GCS 15.
A Nyeri akut teratasi sebagian
P Intervensi dilanjutkan: Manajemen nyeri
- Identifikasi TTV.
- Identifikasi skala dan kualitas nyeri.
57

- Fasilitasi untuk istirahat.


- Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
- Ajarkan teknik napas dalam.
- Kolaborasi pemberian analgesik.
08.00 I - Mengkaji TTV pasien: TD 120/80 mmHg, N 91
x/mnt, RR 18x/mnt, T 36,80C.
08.05 - Mengkaji tingkat nyeri pasien: nyeri skala 2.
09.00 - Mengkaji keadaan luka: Luka mengeluarkan
darah dan nanah dengan diameter ±15 cm di
axila dextra.
09.15 - Melakukan perawatan luka menggunakan
kompres NaCl 0.9%.
09.30 - Mengajakan teknik napas dalam.
09.40 - Memberikan terapi topikal sesuai order dokter:
salep Burnazine di sekitar area luka.
12.00 - Memberikan terapi injeksi sesuai order dokter:
analgesik ketorolac, antibiotik ceftriaxon, insulin
levemir 8 ui.
13.30 E Ny.S masih merasa nyeri skala 2.
R Intervensi dimodifikasi: lakukan perawatan luka
menjadi 2x/hari.

2. Resume Kasus II (Cholelithiasis)


a. Pengkajian Keperawatan
Tanggal MRS : 12 April 2022
Tanggal Pengkajian : 17 April 2022
NRM : 62.11.89
1) Identitas Pasien
Nama : Tn.L
Tanggal Lahir : 4 Agustus 1951
Jenis Kelamin : Laki-laki
58

Alamat : Unte mungkur, Tapanuli Utara, Sumatera Utara


2) Status Kesehatan Ini
a) Keluhan utama
Tn.L mengeluh nyeri pada ulu hati.
b) Riwayat penyakit sekarang
Tn.L datang ke rumah sakit dengan nyeri perut di ulu hati
skala 5, BAB cair, badan lemas. Tn.L mengatakan tidak nafsu
makan.
Hasil pengkajian didapatkan KU lemas, edema, posisi tidur
meringkuk memegangi abdomen, GCS 15, BB 68 Kg TB 170 cm.
TD 130/70 mmHg, N 80 x/mnt, RR 23x/mnt, T 36.4 0C. Hasil
laboratorium: RBC 4,52 juta µ/L, WBC 6,3 µ/L, PLT 155 mm 3, HB
13 g/dL, HT 39%, Protein total 4,5 g/dL, Albumin 2,2 g/dL, HDL 20
mg/dL, LDL 63 mg/dL, Ureum 12 mg/dL, dan Creatinine 0,55
mg/dL.
Berdasarkan hasil kolaborasi dari dokter, Tn.L mendapat
terapi Metronidazol 3x1, Ciprofloxacin 2x1, Nitrokaf 2x2,5,
Ranitidin 2x1, Alprozolam 1x ½ tablet, Ketorolac 3x1, IVFD RL gtt
20x/mnt, dan Ondansetron 1 mg.

b. Diagnosis Keperawatan
Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (cholelithiasis) d.d mengeluh
nyeri, posisi tidur meringkuk memegangi abdomen, tidak nafsu makan,
RR 23x/mnt, dan TD 130/70 mmHg.

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri
agen pencedera tindakan keperawatan Observasi:
fisiologis selama 6 jam, tingkat - Identifikasi karakteristik
59

(cholelithiasis) nyeri menurun dengan nyeri.


d.d mengeluh kriteria hasil: - Identifikasi respons nyeri
nyeri, posisi - Keluhan nyeri non verbal.
tidur meringkuk menurun - Identifikasi faktor yang
memegangi - Sikap protektif memperberat dan
abdomen, tidak menurun memperingan nyeri.
nafsu makan, - Frekuensi napas Terapeutik
RR 23x/mnt, membaik - Berikan teknik
dan TD 130/70 - Tekanan darah nonfarmakologis.
mmHg. membaik - Fasilitasi istirahat dan
- Nafsu makan tidur.
membaik Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri.
Kolaborasi
- Pemberian obat
analgetik.

d. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tanggal EVALUASI Paraf


/
Jam
17 April S Tn.L mengatakan nyeri sedikit berkurang.
2022 P: nyeri bertambah ketika bergerak.
07.30 Q: nyeri seperti diremas
R: abdomen
S: 2
T: hilang timbul
O KU sedang, GCS 15, sikap tenang
TTV: TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, RR 19x/mnt, T
36.50C.
A Nyeri akut teratasi sebagian
P Intervensi dilanjutkan: Manajemen nyeri
- Identifikasi TTV.
60

- Identifikasi skala dan kualitas nyeri.


- Fasilitasi untuk istirahat.
- Ajarkan teknik napas dalam.
- Kolaborasi pemberian analgesik.
08.00 I - Mengkaji TTV pasien: TD 120/85 mmHg, N 86
x/mnt, RR 20x/mnt, T 36.70C.
08.05 - Mengkaji tingkat nyeri pasien: skala nyeri 2
09.00 - Memodifikasi lingkungan yang nyaman:
menyalakan AC, mengecilkan volume TV.
09.10 - Mengajarkan relaksasi napas dalam.
12.00 - Memberikan terapi injeksi sesuai order dokter:
analgesik ketorolac, antibiotik metronidazole,
antiemetik ondansetron.
13.30 E Tn.L mengatakan masih sedikit nyeri
R Intervensi dilanjutkan

3. Resume Kasus III (Chronic Kidney Disease (CKD))


a. Pengkajian Keperawatan
Tanggal MRS : 18 April 2022
Tanggal Pengkajian : 18 April 2022
NRM : 54.16.6
1) Identitas Pasien
61

Nama : Tn.Z
Tanggal Lahir : 7 Juli 1962
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Swakarsa No.2518 Kertapati
2) Status Kesehatan Ini
a) Keluhan utama
Tn.Z mengeluh mual.
b) Riwayat penyakit sekarang
Tn.Z datang ke rumah sakit dengan keluhan mual. 2 hari SMRS
Tn.Z mengatakan mual dan muntah sebanyak 10x/hari serta badan
terasa lemas. Tn.Z mengatakan tidak nafsu makan.
Hasil pengkajian didapatkan KU lemas, pucat, GCS 15, BB 63
Kg TB 165 cm. TD 135/86 mmHg, N 110 x/mnt, RR 20x/mnt, T
36.10C. Hasil laboratorium: RBC 3,3 juta µ/L, WBC 8,1 µ/L, PLT 162
mm3, HB 10,1 g/dL, HT 30%, Ureum 175 mg/dL, dan Creatinine
3,48 mg/dL, dan asam urat 14,7 mg/dL.
Berdasarkan hasil kolaborasi dari dokter, Tn.Z mendapat terapi
Ondansetron 3x4 mg, Kidmin 2 flash/hari, Aminefron tab 3x1, dan
Natrium diklofenak tab 3x50 mg.

b. Diagnosis Keperawatan
Nausea b.d gangguan biokimiawi (uremia) d.d mengeluh mual, nafsu
makan menurun, badan lemas, pucat, N 110x/mnt.

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Nausea b.d Setelah dilakukan Manajemen mual
gangguan tindakan keperawatan Observasi:
biokimiawi selama 6 jam, tingkat - Monitor TTV.
(uremia) d.d nausea menurun - Monitor mual.
mengeluh mual, dengan kriteria hasil: - Monitor asupan nutrisi
nafsu makan - Perasaan ingin dan kalori.
menurun, badan muntah menurun Terapeutik
lemas, pucat, N - Frekuensi nadi - Berikan teknik
110x/mnt. membaik nonfarmakologis.
62

- Frekuensi makan - Modifikasi lingkungan


membaik yang nyaman.
Edukasi
- Anjurkan istirahat dan
tidur.
- Anjurkan makan dengan
porsi kecil tapi sering.
Kolaborasi
- Pemberian obat
antiemetik.

d. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tanggal EVALUASI Paraf


/
Jam
18 April S Tn.Z mengatakan mual berkurang.
2022
07.30
O KU sedang lemas, GCS 15
TTV: TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, RR 19x/mnt, T
36.50C.
A Nausea teratasi sebagian
P Intervensi dilanjutkan: Manajemen mual
- Identifikasi TTV.
- Monitor mual.
- Monitor intake output.
- Fasilitasi untuk istirahat
- Anjurkan menggunakan teknik
nonfarmakologis.
- Kolaborasi pemberian analgesik.
08.00 I - Mengkaji TTV pasien: TTV: TD 120/80 mmHg,
N 90 x/mnt, RR 20x/mnt, T 36.20C.
08.05 - Mengkaji frekuensi mual pasien: pasien masih
mual.
08.10 - Menganjurkan menggunakan terapi
nonfarmakologis: arometerapi.
63

12.00 - Memberikan terapi injeksi sesuai order dokter:


analgesik natrium diklofenak, antiemetik
ondansetron.
13.00 - Memberikan terapi cairan sesuai order dokter:
Kidmin flash.
13.30 E Tn.Z mengatakan masih sedikit mual, tapi sedikit
bertenaga
R Mengajarkan terapi nonfarmakologis: aromaterapi
atau air rebusan jahe

4. Resume Kasus IV (Fraktur)


a. Pengkajian Keperawatan
Tanggal MRS : 21 April 2022
Tanggal Pengkajian : 18 April 2022
64

NRM : 62.14.42
1) Identitas Pasien
Nama : Tn.Sy
Tanggal Lahir : 25 April 1985
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kemon Saya, Papua
2) Status Kesehatan Ini
a) Keluhan utama
Tn.Sy mengeluh nyeri pada tangan kanan.
b) Riwayat penyakit sekarang
Tn.Sy menderita fraktur pada tangan kanannya setelah terjatuh
dari rumah. Tn.Sy dirujuk ke rumah sakit ditemani istri dan anaknya.
Tn.Sy mengalami fraktur tertutup dan tidak terdapat luka terbuka di
sekitar fraktur. Tn.Sy mengeluh nyeri skala 6 terlihat meringis dan
memegangi tangannya.
Hasil pengkajian didapatkan KU sedang, GCS 15, BB 80 Kg TB
170 cm. TD 145/90 mmHg, N 111 x/mnt, RR 22 x/mnt, T 36.7 0C.
Hasil laboratorium: RBC 5,46 juta µ/L, WBC 9 µ/L, PLT 167 mm 3,
HB 15,9 g/dL, HT 48%, masa perdarahan (BT) 2 mnt, masa
pembekuan (CT) 11 mnt, dan GDS 219 mg/dL. Hasil rontgen
menunjukkan terdapat malunion old fraktur 1/3 distal os radius
dextra.
Berdasarkan hasil kolaborasi dari dokter, Tn.Sy mendapat
terapi Ceftriaxon 2x1, Ketorolac 2x1, Ranitidine 2x1, IVFD RL gtt 20
tpm, dan akan menjalani operasi pemasangan pen pada pukul
13.00 WIB.

b. Diagnosis Keperawatan
Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (fraktur) d.d mengeluh nyeri,
meringis, memegangi area tangan, HR 92x/mnt, dan TD 145/90 mmHg.

c. Intervensi Keperawatan
65

Diagnosis Rencana
Kriteria Hasil
Keperawatan Keperawatan
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen nyeri
pencedera fisik tindakan keperawatan Observasi:
(fraktur) d.d selama 6 jam, tingkat - Identifikasi
mengeluh nyeri, nyeri menurun dengan karakteristik nyeri.
meringis, memegangi kriteria hasil: - Identifikasi respons
area tangan, HR - Keluhan nyeri nyeri non verbal.
111x/mnt, dan TD menurun - Identifikasi faktor
145/90 mmHg. - Meringis menurun yang memperberat
- Sikap protektif dan memperingan
menurun nyeri.
- Frekuensi nadi Terapeutik
membaik - Berikan teknik
- Tekanan darah nonfarmakologis.
membaik - Fasilitasi istirahat
dan tidur.
Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara
mandiri.
Kolaborasi
- Pemberian obat
analgetik.

d. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tanggal EVALUASI Paraf


/
Jam
18 April S Tn.Sy mengatakan tangannya masih nyeri.
2022 P: nyeri muncul ketika bergerak.
07.30 Q: nyeri seperti ditekan
R: distal os radius dextra
S: 3
66

T: hilang timbul
O KU sakit lemas, GCS 15, tampak meringis.
TTV: TD 125/90 mmHg, N 92 x/mnt, RR 20x/mnt, T
36,70C.
A Nyeri akut teratasi sebagian
P Intervensi dilanjutkan: Manajemen nyeri
- Identifikasi TTV.
- Identifikasi skala dan kualitas nyeri.
- Fasilitasi untuk istirahat.
- Ajarkan teknik napas dalam.
- Kolaborasi pemberian analgesik.
08.00 I - Mengkaji TTV pasien: TTV: TD 118/90 mmHg,
N 87 x/mnt, RR 20x/mnt, T 36,50C.
08.05 - Mengkaji tingkat nyeri pasien: skala nyeri 3.
09.00 - Mengkaji keadaan area sekitar fraktur: tidak
ada lebam, tidak ada pengeluaran darah, area
sekitar fraktur sedikit kemerahan.
09.10 - Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
12.00 - Memberikan terapi injeksi sesuai order dokter:
analgesik ketorolac, antibiotik ceftriaxon,
antiemetik ranitidine.
12.30 - Mempersiapkan pasien untuk operasi
pemasangan pen.
13.30 E Tn.Sy mengatakan masih nyeri
R Memberikan kompres dingin di sekilar area fraktur
67

5. Resume Kasus V (Benign Prostatic Hyperplasia (BPH))


a. Pengkajian Keperawatan
Tanggal MRS : 22 April 2022
Tanggal Pengkajian : 23 April 2022
NRM : 62.16.21
1) Identitas Pasien
Nama : Tn.M
Tanggal Lahir : 15 Juni 1962
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. RE Marta Dinata, Palembang
2) Status Kesehatan Ini
a) Keluhan utama
Tn.M mengeluh sulit BAK.
b) Riwayat penyakit sekarang
Tn.M terdiagnosis BPH dan mengeluh tidak bisa miksi, jika
miksi jumlahnya hanya sedikit dan terasa nyeri. Tn.M mengeluh
nyeri skala 3 dan terkadang nyeri merambat ke ulu hati. Tn.M
mengatakan tidak bisa tidur.
Hasil pengkajian didapatkan KU sedang, GCS 15, BB 65
Kg TB 168 cm. TD 137/87 mmHg, N 95 x/mnt, RR 20 x/mnt, T
36.70C. Hasil laboratorium: RBC 5,35 juta µ/L, WBC 7,7 µ/L,
PLT 466 mm3, HB 11,3 g/dL, HT 37%, ureum 26 mg/dL,
creatinine 0,9 mg/dL, dan GDS 159 mg/dL. Hasil USG TUG
didapatkan prostat tampak membesar ec hypertrophy prostat
dd/ prostatitis ca prostat.
Berdasarkan hasil kolaborasi dari dokter, Tn.M mendapat
terapi Ceftriaxon 2x1, Ketorolac 2x1, Ranitidine 2x1, dan IVFD
RL gtt 10 tpm.

b. Diagnosis Keperawatan
Gangguan eliminasi urin b.d obstruksi saluran kemih d.d mengeluh tidak
bisa BAK, nyeri saat BAK, dan distensi kandung kemih.
68

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Gangguan Setelah dilakukan Manajemen eliminasi urine
eliminasi urin tindakan keperawatan Observasi
b.d obstruksi selama 6 jam, - Identifikasi tanda dan
saluran kemih eliminasi urine gejala retensi urine.
d.d mengeluh membaik dengan - Monitor eliminasi urine.
tidak bisa BAK, kriteria hasil: Terapeutik
nyeri saat BAK, - Sensasi berkemih - Catat waktu-waktu dan
dan distensi meningkat haluaran urine.
kandung kemih. - Distensi kandung - Batasi asupan cairan.
kemih menurun Edukasi
- Keluhan nyeri - Ajarkan tanda dan
menurun gejala infeksi saluran
kemih.
Kolabrasi
- Kolaborasi pemberian
obat supositoria uretra
jika perlu.

d. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Tanggal EVALUASI Paraf


/
Jam
23 April S Tn.M mengatakan tangannya masih nyeri.
2022 P: nyeri muncul ketika bergerak.
07.30 Q: nyeri seperti ditekan
R: distal os radius dextra
S: 3
T: hilang timbul
O KU sakit, GCS 15.
TTV: TD 125/90 mmHg, N 92 x/mnt, RR 20x/mnt, T
36,70C.
A Gangguan eliminasi urin belum teratasi
P Intervensi dilanjutkan: Manajemen eliminasi urin
69

- Identifikasi TTV.
- Monitor eliminasi urin.
- Batasi asupan cairan.
- Ajarkan teknik napas dalam.
- Kolaborasi pemberian analgesik.
08.00 I - Mengkaji TTV pasien: TTV: TD 130/80 mmHg,
N 90 x/mnt, RR 20x/mnt, T 36,50C.
10.05 - Memonitor eliminasi urin: ±100 cc.
11.00 - Memonitor intake ouput.
11.30 - Menganjurkan pasien untuk membatasi asupan
cairan.
12.00 - Memberikan terapi injeksi sesuai order dokter:
analgesik ketorolac, antibiotik ceftriaxon, dan
antiemetik ranitidine.
13.30 E Tn.M mengatakan miksi masih sedikit
R Intervensi dilanjutkan
70
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Selama kegiatan orientasi khusus, penulis memilih 5 kasus pasien rawat
inap yang akan diobservasi dan dianalisis tentang penatalaksanaan penyakit.
Adapun kelima kasus tersebut adalah diabetes mellitus, cholelithiasis, Chronic
Kidney Disease (CKD), fraktur, dan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).
Diabetes Mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan
atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada pasien diabetes mellitus
yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan.
Pemeriksaan Hemoglobin A1c (HbA1C) merupakan pemeriksaan tunggal yang
sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada
semua tipe penyandang DM. Adapun tujuan utama penatalaksanaan terapi
DM adalah menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam
upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik yang terdiri
dari terapi farmakologis, diet, latihan, terapi insulin, dan pendidikan kesehatan
(IDF, 2017; Parkeni, 2019; Khardori, 2017).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada pasien dengan DM tipe 2
di RSUD Palembang BARI, didapatkan bahwa penatalaksanaan yang
diberikan sudah sesuai dengan teori dan penelitian yang ada. Pasien diberikan
terapi insulin dan penkes tentang diet dan latihan. Pasien dengan luka
ganggren akan dilakukan perawatan luka NaCl 0,9% serta diberikan terapi
antibiotik topikal dan injeksi. Pasien juga diajarkan teknik relaksasi napas
dalam untuk meredakan nyeri.
Cholelithiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Penderita cholelithiasis meningkat pada pengguna kontrasepsi pil, estrogen,
dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Tanda dan
gejala dari cholelithiasis sebagian bersifat asimtomatik, tetapi pasien akan
mengalami nyeri tekan yang bersifat persisten, dan terjadi perubahan warna
kulit, urine serta feses. Penatalaksanaan bida dilakukan dengan terapi bedah
dan non bedah. Kurang lebih 80% dari pasien inflamasi akut kandung empedu
72

sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik,


dan antibiotik (Brunner & Suddarth, 2018; Febyan, Dhilion, Ndraha & Tendean,
2017).
Pada hasil observasi yang dilakukan pada pasien cholelithiasis di RSUD
Palembang BARI, didapatkan bahwa penatalaksanaan yang diberikan sudah
sesuai dengan teori dan penelitian yang ada. Pasien dengan cholelithiasi akut
diberikan terapi analgesik ketorolac, antibiotik metronidazole, antiemetik
ondansetron dan terapi cairan RL. Pasien diajarkan teknik relaksasi napas
dalam dan akupresure untuk meredakan nyeri.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah penyakit ginjal tahap akhir yang
ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus <20%. CKD dapat
diakibatkan oleh adanya destruksi jaringan serta hilangnya fungsi ginjal yang
berlangsung progresif. Patofisologi gagal ginjal kronis tergantung pada
penyakit yang mendasarinya seperti DM, hipertensi, glomerulonefritis, dll.
Klasifikasi CKD dibagi menjadi 5 stage yang didasarkan pada nilai GFR.
Penanganan CKD dapat dilakukan dengan kepatuhan diet, terapi konservatif,
dan terapi pengganti ginjal (hemodialisis) (Kowalak, 2017; Brunner & Suddarth,
2018).
Hasil observasi yang dilakukan pada pasien CKD di RSUD Palembang
BARI, didapatkan bahwa pasien CKD berada pada stage 5 dan
penatalaksanaan yang diberikan sudah sesuai dengan teori dan penelitian
yang ada. Pasien akan dilakukan hemodialisis, pembatasan cairan, dan
pemantauan intake output. Pasien diberikan analgesik natrium diklofenak,
antiemetik ondansetron, dan terapi cairan Kidmin flash. Pasien juga diajarkan
teknik distraksi dengan aromaterapi dan rebusan air jahe untuk meredakan
rasa mual.
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat total maupun
sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
tulang itu sendiri dan jaringan lunak di sekitarnya. Fraktur dapat diakibatkan
oleh traumatik, stress atapun patologis. Pasien dengan fraktur akan dilakukan
pemeriksaan X-ray dan CT-scan. Penatalaksanann pertama pada pasien
dengan fraktur adalah mengimobilisasi daerah fraktur dengan memasang bidai
sementara dengan bantalan yang memadai yang kemudian dibebat dengan
kencang. Peredaran darah distal cedera harus dikaji untuk menentukan
kecukupan perfusi jaringan perifer. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan
pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih
73

dalam. Esktremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah


kerusakan lebih lanjut (Zen, 2019; Brunner dan Suddarth, 2018).
Pada hasil observasi yang dilakukan pada pasien dengan fraktur dextra di
RSUD Palembang BARI, didapatkan bahwa pasien akan dilakukan operasi
pemasangan pen. Dalam mengatasi nyeri yaang dirasakan, pasien diajarkan
teknik napas dalam dan kompres dingin di sekitar area fraktur, pembrian terapi
injeksi sesuai order dokter, yaitu analgesik ketorolac, antibiotik ceftriaxon, dan
antiemetik ranitidine.
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah kelenjar prostat mengalami,
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra. Perubahan hormonal pada estrogen-
testosteron menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen
glandular pada prostat. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-
lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan. Gejala dimulai dari kesulitan miksi, nokturia sampai akhirnya terjadi
retensi urine. Terapi yang diberikan terdiri dari terapi bedah dan
medikamentosa. Sebanyak 10% pasien dengan benign prostatic
hyperplasia juga dapat mengalami kekambuhan meskipun telah dilakukan
reseksi prostat (Brunner & suddarth, 2018; Sjamsuhidajat & Jong, 2017;
Deters, Costabile, Leveille & Moore, 2021).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada pasien dengan BPH di
RSUD Palembang BARI, didapatkan bahwa penatalaksanaan yang diberikan
sudah sesuai dengan teori dan penelitian yang ada. Pasien diberikan
analgesik ketorolac, antibiotik ceftriaxon, dan antiemetik ranitidine. Pasien juga
dilakukan monitoring pengeluaran urine, pemantauan intake output, dan
pembatasan cairan.

B. Saran
1. Laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi karyawan
RSUD Palembang BARI untuk mengetahui struktur organisasi, visi, misi
dan motto, lingkungan baru, nilai-nilai dan budaya organisasi Bidang
Keperawatan RSUD Palembang BARI.
2. Laporan ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi RSUD Palembang
BARI khusunya profesi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pasien.
74

DAFTAR PUSTAKA

ADA. (2018). Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care,


35(1), 64 – 71.
Agoes. (2013). Pengetahuan praktis ragam penyakit mematikan yang paling sering
menyerang kita. Jogjakarta: Buku Biru.
Bararah, T., & Jauhar, M. (2013). Asuhan keperawatan panduan lengkap menjadi
perawat profesional. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Bayhakki., & Hasneli, Y. (2017). Hubungan lama menjalani hemodialisis dengan
intra-dialytic weight gain (idwg) pada pasien hemodialisis. JKP, 5(3), 242 –
248.
Brunner., & Suddarth. (2018). Buku ajar keperawatan medikal bedah (Ed. 8).
Jakarta: EGC.
Cahyono, S. (2014). Batu empedu. Yogyakarta: Kanisus.
Centers for Disease Control and Prevention. (2017). National Chronic Kidney
Disease Fact Sheet 2017. US Department of Health and Human Services,
Center for Disease Control and Prevention. Diakses pada
https://www.cdc.gov/kidneydisease/pdf/kidney_factsheet.pdf.
Corwin. (2009). Patofisiologis: konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC.
Deters, L., Costabile, R., Leveille, R., Moore, C.. (2021). Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH). Medscape. Diakses pada
https://emedicine.medscape.com/article/437359-overview
Diki, A. B. (2018). Pengaruh pembidaian terhadap penurunan skala nyeri pada
pasien fraktur di ruang igd rumah sakit tk ii dr a.k gani palembang tahun 2018.
Eknoyan, G., & Lameire, N. (2013). Kdigo 2012 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int, 3(1), 81 –
90.
Febyan. F., Dhilion, H. R. S., Ndraha, S., & Tendean, M. (2017). Karakteristik
penderita kolelitiasis berdasarkan faktor risiko di Rumah Sakit Umum Daerah
Koja. Jurnal Kedokteran Meditek, 23(63), 50 – 56.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2018). Buku ajar fisiologi kedokteran (ed. 9). Jakarta:
EGC.
75

Hana, C. (2019). Orientasi Pegawai Baru RSUP Persahabatan. Diakses pada


https://rsuppersahabatan.co.id/berita/read/orientasi-pegawai-baru-rsup-
persahabatan.
Hariandja, M. T. E. (2019). Manajemen Sumber Daya Manusia Pengadaan,
Pengembangan, Pengkompensasian, dan Peningkatan Produktivitas Pegawai
(P. G. W. Indonesia (ed.)).
Haryono, R. (2017). Keperawatan medical bedah sistem pencernaan. Yogyakarta:
Gosyen Publisher.
IDF. (2017). International Diabetes Federation (IDF) Diabetes Atlas Eighth edition:
International Diabetes Federation.
Khardori, R. (2017). Type 2 diabetes mellitus. Practice essentials.
Kowalak. (2011). Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC.
Marquis, B. L., & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan manajemen
keperawatan: teori dan aplikasi. Jakarta: EGC.
Nabu, M. (2019). Asuhan keperawatan pada nn. e.s dengan kolelitiasis di ruang
cendana rumah sakit bhayangkara drs. titus ully kupang. doi
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Noorisa, R., Apriliwati, D., Aziz, A., & Bayusentono, S. (2017). The characteristic of
patients with femoral fracture in department of orthopaedic and traumatology
rsud dr. Soetomo surabaya 2013 – 2016. JOINTS (Journal Orthopaedi and
Traumatology Surabaya), 6(1), 1 – 11. doi
https://doi.org/10.20473/JOINTS.V6I1.2017.1-11
Nurarif, H. A., & Kusuma, H. (2018). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosa medis & nanda (north american nursing diagnosis association) nic-
noc. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Perkeni. (2019). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI.
Profil RSUD Palembang BARI. Diakses pada https://rsudpbari.palembang.go.id
Purnomo, B. B. (2017). Dasar-dasar urologi, edisi ke-3. Malang: Sagung Seto.
Sjamsuhidajat., & Jong, D. (2017). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC.
Tanaja, J., Lopez, Richard, A., & Meer, J. M. (2019). Cholelithiasis. NCBI. Diakses
pada https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440/
Tim Pokja PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia, ed.1. Jakarta:
DPP PPNI.
Tim Pokja PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia, ed.1. Jakarta:
DPP PPNI.
76

Tim Pokja PPNI. (2019). Standar luaran keperawatan indonesia, ed.1. Jakarta:
DPP PPNI.
USRDS. (2017). Chapter 1: incidence, prevalence, patient characteristics, and
treatment modalities. United States Renal Data System, 69.
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2017.01.020.
Zen, S. (2019). Mengenali fraktur atau keretakan. Alaf Media.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai