HALAMAN JUDUL
LAPORAN ORIENTASI PERAWAT BARU
RSUD PALEMBANG BARI
TAHUN 2022
OLEH:
BIDANG KEPERAWATAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Orientasi Khusus Perawat Baru Bidang Keperawatan RSUD Palembang
BARI yang dilaksanakan pada tanggal 19 juni sampai dengan 19 september 2023.
Dalam penyusunan laporan orientasi ini, penulis mendapat banyak bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak baik itu secara langsung maupun
tidak langsung, baik berupa moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu dr. Hj. Makiani, S.H., M.M., MARS, selaku Direktur RSUD Palembang BARI.
2. Bapak dr. Amalia, M.Kes, selaku Wakil Direktur Pelayanan RSUD Palembang
BARI.
3. Ibu Ns. Hj. Masrianah, S.Kep., M.Kes, selaku Kepala Bidang Keperawatan
RSUD Palembang BARI.
4. Ibu Farida Andriani, S.ST., M.Kes, selaku Katim Sumber Daya Pelayanan
Keperawatan.
5. Ibu Ns. Hj. Erni Endriani, S.Kep., M.M, selaku Katim Mutu Pelayanan
Keperawatan.
6. Segenap Kepala Ruangan dan Koordinator Ruangan RSUD Palembang BARI.
7. Seluruh Karyawan/Karyawati RSUD Palembang BARI.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan
penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua dan semoga segala
bantuan yang telah diberikan, sebagai amal shaleh senantiasa mendapat Ridho
Allah SWT, sehingga laporan orientasi khusus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................ iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
BAB I........................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang...........................................................................................................
B. Landasan Hukum.......................................................................................................
C. Maksud dan Tujuan...................................................................................................
1. Tujuan Umum..............................................................................................3
2. Tujuan Khusus............................................................................................3
BAB II....................................................................................................................... 4
A. Profil RSUD Palembang BARI...................................................................................
1. Sejarah RSUD Palembang BARI................................................................4
2. Visi, Misi, dan Motto RSUD Palembang BARI............................................5
3. Struktur Organisasi......................................................................................6
4. Fasilitas Pelayanan.....................................................................................8
B. Profil Bidang Keperawatan......................................................................................
1. Visi Bidang Keperawatan..........................................................................10
2. Misi Bidang Keperawatan..........................................................................11
3. Motto Bidang Keperawatan.......................................................................11
C. Uraian Tugas Perawat.............................................................................................
BAB III.................................................................................................................... 14
A. Laporan Pendahuluan.............................................................................................
Tinjauan Teori Diabetes Mellitus......................................................................14
Tinjauan Teori Cholelithiasis............................................................................23
Tinjauan Teori Chronic Kidney Disease (CKD)................................................31
Tinjauan Teori Fraktur..................................................................................... 38
Tinjauan Teori Benign Prostate Hyperplasia (BPH).........................................46
B. Laporan Kasus.........................................................................................................
1. Resume Kasus I (Diabetes Mellitus tipe 2)...............................................52
2. Resume Kasus II (Cholelithiasis)..............................................................55
3. Resume Kasus III (Chronic Kidney Disease (CKD)).................................58
4. Resume Kasus IV (Fraktur).......................................................................61
5. Resume Kasus V (Benign Prostatic Hyperplasia (BPH))..........................64
BAB IV....................................................................................................................67
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran.......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 70
LAMPIRAN............................................................................................................. 72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber Daya Insani (SDI) memiliki peran strategis bagi suatu
organisasi. Sumber Daya Insani yang handal, ramah, peduli dan
berkarakter akan mampu menjadikan organisasi berkembang dengan
pesat dan mampu bersaing di era global. Mengingat pentingnya
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terus mengalami
perubahan maka setiap individu maupun kelompok dituntut harus mampu
meningkatkan kinerjanya. Salah satu hal yang dapat mewujudkannya
perlu adanya program orientasi kerja. Program orientasi kerja merupakan
suatu upaya mensosialisasikan pekerjaan dan organisasi kepada
pegawai baru untuk meningkatkan kontribusi pegawai baru tersebut
menjadi lebih efektif terhadap organisasi. Kegiatan dalam program
orientasi kerja lebih ditekankan kepada pemberian informasi yang
berhubungan dengan pekerjaan staf tersebut sesuai dengan posisinya
dalam bekerja (Hana, 2019).
Mengingat pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia
yang terus mengalami perubahan maka setiap individu maupun
kelompok dituntut harus mampu meningkatkan kinerjanya. Salah satu hal
yang dapat mewujudkannya perlu adanya program orientasi kerja.
Program orientasi kerja merupakan suatu upaya mensosialisasikan
pekerjaan dan organisasi kepada pegawai baru untuk meningkatkan
kontribusi pegawai baru tersebut menjadi lebih efektif terhadap organisasi
(Hariandja, 2019).
Alasan pelaksanaan dari program orientasi kerja adalah karena
adanya beberapa tantangan yang biasanya dihadapi oleh pegawai baru
khususnya pegawai yang masih muda dan belum berpengalaman ketika
pertama kali memasuki organisasi seperti menghadapi harapan yang
tidak realistis yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, jumlah feedback atau bantuan yang diterima, keseimbangan
antara tujuan pribadi dan organisasi dan lain sebagainya (Hariandja,
2019).
Program orientasi diarahkan pada pembentukan kemampuan
khusus yang dibutuhkan pegawai sesuai dengan golongannya untuk
melaksanakan tugasnya dalam instansi. Mekanisme dan materi orientasi
organisasi disusun dan dilaksanakan oleh unit kerja, termasuk
menetapkan kelulusan dan pengendaliannya (Marquis & Huston, 2010).
3
B. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan.
4. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan.
5. Permen PAN & RB Nomor 35 tahun 2019 tentang jabatan fungsional
perawat.
4
Gambar 2.1
RSUD Palembang BARI
c. Motto
Kesembuhanan dan Kepuasan Pelanggan adalah Kebahagiaan
Kami.
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi adalah salah satu unsur yang menentukan
sukses atau tidaknya untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.
Struktur organisasi yang baik harus mampu berfungsi sebagai alat
pengatur maupun pengawas seperti pelaksanaan, pencapaian, dan
tujuan, sehingga usaha- usaha yang dilakukan dapat berjalan secara
efisien dan efektif. Struktur organisasi yang disusun dengan baik dan
jelas akan mencerminkan sumber-sumber yang dimiliki dan di
gerakkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di
bawah ini adalah struktur organisasi RSUD Palembang BARI.
8
9
4. Fasilitas Pelayanan
a. Janji Layanan RSUD Palembang BARI
Janji Layanan RSUD Palembang BARI yaitu sebagai berikut:
1) Unit gawat darurat
Dalam waktu kurang dari 5 menit, anda sudah mulai kami layani.
2) Unit pendaftaran
Sejak pasien datang sampai dengan dilayani di loket pendaftaran tidak
lebih dari 10 menit.
3) Unit Rawat Jalan
Pasien sudah dijalani paling lambat 30 menit setelah mendaftar di
loket pendaftaran.
4) Unit Laboratorium
Pemeriksaan cito dan sederhana, hasil jadi kurang dari 3 jam.
5) Unit Radiologi
Pelayanan photo sederhana dilaksanakan kurang dari 3 jam.
6) Unit Farmasi
Obat jadi diserahkan maksimal 30 merit sejak resep diterima. Obat
racikan diserahkan maksimal 60 menit sejak resep diterima.
4) NICU
e. Pelayanan Penunjang
Pelayanan penunjang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Pelayanan Penunjang Medis
1) Laboratorium
2) Bank Darah
3) Radiologi
4) Farmasi
5) Gizi
6) CSSD
7) Rekam Medis
8) Rehap Medik
9) Kamar Jenazah
10) Hemodialisa
Pelayanan Penunjang Non Medis
1) IPS-RS
2) IPL-RS
3) Laundry
A. Laporan Pendahuluan
4. Obesitas
Seseorang dengan berat badan >90 kg cenderung memiliki peluang
lebih besar untuk terkena penyakit DM.
5. Gaya hidup stress
Stres akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan
kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja
pankreas sehingga pankreas mudah rusak dan berdampak pada
penurunan insulin.
6. Penyakit dan infeksi pada pankreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas
sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel beta
(β) pada pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi
insulin.
7. Obat-obatan yang dapat merusak pankreas
Bahan kimia tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan
radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan
pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon
yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon
insulin.
1. Definisi Cholelithiasis
Cholelithiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-
duanya. Cholelithiasis adalah material atau kristal yang terbentuk di dalam
25
2. Etiologi Cholelithiasis
Menurut Nurarif dan Kusuma (2018), etiologi cholelithiasis yaitu:
a. Supersaturasi kolesterol secara umum komposisi
Komposisi cairan empedu yang berpengaruh terhadap
terbentuknya batu tergantung dari keseimbangan kadar garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin
rendah kandungan garam empedu akan membuat keadaan di dalam
kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol (supersaturasi
kolesterol).
b. Pembentukan inti kolesterol
Kolesterol diangkut oleh misel (gumpalan yang berisi fosfolipid,
garam empedu dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol lebih tinggi
maka ia akan diangkut oleh vesikel yang mana vesikel dapat
digambarkan sebagai sebuah lingkarandua lapis. Apabila konsentrasi
kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel memperbanyak lapisan
lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung empedu, pengangkut
kolesterol, baik misel maupun vesikel bergabung menjadi satu dan
dengan adanya protein musin akan membentuk kristal kolesterol, kristal
kolesterol terfragmentasi pada akhirnya akan dilem atau disatukan.
c. Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding
kandung empedu memudahkan seseorang menderita batu empedu,
kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan
membuat musin yang diproduksi dikandung empedu terakumulasi
seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung
empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat
sehingga semakin menyukitkan proses pengosongan cairan empedu.
3. Patofisiologi Cholelithiasis
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun
dari pigmen dan tersusun dari kolesterol. Batu pigmen akan terbentuk bila
pigmen yang terkonjugasi dalam empedu mengalami presipitasi atau
pengendapan, sehingga terjadi batu. Risiko terbentuknya batu semacam
26
ini semakin besar pada pasien serosis, hemolysis dan infeksi percabangan
bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan hanya dikeluarkan dengan jalan
operasi. Batu kolesterol, merupakan unsur normal pembentuk empedu
bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam empedu
dan lesitin (fosfo lipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, mengakibatkan supersaturasi
getah empedu oleh kolesterol dan keluar dari getah empedu mengendap
membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan
predisposisi untuk timbulnya batu empedu yang berperan sebagai iritan
yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.
Penderita batu empedu meningkat pada pengguna kontrasepsi pil,
estrogen, dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol
bilier. Insiden pembentukan batu meningkat bersamaan dengan
penambahan umur, karena bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan
menurunnya sintesis asam empedu juga meningkat akibat malabsorbs
garam empedu pada pasien dengan penyakit gastrointestinal, pernah
operasi resesi usus, dan DM (Brunner & Suddarth, 2018).
27
4. Klasifikasi Cholelithiasis
Adapun klasifikasi dari cholelithiasis menurut Febyan, Dhilion, Ndraha dan
Tendean (2017) adalah:
a. Batu kolestrol
Biasanya berukuran beasar, soliter, berstruktur bulat atau oval,
berwarna kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan
pigmen. Pada klien yang cenderung menderita batu empedu akan
terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis
kolesterol dalam hati.
b. Batu pigmen
Terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari anion (bilirubinat,
karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang). Batu-batu ini
cenderung berukuran kecil, multipel, dan berwarna hitam kecoklatan,
batu pigmen berwarna coklat berkaitan dengan infeksi empedu kronis
(batu semacam inilebih jarang di jumpai). Batu pigmen akan berbentuk
28
7. Penatalaksanaan Cholelithiasis
Penanganan cholelithiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
non bedah dan bedah.
a. Penatalaksanaan Non bedah
1) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik, dan antibiotik. Manajemen terapi:
a) Diet rendah lemak, tinggi kalori, dan tinggi protein.
b) Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c) Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign.
d) Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
e) Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati).
30
2) Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu
dengan pemberian obat-obatan oral. Pemberian obat-obatan ini
dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis,
terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang
10%, terjadi dalam 3 – 5 tahun setelah terapi. Disolusi medis
sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi nonoperatif diantaranya
batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
3) Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk
menghancurkan batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan
pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus
melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan
yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan
dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
4) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut
berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu
didalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud
memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.
5) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada
penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung
empedunya telah diangkat.
b. Penatalaksanaan Bedah
1) Kolesistektomi terbuka
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka
mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
31
8. Komplikasi Cholelithiasis
Adapun jenis komplikasi dari cholelithiasi sebagai berikut (Nabu, 2019):
a. Kolesistis
Kolesistitis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung
empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan
peradangan kandung empedu.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena
infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah
saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
c. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus
sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu
yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
d. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini
dapat membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat
segera.
9. Prognosis Cholelithiasis
Dari seluruh kasus kolelitiasis asimtomatik, sekitar 1 ‒ 2% berubah
menjadi simptomatik per tahunnya. Angka ini meningkat menjadi 20% jika
dilakukan follow up hingga 20 tahun berikutnya.Pada pasien yang menolak
atau tidak memenuhi kriteria operasi, sekitar 45% tetap asimptomatik
dengan 55% mengalami berbagai derajat komplikasi.
Tingkat mortalitas pasien yang dilakukan kolesistektomi elektif adalah
kurang dari 1%, sedangkan pada pasien dengan kolesistektomi darurat
tingkat kematian mencapai 3 ‒ 5%. Sekitar 40% pasien yang dilakukan
32
1. Definisi CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah
penyakit ginjal tahap akhir yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus <20%. CKD dapat diakibatkan oleh adanya destruksi jaringan
serta hilangnya fungsi ginjal yang berlangsung progresif. Penyakit ginjal
yang berlangsung secara progresif dan disertai awitan mendadak dapat
menghancurkan nefron serta menyebabkan kerusakan ginjal yang
irreversibel (Kowalak, 2017).
2. Etiologi CKD
Menurut Guyton & Hall (2018), etiologi CKD antara lain:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis yang menyebar ke tubular, ruang interstisial dan
vaskular menggambarkan penyakit peradangan pada glomerulus tahap
akhir yang ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif,
perlahan-lahan, membahayakan, berlangsung lama sekitar 10 – 30
tahun, dan merupakan penyebab utama penyakit renal tahap akhir.
b. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal
yang berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat.
Terdapat 5 fase penyakit nefropati diabetik. Pada Fase I terjadi
hiperfiltrasi dengan peningkatan nilai GFR, AER (albumin excretion
rate), dan hipertropi ginjal. Pada fase II ekskresi albumin relatif normal
(<30 mg/24jam), tetapi pada beberapa penderita dengan hiperfiltrasi
yang menetap dapat berkembang menjadi nefropati diabetik. Pada Fase
III terdapat mikro albuminuria (30 – 300 mg/24jam). Fase IV ekresi
albumin >300 mg/24jam dan terjadi hipertensi serta penurunan GFR.
Fase V merupakan tahap ESRD dan dialisis biasanya dimulai ketika
GFRnya sudah turun sampai 15 ml/mnt.
c. Nefrosklerosis Hipertensif
Nefroskerosis hipertensif merupakan penyakit ginjal yang
diakibatkan rusaknya vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan
tekanan darah.
34
f. Diabetes Melitus
Kadar glukosa yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya glikosilasi
protein membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran
basalis. Penumpukan zat serupa glikoprotein membran basalis juga
terjadi pada mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler
glomerulus terdesak dan aliran darah terganggu yang dapat
menyebabkan glomerulo sklerosis dan hipertrofi nefron yang akan
menimbulkan nefropati diabetik.
g. Hipertensi
Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik pada arteriol dan
glomeruli dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah glomeruli
atau glomerulosklerosis. Penurunan jumlah nefron akan menyebabkan
proses adaptif, yaitu meningkatnya aliran darah, peningkatan LFG, dan
peningkatan keluaran urin di dalam nefron yang masih bertahan. Proses
ini melibatkan hipertrofi dan vasodilatasi nefron serta perubahan
fungsional yang menurunkan tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulus
di dalam nefron yang masih bertahan. Perubahan fungsi ginjal dalam
waktu yang lama dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada
nefron yang ada. Lesi-lesi sklerotik yang terbentuk semakin banyak
sehingga dapat menimbulkan obliterasi glomerulus yang mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal lebih lanjut.
3. Patofisiologi CKD
35
4. Klasifikasi CKD
Klasifikasi CKD menurut (Kowalak, 2017) adalah:
b. Manifestasi dermatologis
Kulit menjadi putih berlilin akibat penimbunan pigmen urin dan
anemia, tekstur kulit kering dan bersisik, rambut menjadi rapuh, berubah
warna serta terdapat pruritus pada penderita uremia.
c. Manifestasi gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting, singultus, penurunan aliran saliva,
haus serta stomatitis.
d. Perubahan neuromuskular
Perubahan tingkat kesadaran dan mental, penurunan konsentrasi,
fasikulasi, dan konvulsi.
e. Perubahan hematologis
Perdarahan, keletihan dan letargi, sakit kepala, kelemahan, lebih
mudah mengantuk, pernapasan kussmaul bahkan koma.
7. Penatalaksanaan CKD
Penanganan CKD dapat dilakukan dengan cara (USRDS, 2017):
a. Kepatuhan diet
Kepatuhan diet menerapkan prinsip diet rendah protein, natrium,
dan kalium yang berfungsi untuk mempertahankan fungsi ginjal secara
terus menerus. Penderita CKD harus dapat meluangkan waktu untuk
menjalani pengobatan yang dibutuhkan.
b. Terapi konservatif
Terapi konservatif berfungsi dalam mencegah memburuknya fungsi
ginjal secara progresif, memperbaiki metabolisme tubuh, mengurangi
keluhan akibat toksin azotemia serta memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5
pada saat nilai GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi pengganti ginjal
terdiri dari hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
8. Komplikasi CKD
Komplikasi yang dapat dtimbulkan dari penyakit CKD adalah (Brunner &
Suddarth, 2018):
a. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan
mengakibatkan dekasifilkasi matriks tulang, sehinggal tulang akan
menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama makan
menyebabkan phatologis.
b. Penyakit Kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara
sistemik berupa hipertensi, kelainan lipid, inteloransi glukosa, dan
kelainan himodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
c. Anemia
Selain berfungsi sebagai sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam
rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami
defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.
d. Disfungsi seksual
39
1. Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian
yang disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Brunner & suddarth,
2018). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat total
maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak di sekitarnya (Zen, 2019).
2. Etiologi Fraktur
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor. Beberapa penyebab
terjadinya fraktur, yaitu (Zen, 2019):
a. Fraktur traumatik
Disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat yang mengenai
tulang baik secara langsung maupun tidak.
b. Fraktur stress
Disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
c. Fraktur patologis
Disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi patologis penyakit yang
akan menimbulkan fraktur.
3. Patofisiologi Fraktur
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan
telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot
misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep
mendadak berkontraksi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
41
4. Klasifikasi Fraktur
Menurut Noorisa, Apriliwati, Aziz dan Bayusentono (2017) fraktur dapat
diklasifikasikan menjadi:
a. Berdasarkan sifar fraktur
1) Fraktur tertutup (Closed)
Jika tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih karena kulit masih utuh tanpa
komplikasi.
2) Fraktur terbuka (Open/Compound)
Jika terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan kulit.
43
7. Penatalaksanaan Fraktur
Menurut Zen (2019), penatalaksanaan fraktur terdiri dari:
a. Prinsip penanganan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, immobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1) Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragment tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur harus segera
dilakukan untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
2) Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
3) Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
immobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi.
4) Reduksi terbuka
Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan
fragment tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau dipasang
melalui fragment atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragment
tulang.
5) Immobilisasi ftraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Immobilisasi segera dapat dilakukan setelah fiksasi
interna dan eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan
gips, bidai, traksi kontinyu, pin, dan teknik gyps, atau fiksator
eksterna. Implant logam dapat digunakan untuk fiksasi yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
6) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi (rehabilitasi)
46
8. Komplikasi Fraktur
Beberapa komlikasi pada penderita fraktur antara lain (Diki, 2018):
1. Komplikasi awal
a. Kerusakan arteri
b. Sindrom kompartemen
c. Fat embolism syndrom
d. Infeksi
e. Avaskuler nekrosis
f. Shock
2. Komplikasi lanjut
47
9. Prognosis Fraktur
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat
daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan karena aktifitas
proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum dan juga
berhubungan dengan proses remodelling tulang pada anak sangat aktif
dan makin berkurang apabila umur bertambah. Selain itu fragmen tulang
pada anak mempunyai vaskularisasi yang baik dan penyembuhan
biasanya tanpa komplikasi. Waktu penyembuhan anak secara kasar
adalah setengah kali waktu penyembuhan pada orang dewasa (Zen,
2019).
48
1. Definisi BPH
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah kelenjar prostat mengalami,
memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra. BPH adalah kelenjar prostat bila
mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika
dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Brunner
& suddarth, 2018).
2. Etiologi BPH
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan (Purnomo, 2017). Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain:
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen-testosteron.
c. Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
d. Interaksi stroma-epitel.
e. Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
f. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
g. Teori sel stem
Menerangkan bahwa terjadinya poliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan.
49
3. Patofisiologi Fraktur
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30 –
40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan 8 patologi anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan.
Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga
stromal dan elemen glandular pada prostat. Proses pembesaran prostat
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih
juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin
pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan
berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas (Sjamsuhidajat & Jong, 2017).
50
4. Klasifikasi BPH
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat & Jong (2017) dibedakan
menjadi 4 stadium, yaitu:
a. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60 – 150cc. Ada
rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan,
urinemenetes secara periodik (over flow inkontinen).
51
7. Penatalaksanaan BPH
Menurut Haryono (2017), penatalaksanaan Benign Prostat Hyperplasia
(BPH) meliputi:
a. Terapi medikamentosa
1) Penghambat adrenergik, misalnya: prazosin, doxazosin, dan
afluzosin
2) Penghambat enzim, misalnya finasteride
3) Fitoterapi, misalnya eviprostat
b. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah
meliputi:
1) Prostatektomi
a) Prostatektomi suprapubis
53
8. Komplikasi BPH
Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2017), komplikasi BPH adalah:
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi.
b. Infeksi saluran kemih.
c. Involusi kontraksi kandung kemih.
d. Refluk kandung kemih.
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagimenampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi.
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
54
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.
9. Prognosis BPH
Prognosis pada benign prostatic hyperplasia umumnya baik. Pasien-
pasien dengan lower urinary tract symptoms (LUTS) berkepanjangan
dapat berisiko mengalami glaukoma (10%) serta disfungsi ereksi dan
ejakulasi. Pilihan terapi yang tepat sesuai kondisi klinis pasien sangat
penting dalam menentukan progresifitas benign prostatic hyperplasia.
Sebanyak 10% pasien dengan benign prostatic hyperplasia juga dapat
mengalami kekambuhan meskipun telah dilakukan reseksi prostat (Deters,
Costabile, Leveille & Moore, 2021).
B. Laporan Kasus
1. Resume Kasus I (Diabetes Mellitus tipe 2)
a. Pengkajian Keperawatan
Tanggal MRS : 13 April 2022
Tanggal Pengkajian : 16 April 2022
NRM : 62.12.59
1) Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Tanggal Lahir : 9 September 1951
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lrg. Syailendra 1 ulu
55
b. Diagnosis Keperawatan
Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (abses) d.d mengeluh nyeri, sulit
tidur, tidak nafsu makan, HR 102x/mnt, dan TD 125/80 mmHg.
c. Intervensi Keperawatan
Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri
agen pencedera tindakan keperawatan Observasi:
fisik (abses) d.d selama 6 jam, tingkat - Identifikasi karakteristik
mengeluh nyeri, nyeri menurun dengan nyeri.
sulit tidur, tidak kriteria hasil: - Identifikasi respons
nafsu makan, - Keluhan nyeri nyeri non verbal.
HR 102x/mnt, menurun - Identifikasi faktor yang
56
b. Diagnosis Keperawatan
Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (cholelithiasis) d.d mengeluh
nyeri, posisi tidur meringkuk memegangi abdomen, tidak nafsu makan,
RR 23x/mnt, dan TD 130/70 mmHg.
c. Intervensi Keperawatan
Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri
agen pencedera tindakan keperawatan Observasi:
fisiologis selama 6 jam, tingkat - Identifikasi karakteristik
59
Nama : Tn.Z
Tanggal Lahir : 7 Juli 1962
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Swakarsa No.2518 Kertapati
2) Status Kesehatan Ini
a) Keluhan utama
Tn.Z mengeluh mual.
b) Riwayat penyakit sekarang
Tn.Z datang ke rumah sakit dengan keluhan mual. 2 hari SMRS
Tn.Z mengatakan mual dan muntah sebanyak 10x/hari serta badan
terasa lemas. Tn.Z mengatakan tidak nafsu makan.
Hasil pengkajian didapatkan KU lemas, pucat, GCS 15, BB 63
Kg TB 165 cm. TD 135/86 mmHg, N 110 x/mnt, RR 20x/mnt, T
36.10C. Hasil laboratorium: RBC 3,3 juta µ/L, WBC 8,1 µ/L, PLT 162
mm3, HB 10,1 g/dL, HT 30%, Ureum 175 mg/dL, dan Creatinine
3,48 mg/dL, dan asam urat 14,7 mg/dL.
Berdasarkan hasil kolaborasi dari dokter, Tn.Z mendapat terapi
Ondansetron 3x4 mg, Kidmin 2 flash/hari, Aminefron tab 3x1, dan
Natrium diklofenak tab 3x50 mg.
b. Diagnosis Keperawatan
Nausea b.d gangguan biokimiawi (uremia) d.d mengeluh mual, nafsu
makan menurun, badan lemas, pucat, N 110x/mnt.
c. Intervensi Keperawatan
Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Nausea b.d Setelah dilakukan Manajemen mual
gangguan tindakan keperawatan Observasi:
biokimiawi selama 6 jam, tingkat - Monitor TTV.
(uremia) d.d nausea menurun - Monitor mual.
mengeluh mual, dengan kriteria hasil: - Monitor asupan nutrisi
nafsu makan - Perasaan ingin dan kalori.
menurun, badan muntah menurun Terapeutik
lemas, pucat, N - Frekuensi nadi - Berikan teknik
110x/mnt. membaik nonfarmakologis.
62
NRM : 62.14.42
1) Identitas Pasien
Nama : Tn.Sy
Tanggal Lahir : 25 April 1985
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kemon Saya, Papua
2) Status Kesehatan Ini
a) Keluhan utama
Tn.Sy mengeluh nyeri pada tangan kanan.
b) Riwayat penyakit sekarang
Tn.Sy menderita fraktur pada tangan kanannya setelah terjatuh
dari rumah. Tn.Sy dirujuk ke rumah sakit ditemani istri dan anaknya.
Tn.Sy mengalami fraktur tertutup dan tidak terdapat luka terbuka di
sekitar fraktur. Tn.Sy mengeluh nyeri skala 6 terlihat meringis dan
memegangi tangannya.
Hasil pengkajian didapatkan KU sedang, GCS 15, BB 80 Kg TB
170 cm. TD 145/90 mmHg, N 111 x/mnt, RR 22 x/mnt, T 36.7 0C.
Hasil laboratorium: RBC 5,46 juta µ/L, WBC 9 µ/L, PLT 167 mm 3,
HB 15,9 g/dL, HT 48%, masa perdarahan (BT) 2 mnt, masa
pembekuan (CT) 11 mnt, dan GDS 219 mg/dL. Hasil rontgen
menunjukkan terdapat malunion old fraktur 1/3 distal os radius
dextra.
Berdasarkan hasil kolaborasi dari dokter, Tn.Sy mendapat
terapi Ceftriaxon 2x1, Ketorolac 2x1, Ranitidine 2x1, IVFD RL gtt 20
tpm, dan akan menjalani operasi pemasangan pen pada pukul
13.00 WIB.
b. Diagnosis Keperawatan
Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (fraktur) d.d mengeluh nyeri,
meringis, memegangi area tangan, HR 92x/mnt, dan TD 145/90 mmHg.
c. Intervensi Keperawatan
65
Diagnosis Rencana
Kriteria Hasil
Keperawatan Keperawatan
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen nyeri
pencedera fisik tindakan keperawatan Observasi:
(fraktur) d.d selama 6 jam, tingkat - Identifikasi
mengeluh nyeri, nyeri menurun dengan karakteristik nyeri.
meringis, memegangi kriteria hasil: - Identifikasi respons
area tangan, HR - Keluhan nyeri nyeri non verbal.
111x/mnt, dan TD menurun - Identifikasi faktor
145/90 mmHg. - Meringis menurun yang memperberat
- Sikap protektif dan memperingan
menurun nyeri.
- Frekuensi nadi Terapeutik
membaik - Berikan teknik
- Tekanan darah nonfarmakologis.
membaik - Fasilitasi istirahat
dan tidur.
Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara
mandiri.
Kolaborasi
- Pemberian obat
analgetik.
T: hilang timbul
O KU sakit lemas, GCS 15, tampak meringis.
TTV: TD 125/90 mmHg, N 92 x/mnt, RR 20x/mnt, T
36,70C.
A Nyeri akut teratasi sebagian
P Intervensi dilanjutkan: Manajemen nyeri
- Identifikasi TTV.
- Identifikasi skala dan kualitas nyeri.
- Fasilitasi untuk istirahat.
- Ajarkan teknik napas dalam.
- Kolaborasi pemberian analgesik.
08.00 I - Mengkaji TTV pasien: TTV: TD 118/90 mmHg,
N 87 x/mnt, RR 20x/mnt, T 36,50C.
08.05 - Mengkaji tingkat nyeri pasien: skala nyeri 3.
09.00 - Mengkaji keadaan area sekitar fraktur: tidak
ada lebam, tidak ada pengeluaran darah, area
sekitar fraktur sedikit kemerahan.
09.10 - Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam
12.00 - Memberikan terapi injeksi sesuai order dokter:
analgesik ketorolac, antibiotik ceftriaxon,
antiemetik ranitidine.
12.30 - Mempersiapkan pasien untuk operasi
pemasangan pen.
13.30 E Tn.Sy mengatakan masih nyeri
R Memberikan kompres dingin di sekilar area fraktur
67
b. Diagnosis Keperawatan
Gangguan eliminasi urin b.d obstruksi saluran kemih d.d mengeluh tidak
bisa BAK, nyeri saat BAK, dan distensi kandung kemih.
68
c. Intervensi Keperawatan
Diagnosis
Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
Gangguan Setelah dilakukan Manajemen eliminasi urine
eliminasi urin tindakan keperawatan Observasi
b.d obstruksi selama 6 jam, - Identifikasi tanda dan
saluran kemih eliminasi urine gejala retensi urine.
d.d mengeluh membaik dengan - Monitor eliminasi urine.
tidak bisa BAK, kriteria hasil: Terapeutik
nyeri saat BAK, - Sensasi berkemih - Catat waktu-waktu dan
dan distensi meningkat haluaran urine.
kandung kemih. - Distensi kandung - Batasi asupan cairan.
kemih menurun Edukasi
- Keluhan nyeri - Ajarkan tanda dan
menurun gejala infeksi saluran
kemih.
Kolabrasi
- Kolaborasi pemberian
obat supositoria uretra
jika perlu.
- Identifikasi TTV.
- Monitor eliminasi urin.
- Batasi asupan cairan.
- Ajarkan teknik napas dalam.
- Kolaborasi pemberian analgesik.
08.00 I - Mengkaji TTV pasien: TTV: TD 130/80 mmHg,
N 90 x/mnt, RR 20x/mnt, T 36,50C.
10.05 - Memonitor eliminasi urin: ±100 cc.
11.00 - Memonitor intake ouput.
11.30 - Menganjurkan pasien untuk membatasi asupan
cairan.
12.00 - Memberikan terapi injeksi sesuai order dokter:
analgesik ketorolac, antibiotik ceftriaxon, dan
antiemetik ranitidine.
13.30 E Tn.M mengatakan miksi masih sedikit
R Intervensi dilanjutkan
70
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama kegiatan orientasi khusus, penulis memilih 5 kasus pasien rawat
inap yang akan diobservasi dan dianalisis tentang penatalaksanaan penyakit.
Adapun kelima kasus tersebut adalah diabetes mellitus, cholelithiasis, Chronic
Kidney Disease (CKD), fraktur, dan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).
Diabetes Mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan
atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada pasien diabetes mellitus
yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan.
Pemeriksaan Hemoglobin A1c (HbA1C) merupakan pemeriksaan tunggal yang
sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada
semua tipe penyandang DM. Adapun tujuan utama penatalaksanaan terapi
DM adalah menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam
upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik yang terdiri
dari terapi farmakologis, diet, latihan, terapi insulin, dan pendidikan kesehatan
(IDF, 2017; Parkeni, 2019; Khardori, 2017).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada pasien dengan DM tipe 2
di RSUD Palembang BARI, didapatkan bahwa penatalaksanaan yang
diberikan sudah sesuai dengan teori dan penelitian yang ada. Pasien diberikan
terapi insulin dan penkes tentang diet dan latihan. Pasien dengan luka
ganggren akan dilakukan perawatan luka NaCl 0,9% serta diberikan terapi
antibiotik topikal dan injeksi. Pasien juga diajarkan teknik relaksasi napas
dalam untuk meredakan nyeri.
Cholelithiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Penderita cholelithiasis meningkat pada pengguna kontrasepsi pil, estrogen,
dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Tanda dan
gejala dari cholelithiasis sebagian bersifat asimtomatik, tetapi pasien akan
mengalami nyeri tekan yang bersifat persisten, dan terjadi perubahan warna
kulit, urine serta feses. Penatalaksanaan bida dilakukan dengan terapi bedah
dan non bedah. Kurang lebih 80% dari pasien inflamasi akut kandung empedu
72
B. Saran
1. Laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi karyawan
RSUD Palembang BARI untuk mengetahui struktur organisasi, visi, misi
dan motto, lingkungan baru, nilai-nilai dan budaya organisasi Bidang
Keperawatan RSUD Palembang BARI.
2. Laporan ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi RSUD Palembang
BARI khusunya profesi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pasien.
74
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja PPNI. (2019). Standar luaran keperawatan indonesia, ed.1. Jakarta:
DPP PPNI.
USRDS. (2017). Chapter 1: incidence, prevalence, patient characteristics, and
treatment modalities. United States Renal Data System, 69.
https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2017.01.020.
Zen, S. (2019). Mengenali fraktur atau keretakan. Alaf Media.
LAMPIRAN