Anda di halaman 1dari 3

Sesat Pikir yang Umum Dilakukan

Beberapa tahun lalu saya sempat berpolemik dengan beberapa orang di sosial
media. Sebabnya adalah reproduksi hoax PKI yang kerap muncul setiap tahun.
Banyak dari mereka yang memberi bantahan tetapi dengan argumen keliru. “sosok
tolol sepertimu tak dapat kupercaya?”, “Udah banyak ulama yang mengingatkan,
berarti ini bukan hoax”, dan masih banyak lagi sesat pikir lainnya.
Lalu apa itu sesat pikir? Menurut Irving M Copi (2014), sesat pikir adalah tipe
argumen yang tampaknya benar, namun mengandung kesalahan dalam
penalarannya. Begitu pentingnya penalaran ini sehingga ia menjadi dasar dalam
berlogika. Logika adalah cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada
penalaran. Lalu apa saja bentuk-bentuk sesat pikir yang sering dilakukan orang?

Fallacy of Four Terms


Adalah kesesatan berpikir karena penggunaan empat term di dalam silogisme.
Hal ini dapat terjadi karena term penengahnya memiliki makna ganda, dimana
seharusnya silogisme disusun atas tiga term. Misal:
“karena penyakit Covid-19 adalah penyakit menular, maka berdasar peraturan
yang ada, orang dengan positif Covid-19 harus diasingkan. Sementara, si Joko
berpenyakit panu yang menular, maka ia juga harus diasingkan.”
Sesat pikir bentuk ini tentu dapat membahayakan jika dibawa ke dalam
konteks informasi kesehatan.

Affirmative Conclusion from Negative Premise


Yaitu kesesatan berpikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis
negatif. Artinya, hal itu tidak dapat ditarik kesimpulan. Strukturnya: jika A bukan B,
dan B bukan C, maka A adalah C. misal:
Tidak satupun anggota dewan yang berasal dari akademisi
Tidak satupun akademisi bodoh
Maka, semua anggota dewan bodoh

Fallacy of Illicit Process


Kesesatan berpikir yang terjadi karena term premis yang tidak mencakup
(undistributed) tetapi dalam konklusinya mencakup. Contoh:
“Besi adalah logam. Perunggu bukan besi. Jadi, perunggu bukan logam.”

Ad hominem
Logical fallacy atau sesat pikir yang seringkali dilakukan seseorang ketika
berargumen yaitu dengan menyerang pribadi (ad hominem) lawan debat yang tidak
ada kaitannya dengan pembahasan. Ad hominem adalah upaya membantah
kebenaran suatu klaim dengan menyerang karakter orang yang mendukung klaim
tersebut. Biasanya itu terjadi saat seseorang telah kehabisan argumen dan
kehabisan sabar.
Namun, menurut Doug Walton, akademisi asal Kanada, ad hominem dalam
beberapa kasus dapat dibenarkan. Mempertanyakan perilaku, karakter, atau motif
adalah sah dan relevan dalam menunjukkan tindakan yang bertentangan dengan
apa yang dikatakan si subjek.

Straw man fallacy


Entah bagaimana saya sering mendapati jenis sesat pikir ini pada orang-orang
yang, pertama, begitu mencintai negara secara salah (ultranasionalis), dan kedua,
mereka yang begitu sering menunjukkan kesalehan pribadinya. Misalkan dari kasus
hoax PKI tadi. Untuk golongan yang pertama, mereka selalu mengakhiri
argumennya dengan berkata, “para purnawirawan itu sudah berjuang untuk negara
ini, kamu tidak punya rasa hormat pada mereka.” Sementara golongan kedua
mengakhirinya dengan berkata, “dimana kecintaanmu pada ulama yang sudah
menjaga negeri ini?”
Straw man (manusia jerami) fallacy menurut Stephen Downes (2016) adalah
bentuk argument dengan memberi kesan membantah argumen lawan, padahal
sebenarnya menyangkal argumen yang tidak dihadirkan oleh lawan. Orang yang
melakukan sesat pikir ini disebut dengan “menyerang manusia jerami.”
Bentuk-bentuk dari straw man ini antara lain, mengutip perkataan lawan tetapi
di luar konteks. Atau terlalu menyederhanakan (oversimplifying) argumen lawan, lalu
menyerang versi yang disederhanakan itu.
Referensi
Bakry, Noor Muhsin, dan Sonjoruri Budiani Trisakti. 2019. Materi Pokok
Logika. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Copi, Irving M., Cohen C., dan K. McMahon. 2014. Introduction to Logic.
Essex: Pearson Education Limited.
http://www.logicallyfallacious.com/index-php/logical-fallacies/14-affirmative-
conclusion-from-a-negative-premise
http://www.fallacyfiles.org/illicitp.html
Walton, Doug. 1998. Ad Hominem Arguments. Tuscaloosa: University of
Alabama Press.

Anda mungkin juga menyukai