Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

WARA’ DAN ZUHUD

Mata kuliah : Hadits-hadits Sufistik


Dosen Pengampu : Ulin Ni’am Masruri, MA

Disusun Oleh :
Fakhrudin Muhammad Arrozi 2104046039
Muhammad Riadi 2104046017
Wahyu Syahrul Romadhan 21040457

Tasawuf dan Psikoterapi


Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Wara’ dan Zuhud ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak Ulin
Ni’am Masruri, MA pada mata kuliah islam dan moderasi
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Ulin Ni’am Masruri, MA yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 8 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................


DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................
1.1 Latar belakang.............................................................................
1.2 Rumusan masalah........................................................................
1.3 Tujuan..........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 .........................................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................
3.2 Saran.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang melalaikan dari dari akhirat, beralih pada
meninggalkan kesenangan duniawai dan sibuk pada dunia, lalu semangat menggapai akhirat
serta mempersiapkan diri menuju negeri masa depan.
Termasuk dalam zuhud ini adalah meninggalkan yang haram dan makruh, juga
meninggalkan hal mubah yang dapat melalaikan dari akhirat dan melalaikan dari melakukan
amalan saleh.
Sedangkan wara’ adalah menahan diri dari hal syubhat yang bisa jadi haram atau makruh.
Orang yang wara’ meninggalkan perkara tadi agar tidak terjerumus dalam perkara yang
dilarang. Ia hanya mau berpegang dengan sesuatu yang sudah jelas agar agamanya selamat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud Zuhud dan Wara’?
2. Bagaimana Hadits tentang Zuhud dan Wara’

C. TUJUAN
1. Mengetahui maksud dari Zuhud dan Wara’
2. Mengetahui Hadits tentang Zuhud dan Wara’
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Zuhud
Zuhud secara bahasa berarti meninggalkan. Dan kata zahada itu berarti sedikit pada
segala sesuatu. Zahid adalah sesuatu yang sedikit.
Hakikat zuhud telah diungkap oleh para ulama salaf dengan berbagai macam tafsiran.
Dari berbagai perkataan ulama salaf dapat disimpulkan bahwa, zuhud adalah berpindah
dari tergila-gila pada sesuatu beralih kepada sesuatu yang lebih baik.
Berarti zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang melalaikan dari dari akhirat, beralih
pada meninggalkan kesenangan duniawai dan sibuk pada dunia, lalu semangat menggapai
akhirat serta mempersiapkan diri menuju negeri masa depan.
Termasuk dalam zuhud ini adalah meninggalkan yang haram dan makruh, juga
meninggalkan hal mubah yang dapat melalaikan dari akhirat dan melalaikan dari melakukan
amalan saleh.
Catatan: Zuhud ini bukan berarti kita tidak boleh mengurus dunia yang bisa mengantarkan
untuk taat kepada Allah. Zuhud bukan berarti kita harus tinggalkan kebiasaan dunia secara
umum, seperti meninggalkan jual beli, bertani, dan bekerja. Boleh saja kita mencari dunia
asalkan tidak melalaikan dari persiapan akhirat, hati tetap tidak penuh pada dunia, dan
mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Ibnul Jalaa’ mengatakan, “Zuhud adalah memandang dunia itu akan fana, dunia itu kecil
di matamu, sehingga jika di dunia itu ditinggalkan begitu mudah.” (Bashair Dzawi At-
Tamyiz, 3:139, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:137).
Sebagian ulama salaf berkata, “Zuhud adalah ‘azuful qalb ‘anid dunya bi laa takalluf,
yaitu hati tidak selamanya bersahabat dengan dunia tanpa ada rasa beban.” (Madarij As-
Salikin, 2:11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:137)
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang memiliki uang 1000 dinar.
Apakah ia bisa disebut sebagai orang yang zuhud? Jawab beliau, “Iya, bisa saja asalkan ia
tidaklah terlalu berbangga bertambahnya harta dan tidaklah terlalu bersedih harta yang
berkurang.” .” (Madarij As-Salikin, 2:11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:138)
2. Hadits tentang Zuhud
Ibnul Qayyim mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

‫ َتْر ُك َم ا َتَخ اُف َضَر َرُه ِفي اآلِخَر ِة‬: ‫الُّز ْهُد َتْر ُك َم اَال َيْنَفُع ِفي اآلِخَرِة َو الَو َر ُع‬

“Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Sedangkan wara’
adalah meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat.”
Ibnul Qayyim lantas berkata, “Itulah pengertian zuhud dan wara’ yang paling bagus dan
paling mencakup.” (Madarij As-Salikin, 2:10, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3:138)
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata bahwa yang dimaksud zuhud oleh Ibnu Taimiyah di
atas adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan yang tidak membantu dalam
ketaatan kepada Allah.
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan melanjutkan, adapun jika perkara mubah tersebut
bermanfaat untuk negeri akhirat, lalu ada yang meninggalkannya (zuhud pada hal tersebut),
maka tidak dinilai sebagai suatu ibadah (bukan bagian dari agama)—seperti meninggalkan
berpakaian bagus padahal mampu dan ia anggap sebagai suatu ibadah, pen–. Melakukan
seperti ini termasuk dalam ayat,

‫ُّب اْلُم ْعَتِد يَنَيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَل ُتَح ِّر ُم وا َطِّيَباِت َم ا َأَح َّل ُهَّللا َلُك ْم َو اَل َتْعَتُدواۚ ِإَّن َهَّللا اَل ُيِح‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 87). Yang meninggalkan
hal mubah yang bermanfaat untuk akhirat tadi adalah orang jahlun wa dhalalun, yaitu bodoh
dan sesat.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫ى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَأَّم ا الُّز ْهُد ِفي الَّناِفِع َفَج ْهٌل َو َض اَل ٌل َك َم ا َقاَل الَّنِبُّي َص َّل‬
” { ‫} اْح ِر ْص َع َلى َم ا َيْنَفُعك َو اْسَتِع ْن ِبَاِهَّلل َو اَل َتْع ِج َزَّن‬
“Adapun zuhud dalam hal yang bermanfaat, maka itu termasuk kebodohan dan kesesatan.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bersemangatlah dalam hal yang
bermanfaat untukmu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah malas.” (HR. Muslim,
no. 2664). (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:511)

3. Pengertian Wara’
Wara’ berarti menahan diri, yaitu ‘iffah, menahan diri dari suatu yang tidak pantas.
Ada beberapa ungkapan para ulama salaf tentang wara’.
Dari berbagai perkataan dapat disimpulkan, wara’ adalah menahan diri dari hal syubhat
yang bisa jadi haram atau makruh. Orang yang wara’ meninggalkan perkara tadi agar tidak
terjerumus dalam perkara yang dilarang. Ia hanya mau berpegang dengan sesuatu yang
sudah jelas agar agamanya selamat.
Sufyan Ats-Tsaury berkata, “Aku tidaklah pernah memandang sesuatu yang lebih mudah
dari wara’ yaitu apa saja yang meragukan, maka tinggalkanlah.” (Madarij As-Salikin, 2:22,
dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 10:138-139).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫َو اْلَو َر ُع اْلَم ْش ُر وُع ُهَو َتْر ُك َم ا َقْد َيُضُّر ِفي الَّد اِر اآْل ِخَرِة‬

“Wara’ yang disyariatkan adalah meninggalkan sesuatu yang mendatangkan mudarat untuk
negeri akhirat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:305, 10:21)

Maka yang dimaksud dengan wara’ ini adalah meninggalkan hal haram dan
syubhat karena dapat mendatangkan mudarat. Hal ini akan dibahas dalam hadits Nu’man
yang akan disebut kali ini.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫ َو َأَّم ا‬. ‫َأَّن اْلَو اِج َباِت َو اْلُم ْسَتَح َّبات اَل َيْص ُلُح ِفيَها ُز ْهٌد َو اَل َو َر ٌع ؛ َو َأَّم ا اْلُمَح َّر َم اُت َو اْلَم ْك ُروَهاُت َفَيْص ُلُح ِفيَها الُّز ْهُد َو اْلَو َر ُع‬

‫اْلُمَباَح اُت َفَيْص ُلُح ِفيَها الُّز ْهُد ُد وَن اْلَو َر ِع‬
“Perkara wajib dan sunnah tidak boleh di dalamnya ada zuhud dan wara’. Adapun perkara
haram dan makruh, itulah baru ada zuhud dan wara’. Sedangkan perkara mubah hanya ada
zuhud, tidak ada wara’.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:619)

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata, “Dari sini dapat kita simpulkan bahwa zuhud itu
lebih tinggi dari wara’. Wara’ itu meninggalkan hal yang berdampak mudarat. Sedangkan
zuhud adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat. Karena sesuatu yang ditinggalkan
demi akhirat itu ada tiga macam yaitu sesuatu yang membawa mudarat di akhirat, sesuatu
yang tidak bermanfaat, sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak membawa mudarat. Wara’
berarti meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat. Zuhud berarti
meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat, maka tentu sesuatu yang mudarat
untuk akhirat pasti ditinggalkan oleh orang yang zuhud. Maka setiap orang yang zuhud
termasuk dalam wara’. Namun tidak setiap orang yang wara’ itu termasuk zuhud.” Lihat
Minhah Al-‘Allam, 10:140.

4. Hadits tentang Wara’


Hadits An-Nu’man bin Basyir tentang wara’ dan meninggalkan syubhat yang dimaksud
adalah hadits berikut ini.

‫ َو َأْهَو ى َالُّنْع َم اُن ِبِإْص َبَع ْيِه‬-‫ َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللَا – صلى هللا عليه وسلم – َيُقوُل‬: ‫ َقاَل‬-‫َرِض َي ُهَّللَا َع ْنُهَم ا‬- ‫َع ْن َالُّنْع َم اِن ْبِن َبِش يٍر‬
‫ َفَقِد ِاْسَتْبَر َأ‬,‫ َفَمِن اَّتَقى َالُّش ُبَهاِت‬,‫ اَل َيْع َلُم ُهَّن َك ِثيٌر ِم ْن َالَّناِس‬, ‫ َو َبْيَنُهَم ا ُم ْش َتِبَهاٌت‬, ‫ َو ِإَّن َاْلَحَر اَم َبِّيٌن‬, ‫ – ِإَّن َاْلَح اَل َل َبِّيٌن‬:‫ِإَلى ُأُذ َنْيِه‬

‫ َأاَل َو ِإَّن ِلُك ِّل َم ِلٍك‬,‫ ُيوِش ُك َأْن َيَقَع ِفيِه‬,‫ َك الَّراِع ي َيْر َعى َح ْو َل َاْلِح َم ى‬, ‫ َو َم ْن َو َقَع ِفي َالُّش ُبَهاِت َو َقَع ِفي َاْلَح َر اِِم‬,‫ِلِد يِنِه َو ِع ْر ِضِه‬
‫ َأاَل‬,‫ َوِإَذ ا َفَس َد ْت َفَس َد َاْلَجَس ُد ُك ُّلُه‬,‫ َص َلَح َاْلَجَس ُد ُك ُّلُه‬, ‫ ِإَذ ا َص َلَح ْت‬,‫ َأاَل َو ِإَّن ِفي َاْلَجَسِد ُم ْض َغ ًة‬,‫ َأاَل َو ِإَّن ِح َم ى ِهَّللَا َم َح اِر ُم ُه‬,‫ِحًم ى‬
‫َو ِهَي َاْلَقْلُب – ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku mendengar


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dan Nu’man memasukkan jarinya ke
dalam dua telinganya, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun
jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui
oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam
perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala
yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah
perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging.
Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut
rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR.
Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599]
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN

Zuhud ini bukan berarti kita tidak boleh mengurus dunia yang bisa mengantarkan untuk
taat kepada Allah. Zuhud bukan berarti kita harus tinggalkan kebiasaan dunia secara umum,
seperti meninggalkan jual beli, bertani, dan bekerja. Boleh saja kita mencari dunia asalkan
tidak melalaikan dari persiapan akhirat, hati tetap tidak penuh pada dunia, dan mengharap
apa yang ada di sisi Allah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫ى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَأَّم ا الُّز ْهُد ِفي الَّناِفِع َفَج ْهٌل َو َض اَل ٌل َك َم ا َقاَل الَّنِبُّي َص َّل‬
” { ‫} اْح ِر ْص َع َلى َم ا َيْنَفُعك َو اْسَتِع ْن ِبَاِهَّلل َو اَل َتْع ِج َزَّن‬

“Adapun zuhud dalam hal yang bermanfaat, maka itu termasuk kebodohan dan kesesatan.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bersemangatlah dalam hal yang
bermanfaat untukmu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah malas.” (HR. Muslim,
no. 2664). (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:511)
Sedangkan hadits An-Nu’man bin Basyir tentang wara’ dan meninggalkan syubhat yang
dimaksud adalah hadits berikut ini.

‫ َو َأْهَو ى َالُّنْع َم اُن ِبِإْص َبَع ْيِه‬-‫ َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللَا – صلى هللا عليه وسلم – َيُقوُل‬: ‫ َقاَل‬-‫َرِض َي ُهَّللَا َع ْنُهَم ا‬- ‫َع ْن َالُّنْع َم اِن ْبِن َبِش يٍر‬
‫ َفَقِد ِاْس َتْبَر َأ‬,‫ َفَمِن اَّتَقى َالُّش ُبَهاِت‬,‫ اَل َيْع َلُم ُهَّن َك ِثيٌر ِم ْن َالَّناِس‬, ‫ َو َبْيَنُهَم ا ُم ْش َتِبَهاٌت‬, ‫ َو ِإَّن َاْلَحَر اَم َبِّيٌن‬, ‫ – ِإَّن َاْلَح اَل َل َبِّيٌن‬:‫ِإَلى ُأُذ َنْيِه‬

‫ َأاَل َو ِإَّن ِلُك ِّل َم ِل ٍك‬,‫ ُيوِش ُك َأْن َيَقَع ِفيِه‬,‫ َك الَّراِع ي َيْر َعى َح ْو َل َاْلِح َم ى‬, ‫ َو َم ْن َو َقَع ِفي َالُّش ُبَهاِت َو َقَع ِفي َاْلَح َر اِِم‬,‫ِلِد يِنِه َو ِع ْر ِضِه‬
‫ َأاَل‬,‫ َوِإَذ ا َفَس َد ْت َفَس َد َاْلَجَس ُد ُك ُّل ُه‬,‫ َص َلَح َاْلَجَس ُد ُك ُّلُه‬, ‫ ِإَذ ا َص َلَح ْت‬,‫ َأاَل َو ِإَّن ِفي َاْلَجَسِد ُم ْض َغ ًة‬,‫ َأاَل َو ِإَّن ِح َم ى ِهَّللَا َم َح اِر ُم ُه‬,‫ِحًم ى‬
‫َوِهَي َاْلَقْلُب – ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku mendengar


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dan Nu’man memasukkan jarinya ke
dalam dua telinganya, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun
jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui
oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam
perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala
yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah
perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging.
Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut
rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR.
Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599]
DAFTAR PUSTAKA

Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani.
Penerbit Darul Wafa’.
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh
‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid kesepuluh.

Anda mungkin juga menyukai