Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PAI

HUSNUZHON,TAWAKAL,DAN RIDHO

Dosen pengampu : Ustadz Faharudin, Lc

KELOMPOK 6

Siti Hadi Jayanti M18010027


Yofina Dwi Ananda M18010028
Zahro Khoirun Nisa M18010029
Khairani Abdul Hafid M18010035
Vinawati Gugul M17010032

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI

YOGYAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala Tuhan semesta alam.
Tak lupa shalawat serta salam kita hanturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wassalam beserta keluarga (Ahlul Bait), sahabat (Ahlusunah Wal Jama’ah)
serta para pengikutnya hingga akhir zaman..
Dalam penyusunan tugas atau materi “HUSNUZHON,TAWAKAL,DAN RIDHO”,
tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Demikianlah pengantar singkat tentang makalah kami, tidak ada kesempurnaan dalam
diri manusia kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Masukan serta kritikan berguna bagi
kami, guna penyempurnaan pembahasan yang telah kami lakukan, terimakasih.

Yogyakarta, 13 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB 1.........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
A. Husnudzon.....................................................................................................................................4
1. Pengertian Husnudzon..................................................................................................................4
2. Macam-macam Husnudzon......................................................................................................4
3. Prasangka Buruk Yang Dibolehkan.........................................................................................8
B. Tawakkal......................................................................................................................................12
1. Pengertian................................................................................................................................12
2. Keutamaan tawakkal...............................................................................................................12
3. Merealisasikan Tawakkal.......................................................................................................13
4. Tawakkal Haruslah dengan Usaha.........................................................................................13
5. Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar.........................................................14
6. Tawakkal yang Keliru.............................................................................................................15
7. Tawakal yang Sebenarnya......................................................................................................16
8. Tawakal Bukan Hanya Pasrah...............................................................................................16
9. Tawakal yang Termasuk Syirik..............................................................................................16
C. Ridho............................................................................................................................................18
Keutamaan Ridho Kepada Allah, Rasul dan Agama Islam.........................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................21
BAB 1

PEMBAHASAN
A. Husnudzon
1. Pengertian Husnudzon
Secara bahasa kata Husnudzon berasal dari bahasa Arab “husnu” yang berarti
baik dan yang berarti memiliki arti prasangka. Dari kedua kata ini husnudzon dapat
diartikan sebagai baik sangka atau berprasangka baik. Husnudzon itu sendiri secara
istilah memiliki arti sikap mental dan cara pandang yang menyebabkan seseorang
melihat sesuatu secara positif atau melihat dari sisi positif. Kata husnudzon itu
sendiri berlawanan dengan kata suudzon yang memiliki arti buruk sangka atau
berprasangka buruk. Arti dari sikap suudzon itu sendiri pun berkebalikan dari sikap
husnudzon. Suudzon adalah sebuah sikap mental atau cara pandang yang memandang
segala sesuatunya dari sisi negatif, jelek dan dipandang tidak indah. Seseorang yang
memiliki sifat suudzon maka hidupnya akan selalu dipenuhi dengan sikap was-was,
penuh curiga dan tidak jarang memvonis orang lain dengan tidak baik.
Berbeda dengan sikap suudzon, maka sikap husnudzon itu adalah memandang
sesuatu dengan pandangan positif, ramah, tidak menghakimi orang lain, dan selalu
memberikan sambutan hangat. Sikap seperti inilah yang selalu diajarkan oleh ajaran
islam. Setiap muslim dianjurkan untuk mengedepankan sikap husnudzon dalam
menghadapi sesuatu. Dengan menerapkan sikap husnudzon maka setiap muslim akan
selalu menampilkan wajah yang ramah terhadap sesuatu yang datang kepadanya.

2. Macam-macam Husnudzon
Dalam islam sikap husnudzon itu terbagi menjadi tiga, yaitu husnudzon kepada
Allah Ta’ala, husnudzon kepada diri sendiri, dan husnudzon kepada orang lain.
Husnudzon itu akan mengantarkan hidup kita menuju kehidupan yang lebih indah,
dan bercahaya, serta selalu berpikir positif.
a. Husnudzon kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman :

‫ض ُك ْم بَ ْعض ًۗا اَي ُِحبُّ اَ َح ُد ُك ْم اَ ْن يَّأْ ُك َل لَحْ َم‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اجْ تَنِبُوْ ا َكثِ ْيرًا ِّمنَ الظَّ ۖنِّ اِ َّن بَع‬
ُ ‫ْض الظَّنِّ اِ ْث ٌم َّواَل تَ َج َّسسُوْ ا َواَل يَ ْغتَبْ بَّ ْع‬
‫اَ ِخ ْي ِه َم ْيتًا فَ َك ِر ْهتُ ُموْ ۗهُ َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗاِ َّن هّٰللا َ تَوَّابٌ َّر ِح ْي ٌم‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka,


sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing
sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam  bersabda, Allah Ta’ala berfirman:

‫أَنَا ِع ْن َد ظَنِّ َع ْب ِدى بِى‬

“Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku” (Muttafaqun ‘alaih).


Hadits ini mengajarkan bagaimana seorang muslim harus huznuzhon pada Allah
dan memiliki sikap roja‘ (harap) pada-Nya.

Mengenai makna hadits di atas, Al Qodhi ‘Iyadh berkata, “Sebagian ulama


mengatakan bahwa maknanya adalah Allah akan memberi ampunan jika hamba
meminta ampunan. Allah akan menerima taubat jika hamba bertaubat. Allah akan
mengabulkan do’a jika hamba meminta. Allah akan beri kecukupan jika hamba
meminta kecukupan. Ulama lainnya berkata maknanya adalah berharap pada
Allah (roja’) dan meminta ampunannya” (Syarh Muslim, 17: 2).

Inilah bentuk husnuzhon atau berprasangka baik pada Allah yang diajarkan pada


seorang muslim. Jabir berkata bahwa ia pernah mendengar sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat tiga hari sebelum wafatnya beliau,

‫الَ يَ ُموت ََّن أَ َح ُد ُك ْم إِالَّ َوهُ َو يُحْ ِسنُ بِاهَّلل ِ الظَّ َّن‬

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati melainkan ia harus berhusnu


zhon pada Allah” (HR. Muslim no. 2877).

Husnuzhon pada Allah, itulah yang diajarkan pada kita dalam do’a. Ketika kita
berdo’a pada Allah kita harus yakin bahwa do’a kita akan dikabulkan dengan
tetap melakukan sebab terkabulnya do’a dan menjauhi berbagai pantangan yang
menghalangi terkabulnya do’a.  Karena ingatlah bahwasanya do’a itu begitu
ampuh jika seseorang berhusnuzhon pada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

‫َوقَا َل َربُّ ُك ُم ا ْدعُونِي أَ ْست َِجبْ لَ ُك ْم‬

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan


bagimu.” (QS. Ghofir/ Al Mu’min: 60)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ْس َش ْي ٌء أَ ْك َر َم َعلَى هَّللا ِ تَ َعالَى ِمنَ ال ُّدعَا ِء‬


َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain
do’a.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, dan Ahmad 2: 362, hasan)
Jika seseorang berdo’a dalam  keadaan yakin do’anya akan terkabul,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٍ ‫ا ْدعُوا هَّللا َ َوأَ ْنتُ ْم ُموقِنُونَ بِا ِإل َجابَ ِة َوا ْعلَ ُموا أَ َّن هَّللا َ الَ يَ ْستَ ِجيبُ ُدعَا ًء ِم ْن قَ ْل‬
‫ب غَافِ ٍل الَ ٍه‬

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah
bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no.
3479, hasan)

Jika do’a tak kunjung terkabul, maka yakinlah bahwa ada yang terbaik di balik
itu. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ث إِ َّما أَ ْن تُ َعج ََّل لَهُ َد ْع َوتُه‬


ٍ َ‫ْس فِيهَا إِ ْث ٌم َوالَ قَ ِطي َعةُ َر ِح ٍم ِإالَّ أَ ْعطَاهُ هَّللا ُ بِهَا إِحْ دَى ثَال‬
َ ‫ما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْدعُو بِ َد ْع َو ٍة لَي‬
ْ َ ‫هَّللا‬ ْ ً ُ ْ
‫ قَا َل ُ أكثَ ُر‬.ُ‫ قَالوا إِذا نُكثِر‬.‫اآلخ َر ِة َوإِ َّما أ ْن يَصْ ِرفَ َع ْنهُ ِمنَ السُّو ِء ِمثلَهَا‬َ ِ ‫َوإِ َّما أَ ْن يَ َّد ِخ َرهَا لَهُ فِى‬

“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak


mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan
Allah akan beri padanya tiga hal: (1) Allah akan segera mengabulkan
do’anya, (2)  Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan (3) Allah
akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas
mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak
mengabulkan do’a-do’a kalian.” (HR. Ahmad 3: 18,  sanad jayyid).

Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam berkata,

‫فاإللحا ُح بالدعاء بالمغفرة مع رجاء هللا تعالى موجبٌ للمغفرة‬

“Terus meminta dengan do’a dan memohon ampunan Allah disertai rasa penuh
harap pada-Nya, adalah jalan mudah mendapatkan maghfiroh (ampunan).”

Maka yakinlah terus pada janji Allah, husnuzhon-lah pada-Nya. Janganlah


berprasangka kecuali yang baik pada Allah. Dan jangan putus asa dari rahmat
Allah dan teruslah berdo’a serta memohon pada-Nya.

b. Husnudzon kepada diri sendiri


Setelah berhusnuzan terhadap Allah, kita harus pula berprasangka baik
kepada diri sendiri, yaitu berpikir positif terhadap segala kemampuan yang
dimiliki diri kita serta usaha yang telah kita lakukan.
Ciri-ciri orang yang berhusnuzan terhadap diri sendiri antara lain memiliki
rasa percaya diri, selalu berusaha secara maksimal, selalu berpikir positif serta
rela berkorban.
Dengan begitu, niscaya kita akan selalu memiliki semangat tinggi untuk
meraih kesuksesan dalam hidup.

c. Husnudzon kepada orang lain


Bukankah akan lebih baik ketika anda mengalami sesuatu yang kurang
menyenangkan, anda segera mencari alasan atau udzur yang masuk akal
sehingga hati anda tenang. Ini sesuatu yang tidak mudah, namun bagi orang
yang terbiasa berfikir positif semua bisa diusahakan, biidznillah! Dengan
selalu bersu’uzhon(berburuk sangka) hati akan selalu gelisah, sebaliknya
ketika anda mengedepankan prasangka baik kepada saudara anda, Insya Allah
anda akan merasa bahagia dan banyak bersyukur pada Allah Ta’ala.
Islam melarang umatnya bersikap buruk sangka sebagaimana dalam Al-
Qur`an surat Al-Hujurat ayat ke-12 :

‫ْض الظَّنِّ إِ ْث ٌم‬


َ ‫يَأَيُّهَا اَّل ِذ ْينَ َءا َمنُوْ ا اجْ تَنِبُوْ ا َكثِ ْيرًا ِمنَ الظَّنِّ إِ َّن بَع‬

“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berburuk


sangka ( kecurigaan ), karena sebagian dari berburuk sangka itu dosa”.

Ada gambaran indah bagaimana sikap baik sangka ulama Salaf


terhadap saudara mereka.

Suatu saat istri Thalhah bin Abdullah bin Auf berkata kepada
suaminya, “Aku tidak melihat seorang yang lebih rendah akhlaknya
daripada sahabatmu.” Thalhah berkata, “Jangan kamu mengatakan hal itu
kepada mereka, mengapa demikian?” Istrinya menjawab, “Jika kamu
berada dalam kemudahan, mereka menemanimu, tetapi ketika kamu dalam
kesusahan mereka menjauhimu.” Thalhah berkata, “Menurutku, mereka
memilki kemuliaan akhlak!” Thalhah melanjutkan, “ Mereka mendatangi
kita ketika kita berada dalam kondisi kuat membantu mereka, mereka
menjauhi kita ketika dalam kondisi lemah membantu mereka (agar tidak
merepotkan kita), oleh karena itu berbaik sangkalah kepada orang lain,
niscaya kamu bahagia!.

Berburuk sangka terkadang dipicu oleh perasaan hasad atau iri


dengki dengan kenikmatan Allah yang diberikan pada orang lain. Seperti
mengatakan, “Dia bersedekah karena riya’ atau ingin dipuji.” Orang-orang
munafik dahulu apabila orang mukmin memberikan sedekah dengan
jumlah yang banyak mereka mengatakan, “Dia riya’!” Jika sedekahnya
sedikit mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada
sedekah yang seperti itu!’ Rahasia hati manusia tidak ada yang
mengetahui secara pasti selain Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :

ِ ‫إِيَّا ُك ْم َوالظَّ َّن فَإ ِ َّن الظَّ َّن أَ ْك َذ بُ ْال َح ِد ْي‬


‫ث‬

“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk) karena prasangka (buruk) adalah


perkataan yang paling dusta.” (HR. Muslim)

Suatu ketika penduduk Himsha mengadukan gubernurnya, Sa’id bin ‘Amir bin Hazim
kepada Umar bin Khathab tentang 4 perkara yang menurut prasangka mereka sebuah
kesalahan.

Pertama : Dia tidak keluar melayani kami kecuali saat matahari sudah tinggi.

Kedua : Dia tidak mau menerima kami di malam hari.

Ketiga : Dalam sebulan, ada satu hari yang dia tidak mau keluar untuk melayani kami.

Keempat : Kadang-kadang ia pingsan pada saat melayani kami.

Lantas Kholifah mempertemukan antara penduduk Himsha dengan Sa’id bin Amir.

Umar berkata : “ Ya Allah, jangan sampai persangkaanku tentang dia sekarang ini
berubah menjadi seperti apa yang mereka adukan.”

Apa jawaban gubernur yang shalih itu ?

Pertama : Beliau terlambat menemui mereka karena sibuk membuat roti untuk keluarga.

Kedua : Waktu malam hari khusus untuk Allah.

Ketiga : Dalam 1 bulan dia tidak melayani rakyat karena mencuci baju dan menunggunya
sampai kering dan menemui mereka pada sore hari.

Keempat : Ia pingsan karena ingat Khubaib Al-Anshari yang disiksa orang-orang


Quraisy, sementara dia masih musyrik dan tidak menolongnya.

Dengan tatsabbut (memastikan terlebih dahulu), Insya Allah, prasangka buruk akan sirna.

3. Prasangka Buruk Yang Dibolehkan


Sebagaimana kita ketahui, bahwa berburuk sangka kepada orang lain adalah
akhlak yang tercela dan dilarang dalam agama. Allah berfirman:
‫ْض الظَّنِّ إِ ْث ٌم‬
َ ‫اِجْ تَنِبُوْ ا َكثِ ْيرًا ِمنَ الظَّنِّ إِ َّن بَع‬
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka
adalah dosa” (QS. Al-Hujuraat: 12).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
َّ
‫الظن أكذب الحديث‬ َّ ،‫والظن‬
‫فإن‬ َّ ‫إياكم‬
“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR.
Bukhari-Muslim).
Inilah hukum asal prasangka buruk terhadap sesama Muslim, yaitu terlarang.
Karena kehormatan seorang Muslim pada asalnya terjaga dan mulia.
Namun ketahuilah, ada prasangka buruk yang dibolehkan. Syaikh As Sa’di
menjelaskan surat Al Hujurat ayat 12 di atas: “Allah Ta’ala melarang sebagian besar
prasangka terhadap sesama Mukmin, karena ‘sesungguhnya sebagian prasangka adalah
dosa’. Yaitu prasangka yang tidak sesuai dengan fakta dan bukti-bukti” (Taisir
Karimirrahman). Maknanya, jika suatu prasangka didasari bukti atau fakta, maka tidak
termasuk ‘sebagian prasangka‘ yang dilarang.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:

‫ فال يجوز له أن يتشكك في أخيه و يسيء به الظن إال إذا رأى‬،‫فالواجب على المسلم أن ال يسيء الظن بأخيه المسلم إال بدليل‬
‫على أمارات تدل على سوء الظن فال حرج‬

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim adalah hendaknya tidak berprasangka
buruk kepada saudaranya sesama Muslim kecuali dengan bukti. Tidak boleh meragukan
kebaikan saudaranya atau berprasangka buruk kepada saudaranya kecuali jika ia melihat
pertanda-pertanda yang menguatkan prasangka buruk tersebut, jika demikian maka tidak
mengapa” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/9619).

Beliau juga mengatakan:

‫ ال‬،‫ وإال فالواجب ترك الظن السيئ‬،‫ إال بأسباب واضحة‬،‫ الواجب الحذر من سوء الظن‬،‫ رجل أو امرأة‬،‫فالواجب على كل مسلم‬
‫ وحسن الظن بأخيك‬،‫ الواجب حسن الظن باهلل‬،‫ وال بغير ذلك‬،‫ وال بأخي الزوج وال بأبيه‬،‫بالمرأة وال بالزوج وال باألوالد‬
‫ وإال فاألصل البراءة والسالمة‬،‫ إال بأسباب واضحة توجب التهمة‬،‫ وأال تسيء الظن‬،‫ أو بأختك المسلمة‬،‫المسلم‬

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim, baik lelaki atau perempuan, wajib
untuk menjauhi prasangka buruk. Kecuali ada sebab-sebab yang jelas (yang menunjukkan
keburukan tersebut). Jika tidak ada, maka wajib meninggalkan prasangka buruk. Tidak boleh
berprasangka buruk kepada istri, kepada suami, kepada anak, kepada saudara suami, kepada
ayahnya atau kepada saudara Muslim yang lain. Dan wajib berprasangka baik kepada Allah,
serta kepada sesama saudara dan saudari semuslim. Kecuali jika ada sebab-sebab yang jelas yang
membuktikan tuduhannya. Jika tidak ada, maka hukum asalanya adalah bara’ah (tidak ada
tuntutan) dan salamah (tidak memiliki kesalahan)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 21/147-148,
http://bit.ly/1K2eJBN).

Maka prasangka yang didasari oleh bukti-bukti, atau pertanda, atau sebab-sebab yang
menguatkan tuduhan itu dibolehkan. Semisal jika kita melihat seorang yang datang ke parkiran
motor lalu membuka paksa kunci salah satu motor dengan terburu-buru, kita boleh
berprasangka bahwa ia ingin mencuri. Atau kita melihat orang-orang berkumpul di pinggir jalan
disertai botol botol khamr dengan wajah kuyu dan mata sayu, kita boleh berprasangka bahwa
mereka sedang mabuk-mabukan. Dan contoh semisalnya.

a. Macam-macam prasangka buruk


Jika telah kita pahami penjelasan di atas, ketahuilah bahwa para ulama membagi
prasangka buruk atau suuzhan menjadi 4 macam:
1) Suuzhan yang haram, yaitu suuzhan kepada Allah dan suuzhan kepada
sesama Mukmin tanpa bukti atau pertanda yang nyata.
2) Suuzhan yang dibolehkan, yaitu suuzhan kepada sesama manusia yang
memang dikenal penuh keraguan, sering melakukan maksiat. Juga
termasuk suuzhan kepada orang kafir. Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin mengatakan:
‫ فال‬،‫ وأما من عرف بالفسوق والفجور‬،‫ أما الكافر فال يحرم سوء الظن فيه؛ ألنه أهل لذلك‬،‫يحرم سوء الظن بمسلم‬
‫ ويبحث عنها؛ ألنَّه قد‬،‫ ومع هذا ال ينبغي لإلنسان أن يتتبع» عورات الناس‬،‫حرج أن نسيء الظن به؛ ألنه أهل لذلك‬
‫يكون متجسسًا بهذا العمل‬
“Diharamkan suuzhan kepada sesama Muslim. Adapun kafir, maka tidak haram
berprasangka buruk kepada mereka, karena mereka memang ahli keburukan. Adapun
orang yang dikenal sering melakukan kefasikan dan maksiat, maka tidak mengapa kita
berprasangka buruk kepadanya. Karena mereka memang gandrung dalam hal itu.
Walaupun demikian, tidak selayaknya seorang Muslim itu mencari-cari dan menyelidiki
keburukan orang lain. Karena sikap demikian kadang termasuk tajassus“.
3) Suuzhan yang dianjurkan, yaitu suuzhan kepada musuh dalam suatu
pertarungan. Abu Hatim Al Busti menyatakan:
‫ فحينئذ يلزمه سوء الظن بمكائده ومكره؛ لئال‬،‫ مكره‬،‫ يخاف على نفسه‬،‫من بينه وبينه عداوة أو شحناء في دين أو دنيا‬
‫يصادفه على غرة بمكره فيهلكه‬
“orang yang memiliki permusuhan dan pertarungan dengan seseorang dalam
masalah agama atau masalah dunia, yang hal tersebut mengancam keselamatan jiwanya,
karena makar dari musuhnya. Maka ketika itu dianjurkan berprasangka buruk terhadap
tipu daya dan makar musuh. Karena jika tidak, ia akan dikejutkan dengan tipu daya
musuhnya sehingga bisa binasa”
4) Suuzhan yang wajib, yaitu suuzhan yang dibutuhkan dalam rangka
kemaslahatan syariat. Seperti suuzhan terhadap perawi hadits yang di-jarh.
(diringkas dari Mausu’atul Akhlak Durar Saniyyah,
http://www.dorar.net/enc/akhlaq/2283)

b. Siapa yang diberi udzur?


Dari penjelasan di atas juga kita ketahui bahwa, perkataan salaf semisal:
ْ َ‫ْال ُم ْؤ ِمنُ ي‬
‫طلُبُ َم َعا ِذي َر إِ ْخ َوانِ ِه‬
“Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya”

Tidak berlaku bagi mu’min yang dikenal gemar dengan kemaksiatan atau
kefasikan. Adapun Mu’min yang tidak dikenal dengan kemaksiatan dan
kefasikan, maka haram dinodai kehormatannya dan haram bersuuzhan kepadanya.
Dan inilah hukum asal seorang Mu’min.

Terutama orang-orang Mu’min yang dikenal dengan kebaikan, maka


hendaknya mencari lebih banyak alasan untuk berprasangka baik kepadanya.
Bahkan, jika ia salah, hendaknya kita maafkan. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:

ِ ‫أَقِيلُوا َذ ِوي ْالهَ ْيئَا‬


‫ت زَ اَّل تِ ِه ْم‬

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

dalam riwayat lain:

‫ إال الحدود‬، ‫أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم‬

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya),


kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam
Ash Shahihah, 638).

c. Jauhkan diri dari tuduhan dan hal yang bisa menimbulkan prasangka
Jika telah dipahami penjelasan di atas, yaitu boleh berprasangka buruk kepada
seseorang jika disertai bukti atau pertanda yang jelas. Maka, konsekuensinya seorang
Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari hal yang dapat menimbulkan tuduhan dan
prasangka. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ُ‫َوإِيَّاكَ َو َما يُ ْعتَ َذ ُر ِم ْنه‬

“Tinggalkanlah hal-hal yang membuatmu perlu meminta udzur setelahnya” (HR.


Dhiya Al Maqdisi dalam Ahadits Al Mukhtarah, 1/131; Ar Ruyani dalam Al Musnad,
2/504; Ad Dulabi dalam Al Kuna Wal Asma’; Dihasankan oleh Al Albani dalam
Silsilah Ahadits Shahihah, 1/689).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

،‫َّاعي يَرْ عَى َحوْ َل ْال ِح َمى‬


ِ ‫ َكالر‬،‫ت َوقَ َع فِي ْال َح َر ِام‬ ِ ْ‫ َو ِعر‬،‫ت ا ْستَ ْب َرأَ لِ ِدينِ ِه‬
ِ ‫ َو َم ْن َوقَ َع فِي ال ُّشبُهَا‬،‫ض ِه‬ ِ ‫فَ َم ِن اتَّقَى ال ُّشبُهَا‬
ِ ‫ أَاَل َوإِ َّن ِح َمى هللاِ َم َح‬،‫ك ِح ًمى‬
ُ‫ار ُمه‬ ٍ ِ‫ أَاَل َوإِ َّن ِل ُك ِّل َمل‬،‫ك أَ ْن يَرْ تَ َع فِي ِه‬
ُ ‫ُوش‬
ِ ‫ي‬

“Siapa yang menjauhkan diri dari syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan
kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam syubhat, ia akan terjerumus dalam
keharaman. Sebagaimana pengembala yang mengembalakan hewannya di dekat
perbatasan sampai ia hampir saja melewati batasnya. Ketahuilah batas-batas Allah
adalah hal-hal yang diharamkan-Nya” (Muttafaqun ‘alaih).

Misalnya, tidak layak seorang Mukmin berada di dekat-dekat tempat perzinaan


(walaupun tidak berzina) tanpa ada hajat, tidak layak seorang Mukmin sengaja
menenteng botol khamr (walaupun tidak diminum) untuk bercanda atau iseng saja,
tidak layak seorang Mukmin berada di restoran makanan haram (walaupun tidak
dimakan) tanpa hajat, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan tuduhan lainnya.

B. Tawakkal
Jalan meraih sukses dengan pasti adalah dengan bertakwa dan bertawakkal pada
Allah subhanahu wa ta’ala. Ayat yang bisa menjadi renungan bagi kita bersama adalah
firman Allah Ta’ala,
ُ‫ْث اَل يَحْ تَ ِسبُ َو َم ْن يَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُه‬
ُ ‫) َويَرْ ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬2( ‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬
ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar,
dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath
Tholaq: 2-3)

1. Pengertian
Tawakkal berasal dari kata “wukul”, artinya menyerahkan/ mempercayakan.
Seperti dalam kalimat disebutkan “‫” َو َّك ْلت أَ ْم ِري ِإلَى فُاَل ن‬, aku menyerahkan urusanku pada
fulan. Sedangkan yang dimaksud dengan tawakkal adalah berkaitan dengan keyakinan.
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah, hakekat
tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih
berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun
akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-
benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan
mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.

2. Keutamaan tawakkal
a. Tawakkal sebab diperolehnya rizki
Ibnu Rajab mengatakan, ”Tawakkal adalah seutama-utama sebab untuk memperoleh
rizki”. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
ُ‫َو َم ْن يَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُه‬
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
b. Diberi kecukupan oleh Allah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3 kepada
Abu Dzar Al Ghifariy. Lalu beliau berkata padanya,
‫اس ُكلَّهُ ْم أَ َخ ُذوْ ا بِهَا لَ َكفَ ْتهُ ْم‬
َ َّ‫لَوْ أَ َّن الن‬
“Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi
mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka
sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka.

c. Masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab


Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍ ‫يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ ِم ْن أُ َّمتِى َس ْبعُونَ أَ ْلفًا بِ َغي ِْر ِح َسا‬
َ‫ َو َعلَى َربِّ ِه ْم يَت ََو َّكلُون‬، َ‫ َوالَ يَتَطَيَّرُون‬، َ‫ هُ ُم الَّ ِذينَ الَ يَ ْستَرْ قُون‬، ‫ب‬
“Tujuh puluh ribu orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah
orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak beranggapan sial dan mereka selalu
bertawakkal pada Rabbnya.”

3. Merealisasikan Tawakkal
“Dalam merealisasikan tawakkal tidaklah menafikan melakukan usaha dengan
melakukan berbagai sebab yang Allah Ta’ala tentukan. Mengambil sunnah ini sudah
menjadi sunnatullah (ketetapan Allah yang mesti dijalankan). Allah Ta’ala
memerintahkan untuk melakukan usaha disertai dengan bertawakkal pada-Nya,”
demikian penuturan Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah selanjutnya.
Jadi intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah
terpenuhi dua unsur:
a. Bersandarnya hati pada Allah.
b. Melakukan usaha.

Inilah cara merealisasikan tawakkal dengan benar. Tidak sebagaimana anggapan


sebagian orang yang menyangka bahwa tawakkal hanyalah menyandarkan hati pada
Allah, tanpa melakukan usaha atau melakukan usaha namun tidak maksimal. Tawakkal
tidaklah demikian.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam
melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati
pada Allah adalah termasuk keimanan.

4. Tawakkal Haruslah dengan Usaha


Berikut di antara dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal tidak mesti
meninggalkan usaha, namun haruslah dengan melakukan usaha yang maksimal.
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ً ‫ق الطَّي َْر تَ ْغدُو ِخ َماصا ً َوتَرُو ُح بِطَانا‬ َّ ‫لَوْ أَنَّ ُك ْم تَتَ َو َّكلُونَ َعلَى هَّللا ِ َح‬
ُ ‫ق ت ََو ُّكلِ ِه لَ َر َزقَ ُك ْم َك َما يَرْ ُز‬
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut
pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan
kenyang.”
Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak
meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya,

‫اط ْال َخ ْي ِل‬


ِ َ‫َوأَ ِع ُّدوا لَهُ ْم َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم ِم ْن قُ َّو ٍة َو ِم ْن ِرب‬

”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60).

5. Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar


Sahl At Tusturi rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha
(meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah
tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia
telah meninggalkan keimanan”.
Dari keterangan Sahl At Tusturi ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita
meninggalkan sebab. Namun dengan catatan kita tetap bersandar pada Allah ketika
mengambil sebab dan tidak boleh bergantung pada sebab semata.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa dalam mengambil sebab ada tiga
kriteria yang mesti dipenuhi. Satu kriteria berkaitan dengan sebab yang diambil. Dua
kriteria lainnya berkaitan dengan orang yang mengambil sebab.
Kriteria pertama: Berkaitan dengan sebab yang diambil. Yaitu sebab yang
diambil haruslah terbukti secara syar’i atau qodari.
Secara syar’i, maksudnya adalah benar-benar ditunjukkan dengan dalil Al
Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh: Dengan minum air zam-zam, seseorang bisa sembuh dari penyakit.
Sebab ini adalah sebab yang terbukti secara syar’i artinya ada dalil yang menunjukkannya
yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut air zam-zam,

‫ط َعا ُم طُع ٍْم‬


َ ‫إِنَّهَا ُمبَا َر َكةٌ إِنَّهَا‬

“Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang
mengenyangkan.”

Secara qodari, maksudnya adalah secara sunnatullah, pengalaman dan penelitian ilmiah
itu terbukti sebagai sebab memperoleh hasil. Dan sebab qodari di sini ada yang merupakan cara
halal dan ada pula yang haram.

Contoh: Dengan belajar giat seseorang akan berhasil dalam menempuh UAS
(Ujian Akhir Semester). Ini adalah sebab qodari dan dihalalkan.

Namun ada pula sebab qodari dan ditempuh dengan cara yang haram. Misalnya
menjalani ujian sambil membawa kepekan (contekan). Ini adalah suatu bentuk penipuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫َم ْن غَشَّ فَلَي‬
‫ْس ِمنِّى‬

“Barangsiapa menipu, maka ia tidak termasuk golonganku.”

Kriteria kedua: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab, yaitu hendaklah
ia menyandarkan hatinya pada Allah dan bukan pada sebab. Hatinya seharusnya merasa
tenang dengan menyandarkan hatinya kepada Allah, dan bukan pada sebab. Di antara
tanda seseorang menyandarkan diri pada sebab adalah di akhir-akhir ketika tidak berhasil,
maka ia pun menyesal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َّ‫َم ْن تَ َعل‬
‫ق َش ْيئًا ُو ِك َل إِلَ ْي ِه‬

“Barangsiapa menggantungkan diri pada sesuatu, niscaya Allah akan menjadikan dia
selalu bergantung pada barang tersebut.” Artinya, jika ia bergantung pada selain Allah,
maka Allah pun akan berlepas diri darinya dan membuat hatinya tergantung pada selain
Allah.

Kriteria ketiga: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab, yaitu meyakini takdir
Allah. Seberapa pun sebab atau usaha yang ia lakukan maka semua hasilnya tergantung
pada takdir Allah (ketentuan Allah).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ض بِ َخ ْم ِسينَ أَ ْلفَ َسنَ ٍة‬


َ ْ‫ت َواألَر‬ َ ُ‫ق قَ ْب َل أَ ْن يَ ْخل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬ ِ ِ‫َب هَّللا ُ َمقَا ِدي َر ْال َخالَئ‬
َ ‫َكت‬

“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.

Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang
semakin ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap
kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan
setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.”

6. Tawakkal yang Keliru


Dari penjelasan di atas kita dapat merinci beberapa bentuk tawakkal yang keliru:
a. Menyandarkan hati pada Allah, namun tidak melakukan usaha dan mencari sebab.
Perilaku semacam ini berarti mencela sunnatullah sebagaimana dikatakan oleh Sahl
At Tusturi di atas.
b. Melakukan usaha, namun enggan menyandarkan diri pada Allah dan menyandarkan
diri pada sebab, maka ini termasuk syirik kecil. Seperti memakai jimat, agar
dilancarkan dalam urusan atau bisnis.
c. Sebab yang dilakukan adalah sebab yang haram, maka ini termasuk keharaman.
Misalnya, meraih dengan jalan korupsi.
d. Meyakini bahwa sebab tersebut memiliki kekuatan sendiri dalam menentukan hasil,
maka ini adalah syirik akbar (syirik besar). Keyakinan semacam ini berarti telah
menyatakan adanya pencipta selain Allah. Misalnya, memakai pensil ajaib yang
diyakini bisa menentukan jawaban yang benar ketika mengerjakan ujian. Jika
diyakini bahwa pensil tersebut yang menentukan hasil, maka ini termasuk syirik
akbar.

7. Tawakal yang Sebenarnya


Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan
hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza
wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam
urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini
dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi,
mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”

8. Tawakal Bukan Hanya Pasrah


Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada
Allah semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang
harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan.
Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan
kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih
sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan
keimanan kepada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga
berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal
[8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10).
Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

9. Tawakal yang Termasuk Syirik


Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba
tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan
rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi
Allah ta’ala semata.
Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati
semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib
ditujukan kepada Allah
semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka
berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal
dengan menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal
ini juga termasuk kesyirikan.
Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat
mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk
pada suatu perkara yang tidak mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta’ala. Seperti
bersandar pada makhluk agar dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan
di akhirat, atau untuk segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para
penyembah kubur dan wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka,
padahal tidak ada siapapun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta’ala.
Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak
ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik akbar.
Na’udzu billah min dzalik.
Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan
(ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar
sebab (lebih dari sebab semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada
majikannya dalam keberlangsungan hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini
termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab
tersebut.
Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah
sebab semata sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini
tidaklah mengapa. (Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil
Ushul, 38; Al Qoulul Mufid, 2/29)
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja.
Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan
dunia. Namun hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk
meraih apa yang Allah ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar
bagaimana bisa teguh dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul
Qayyim dalam Al Fawa’id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal
untuk mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam
mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli
bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal
para rasul dan pengikut rasul yang utama.
Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barang siapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3). Al Qurtubi dalam Al Jami’
Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya
kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua
manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu
seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan
mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits
no. 49). Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak
disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb
‘Arsy yang agung.

C. Ridho
Yang lebih utama dari sabar adalah ridha. Yaitu sikap menerima dengan sepenuh
hati dan penuh tulus takdir Allah tanpa merasakan sesak di dada. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

‫ فهو يسير مع القضاء‬، ‫ أن الراضي لم يتألم قلبه بذلك أبدا‬: ‫والفرق بين الرضا والصبر‬

“Perbedaan antara ridha dan sabar adalah, orang yang ridha tidak merasakan sakit
hatinya sama sekali dengan adanya musibah, ia berjalan bersama dengan takdir Allah
dengan ringan” (Syarah Hadits Jibril, hal. 84).

Ridha hukumnya sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah


mengatakan:

‫ والصحيح أن‬، ‫ إنه واجب‬: ‫ وقد قيل‬، ‫ مستحب في أحد قولي العلماء وليس بواجب‬: ‫الرضا بالمصائب كالفقر والمرض والذل‬
‫الواجب هو الصبر‬

“Ridha terhadap musibah seperti kefakiran, sakit dan bangkrut, ini hukumnya mustahab
(dianjurkan) menurut salah satu pendapat dari para ulama, tidak sampai wajib. Sebagian ulama,
mengatakan ridha itu wajib. Namun pendapat yang shahih, yang wajib adalah sabar” (Majmu’ Al
Fatawa, 10/682).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

‫ لكن يجب الصبر عليه‬، ‫فما يقع من المصائب يستحب الرضا به عند أكثر أهل العلم وال يجب‬

“Ketika terjadi musibah, dianjurkan untuk ridha terhadap musibah, menurut jumhur ulama, tidak
sampai wajib. Namun yang wajib adalah sabar” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 2/92).
Keutamaan Ridho Kepada Allah, Rasul dan Agama Islam
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ض َي بِاهَّلل ِ َربًّا َوبِا ِإلس‬


((ً‫ْالم ِدينًا َوبِ ُم َح َّم ٍد َرسُوْ ال‬ ِ ‫ق طَ ْع َم ا ِإلي َم‬
ِ ‫ان َم ْن َر‬ َ ‫) َذا‬

“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai
Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala,
Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya
keimanan seseorang.

Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna


hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak
menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang
sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan
masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut
(secara nyata)”

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

 Arti “ridha kepada sesuatu” adalah merasa cukup dan puas dengannya, serta tidak
menginginkan selainnya”
 Arti “merasakan kelezatan/kemanisan iman” adalah merasakan kenikmatan ketika
mengerjakan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, bersabar dalam
menghadapi kesulitan dalam (mencari) ridha Allah Ta’ala dan rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengutamakan semua itu di atas balasan
duniawi, disertai dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
 Makna “ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala
perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa
yang diberikan dan dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha
kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya.
 Makna “ridha kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan
mengamalkan syariat Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam.
Demikian pula “ridha kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai rasul” artinya hanya mencukupkan diri dengan mengikuti petunjuk dan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah, serta tidak menginginkan selain petunjuk dan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Sifat yang mulia inilah dimiliki oleh para sahabat Rasulullah, generasi terbaik
umat ini, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian
karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan
kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,

{ َ‫ق َو ْال ِعصْ يَانَ أُولَئِكَ هُ ُم الرَّا ِش ُدون‬


َ ‫َّب إِلَ ْي ُك ُم اأْل ِ ي َمانَ َوزَ يَّنَهُ فِي قُلُوبِ ُك ْم َو َك َّرهَ إِلَ ْي ُك ُم ْال ُك ْف َر َو ْالفُسُو‬
َ ‫}ولَ ِك َّن هَّللا َ َحب‬
َ

“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan
dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran,
kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”
(QS al-Hujuraat:7).

Juga yang disebutkan dalam hadits shahih: “Memang demikian (keadaan) iman ketika
kemanisan/kelezatan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia (para sahabat
radhiyallahu ‘anhum)”
DAFTAR PUSTAKA
https://muslim.or.id/3002-keutamaan-ridho-kepada-allah-rasul-dan-agama-islam.html

https://muslimah.or.id/11985-sabar-itu-wajib-ridha-itu-sunnah.html

https://muslim.or.id/25800-prasangka-buruk-yang-dibolehkan.html

https://rumaysho.com/2298-sesuai-persangkaan-hamba-pada-allah.html

https://umma.id/article/share/id/1003/320941

https://umma.id/post/pahami-ini-pengertian-husnudzon-dan-macamnya-778152?lang=id

https://muslimah.or.id/9336-jangan-bersedih-berbaik-sangkalah-kepada-saudara-anda.html

https://rumaysho.com/847-kiat-meraih-sukses-dengan-tawakkal.html

Anda mungkin juga menyukai