HUSNUZHON,TAWAKAL,DAN RIDHO
KELOMPOK 6
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala Tuhan semesta alam.
Tak lupa shalawat serta salam kita hanturkan ke baginda Nabi besar kita, Nabi Muhammad
Shalallahu Alaihi Wassalam beserta keluarga (Ahlul Bait), sahabat (Ahlusunah Wal Jama’ah)
serta para pengikutnya hingga akhir zaman..
Dalam penyusunan tugas atau materi “HUSNUZHON,TAWAKAL,DAN RIDHO”,
tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Demikianlah pengantar singkat tentang makalah kami, tidak ada kesempurnaan dalam
diri manusia kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Masukan serta kritikan berguna bagi
kami, guna penyempurnaan pembahasan yang telah kami lakukan, terimakasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB 1.........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................4
A. Husnudzon.....................................................................................................................................4
1. Pengertian Husnudzon..................................................................................................................4
2. Macam-macam Husnudzon......................................................................................................4
3. Prasangka Buruk Yang Dibolehkan.........................................................................................8
B. Tawakkal......................................................................................................................................12
1. Pengertian................................................................................................................................12
2. Keutamaan tawakkal...............................................................................................................12
3. Merealisasikan Tawakkal.......................................................................................................13
4. Tawakkal Haruslah dengan Usaha.........................................................................................13
5. Meraih Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar.........................................................14
6. Tawakkal yang Keliru.............................................................................................................15
7. Tawakal yang Sebenarnya......................................................................................................16
8. Tawakal Bukan Hanya Pasrah...............................................................................................16
9. Tawakal yang Termasuk Syirik..............................................................................................16
C. Ridho............................................................................................................................................18
Keutamaan Ridho Kepada Allah, Rasul dan Agama Islam.........................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................21
BAB 1
PEMBAHASAN
A. Husnudzon
1. Pengertian Husnudzon
Secara bahasa kata Husnudzon berasal dari bahasa Arab “husnu” yang berarti
baik dan yang berarti memiliki arti prasangka. Dari kedua kata ini husnudzon dapat
diartikan sebagai baik sangka atau berprasangka baik. Husnudzon itu sendiri secara
istilah memiliki arti sikap mental dan cara pandang yang menyebabkan seseorang
melihat sesuatu secara positif atau melihat dari sisi positif. Kata husnudzon itu
sendiri berlawanan dengan kata suudzon yang memiliki arti buruk sangka atau
berprasangka buruk. Arti dari sikap suudzon itu sendiri pun berkebalikan dari sikap
husnudzon. Suudzon adalah sebuah sikap mental atau cara pandang yang memandang
segala sesuatunya dari sisi negatif, jelek dan dipandang tidak indah. Seseorang yang
memiliki sifat suudzon maka hidupnya akan selalu dipenuhi dengan sikap was-was,
penuh curiga dan tidak jarang memvonis orang lain dengan tidak baik.
Berbeda dengan sikap suudzon, maka sikap husnudzon itu adalah memandang
sesuatu dengan pandangan positif, ramah, tidak menghakimi orang lain, dan selalu
memberikan sambutan hangat. Sikap seperti inilah yang selalu diajarkan oleh ajaran
islam. Setiap muslim dianjurkan untuk mengedepankan sikap husnudzon dalam
menghadapi sesuatu. Dengan menerapkan sikap husnudzon maka setiap muslim akan
selalu menampilkan wajah yang ramah terhadap sesuatu yang datang kepadanya.
2. Macam-macam Husnudzon
Dalam islam sikap husnudzon itu terbagi menjadi tiga, yaitu husnudzon kepada
Allah Ta’ala, husnudzon kepada diri sendiri, dan husnudzon kepada orang lain.
Husnudzon itu akan mengantarkan hidup kita menuju kehidupan yang lebih indah,
dan bercahaya, serta selalu berpikir positif.
a. Husnudzon kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman :
ض ُك ْم بَ ْعض ًۗا اَي ُِحبُّ اَ َح ُد ُك ْم اَ ْن يَّأْ ُك َل لَحْ َم َ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اجْ تَنِبُوْ ا َكثِ ْيرًا ِّمنَ الظَّ ۖنِّ اِ َّن بَع
ُ ْض الظَّنِّ اِ ْث ٌم َّواَل تَ َج َّسسُوْ ا َواَل يَ ْغتَبْ بَّ ْع
اَ ِخ ْي ِه َم ْيتًا فَ َك ِر ْهتُ ُموْ ۗهُ َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗاِ َّن هّٰللا َ تَوَّابٌ َّر ِح ْي ٌم
الَ يَ ُموت ََّن أَ َح ُد ُك ْم إِالَّ َوهُ َو يُحْ ِسنُ بِاهَّلل ِ الظَّ َّن
Husnuzhon pada Allah, itulah yang diajarkan pada kita dalam do’a. Ketika kita
berdo’a pada Allah kita harus yakin bahwa do’a kita akan dikabulkan dengan
tetap melakukan sebab terkabulnya do’a dan menjauhi berbagai pantangan yang
menghalangi terkabulnya do’a. Karena ingatlah bahwasanya do’a itu begitu
ampuh jika seseorang berhusnuzhon pada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain
do’a.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, dan Ahmad 2: 362, hasan)
Jika seseorang berdo’a dalam keadaan yakin do’anya akan terkabul,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٍ ا ْدعُوا هَّللا َ َوأَ ْنتُ ْم ُموقِنُونَ بِا ِإل َجابَ ِة َوا ْعلَ ُموا أَ َّن هَّللا َ الَ يَ ْستَ ِجيبُ ُدعَا ًء ِم ْن قَ ْل
ب غَافِ ٍل الَ ٍه
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah
bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no.
3479, hasan)
Jika do’a tak kunjung terkabul, maka yakinlah bahwa ada yang terbaik di balik
itu. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Terus meminta dengan do’a dan memohon ampunan Allah disertai rasa penuh
harap pada-Nya, adalah jalan mudah mendapatkan maghfiroh (ampunan).”
Suatu saat istri Thalhah bin Abdullah bin Auf berkata kepada
suaminya, “Aku tidak melihat seorang yang lebih rendah akhlaknya
daripada sahabatmu.” Thalhah berkata, “Jangan kamu mengatakan hal itu
kepada mereka, mengapa demikian?” Istrinya menjawab, “Jika kamu
berada dalam kemudahan, mereka menemanimu, tetapi ketika kamu dalam
kesusahan mereka menjauhimu.” Thalhah berkata, “Menurutku, mereka
memilki kemuliaan akhlak!” Thalhah melanjutkan, “ Mereka mendatangi
kita ketika kita berada dalam kondisi kuat membantu mereka, mereka
menjauhi kita ketika dalam kondisi lemah membantu mereka (agar tidak
merepotkan kita), oleh karena itu berbaik sangkalah kepada orang lain,
niscaya kamu bahagia!.
Suatu ketika penduduk Himsha mengadukan gubernurnya, Sa’id bin ‘Amir bin Hazim
kepada Umar bin Khathab tentang 4 perkara yang menurut prasangka mereka sebuah
kesalahan.
Pertama : Dia tidak keluar melayani kami kecuali saat matahari sudah tinggi.
Ketiga : Dalam sebulan, ada satu hari yang dia tidak mau keluar untuk melayani kami.
Lantas Kholifah mempertemukan antara penduduk Himsha dengan Sa’id bin Amir.
Umar berkata : “ Ya Allah, jangan sampai persangkaanku tentang dia sekarang ini
berubah menjadi seperti apa yang mereka adukan.”
Pertama : Beliau terlambat menemui mereka karena sibuk membuat roti untuk keluarga.
Ketiga : Dalam 1 bulan dia tidak melayani rakyat karena mencuci baju dan menunggunya
sampai kering dan menemui mereka pada sore hari.
Dengan tatsabbut (memastikan terlebih dahulu), Insya Allah, prasangka buruk akan sirna.
فال يجوز له أن يتشكك في أخيه و يسيء به الظن إال إذا رأى،فالواجب على المسلم أن ال يسيء الظن بأخيه المسلم إال بدليل
على أمارات تدل على سوء الظن فال حرج
“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim adalah hendaknya tidak berprasangka
buruk kepada saudaranya sesama Muslim kecuali dengan bukti. Tidak boleh meragukan
kebaikan saudaranya atau berprasangka buruk kepada saudaranya kecuali jika ia melihat
pertanda-pertanda yang menguatkan prasangka buruk tersebut, jika demikian maka tidak
mengapa” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/9619).
ال، وإال فالواجب ترك الظن السيئ، إال بأسباب واضحة، الواجب الحذر من سوء الظن، رجل أو امرأة،فالواجب على كل مسلم
وحسن الظن بأخيك، الواجب حسن الظن باهلل، وال بغير ذلك، وال بأخي الزوج وال بأبيه،بالمرأة وال بالزوج وال باألوالد
وإال فاألصل البراءة والسالمة، إال بأسباب واضحة توجب التهمة، وأال تسيء الظن، أو بأختك المسلمة،المسلم
“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim, baik lelaki atau perempuan, wajib
untuk menjauhi prasangka buruk. Kecuali ada sebab-sebab yang jelas (yang menunjukkan
keburukan tersebut). Jika tidak ada, maka wajib meninggalkan prasangka buruk. Tidak boleh
berprasangka buruk kepada istri, kepada suami, kepada anak, kepada saudara suami, kepada
ayahnya atau kepada saudara Muslim yang lain. Dan wajib berprasangka baik kepada Allah,
serta kepada sesama saudara dan saudari semuslim. Kecuali jika ada sebab-sebab yang jelas yang
membuktikan tuduhannya. Jika tidak ada, maka hukum asalanya adalah bara’ah (tidak ada
tuntutan) dan salamah (tidak memiliki kesalahan)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 21/147-148,
http://bit.ly/1K2eJBN).
Maka prasangka yang didasari oleh bukti-bukti, atau pertanda, atau sebab-sebab yang
menguatkan tuduhan itu dibolehkan. Semisal jika kita melihat seorang yang datang ke parkiran
motor lalu membuka paksa kunci salah satu motor dengan terburu-buru, kita boleh
berprasangka bahwa ia ingin mencuri. Atau kita melihat orang-orang berkumpul di pinggir jalan
disertai botol botol khamr dengan wajah kuyu dan mata sayu, kita boleh berprasangka bahwa
mereka sedang mabuk-mabukan. Dan contoh semisalnya.
Tidak berlaku bagi mu’min yang dikenal gemar dengan kemaksiatan atau
kefasikan. Adapun Mu’min yang tidak dikenal dengan kemaksiatan dan
kefasikan, maka haram dinodai kehormatannya dan haram bersuuzhan kepadanya.
Dan inilah hukum asal seorang Mu’min.
c. Jauhkan diri dari tuduhan dan hal yang bisa menimbulkan prasangka
Jika telah dipahami penjelasan di atas, yaitu boleh berprasangka buruk kepada
seseorang jika disertai bukti atau pertanda yang jelas. Maka, konsekuensinya seorang
Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari hal yang dapat menimbulkan tuduhan dan
prasangka. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Siapa yang menjauhkan diri dari syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan
kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam syubhat, ia akan terjerumus dalam
keharaman. Sebagaimana pengembala yang mengembalakan hewannya di dekat
perbatasan sampai ia hampir saja melewati batasnya. Ketahuilah batas-batas Allah
adalah hal-hal yang diharamkan-Nya” (Muttafaqun ‘alaih).
B. Tawakkal
Jalan meraih sukses dengan pasti adalah dengan bertakwa dan bertawakkal pada
Allah subhanahu wa ta’ala. Ayat yang bisa menjadi renungan bagi kita bersama adalah
firman Allah Ta’ala,
ُْث اَل يَحْ تَ ِسبُ َو َم ْن يَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُه
ُ ) َويَرْ ُز ْقهُ ِم ْن َحي2( ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا
ِ ََّو َم ْن يَت
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar,
dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath
Tholaq: 2-3)
1. Pengertian
Tawakkal berasal dari kata “wukul”, artinya menyerahkan/ mempercayakan.
Seperti dalam kalimat disebutkan “” َو َّك ْلت أَ ْم ِري ِإلَى فُاَل ن, aku menyerahkan urusanku pada
fulan. Sedangkan yang dimaksud dengan tawakkal adalah berkaitan dengan keyakinan.
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah, hakekat
tawakkal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih
berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun
akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-
benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan
mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.
2. Keutamaan tawakkal
a. Tawakkal sebab diperolehnya rizki
Ibnu Rajab mengatakan, ”Tawakkal adalah seutama-utama sebab untuk memperoleh
rizki”. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
َُو َم ْن يَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُه
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
b. Diberi kecukupan oleh Allah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3 kepada
Abu Dzar Al Ghifariy. Lalu beliau berkata padanya,
اس ُكلَّهُ ْم أَ َخ ُذوْ ا بِهَا لَ َكفَ ْتهُ ْم
َ َّلَوْ أَ َّن الن
“Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi
mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka
sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka.
3. Merealisasikan Tawakkal
“Dalam merealisasikan tawakkal tidaklah menafikan melakukan usaha dengan
melakukan berbagai sebab yang Allah Ta’ala tentukan. Mengambil sunnah ini sudah
menjadi sunnatullah (ketetapan Allah yang mesti dijalankan). Allah Ta’ala
memerintahkan untuk melakukan usaha disertai dengan bertawakkal pada-Nya,”
demikian penuturan Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah selanjutnya.
Jadi intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah
terpenuhi dua unsur:
a. Bersandarnya hati pada Allah.
b. Melakukan usaha.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam
melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati
pada Allah adalah termasuk keimanan.
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60).
“Sesungguhnya air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang
mengenyangkan.”
Secara qodari, maksudnya adalah secara sunnatullah, pengalaman dan penelitian ilmiah
itu terbukti sebagai sebab memperoleh hasil. Dan sebab qodari di sini ada yang merupakan cara
halal dan ada pula yang haram.
Contoh: Dengan belajar giat seseorang akan berhasil dalam menempuh UAS
(Ujian Akhir Semester). Ini adalah sebab qodari dan dihalalkan.
Namun ada pula sebab qodari dan ditempuh dengan cara yang haram. Misalnya
menjalani ujian sambil membawa kepekan (contekan). Ini adalah suatu bentuk penipuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ َم ْن غَشَّ فَلَي
ْس ِمنِّى
Kriteria kedua: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab, yaitu hendaklah
ia menyandarkan hatinya pada Allah dan bukan pada sebab. Hatinya seharusnya merasa
tenang dengan menyandarkan hatinya kepada Allah, dan bukan pada sebab. Di antara
tanda seseorang menyandarkan diri pada sebab adalah di akhir-akhir ketika tidak berhasil,
maka ia pun menyesal.
َ ََّم ْن تَ َعل
ق َش ْيئًا ُو ِك َل إِلَ ْي ِه
“Barangsiapa menggantungkan diri pada sesuatu, niscaya Allah akan menjadikan dia
selalu bergantung pada barang tersebut.” Artinya, jika ia bergantung pada selain Allah,
maka Allah pun akan berlepas diri darinya dan membuat hatinya tergantung pada selain
Allah.
Kriteria ketiga: Berkaitan dengan orang yang mengambil sebab, yaitu meyakini takdir
Allah. Seberapa pun sebab atau usaha yang ia lakukan maka semua hasilnya tergantung
pada takdir Allah (ketentuan Allah).
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.
Beriman kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang
semakin ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap
kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan
setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.”
C. Ridho
Yang lebih utama dari sabar adalah ridha. Yaitu sikap menerima dengan sepenuh
hati dan penuh tulus takdir Allah tanpa merasakan sesak di dada. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
فهو يسير مع القضاء، أن الراضي لم يتألم قلبه بذلك أبدا: والفرق بين الرضا والصبر
“Perbedaan antara ridha dan sabar adalah, orang yang ridha tidak merasakan sakit
hatinya sama sekali dengan adanya musibah, ia berjalan bersama dengan takdir Allah
dengan ringan” (Syarah Hadits Jibril, hal. 84).
والصحيح أن، إنه واجب: وقد قيل، مستحب في أحد قولي العلماء وليس بواجب: الرضا بالمصائب كالفقر والمرض والذل
الواجب هو الصبر
“Ridha terhadap musibah seperti kefakiran, sakit dan bangkrut, ini hukumnya mustahab
(dianjurkan) menurut salah satu pendapat dari para ulama, tidak sampai wajib. Sebagian ulama,
mengatakan ridha itu wajib. Namun pendapat yang shahih, yang wajib adalah sabar” (Majmu’ Al
Fatawa, 10/682).
لكن يجب الصبر عليه، فما يقع من المصائب يستحب الرضا به عند أكثر أهل العلم وال يجب
“Ketika terjadi musibah, dianjurkan untuk ridha terhadap musibah, menurut jumhur ulama, tidak
sampai wajib. Namun yang wajib adalah sabar” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 2/92).
Keutamaan Ridho Kepada Allah, Rasul dan Agama Islam
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai
Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”.
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala,
Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya
keimanan seseorang.
Arti “ridha kepada sesuatu” adalah merasa cukup dan puas dengannya, serta tidak
menginginkan selainnya”
Arti “merasakan kelezatan/kemanisan iman” adalah merasakan kenikmatan ketika
mengerjakan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, bersabar dalam
menghadapi kesulitan dalam (mencari) ridha Allah Ta’ala dan rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengutamakan semua itu di atas balasan
duniawi, disertai dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Makna “ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala
perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa
yang diberikan dan dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha
kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya.
Makna “ridha kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan
mengamalkan syariat Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam.
Demikian pula “ridha kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai rasul” artinya hanya mencukupkan diri dengan mengikuti petunjuk dan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah, serta tidak menginginkan selain petunjuk dan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sifat yang mulia inilah dimiliki oleh para sahabat Rasulullah, generasi terbaik
umat ini, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian
karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan
kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan
dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran,
kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”
(QS al-Hujuraat:7).
Juga yang disebutkan dalam hadits shahih: “Memang demikian (keadaan) iman ketika
kemanisan/kelezatan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia (para sahabat
radhiyallahu ‘anhum)”
DAFTAR PUSTAKA
https://muslim.or.id/3002-keutamaan-ridho-kepada-allah-rasul-dan-agama-islam.html
https://muslimah.or.id/11985-sabar-itu-wajib-ridha-itu-sunnah.html
https://muslim.or.id/25800-prasangka-buruk-yang-dibolehkan.html
https://rumaysho.com/2298-sesuai-persangkaan-hamba-pada-allah.html
https://umma.id/article/share/id/1003/320941
https://umma.id/post/pahami-ini-pengertian-husnudzon-dan-macamnya-778152?lang=id
https://muslimah.or.id/9336-jangan-bersedih-berbaik-sangkalah-kepada-saudara-anda.html
https://rumaysho.com/847-kiat-meraih-sukses-dengan-tawakkal.html