Anda di halaman 1dari 12

TELAAH KRITIS AKTUALISASI KURIKULUM MERDEKA BELAJAR

Wahid Hidayat
wahidhidayatarifin@gmail.com
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Pada akhir tahun 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar
Makarim, mengumumkan kebijakan Merdeka Belajar sebagai upaya untuk
meningkatkan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi. Muncul pertanyaan
kritis tentang sejauh mana kebijakan ini dapat memberikan dampak yang
signifikan dan berkelanjutan. Sebagai seorang praktisi pendidikan, penulis
mengidentifikasi masalah bahwa hingga saat ini, perubahan-perubahan dalam
kurikulum berbasis kompetensi seringkali tidak berjalan dengan optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk merekomendasikan pendekatan alternatif
menggunakan Teori Kritis Habermas agar implementasi kurikulum berbasis
kompetensi dapat berjalan efektif dan berkelanjutan. Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif dengan melakukan tinjauan literatur. Sumber literatur
diperoleh melalui mesin pencari seperti Google Scholar, ResearchGate, dan
Academia.edu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Teori Kritis Habermas dapat
menjadi panduan alternatif yang efektif, baik bagi lembaga pendidikan maupun
para pendidik, dalam mengimplementasikan kebijakan Merdeka Belajar secara
optimal.

Kata kunci: pendidikan; kurikulum berbasis kompetensi; merdeka belajar; Teori


Kritis Habermas.

ABSTRACT

At the end of 2019, the Minister of Education and Culture, Nadiem Anwar
Makarim, announced the Merdeka Belajar policy as an effort to improve the
implementation of the competency-based curriculum. Critical questions arise
about the extent to which this policy can have a significant and sustainable
impact. As an educational practitioner, the author identifies the problem that to
date, changes in competency-based curricula often do not work optimally. This
research aims to recommend an alternative approach using Habermas' Critical
Theory so that the implementation of a competency-based curriculum can be
effective and sustainable. The research method used was qualitative by conducting
a literature review. Literature sources were obtained through search engines such
as Google Scholar, ResearchGate, and Academia.edu. The research results show
that Habermas' Critical Theory can be an effective alternative guide, both for
educational institutions and educators, in implementing the Independent Learning
policy optimally.

Key words: education; competency-based curriculum; freedom to learn;


Habermas' Critical Theory.

PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan


terhadap sistem rencana dan pengaturan dalam bahan pembelajaran yang
dijadikan pedoman dalam aktivitas belajar mengajar atau yang biasa dikenal
dengan nama kurikulum.
Penggunaan kurikulum di Indonesia dapat dikatakan menjadi kurikulum
yang labil, hal ini dapat dilihat dari seringnya pergantian pendoman aktivitas
mengajar yang terjadi dalam kurun waktu yang berjarak pendek. Pada awalnya
Indonesia menggunakan kurikulum rencana pelajaran 1947 dan terus mengalami
perubahan hingga pada kurikulum merdeka belajar yang digunakan pada sekarang
ini.
Berikut kurikulum yang pernah dan sedang diterapkan di Indonesia.
Kurikulum berawal dari Rencana Pelajaran (1947), Rencana Pelajaran Terurai
(1952), Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984
(CBSA), Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan, Pendidikan (KTSP)
2006, Kurikulum 2013 (K-13), sampai pada Kurikulum Merdeka.
Dalam tiga dekade terakhir, lingkup kerja global telah bergeser dari
periode industri konvensional (di mana penulis menambahkan kata "lama" untuk
menghindari kebingungan dengan istilah terkini revolusi industri 4.0) menuju era
kewirausahaan. Pada masa industri konvensional, sebagian besar profesi memiliki
struktur pekerjaan yang terstruktur sesuai kebutuhan perusahaan, di mana pekerja
hanya diharapkan untuk melaksanakan instruksi dan mengikuti pola yang telah
ditetapkan. Sebaliknya, dalam era kewirausahaan dan revolusi industri 4.0, setiap
individu diharapkan mampu menciptakan pola kerjanya sendiri sesuai dengan
bidangnya. Tingkat kreativitas dan keunikan dianggap sebagai faktor penentu
daya saing. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia untuk
diberdayakan melalui pendidikan dan pelatihan agar memiliki kompetensi yang
holistik, mampu berpikir kritis dan kreatif, memiliki kemampuan komunikasi
yang baik, serta dapat berkolaborasi (Sumarno & Gimin, 2019).
Terhubung dengan hal tersebut, sistem pendidikan dasar dan menengah di
Indonesia telah mengalami transformasi dari Kurikulum Berbasis Materi (KBM)
menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2004. Sejak saat itu,
KBK telah mengalami beberapa kali pembaruan, termasuk penerapan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 dan Kurikulum Nasional
(Kurnas) pada tahun 2013. Secara esensial, perbaikan dalam kurikulum tersebut
berfokus pada pengembangan kompetensi, bukan hanya pada materi.
Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikud), melakukan upaya-upaya penyempurnaan, karena dalam
pelaksanaannya KBK belum optimal dan maksimal. Tradisi dan budaya
pembelajaran berbasis KBM masih sangat melekat dan tidak mudah untuk diubah.
Sebagai contoh, guru sebagai ujung tombak perubahan kurikulum ini wajib juga
mengubah paradigma dan cara mengajar pada kurikulum lama kepada pola
kurikulum yang baru. Guru tidak bisa lagi mengajar dengan cara yang lama, yaitu
sebagai sumber wawasan, karena wawasan sudah dengan mudah dapat diperoleh
pada media.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, pada awal
masa kepemimpinnya, telah memulai inisiatif untuk mengintegrasikan kebijakan
Merdeka Belajar sebagai bagian dari transformasi pendidikan. Bagi lembaga
pendidikan dan para praktisi di sektor pendidikan, kebijakan Merdeka Belajar
dianggap sebagai langkah yang cukup inovatif. Salah satu contoh nyata dari
inovasi tersebut adalah penggantian model Ujian Nasional, yang sebelumnya telah
berjalan selama lebih dari setengah abad dengan variasi istilah.
Selain perubahan terkait Ujian Nasional, Makarim juga menghadirkan
beberapa usulan lain yang termasuk dalam kategori transformasi yang cukup
signifikan. Di antaranya adalah pengusulan penggantian Ujian Sekolah Berstandar
Nasional (USBN) dengan ujian tingkat lokal satuan pendidikan, penyusunan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang lebih ringkas, dan pengenalan
sistem zonasi yang lebih fleksibel dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Secara keseluruhan, terdapat empat kebijakan baru yang diimplementasikan
sebagai bentuk konkret dari penerapan konsep Merdeka Belajar.
Pertanyaan yang muncul setelah pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar
adalah sejauh mana dampak dan ketahanan kebijakan tersebut dapat dinilai.
Selama enam belas tahun penerapan kurikulum berbasis kompetensi, berbagai
hambatan masih dihadapi oleh pemerintah (Kemendikbud), lembaga pendidikan,
dan praktisi pendidikan dalam mencapai implementasi optimal. Dalam perspektif
penulis, tantangan utama terletak pada kuatnya pengaruh kurikulum sebelumnya
(KBM) yang telah membentuk paradigma dan praktik pemerintah, lembaga
pendidikan, pengajar, serta orangtua/wali peserta didik selama bertahun-tahun.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dalam format kualitatif, memanfaatkan tinjauan


literatur terkait Teori Kritis Habermas dan konsep pendidikan kontemporer yang
sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar. Sumber literatur riset diperoleh
melalui pencarian literatur menggunakan platform-platform seperti Google
Scholar, ResearchGate, dan Academia.edu. Dalam analisis penelitian, literatur
yang dihimpun, mencakup isu-isu pendidikan di Indonesia, prinsip Merdeka
Belajar, serta Teori Kritis Habermas, akan dikaitkan untuk merumuskan implikasi
yang dapat diimplementasikan dan diterapkan.

PEMBAHASAN

Kurikulum Merdeka Belajar merangkul pembelajaran intrakurikuler yang


beragam, di mana penyampaian konten kepada siswa ditingkatkan agar peserta
didik memiliki kesempatan memadai untuk mendalami konsep dan memperkuat
kompetensinya.

Dalam lingkup Kurikulum Merdeka, guru diberikan kewenangan untuk


memilih berbagai perangkat pembelajaran, memungkinkan penyelarasan
pembelajaran dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Pendekatan basis proyek
digunakan dalam Kurikulum Merdeka untuk memperkuat pencapaian profil
pelajar Pancasila. Proyek ini dikembangkan berdasarkan tema yang ditetapkan
oleh pemerintah dan tidak memiliki target capaian pembelajaran tertentu,
sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran.
Pertimbangkan bahwa Kurikulum Merdeka menunjukkan beberapa
keunggulan pada tahap awal yang dapat berdampak positif pada perkembangan
pendidikan di Indonesia. Dengan menempatkan siswa sebagai subjek utama dalam
proses belajar, kurikulum ini mendorong keterlibatan aktif siswa dalam
pengembangan kemampuan dan kreativitas mereka. Selain itu, memberikan
kesempatan bagi siswa untuk menggali keterampilan dan pengetahuan yang sesuai
dengan minat dan bakat individu mereka. Oleh karena itu, Kurikulum Merdeka
dapat berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami perubahan
signifikan di bidang pendidikan dengan diperkenalkannya konsep Kurikulum
Merdeka Belajar. Meskipun telah diterapkan, masih terdapat tantangan dalam
implementasinya, terutama pada tingkat kesiapan guru. Salah satu jurnal yang
mengkaji persiapan guru dalam melaksanakan Kurikulum Merdeka Belajar adalah
"Analisis Persiapan Guru Dalam Melaksanakan Pembelajaran Kurikulum
Merdeka di SD IV Muhammadiyah Kota Padang" oleh Ekawati dan Susanti
(2022). Jurnal tersebut menyoroti bahwa sebagian besar guru masih memiliki
hambatan dalam memahami konsep dan tujuan Kurikulum Merdeka Belajar,
disertai dengan kendala seperti kurangnya sumber daya dan fasilitas yang
memadai, pelatihan yang kurang, dan pemahaman yang terbatas tentang konsep
tersebut. Hal ini mengindikasikan perlunya dukungan yang lebih konkret baik dari
lingkungan sekolah maupun pemerintah untuk membimbing guru dalam
mengimplementasikan kurikulum ini dengan efektif.
Kurikulum Nasional (Kurnas) 2013, urutan evaluasi dan penilaian diatur
secara ideal, dimulai dari ranah psikomotor (keterampilan fisik), diikuti ranah
afektif (sikap), dan terakhir adalah ranah kognitif (pemikiran). Namun,
pelaksanaan ini menjadi sulit jika penekanan pada penilaian kognitif tetap terpusat
di tingkat pusat. Kondisi ini semakin rumit karena konteks pendidikan di berbagai
satuan pendidikan di Indonesia sangat beragam (Silverius, 2010).
Tanpa disadari, selama enam belas tahun terakhir, sistem pendidikan kita
masih mengikuti pola lama dengan label baru. Meskipun diberi nama "berbasis
kompetensi", tetapi substansi kurikulum masih bergantung pada materi. Meski
tujuannya adalah menggali potensi peserta didik yang beragam, implementasinya
masih fokus pada penyampaian materi secara massif dan seragam.
Munculnya kebijakan Merdeka Belajar dianggap sebagai solusi untuk
keluar dari kekangan paradigma dan praksis pendidikan yang sudah usang.
Langkah-langkah revolusioner yang diusulkan melalui kebijakan ini melibatkan
pergantian model pelaksanaan UN, penggantian Ujian Sekolah Berstandar
Nasional (USBN) dengan ujian lokal di tingkat satuan pendidikan, penyusunan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang lebih sederhana, dan penerapan
sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dengan demikian,
kebijakan Merdeka Belajar diharapkan dapat menjadi penyegar bagi para praktisi
pendidikan, orangtua siswa, dan siswa sendiri, yang menginginkan pendidikan
yang sesuai dengan tuntutan zaman kewirausahaan dan revolusi industri 4.0.
Potensi implementasi Merdeka Belajar yang efektif dengan mengadopsi
konsep-konsep dari Teori Kritis Habermas. Keyakinan penulis adalah bahwa
melalui teori ini, kebijakan Merdeka Belajar dapat diimplementasikan secara
menyeluruh dan berkelanjutan.
Mengusung Teori Kritis Habermas dalam Mendukung Kesinambungan
Kebijakan Merdeka Belajar
Dengan merinci Teori Kritis Habermas di atas, penulis mengidentifikasi
beberapa aspek yang dapat saling terhubung dan kemudian diintegrasikan dalam
implementasi kebijakan terbaru, yaitu Merdeka Belajar, yang digulirkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis bertujuan untuk membuka dialog
mengenai bagian-bagian tertentu yang dapat dihubungkan dengan konteks realitas
dan ketidaksempurnaan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
sebagaimana yang dijelaskan dalam sub-hasil penelitian mengenai "Pentingnya
Merdeka Belajar"

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan Hubungannya dengan Teori Kritis


Habermas

Dalam petunjuk resmi yang disampaikan, terlihat jelas bahwa saat ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang berusaha
mengubah aturan yang cenderung bersifat teknokratis dan birokratis. Sebelumnya,
pendidik terlalu banyak terlibat dalam menyusun administrasi guru, termasuk
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang jumlahnya sangat banyak dan
memakan banyak waktu. Dampaknya, kurangnya waktu yang tersedia bagi
pendidik untuk mengembangkan bahan ajar yang lebih kreatif dan konstruktif.
Akibatnya, pendidik lebih banyak mentransfer materi yang sudah ada dalam buku
paket dan menginstruksikan peserta didik untuk mengerjakan lembar kerja yang
juga terdapat dalam buku paket tersebut.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Habermas menolak praksis


sosial dalam dunia kerja yang bersifat mekanik sesuai dengan sistem yang baku.
Ia juga menentang komunikasi yang bersifat monologal, dan sebagai alternatif,
Habermas menganjurkan komunikasi dialogal emansipatoris. Dalam merancang
struktur RPP, pendidik juga memiliki kreativitas untuk menyusun dan
menerapkan pembelajaran yang bersifat emansipatoris. Selain itu, pendidik dapat
membebaskan diri dari budaya masa lalu yang memaksa mereka menyusun RPP
yang rumit dan memakan waktu.
Relevansi Teori Kritis Habermas dalam Konteks Perubahan dari KBM ke
KBK

Bagian akhir ini, menurut penulis, menjadi inti yang mendasari dan
merangkumkan keterkaitan antara kebijakan Merdeka Belajar dengan Teori Kritis
Habermas. Sejak awal, penulis memiliki kekhawatiran yang kuat terhadap
pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang tidak optimal.
Diperlukan sesuatu yang radikal untuk mengubah paradigma lama menjadi yang
baru. Seperti yang dijelaskan, Habermas menolak pemikiran Gadamer tentang
tradisi dan otoritas.

Beberapa keputusan Kemendikbud yang diambil untuk memantapkan


kebijakan Merdeka Belajar, menurut penulis, dianggap cukup strategis untuk
praktik pendidikan. Namun, diperlukan semangat yang benar-benar radikal untuk
menggerakkan langkah-langkah strategis pemerintah. Tanpa semangat ini, tradisi
tersebut harus diputus dan diganti dengan yang baru. Semangat ini diharapkan
dapat terus mendorong inovasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Langkah menuju kemajuan dapat diwujudkan dengan melepaskan ikatan


yang mengikat ilmu pengetahuan. Dengan demikian, untuk mencapai perubahan,
kita perlu melepaskan ikatan tradisi yang menghambat perkembangan ilmu
pengetahuan.

Relevansi Teori Kritis Habermas dalam Konteks Pergantian UN atau Model


UN

Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan survei karakter merupakan


penilaian kompetensi dasar yang diperlukan oleh semua murid untuk
mengembangkan kapasitas diri dan berpartisipasi positif dalam masyarakat. AKM
menyajikan berbagai masalah dengan konteks yang beragam, diharapkan peserta
didik mampu menyelesaikannya menggunakan kompetensi literasi membaca dan
numerasi yang dimiliki. Survei karakter, sementara itu, mengukur pencapaian
peserta didik dalam etika dan pembelajaran sosial, mencakup pilar-pilar karakter
untuk mencapai Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila, menurut
Makarim, menggambarkan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, bergotong
royong, bernalar kritis, dan kreatif.

AKM dan survei karakter dimaksudkan agar setiap satuan pendidikan


dapat menentukan model pembelajaran yang lebih sesuai untuk peserta didik di
daerah tertentu dan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran mereka. Artinya,
kemampuan seseorang dalam bernalar tidak diatur oleh sistem dan konten yang
telah diatur secara otoritatif. Setelah itu, pokok-pokok pikirannya dapat
diaktualisasikan dan kemudian direinterpretasikan ke dalam permasalahan yang
aktual. Dalam menjalankan AKM dan survei karakter, pendidik, satuan
pendidikan, peserta didik, dan orangtua siswa sebaiknya memperhatikan prinsip-
prinsip Teori Kritis Habermas yang memberikan kebebas

KESIMPULAN

Kebijakan Merdeka Belajar membawa semangat baru bagi praktisi


pendidikan dan peserta didik yang menginginkan sistem pembelajaran yang
membebaskan dan memperkuat kompetensi siswa, terutama dalam era
kewirausahaan dan revolusi industri 4.0. Pentingnya implementasi yang efektif
dan optimal dari kebijakan Merdeka Belajar membuatnya menjadi sebuah
kebutuhan agar tidak hanya bersifat sementara.

Banyak pertimbangan dan langkah yang harus diambil agar pemangku


kepentingan pendidikan mampu menjalankan Merdeka Belajar dengan baik. Dari
hasil penelitian sebelumnya, Teori Kritis Habermas ternyata sangat relevan
dengan kebijakan Merdeka Belajar, dan dapat dijadikan panduan alternatif dalam
pelaksanaannya. Diharapkan, dengan konsep-konsep yang tercakup dalam Teori
Kritis Habermas, sejumlah inovasi kebijakan Merdeka Belajar dapat berhasil,
seperti perubahan pelaksanaan Ujian Nasional (UN), pergantian Ujian Sekolah
Berstandar Nasional (USBN), dan penyederhanaan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Melalui Teori Kritis Habermas, diharapkan paradigma
pemangku kepentingan pendidikan dapat bertransisi dari yang lama ke yang baru
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena itu, disarankan agar
Teori Kritis Habermas menjadi landasan bagi kebijakan Merdeka Belajar,
sehingga upaya pembaruan dari kebijakan ini dapat berkelanjutan.

Kurikulum Merdeka juga menawarkan sejumlah keunggulan yang dapat


memberikan dampak positif pada kemajuan pendidikan di Indonesia. Pendekatan
ini menempatkan siswa sebagai subjek dalam proses belajar, memberikan ruang
lebih bagi siswa untuk aktif mengembangkan kreativitas dan kemampuannya.
Lebih lanjut, kurikulum ini memberi peluang bagi siswa untuk mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan minat dan bakat individu mereka.
Oleh karena itu, kurikulum Merdeka diharapkan dapat menjadi kontributor
signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Ekawati, R. &. (2022). Analysis of Teacher Preparation in Implementing


Independent Curriculum Learning at SD IV Muhammadiyah Padang City.
Journal of Media Science, 1(1), 33- 39.

Depdikbud. (1979). Belajar adalah Berubah. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi.

Fuaddudin. (2020). "Perubahan Paradigma Mengajar Guru dalam Menyongsong


Penyelenggaraan Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0". El-Muhbib: Jurnal
Pemikiran Dan Penelitian PendidikanDasar, vol. 4, no.1. Hal. 68-81.
https://doi.org/https://doi.org/10.52266/el-muhbib.v4i1.478.

Habermas, J. (1990). Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.

Hardiman, B. (2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:


Kanisius.

Hardiman, B. (2009). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan


Kepentingan bersama Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, B. (2015). Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher


sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius.

Kemendikbud. (2020b). Asesmen Nasional sebagai Penanda Perubahan


Paradigma Evaluasi Pendidikan. Kemdikbud.Go.Id.
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/10/asesmen-nasional-
sebagai-penanda-perubahan-paradigma-evaluasi-pendidikan

Kemendikbud. (2020c). Merdeka Belajar. Kemdikbud.Go.Id.


https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/merdeka-belajar.

Qomariyah, A., Fatimah, N., & Rochana, T. (2017). "Melanggengkan Bimbingan


Belajar dalam
Kapitalisme Pendidikan". Solidarity, vol. 6, no. 1.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/solidarity/article/view/15630.

Septiana, A. R. (2022). Strengthening Teacher Readiness and Digital Literacy


Training in the Implementation of the Independent Curriculum. . Journal of
Community Service, 1(3), 380-385.
Silverius, S. (2010). "Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa". Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan, vol. 16, no. 2. Hal. 194-205.
https://doi.org/https://doi.org/10.24832/jpnk.v16i2.446.

Sudiarta, I. G. P. (2003). "Mencermati Kurikulum Berbasis Kompetensi:


Sebuah Kajian Epistemologis dan Praktis". Jurnal Pendidikan Dan
Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, vol. 36, no.1. Hal. 32-50.
https://nanopdf.com/download/menyukseskan-kbk-dengan-konsep-
learning-school_pdf.

Sulistiyo, G. (2007). "Ujian Nasional (UN): Harapan, Tantangan, dan Peluang".


Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Budaya, vol. 9, no 1. Hal 79-106.
http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/view/224/213.

Sumarno, & Gimin. (2019). "Analisis Konseptual Teoretik Pendidikan


Kewirausahaan sebagai Solusi Dampak Era Industri 4.0 di Indonesia".
Jurnal Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu
Ekonomi, Dan Ilmu Sosial, vol. 13, no. 2. Hal. 1-14.
https://doi.org/10.19184/jpe.v13i2.12557.

Waidl, A. (2000). "Pendidikan yang Memahami Manusia". Dalam A. Atmadi


& Y. Setiyaningsih (Eds.), Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium
Ketiga. Yogyakarta: Kanisius.

Wiguna, I. W. (2022). Steps to Accelerate the Development of the Free


Learning Curriculum. Journal of Basic Education, 3(1), 17-26.

Anda mungkin juga menyukai