BUDI PERMANA - FAH-dikonversi
BUDI PERMANA - FAH-dikonversi
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Sejarah dan Peradaban Islam
(S.Hum)
Disusun Oleh :
Budi Permana
NIM : 1111022000040
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu bidang Sejarah dan
Peradaban Islam di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya asli saya ini merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Budi Permana
ETNIS TIONGHOA PADA MASA ORDE BARU :
STUDI ATAS TRAGEDI KEMANUSIAAN ETNIS TIONGHOA
DI JAKARTA (1998)
Disusun Oleh :
Budi Permana
NIM : 1111022000040
ng :
Sidang Munaqasyah
H. Nurhasan, M.a
NIP: 196907241997031001 Sholikat s Sa’di ah M.Pd
NIP: 19 504172005012007
Anggota
enguji I Peng
Pe imbing
Penurunan tingkat daya beli, munculnya krisis sosial, politik, dan krisis
legitimasi atas pemerintahan Orde Baru, kemudian muncul sebagai reaksi utama.
Berbagai aksi demonstrasi mahasiswa mewarnai berbagai peristiwa di Jakarta.
Bahkan peristiwa ini banyak diisukan bahwa yang menjadi korban adalah etnis
Tionghoa. Sekalipun kehidupan etnis Tionghoa di Jakarta pasca kerusuhan Mei
1998 dapat dikatakan membaik, namun korban jiwa serta kerugian akibat
pengrusakan serta penjarahan yang dilakukan oleh massa sangat parah. Kehidupan
etnis Tionghoa lebih bebas dibandingkan pada masa pemerintahan Orde Baru.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang serta atas rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan
penyususnan skripsi ini dengan Judul “Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru :
Studi Atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa Di Jakarta (1998)“.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada seorang yang begitu berjasa di
bumi tercinta ini yaitu Nabi Muhammad saw, beserta para sahabatnya yang begitu
setia menemaninya sampai akhir hayatnya, yang telah memberi pencerahan
kepada kita selaku umatnya.
Penulis menemukan bahwa kasus terhadap etnis Tionghoa khususnya pada
kurun waktu 1998 bisa dikatakan sebagai kasus teragedi kemanusiaan. Hal ini
dilatar belakangi oleh adanya kasus-kasus seperti pembunuhan terhadap warga
dari etnis Tionghoa, sekaligus penjarahan atas harta kekayaan dan dagangan.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik dalam tenaga, ide, maupun
pemikiranya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menguncapkan
terimakasih sebesarbesarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Selaku Rektor Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora,
yang membantu kelancaran saya selama proses perkuliahan.
3. H. Nurhasan, M.A dan Sholikatus sadiyah M.Pd selaku ketua Program Studi
dan sekretaris Studi Sejarah dan Peadaban Islam.
4. Imas Emalia, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis dan tidak letih untuk
memberikan arahan kepada penulis.
5. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag, selaku Dosen penguji skripsi saya, yang
telah memberikan ilmu dan arahanya kepada saya
iii
6. Dr. Tarmiji Idris. M.A, selaku Dosen penguji saya, yang telah memberikan
ilmu dan arahanya kepada saya
7. Kepada para dosen tercinta, yang telah begitu banyak memberikan ilmu
8. Kepada pihak Administrasi Fakultas Adab dan Humaniora yang telah
membantu kelancaran saya selama perkuliahan
9. Kepada pihak perpusatakaan, khususnya Perpustakaan Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah yang telah membantu saya dalam mencari sumber
terkait.
10. Drs. Eddy Sadeli,S.H, selaku pengurus pusat PSMTI (Paguyuban Sosial
marga Tionghoa dan Feri Kusuma selaku Kepala Divisi Impunitas KontraS
( komite untuk orang hilang dan tindakan kekerasan ) yang telah membantu
penulis dalam proses pencarian data dan wawancara.
11. Orang tua tercinta, yang menjadi pemantik semangat untuk terus berjuang dan
menyelesaikan tugas ini. Bapak Erom dan Ibu Tati, yang sampai hari ini
menjadi mutiara untuk penulis yang telah memberikan kasih sayang yang
begitu dalam, sungkem saya hatur kan dan mohon maaf atas kekurangan saya
atas bakti yang dipersembahkan.
12. Bella Lestari, selaku kekasih yang masih setia menemani saya sampai proses
pembuatan skripsi ini.
13. Organisasi Gerakan Pemuda Patriotik Indonesia Komesariat Kampus UIN
Jakarta yang menjadi sandaran saya untuk terus berjuang di garis massa dan
setia dalam perjuangan rakyat Indonesia. Serta ilmu yang diberikan di dalam
organisasi ini.
iv
14. Kawan-kawan “the bronx’s” yang setia untuk menjadi pendengar penulis dan
menjadi kawan lelah sehabis beraktivitas.
Kawan-kawan seperjuangan penulis dari Sejarah dan Peradaban Islam
Angkatan 2011, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.
Budi Permana
(1111022000040)
v
Daftar Isi
Lembar Pernyataan...........................................................................................i
Abstrak...............................................................................................................ii
Kata Pengantar.................................................................................................iii
Daftar Isi...........................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................10
C. Metode Penelitian....................................................................11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................12
E. Sistematika Penulisan..............................................................12
vi
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP
ETNIS TIONGHOA
A. Kebijikan Orde Baru Dan Kewarganegaraan Etnis
Tionghoa : ............................................................................ 49
1. Kebijakan Politik.............................................................. 51
2.Kebijakan Sosial dan Budaya ........................................... 55
3. Kebijakan Ekonomi.......................................................... 58
4. Kebijakan Agama............................................................. 60
B. Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru.......................... 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 68
B. Kritik dan Saran .................................................................. 71
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa Orde Baru (1965-1998), keberadaan etnis Tionghoa merupakan
masalah yang sangat kompleks. Bukan saja mengenai identitas kebangsaanya,
tetapi juga masalah politik, sosial, ekonomi, serta kebudayaanya. 1pada awalnya
arus migrasi yang dilakukan sebagian etnis Tionghoa ke wilayah-wilayah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia tidaklah lepas dari kondisi sosio-kultural negeri
Cina sendiri, kondisi dan situasilah yang menuntut sebagian etnis Tionghoa untuk
melakukan perpindahan ke wilayah yang mampu menjadikan hidup mereka lebih
baik.
Migrasi etnis Tionghoa terjadi secara besar-besaran setalah peristiwa
perang candu (1839-1842, dan pemberontakan Taiping (1851-1865), yang
mengakibatkan hancurnya perekonomian di Cina Selatan, hal itu menyebabkan
banyak etnis Tionghoa terpaksa meninggalkan kampung halamanya untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik.2Bangsa Cina yang datang ke Indonesia
pada umumnya bekerja dalam bidang perdagangan.
Pada masa pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, orang-oranng Cina
adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak berdirinya perusahaan dagang Hindia
Timur Belanda (1692-1799) (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan posisi
prantara tersebut.Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan keduanya
selalu mulus. Peristiwa, pembunuhan masal pertama terhadap orang-orang etnis
Tionghoa terjadi di Batavia ( sebutan untuk Jakarta pada masa Kolonial ) pada
tahun 1740, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di kota.
Setelah peristiwa tersebut, Belanda memberlakukan kebijakan pemisah ras yang
resmi, etnis Tionghoa harus tinggal dipemukiman yang diperuntukan bagi ras
mereka, yang dapat ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai
surat ijin untuk melakukan perjalanan ke pemukiman yang dikota berbeda. VOC
( ( Vereenignde Oostidische Compagnie) membagi penduduk di kepulauan
Indonesia menjadi tioga golongan untuk tujuan administrasi, yaitu : golongan
1
Leo Suryadinata, Dilema Minorotas Tionghoa, Jakarta:Temprint,1998,hlm.63
2
Ririn Darini,”Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia, 1900-1945,”
Jakarta:Mozaik,hlm.81
2
Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra. Sistem tersebutpun
seperti yang terjadi di Afrika Selatan yang dianggap sebagai embrio dari apa yang
dikenal sebagi sistem Apharteid3. Namun sebagai sikap pemerintah Belanda tetap
bermitra dan membantu etnis Tionghoa dalam hal ekonomi dibanding dengan
Pribumi.4
Pada abad ke-19 terjadi arus masuk dari sejumlah besar buruh migran etnis
Tionghoa ke Hindia Belanda untuk bekerja dipertambangan dan perkebunan-
perkebunan. Kelompok migran Tionghoa terbesar dimulai antara tahun 1860
sampai 1890, mereka terdiri dari berbagai suku bangsa yang berlainan. Kelompok
imigran Cina tersebut mempunyai kebudayaan dan adat istiadat bahkan bahasanya
sulit dimengerti oleh masing –masing suku, dari suku Hokkian, suku Teo Chiu,
suku Hakka ( kheh ), dan suku Shantung atau orang Kanton.5
Orang- orang Hokkian adalah masyarakat Cina yang pertama kali
bermukim di Nusantara dalam jumlah yang besar, dan mereka merupakan
golongan terbesar di antara para imigran lainya, mereka berdatangan ke Indonesia
sampai dengan abad ke-19. Mereka berasal dari Fukkien Selatan, adalah sebuah
daerah di negri Cina yang mempunyai sifat perdaganganya sangat kuat. Selain
Hokkian adalah sub etnis Teociu yang kebanyak mendiami daerah luar Jawa
seperti di Sumatera.Etnis Teociu ini berkumpul di sepanjang pantai Timur
Sumatera, kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat terutama Pontianak.keahlian
mereka adalah bertani dan buruh perkebunan.Sementara etnis Hokkian, berasal
dari pedalaman Kwantung.Kebanyakan mereka berimigrasi karena desakan
ekonomi.Golongan Hakka bermukim di Kalimantan Barat dan mengerjakan
pertamambangan timah.Dalam perkembanganya etnis Hakka banyak berdagang di
Jakarta dan Jawa Barat setelah Priangan di buka bagi pedagang-pedagang
Tionghoa. Adapun etnis Kanton merupakan rombongan awal yang datangn ke
Nusantara, sama seperti etnis Hakka.Mereka Orang-orang Kanton juga terkenal
sebagi sebagi pekerja tambang.Kedatangan mereka juga membawa keterampilan
3
Aparteid adalah sistem pemisaan ras yang diterapkan oleh pemerintahan dengan tujuan
untuk melindungi ak-hak istimewa dari sar ras ata bangsa.
4
Suhandinata Justian,Wni Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,2009,hlm.10-11
5
Mulyadi hari, Runtunya Kekuasaan “Kraton Alit“ Studi Radikalisasi Sosial “Wong
Sala“ dan kerusuhan mei 1998 di Surakarta. Surakarta : LPTP,1999,hlm.19
3
6
Mell G, Tan. Golongan Etnis Tiongoa di Indonesia ( Pembinaan Kesatuan Bangsa,
Jakarta : PT. Gramedia,1981,hlm. 6-7
7
Ibid,hlm.10.
8
MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern,Yogyakarata:UGM Pers,2008,hlm.190
4
9
Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap
kelompok dimana orang tersebut dapat dikatagorikan atau dapat juga berupa prasangaka positif
dan juga negative, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tidakan diskriminatif.
10
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik
Indonesia, Jakarta: Gramedia,2009,hlm.312.
5
pedaganag etnis Tionghoa. Dengan cara ini masyarakat Tionghoa tetap mampu
menjalankan usahanya serta mendapatkan keuntungan. Sementara mitra Indonesia
asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang diperlukan bagi
pengembang ekonomi sosial.11
Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kadaulatan pada
tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial.Pemerintah membiarkan etnis Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi
dan membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrasi. Namun
etnis Tionghoa diperbolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian
orang Tionghoa yang menduduki jabatan sebagai menteri, contohnya Lie Kiat
Teng sebagi menteri kesehatan dan Oey Tjoe Tiat sebagai mentri pada kabinet
100 menteri pada tahun 1960
Pada masa demokrasi terpempin pemerintah juga mengeluarkan
peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP NO.10/1959
yang isinya melarang etnis Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang
kemudian melahirkan insiden.Peraturan ini membatasi secara tegasperan dan hak
ekonomi orang Tionghoa.Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat
kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-
desa.Implikasinya, orang-orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk
meninggalkan pemukimanya di pedesaan.dalam praktiknya pembedaan dengan
mereka yang peranakan tidak secara jelas diberlakukan. Selama tahun 1959-1960
kampanye pengusiran berlangsung dengan dukunag pihak TNI-AD ( Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat) sebanyak 136.000 orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia, sementara 1000.000 oarang di antaranya pulang ke tanah
leluhur Cina.12
Kerusuhan anti Tionghoa pada tahun 1966 terjadi diberbagai daerah
terutama di Jawa Barat yaitu di Cirebon, Bandung, Sumedang, Bogor, Cipayung,
Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi.Selain itu kerusuhan juga terjadi di Solo,
Surabaya, Malang, dan Medan.Kerusuhan terjadi akibat kesenjangan
kemakmuran.Etnis Tionghoa terkena dampak imbas dari situasi poltik – ekonomi
11
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik
Indonesia, Jakarta: Gramedia,2009,hlm.315
12
J.A.C.Mackie.”Anti Chinese Outbreak In Indonesia 1959-1968”,dalam The Chinese in
Indonesia:Five Esays,Melborne:Thomas Nelson,1976,hlm.82-85
6
pada saat itu, yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang
kebutuhan pokok, dan frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintah
Soekarno.Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan degan mencari target
kemarahan yang termanifestasikan dalam kerusuhan anti Tionghoa, dan ini adalah
bagian dari pertarungan yang memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan
kiri dengan kekuatan kanan.13
Melihat kenyataan tentang besarnya peran serta pengusaha etnis
Tionghoa dalam perekonomian Indonesia, terutama setelah kedatangan para
investor asing yang menanamkan modalnya dan bekerjasama dengan pengusaha
Tionghoa hingga lahirnya praktik percukongan14 yang menimbulkan KKN
( Korupsi Kolusi Nepotisme) ditubuh elit kekuasaan dan para pengusaha
Tionghoa, maka memunculkan kritik-kritik terhadap kebijakan pemerintah saat
itu. Kritik- kritik tersebut selanjutnya diwujudkan dengan aksi demonstrasi yang
dilakukan berbagai lapisan masyarakat, terutama kalangan mahasiswa.
Pada akhir 1973 situasi di kalangan mahasiswa memanas, karena
keresahan yang dialami oleh masyarakat atas perkembangan ekonomi yang
dilaksanakan pemerintah Orde Baru.Isu-isu korupsi, percukongan, modal asing,
serta peranan Jepang menjadi sorotan mereka.Mahasiswa menilai bahwa
pelaksanaan pembanguanan memberikan porsi terlampau besar kepada modal
asing.Aksi-aksi demonstrasi tersebut berkembang menjadi aksi rasialis anti
Tionghoa dengan merusak dan menjarah toko-toko etnis Tionghoa.15
Rangkaian demonstrasi ini akhirnya meledak dalam peristiwa kerusuhan
pada tanggal 15 Januari 1974 yang dikenal sebagai dengan peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari).Peristiwa itu ditandai degan pengrusakan toko-
toko milik etnis Tionghoa. Semenjak itu pemerintah Orde Baru mulai
menjalankan kebijakan ekonomi mengenai pembatasan dominasi etnis Tionghoa
dan juga pihak asing dalam aktivitas perekonomian di Indonesia. Setelah peristiwa
malari, diskusi mengenai etnis Tionghoa dan penanaman modal asing dibatasi.
13
Ririn darini, “Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis”,
Jurnal,hlm.5
14
Percukongan atau Cukong, istilah Tionghoa yang diartikan tuan, dalam konteks kata ini
digunakan untuk pengusaha Etnis Tionghoa yang berkolaborasi dengan elit kekuasaan (termasuk
yang berdiam di istana)dalam berbagai usaha patungan. Mitra pribumi menyediakan fasilitas dan
perlindungan, sedangkan orang Tionghoa mengelola bisnis.Lihat : Leo Suryadinata. 1999. Etnis
Tionghoa dan Pembanguanan Bangsa, Jakarta: LP3ES, hlm. 93
15
Benny G.Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah
Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Elkasa, 2003,hlm. 1002
7
Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya aksi demonstrasi kembali. Setelah
masa itu, muncul istilah pribumi dan non pribumi. Penggunaan istilah tersebut
digunakan sebagai kritikan teradap pengusaha etnis Tionghoa.
Ketika Orde Baru berkuasa, selama itu pula etnis Tionghoa banyak
merasakan sikap diskriminasi. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa peraturan yang
mengatur eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain :
1. Intruksi Presiden No. 14/1976, yang berisi larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan
adat Tionghoa di Indonesia.
2. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967, yang isinya menyatakan masyarakat Tionghoa harus
merubah namanya menjadi nama yang identik dengan Indonesia.
3. SK Mentri Perdagangan dan Koperasi No.286/1978, tentang pelarangan impor, penjualan dan
penggunaan bahasa Cina.
4. Surat Edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1978, melarang penerbitan dan percetakan tulisan /atau
iklan beraksara dan berbahasa Cina didepan umum.
5. Peraturan Mentri perumahan No.455.2-360/1988, yang melarang penggunaan lahan untuk
mendirikan atau memperbarui klenteng.
6. Keputusan Presiden No. 56/1996 tertanggal 9 Juli 1996, isinya semua peraturan yang
mensyaratkan SBKRI di hapus.16
16
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di zaman Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus 2004.
17
Mely G Tan, golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatau Masalah pembinaan
Kesatuan bangsa,Jakarta:Gramedia,1979,hlm.206
8
18
Ririn Darini, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Presepektif Historis, Jurnal,
hlm.9
19
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta:LP3ES,2006,hlm.196.
9
20
Ibid.,hlm,262.
21
SeloSoemarjan,Pengawasan Sosial Orde baru dan Reformsi,Jakarta:Obor,2011,hlm..639
22
Benny G.Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,Jakarta:Trans Media,2008,hlm.105
10
23
Hasil wawancara dengan PSMTI (paguyuban marga Tionghoa)
11
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan bersifat kualitatif dengan
pendekatan deskriptif analistis, pendekatan ini membantu dalam memberi
pemaparan umum tentang etnis Tionghoa khususnya yang ada di Jakarta hingga
terjadi peristiwa teragedi. penelitian tersebut tentu diperlukan data yang penulis
dapatkan,namun lebih bersifat Skunder. Yaitu berupa terbitan surat kabar se
zaman, buku, jurnal, dan majalah. Langkah-langkah metode sejarah yang
ditempuh meliputi :
1. Heuristik (pengumpulan sumber-sumber), dalam proses ini penulis
melakukan pencarian sumber ke berbagai lembaga penyimpanan data yang
sesui dengan tema seperti Perpustakaan Universitas Indonesia,perpustakan
Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional,
2. Kritik sumber (Verivikasi)
Kritik sumber adalah upaya untuk mendapatkan otenitas dan kredibilitas
sumber.
Dalam proses ini dilakukan kritik atas sumber yaiutu menguji kebenaran atau
ketepatan dari sumber yang ditentukan.
3. Interprestasi
Dari data yang telah dikumpulkan dan disesuaikan dengan diinterprestasikan
untuk menghasilkan fakta.
4. Historiografi, adalah tahap terakhir yang sangat penting, dari metode sejarah
yaitu menulis atau merekontruksikan peristiwa sejarah tragedi kemanusiaan
etnis Tionghoa.
12
E. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terbagai menjadi lima bab, adapun
penulisan.
Orde Baru 1998, serta kondisi umum etnis Tionghoa dan munculnya
24
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran politik, (Jakarta : Trans Media, 2008)
hlm.73.
25
Salah satu pelabuhan yang cukup terkenal di masa Dinasti Tang dan Sung, lihat Amen
Budiman, MasyarakatIslam Tionghoa di Indonesia.(Semarang: Tanjung Sari,1997), hlm.11.
26
Hari Poerwanto, Orang Cina di Khek Singkawang, (Depok: komunitas Bambu, 2005),
hlm. 40-41.
13
14
Sumber lainya juga mengatakan bahwa pada masa kunjungan armada dari
Dinasti Sung ke Nusantara tahun 1405 – 1430 M, yaitu ke Tuban, Gersik, dan
Surabaya. Saat itu ditemukan pemukiman orang-orang Cina.Di Tuban terdapat
lebih dari seribu orang Cina dan banyak dari mereka berasal dari provinsi
Guangdong atau Kwantung dan Fujian Fujien.Perkampungan orang-orang Cina
serta armada laut di masa itu sedang berkembang dengan pesat aktivitas
perdagangan yang mengakibatkan orang-orang Cina menjadi lebih aktif.Selain itu
juga orang – orang Cina menjadi bagian dari jaringan perdagangan lokal di
Nanyang.Hubungan perdagangan antara kerajaan Tiongkok dengan bangsa asing
pada tahun 1178 memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat
dari barang – barang yang berhgarga yang di bawa oleh perdagangan asing seperti
dari Arab, Jawa, dan Palembang.27
Selain Jawa yang menjadi jaringan perdagangan bersekala
internasional,adalah jasa Indonesia Timur. Jaringan perdagangan Malaka adalah
dilalui dari Jawa-Maluku Malaka, demikian sebaliknya melalui pesisir selatan
Kalimantan. Pada abad ke8 M Cina juga menjadi salah satu negara tujuan untuk
berdagang orang – orang arab, Persia dan Gujarat. Sebelum ke Cina, biasanya
para pedagang singgah ke Nusantara. Akan tetapi di masa itu di Cina telah terjadi
pelarangan kapal Arab berlabuh di pantai Cina dikarenakan pada masa itu telah
terjadi pengusiran Islam Cina Kanton oleh pemerintah Huang Chou akibat
persengkongkolan dan pemeberontakan petani pada kaisar Cina.28
Selain peristiwa di atas, di masa itu para pedagang asing yang datang ke
Nusantara selalu menghadap raja untuk mempersembahkan hadia. Hal itu
dilakukan agar kepentingan dagangnya tidak dihambat oleh raja dan mendapat
jaminan keamanan dari para perompak. Di dalam buku Tung His Yang K‟au
Dr.Liem Twan Djie menerangkan Ha-kang atau Isia-Shiang, sebagaisebutuan
untuk daerah bagi Banten.Dikatakan bahwa apabila dating perahu Tionghoa maka
27
Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung
sari,1979), hlm.12.
28
M. Dien Madjid, “ Jaringan Perdagangan masa Kerajaan Islam Indonesia (suatu kajian
social ekonomi)” dalam Sudarnoto Abdul Hakim (ed), Islam dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan
Humaniora,cet 1, (Jakarta: UIN Press,2003),hlm.220.
15
datanglah seorang pembesar ke atas perahu itu untuk memberikan izin. Bahkan
banyak juga di antara para pedagang Tionhoa memberikan hadiah untuk
memperlancar proses birokrasi. Biasanya hadiah yang diberikan ialah berupa
jeruk-jeruk dari cina, dan sutera.Hadiah-hadiah ini juga dipersembahkan kepada
raja.29
Dalam berita-berita Dinasti Sung (960-1279), perdagangan aktif hamper
seluruhnya dilakukan oleh para pedagang Tionghoa. Terkadang ada juga
pedagang pribumi yang melakukan pelayanan antar pulau. Sangat besar
kemungkina, pedagang pribumi tersebut tidak lain adalah para pejabat yang
bertindak atas perintah raja-raja. Namun secara perlahan keberadaan mereka
makin tergeser oleh orang-orang Tionhoa.Akhirnya perdagangan antara pulau di
wilayah Nusantara lebih didominasi orang Tionghoa dan pribumi hanya
melakukan perdagangan di sekitar Bandar pelabuhan.30
Orang-orang Tionghoa mendapatkan barang dagangan secara langsung
dari warga pribumi dengan harga yang lebih murah.Maka ketika mereka sedang
menunggu musim angin yang bisa menghantar kembali ke wilayah Cina, mereka
seringkali menjadi pengumpul barang-barang dagang dari msayarakat
pribumi.bahkan banyak juga diantra mereka yang menikah dengan orang-orang
pribumi sehingga memunculkan golongan Tionghoa peranakan. Proses tersebut
berjalan secara alamiah.31
Selain hubungan diplomatik pada tahun 1405 – 1433, dinasti Ming juga
banyak mengadakan ekspedisi keluar negeri.Salah satu di antaranya ke Jawa di
bawah Cheng Ho atau Saam Po Kong.Perjalanan Cheng Ho banyak di tulis oleh
Ma Huan yang pada waktu itu ikut dalam perjalanan tersebut.
Pada 1413, Ma Huan pernah menulis laporan yang di antaranya
menyebutkan bahwa di Tuban telah terdapat banyak orang Tionghoa dari Fukien
29
Hari Poerwanto, Orang Cina dari Khek Singkawang, (Depok: Komunitas
Bambu.2005),hlm.43. Lihat Juga Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta:
Trans Media,2008),hlm.73.
30
Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok:Komunitas
bamboo,2005),hlm.24
31
Ongkokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, ed Wasni Alhaziri,
(Jakarta: Komunitas bamboo 2008),hlm.135-136
16
dan Kanton. Bahkan disebutkan bahwa Tse-tsun atau Gerseik dibangun dan
dirombak menjadi pusat perdagangan yang subur oleh masyarakat Tionghoa.,
Daerah-daerah inilah yang kemudian menjadi sasaran kedatangan penduduk
Tionghoa berikutnya. Pada masa-masa setelah itu, mereka kemudian tidak hanya
menjadi pedagang tetapi juga mulai belajar sebagai petani.Pada msa ini pula
dimungkinkan sebagian orang Tionghoa sudah ada yang mendiami daerah Banten
Sunda Kelapa.32
Demikian etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang dalam
mengintegrasikan diri ke dalam populasi Asia tenggara.Sebelum abad ke-19
ketika jumlah orang Tionghoa masih sedikit, lebih mudah bagi populasi orang
Asia Tenggara untuk menyerap orang Tionghoa. Sejak abad ke-19 setelah
gelombang besar populasi Tionghoa masuk ke Asia Tenggara, asimilasi lebih sulit
lag dirasakan. Pendatang yang lebih belakangan membentuk komunitas baru yang
sering terpisah dari masyarakat Tionghoa yang telah mapan dan terbentuk lebih
dulu.Jumlah pendatang baru (xien ke) lebih besar dan lebih dinamis daripada
pendatang terdahulu.Namun para pendatang baru kurang berintegrasi dengan
masyarakat setempat.Pendatang baru masih berbicara dalam bahasa Cina (dialek
atau Mandarin) dan masih menggap sebagai warga Cina masih berhubungan
dengan Cina, dan masih berorientasi ke negeri Cina baik secara kultural maupun
politis.33Hal tersebut dikarenakan pada masa awal kolonial Belanda orang-orang
Tionghoa dihitung menjadi kaulanegara Belanda. Bagi yang tidak suka aturan ini,
hal ini dipandang terlalu memaksa sehingga orang-orang Tionghoa di kepulauan
Indonesia tidak dapat menganggap dirinya tidak lain sebagai orang-orag asing.34
Sementara menurut Wang Gungwu dalam buku Leo Suryadinata 35 terdapat
4 tahap proses migrasi warga Cina ke Nusantara yaitu : 1. Dimulai pada abad ke-
19 dengan negara-negara kolonial transisional atau semikolonial setelah revolusi
32
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam pusaran politik,(Jakarta Trans Media,2008),hlm.32-
33.
33
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,199,hlm.13
34
Sudargo Gautama. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni,1987,hlm.50
35
Leo Suryadinata. . Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,199,hlm.14
17
industri di Eropa. 2. Pada negara-negara bangsa yang baru lahir pada abad ke-20.
3. Timbulnya prospek remigrasi ke negara-negara migran Amerika dan Australia,
setelah migrasi ke Nusantara. 4. Adanya perpanjangan waktu bermukim sebagi
dari globalisasi migrasi.
Pada abad ke-19 terjadi arus masuk dari sejumlah buruh migrant Cina ke
Hindia Timur Belanda untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan.Kelompok
migran Cina terbesar dimulai antara tahun 1860 sampai dengan tahun 1890,
mereka terdiri dari beberapa suku bangsa yang sangat berlainan. Kelompok
imigran Cina tersebut mempunyai kebudayaan dan adat istiadat bahkan bahasanya
pun sulit dimingerti oleh masing-masing susku, yaitu dari susku Hokkian, susku
Teo-Chiu, susku Hakka (Kheh), suku shantung atau orang Kanton.36
Indonesia sebagai salah satu daerah migrasi orang-orang Cina yang telah
dilakukan jauh sebelum kemerdekan atau tepatnya pada saat perang Dunia ke-2.
Cina perantauan dalam hal ini terutama mereka yang berdomisili di Indonesia atau
sekitar wilayah Asia tenggara, merujuk pada cina sebagai Tengsua
(Tangshan,Gunung Tang) dan diri mereka sebagi Tenglang(Tangren,laki-laki
dinsti tang). Memiliki makna khusus dikalangan Cina perantauan. Pemerintahan
Cina membagi warga Cina menjadi 2 bagian, yaitu: sebutan Zhongguo Qiomin,
warga Cina yang tinggal di luar negri tetapi masih memiliki orientasi kenegri
Cina, dan mereka yang tidak lagi berorientasi kepada Cina disebut Huaqiao. Ini
terjadi sekitar abad 19-20.37Sentimen anti Tionghoa yang kuat muncul dianatra
pejabat kolonial Belanda.Hal itu sangat terlihat dibawah kebijakan politik etis
tahun 1900 yang dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk pribumi.dlam
rangka politik etis tersebut didirikan lumbung desa, bank kredit rakyat dan rumah-
rumah gadai pemerintah serta diadakan pengawasan penjualan candu pada rakyat.
Para pejabat kolonial Belanda merasa bhwa mereka harus melindungi penduduk
pribumi terhadap warga Tionghoa yang ketia pemerintahan kolonial dianggap
36
Hari Mulyadi. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”: Studi RadikalisasiSosial” Wong
Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. Surakarta:LPTP, 1999,hlm.19
37
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,1999,hlm.13
18
licik.Namun, hal ini dan pratktik diskriminatiflainya tidak berarti, dan tetap saja
warga tionghoa bisa hidup dengan makmur di bawah sisitem Kolonial.38
Pada bad ke-19, warga Tionghoa diberi keistimewaan (hak konsesi) untuk
menanam dan memperdagagkan candu (opium) dan menjalankan usaha rumah
gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar dan harus disetor disetor
kepada pemerintah.Yang mendapatkan hak konsesi ialah orang-orang tionghoa
yang berkedudukan di Hinda Belanda.Orang Timur Asing juga dapat menerima
hak konsesi kecuali bila bersedia membayar pajak yang sangat besar kepada
pemerintah, hak konsesi ini diberikan dengan maksud untuk memeberikan
kesempatan kepada kaum pemodal untuk menanmkan modalnya di lapangan
pertanian dan mendpatkan tanah seluas-luasnya.Dan hal ini membuat kepala desa
tidak disenangi.Perkebunan bisanya dikuasai oleh kepala desa yang sebagian
diwariskan.Pemiliknya biasanya pedagang besar karena kedekatanya dengan
pemerrintah berarti mereka beserta agenya dapat pengecualian dan pembatasan
perjalanan yang dikenakan kepada masyarakat Tionghoa.Sisitem ini mendorong
kapitalisme Tionghoa.39
Sebetulnya hubungan Tionghoa dengan pribumi di masa sebelum
kedatangan orang-orang kulit putij ke Indonesia, pendatang-pendatang dari
tiongkok hidup damai dengan penduduk setempat.Mereka hidup membaur dengan
saling membawa budaya masing-masing.Orang Tionghoa hidup dengan
berdagang, bertani dan menjadi tukang.Mereka tidak membawa istri dari
Tiongkok karena memang ada larangan dari kaisar membawa perempuan keluar
dari dartan Tiongkok, disamping berbahaya di dalam pelayaran pada masa
itu.40Mereka menikah dengan pribumi setempat atau membeli budak untuk
dijadikan sebagai gundik,sehingga lahirlah keturunan campuran antara masyarakat
Tionghoa dengan pribumi yang biasa disebut peranakan atau babah.
38
Noer Fauzi.Petani & penguasa: Dinamika Perjalanan Politik AgrariaIndonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998,hlm.39
39
Noer Fauzi.Petani & penguasa: Dinamika Perjalanan Politik AgrariaIndonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998,hlm.37
40
Major William Thorn, The Conquest Of Java,1815,reprinted 1993 by Periplus Edition
(HK)Ltd, hlm.242-244
19
41
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,1999,hlm.13-14
42
Tan Swie Ling, pengantar:Ben anderson, G30S 1965,Perang dingin & Kehancuran
Nasionalisme,(Jakarta:Komunitas Bambu 2010), hlm.359-360.
20
Nasioanalisme berasal dari kata nation (Inggris) dan natie (Belanda), yang
berarti bangsa.43L.Stoddard mengemukakan bahwa “ nasonalisme “ adalah suatu
kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar manusia perorangan sehingga
mereka membentuk suatu kebangsaan Pada tingkat terakhir, nasionalisme adalah
suatu diatas segalanya yang menjelmakan dirinya dalam sintese yang baru dan
lebih tinggi. Mendefinisikan nasionalisme adalah, merupakan kesadaran yang kuat
yang berlandaskan atas kesabaran akan pengorbanan yang pernah diderita
bersama dalam sejarah dan atas kemauan menderita hal-hal serupa itu di masa
depan”. Slamet Mulyana menyatakan bahwa ”nasionalisme adalah manifestasi
kesadaran berbangsa dan bernegara atau semangat bernegara.
Menurut Han Kohn, yang dimaksud nasionalisme adalah suatu faham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan. Nasionalsime menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita
dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa sumber
daripada semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.44
Adapun sementara, Sukarna mengemukakan, bahwa nasionalisme ialah
kesetiaan dari pada setiap individu atau bangsa ditujukan kepada untuk
kepribadian bangsa.45 Menurut S.Pamuji, nasionalisme adalah konsesus umum
mengenai cara hidup (Way of life ) suatu inspirasi dan devisa yang secara
secara resmi.46
Dari berbagai pendapat tentang pengertian nasioanilme di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa nasionalisme adalah suatu rasa kesadaran yang kuat akan
pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejumlah sejarah dan dilandasi
suatu kepercayaan yang dianut sejumlah besar manusia perorangan yang harus
diserahkan kepada negara kebangsaan sehingga membentuk suatu kebangsaan.
Sementara itu masalah kewarganegaraan tidak terlepas dari paham
nasionalisme.Peraturan mengenai kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi
43
Leo Agung S, Sejarah Intelektual, (Salatiga:Widya Press,2002),hlm.31
44
Hans Khon, Nasionalsme Arti dan Sejarahnya, Jakarta:Airlangga,hlm.12.
45
Sukarna, Pembangunan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 57.
46
Pramuji.S, Perbandingan Pemerintah, Jakarta:Bumi Aksara, 1985,.hlm.28
21
47
Soetoprawiri, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian
Indonesia,Jakarta:Gramedia,1996,hlm.4
48
Mell G.Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta:Gramedia, 1981,hlm. 12-
13
49
Melly G.Tan.Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta:Gramedia,1981,hlm.1
22
Kanton melampaui jumlah orang Hokkian dengan mudah karena sebelumnya suku
Hokkian mendominasi sebagai etnis Tiongoa. Perbandingan jenis kelamin kaum
imigran itu makin lama makin seimbang, menuju pertambahan yang cepat pada
jumlah kelurga yang kedua orangtuanya adalah kelahiran Tiongkok.Bangkitnya
nasionaisme Tionghoa.50
Penggunaan kriteria fisiosomatik tidak beraku pada etnis Tionghoa yang
telah melakukan imgrasi dari daerah asal, karena etnis Tionghoa yang melakukan
migrasi secara fisik telah mengalami perubahan. Perubahan fisik tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu fakor perkawinn campuran
yang menyebabkan perubahan secara genetik dan faktor perbedaan lingkungan
asal menyebabkan terjadinya proses penyesuaiaan diri atau beradaptasi terhadap
lingkungan baru.
Di Indonesia, etnis Tionghoa berdasarkan orientasi kebudayaan dapat
dibedakan ke dalam 2 kelompok besar yaitu : 1. Peranakan,yaitu etnis Tionghoa
yang lahir di Indonesia dan berbahasa Indonesia, atau hasil perkawinan campuran
antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia. Selain itu, istilah peranakan
digunakan untuk menyebut enis Tionghoa yang telah berasimilasi dengan
masyarakat seempat dan mereka beroientasi dengan kebudayaan setempat,
Tionghoa peranakan sebagian besar bermukim di Jawa. 2, Totok,yaitu etnis
Tionghoa yang lahir di Tiongkok dan berbahasa Cina. Selain itu,istilah etnis
Tionghoa totok digunakan untuk menyebut pendatag baru atau lama yang masih
berorientsi atau mendukung secara kultur tradisi Tiongkok daratan.51
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya yaitu pada 17
Agustus 1945, maka sebagai bangsa yang baru terbebas dari belenggu penjajahan,
Indonesia mulai menata kehidupan bangsa dan bernegara, maka pemerintah mulai
membuat kebijakan yang berkaitan dngan keberlangsungan bangsa di masa yang
akan datang. Kebijakan yang diterapkan saat itu antara lain tentang poitik,
50
Skinner, G. William. Golongan Minoritas Tionghoa dalam Mely G. Tan,Golongan Etnis
Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah PembinaanKesatuan Bangsa. Jakarta:
Gramedia,1981,hlm.10
51
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,1999,hlm.170
23
ekonomi, bahasa, budaya, pendidikan, pemerintahan serta yang tak kalah penting
adalah kebijakan di kewarganegaraan. Undang-undang ini menggunakan asas ius
sanguinis yang berarti semua orang Cina dimanapun berada maka dikalim
sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus
sebagai warga Negara ndonesia menadi bertatus bipatride yang berarti di samping
sebagi warga negara Indonesia sekaligus merupakan warga negara RRC.
Saat pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949, pemerintah Kuo Min
Tang di Taiwan langsun mengakui mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Tapi Indonesia lebih condong untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan
pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan terhadap para Cina
perantauan di Asia Tenggara. Usul perbincangan Indonesia-RRC ini disambut
baik secara positif oleh pihak RRC, dalm rangka politik luar negri RRC yag baru,
dikenal dengan peaceful coexistence. RRC merasa perlu mmembina hubungan
baik dengan negara-negara di Asia Tenggara, guna membangun basis kerja yang
sama-sama anti-imprealis.kemudian mulai diadakan sejumlah pembicaraan yng
diadakan dipeking, Jakarta, maupun di Bandung. Rangkaian pembicaraan ini
berpuncak pada suatu persetujuan antara Sunario (Mentri Luar Negri Indonesia )
dan Chou En-lai (Mentri Luar Negri RRC), yang dilakukan pada tanggal 22 April
1955 di tengahpenyelenggaraan konferensi Asia-Afrika di Bandug persetujuaan
ini dikena sebagai perjanjian Dwi-Kewarganegaraan.
Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuaan itu adalah untuk
meniadakan akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia juga menghendaki adanya
kepastian akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia
sebelum mereka diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan
mereka. Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia telah berlangsung berabad-abad
lamanya, ternyata menumbuhan rasa nasionalisme terhadap Indonesia dan
berjuang untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Sementara itu, RRC
juga menerima baik keinginan Indonesia utuk menentukan sendiri siapa saja di
antara orang Cina Indonesia yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut
memilih, karena secara implisit memilih kewarganrgaraan Indonesia berdasarkan
24
52
Koerniatmanto Soetoprawiro. 1996. Hukum Kewarganegaraan dan
KeimigrasianIndonesia. Jakarta: Gramedia, 1996,hlm. 105-107
25
53
www.Jurnalasia.com
26
54
Sudargo Gautama,Warga Negara dan Orang Asing,Bandung:Alumni,1987,hlm.48-49
55
Koerniatmanto Soetoprawiro. Hukum Kewarganegaraan dan KeimigrasianIndonesia.
Jakarta: Gramedia, 1996,hlm.26
56
Leo Suryadinata. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa.Jakarta: PT.Pustaka
LP3ES Indonesia,199,hlm,121
27
58
Koerniatmanto Soetoprawiro. Hukum Kewarganegaraan dan KeimigrasianIndonesia.
Jakarta: Gramedia,1996,hlm.27-29
59
Ibid,hlm.128
60
Pada tahun 1954 organisasi yang dinakamakan Badan Permusyawaratan kewarganegran
(Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa.Masalah yang dihadapi tokoh
Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan pada masa itu bukan lagi identitas ke-Tionghoaan
yang mereka hadapi adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang. Baperki berkembang sebagai
sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan
ekonomi,sosial,kebudayaan dan pendidikan.
29
61
Setiono Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,Jakarta:Elkasa,2005,hlm.958
62
Copple,op,cit,hlm.17
63
Ibid,hlm.139
64
Copple,op,cit,h.171. Dalam seminar tersebut hadir pula para ekonom UI seperti
Dr.Widjaja Nitisastro, Emil Salim, Subroto, dan Sadli Sarbini yang bmembahas permasalahan
ekonom di Indonesia dan memberikan solusinya. Selain itu hadir pula, K Sindhinata dan dr.Lie
Tek Tjeng, membahas mengenai permasalahan Tionghoa Indonesia.Dr. Lie Tek Tjeng
berpendapat
31
harus ditarik garis jelas untuk memisahkan antara etnis Tionghoa Indonesia dan etnis Tionghoa
Asing. Hal ini dikarenakan kesulitan untuk membedakan keduanya, menyebabkan peraturan
pemerintah yang ditunjukan kepada warga negara Asing , terkadang berimbas kepada warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa dalam melakukan aktivitasnya di Indonesia. Hal ini
dikarenakan meskipu mereka sudah berkewarganegraan Inodesia, statusnya masih samakan
dengan warga negara asing.
65
Suryadinata,Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus
Indonesia,Jakarta:LP3ES,2002,hlm.34
66
Tan,op,cit,h.198. penggunaan kata Cina kepada Tionghoa memiliki konotasi yag sama
penyebutan dengan indlander kepda masyarakat pribumi, pada masa Hindia Belanda Indlander
memiliki arti makana pribumi setempat. Dimana penyebutan tidak memiliki konotasi negative jika
digunakan untuk menyebut orang Belanda di Nederland.Akan tetapi arti tersebut menjadi negative
saat pemerintah Hindia Belanda mempergunakanya untuk menyebut orang Indonesia pada masa
itu.
32
Lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa penggunaan itilah ini tidak dapat
dibatasi pada warga negara RRC saja, akan tetapi juga akan berdampak pada
warga negara Indonesia yang keturunan Tionghoa.67 Menurut Dr.Lie Tek Tjeng,
penggunakan kata Cina untuk menyebut orang Tionghoa berkewarganegaraan
Cina, tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan peneyebutan kata Cina juga kepada
WNI keturunan Tionghoa hal tersebut menurutnya akan membahayakan stabilitas
ekonomi/politik kabinet Ampera, yang merupakan syarat dari suksesnya
pembangunan Orde baru.
Dinamika sosial Etnis Tionghoa di Jakarta pada masa Orde baru dapat di
lihat dari 2 sektor penting yaitu sosial dan politik.Sehingga dapat disimpulkan
kehidupan masyarakat Tionghioa di masa itu sangat mendukung di bidang
Ekonomi. Di lihat pada sektor sosial Etnis Tionghoa pada masa Orde baru
mengalami pasanga surut. Hal ini dikarenakan di masa pemnerintahan Orde baru
sedang mencanagkan kebijakan pembaharuan yang ditujukan untuk
menghilangkan prasangka etnis Tionghoa yang menginginkan status
kewarganegraan yang jelas dan tidak lagi mejadi korban diskriminasi ras. Namun
pada kenyataanya etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan. Oleh sebab itu, permasalahan ini membuat beberapa pangamat
sosial dan politik menganjurkan pemerintah memberikan perlindungan khusus
untuk masyarakat Tionghoa.68
Oleh karena perlindungan khusus di ajukan oleh pengamat sosial dan
politik ini membuat citra masyarakat Tionghoa di Jakarta mendapatkan citra
negatif. Hal ini tentunya bertolak belakang dari kebijakan asimilasi yang
disepakati oleh pemerintah dengan masyarakat Tionghoa.Di dalam piagam
asimilasi pada tahun 1961 masyarakat Tionghoa telah menyetujui dengan adanya
peranaksasi dan Indonesianisasi. Berdasarkan kebijakan asimilasi yang di ambil
oleh Presiden Soeharto dengan kata lain, walaupun identitas Tionghoa masih
belum beretahan hanya komponen totoknya makin berkurang. Satu-satunya cara
untuk menghilangkan diskriminasi adalah melalui asimilasi. Onghokham
67
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus
Indonesia,Jakarta:LP3ES,2002,hlm.109
68
Leo Suryadinata, Negara dan etnis Tionghoa, (Jakarta:LP3ES.2002),hlm.22.
33
69
Ibid,hlm.51.
70
Junus jahja, Masalah Tionghoa di Indonesia dalam asimilasi dan Integrasi,
(Jakarta:LPMB,1999), hlm,132.
71
Leo Suryadinata,Negara dan Etnis Tionghoa, ( Jakarta: LP3ES,2002), hlm,62
34
72
Ariel Haryanto.”jalan di hadapan”.dalam Leo Suryadinata(ed),Pemikiran Politik etnis
Tionghoa Indonsia 1900-1002,cet 1 (Jakarta:LP3ES,2005 ),hlm.368
35
73
Benny G.Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,Jakarta:Trans Media,2008,hlm.105
36
74
Hasil wawancara dengan PSMTI (paguyuban marga Tionghoa)
BAB III
75
Leo Suryadinata, etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, ( Jakarta, PT Kompas
Media Nuasantara, 2010), Op,Cit,hlm.217
37
38
76
(Indria Samego, Perubahan Politik dan Amandemen UUD 1945, Makalah dalam
Seminar dan Lokakarya Nasional ”Evaluasi Kritis Atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945”
yang diselenggarkan Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 8-10 Juli 2002).
77
Soeharto, “Amanat Kenegaraan I,1967-1971 Jilid II,”Inti Indayu
Press,Jakarta,1985,hlm.7
78
Heri Kusmanto,”Desa Tertekan Kekuasaan” Bitra Indonesia,Medan,2007,hlm.10
39
beredar di surat kabar, dan melalui munculnya berbagai acara acara yang
ditayangkan TVRI selaku satu-satunya televisi nasional pada masa tersebut.
Berbagai slogan-slogan propaganda dan segala hal mengenai pencitraan Orde
Baru mengisi berbagai lembaran berita surat kabar maupun tema-tema acara yang
ada pada media televisi. Oleh karena itulah, bisa dikatakan pada masa Orde Baru,
media massa hanya menjadi perantara antara komunikator yang duduk di jabatan
tertinggi pemerintahan sehingga informasi yang beredar pun hanya untuk
sementara itu masyarakat diposisikan hanya sebagai komunikan yang
diinformasikan dengan berbagai propaganda. Pada masa Orde Baru, media massa
sendiri sengaja diatur oleh Soeharto untuk memiliki fungsi ganda. Fungsi yang
pertama dari media massa saat itu ialah menjadi industri yang mampu
mendongkrak kemajuan iklim investasi kearah yang lebih baik. Fungsi yang
kedua dari media massa saat itu di jadikan sebagai corong dari propaganda
kepentingan kekuasaan Orde Baru79
Pada kurun waktu 1982-1984 ada penembakan misterius. Di tahun
tersebut orang-orang yang bertato dan berambut gondrong di tembak secara
misterius, banyaknya peristiwa pada masa Orde Baru Rentang waktu 1997-1998
yang kemudian terjadi kerusuhan mei, dan sebenarnya kontras menyebut itu
bukan suatu kerusuhan melainkan suatau peristiwa Mei 1998, di dalam peristiwa
Mei ini ada keterlibat negara oleh aparat ABRI yang pada saat itu di pakai sebagai
alat kekuasaan oleh penguasa, dan ada juga gerakan-gerakan kelompok
masyarakat yang di bentuk oleh militer. Dan kelompok-kelompok masyarakat ini
lah yang malakukan tindakan kekerasan dan kerusuhan pada Mei
1998.Penjarahan, pemerkosaan yang tejadi pada etnis Tionghoa dan di era 1998
itu juga terjadi penembakan mahasiswa Trisakti, dan penembakan semanggi I dan
semanggi II.80
Tindakan anarkis dan kekerasan yang terjadi pada peristiwa Mei 1998
merupakan puncak dari berbagai kekerasan anti Tionghoa yang terjadi di
Indonesia di masa Rezim Soeharto.Ada berbagai toko, rumah tinggal milik orang-
orang Tionghoa habis di jarah dan dibakar oleh amukan masa pada peristiwa Mei
79
Effendi Gazali,„Communication of P o l i t i c s a n d P o l i t i c s o f Communication in
Indonesia: A Studyo n Me d i a P e r f o r m a n c e ,Responsbility and Accountability‟,Doctoral
Thesis ,Radboud University,2004, hlm.22
80
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta Selasa 06 Februari 2018
40
1998. Akibat dari kekerasan ini masyarakat Tionghoa yang merasa trauma dan
ketakutan dengan berbagai jalan berusaha menyelamatkandiri dengan
meninggalkan seluruh harta bendanya untuk mengungsi di berbagai tempat yang
dianggapnya aman diantaranya adalah Bali, Singapore, Malaysia, Hongkong,
Australia, Eropa bahkan Amerika Serikat. Penyelamatan diri inilah yang
dihembus-hembuskan oleh sebagian orang sebagai “eksodus” dan tindakan
anasional. Jumlah seluruh kerugian diperkirakan mencapai paling sedikit Rp.2,5
Triliun, tiga belas pasar, 2,479 ruko, 40 mall dengan 1.604 toko, 45 bengkel, 387
kantor, 9 SPBU, 8 bus dan kendaraan umum lainya, 1.119 mobil, 821 sepeda
motor dan 1.026 rumah tinggal habis dirusak, dijarah dan dibakar selama
berlangsung aksi anarkis tersebut.81
Pergantian kekuasaan dari rezim otorian ke rezim demokrasi pada tahun
1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia.
Pemerintah kemudian mengelurakan berbagai kebijakan untuk menopang usaha
penyelesain pelanggaran HAM yang tejadi dimasa lalu.Tahun 1998, merupakan
tahun yang sangat bersejarah dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu
syarat dalam sebuah negara yang mengalami proses transisi dari sistem oteriter
menuju ke sisitem demokratis adalah penyelesaian pelanggaran atau kejahatan
yang dilakukan oleh rezim.82Pristiwa Mei 1998 yang merupakan suatu gerakan
reformasi di Indonesia ini dilatar belakangi oleh berbagai faktor, baik politik,
sosial, dan ekonomi.Dari faktor politik, dipicu oleh pengangkatan kembali
Presiden Soeharto menjadi Presiden Indonesia setelah hasil pemuli 1997,
menunjukan bahwa Golkar sebagai pemenang mutlak.Hal ini berarti dukungan
mutlak kepada Soeharto makin besar untuk menjadi Presiden lagi di Indonesia
dalam sidang MPR 1998.Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden
Indonesia kemudian membentuk kabinet pembangunan VII yang penuh dengan
ciri nepotisme dan kolusi.
81
Damar Harsono”May Riots Still Burns Into Victim‟s Minds”dalam The Jakarta Post, Mei
14,200
2 82
Badruzaman Ismail, Pola-Pola damai sebagai solusi penyelesain HAM masa lalu,
dalam http:/www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola-damai.htm, diakses pada tanggal 27
Juli 2017.
41
Dari faktor ekonomi, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena
dampak dari krisis moneter dunia yang berakibat pada merosotnya nilai rupiah
secara drastis. Hal ini diperparah dengan utang luar negri Indonesia yang semakin
memburuk. Keadaan semakin kacau karena terjadinya ketidak stabilan harga-
harga bahan pokok termasuk minyak. Kenaikan harga minyak sendiri kemudian
berpengaruh pada kenaikan tarif angkutan umum. Dari faktor sosial, banyak
terjadinya konflik-konflik sosial diberbagai daerah di Indonesia. Selain itu, krisis
ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada rakyat yang banyak mengalami
kelaparan. Hal ini berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat kepada
pemerintah. Ini beararti bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia
mendorong hancurnya kredibilitas pemerintah Orde Baru dimata rakyat.84
83
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta: Selasa 06 Februari 2018
84
Setiono, Benny G.(2008).Tionghoa Dalam Pusaran Politik.Jakarat:Transmedia Pustaka
hlm.54-56
85
Ibid,hlm. 60
42
88
Jurnal KontraS “Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan”
89
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta: Selasa 06 Februari 2018
44
Isu rasial yang selalu di pakai pada Mei 1998 sering kali terjadi dalam
beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia, bukan isu baru adanya
pengklasifikasian antar etnis yang terjadi di Indonesia. Pola-pola isu rasial terus
berulang di Indonesia hanya saja kemasannya yang di perbaharui seseuai kondisi
dan situasi zaman. Peristiwa ini berpotensi untuk berulang kalau impunitas
kekebalan hukum terhadap pelaku masih terus terjadi persoalan sampai hari ini. 90
90
Feri Kusuma, Wawancara, Jakarta: Selasa 06 Februari 2018
91
Mahfud, Choirul.Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2013,hlm.283
45
92
Dwipayana, G.dan R.K. Hadimadja, Soeharto,Pemikiran,Ucapan dan Tindakan
saya,Jakarta:Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.
93
Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: ELKASA,2002,hlm.105
46
94
Ivan Wibowo (ed), Cokin? So What Gitu Loh!, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hlm.v
95
Ibid,hlm.436
96
Ibid,hlm.5
47
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan mulai diberlakukannya Hari Raya Imlek
sebagai hari libur Nasional sebagaimana Muharam dalam Jawa, agama Konghucu
serta falsafah Tionghoa mulai diakui dalam hidup masyarakat, serta terbukanya
keterlibatan politik praktis bagi warga etnis Tionghoa dalam proses demokrasi
pemerintahan Indonesia.97
Multikulturalisme didefinisikan sebagai pengakuan dan dorongan terhadap
pluralisme budaya, muliti budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk
melindungi segenap warga negara Indonesia. Dalam konsep kenegaraan bangsa
Indonesia, meski pun sudah mulai bernuansa pluralis, dasar kepribumian itu kini
bukan saja di-tujukan kepada etnis Tionghoa, tetapi juga kepada sesame suku
Indonesia sendiri. Misalnya, orang Madura di Kalmantan dianggap bukan pribumi
sehingga mendapat perlakuan yag tidak wajar. Jadi, dampak kepribumian bukan
saja terhadap etnis Tionghoa, tetapi lebih besar lagi bagi negara kesatuan
Indonesia.98
97
Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual
keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat
Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri.Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono,
agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah.berbagai kalangan etnis Tionghoa
mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI.
(http://www.ranesi.nl/tema/masyarakat/etnis_tionghoa_reformasi080731)
98
Eddy Sadeli, wawancara, Jakarta, Sealasa 21 januari 2018
BAB IV
KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE
BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA
99
Nuraini,Soyomukti,Soekarno&Cina,Yogyakarta:Garasi,2002,hlm.304
100
Chaang-Yau Hoon,identitas Tionghoa pasca Soeharto:Budaya,Politik,dan
media,Jakarta:Yayasan Nabil dan LP3ES,2012,hlm.174
49
50
101
Turnomo Rahardja,Kebijkan Pemerintah Tentang Cina dalam Dialog, JLAKP:12
No.2,Mei, c2005,hlm.784
51
102
Semboyan Tan Han Dharma Mangrwa ini dianut dan dipercaya oleh Presiden Soeharto
pada saat itu, karena presiden Soeharto sendiri adalah seorang militer. Semboyan Than Han
Dharma Mangrwa juga diterapkan di bidang militer, sesui dengan maknanya yaitu tidak ada
keragu-raguan, tidak ada kebenaran yang bermuka dua serta senantiasa berpegang dan
berlandaskan pada kebenaran yang satu, kerana didalam militersendiri kesetiaan dan kepercayaan
hanya ada satu yaitu kepercayaan kepada pemimpin. Semboyan Tan Han Dharma Mangrwa ini
diterpkan kepada orang-orang keturunan Tionghoa karena mereka memiliki kesetiaan yang
mendua yiaitu kesetiaan kepada Indonesia, dan juga kepada negrinya Tiongkok.Dengan
diterapkanya semboyan tersebut, maka diharpkan oarng-orang keturunan Tionghoa hanya
mempunyai kesetiaan yang satu yaitu kesetiaan kepada negara Republik Indonesia.
103
Junus Jahja, Non Pri di Mata Pribumi, Jakarta:Yayasan Tunas Bangsa,1991,hlm.224
52
ekslusif yang ingin melihat orang Tionghoa yang bergabung dalam organisasi
masyarakat yang didominasi oleh pribumi. Hal ini bisa dilihat pada tahun 1965,
bahwa keturunan Tionghoa tidak ada yang menjadi pegawai negri atau pegawai
pemerintahaan. Pegawai negri ataupun pegawai pemerintahan mayoritas dipegang
sepenuhnya oleh kalangan pribumi.
Selama 30 tahun masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter, akibat
peraturan yang berlaku pada saat itu, orang Tionghoa tidak dapat melakukan
kegitan apapun di bidang politik. Terjadinya sikap apolitik dikalangan Tionghoa
walaupun sikap yang sama tampak pada hampir semua kelompok orang
Indonesia. Seperti telah diungkapkan oleh beberapa pengamat, orang-orang
Tionghoa mengalihkan kegiatan mereka ke bidang ekonomi, satu-satunya bidang
kehidupan yang masih terbuka bagi mereka. Perlahan-lahan mereka menjadi
merubah diri mnjadi economic animal yang pada giliranya menimbulkan rasa
marah dikalangan no-Tionghoa, sikap apolitik dikalangan Tionghoa telah
membuat diri mereka benar-benar anti politik, dengan sedemikan rupa sehingga
mereka menjauhi segala sesuatu yang bersinggungan dengan politik, sikap anti
politik inilah yang kini tertanam dalam bidang-bidang yang sangat sulilt untuk
diatasai104
Untuk menganalisis letak permasalahan yang dihadapi etnis Tionghoa
dalam sektor Politik di masa pemerintahan Orde Baru terdapat 3 faktor yaitu :
Pertama adalah perkembangan kebijakan pemerintah orde baru yang secara sadar
membangkitkan perbedaan golongan pribumi dan non pribumi. Selain itu
perlakuan khusus secara berabad-abad sebagai golongan penduduk istimewa telah
menumbuhkan di golongan pribumi sikap hidup dan prilaku ekslusif. Namun
perlakuan yang berbeda dari kelompok non pribumi ini hanya diberikan
kebebasan dalan sektor ekonomi tidak dalam bidang seperti (Politik,sosial-budaya
dan Hankam ). Kedua, konsep nation dan character building yang diterapkan
pemerintah memang menimbulkan perbedaan dalam sektor ekonomi pasar untuk
masyarakat Tionghoa sehinggamereka Etnis Tionghoa dapat lebih maju dalam
104
Wibowo I, Setelah Ari Mata Kering „Masyarakat Tionghoa Pada Peristiwa Mei 1998‟,
Jakarta:Kompas,2010,hlm.25-26
53
sector ekonomi. Dan oleh sebab itu perasaan tidak puas akan keadaan ini di
tunjukan oleh masyarakat pribumi yang pada akhirnya membuat pemerintah perlu
campur tangan untuk mengkoreksi mekanisme pasar yang tecantum, di keputusan
Presiden nomor 14A/1982 tentang pelaksaan Anggaran pendapatan dan belanja
negara mengurangi ketimpangan ekonomi antara Pribumi dan nonpribumi. Ketiga,
kasus BAPERKI (BadanPermusyawaratan Indonesia) juga menjadi penghambat
msayarakat Tionghoa untuk berpartisipasi dalam sector politik, dan hal ini
dikarenakan di mmasa orde baru pembentukan kekuatan politik yang didasarkan
ras tidak dapat diterima terlebih organisasi ini memiliki hubungan dengan RRC
(Republik Rakyat Cina) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menginginkan
negara Indonesia menjadi Negara Komunis.105
Di masa itu hampir seluruh masyarakat Tionghoa berorientasi ke tanah
leluhurnya membuat gerakan Pan-Cina. Inilah awal pertama kali masyarakat
Tionghoa mulai mengenal perpolitikan walaupun di masa – masa selanjutnya
gerakan Pra-Cina ini dipecah menjadi 2 bagian yang berhaluan BAPERKI (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan haluan lainyana seperti LPKB
(Lembaga kesatuan Pembinaan Bangsa).106
Dari ketiga faktor tersebut terlihat bahwa kelompok Tionghoa hanya di
berikan keluasaan dalam sector ekonomi oleh pemerintah, walaupun dalam sektor
politik pemerintah memberikan sedikit ruang untuk masyarakat Tionghoa dalam
berpartisipasi di kancah perpolitikan Indonesia. Unsur-unsur yang mendukung
terjadi problematika politik etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru
adalah ketika tahun 50-an, pergolakan politik di banyak Negara Asia Tenggara
lebih diwarnai oleh pertentangan-pertentangan paham/ideologi terbentuknya
kolonialisme dan nasionalisme, terbentuuknya otoritierisme dengan demokrasi,
terbentuknya kapitalisme dengan sosialisme dan komunisme, tetapi dimasa
105
Siswanto Yudohusodo,”kelompok Bisnis Dalam Proses Politik di Indonesia”,dalam
Junus Jahja (ed ),Non Pribumi dimata Pribumi,(Jakarta:Yayasan Tunas bangsa,1990,hlm.242
106
Leo Suradinata, Negara dan etnis Tionghoa,(Jakarta:LP3ES,2002), hlm. 94
54
sekarang pergolakan politik yang terjadi lebih banyak terjadi disebabkan oleh
masalah-maslah ekonomi.107
Selain faktor ekomoni yang mendukung pergolakan politik masyarakat
Tionghoa, yaitu terdapat juga faktor pendukung yang terjadinya problematika
politik etnis Tiongha yaitu masalah pembauran yang tidak dapat diselesikan
pemerintah. Walaupun pemerintah memberikan upaya untuk menyelesaikan
masalah pembaharuan dengan program asimilasi.Tetapi dalam prakteknya
program asimilasi ini mengalami banyak kendala seperti hubungan Pribumi
dengan etnis Tionghoa yang kurang baik.108
Walaupun begitu banyak kendala yang di hadapi, namun selama
pemerintah Orde Baru program asimilasi secara perlahan dapat diterapkan kepada
masyarakat Pribumi atauEtnis Tionghoa. Di samping itu masyarakat Tionghoa
secara perlahan telah mengalami peranaksasian dan Indonesianisasi kerena
kebijakan asimilasi yang di ambil oleh Presiden soeharto dengan kata lain,
walaupun identitas Tionghoa masih bertahan hanya komponen totok-nya yang
semakin berkurang. Selain kebijakan asimilasi yang diterapkan, konsep bangsa
pribumi ( nation ) Indonesia yang ketat (rigid) juga menjadi penghalang bagi
masyarakat Tionghoa terutama peranakan Tionghoa ke dalam wadah bangsa
Indonesia baik dalam bidang ekonomi dan politik yang demokrasi.109
Pengalaman rezim Orde Lama memotivasi Rezim Orde Barumengubah
kebijakan untuk mengatasi permasalahan perihal dominasi etnis Tionghoa di
Indonesia. Namun pergantian pemerintaha Orde Lama tidak serta merta
membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh
etnis Tionghoa di Indonesia. kenyataan yang ada, diskriminasi rasial terhadap
etnis Tionghoa masih saja terjadi dan berlanjut pada masa Orde Baru. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa menjadi masalah yang lebih
serius.Masalah tersebut begitu kompleks bukan hanya mengenai identitas
kebangsaan, tetapi berkaiatan juga dengan permasalahan politik.
107
Emil Salim,”Membina Keselarasan hubungan antara pribumi dan non-pribumi”dalam
junus Jahja,Non Pri dimata Pribumi,(Jakarta:yayasan Tunas Bangsa,1991),hlm. 152
108
Ibid,hlm. 154
109
Leo Suryadinata, Negara dan etnis Tionghoa,(Jakarta:LP3ES,2002),hlm. 20.
55
110
Rahardja.T, Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfullnes dalam Komunikasi antar
Etnis,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005,hlm.787
56
c. Diskriminasi Aksara
Aksara kitab-kitab Konghucu tidak ditulis dalam bahssa mandarin
sehingga diterjemahkan dalam baha Indonesia murni dengan tidak
menampilkan kitab aksaranya.Dahulu tidak diperbolehkan, karena kalau
57
111
Wibowi I dan Tung Ju Lan, Setelah air nata Kering: masyarakat Tinghoa pasca
peristiwa Mei 1998,Jakarta:Kompas,hlm.85
112
Herwiranto M, Klenteng :Benteng Terakhir dan Titik awal perkembangan Budaya
Tionghoa di Indenesia,hlm.83
59
113
Wirawan Yery, Dinamika Ekonomi Politik Awal Orde Baru,Jakrta:Skripsi Program
Studi Sejarah Fakultas sastra Universitas Indonesia,hlm.47
114
Ibid,hlm.38
60
115
I Wibowo, Retropeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Jakarta:PT. Gramedia
Pustaka Utama,1999,hlm.99
116
Yuisum Lien, Prasangka Terhadap Etnis Cina:sebuah intisari evaluasi 33 tahun di
bawah rezim Soeharto,Jakarta:Djambatan,2000,hlm.75
61
117
Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman Berubah, Jakarta:Edisi 16-22 Agustus
2004,hlm.37
62
118
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, (Jakarta:LP3ES,2002),hlm.62.
119
Chirstianto Wibisono,”UpayaMarathon Pembinaan Kesatuan bangsa 1984”dalam Leo
Suradinata(ed),Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, cet 1,
(Jakarta:LP3ES,2005), hlm.343
120
Jurnal Penamas (Jurnal Penelitian Agama dan kemasyarakatan), Islam Di Mata Etnis
Cina,(Jakarta:Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan,1998), hlm.3
63
praktik politik yang tidak pernah dilakukan pada msa pemerintahan sebelumnya
yaitu masa pemerintahan orde lama.Sebelum priode parlementer (1948-1958)
yang berazaskan demokrasi, kebijakan asimilasi sulit dan bahkan tidak mungkin
diterapkan karena asimilasi melawan prinsip-prinsip umum demokrasi. Tetap
demikian, rezim demokrasi terpimpin (1959-1965) yang bersifat semi-otoriter
tetap mempertahankan sejumlah ciri pluarlistik di satu sisi, dan mulai melakukan
praktek integrasi yang mendekati usaha asimilasi disisi lain. Hal ini tercermin
dalam kebujakan pemerintah untuk membatasi pendaftaran di sekolah-sekolah
menengah Tionghoa serta jumlah dan pengelolaan koran Tionghoa.anak-anak
warga negara Indonesia dilarang masuk dalam sekolah-sekolah tersebut dan
sejumlah besar koran asing ditutup. Hal-hal tersebut tidak dapat dikatagorikan
secara hitam-putih bersifat asimilasi, mengingat bahwa tiga pilar budaya
Tionghoa, yaitu pers berbahasa Tionghoa, sekolah-sekolah menengah Tionghoa,
dan organisasi-organisasi etnis Tionghoa masih tetap ada. 121kebijakan asimilasi
menyeluruh baru ditetapkan selama pemerintahan Soeharto pada tahun 1966 –
1998. Soeharto sendiri menyatakan secara jelas bahwa warga negara Indonesia
keturunan Cina harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat
Indonesia asli. Namun, dalam praktiknya seringkali asimilisasi berjalan dengan
kabur dan bertentangan dan bahkan dalam beberapa kebijakan soeharto cenderung
anti asimilasi karena pertimbangan kondisi politis.Sebagai contoh, toleransi
terhadap agama-agama minoritas dan pembedaan antara pribumi dan non pribumi
cenderung malahan memilah, dan bukan mempersatukan etnis Tionghoa dan
orang Indonesia asli. Dengan perkataan lain, etnis Tionghoa tetap terpisah dari
komunitas tuan rumah.
Setelah dikeluarkanya keputusan Presiden No.56/1966 dan intruksi
Presiden No.4/1999 tentang pelaksanaan keputusan Presiden No. 56/1996yang
mengintruksikan tidak berlakunya SKBRI bagi etnis Tionghoa yang menjadi
WNI, SBKRI di cabut. Pencabutan secara nasional ini terinspirasi dari Surakarta.
Ketika Walikota Surakarta, Slamet Suryanto ditengah kesimpamgsiuranantara
121
Dwipayana, G.dan R.K. Hadimadja, Soeharto,Pemikiran,Ucapan dan Tindakan
saya,Jakarta:Citra Lamtoro Gung Persada,1989,hlm.279
64
122
Winara Frans H, „Upaya Penghapusan Praktik Diskriminasi, Khususnya Surat bukti
Kewarganegraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya Undang-Undang No.12 tahun 2006 tentang
kewarganegraan Republik Indonesia‟,Jurnal,hlm.6
65
123
Siswanto Yudo H, Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia,Jakarta: Lembaga Penelitian
Yaysan Padamu Negri,1985,hlm.85
124
Chistiano Wibisiono,‟Merintis Jalan Pemecah Masalah WNI keturunan Tionghoa
(1977),‟ Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002,
Cet,1, (jakarta:LP3ES,2005,hlm.355
125
Leo Surydinata, Negara dan Etnis Tionghoa, (Jakarta:LP3ES,2002), hlm.90
66
126
Istilah Tridharma (3 agama) adalah nama baru dari sam kauw. Tridharma berasal dari
kata Tri dan Dharma.Tri yang berarti “tiga” Dharma yang berarti “ajaran kebenaran”. Jadi
Tridharma berarti “tiga ajaran kebenaran”. Yaitu, Sakyamuni,Budha, ajaran Nabi Khong Hu Cu,
dan ajaran Nabi Lo Cu. Tridharma merupakan agama yang penghayatanya menyatu dalam ajaran
Budhha. Khong Hu CU dan Lo Cu. Ketiga ajaran tersebut sama, tidak dicampur aduk dan tetap
berpegang pada kitab sucu masing-masing. Lihat, www.tionghoa.info.com
67
127
Suryadinata, dalam Wibiwo dan Lan,Op,Cit,hlm.84-85
128
Ajaran konfusianisme yang disampaikan oleh Kong Hu Cu menekankan pada tiga
unsure, yaitu pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, leluhur dan penghormatan terhadap Kong
Hu Cu.Taoisme merupukan ajaran Lao Tze yang mengutamakan kesederhanaan dan ketenangan
dengan tujuan utama tercapainya Wu atau kehampaan. Taoisme mengajarkan mengenai
keseimbangan yang disimbolkan dengan Yin yang. Budhisme merupakan ajaran Budha dari India
dan mengajarkan kepercayaan akan kehidupan setelah kematian dan kelahiran kembali
(reinkarnasi).Lihat:Titiek Sulyati,et al,,Op,Cit,hlm.70.
129
Suryadinata, dalam Wibiwo dan Lan,Op,Cit,hlm.83-85
130
Suryadinata Leo, etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, ( Jakarta, PT
Kompas Media Nuasantara, 2010), hlm. 221
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
Perubahan kondisi politik di Indonesia pasca peristiwa 1965 ditandai
munculnya sosok Soeharto Kemunculan seorang Soeharto pada panggung politik
sebagai pemimpin Orde Baru mampu membuat perubahan yang sangat besar bagi
kondisi Indonesia pasca lengsernya Soekarno. Orde Baru mampu mengendalikan
percaturan politik nasional, dengan berbagai cara dan kebijakan untuk sebuah
kedamaian.Pada periode 1966 hingga 1980, merupakan tahap-tahap bagi Orde
Baru untuk membuat pemerintahannya.Orde Baru adalah membuat rakyat patuh
dan menerima segala hal yang sudah digariskan pemerintah.Pada dasarnya
kebijakan ini bertujuan agar rakyat mengerti dan mampu berpartisipasi dalam
menjalankan program pembangunan yang sudah disusun pemerintah.namun untuk
masalah politik pemerintah tidak member peluang pada rakyat agar dapat
mengerti.Manuver politik yang dilakukan oleh Orde Baru di akhir kekuasaanya
tidak berubah seperti di awal. Lebih terkesan pada politik pencitraan yang
memberikan control ketat pemerintah terhadap rakyat dengan menggunakan
militer, birokrasi, dan Golkar. Orde Baru juga tak segan melakukan tindakan
represif untuk menindak segala gerakan yang bersifat subversif dan berpotensi
mengancam kekuasaannya. Banyak lawan politik Orde Baru yang berakhir
sebagai tahanan politik karena dianggap tidak mau tunduk dan patuh. Lembaga
pers yang sebelumnya kritis berusaha dibungkam dan dijinakkan melalui berbagai
kebijakan yang tentu saja menguntungkan pihak penguasa.Semua yang tindakan
keras dan kontrol ketat tersebut dilakukan Orde Baru dengan mengatasnamakan
stabilitas nasional sebagai prioritas.
Kedua, terdapat banyak hal yang melatar belakangi kebijakan pemerintan
Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, mulai dari menerapkan politik ras atas
68
69
Suryadinata, Leo. 1990. Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai
Yap Thiam Hien, Jakarta : LP3ES
Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok: Komunitas
Bambu.
Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, ed Wasni
Alhaziri, Jakarta : Komunitas Bambu.
Jahja,Junus. 2002. Peranakan Idealis dari lie Eng Hok sampai Teguh karya,
Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.
72
73
Soeharto 1985 “Amanat Kenegaraan I,1967-1971 Jilid II,” Jakarta, Inti Indayu
Press Gazali Effendi 2004, Communication of Politicsand
PoliticsofCommunication in Indonesia: A Studyon Media
Performance,Responsbility and Accountability, Doctoral Thesis Radboud
University.
Rene L. Pattiradjawane, 1999 Trisakti Mendobrak Tirani Orde Baru Fakta dan
Kesaksian Tragedi Berdarah 12 Mei 1998,Jakarta : Grasindo.
Turnomo Rahardja, 2005. Kebijkan Pemerintah Tentang Cina dalam Dialog, JLAKP:12
No.2,Mei.
B. Wawancara
Drs. Eddy Sadeli,S.H, ( Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
Indonesia ), Jakarta,23-01-2018
Feri Kusuma, (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ),
Jakarta, 06-02-2018
C. Sumber Elektronik
Badruzaman Ismail, Pola-Pola damai sebagai solusi penyelesain HAM masa lalu,
dalam http:/www.acehinstitute.org/opini_hbadruzzaman_pola-damai.htm, diakses
pada tanggal 27 Juli 2017.
Lampiran II
Lampiran II : Piagam Asimilasi
Lampiran IV : Keputusan Presiden mengenai Pembentuka
Lembaga Pembinaan Kesatuan bangsas
Lampiran V : Intruksi Presiden dalam Catatan Sipil untuk
Masyarakat Tionghoa
Lampiran VI : Keputusan Presiden mengenai Penambahan
Nama Keluarga Tionghoa
Bangunan Pertokoan Hancur akibat kerusuhan tahun 1998 Sumber Foto : Hujan Sutedj