Anda di halaman 1dari 7

Contoh Kasus Hukum Administrasi Negara

Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar 80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8
kecamatan yang ada di Jakarta Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan
persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran
mengenai garis sempadan sungai.
Sanksi administrasi yang diberikan yang pertama adalah surat peringatan secara berjenjang
namun apabila tidak ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan
tersebut juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir
Bentuk Sanksi Administratif
Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007
yakni Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai
sanksi administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian
perbuatan yang dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi terutama ditujukan kepada
perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut (Siti Sundari
Rangkuti, 2005:217)
Bentuk sanksi tersebut dapat berupa:
· peringatan tertulis;
· penghentian sementara kegiatan;
· penghentian sementara pelayanan umum;
· penutupan lokasi;
· pencabutan izin;
· pembatalan izin
· pembongkaran bangunan
Bentuk pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi pidana
melalui kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu perbuatan tertentu (dalam
hukum administrasi) sebagai perbuatan yang dapat dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana.
Proses kriminalisasi ini dapat diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana
perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat
dilihat sebagai asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan pergeseran peran atau
fungsi pidana dari ultimum menjadi premium remedium yang menyatakan sanksi pidana
hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen hukum lain tidak efektif (asas subsidaritas)
serta pendekatan apabila terdapat perluasan dalam berlakunya hukum pidana.
Victor Situmorang berpendapat bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang
diulang kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada
pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana”

SIDOARJO- Massa pendukung calon bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari,
mendatangi kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, di jalan Letjen Sutoyo,
Medaeng, Waru Sidoarjo. Mereka memberikan dukungan kasus sengketa Pilkada 2013 yang ada
di Kabupaten Pamekasan.
Massa yang menamakan Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Pamekasan (KOMPAS), menuding
KPUD Pamekasan diduga berkonspirasi dengan pasangan incumbent Bupati Pamekasan
Kholilurahman dengan pasangannya.
"Panwas merekomendasikan pasangan incumbent. Tapi mendiskualifisikan Achmad Syafii
berpasangan dengan Khalil Asy'ari, yang mencalonkan diri sebagai Bupati Pamekasan periode
2013-2018," kata Hanafi, salah seorang pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari, kepada
detiksurabaya.com, Selasa (27/11/2012).
Tidak hanya itu, lanjut Hanafi, KPUD juga mencabut penetapan calon bupati pamekasan. Dan
justru kini membuka pendaftaran baru untuk para calon yang mau maju sebagai bupati periode
2013-2018. Tapi, pendukung dari mantan Bupati Pamekasan Achmad Syafi’i dan Khalil Asy'ari
(ASRI) dari partai Demokrat, PPP, PKS dan Hanura cukup menyesalkan sikap Panwaslu
Pamekasan.
Dinilai tidak fair dalam pendaftaran calon bupati pamekasan saat ini karena, pasangan
Kholilurahman dengan pasangannya saat ini Masduki yang tidak mempunyai ijazah bisa
meloloskannya jadi calon incumbent.
"Pasangan incumbent tidak mempunyai ijazah, justru diloloskan untuk maju kembali
mencalonkan bupati pamekasan periode 2013-2018. Tapi yang mempunyai ijazah yakni Achmad
Syafii dan Khalil Asy'ari, justru didiskualifikasi. Lantaran nama Khalil tidak sesuai dengan yang
ada di ijazah mulai tingkat MI, MTS dan MA bernama Halil," terang koordinator KOMPAS.
Namun, nama tersebut sudah diganti, masih kata Hanafi, setelah Halil maju mencalonkan diri
sebagai legislative jadi Khalil Asy’ari yang kini jadi ketua DPRD kabupaten Pamekasan. Dan
sudah dinonaktifkan untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil bupati berpasangan dengan
Achmad Syafi’i.
"Makanya dengan ketidak fairnya dalam pemilihan kepala daerah Pamekasan, masyarakat dari
pendukung Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN
Surabaya," tandasnya.
Secara terpisah, M. Sholeh kuasa hukum dari pasangan Achmad Syafii dan Khalil Asy'ari yang
sudah mengajukan gugatan terhadap KPUD Pamekasan di PTUN Surabaya, meminta agar
bersikap adil. Karena, kliennya itu mempunyai ijazah yang asli dan dikeluarkan oleh Kanwil
Departemen Agama Jatim waktu itu.
"Makanya kita menggugat KPUD Pamekasan ke PTUN dengan nomor 144/G/2012/PTUN.Sby.
yang isinya dan intinya agar PTUN Surabaya meloloskan pasangan Achmad Syafii dan Khalil
Asy'ari," kata M. Sholeh singkat kepada detiksurabaya.com. (bdh/bdh) Selasa, 27/11/2012 13:55
WIB

ANALISIS
Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih
sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah: (g)
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan
umum”.
Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat
diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di
pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana,
bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk
digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum
yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang
menjadi obyek perkara dalam PTUN.
Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun
2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua
tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil
Pemilihan Umum. Pada butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g
UU PTUN, maka keputusan atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha
Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut
SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil
pemilihan umum, haruslah diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan
pemilihan umum.
Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak
memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh
badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal
pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi
putusan pengadilan. Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling
kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004
sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan
termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali
mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi
SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8
Tahun 2005. Bahkan materi SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi
SEMA No. 8 Tahun 2005.
Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai
hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-
keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai
keputusan di bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut
memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap
menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.
Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa
PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di
daerah berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan
hukum, termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek
gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon
menjadi Calon Tetap. Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan
KPUD dalam verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan
Calon melalui PTUN. Harapannya, PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat
mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada.
Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa
persoalan penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah
mekanisme penerapan tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara
Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan
hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara’. Dalam perkara No.
51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa
terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam perkara Pilkada.
Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang
Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui verifikasi yang cermat
dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni
setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang
waktu mengingat Penggugat baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK
itu setelah pelantikan berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.
Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila
melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini
menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam
tenggang waktu namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan
penetapan pasangan yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan
pemilukada. Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya
semua tahapan pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya
adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan
terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu
dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.
Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima
tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara,
penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa
Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009
tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan
penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010.
Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak
ketiga baru merasakan kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan
pasangan pemenang.
Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi
penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim
juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan
kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara
mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).
Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN
menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila
dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya
ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut
adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972
tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak
dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973
(Marbun: 171).
Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah
KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan
bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu
diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan
yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak
ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak
mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian
mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga
yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan
dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.
Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu
menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya
dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya
dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang
sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan
Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya
ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya
dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya
dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah
selesai.
Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa
kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa
anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD
Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut
berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan
KPUD menjadi titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang
dirugikan. Padahal informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan
pilkada sudah selesai.
Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang
waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin
banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa
politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian
berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang
cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.
Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak
setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik
seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55
merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi
KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa
politik seperti pemilihan umum diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu
relatif singkat.
Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini
jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke
Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil
pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana
pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan
jangka waktu gugatan sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak
terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang
sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN
bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima
Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan
tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang
waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi
generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi
konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus
yang berlaku.
Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara
hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum.
Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya
kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian
hukum yang cepat-- ketentuan tenggang waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam
sengketa pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus
mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu
atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan
KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan
.
Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap
memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan
pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55
UU PTUN amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN
Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena
ada calon yang semestinya tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut
calon yang dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda
(schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru
diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur”
dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi.
Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi
wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya
dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha
negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap
persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan
atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan
hasil penghitungan suara.
Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan
apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu
menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada.
Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap
melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan
terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami
secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan
eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.

D. Kesimpulan
m Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Mawardi
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun
2010 tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan
hukum acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul
adalah penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad.
Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan
pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat
terjadi karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila
dihubungkan dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan
kepastian hukum.
Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan
akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun
apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih
berlaku.
Problem Tenggang Waktu UU PTUN dalam Penyelesaian Perkara Pilkada oleh Irvan Maward
Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex
specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam
pasal 55 harus memberikan ruang khusus bagi kasus sengketa pemilukada.

Anda mungkin juga menyukai