Anda di halaman 1dari 3

Di kucilkan

Setelah kepala desa selesai memberi pejelasan, warga desa yang tadi menolong kami satu persatu
kembali kerumah masing masing. Tinggallah kami bertiga dan keluarga kepala desa lagi. Istri
kepala desa mengajak ibu untuk kebelakang, sambil menggendong adik dan menuntun tanganku.
Sampai di belakang kami di suruh untuk mandi, handuk dan pakaian ganti sudah di siapkan di
atas bale di depan kamar mandi. Ibu membantuku melepas seluruh pakaian, air mata ibuku
kembali turun saat melihat tubuhku yang penuh garis merah dan beberapa luka lebam. Ibu juga
melepas pakaian adik dan segera memandikan kami.

“Aaaagh !, huhuhu….”Aku menjerit kesakitan saat bulir air menyentuh lukaku.

“Sabar nak, kita bersihkan dulu lukanya biar gak infeksi dan cepat sembuh”

Ibu kembali mengguyurkan air ke tubuhku, mengosok busa ssabun ke seluruh tubuhku dan
membilas nya dengan air sampai bersih. Aku terus menangis dan berteriak menahan sakit
sepanjang dimandikan. Adikku yang tidak tahu apapun ikut menangis meliaht aku menangis.

Ibu mengeringkan tubuhku dan adik dengan handuk, mengoles minyak hangat lalu memakaikan
kami baju yang sudah di sediakan. Lalu mendudukkan kami berdua diatas bale dan meminta
kami menunggu selama ibu mandi.

Ibu keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah berganti dengan pakaian bersih.
Setelah kami bertiga rapi, ibu mengajakku dan adik masuk kembali keruang tengah. Ibu
mendudkukan adik di pangkuannya dan memmintakku untuk duduk juga di sebelahnya.
Dihadapan kami telah terhidang nasi dan beberapa lauk. Ibu kepala desa menyendok nasi
kedalam piring lalu memberikannya padaku, sambil mempersilahkan ibu untuk makan.

“Diana, silahkan ambil nasinya. Makanlah dulu, kalian akan menempuh perjalanan yang berat
nanti” Kata beliau.

“iya, bu. Terimakasih banyak” ibu menyendok nasi sambil menunduk.

Ibu makan sambil menyuapi adik. Kami makan dalam diam hanya sekali kali terdengar
rengekan adik karena tidak sabar mintak disuapkan makanan kedalam mulutnya.
Saat kami sedang makan dua orang laki laki masuk keruang tengah, sambil membawa dua buah
bungkusan. Bungkusan itu mereka serahkan ke pada ibu, saat ibu membukanya rupanya berisi
pakaian dan beberapa barang berharga yang di ambil dari rumah kami.

“Terima kasih” ucap ibu pada keduannya.

“Sama sama Diana” Jwab mereka serempak.

“Sudah selesai makannya” Tanya kepala desa

“Sudah, pak”

“Bersiaplah, kita akan segera berangkat”

Ibu berdiri lalu mendekati dan menyalami istri kepala desa.

“Terimakasih, bu. Sudah banyak membantu kami.”

“Sama sama, Diana semoga perjalanan kalian di lancarkan dan kalian bertiga sehat sehat saja”
ucap beliau sambil menyambut tangan ibuku.

Selesai berpamitan, kami bergerak turun dari rumah. Kami akan menempuh perjalanan dengan
berjalan kaki untuk sampai di desa terdekat yang ada jalan rayanya. Setengah jam berlalu kami
sampai di desa yang dituju, kami dibawa ke klinik desa untuk diperiksa. Bidan yang bertugas
mengatakan kalau luka kami tidak ada yang serius, ibu Bidan memberikam beberapa obat berupa
tablet dan sirup untuk ibu dan aku. Katanya obat untuk mengurangi rasa nyeri dan antibiotic.

Keluar dari klinik kami langsung naik ke sebuah mobil yang sudah menunggu dari tadi. Kepala
desa duduk di depan sebelah sopir, dua orang laki laki yang ikut tadi duduk di kursi belakang.
Bangku tengah hanya berisi aku, ibu dan adik.

Butuh Seharian di dalam mobil dengan dua kali istirahat akhirnya sampai di desa asal kami.
Rumah pertama yang menjadi tujuan kami adalah rumah kepala desa. Kepala desa yang
mengantar tadi menyerahkan kami bertiga kepada kepala desa di sini. Di luar rumah kepala desa
sudah banyak orang yang berkerumun. Selesai berbasa basi kami di antar menuju rumah kami.
Melihat kami keluar, terdengar dengungan suara dominan ejekan dari mulut mereka.
“Kasiaha anak anaknya “

“Kenapa pula pakai pulang kemari, ingin merusak ketenangan desa ini!”

“Dasar pembawa sial”

“Hidup nyusahin orang”

“Penjahat tetap penjahat”

“Mau jadi jagoan kali ya, pakai membuat orang lain celaka!”

Kami terus berjalan, tanpa menghiraukan apa pun perkataan mereka. Ibu berjalan menunduk
sambil menggendong adik sementara tangan kanannya membimbing tangan kiriku. Sampai di
rumah, rumah masih terkunci. Tak ada satu pun keluarga yang menunggu kami di rumah, walau
kabar tentang kami sudah lebih dahulu sampai.

Hari beranjak malam, orang orang yang mengantar kami berpamitan untuk pulang. Sekarang
tinggallah kami bertiga, ibu memeluk kami sambil menangis sampai kami tertidur.

Anda mungkin juga menyukai