Anda di halaman 1dari 12

Subscribe to DeepL

Berlangganan ke DeepL
Pro to
Proedit
untuk
this mengedit
document.dokumen ini.
Kunjungi
Visit www.DeepL.com/pro
www.DeepL.com/pro for more
untukinformation.
informasi lebih lanjut.

TRAUMA MASA LALU YANG BURUK

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Pendidikan
Dibina oleh Bapak Agus Wedi

OLEH
MUHAMMAD NABIL AZRAQI
NIM: 230121608778

FAKULTAS PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
OKTOBER 2023

1
BAB 1

PENDAHULUAN:

Masa remaja merupakan salah satu masa transisi dalam kehidupan manusia dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2012). Masa ini merupakan masa yang
rentan dalam rentang kehidupan manusia karena pada masa inilah manusia mengalami
banyak perubahan dan perkembangan, seperti perubahan fisik, psikis, emosi, dan
biologis. Sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang dialami, remaja memiliki
tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan, seperti mampu menerima keadaan
fisiknya, mampu berhubungan baik dengan teman sebaya baik sesama maupun lawan
jenis, mampu memahami peran seksualnya, mencapai kemandirian secara emosional serta
mampu mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual (Manurung, 2011, dalam
Astuti, 2012). Apabila dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan tersebut remaja
mengalami gangguan, maka tumbuh kembang remaja juga akan terganggu.

Menurut WHO (2012), pengalaman negatif di rumah dan di lingkungan sekolah yang
dialami anak dapat berdampak negatif pada perkembangan kognitif dan emosionalnya.
Orang tua yang suportif, kondisi keluarga yang aman dan nyaman, serta lingkungan
belajar yang positif merupakan faktor protektif utama bagi kesehatan mental anak. Risiko
mengalami gangguan kesehatan mental lebih tinggi pada anak yang sering mengalami
konflik keluarga, kekerasan dalam keluarga dan kekerasan oleh anggota keluarga, serta
pengalaman negatif. Dampak yang lebih parah dari pengalaman yang lebih ekstrim
seperti kehilangan orang tua atau orang tua (umumnya ibu) yang menjadi korban
kekerasan, akan menghasilkan risiko trauma yang lebih besar dan memiliki efek jangka
panjang pada kehidupan anak.

Menurut WHO (2018) gangguan kesehatan mental yang paling kronis adalah skizofrenia,
yang merupakan salah satu bagian dari psikosis, dengan prevalensi 21 juta orang dari
populasi dunia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McGrath, Saha, Chant, dan
Welham (2008) menunjukkan bahwa sekitar 100.000 remaja dan dewasa awal di
Amerika Serikat mengalami setidaknya satu episode awal psikosis setiap tahunnya.

2
Sementara itu, di Indonesia sendiri, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun
2013, prevalensi gangguan jiwa berat seperti psikosis dan skizofrenia mencapai sekitar
400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk Indonesia, dengan prevalensi
tertinggi terdapat di Aceh dan DI Yogyakarta dengan angka 0,27 per 1.000 penduduk.

Menurut Riskedas (2007), prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi terdapat di provinsi
DKI Jakarta yaitu 20,3%, sedangkan prevalensi nasional adalah 4,6%. Pada tahun 2013,
prevalensi gangguan jiwa di DKI Jakarta menurun menjadi 1,1%, sedangkan prevalensi
nasional adalah 1,7%. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Riskedas pada tahun 2018
terhadap keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa atau
skizofrenia dari tahun 2013 hingga 2018 menghasilkan data bahwa
Prevalensi nasional meningkat secara signifikan menjadi 7% dan prevalensi DKI Jakarta
meningkat secara signifikan dari 1,1% menjadi prevalensi yang sama dengan prevalensi
nasional yaitu 7% (per mil) (Riskesdas, 2018).

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA:

Tinjauan literatur tentang trauma masa lalu yang merugikan mencakup beberapa bidang,
termasuk:

1. 1. Konsep Trauma
Trauma dalam istilah psikologis mengacu pada keadaan syok dan tertekan yang
disebabkan oleh suatu peristiwa yang tinggal bersama korban untuk waktu yang relatif
lama. Trauma psikis dalam istilah psikologi didefinisikan sebagai kecemasan yang intens
dan tiba-tiba yang diakibatkan oleh peristiwa di lingkungan seseorang yang melebihi
batas kemampuan seseorang untuk bertahan, mengatasi, atau menghindar. Trauma adalah
tekanan emosional dan psikologis yang umumnya disebabkan oleh kejadian atau
pengalaman yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kekerasan. Kata trauma

3
juga dapat digunakan untuk merujuk pada peristiwa yang menyebabkan stres yang
berlebihan. Sebuah peristiwa dapat disebut traumatis jika menyebabkan stres yang
ekstrim dan melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya (Giller, 1999). Orang
dapat dikatakan mengalami Trauma adalah harus mengalami tekanan emosi yang besar
dan berlebihan sehingga orang tersebut tidak dapat mengontrol perasaannya sendiri yang
menyebabkan munculnya trauma pada hampir semua orang (Kaplan dan sadock, 1997).

Sejumlah gejala dapat menjadi ciri khas individu yang memiliki pengalaman traumatis.
Beberapa gejala yang umum terjadi adalah memiliki ingatan menyakitkan yang tidak
mudah dilupakan, mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa traumatis, dan ingatan
akan peristiwa traumatis yang berulang ketika melihat hal-hal yang berkaitan dengan
peristiwa tersebut. Secara kognitif, ingatan akan kejadian traumatis dapat memicu
perasaan cemas, ketakutan yang berlebihan, dan perasaan tertekan (American Psychiatric
Association, 2013). Pada anak, gejala trauma dapat berupa sulit tidur, merasa takut saat
harus tidur sendirian, tidak mau ditinggal sendirian meski dalam waktu singkat, agresif
saat diajak membahas masa lalu, dan marah secara tiba-tiba.

2. Penyebab dan faktor pemicu trauma


Faktor-faktor yang menyebabkan trauma antara lain adalah skizofrenia karena trauma
yang mendalam, banyaknya harta benda yang hancur atau hilang akibat bencana alam,
perempuan memiliki mental yang lebih sensitif dibandingkan laki-laki, kehilangan mata
pencaharian akibat bencana, usia yang belum memasuki tahap remaja memiliki kesiapan
mental yang kurang, kematian atau kehilangan salah satu anggota keluarga, kurangnya
dukungan sosial, kurangnya pendidikan, pernah mengalami kejadian traumatik lainnya,
memiliki gangguan jiwa lainnya, dan kurangnya dukungan dari keluarga dan teman.

3. Dampak trauma pada kehidupan seseorang


Trauma masa lalu dapat mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan, termasuk
dalam bidang pendidikan. Trauma dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
belajar dan berkonsentrasi di sekolah, menyebabkan gangguan kecemasan, dan
menyulitkan individu untuk membentuk hubungan sosial.

4. Upaya untuk mengatasi trauma

4
Upaya untuk mengatasi trauma antara lain dengan mengenali trauma, memaafkan, dan
fokus pada diri sendiri dan lingkungan. Selain itu, perlu ada perhatian khusus dari sekolah
dan keluarga untuk membantu individu yang pernah mengalami trauma di masa lalu agar
dapat belajar dan berfungsi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penelitian Feteliti, et al. (1998, dalam Giardino, Lyn, & Giardino, 2010),
disfungsi rumah tangga adalah masalah yang dialami dalam sebuah keluarga, yang dapat
berupa tinggal bersama anggota keluarga yang memiliki masalah penyalahgunaan zat
(peminum alkohol berat, pengguna narkoba), gangguan jiwa, pelaku kriminal, atau salah
satu dari orang tua (umumnya ibu) yang diperlakukan secara kasar (didorong, dipukul,
ditampar, digigit, dipukul dengan benda tumpul atau dengan kepalan tangan, dilempar
dengan sesuatu) dengan intensitas yang sering atau hampir berulang-ulang, atau pernah
diancam dengan atau tanpa senjata, seperti pisau atau pistol.
Dalam penelitian ini, hipotesis dasar yang sesuai dengan latar belakang dan tinjauan
pustaka yang telah diuraikan sebelumnya adalah sebagai berikut; H0: Tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pengabaian emosional dan disfungsi keluarga sebagai
faktor trauma masa lalu dengan status mental berisiko psikosis pada remaja di Jakarta.
Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara pengabaian emosional dan disfungsi
keluarga sebagai faktor trauma masa lalu dengan status mental berisiko psikosis pada
remaja di Jakarta.

BAB 3

DISKUSI:

Pembahasan ini bertujuan untuk melihat hubungan antara faktor penyebab trauma masa
lalu dengan status mental yang berisiko mengalami gangguan psikosis pada remaja.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif eksplanatori dengan analisis uji korelasi
Spearman's rho dengan jumlah subjek sebanyak 183 orang, yang terdiri dari 91 orang
laki-laki dan 92 orang perempuan dengan kriteria remaja akhir usia 17-24 tahun yang
berdomisili di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan menggunakan
kuesioner. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur faktor trauma masa lalu adalah
kuesioner faktor trauma masa lalu, sedangkan alat ukur yang mengukur status mental

5
yang berisiko mengalami gangguan psikosis adalah skala identifikasi status mental yang
berisiko mengalami gangguan psikosis. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara faktor trauma masa lalu dengan status mental berisiko
gangguan psikosis. Hubungan ini memiliki kekuatan arah yang positif, artinya jika
seseorang memiliki nilai faktor trauma masa lalu yang tinggi, maka risiko untuk memiliki
status mental berisiko juga akan tinggi. Metode Partisipan Populasi dalam penelitian ini
adalah remaja akhir yang berusia 17-24 tahun, belum menikah, dan berdomisili di
Jakarta. Prosedur Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik
survei cross-sectional dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan
data. Alat Ukur Alat ukur variabel Status Mental Berisiko Psikosis diukur dengan
menggunakan Skala Identifikasi Status Mental Berisiko yang dikembangkan oleh
Ambarini (2019) berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Yung, dkk. (2004). Alat
ukur ini terdiri dari 40 item dengan pilihan yang menggunakan skala Likert. Analisis data
penelitian ini menggunakan analisis korelasi Spearman's Rho yang diolah menggunakan
SPSS 22.

HASILPELITIAN:

Uji Reliabilitas Alat Ukur Alat ukur untuk skala identifikasi status mental berisiko yang
dikembangkan oleh Ambarini (2019) terdiri dari 40 item dengan 7 skala respons yang
sangat reliabel (α=0.941). Alat ukur faktor risiko status mental berisiko yang
dikembangkan oleh Ambarini (2019) juga reliabel (α=0.791).

Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas


Alat Ukur N Cronbach's
Alpha
Skala Identifikasi 40 0,941
Status Mental
Risiko Psikosis
(Ambarini, 2019)
Faktor Risiko 33 0,791
Trauma Masa Lalu
(Ambarini, 2019)

6
Analisis statistik deskriptif:
Berdasarkan hasil analisis tersebut, variabel faktor penyebab status mental berisiko
psikosis memiliki nilai maksimum sebesar 111, nilai minimum sebesar 27, dan nilai rata-
rata sebesar 64,43. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 183 responden yang mengisi
kuesioner Faktor Risiko Psikosis dengan 33 item pertanyaan, nilai terendah yang
diperoleh adalah 27 dan nilai tertinggi adalah 111. Untuk distribusi data, nilai skewness
sebesar 0,449 dan nilai kurtosis sebesar -0,531. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data
terdistribusi secara simetris dengan kurva lonceng yang condong ke kanan dan homogen.

Tabel 2. Hasil Analisis Statistik Deskriptif


Faktor Risiko untuk Skala Status Mental
Trauma Masa Lalu Berisiko Psikosis
N 183 183
Nilai Maksimum 111 210
Nilai Minimum 27 Nilai 1
Rata-rata 64,43 Standar 77,47
Deviasi 18,372 37,482
Kemencengan 0,449 0,391
Kurtosis -0,531 0,029

Uji normalitas data Berdasarkan hasil analisis, untuk variabel Skala Identifikasi Status
Mental Risiko Psikosis memiliki sebaran data yang normal (p=0,2). Namun, untuk
variabel pengabaian (p=0.000) dan disfungsi keluarga (p=0.009) dapat dikatakan
distribusi data tidak normal. Penyebab data tidak berdistribusi normal adalah adanya
outlier, yaitu data yang memiliki nilai ekstrim, baik ekstrim tinggi maupun ekstrim ke
kanan, sehingga menyebabkan distribusi condong ke kiri atau ke kanan. Berdasarkan
hasil analisis, jika dilihat dari probabilitas linearitas, dapat diasumsikan bahwa data antara
variabel pengabaian dan disfungsi keluarga dengan skala identifikasi status mental
berisiko berada pada satu garis linear (p=0,000). Jika dilihat dari probabilitas deviasi dari
linearitas, variabel disfungsi keluarga adalah linear (p=0,077). Namun, pada variabel
pengabaian, hubungan antar variabel tidak linier (p=0,001). Dengan demikian, data pada
penelitian ini dapat dikatakan linier karena probabilitas data pada nilai linieritas telah
terpenuhi, yaitu data yang mengikuti garis linier cukup besar.

7
Uji korelasi Dari hasil analisis, diketahui bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang
lemah dan signifikan dengan skala identifikasi status mental yang berisiko psikosis.

D I S K U S I:

Status mental berisiko psikosis adalah salah satu ukuran untuk menunjukkan kondisi
seseorang yang memiliki kerentanan terhadap psikosis sebelum gejala psikosis muncul.
Belum diketahui secara spesifik kelompok usia mana yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami periode ini, namun kejadian paling awal adalah pada masa remaja. Hal
ini disebabkan oleh proses neurodegeneratif dan stres psikososial serta perubahan
hormonal. Di DKI Jakarta sendiri, 7% dari populasi penduduknya atau sekitar 700 ribu
orang mengidap skizofrenia, yang merupakan masalah yang harus segera ditangani.
Penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi beberapa faktor trauma masa lalu yang
dapat mempengaruhi kerentanan seseorang untuk mengalami gangguan jiwa. Penelitian
ini bertujuan untuk memperkaya data dari penelitian-penelitian sebelumnya dengan
menambahkan teori bahwa faktor penyebab trauma masa kecil tidak hanya berupa
kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan menjadi korban perundungan, namun faktor lain
seperti pengabaian emosional dan disfungsi keluarga yang dialami seseorang sebelum
usia 17 tahun juga dapat menyebabkan trauma di masa lalunya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pengabaian emosional dan disfungsi
keluarga sebagai faktor trauma masa lalu dengan status mental yang berisiko mengalami
psikosis. Inilah hipotesis yang mendasari penelitian ini. Sebelum melakukan uji analisis,
data perlu diuji asumsi terlebih dahulu, yaitu uji normalitas dan linearitas. Uji asumsi
pada penelitian ini menemukan bahwa distribusi data tidak normal, tetapi linier.
Berdasarkan hasil uji normalitas tersebut, akhirnya menentukan teknik statistik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik statistik non parametrik uji korelasi
Spearman's rho. Dari hasil uji analisis tersebut, koefisien korelasi antara status mental
berisiko dengan trauma masa lalu cenderung lemah dan positif. Hubungan positif yang
dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor pada faktor
trauma masa lalu yang dialami seseorang, maka semakin tinggi pula kerentanan
seseorang untuk berada pada status mental berisiko psikosis. Hasil analisis ini didukung
oleh teori dari WHO (2018) yang menyatakan bahwa pengabaian dan disfungsi dalam
keluarga yang merupakan bagian dari faktor penyebab kesulitan masa kecil atau
pengalaman traumatik yang didapatkan seseorang di masa kecilnya dapat dikatakan
8
sebagai faktor penyebab trauma di masa lalu yang dapat menyebabkan kerentanan
seseorang untuk memiliki status mental beresiko mengalami gangguan psikosis di masa
remajanya. Anak yang mengalami trauma di masa lalunya akan mengalami kesulitan di
masa remajanya karena kurangnya persiapan untuk menjalani proses perkembangan
sehingga dapat menyebabkan fungsi-fungsi yang ada pada dirinya tidak berkembang
dengan optimal, seperti fungsi sosial, kognitif, dan afektif (Cristobal-Narváez, dkk.,
2016). Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin
laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memiliki status mental berisiko
psikosis. Hal ini dapat didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya yang menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi
untuk mengalami gejala skizofrenia dibandingkan dengan perempuan. Temuan ini dapat
digunakan sebagai intervensi dini sebelum seseorang menunjukkan gejala skizofrenia
agar dapat ditangani dengan baik sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
kemungkinan individu tersebut untuk melanjutkan gejala yang ada pada dirinya menjadi
gangguan yang lebih berat.

BAB 4

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI:

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pengabaian emosional dan disfungsi keluarga sebagai faktor penyebab
trauma masa lalu dengan status mental berisiko gangguan psikosis pada remaja akhir di
Jakarta dengan arah hubungan yang positif, dengan demikian dapat dilihat pada hasil
penelitian ini bahwa ketika seseorang mengalami trauma di masa lalunya, maka individu
tersebut juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami status mental berisiko
gangguan psikosis. Oleh karena itu, rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menangani
hal ini adalah perlunya perhatian khusus dari pihak sekolah dan keluarga untuk
membantu individu yang mengalami trauma masa lalu agar dapat belajar dan berfungsi
dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, individu yang mengalami trauma
masa lalu perlu mengenali trauma dan memaafkan penyebab trauma tersebut serta
mengembalikan kepercayaan diri.

9
DAFTAR PUSTAKA

Arciniegas, D. B. (2015). Psikosis. Neurologi Perilaku dan


Neuropsikiatri, 715-736.
Arnett, J. J. (2006). Masa remaja G. Stanley Hall: Kecemerlangan
dan omong kosong. History of Psychology, 9(3), 186-197.
https://doi.org/10.1037/1093-4510.9.3.186
Astuti, H. P. (2012). Buku Ajar Asuhan Kebidanan I (Kehamilan).
Edisi ke-2. Yogyakarta: Rohima Press.
Cornblatt, BA, Carrión, RE, Addington, J., Seidman, L., Walker,
EF, Cannon, TD, ... Lencz, T. (2012). Faktor risiko psikosis:
Gangguan fungsi sosial dan peran. Schizophrenia Bulletin, 38(6),
1247-1257. https://doi.org/10.1093/schbul/sbr136
Cristóbal-Narváez, P., Sheinbaum, T., Ballespí, S., Mitjavila, M.,
Myin-Germeys, I., Kwapil, TR, & Barrantes-Vidal, N. (2016).
Dampak Pengalaman Masa Kecil yang Merugikan pada Gejala
Seperti Psikotik dan Reaktivitas Stres dalam Kehidupan Sehari-hari
pada Orang Dewasa Muda Nonklinis. PloS One, 11(4), e0153557.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0153557
Fusar-Poli, P., Broome, MR, Matthiasson, P., Woolley, JB,
Mechelli, A., Johns, LC, ... McGuire, P. (2011). Fungsi prefrontal
pada saat presentasi berhubungan langsung dengan hasil klinis pada
orang yang berisiko sangat tinggi mengalami psikosis. Buletin
Skizofrenia, 37(1), 189-198. https://doi.org/10.1093/schbul/sbp074
Giardino, AP, Lyn, MA, & Giardino, ER (2010). Panduan Praktis
untuk Evaluasi Kekerasan Fisik dan Penelantaran Anak. New York:
Springer.
Margaretha, M., Nuringtyas, R., & Rachim, R. (2013). Trauma
Masa Kecil Akibat Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Kekerasan
dalam Hubungan Intim Selanjutnya. Makara Kajian Perilaku
Manusia di Asia, 17(1), 33. https://doi.org/10.7454/mssh.v17i1.1800
McFarlane, WR (2011). Pencegahan Episode Pertama Psikosis.
Psychiatric Clinics of North America, 34(1), 95-107.

10
https://doi.org/10.1016/j.psc.2010.11.012
McGorry, P. D., & Singh, B. S. (1995). Tanpa judul. New York:
Elsevier Ltd.
McGrath, J., Saha, S., Chant, D., & Welham, J. (2008). Skizofrenia:
Tinjauan ringkas tentang insiden, prevalensi, dan kematian.
Epidemiologic Reviews, 30(1), 67-76.
https://doi.org/10.1093/epirev/mxn001
Rahmah, M. (2018). Hubungan Trauma Masa Kecil dengan Status
Mental yang Berisiko Mengalami Gangguan Psikosis pada Remaja.
Universitas Airlangga.
Riskesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar 2018. Dalam Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. https://doi.org/1 Desember 2013
Santrock, J. M. (2012). Life-Span Development (Perkembangan
Masa Hidup). Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Stevens, JR, Prince, JB, Prager, LM, & Stern, TA (2014). Gangguan
Psikotik pada Anak dan Remaja: Primer tentang Evaluasi dan
Manajemen Kontemporer. Pendamping Perawatan Primer untuk
Gangguan SSP, 16(2).
Stevens, JR, Prince, JB, Prager, LM, & Stern, TA (2014). Gangguan
Psikotik pada Anak dan Remaja: Primer tentang Evaluasi dan
Manajemen Kontemporer. Pendamping Perawatan Primer untuk
Gangguan SSP, 16(2).
Varese, F., Smeets, F., Drukker, M., Lieverse, R., Lataster, T.,
Viechtbauer, W., ... Bentall, R. P. (2012). Kesulitan di masa kecil
meningkatkan risiko psikosis: Sebuah meta-analisis dari studi kohort
pasien-kontrol, prospektif dan cross-sectional. Schizophrenia
Bulletin, 38(4), 661-671. https://doi.org/10.1093/schbul/sbs050
Organisasi Kesehatan Dunia. (2012). Berinvestasi dalam Kesehatan
Mental. Diperoleh pada 7 Maret 2019, dari
https://www.who.int/mental_health/mhgap/risks_to_mental_health_
EN_2 7_08_12.pdf
Organisasi Kesehatan Dunia. (2018). Pencegahan Kekerasan dan
Cedera. Diperoleh tanggal 9 Oktober 2018, dari
https://www.who.int/violence_injury_prevention/violence/activities/
11
adverse_childhood_experi ences/en/
Yung, AP, & Stanley, PA (1998). Masalah-masalah dalam
Kedokteran Klinis. Sydney: MacLennan and Petty.
Yung, AR, & McGorry, PD (1996). Fase Prodromal dari Psikosis
Episode Pertama: Konseptualisasi Masa Lalu dan Saat Ini. 22(2),
335-370.
https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/4825/8/13.UNIKOM_FIRZA
%20NUR%20CHAERUNISA_BAB%20II.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai