Kelompok 1 Pidana Adat
Kelompok 1 Pidana Adat
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
KECAMATAN RATU AGUNG
MATA KULIAH :
HUKUM PIDANA ADAT
Dosen Pengampuh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2023
HALAMAN PENGESAHAN
PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DI KOTA BENGKULU
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
MENGETAHUI :
Dosen Pengampu Mata Kuliah
Hukum Pidana Adat
i
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
KESIMPULAN.....................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................8
LAMPIRAN..............................................................................................................................9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem hukum penyelesaian sengketa terdiri dari penyelesaian secara litigasi yang
melalui proses peradilan dan non litigasi yang diselesaikan diluar proses peradilan.
Perkembangan penyelesaian sengketa non litigasi hingga sekarang masih pada tataran perkara
perdata yang diakui oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan perkara pidana hanya
secara tersirat dan berkembang di masyarakat terutama pada masyarakat yang menganut
hukum adat. Pengakuan tentang hukum adat ayat 2 Pasal 18B UUD 1945 menyebutkan
bahwa, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-
undang. Pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hakhak tradisionalnya tersebut atau pengakuan yang bersifat semu, secara filosofis
mengandung konsekwensi pengakuan dan penghormatan seluruh tatanan dan institusi
(termasuk peradilan) yang ada dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat . Ketentuan Pasal 5
ayat (1) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat. Hal tersebut
diatas menunjukan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hukum yang mengaturnya yaitu
hukum adat (hukum tidak tertulis) diakui dan mempunyai kedudukan serta dijamin oleh
konstitusi.
Menurut Carl Von Savigny hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke) 2 dengan
1
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000
2
Ibid. hlm. 35
1
kata lain, hukum Indonesia merupakan sistem hukum yang timbul sebagai hasil usaha budaya
rakyat Indonesia yang berjangkau nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat
sejauh batas-batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lahirnya hukum adat dan sanksi-sanksi adat tidak terlepas dari akibat adanya suatu
pelanggaran atau kejahatan yang menurut hukum adat dipandang sebagai kejahatan dan dapat
merusak rasa nyaman, tenteram dan rasa damai dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga
bagi pelaku dan pelanggar tersebut sesuai dengan sanksi adat merupakan suatu balasan atau
pelajaran bagi sipelaku kejahatan supaya tidak mengulanginya lagi, bahkan menurut hukum
adat tidak hanya berguna bagi sipelaku saja tetapi juga berlaku bagi setiap orang supaya tidak
melakukan kejahatan.3
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, berkembang dan tumbuh dalam setiap
kelompok masyarakat sebagai aturan hidup masyarakat yang dipelihara dan ditaati oleh setiap
kelompok masyarakat. Hukum adat tersbut berbeda beda antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain, dan selalu dipertahankan kemurniannya yang merupakan warisan turun
menurun. Hukuman atau sanksi-sanksi adat yang terdapat dalam masyarakat hukum adat
sampai dengan sekarang tetap dijaga dan dipertahankan sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah, norma- norma dan hukum Islam. Di pertahankannya hukum adat tersebut bagi
masyarakat hukum adat sesuai dengan kaidah-kaidah dan aturan dalam Islam, serta prinsip-
prinsip keadilan.4
Keberadaan hukum adat sebagai salah satu komponen substansi hukum, harus diberi
tempat yang wajar dalam pengembangan materi hukum sesuai dengan keanekaragaman sosial
budaya masyarakat. Dalam konsep negara hukum maka kepastian hukum yang adil bukan
saja ditempuh dengan dalil-dalil yang ada dalam Undang-undang, karena indonesia bukan
negara berdasar atas Undang-undang, tetapi juga melihat perkembangan, nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, seperti hukum adat. Demikian pula hukum pidana harus bisa
mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan diakui keberadaanya.
Pada suatu masyarakat tertentu atau suatu kelompok masyarakat penerapan sanksi
hukum adat dipandang lebih efektif dalam menyelesaikan sengketa perkara suatu tindak
pidana yang terjadi dalam masyarakat dibandingkan dengan menyelesaikan melalui jalur
hukum. Masyarakat adat menilai bahwa penyelesaian menggunakan hukum adat lebih
3
Dewi Sulastri, Pengantar Hukum Adat, Bandung: CV Pustaka Setia, 2015, hlm. 4
4
Ibid. hlm. 10
2
menitikberatkan kepada penyelesaian secara kekeluargaan, yang bertujuan bukan untuk
mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah akan tetapi untuk menimbulkan rasa
keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat. Pengunaan sanksi hukum adat tersebut
diharapkan dapat memulihkan kembali keadaan seperti semula di dalam masyarakat yang
mengalami peselisihan.
Penggunaan sanksi hukum adat di beberapa wilayah masih tetap digunakan untuk
menyelesaikan suatu perkara pidana yang terjadi di dalam masyarakat, salah satunya adalah
hukum adat dikecamatan ratu agung. Di wilayah hukum adat Kecamatan ratu agung
penggunaan sanksi adat masih tetap diberlakukan di dalam masyarakat oleh fungsionaris
adat,untuk menyelesaiakan suatu pelanggaran dalam masyarakat.
Tak luputpun di Bengkulu juga masih banyak yang menyelesaikan perkara melalui
hukum adat yang diselesaikan oleh fungsionaris adatnya, dan hal yang sering diselesaikan
adalah permasalahan asusila yang dilakukan namun saat ini belum adanya dan belum terlihat
cara efektif dalam menyelesaikan perkara secara adat maka dari itu inilah tujuan penelitian
ini dibuat untuk melihat lebih lanjut permasalahan adat yang ada dan cara efekti dalam
penyelesainya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
dapat dikatakan bahwa para fungsionaris lembaga adat dalam menjalankan fungsinya
sebagai mediator, meliputi dua bidang hukum dimaksud. Hal ini berbeda dengan mediasi
menurut sistem hukum nasional, dimana penerapan mediasi hanya untuk sengketa-sengketa
di bidang hukum perdata saja. Seiring dengan perkembangan zaman peran dan fungsi
fungsionaris adat tidak lagi hanya sebatas ruang lingkup hukum perdata tetapi sudah bergeser
kearah ruang lingkup hukum pidana,hal ini dibuktikan dengan adanya hukum pidana adat.
Peran fungsionaris lembaga adat sangat menentukan keberhasilan suatu penyelesaian
sengketa, termasuk sengketa pertanahan. Dengan kalimat lain, keberhasilan penyelesaian
sengketa pertanahan antar warga masyarakat dalam suatu masyarakat hukum adat sangat
bergantung pada kemampuan, kecerdasan para fungsionaris lembaga adat dalam melakukan
mediasi sengketa tersebut.
Upaya yang diperlukan untuk memperkuat kedudukan dan peran lembaga adat dalam
penyelesaian sengketa adalah memperjelas kedudukan dan peran lembaga adat. Putusan
lembaga adat biasanya dilaksanakan secara sukarela oleh masing-masing pihak dan tidak
menuntut proses eksekusi sebagaimana dalam putusan pengadilan. Tidak dilakukan keberatan
terhadap putusan lembaga adat, sebab biasanya keputusan dibuat berdasarkan kesepakatan
para pihak, jika masih ada pihak yang belum bersepakat maka keputusan belum akan diambil.
Sanksi yang ditetapkan oleh lembaga adat lebih banyak berupa sanksi sosial, misalnya
sengketa yang terjadi menjadi “buah bibir” masyarakat, sehingga para pihak merasa malu dan
ini merupakan salah satu efek jera yang dapat ditimbulkan oleh sanksi sosial tersebut. Pada
umumnya implementasi atau eksekusi dari pemutusan lembaga adat di umumkan secara
terbuka kepada warganya secara lisan melalui tokoh- tokoh yang terlibat menyelesaikan
perkara/ sengketa, dan tokoh adat lain yang memiliki hubungan klen atau warganya masing-
masing.
Peran para fungsionaris adat dalam penyelesaian sengketa pada lembaga adat di
kecamatan ratu agung ini adalah untuk menjadi pihak penengah dalam penyelesaian
sengketa. Dalam hal ini lembaga adat berwenang untuk memanggil para pihak yang
bersengketa,. Setelah itu melakukan perundingan untuk menyelesaikan sengketa diantara
mereka. Dalam penyelesaian sengketa ini juga dibicarakan mengenai sanksi yang ditetapkan
4
bagi pihak yang bersalah. Sanksi ini besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari kedua
belah pihak yang bersengketa. Untuk sengketa yang tidak terlalu berat maka peran dari
fungsionaris adat hanya menasehati agak perbuatan yang menjadi sengketa tidak diulangi.
Tetapi jika pelanggarannya berat maka dalam ini ada sejumlah sanksi yang ditetapkan, yang
putusan akhirnya tetap bersadarkan keputusan dari kedua belah pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa secara informal dalam komunitas masyarakat hukum adat lebih
diutamakan melalui jalur musyawarah dengan cara mediasi menurut hukum adat yang dianut
oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Mediasi untuk menyelesaikan sengketa
dilakukan oleh lembaga adat melalui tokoh adat yang duduk sebagai fungsionaris lembaga
adat, dengan demikian para fungsionaris lembaga adat berfungsi sebagai mediator. Dalam
tradisi penyelesaian sengketa menurut sistem hukum adat, peran fungsionaris lembaga adat
itu tidak terbatas pada fungsi mendamaikan saja, tetapi meliputi juga fungsi memutuskan
semua silang sengketa dalam semua bidang hukum tanpa membedakan antara masalah di
bidang hukum pidana atau masalah di bidang hukum perdata. Hal ini dikarenakan bahwa
dalam hukum adat tidak mengenal pembagian hukum. Oleh karena hukum adat tidak
mengenal pembagian hukum, maka istilah “sengketa” dapat meliputi perkara perdata maupun
perkara pidana.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Datuk Kasman , hampir seluruh sengketa dapat
diselesaikan oleh petugas adat di kecamatan ratu agung, seperti sengketa adat dan sengketa
pada umumnya seperti masalah asusila, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
perkelahian antara anak muda yang biasanya disebabkan oleh kesalahpahaman, serta
sengketa mengenai batas tanah, sengketa terkait dengan perkawinan misalnya terkait
pembatalan pertunangan, cekcok suami isteri, dan masalah perceraian.
Secara sosiologis, lembaga adat diakui masyarakat dan menjadi prioritas dalam
mengatur dan menyelesaikan segala persoalan di masyarakat. Penyelesaian melalui lembaga
adat lebih efektif, karena suatu lembaga adat tumbuh berdasarkan nilai yang hidup
dimasyarakat dan sudah diakui dan dianut secara turun temurun.
Penyelesaian melalui lembaga adat memiliki karakter yang fleksibel. Struktur dan
norma bersifat longgar untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial. Penyelesaian sengketa
melalui lembaga adat mengandalkan otoritas dan legitimasi lokal. Penyelesaian sengketa
melalui lembaga adat adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar jalur litigasi
5
(luar peradilan). Maka jika alternatif ini tidak berhasil, maka dapat dilakukan dengan
alternatif lain, misalnya konsultasi, jasa baik, arbitrase, dan jika semua alternatif tersebut juga
tidak berhasil, maka dapat dilakukan dengan jalur pengadilan sebagai alternatif terakhir.
Penyelesaian melalui lembaga adat dapat mencakup beberapa bidang hukum, yaitu hukum
privat (perdata), pidana dan tata negara.
Ini berarti institusi peradilan adat, tidak hadir dengan misi utama untuk menjadi sarana
pemaksa. Peran mediator untuk rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak, melalui proses
penemuan putusan yang melegakan semua pihak, termasuk masyarakat umum dari
komunitasnya yang tidak terkait langsung dengan kasus tersebut merupakan ciri penting dari
mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga adat.
Proses penyelesaian sengketa melalui fungsionaris adat di kecamatan ratu agung adalah
6
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Di wilayah Kecamatan Ratu Agung, sengketa yang bisa diselesaikan melalui fungsionaris
adalah hampir seluruh jenis sengketa, kecuali untuk sengketa yang merupakan tindak pidana
berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan. Penyelesaian melalui lembaga adat dapat
mencakup beberapa bidang hukum, yaitu hukum privat (perdata), pidana dan tata negara.
Untuk penyelesaian melalui mekanisme mediasi. Dalam hal ini maka putusan lembaga adat
bersifat final. Pada umumnya implementasi atau eksekusi dari putusan lembaga adat di
umumkan secara terbuka kepada warganya secara lisan melalui tokoh- tokoh yang terlibat
menyelesaikan perkara/ sengketa. dan tokoh adat lain yang memiliki hubungan klen atau
warganya masing-masing. Dari hasil penelitian, model penyelesaian sengketa yang
digunakan oleh masyarakat adat kecamatan Ratu Agung adalah secara mediasi dan
musyawarah. Berdasarkan uraian diatas maka berdasarkan analisa peneliti, mediasi yang
dilakukan oleh tokoh adat merupakan mediasi dengan tipe mediator jaringan sosial. Karena
mediator dalam penyelesaian sengketa adat adalah orang yang dikenal oleh para pihak yang
bersengketa yaitu tokoh adat mereka yang dalam hal ini disebut dengan datuk rajo.
7
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, M., dkk. Panduan penulisan Tugas Akhir Semester Untuk Sarjana Hukum (S1).
Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. 2019.
Hasil Wawancara Bersama Fungsionaris Adat Kecamatan Ratu Agung Kelurahan Sawah
Lebar pada 21 Mei 2023.
8
LAMPIRAN
A. HASIL WAWANCARA DENGAN FUNGSIONARIS ADAT DI KECAMATAN
RATU AGUNG
1. Nama narasumber?
Jawab :Bapak Kasman ( datuk Kasman )
2. Laporan disampaikan kepada siapa? (apakah RT, RW, Fungsionaris adat, lainnya).
Jawab :terlebih dahulu laporan di sampaikan kepada ketua RT setempat, kemudian
laporan tersebut akan di tindak lanjuti , terhadap pelaku akan ditanyakan : bagaimana
kemauan dari kedua belah pihak, apakah kasus ini akan di bawa keranah
9
hukum(pidana), atau cukup di selesaikan dengan Adat atau kekeluargaan, ketika para
pihak memilih untuk menyelesaikan secara Adat atau kekeluargaan maka akan di
bawa laporan tersebut dan para pihak yang melakukan pelanggaran tadi ke
fungsionaris Adat sampai kekelurahan, atau para Ketua Adat setempat. Tetapi lain
halnya jika para pihak memilih untuk di bawa kejalur hukum (pidana), maka para
pelaku akan di bawa kepolsek daerah setempat, dan para fungsionaris Adat tidak
berhak untuk campur tangan.
4. Siapakah yang memanggil pihak-pihak (pelaku, korban, orang tua, saksi, lainnya)
Jawab :Perangkat Adat, Melalui Ketua RT setempat.
5. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyiapkan musyawarah adat Rajo
Penghulu?
Jawab :Secepatnya, semakin cepat akan semakin baik, supaya tidak berlarut larut.
*Pertanyaan Tambahan
1. Apakah bapak setuju jika Hukum Pidana dan Hukum adat di sandingkan ?
Jawab :saya kurang setuju, karena hukum pidana dan adat jelas hukum pidana dan
hukum ada tberbeda, dari hal penerapan sanksi, cara penyelesaian, maka dari itu harus
di pisahkan.
11
B. DOKUMENTASI
12
13