Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

DAKWAH PADA “KAUM TIDAK BERTUHAN”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah sosialogi dakwah
multikultural
Dosen Pengampu: Imam Syafi’i M,Kom. I

Disusun Oleh:

FANI : 20221700411019
AINUL : 20221700411006
OWIN : 20221700411023
GANDA : 20221700411015

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PEYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN USHULUDDIN
UNIVERSITAS PESANTREN KH. ABDUL CHALIM

PACET-MOJOKERTO
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan kasih dan sayangnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “DAKWAH PADA KAUM TIDAK BERTUHAN”. Sholawat serta
salam semoga senantiasa tercurahkan kepanda baginda Nabi besar Muhammad SAW
beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu eksis membantu perjuangan
beliau dalam menegakan Dinullah dimuka bumi ini.
Maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat dalam menempuh pendidikan sarjana pada Fakultas Dakwah dan Ushuluddin
Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Pesantren KH. Abdul
Chalim.
Selanjutnya, terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Imam Syafi’I M, Kom.
I selaku dosen pembimbing mata kuliah SOSIOLOGI DAKWAH
MULTIKULTURAL atas bimbingannya. Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan
makalah ini meskipun masih banyak terdapat kekurangan di dalamnya, tentunya
sebagai manusia tidak pernah luput dari kesalahan, kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami
harapkan dalam upaya penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini
dapat memberi manfaat kepada kita semua, Aamiin.

Mojokerto, 5 November 2023

Penulis

‫ا‬
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................‫‌أ‬

DAFTAR ISI..............................................................................................................‫‌ب‬

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................‫‌أ‬

A. Latar Belakang..............................................................................................................‫‌أ‬

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................‫‌أ‬

C. Tujuan Masalah............................................................................................................‫‌أ‬

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................‫‌ب‬

A. Karakteristik Dan Ciri Mad’u Tidak Bertuhan.......................................................‫‌ب‬

B. Dakwah Dengan Menjelaskan Keberadaan Tuhan...................................................‫‌ج‬

a. Rasionalitas yang bijaksana.........................................................................................‫‌ز‬

b. Yang tidak ada mustahil dapat menciptakan sesuatu................................................‫‌ز‬

d. Keterbatasan kemampuan makhluk...........................................................................‫‌ح‬

e. Faktor kebetulan tidak mungkin dapat menciptakan tuhan.....................................‫‌ح‬

f. Beberapa pandangan objektif......................................................................................‫‌ح‬

g. Awal dari segala penyebab...........................................................................................‫‌ط‬

h. Memikirkan ciptaan dapat menentukan Sebagian sifat penciptanya......................‫‌ط‬

BAB III PENUTUP....................................................................................................‫‌ك‬

A. Kesimpulan..................................................................................................................‫‌ك‬

‫ب‬
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa sekarang masih ada saja kaum atau golongan yang tidak
bertuhan,dikarenakan mereka tidak mempercayai adanya tuhan dan kurang
dalam pemahaman agama.

B. Rumusan Masalah
1. Karakteristik dan ciri mad’u tidak bertuhan
2. Dakwah dengan menjelaskan keberadaan tuhan
a. Rasionalitas yang bijaksana
b. Yang tidak ada mustahil dapat menciptakan sesuatu
c. Keterbatasan kemampuan makhluk
d. Faktor kebetulan tidak mungkin dapat menciptakan tuhan
e. Beberapa pandangan objektif
f. Awal dari segala penyebab
g. Memikirkan ciptaan dapat menentukan Sebagian sifat
penciptanya
h. Kebenaran informasi Allah SWT

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui Karakteristik dan ciri mad’u tidak bertuhan


2. Mengetahui Dakwah dengan menjelaskan keberadaan tuhan

‫ا‬
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Dan Ciri Mad’u Tidak Bertuhan
Objek dakwah atau sasaran dakwah dalam bahasa dakwah biasa juga
disebut dengan mad’u kata mad’u ini secara etimologi berasal dari Bahasa
Arab,diambil dari bentuk isim maf’ul (kata yang menunjukkan objek atau
sasaran).Sedangkan pengertian mad’u menurut terminology adalah orang
atau kelompok yang lazim disebut dengan jemaah yang sedang menuntut
ajaran agama dari seorang da’I,baik mad’u itu orang dekat atau jauh, muslim
atau non muslim, laki-laki atau perempuan.
Mad’u (objek dakwah) merupakan individu-individu atau orang-
orang yang memiliki karakter yang berbeda.Agar materi dakwah yang
disampaikan bisa diterima dengan baik,maka pengetahuan tentang mad’u
dengan segala karakternya sangat penting.1
Mad’u tidak bertuhan merujuk pada seseorang yang tidak
mempercayai keberadaan tuhan atau yang tidak mempercayai ajaran agama
tertentu.berikut adalah beberapa krakteristik dan ciri-ciri mad’u tidak
bertuhan:
1. Tidak percaya pada keberadaan tuhan atau ajaran agama
tertentu.
2. Cenderung sceptis terhadap hal-hal yang bersifat metafisikan
atau spiritual.
3. Lebih mempercayai penjelasan ilmiah atau rasional daripada
penjelasan yang bersifat keagamaan.
4. Tidak terlalu memperhatikan atau menghahrgai nilai-nilai
moral atau etika yang dianggap penting dalam agama tertentu
5. Cendnerung menganggap bahwa kebahagiaan atau
keberhasilan hidup dapat dicapai melalui usaha dan Tindakan
manusia sendiri, tanpap campur tangan tuhan atau kekuatan
gaib lainnya.

1
Moh.Ali Azis, Ilmu Dakwah, Edisi Revisi (Cet.2, Jakarta:Kencana, 2009), h. 11.
Asep Muhyiddin Dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah (Cet.1, Bandung: Pustaka
Setia, 2002), h.75.
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Cet. 1, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2011), h. 279.

‫ب‬
B. Dakwah Dengan Menjelaskan Keberadaan Tuhan
Pada dasarnya keyakinan akan keberadaan Allah Ta’ala merupakan
hal yang bersifat naluri atau fitrah. Seseorang tidak perlu berfikir atau belajar
untuk menunjukan keberadaan Allah Ta’ala. Karena pengetahuan tersebut
sudah ada sejak dia diciptakan. Sama hal nya dengan pengetahuan seseorang
bahwa kue yang telah di potong lebih sedikit dari kue yang masih utuh. Atau
pengetahuan bahwasanya suatu perbuatan pasti ada pelakunya.2
Karena hal ini lah para Nabi pun heran ketika musuh-musuh Allah
menolak risalah yang dibawa oleh para Nabi dan mengatakan,
“Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh
menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar
dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak
kami kepadanya” [QS. Ibrahim : 9].
Maka para Nabi pun menjawab, “Apakah ada keragu-raguan terhadap
Allah, Pencipta langit dan bumi?” [QS. Ibrohim : 10].
Maksudnya, apakah keberadaan Allah pantas untuk diragukan?
Sedangkan fitrah dan naluri menusia menyaksikan akan keberadaan Nya? Ini
sesuatu yang tidak mungkin untuk diingkari, sama halnya dengan seseorang
yang mengingkari bahwasanya di atas lebih tinggi daripada di bawah. Atau
mengingkari bahwasanya satu lebih sedikit daripada dua. Semuanya
merupakan fitrah, naluri yang telah Allah tanamkan dalam jiwa setiap orang.
Dalil akal yang menunjukan akan keberadaan Allah sebagai tuhan
pencipta sangat banyak dan bermacam macam bentuknya, namun dalam
tulisan ini hanya akan dicukupkan dengan dua dalil saja, yang mana kedua
dalil ini termasuk dalil akal yang paling kuat untuk menetapkan keberadaan
Allah ta’ala.
Dalil akal yang pertama yang menunjukan keberadaan Allah Ta’ala adalah
penciptaan alam semesta.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa segala ciptaan
mengharuskan adanya yang menciptakan dan segala perbuatan
mengharuskan adanya pelaku. Dikarenakan alam semesta merupakan hasil

2
Bagaimana Akal Menunjukan Keberadaan Allah Ta’ala? (muslim.or.id), diakses pada tanggal 4
november 2023,pukul 10:43

‫ج‬
penciptaan, maka menjadi sebuah keharusan bahwa disana ada Zat yang telah
menciptakannya.
Ketika seorang arab badui ditanya, “bagaimana engkau mengetahui Tuhan
mu?”, dia menjawab, “jejak kaki onta menunjukan adanya onta, jejak
perjalanan menunjukan adanya orang yang melakukan perjalanan, langit yang
memiliki bintang bintang, bumi yang memiliki jalanan yang lapang, lautan
yang berombak, bukankah (semua itu) menunjukan kepada (Zat) Yang Maha
Lembut dan Maha Mengetahui?” [Maarijul Qobul (1/136)].
Ketika Abu Hanifah di tanya oleh orang-orang yang menolak adanya
Allah, beliau berkata, “sebentar, sesungguhnya saya sedang berpikir tentang
suatu hal yang saya telah diberi tahu akan keberadaannya, mereka
mengatakan kepadaku bahwa ada sebuah kapal di lautan yang berisi berbagai
macam barang dagangan, tanpa ada orang yang menjaga dan
mengemudikannya, akan tetapi meskipun begitu kapal tersebut pergi dan
kembali dengan sendirinya menerjang ombak yang besar, sampai selamat
darinya, kemudian kapal tersebut berjalan kemana saja sesukanya tanpa ada
seorangpun yang mengemudikannya” mereka pun berkata, “perkataan
tersebut tidak ada seorang berakal pun yang mengatakannya”
Maka berkata Abu Hanifah Rahimahullah, “celaka kalian! alam
semesta baik yang di atas maupun yang di bahwah dengan segala sesuatu
yang berada di dalamnya dengan kokoh dan teratur tidak ada yang
menciptakannya!” [Ma’arijul Qobul (1/135)].
Setiap hari kita melihat banyaknya hal baru dalam kehidupan kita.
Munculnya janin dalam kandungan yang sebelumnya hanya sperma,
tumbuhnya tanaman yang sebelumnya hanya berupa biji bijian, pohon yang
menjulang tinggi setelah sebelumnya hanya merupakan tanaman kecil, atau
kita sendiri yang lahir ke dunia setelah sebelumnya tidak ada, kemudian
tumbuh dewasa setelah sebelumnya hanya anak anak. Badan yang semakin
lebat, kuku yang semakin panjang, rambut yang semakin lebat.
Semua hal tersebut menunjukan bahwasanya alam semesta ini bersifat
baru. Menjadi ada setelah sebelumnya tidak ada. Dan kesaksian kita melihat
sebagian dari alam semesta ini muncul setelah sebelumnya tiada, sudah
cukup untuk menunjukan bahwa semua hal dalam alam semesta ini berasal
dari ketiadaan.

‫د‬
Selain hal tersebut, keberadaan alam semesta dari ketiadaan juga dibuktikan oleh
ilmu pengetahuan modern. Diantara ilmu pengetahuan modern yang menunjukan bahwa
alam semesta ini bersifat baru, berasal dari ketiadaan dan akan kembali tiada adalah teori
Hukum Termodinamika 2 dan teori Big Bang.
Hukum termodinamika 2 menyatakan bahwa energi panas hanya akan berpindah
dari zat yang memiliki suhu temperatur panas menuju ke zat yang memiliki suhu
temperatur lebih rendah. Artinya energi kalor hanya bergerak menuju satu arah. Sebagai
contoh ketika seekor beruang kutub berada di lautan es, maka kalor dari tubuh beruang
kutub tersebut akan berpindah ke es yang berada di bawahnya, dan tidak akan terjadi
kalor yang berada dari kutub es berpindah ke tubuh beruang tersebut.
Dengan demikian, suhu kalor di dunia ini akan semakin menurun, dan akan ada
satu waktu dimana alam semesta ini kehilangan energi kalor dengan totalitas. Suhu
dingin akan mencapai titik beku, yaitu nol derajat. Pada saat itu tidak akan ada lagi
energi, sehingga mustahil akan adanya kehidupan. Hal ini menunjukan bahwa alam
semesta ini berkaitan dengan waktu. Artinya ada permulaan dan ada akhir dari
keberadaan alam semesta ini.
Adapun teori Big Bang menyebutkan bahwasanya keberadaan alam semesta ini
berasal dari ledakan yang super dahsyat yang terjadi lebih dari lima belas ribu juta tahun
yang lalu. Meskipun hal ini masih bersifat zhan (praduga), belum bisa dipastikan
kebenarannya, namun para ilmuan sudah menjadikannya sebagai salah satu bukti ilmiah
bahwasanya alam semesta ini bersifat baru. Dan mereka para ilmuan telah memberikan
bukti bukti yang sangat banyak yang menunjukan kebenaran teori ini, yang setiap bukti
bisa juga di jadikan dalil tersendiri bahwasanya alam semesta ini bersifat baru, berasal
dari ketiadaan.
Setelah kita mengetahui, bahwasanya alam semesta ini bersifat baru. Dan
kemudian yang baru pasti ada yang menciptakan. Maka pertanyaan, siapakah yang telah
menciptakan alam semesta dari yang tadinya tidak ada menjadi ada?
Jawaban dari pertanyaan ini hanya ada dua kemungkinan; alam semesta sendiri
yang telah menciptakan dirinya sendiri, atau Zat lain di luar dari alam semesta yang
menciptakannya. Secara logika tidak mungkin alam semesta menciptakan dirinya
sendiri. Karena proses penciptaan menghajatkan adanya perbuatan. Sementara jika alam
semestanya belum ada, bagaimana dia akan berbuat? Maka tinggal kemungkinan kedua
yang berlaku, bahwasanya alam semesta ini telah diciptakan oleh Zat diluar dari alam
semesta.

‫ه‬
Kemudian Zat yang di luar dari alam semesta juga ada dua
kemungkian; bersifat baru juga dan berasal dari ketiadaan, atau Zat yang
bersifat azali tanpa permulaan. Jika hal tersebut bersifat baru, maka akan
menghajatkan pencipta yang lain karena dia bersifat baru, jika pencipta lain
yang menciptakannya juga bersifat baru, akan menghajatkan pencipta yang
lain juga, dan begitu seterusnya. Tentu hal ini tidak mungkin, karena akan
terjadi tasalsulul hawadits, yaitu kejadian terus menerus yang tidak ada
ujungnya. Dan jika seperti ini, maka hasilnya tidak akan ada penciptaan sama
sekali. Tidak akan ada alam semesta ini.
Meskipun dalil diatas bersifat akal, namun hal tersebut telah
termaktub di dalam Al Qur’an. Allah ta’ala dalam beberapa ayat dalam Al
Qur’an mengajak manusia untuk berfikir akan penciptaan manusia.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami
telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali?” (QS.
Maryam : 37)
Juga dalam firman Nya (yang artinya): “dan sesunguhnya telah Aku
ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama
sekali.” (QS. Maryam : 9)
Artinya keberadaan manusia setelah sebelumnya tiada menunjukan
keberadaan Allah yang telah menciptakannya.
Begitu juga dengan firman Allah ta’ala (yang artinya): “Apakah
mereka tidak ada yang menciptakan atau apakah mereka menciptakan diri
mereka sendiri?!” (QS. At Thur : 35)
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala mengingatkan kita untuk berfikir
dengan akal sehat kita, bersandarkan kepada hal yang kita ketahui secara
naluri. Bahwasanya penciptaan manusia tidak terlepas dari tiga hal:
1. Manusia tidak ada yang menciptakan, dia ada dengan
sendirinya.
2. Manusia ada karena diciptakan, dan manusia sendirilah yang
menciptakannya.
3. Manusia ada karena diciptakan, dan yang menciptakannya
adalah Zat selain manusia.

‫و‬
Tidak diragukan lagi, bahwa kemungkinan pertama dan kedua adalah sesuatu
yang mustahil. Dan kemustahilannya adalah sesuatu yang sudah terpatri dalam
pikiran manusia, tidak lagi memerlukan dalil. Maka yang tersisa hanya kemungkinan
yang ketiga; bahwa manusia diciptakan oleh Allah ta’ala. Zat Yang Maha Hidup,
Maha Kuasa atas segala sesuatunya, yang telah menciptakan mereka, sehingga layak
untuk diibadahi oleh mereka. (Adhwa’ul Bayan, Muhammad Amin Syinqithi (3/494)
dengan sedikit perubahan.)
a. Rasionalitas yang bijaksana
Rasionalitas yang bijaksana adalah kemampuan untuk berpikir secara logis dan
bijaksana serta memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu dengan nalar.
Rasionalitas dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu rasionalitas tujuan,
rasionalitas nilai, rasionalitas praktis, dan rasionalitas teoretis. Namun, dalam
pengambilan keputusan, orang cenderung berpikir lebih baik menggunakan
rasionalitas daripada emosionalitas. Rasionalitas yang bijaksana dapat membantu
seseorang dalam berbagai situasi, seperti ketika menafsirkan data, meninjau kontrak,
atau mengambil keputusan yang penting.3

Namun, terlalu banyak berpikir rasional juga dapat membosankan dan sulit untuk
merasa terinspirasi, bersemangat, kreatif, tergila-gila, dan gembira. Oleh karena itu,
yang paling bijaksana adalah memadukan rasionalitas dan emosionalitas. Selain itu,
dalam menjalani kehidupan, penting untuk memadukan agama, rasionalitas, dan
kemanusiaan. Dalam mengambil keputusan, seseorang harus bijak dan menunjukkan
sikap rasional dengan menaati prosedur yang ditetapkan oleh ahli kesehatan dan
harus dibarengi dengan kesungguhan berdoa kepada Allah agar menghentikan
musibah.4

b. Yang tidak ada mustahil dapat menciptakan sesuatu


Pertanyaan di atas esensinya satu: Tuhan itu Maha Kuasa, maka bisakah ia
melakukan sesuatu dengan ke-MahaKuasa-annya untuk menganulir ke-
MahaKuasa-an itu sendiri?

Saya membayangkan diri saya adalah Tuhan. Saat pertanyaan semacam itu
diajukan, maka saya akan menjawab, “Bisa” karena memang saya Maha Kuasa.
Namun, bagaimanapun juga saya (Tuhan) adalah pribadi yang sentien
3
https://www.gramedia.com/literasi/rasional/
4
https://www.uii.ac.id/memadukan-agama-rasionalitas-dan-kemanusiaan/

‫ز‬
(apa ya bahasa Indonesianya, bisa berpikir, gitu). Saya akan mempertanyakan,
“Mengapa saya harus melakukan itu? Siapa yang memaksa saya untuk
melakukan itu, karena saya kan Maha Kuat, tidak ada yang bisa memaksa
saya”.

Jadi, Tuhan bisa saja melakukan hal itu, namun Ia tidak akan melakukannya
kecuali Ia punya alasan yang datangnya dari Dia sendiri.

d. Keterbatasan kemampuan makhluk


Manusia adalah mahluk dengan tubuh paling rapuh dan lemah sehingga
memiliki banyak keterbatasan, tetapi dia diberikan karunia otak dengan
kecerdasan yang memiliki banyak kelebihan dan kemampuan yang membuat
manusia bisa melakukan banyak hal serasa tanpa Batasan. Mulai dari
memikirkan ilmu yang tinggi, lalu unjuk gigi hingga unjuk kekuatan dan
kekuasaan. Seakan dirinya adalah mahluk yang paling kuat, bersih dan
sempurna, tanpa batasan.

e. Faktor kebetulan tidak mungkin dapat menciptakan tuhan


Kelahiran setiap manusia bukanlah kebetulan atau berasal dari kekeliruan.
Sekalipun orang tua tidak merencanakan kelahiran seorang anak, tetapi
kehadirannya karena kehendak Tuhan. Sebelum berada dalam kandungan
seorang ibu, setiap anak sudah dalam pikiran dan rancangan Tuhan.

Tuhan sebagai perancang agung, merancang tubuh secara detail bahkan


dengan talenta dan keunikan pribadi yang dimiliki setiap orang. Kapan dan
dimana kita lahir, ras dan kebangsaan yang kita miliki merupakan penetapan
yang memiliki maksud.

Tuhan menciptakan semesta dan manusia karena Ia mengasihi ciptaanNya.


Manusia adalah obyek kasih dari Allah. CintaNya memastikan bahwa
keberadaan kita bukanlah kebetulan. Jika Tuhan tidak ada, maka keberadaan
manusia hanyalah kebetulan belaka. Tidak ada tujuan hidup dan nilai benar dan
salah, dan tidak ada harapan akan kehidupan yang tidak lama berada di dunia ini.

f. Beberapa pandangan objektif


Pandangan objektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri–ciri yang
menciptakan nilai estetik adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada

‫ح‬
bentuk indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya.
Meskipun teori objektif memberikan kerangka yang lebih terstruktur untuk
menilai keindahan, masih ada elemen subjektivitas dalam pengalaman tersebut.
Pengalaman individu, pengetahuan, dan preferensi pribadi tetap berperan dalam
penilaian keindahan.

g. Awal dari segala penyebab


Pertanyaan tentang "awal dari segala penyebab dalam penciptaan Tuhan"
cenderung bersifat filosofis dan teologis. Konsep ini terkait dengan pertanyaan
tentang asal-usul dan sumber dari segala sesuatu, dengan asumsi bahwa ada
kekuatan pencipta yang mendasari eksistensi alam semesta.

Dalam berbagai keyakinan agama, terdapat ide bahwa Tuhan atau kekuatan
ilahi adalah awal dari segala sesuatu, sebagai pencipta yang memiliki otoritas dan
kekuasaan mutlak. Pemahaman tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam
semesta dapat bervariasi di antara berbagai tradisi keagamaan.

Dalam konteks agama Abrahamik seperti Islam, Kristen, dan Yahudi,


konsep penciptaan umumnya ditemukan dalam kitab-kitab suci seperti Al-Quran
dan Alkitab. Pemahaman tentang awal dari segala penyebab sering kali
dihubungkan dengan konsep ketuhanan yang maha kuasa dan maha bijaksana.

Penting untuk diingat bahwa perspektif ini bersifat keagamaan dan melebihi
batas penjelasan ilmiah. Sementara ilmu pengetahuan mencoba menjelaskan
alam semesta melalui prinsip-prinsip ilmiah, pertanyaan tentang penciptaan
Tuhan melibatkan keyakinan dan aspek keagamaan yang tidak selalu dapat
dijelaskan secara empiris atau rasional sesuai dengan paradigma ilmiah.

h. Memikirkan ciptaan dapat menentukan Sebagian sifat penciptanya


Pertanyaan ini membawa kita ke dalam ranah filsafat dan pertimbangan
teologis. Konsep bahwa ciptaan mencerminkan sifat penciptanya telah muncul
dalam berbagai tradisi keagamaan dan filosofis. Beberapa keyakinan atau
pandangan menyatakan bahwa sifat dan karakteristik ciptaan mencerminkan sifat
dan karakteristik pencipta.

Contoh dari perspektif agama adalah keyakinan dalam agama Abrahamik


(Yudaisme, Kristen, dan Islam) bahwa manusia diciptakan "menurut gambar dan

‫ط‬
rupa Allah." Ini diartikan oleh banyak orang sebagai manusia memiliki sifat-sifat
seperti keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan, yang dianggap sebagai sifat-
sifat Allah.

Dalam konteks sains dan filsafat, ide bahwa sifat ciptaan mencerminkan
sifat pencipta dapat dijelaskan dengan pandangan bahwa alam semesta dan
segala isinya.

i. Kebenaran informasi Allah SWT

Pertanyaan mengenai kebenaran informasi Allah SWT melibatkan aspek


keagamaan dan keyakinan. Dalam kebanyakan tradisi agama, Allah SWT
dianggap sebagai sumber kebenaran mutlak dan pengetahuan yang sempurna.
Keyakinan ini biasanya didasarkan pada teks-teks suci, seperti Al-Qur'an dalam
Islam, yang dianggap sebagai wahyu langsung dari Allah SWT.

Dalam Islam, keyakinan terhadap kebenaran informasi Allah SWT


mencakup pemahaman bahwa segala sesuatu yang terkandung dalam Al-Qur'an
adalah kebenaran mutlak. Al-Qur'an dianggap sebagai petunjuk hidup yang
mengandung hukum, etika, dan ajaran-ajaran spiritual. Dalam kepercayaan
Islam, Allah SWT juga dianggap sebagai Maha Mengetahui, Maha Bijaksana,
dan Maha Kuasa, sehingga setiap informasi yang berasal darinya dianggap benar.

Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan ini bersifat keagamaan dan
bersifat keyakinan, dan berbagai agama memiliki keyakinan masing-masing
terkait dengan kebenaran informasi Allah SWT. Beberapa orang mungkin
memiliki keyakinan yang berbeda-beda terkait dengan pemahaman akan
kebenaran informasi ilahi, dan ini dapat mencerminkan keragaman keyakinan di
antara umat manusia.

‫ي‬
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dakwah kepada kaum yang tidak beriman kepada Tuhan merupakan suatu usaha
untuk menyampaikan ajaran agama atau keimanan kepada mereka. Kesimpulan dari
dakwah ini dapat bervariasi tergantung pada tujuan dan pendekatan yang diambil
oleh individu atau kelompok yang melakukan dakwah. Berikut beberapa
kemungkinan kesimpulan yang dapat diambil:

1. **Harapan Konversi:** Salah satu tujuan utama dakwah adalah untuk


mengajak orang-orang yang tidak beriman kepada Tuhan agar memahami,
menerima, dan akhirnya mengikuti ajaran agama yang disampaikan.
Kesimpulan yang diharapkan adalah konversi mereka menjadi penganut agama
tersebut.

2. **Peningkatan Pemahaman:** Meskipun konversi mungkin tidak selalu terjadi,


dakwah dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan orang-orang terhadap
nilai-nilai keagamaan dan moral. Kesimpulan positif dapat diambil jika dakwah
berhasil membuka wawasan dan membangun pemahaman yang lebih baik terhadap
konsep-konsep keagamaan.

3. **Penerimaan Keanekaragaman:** Dakwah juga bisa menjadi kesempatan untuk


mempromosikan pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman keyakinan.
Kesimpulan yang diinginkan adalah terciptanya toleransi dan penghargaan terhadap
perbedaan keyakinan tanpa adanya konversi wajib.

4. **Perubahan Perilaku Positif:** Dakwah dapat memberikan dampak positif


terhadap perilaku dan moralitas individu. Kesimpulan yang diharapkan adalah
perubahan positif dalam gaya hidup, etika, dan nilai-nilai yang mendukung kebaikan
dan kesejahteraan sosial.

‫ك‬
5. **Penerimaan Diri:** Kesimpulan lain mungkin adalah penerimaan bahwa setiap
individu memiliki hak untuk memilih keyakinan agamanya sendiri. Dakwah dapat
menjadi sarana untuk menyampaikan pesan agama tanpa menghakimi atau memaksa,
sehingga individu dapat memutuskan sendiri tanpa tekanan eksternal.

Penting untuk diingat bahwa kesimpulan dari dakwah kepada kaum tidak beriman
kepada Tuhan dapat bervariasi tergantung pada pendekatan yang diambil dan
respons dari penerima dakwah. Penting juga untuk menjaga sikap saling
menghormati dan toleransi dalam proses dakwah tersebut.

‫ل‬

Anda mungkin juga menyukai