Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENGANTAR STUDI HADITS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Hadits

Dosen Pengampu : Dr. Abdul Hamid,Lc.M.kom.l

Disusun oleh :

Indri Nurhasanah (2520190028)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang masih memberikan kesehatan dan kesempatan-Nya terutama
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Berikut ini penulis
mempersembahkan sebuah makalah ‘PENGANTAR STUDI HADITS”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Abdul Hamid,Lc.M.kom.l selaku dosen
Mata Kuliah Pengantar Studi Hadist. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua,terutama bagi
penulis sendiri. Kepada pembaca,jika terdapat kekurangan atau kekeliruan dalam makalah
ini,penulis mohon maaf,karena penulis sendiri masih dalam tahap belajar. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bekasi, 10 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................


DAFTAR ISI .....................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .............................................................................................................
1.2 TUJUAN PEMBAHASAN .....................................................................................................
1.3 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi & Sumber Hadist .......................................................................................................
2.2 Bentuk - Bentuk Hadits ...........................................................................................................
2.3 Macam - Macam Hadits ..........................................................................................................
2.4 Unsur - Unsur Hadits ..............................................................................................................
2.5 Kedudukan Hadits ...................................................................................................................
2.6 Fungsi Hadits ..........................................................................................................................
2.7 Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an ......................................................................................
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN ..................................................................................................................
3.2 SARAN ..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hadis merupakan salah satu sumber hukum islam yang dijadikan landasan utama oleh
pemeluk islam dalam menjalani kehidupan, selain Al –Qur’an tentunya sebagai sumber hukum
islam pertama.Setiap persoalan yang muncul di lingkungan individu maupun masyarakat muslim
harus merujuk pada sistem hukum yang ada pada kedua sumber hukum utama tersebut.
Hadis yang keberadaannya dibutuhkan sebagai sumber tasyri’yang kedua sesudah al-Qur’an,
memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam upaya pemahaman ayat – ayat Al-Qur’an ,
terutama yang bersifat mujmal seperti halnya perintah salat didapati dalam Al-Qur’an tetapi tidak
dijelaskan tentang tata cara melaksanakanya, banyak rakaatnya, serta rukun dan syarat –
syaratnya. Melalui hadis hal tersebut dapat dijelaskan secara rinci, sehingga tidak menyulitkan
bagi umat Muhammad untuk melaksanakannya.
Kedudukan hadis lainnya adalah sebagai pengukuh atau penguat hukum yang telah disebutkan
Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber hukum yang
saling melengkapi dan menyempurnakan.

Secara historis, setelah wafatnya nabi Muhammad SAW, maka keperhatian terhadap hadis
terus berkembang dari mulai periwayatan hadis secara lisan, sampai pemeliharaan terhadap hadis
secara berkesinambungan, sebagai upaya untuk menghempang munculnya hadis –hadis palsu,
sehingga keterbutuhan terhadap studi hadis tidak dapat dipungkiri umat Muhammad SAW

1.2 TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :


1. Mengetahui definisi ilmu hadits & sumber hadits
2. Mengetahui bentuk – bentuk hadits
3. Mengetahui macam – macam hadits
4. Mengetahui unsur – unsur hadits
5. Mengetahui Kedudukan Hadits
6. Mengetahui Fungsi Hadits
7. Mengetahui Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

1.3 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Apa definisi ilmu hadits & sumber hadits?
2. Apa saja bentuk – bentuk hadits?
3. Apa saja macam – macam hadits?
4. Apa saja unsur – unsur hadits?
5. Apa Kedudukan Hadits
6. Apa saja Fungsi Hadits
7. Apa Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi & Sumber Hadist

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu
yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain.

Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan
perkataan.

Sumber Hadist :

➢ Rasulullah SAW
➢ Sahabat
➢ Tabi’in

2.2 Bentuk - Bentuk Hadits

1. Hadits Qouli
Hadits qouli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW.
Dengan kata lain, hadits qouli adalah hadits berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai
tuntunan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah,
syariat, ataupun akhlak.
Contoh Hadits Qouli
Diantara contoh hadits qouli adalah hadis yang berkaitan tentang kecaman Rasul kepada orang-
orang yang mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah SAW.

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari
neraka.” (HR. Muslim No. 4)
2. Hadits Fi’li
Pengertian hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Dalam hadits fi’li tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi Muhammad SAW, yang
menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi seluruh umat Islam
untuk mengikutinya. Hadits yang termasuk kategori ini diantaranya adalah hadis-hadis yang di
dalamnya terdapat kata-kata kanayaksimu atau ra’atul ra’aina.
Contoh Hadits Fi’li

Telah menceritakan kepada kami [Musa bin Isma’il], telah menceritakan kepada kami
[Hammad] dari [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Abdullah bin Yazid Al Khathmi] dari [Aisyah],
ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pembagian dan berbuat adil dalam
membagi, dan beliau berkata: “Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah
Engkau cela aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak aku mampu.” Abu Daud berkata;
yaitu hati. (HR. Abu Daud No. 1882)

3. Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah hadits berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW terhadap apa yang datang
atau dilakukan oleh para sahabatnya.
Nabi Muhammad SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh
para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau
mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian tersebut dijadikan dasar oleh para sahabat
sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah atau memiliki kekuatan hukum untuk menetapkan
suatu kepastian Syara’.

Contoh Hadits Taqriri

Diantara contoh hadis taqriri adalah sikap Rasulullah SAW yang membiarkan para sahabat
dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu sebagai berikut.

Dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
ketika perang al-Ahzab: “Janganlah seseorang melaksanakan shalat ‘Ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraizhah.” Setelah berangkat, sebagian dari pasukan melaksanakan shalat
‘Ashar di perjalanan sementara sebagian yang lain berkata; “Kami tidak akan shalat kecuali
setelah sampai di perkampungan itu.” Sebagian yang lain beralasan; “Justru kita harus shalat,
karena maksud beliau bukan seperti itu.” Setelah kejadian ini diberitahukan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak menyalahkan satu pihakpun.” (HR. Al-Bukhari
No.3810)
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga
mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami
perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan
perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh
Nabi Muhammad SAW tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.

4. Hadits Hammi
Hadits hammi adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi Muhammad SAW yang
belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.

Contoh Hadits Hammi


Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Daud Al Mahri], telah menceritakan kepada
kami [Ibnu Wahb], telah mengabarkan kepadaku [Yahya bin Ayyub], bahwa [Isma’il bin
Umayyah Al Qurasyi] telah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar [Abu Ghatafan]
berkata; saya mendengar [Abdullah bin Abbas] ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berpuasa pada hari ‘Asyura ia berkata; dan beliau memerintahkan kami agar berpuasa pada hari
tersebut. Para sahabat kertanya; wahai Rasulullah, itu adalah hari dimana orang-orang yahudi
dan nashrani mengagungkannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila tahun depan maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan.” Kemudian belum datang
tahun depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal dunia. (HR. Abu Dawud
No. 2089)
Nabi Muhammad SAW belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat
sebelum datang bulan ‘Asyura tahun berikutnya. Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’i dan
para pengikutnya, menjalankan hadits hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-
sunnah lainnya.

5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi Muhammad SAW yang tidak
termasuk ke dalam kategori ini adalah hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian,
serta keadaan fasik Nabi SAW.
Contoh Hadits Ahwali

Sifat Nabi Muhammad SAW diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Annas bin
Malik, sebagai berikut.
Rasulullah adalah manusia yang terbaik akhlaknya (HR. Muslim) Tentang kedaan fisik
Rasulullah SAW dijelaskan dalam hadits berikut
Telah menceritakan kepada saya [Muhammad]. Dia adalah Ibnu Salam telah mengabarkan
kepada kami [Abu Khalid Al Ahmar] telah mengabarkan kepada kami dari [Humaid] berkata;
Aku bertanya kepada [Anas radliallahu ‘anhu] tentang shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dia berkata: “Tidaklah aku ingin melihat Beliau berpuasa dalam suatu bulan kecuali aku pasti
melihatnya, begitu juga tidaklah aku ingin melihat beliau tidak berpuasa, pasti aku juga bisa
melihatnya. Dan saat Beliau berdiri shalat malam melainkan aku melihatnya begitu juga bila
Beliau tidur melainkan aku juga pernah melihatnya. Dan belum pernah aku menyentuh sutera
campuran ataupun sutera halus yang melebihi halusnya telapak tangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan belum pernah pula aku mencium bau wewangian minyak kasturi dan
wewangian lain yang lebih harum dari keharuman (badan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. (HR. Bukhari No. 1837)

2.3 Macam - Macam Hadits

1. Hadits Shahih
Hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang
berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illat.
Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits menjelaskan hadits shahih adalah:
‫ﻣﺎ اﺗﺼﻞ ﺳﻨﺪه ﺑﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪل اﻟﻈﺎﺑﻂ ﻋﻦ ﻣﺜﻠﮫ إﻟﻰ ﻣﻨﺘﮭﺎه ﻣﻦ ﻏﯿﺮ ﺷﺬوذ وﻻ ﻋﻠﺔ‬

Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan ‘illah.

2. Hadits Hasan
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, yaitu hadits yang rangkaian sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat syadz dan ‘illah.

Perbedaan dari kedua jenis hadits ini adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan tidak sekuat
hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam mendefenisikan hadits hasan.
Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati kebenaran adalah definisi yang dibuat
Ibnu Hajar. Menurut beliau hadits hasan ialah:
‫ھﻮ ﻣﺎ اﺗﺼﻞ ﺳﻨﺪه ﺑﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪل اﻟﺬي ﺧﻒ ﺿﺒﻄﮫ ﻋﻦ ﻣﺜﻠﮫ إﻟﻰ ﻣﻨﺘﮭﺎه ﻣﻦ ﻏﯿﺮ ﺷﺬوذ وﻻ ﻋﻠﺔ‬

Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas hafalannya
tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan ‘illah.
3. Hadits Dhaif
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan.
Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan adalah:
‫ ﻓﮭﻮ اﻟﻀﻌﯿﻒ وھﻮ اﻗﺴﺎم ﻛﺜﺮ‬# ‫وﻛﻞ ﻣﺎ ﻋﻦ رﺗﺒﺔ اﻟﺤﺴﻦ ﻗﺼﺮ‬

Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif
memiliki banyak ragam.
Dilihat dari definisinya, dapat dipahami bahwa hadits shahih adalah hadits yang kualitasnya
paling tinggi, kemudian di bawahnya adalah hadits hasan. Para ulama sepakat bahwa hadits shahih
dan hasan dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Sementara hadits dhaif ialah hadits yang lemah
dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Namun dalam beberapa kasus, menurut ulama
hadits, hadits dhaif boleh diamalkan selama tidak terlalu lemah dan untuk fadhail amal

2.5 Kedudukan Hadits


Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-
Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-
Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah
Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri
dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama.
Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-
Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber
lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua
setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :
artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti
mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80: Artinya : Barangsiapa yang
mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan
sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan
hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan
keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan
hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir,
masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.

Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga
kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath’i dalam arti diyakini
kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak
banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar
mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran
tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil
pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin
meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara
tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya
khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-
syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati
ada yang menyangkut pembawa berita.

2.6 Fungsi Hadits


Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-
Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64, Artinya: Dan Kami
tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-
Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :

Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi
ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam
Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :“ Dan dirikanlah
sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya :“ Islam itu
didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad
adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.
Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
• Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
• Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
• Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
• Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar
artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum
waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan
pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu
Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan
shalat.

Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam
Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan
teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap
apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas.
Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan
Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena
memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau
dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-
Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.

2.7 Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an


Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala
bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi
pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-
hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat
hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an
yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an
disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan
fungsi sebagai berikut :
• Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an.
• Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
• Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
• Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
• Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
• Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang
waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103, Artinya :
”sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum,
umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11: Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.

Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian
ayahnya.
Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang
melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat
23 yang artinya : “ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hadis adalah semua yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan,
persetujuam dan sifat baginda, juga yang dinisbahkan kepada Sahabat dan Tabi’in. Unsur – unsur
hadits adalah sanad dan matan. Sanad, secara bahasa artinya sandaran. Secara istilah silsilah orang
– orang yang meriwayatkan hadist. Matan, secara istilah adalah lafadz – lafadz hadits (kandungan
atau isi hadits) yang memiliki makna tertentu.

3.2 SARAN
Menyadari bahwa saya masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih fokus
dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, A. (2016). Pengantar Studi Al-Quran.


Hamid, A. (2017). Globalisasi dan Tantangan Dakwah. Kordinat: Jurnal Komunikasi antar
Perguruan Tinggi Agama Islam, 16(1) .
Hamid, A. (2016). Dakwah dalam Perspektif Paradigma Tradisionalisme dan Reformisme.
Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam, 15(1).

Anda mungkin juga menyukai