Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TANAH HUTAN

ACARA VII

AKUMULASI SERASAH DI LANTAI HUTAN (Ao HORIZON)

Disusun Oleh :

Nama : Nadia Angelica Baptista

NIM : 19/440039/KT/08924

Co-Ass : Firdausil Mahmudah

Shift : Rabu (13.00 – 15.00)

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN TANAH HUTAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
ACARA VII

AKUMULASI SERASAH DI LANTAI TANAH

I. TUJUAN
Praktikum ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui biomassa lantai hutan
2. Mengetahui perlapisan lantai hutan dan tingkat dekomposisinya
3. Mengetahui karakteristik tanah dan lantai hutan apabila dibandingkan
dengan tanah pertanian

II. DASAR TEORI


Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah karena
adanya mikroorganisme berguna yang hidup dan berkembang dalam serasah.
Keberadaan serasah di permukaan tanah sangat membantu meredam percikan
air hujan sehingga melindungi tanah dari terjadinya erosi. (Ngatimin dan
Uslinawaty, 2019). Beberapa faktor yang memengaruhi jatuhan serasah yaitu
keadaan lingkungan meliputi kondisi iklim, ketinggian, dan kesuburan tanah.
Selain itu faktor yang mengakibatkan tingginya produksi serasah adalah faktor
angin. Bila kecepatan angin tinggi maka produksi yang dihasilkan diduga akan
tinggi pula. Komponen serasah daun lebih sering jatuh dibandingkan dengan
komponen serasah yang lain, dikarenakan bentuk dan ukuran daun yang lebar
dan tipis sehingga mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan air
hujan. (Safriani dkk, 2017)
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan
hewan yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali.
Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang,
ranting, daun, dan buah. Serasah tanaman juga mengandung bahan tanaman
mati (dan beberapa hewan). Karena serasah terletak di permukaan tanah, maka
bukan merupakan bahan penyusun organik tanah. Namun demikian, karena
serasah tanaman sangat penting dalam siklus hara dan pembentukan humus,
lapisan serasah tanaman dinyatakan sebagai bagian integral dan profil tanah.
(Handayanto dkk, 2017)
Dekomposisi merupakan proses perubahan secara fisik maupun secara
kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah, dan terkadang disebut
mineralisasi. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang
dilakukan oleh serangga kecil terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati
menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi
yang dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel
organik. Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer dibantu
oleh enzim yang dapat menguraikan bahan organik seperti protein, karbohidrat
dan lain-lain. (Hanum dan Kuswytasari, 2014).
Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, contoh pH;
iklim (temperatur, kelembaban); komposisi kimia dari serasah dan
mikroorganisme tanah. Beberapa penelitian melaporkan bahwa beberapa sifat
kimia seperti kandungan awal lignin, selulosa dan karbohidrat berpengaruh
secara nyata terhadap tingkat dekomposisi serasah daun. Tingkat dekomposisi
serasah daun dilaporkan berhubungan dengan kandungan awal lignin dan
selulosa, dan kandungan awal nitrogen. (Devianti dan Tjahjaningrum, 2017).
Residu tanaman seperti jerami, batang, dan tongkol jagung, ampas tebu, sekam
padi apabila dikembalikan ke dalam tanah juga berfungsi sebagai pupuk. Pupuk
kimia dapat ditambahkan untuk mempercepat proses dekomposisi dan membuat
hara lebih tersedia. (Sutanto, 2002).
Fase penguraian adalah tahapan yang harus dilalui dalam perjalanan daur
materi ekosistem. Pendauran nutrien serasah secara umum dimulai dari jatuhan
serasah diikuti penguraian dan pengambilan kembali nutrien oleh tumbuhan.
Serasah yang jatuh ke lantai hutan secara umum akan mengalami berbagai
perubahan melalui aktivitas fisika, kimia, dan biologis. Proses-proses ekosistem
yang terkait dengan penguraian yaitu (1) Leaching atau pencucian adalah
hilangnya materi terlarut oleh air melalui penguraian materi; (2) Comminution
adalah fragmentasi materi organik, umumnya karena konsumsi hewan; (3)
Mineralisasi melingkupi katabolisme molekul organik oleh organisme saprofitik
dan melepaskan sebagian nutrient (mineral), kemudian nutrient tersebut diambil
tumbuhan maupun organisme lainnya. (Kadarsah, 2019).

III. ALAT DAN BAHAN


Pada praktikum ini digunakan alat:
1. Kawat kuadratik ukuran 50 cm x 50 cm
2. Cethok
3. Amplop kertas berwarna cokelat
4. Neraca
5. Oven

Pada praktikum ini digunakan bahan:

1. Serasah pada lantai tanah

IV. CARA KERJA


1. Kawat kuadratik berukuran 50 cm x 50 cm diletakkan pada lantai tanah yang
masih utuh.
2. Batas sampel diiris mengikuti bentuk kawat kuadratik dengan menggunakan
cethok.
3. Serasah pada lapisan L (litter) diambil secara perlahan tanpa merusak
lapisan di bawahnya. Serasah pada lapisan ini mempunyai ciri-ciri:
merupakan serasah yang baru jatuh, kandungan air masih tinggi, bentuk
masih utuh, berwarna kehijauan atau kecokelatan, dan masih agak segar.
Serasah pada lapisan L dipisahkan antara daun, tangkai/dahan, bunga/buah,
dan sebagainya ke dalam amplop terpisah yang berlabel.
4. Serasah pada lapisan F (fermentasi) dipisahkan menjadi daun,
tangkai/dahan, bunga/buah, dan sebagainya ke dalam amplop terpisah yang
berlabel. Serasah pada lapisan ini mempunyai ciri-ciri: berupa serasah yang
mulai terdekomposisi, bentuk sudah tidak utuh lagi, bentuk serasah asli
masih terlihat, dan berwarna kecokelatan.
5. Hasil pengambilan serasah pada masing-masing lapisan yang telah
dibedakan atas daun, tangkai/dahan, bunga/buah di dalam amplop ditimbang
dan dihitung sebagai berat basah.
6. Serasah yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam amplop bersuhu 65 oC
selama 3 hari hingga tercapai berat kering mutlak.
7. Berdasarkan data yang diperoleh, kadar air, biomassa tertentu, dan biomassa
total dihitung dalam satuan kg/ha.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai