Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION LBM 3

BLOK MEDIKOLEGAL
“KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK”

DISUSUN OLEH:

Nama : Dwik Putra Nickontara


NIM : 018.06.0048
Kelas :B
Blok : Medikolegal
Kelompok :7

Tutor: dr. Aulia Mahdaniyati, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHARMATARAM
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat- Nya dan
dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan laporan SGD (Small Group Discussion) LBM 3
yang berjudul “Kenapa ayah tega padaku” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Laporan ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa LBM 3 yang meliputi
seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan laporan ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan
terimakasih kepada:
dr. Aulia Mahdaniyati, S.Ked sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 7 yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD. Serta kepada penulis jurnal dan sumber
literatur yang terpercaya sehingga laporan ini bisa terbentuk.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun makalah/laporan
ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan
laporan ini. Kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
BAB I..........................................................................................................................................................
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................
BAB II........................................................................................................................................................
PEMABAHSAN.........................................................................................................................................
BAB III.......................................................................................................................................................
PENUTUP...................................................................................................................................................
Daftar Pustaka.............................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario

Kenapa Ayah Tega Padaku

Seorang anak perempuan berusia 15 tahun mengeluh datang diantar bibinya ke kantor polisi
untuk melaporkan adanya pelecehan seksual pada anak. Sebelumnya anak tersebut hanya tinggal
Bersama ayah tirinya setelah ibu kandung sang anak pergi keluar negeri untuk bekerja. Si anak sudah
tinggal selama 5 tahun Bersama ayah tirinya. Si anak baru berani melaporkan kepada bibinya tentang
perbuatan tersebut karena sudah tidak tahan dengan perlakukan ayahnya. Selama ini si anak diancam
akan dibunuh oleh ayah tirinya. Pelecehan terakhir dilakukan dua hari yang lalu oleh si ayah. Polisi
kemudian mengantar anak tersebut ke RS untuk dilakukan pemeriksaan forensic. Dokter kemudian
melakukan pemeriksaan, didapatkan hasil pada kelamin dicurigai terjadi kejahatan/pelecehan seksual
dan ditemukan bekas gigitan (bite mark) warna kebiruan pada paha dalam sebelah kiri.
Gambar :

Deskripsi: Keluhan demam disertai nyeri pada bagian alat vital ini dicurigai akibat adanya
kejahatan / pelecehan seksual. Demam umumnya terjadi sebagai reaksi dari sistem imun dalam
melawan infeksi virus, bakteri, jamur, atau parasit penyebab penyakit. Hal ini dapat terjadi pada
kejadian kekerasan seksual, kemungkinan akibat tertularnya penyakit dari pelaku kekerasan seksual
tersebut, ataupun kebersihan yang tidak terjaga dapat menimbulkan reaksi dari sistem imun. Nyeri pada
bagian alat vital dapat menjadi indikasi adanya infeksi pada bagian tersebut. Selain itu, adanya
kekerasan pada alat vital tersebut saat terjadinya kekerasan seksual karena paksaan dari pelaku sehingga
menimbulkan luka
Pada alat vital korban. Pada celana dalam pasien ditemukan lendir yang kental dan berbau
disertai bercak warna kemerahan. Lendir yang kental dan berbau kemungkinan merupakan semen hasil
ejakulasi. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah kental dan umumnya berwarna agak putih
hingga kuning keabu-abuan. Semen atau air mani memiliki aroma yang sangat khas. Pada skenario tidak
dijelaskan karakteristik bau yang ditemukan, tetapi kemungkinan bau tersebut berasal dari semen hasil
ejakulasi. Sehingga, dapat disimpulkan lendir yang ditemukan pada celana dalam korban adalah semen
yang mungkin juga telah bercampur dengan cairan vagina yang keluar setelah senggama. Ditemukannya
bercak kemerahan pada celana dalam korban dapat disebabkan akibat robeknya hymen, dan kekerasan
seksual. Melakukan penetrasi yang dilakukan dengan paksa dapat menyebabkan terjadinya lecet
ataupun perlukaan pada vagina yang dapat menyebabkan terjadinya bercak kemerahan tersebut. Untuk
memastikan lebih lanjut penyebab pasti lendir yang kental dan berbau disertai bercak warna kemerahan
ini, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium.
Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang
dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap
peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada
anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban.
Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu,
anak cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang
lebih buruk bila melapor, anak merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, anak
merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan
seksual membuat anak merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga.
Interpretasi gambar pada scenario Dari gambar tersebut terlihat:
Rambut pubis: Pertumbuhan rambut yang jarang di sepanjang labia menunjukkan pertumbuhan
dan perkembangan tanda-tanda seks sekunder pada anak tersebut berada pada stage tanner II
Labia mayora: terlihat kemerahan dan sedikit bengkak menunjukkan adanya sentuhan fisik
(terlalu kasar ataupun kebersihan yang kurang) pada alat vital sehingga menyebabkan inflamasi
Hymen: terlihat robekan
BAB II
PEMABAHSAN

Definisi Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual diartikan sebagai segala jenis kegiatan atau hubungan seksual yang
dipaksakan dan/atau tanpa persetujuan (consent) dari korban. Sedangkan dalam arti sempit, kekerasan
seksual disamakan dengan perkosaan (rape), dan mengharuskan adanya persetubuhan, yaitu penetrasi
penis ke dalam vagina. Kekerasan seksual terhadap anak adalah apabila seseorang menggunakan anak
untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan seksual. Tidak terbatas pada hubungan seks saja, tetapi
juga tindakan-tindakan yang mengarah kepada aktivitas seksual terhadap anak-anak, seperti: menyentuh
tubuh anak secara seksual, baik si anak memakai pakaian atau tidak; segala bentuk penetrasi seks,
termasuk penetrasi ke mulut anak menggunakan benda atau anggota tubuh; membuat atau memaksa
anak terlibat dalam aktivitas seksual; secara sengaja melakukan aktivitas seksual di hadapan anak, atau
tidak melindungi dan mencegah anak menyaksikan aktivitas seksual yang dilakukan orang lain;
membuat, mendistribusikan dan menampilkan gambar atau film yang mengandung adegan anak-anak
dalam pose atau tindakan tidak senonoh; serta memperlihatkan kepada anak, gambar, foto atau film
yang menampilkan aktivitas seksual.

Jenis Jenis Kekerasan Seksual


Terdapat 15 bentuk kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya
yaitu (Siregar et al., 2020) :
a. Perkosaan
Perkosaan merupakan serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan
memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau
benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan,
tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari
lingkungan yang penuh paksaan.
b. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
Intimidasi seksual merupakan tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan
rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa disampaikan
secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman atau
percobaan perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual.
c. Pelecehan seksual
Pelecehan seksual merupakan tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik
dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman,
tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah
kesehatan dan keselamatan.
d. Eksploitasi seksual
Eksploitasi seksual merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasan yang menyimpang atau
penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk memperoleh
keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan lainnya.
e. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual merupakan tindakan merekrut, mengangkut,
menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atas posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual
lainnya.
f. Prostitusi paksa
Prostitusi paksa merupakan situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman
maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks.
g. Perbudakan seksual
Perbudakan seksual merupakan situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh
korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.
h. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan merupakan pemaksaan perkawina yang dimasukkan sebagai jenis
kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari
perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut.
i. Pemaksaan kehamilan
Pemaksaan kehamilan merupakan situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan
maupun ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini
misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali
melanjutkan kehamilannya.
j. Pemaksaan aborsi
Pemaksaan aborsi merupakan pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya
tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.
k. Pemaksaan kontrasespsi dan sterilisasi
Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi merupakan pemaksaan ketika pemasangan alat
kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak
mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak paham hukum untuk dapat memberikan
persetujuan.
l. Penyiksaan seksual
Penyiksaan seksual merupakan tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas
perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan
hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual.
m. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual merupakan cara menghukum yang
menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak
termasuk dalam penyiksaan.
n. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan
Merupakan kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya,
yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada
perempuan.
o. Kontrol seksual
Kontorl seksual merupakan cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan
sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan “perempuan
nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya
mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual mencakup berbagai tindak
kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam
atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi symbol-simbol tertentu yang dianggap pantas
bagi “perempuan baik-baik’.
Tanda Tanda Kekerasan Seksual
Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang
menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap manis dan patuh, berusaha agar
tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti
mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka
waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan
seksual. Tanda dan indikasi: balita tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut,
iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi
seks oral. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada
tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan tingkah laku yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur,
mimpi buruk, dsb), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat. Anak usia prasekolah
gejalanya sama ditambah tanda- tanda berikut:
1. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik
seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit.
2. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak mengeluh
sakit karena perlakuan seksual. Dampak yang akan ditimbulkan dari adanya pelecehan seksual
pada anak diantaranya,
3. Dampak fisik: Memar dan luka atau infeksi pada bagian tertentu
4. Dampak emosi: Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas. Orangtua diharapkan:

Anamnesis Secara Umum Dan Khusus


1. Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang
mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan
dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi
anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum meliputi (Dewi
et al., 2017):
 Umur atau tanggal lahir
 Status pernikahan
 Riwayat paritas dan/atau abortus
 Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
 Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya)
 Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA)
 Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta -Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat
pemeriksaan
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual yang
dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti (Dewi et al., 2017):
 What & How:
1. Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya)
2. Adanya kekerasan dan/atau Adanya upaya perlawanan
3. Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian
4. Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah kejadian
5. Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit)
6. Apakah ada nyeri di daerah kemaluan
7. Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar
8. Adanya perdarahan dari daerah kemaluan
9. Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina
10. Penggunaan kondom
11. Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah buang air,
tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.
 When:
1. Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan
2. Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
 Where:
1. Tempat kejadian
2. Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian yang
melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).
 Who:
1. Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak
2. Jumlah pelaku
3. Usia pelaku
4. Hubungan antara pelaku dengan korban.
Pemeriksaan Fisik Umum Dan Khusus
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “head to toe”. Artinya, pemeriksaan fisik
harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan
fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan
umumnya buruk, maka pemeriksaan untukpembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk
”life saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian
dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi
menjadi pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup (Dewi et al., 2017) :
 Tingkat kesadaran
 Keadaan umum
 Tanda vital
 Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain)
 Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya)
 Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas)
 Status generalis
 Tinggi badan dan berat badan
 Rambut (tercabut/rontok)
 Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga)
 Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang tercabut atau patah)
 Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder
 Tanda-tanda intoksikasi NAPZA
 Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan
kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan (Dewi P et al., 2017):
 Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak atau bercak
cairan mani
 Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis yang terlepas
yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan
mani
 Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada jaringan lunak,
bercak cairan mani)
 Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani
 Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah ada
perlukaan
 Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya
perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen,
catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban
dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya
perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan
 Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lender
 Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya cairan
atau lender
 Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan
 Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis
 Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis
 Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani atau air
liur dari pelaku
 Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.Selain melakukan
pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto
dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu
diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara
detil setelah pemeriksaan selesai. Menentukan ada tidaknya persetubuhan (Dewi et al., 2017) :
 Tanda langsung: adanya robekan selaput dara, luka lecet atau memar di lliang senggama,
ditemukan sperma.
 Tanda tidak langsung: kehamilan, pnyakit hubungan seksual.
Hymen Bentuk Normal
Gambar Sexual Assault

Keterangan :
a. Vulva
b. Hymen Pada Perempuan virgin (perawan)
c. Perempuan dengan kekerasan seksual
d. Multipara
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan swab dan sampel
Pemeriksaan swab dan sampel penting untuk dijadikan sebagai bukti adanya kontak seksual
antara korban dengan pelaku dan membantu penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual
(Samatha et al., 2018). Pemeriksaan cairan biologis pada tubuh merupakan hal yang sangat penting
hal ini dikarenakan hasil dari pemeriksaan ini digunakan sebagai bukti dalam sebuah kasus
kejahatan seksual. Swab yang diperoleh dari tubuh korban diperlukan untuk pemeriksaan DNA yang
dapat digunakan oleh penyidik dalam menemukan pelaku kejahatan seksual (Samatha et al., 2018).

b. Pemeriksaan darah dan urin


Pemeriksaan darah dan urin harus dilakukan terutama apabila ada riwayat konsumsi obat –
obat dan alkohol. Peran sampel darah dan urin adalah untuk dilakukan pemeriksaan analisis
toksikologi. Pemeriksaan toksikologi ini sangat dipengaruhi oleh lama waktu ketika korban
meminum obat atau alkohol hingga melapor ke rumah sakit. Semakin lama durasi korban melapor
sesudah meminum obat atau alkohol maka semakin kecil pula zat – zat yang dapat ditemukan dalam
darah akibat proses dari metabolisme tubuh (Samatha et al., 2018). Pemeriksaan darah berperan
dalam membantu dokter mencegah penyakit menular seksual terutama HIV. Pemeriksaan darah juga
membantu dokter dalam mencegah penularan penyakit hepatitis B yang ditularkan melalui cairan
tubuh (Samatha et al., 2018).
c. Pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan kehamilan dengan metode β – HCG sangat penting untuk dilakukan.
Pemeriksaan ini digunakan untuk membuktikan apakah korban hamil akibat dari kasus kejahatan
seksual sehingga dokter dapat melakukan tatalaksana yang tepat untuk kehamilannya (Samatha et
al., 2018). Korban yang dinyatakan hamil akibat kasus kejahatan seksual dalam buku Rape
Investigation Handbook dapat dilakukan pemeriksaan DNA dengan menggunakan sampel dari
kehamilan dan fetus dari korban. Hasil pemeriksaan DNA tersebut dapat digunakan sebagai bukti
kasus kejahatan seksual tersebut (Samatha et al., 2018). Di Indonesia, fungsi dari pemeriksaan
kehamilan adalah sebagai bukti yang ditulis dalam visum et repertum yang akan digunakan oleh
penyidik untuk menindaklanjuti sebuah kasus kejahatan seksual (Samatha et al., 2018).
d. Menentukan Ada Tidaknya cairan Mani
1. Reaksi fosfatase asam
Fosfatase asam adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat di dalam cairan
semen/mani dan didapatkan pada konsentrasi tertinggi di atas 400 kali dalam mani dibandingkan
yang mengalir dalam tubuh lain.
2. Reaksi barberio
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen. Spermin yang
terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan asam pikrat jenuh membentuk kristal
spermin pikrat. Hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-kuningan
atau coklat berbentuk jarum dengan ujung tumpul.
3. Reaksi Florence
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat bercak mani, tampak kristal
kholin-peryodida berwarna coklat, berbentuk jarum dengan ujung terbelah.
Aspek Medikolegal Kekerasan Seksual
Definisi dan jenis kekerasan seksual yang dianut Indonesia diambil dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), yaitu dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Pasal utama
adalah pasal 285 tentang Perkosaan yang berbunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Sedangkan Persetubuhan
dengan Wanita di Bawah Umur diatur dalam pasal 287 ayat 1 yang berbunyi, “Barang siapa bersetubuh
dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Dalam pasal 289 – 294 KUHP,
diatur pula tentang perbuatan cabul sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Perbuatan cabul
dimaknai sebagai semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus
mengganggu kehormatan kesusilaan. Selain dalam KUHP, pasal tentang kekerasan seksual terdapat
pula dalam pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta pasal 5 dan 8 UU RI
No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Tindak pidana persetubuhan tanpa persetujuan
Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan adalah dimana
persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti yang dimaksud oleh Pasal 285 dan 286
KUHP. Maka untuk kasus-kasus tersebut, Visum et Repertum harus dapat membuktikan bahwa pada
wanita telah terjadi kekerasan dan persetubuhan. Perlu juga dibedakan kejahatan seksual yang dimaksud
oleh Pasal 285 KUHP disebut perkosaan, dengan yang dimaksud Pasal 286 KUHP disebut persetubuhan
dengan seorang perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 285 KUHP mengatur tentang pemerkosaan. Selengkapnya berbunyi: “Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Ada
beberapa syarat yang menentukan adanya kasus perkosaan adalah sebagai berikut:
a. Korban bukan isteri pelaku.
b. Si perempuan dipaksa untuk melakukan persetubuhan dengan pelaku.
c. Karena adanya penolakan dari si perempuan dan ia melakukan perlawanan, maka untuk
mencapai tujuannya pelaku menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Pasal berikutnya adalah Pasal 286 KUHP yang mengatur tentang Persetubuhan dengan seorang
perempuan dalam keadaan Pingsan atau Tidak Berdaya. Selengkapnya berbunyi: “Barang siapa
bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Kejahatan seksual menurut pasal 286 KUHP disini, artinya si pelaku tidak melakukan upaya apapun.
Keadaan pingsan atau tidak berdayanya wanita bukan diakibatkan oleh perbuatan si pelaku kejahatan.

Tindakan pidana persetubuhan dengan persetujuan korban dibawah 15 tahun


Persetubuhan yang dilakukan dengan persetujuan, tetapi si perempuan belum berumur 15 tahun dan
juga belum cukup umur, tidaklah termasuk perzinaan, namun termasuk kejahatan yang diatur dalam
pasal tersendiri yaitu Pasal 287 KUHP. Pasal ini menyatakan:
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas
tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak pasal 64
(3) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana Anak pasal 90
mengatur, anak sebagai korban berhak mendapatkan rehabilitasi dari lembaga maupun di luar lembaga.
Kemudian di atur pula ke dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban bahwa korban tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum baik medis, rehabilitasi
psikososial. Rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan
memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Rehabilitasi sosial adalah proses
kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak
saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat.

Peran Dan Tanggung Jawab Dokter Pada Kekerasan Seksual


Sebelum membahas tentang P3K kekerasan seksual, perlu dipahami dahulu mengenai peran
yang dapat dimiliki seorang dokter:
1. Attending doctor: Peran dokter klinis yang umum, yaitu bertujuan mendiagnosis, mengobati atau
dapat menyembuhkan pasien.
2. Assessing doctor: Peran dokter untuk membantu pencarian bukti tindak pidana, khususnya
dengan membuat visum et repertum.
Sikap yang harus dimiliki oleh seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual yaitu
objektif-imparsial, konfidensial, dan profesional. Objektif-imparsial artinya seorang dokter tidak
memihak atau bersimpati kepada korban sehingga cenderung memercayai seluruh pengakuan korban.
Hal yang boleh dilakukan oleh dokter adalah berempati, penilaian yang dibuat sesuai dengan bukti-bukti
objektif yang didapatkan secara sistematis dan menyeluruh. Waspada terhadap upaya pengakuan atau
tuduhan palsu (false allegation) dari korban tetap dilakukan. Perkataan atau sikap yang “menghakimi”
atau menyalahkan korban atas kejadian yang dialami juga perlun dihindari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Semakin banyaknya kasus-kasus kekerasan pada anak terutama kasus kekerasan seksual (sexual
violence againts) dan menjadi fenomena tersendiri pada masyarakat modern saat ini. Anak-anak rentan
untuk menjadi korban kekerasan seksual karena tingkat ketergantungan mereka yang tinggi. Sementara
kemampuan untuk melindungi diri sendiri terbatas. Berbagai faktor penyebab sehingga terjadinya kasus
kekerasan seksual terhadap anak dan dampak yang dirasakan oleh anak sebagai korban baik secara fisik,
psikologis dan sosial. Trauma pada anak yang mengalami kekerasan seksual akan mereka alami seumur
hidupnya. Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya membutuhkan layanan pemeriksaan
untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga tindak lanjut medis. Tindak lanjut medis dapat mencakup
penatalaksanaan psikiatrik dan penatalaksanaan bidang obstetri-ginekologi. Dalam bidang obstetri-
ginekologi, korban kekerasan seksual mungkin memerlukan tindakan pencegahan kehamilan serta
pencegahan atau terapi penyakit menular seksual. Apabila sudah terjadi kehamilan, korban mungkin
membutuhkan perawatan kehamilan atau terminasi kehamilan sesuai ketentuan undang- undang. Dalam
melakukan tindak lanjut, sangat penting bagi dokter untuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait. Koordinasi yang baik diperlukan antara dokter pemeriksa dengan dokter yang memberikan tata
laksana lanjutan agar korban mendapatkan perawatan yang diperlukan. Selain itu, dokter juga harus
menjalin kerjasama yang baik dengan pihak polisi penyidik agar hasil pemeriksaan dokte dapat
bermanfaat bagi pengungkapan kasus.
Daftar Pustaka
Asmadi, Erwin, SH., MH. 2019. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Medan: Pustaka Prima.
Ekandri. Mustaqfirin. dan Faturochman. 2016. Perkosaan, Dampak, dan Alternatif
Penyembuhannya. Jurnal: Psikologi, Vol. 1(1).
Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia. 2019. Modul Kedokteran Forensik. Jakarta.
Budiyant. 2014. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FK UI.
Dewi, R., Irianto, M. G., Falamy, R., & Ramkita, N. 2017. Pemeriksaan Fisik Dan Aspek Medikolegal
Kekerasan Seksual Pada Anak Dan Remaja. In Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya.Sosio Informa
Vol. 01, (1)
Syahria, Namira., Putri, Alya. 2022. Faktor, Bentuk Dan Tanda Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Samatha, S. A., Dhanardhono, T., & Bhima, S. K. L. 2018. Aspek Medis Pada Kasus Kejahatan
Seksual. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 7(2)
Siregar, E., Rakhmawaty, D., & Siregar, Z. A. (2020). Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan:
Realitas dan Hukum. PROGRESIF: Jurnal Hukum, 14(1).

Anda mungkin juga menyukai