Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN JIWA


DI RUANG ARIMBI RSJD PROVINSI JAMBI

DISUSUN OLEH :
Intan Syafika
G1B222011

PEMBIMBING AKADEMIK :
Ns. Yuliana, S.Kep., M.Kep
Ns. Riska Amalya Nasution, M.Kep., Sp.Kep.J

PEMBIMBING KLINIK :
Ns.Retty Octi Syafrini, M.Kep., Sp.Kep.J
Ns. Dermanto Saurtua, S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

A. DEFINISI
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar
yang dapat meliputi semua sistem penginderaan (Dalami, dkk, 2014).
Halusinasi hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata (Kusumawati, 2012).
Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus ekstren atau persepsi palsu
(Prabowo, 2014).

B. ETIOLOGI
Menurut Stuart (2007) proses terjadinya halusinasi dapat dilihat dari faktor
predisposisi dan faktor presipitasi (Dalami, dkk, 2014) :
1. Faktor Predisposisi
a. Biologis
Hal yang dikaji dalam faktor biologis meliputi : Adanya faktor
herediter mengalami gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat
penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan Napza.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada
daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku
psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada
anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan
pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi
otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut
didukung oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien adanya
kegagalan yang berulang, kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.
c. Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan
orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang,
kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai
stress.
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta
ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah sebagai
berikut (Pusdiklatnakes, 2012):
1. Data Subjektif
Klien mengatakan
:
a) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
b) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
c) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
d) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat
hantu dan monster
e) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan
f) Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses
g) Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya
2. Data Objektif
a) Bicara atau tertawa sendiri
b) Marah marah tanpa sebab
c) Mengarahkan telinga kearah tertentu
d) Menutup telinga
e) Menunjuk kearah tertentu
f) Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas
g) Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
h) Menutup hidung
i) Sering meludah
j) Menggaruk garuk permukaan kulit
D. KLASIFIKASI HALUSINASI
Stuart dan Sundeen mengelompokkan jenis dan karakteristik halusinasi
sebagai berikut :
1. Halusinasi pendengaran
a. Karakteristik
Mendengar suara, paling sering suara orang. Suara dari suara yang
paling sederhana sampai dengan suara orang membicarakan klien.
Untuk menyelesaikan percakapan dua orang atau lebih tentang orang
yang sedang halusinasi, jenis lain termasuk pikiran yang dapat
didengar yaitu klien dan memerintah untuk melakukan sesuatu,
kadang – kadang melakukan hal – hal yang berbahaya.
b. Perilaku Klien yang teramati
1) Melirikan mata ke kiri dan ke kanan seperi mencari siapa atau
apa yang sedang dibicarakan.
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang
sedang berbicara atau kepada benda mati seperti mebel.
3) Terlibat percakapan dengan benda mati atau dengan orang
yang tidak tampak.
4) Menggerak–gerakan mulut seperti sedang berbicara
atau menjawab.
2. Halusinasi penglihatan
a. Karakteristik
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar
geometik, gambar kartun dan atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan dapat berupa sesuatu yang tidak menyenangkan seperti
monster.
b. Perilaku klien yang teramati
1) Tiba – tiba tampak tergagap, ketakutan atau ditakuti oleh oranglain,
benda mati, atau stimulus yang tidak terlihat.
2) Tiba – tiba lari ke ruang lain.
3. Halusinasi penghidu
a. Karakteristik
b. Bau busuk, amis dan bau menjijikkan seperti darah, urine atau feces,
kadang-kadang terhirup bau harum. Halusinasi penghidu khususnya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dimensia.
c. Perilaku klien yang teramati
1) Hidung dikerutkan seperti menghidu bau yang tidak enak
2) Menghidu bau tubuh
3) Menghidu bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain
4) Berespon terhadap bau dengan panik, seperti menghidu bau
api atau darah
5) Melempar selimut atau membuang air pada orang lain seakan
sedang memadamkan api
4. Halusinasi pengecap
a. Karakteristik
Merasakan suatu yang busuk, amis dan menjijikkan seperti ras darah,
urine atau feces.
b. Perilaku yang teramati
1) Meludahkan makanan atau minuman
2) Menolak makan, minum atau minum obat
3) Tiba- tiba meninggalkan meja makan
5. Halusinasi peraba
a. Karakteristik
Merasakan sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat.
Merasakansensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
b. Perilaku yang teramati
1) Menampar diri sendiri seakan – akan sedang memadamkan api
2) Melompat – lompat di lantai seperti sedang menghindari nyeri atau
stimulus lain pada kaki
6. Halusinasi kinestik
a. Karakteristik
Merasakan fungsi tubuh, merasakan darah mengalir melalui vena dan
arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
b. Perilaku klien yang teramati:
1) Memverbalisasi atau obsesi terhadap proses tubuh
2) Menolak untuk menyelesaikan tugas yang
memerluakn bagiantubuh yang diyakini klien tidak berfungsi

E. POHON MASALAH

E Resiko perilaku kekerasan

CP Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

C Isolasi sosial : menarik diri

Ganggan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

Gambaran I. Pohon Masalah dengan Masalah Utama Perubahan


Persepsi Sensori : halusinasi menurut Budi Anna Keliat (2019).

F. ASUHAN KEPERAWATAN
A) Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat, tanggal
pengkajian, nomor rekam medic
2. Faktor predisposisi merupakan factor pendukung yang meliputi factor
biologis, factor psikologis, social budaya, dan factor genetic
3. Factor presipitasi merupakan factor pencetus yang meliputi sikap
persepsi merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa
gagal, merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif,
kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan penanganan gejala
stress
pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang penuh
dengan stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan
ansietas.
4. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan
social dan spiritual
5. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas
motorik, alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara,
persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat
kosentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
6. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif maupun
maladaptive
7. Aspek medis yang terdiri dari diagnose medis dan terapi medis
B) Diagnosa Keperawatan
Menurut Yosep, 2014 diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
1. Gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan (D.0085)
2. Isolasi sosial (D.0121)
3. Risiko perilaku kekerasan (D.0146)
4. Harga diri rendah (D.0086)
C) Tujuan Asuhan Keperawatan
Kognitif, klien mampu:
1. Menyebutkan penyebab halusianasi
2. Menyebutkan kan karakteristik halusinasi yang dirasakan: jenis,
frekunsi, durasi, waktu, situasi yang menyebabkan dan respons.
3. Menyebutkan akibat yang timbul dari halusinasi.
4. Menyebutkan cara yang selama ini digunakan untuk mengatasi
halusinasi
5. Menyebutkan cara mengendalikan halusinasi yang
tepat. Psikomotor, klien mampu:
1. Melawan halusinasi dengan menghardik.
2. Mengabaikan halusinasi dengan bersikap cuek.
3. Mengalihkan halusinasi dengan distraksi yaitu bercakap-cakap dan
melakukan aktivitas
4. Minum obat dengan 8 benar, yaitu benar nama, benar obat, benar
manfaat, benar dosis, benar frekuensi, benar cara, benar tanggal
kedaluwarsa, dan benar dokumentasi.
Afektif :
1. Merasakan manfaat cara-cara mengatasi halusinasi.
2. Membedakan perasaan sebelum dan sesudah latihan.
D) Tindakan Keperawatan
Tindakan pada klien
1. Pengkajian: kaji tanda dan gejala halusinasi, penyebab dan kemampuan
klien mengatasinya. Jika ada halusinasi katakan Anda percaya, tetapi
Anda sendiri tidak mendengar/melihat/menghidu/merasakan.
2. Diagnosis: jelaskan proses terjadinya
Halusinasi Tindakan keperawatan
1. Latih klien melawan Halusinasi dengan menghardik
2. Latih klien mengabaikan Halusinasi dengan bersikap cuek
3. Latih klien mengalihkan Halusinasi dengan bercakap cakap dan
melakukan kegiatan secara teratur
4. Latih klien minum obat dengan prinsip delapan benar yaitu benar nama
klien, benar nama obat, benar manfaat obat, Benar Dos is obat, benar
frekuensi, benar cara, benar tanggal kedaluwarsa dan benar
dokumentasi.
5. Diskusikan manfaat yang didapatkan setelah mempraktikkan latihan
mengendalikan Halusinasi.
6. Berikan pujian pada klien saat mampu mempraktikkan latihan
mengendalikan Halusinasi.
Tindakan keperawatan spesialis
1. Terapi kognitif perilaku
a) Sesi 1 : Mengidentifikasi pengalaman yang
tidak menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis
negatif dan
perilaku negatif.
b) Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negatif
c) Sesi 3: Mengubah perilaku negatif menjadi positif.
d) Sesi 4 : Memanfaatkan sistem pendukung.
e) Sesi 5 : Mengapa luasi mau faat melawan pikiran negatif
dan mengubahperilaku negatif.
2. Terapi penerimaan komitmen ( acceptance commitment therapy)
a) Sesi 1 : Mengidentifikasi pengalaman atau kejadian yang
tidakmenyenangkan
b) Sesi 2 : Mengenali keadaan saat ini dan menemukan nilai
nilai terkaitpengalaman yang tidak menyenangkan.
c) Sesi 3 : Berlatih menerima pengalaman/ kejadian
tidak menyenangkanmenggunakan nilai nilai yang dipilih klien.
d) Sesi 4 : Berkomitmen menggunakan nilai nilai yang dipilih
kalian untukmencegah kekambuhan.
Tindakan pada keluarga
1. Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
Halusinasi yang dialami klien.
3. Diskusikan cara merawat Halusinasi dan memutuskan cara merawat
yang sesuai dengan kondisi klien.
4. Melati keluarga cara merawat Halusinasi:
5. Menghindari situasi yang menyebabkan halusinasi.
6. Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan
Halusinasi sesuai dengan yang dilatih Perawat kepada klien.
7. Memberi pujian atas keberhasilan klien.
8. Melibatkan seluruh anggota keluarga untuk bercakap cakap secara
bergantian, memotivasi klien melakukan latihan dan memberi pujian
atas keberhasilan nya.
9. Menjelaskan tanda dan gejala Halusinasi yang memerlukan rujukan
segera yaitu isi Halusinasi yang memerintahkan kekerasan, serta
melakukan Follow up Ke pelayanan kesehatan secara teratur.
Tindakan pada kelompok klien
1. Tindakan keperawatan ners: TAK stimulasi persepsi untuk Halusinasi
a) Sesi 1: mengenal Halusinasi (jenis, isi, frekuensi, waktu,
situasi,respons).
b) Sesi 2: melawan Halusinasi dengan menghardik.
c) Sesi 3: melawan Halusinasi dengan melakukan kegiatan
terjadwal.
d) Sesi 4: Melawan Halusinasi dengan bercakap cakap dan de-
Ekskalasi.
e) Sesi 5: patuh 8 benar minum obat (benar nama klien, benar
nama obat, benar Dos is, benar waktu pemberian, benar cara,
benar manfaat, benar kedaluwarsa dan dokumentasi).
Tindakan kolaborasi
1. Melakukan kolaborasi dengan dokter menggunakan ISBAR & TBaK.
2. Memberikan program terapi dokter (obat): Edukasi delapan benar
pemberian obat dengan menggunakan konsep Safety pemberian obat.
3. Mengobservasi manfaat dan efek samping
obat. Discharge planning
1. Menjelaskan rencana persiapan Pasca Rawat di rumah
untuk mendirikankalian.
2. Jelaskan rencana tindak lanjut perawatan dan pengobatan.
3. Melakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan. Evaluasi
1. Menurunkan tanda dan gejala Halusinasi
2. Meningkatkan kemampuan kalian mengendalikan Halusinasi.
3. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat
klien. Rencana tindak lanjut
1. Rujuk klien dan keluarga ke fasilitas praktik mandiri Perawat spesialis
keperawatan jiwa.
2. Rujuh klien dan keluarga ke Case manager di fasilitas pelayanan
kesehatan primer di Pukesmas, pelayanan kesehatan Sekunder dan
Tersier di rumah sakit.
3. Rujuk klien dan keluarga ke kelompok pendukung, kader kesehatan
jiwa, kelompok swa bantu dan fasilitas rehabilitasi psikososial yang
tersedia di masyarakat. (Budi Anna Keliat, 2019).

G. STRATEGI PELAKSANAAN
STRATEGI PELAKSANAAN 1 (SP 1)
Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara mengontrol
halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama:
menghardik halusinasi
ORIENTASI:
”Selamat pagi bapak, Saya Mahasiswa keperawatan Unja yang akan merawat
bapak Nama Saya Intan Syafika, senang dipanggil intan. Nama bapak siapa?
Bapak Senang dipanggil apa”
”Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apa keluhan bapak saat ini”
”Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini
bapak dengar tetapi tak tampak wujudnya? Di mana kita duduk? Di ruang
tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 30 menit”
KERJA:
”Apakah bapak mendengar suara tanpa ada ujudnya?Apa yang dikatakan
suara itu?”
” Apakah terus-menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan yang paling
sering dengar suara? Berapa kali sehari bapak alami? Pada keadaan apa suara
itu terdengar? Apakah pada waktu sendiri?”
” Apa yang bapak rasakan pada saat mendengar suara itu?”
”Apa yang bapak lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu
suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk
mencegah suara-suara itu muncul?
” bapak , ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama,
dengan menghardik suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap
dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan
yang ke empat minum obat dengan teratur.”
”Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik”.
”Caranya sebagai berikut: saat suara-suara itu muncul,
langsung bapak bilang, pergi saya tidak mau dengar, … Saya
tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu
tak terdengar lagi. Coba bapak peragakan! Nah begitu, … bagus! Coba
lagi! Ya bagus bapak sudah bisa”
TERMINASI:
”Bagaimana perasaannya setelah peragaan latihan tadi?” Kalau suara-suara
itu muncul lagi, silakan coba cara tersebut ! bagaimana kalu kita buat jadwal
latihannya. Mau jam berapa saja latihannya? (Saudara masukkan kegiatan
latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien).
Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan
suara-suara dengan cara yang kedua? Jam berapa ?Bagaimana kalau dua jam
lagi? Berapa lama kita akan berlatih?Dimana tempatnya”
”Baiklah, sampai jumpa.”
STRATEGI PELAKSANAAN 2 (SP 2)
Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua: bercakap-cakap
dengan orang lain
ORIENTASI:
“Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apakah suara-
suaranya masih muncul ? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita latih?
Berkurangkan suara-suaranya Bagus ! Sesuai janji kita tadi saya akan latih
cara kedua untuk mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang
lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau di mana? Di sini saja?
KERJA:
“Cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi yang lain adalah dengan
bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalau bapak mulai mendengar suara-
suara, langsung saja cari teman untuk diajak ngobrol. Minta teman untuk
ngobrol dengan bapak Contohnya begini; … tolong, saya mulai dengar suara-
suara. Ayo ngobrol dengan saya! Atau kalau ada orang dirumah misalnya
istri,anak bapak katakan: bu, ayo ngobrol dengan bapak sedang dengar suara-
suara. Begitu bapak Coba bapak lakukan seperti saya tadi lakukan. Ya,
begitu. Bagus! Coba sekali lagi! Bagus! Nah, latih terus ya bapak!”
TERMINASI:
“Bagaimana perasaan bapak setelah latihan ini? Jadi sudah ada berapa cara
yang bapak pelajari untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, cobalah kedua
cara ini kalau bapak mengalami halusinasi lagi. Bagaimana kalau kita
masukkan dalam jadwal kegiatan harian bapak. Mau jam berapa latihan
bercakap-cakap? Nah nanti lakukan secara teratur serta sewaktu-waktu suara
itu muncul! Besok pagi saya akan ke mari lagi. Bagaimana kalau kita latih
cara yang ketiga yaitu melakukan aktivitas terjadwal? Mau jam berapa?
Bagaimana kalau jam 10.00? Mau di mana/Di sini lagi? Sampai besok ya.
Selamat pagi”
STRATEGI PELAKSANAAN 3 (SP 3)
Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga: melaksanakan
aktivitas terjadwal
ORIENTASI: “Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak
hari ini? Apakah suara-suaranya masih muncul ? Apakah
sudah dipakai dua cara yang telah kita latih ? Bagaimana hasilnya ? Bagus !
Sesuai janji kita, hari ini kita akan belajar cara yang ketiga untuk mencegah
halusinasi yaitu melakukan kegiatan terjadwal. Mau di mana kita bicara?
Baik kita duduk di ruang tamu. Berapa lama kita bicara? Bagaimana kalau 30
menit? Baiklah.” KERJA: “Apa saja yang biasa bapak lakukan? Pagi-pagi
apa kegiatannya, terus jam berikutnya (terus ajak sampai didapatkan
kegiatannya sampai malam). Wah banyak sekali kegiatannya. Mari kita
latih dua kegiatan hari ini (latih kegiatan tersebut). Bagus sekali bapak
bisa lakukan. Kegiatan ini dapat bapak lakukan untuk mencegah suara
tersebut muncul. Kegiatan yang lain akan kita latih lagi agar dari pagi sampai
malam ada kegiatan.
TERMINASI: “Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap cara
yang ketiga untuk mencegah suara-suara? Bagus sekali! Coba sebutkan 3 cara
yang telah kita latih untuk mencegah suara-suara. Bagus sekali. Mari kita
masukkan dalam jadwal kegiatan harian bapak Coba lakukan sesuai jadwal
ya!(Saudara dapat melatih aktivitas yang lain pada pertemuan berikut sampai
terpenuhi seluruh aktivitas dari pagi sampai malam) Bagaimana kalau
menjelang makan siang nanti, kita membahas cara minum obat yang baik
serta guna obat. Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 12.00 pagi?Di ruang
makan ya! Sampai jumpa.”
STRATEGI PELAKSANAAN 4 (SP 4)
Melatih pasien menggunakan obat secara teratur
ORIENTASI:
“Selamat pagi bapak Bagaimana perasaan bapak hari ini? Apakah suara-
suaranya masih muncul ? Apakah sudah dipakai tiga cara yang telah kita latih
? Apakah jadwal kegiatannya sudah dilaksanakan ? Apakah pagi ini sudah
minum obat? Baik. Hari ini kita akan mendiskusikan tentang obat-obatan
yang bapak minum. Kita akan diskusi selama 20 menit sambil menunggu
makan siang. Di sini saja ya bapak?”
KERJA:
“bapak adakah bedanya setelah minum obat secara teratur. Apakah suara-
suara berkurang/hilang ? Minum obat sangat penting supaya suara-suara yang
bapak dengar dan mengganggu selama ini tidak muncul lagi. Berapa macam
obat yang bapak minum ? (Perawat menyiapkan obat pasien) Ini yang warna
orange (CPZ) 3 kali sehari jam 7 pagi, jam 1 siang dan jam 7 malam gunanya
untuk menghilangkan suara-suara. Ini yang putih (THP)3 kali sehari jam nya
sama gunanya untuk rileks dan tidak kaku. Sedangkan yang merah
jambu (HP) 3 kali sehari jam nya sama gunanya untuk pikiran biar tenang.
Kalau suara-suara sudah hilang obatnya tidak boleh diberhentikan. Nanti
konsultasikan dengan dokter, sebab kalau putus obat, bapak akan kambuh dan
sulit untuk mengembalikan ke keadaan semula. Kalau obat habis bapak bisa
minta ke dokter untuk mendapatkan obat lagi. bapak juga harus teliti saat
menggunakan obat-obatan ini. Pastikan obatnya benar, artinya bapak harus
memastikan bahwa itu obat yang benar-benar punya bapak Jangan keliru
dengan obat milik orang lain. Baca nama kemasannya. Pastikan obat
diminum pada waktunya, dengan cara yang benar. Yaitu diminum sesudah
makan dan tepat jamnya bapak juga harus perhatikan berapa jumlah obat
sekali minum, dan harus cukup minum 10 gelas per hari”
TERMINASI:
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita bercakap-cakap tentang obat? Sudah
berapa cara yang kita latih untuk mencegah suara-suara? Coba sebutkan!
Bagus! (jika jawaban benar). Mari kita masukkan jadwal minum obatnya
pada jadwal kegiatan bapak Jangan lupa pada waktunya minta obat pada
perawat atau pada keluarga kalau di rumah. Nah makanan sudah datang.
Besok kita ketemu lagi untuk melihat manfaat 4 cara mencegah suara yang
telah kita bicarakan. Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00. sampai
jumpa.”

H. DAFTAR PUSTAKA
Budi Anna Keliat, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Dalami E, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Jakarta: CV. Trans Info Media.
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Pusdiklatnakes. 2012. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan Jiwa
Masyarakat. Jakarta: Badan PPSDM Kesehatan.
Yosep, Iyus. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika
Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan.
Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain,
dan lingkungan (Keliat,dkk, 2011)
Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan ditujukan pada diri
sendiri/orang lain secara verbal maupun non verbal dan pada lingkungan.
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah
tidak memiliki tujuan khusus, tapi lebih merujuk pada suatu perangkat
perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah
(Depkes RI, 2006, Berkowitz, 1993 dalam Dermawan dan Rusdi, 2013)
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol
(Farida & Yudi, 2011).

B. ETIOLOGI
Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku
kekerasan pada pasien gangguan jiwa antara lain :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang
memotivasi perilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa
kecil yang tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.
Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise
yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif
dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri
pelaku tindak kekerasan.
6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi
oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor
predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai
dengan teori menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan
respon-respon yang lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi
atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak
dapat diterima. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan
menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah
perilaku kekerasan merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris
ringan pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan
perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk
emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan
lobus temporal (untuk interpretasi indra penciuman dan memori) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak
menyerang objek yang ada di sekitarnya. Gangguan otak, sindrom
otak organik berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor
otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal) trauma otak,
apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,
baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri.
Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
a. Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri
maupun eksternal dari lingkungan.
c. Lingkungan
d. Panas, padat, dan bising.

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasanterdiri dari : 1. Fisik Mata melotot/pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh
kaku. 2. Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar, ketus. 3. Perilaku Menyerang orang lain, melukai
diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif. 4. Emosi Tidak
adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan
menuntut. 5. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat,
meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme. 6.
Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat. 7. Sosial Menarik diri, pengasingan,
penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran. 8. Perhatian Bolos, melarikan
diri, dan melakukan penyimpangan seksual

D. RENTANG RESPON MARAH


Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai
perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3. Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui
hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung
untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan
yang sama dari orang lain.
5. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain.

E. ASUHAN KEPERAWATAN
A) Pengkajian
Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah
melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini:
1. Muka merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengarupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Jalan mondar-mandir
6. Bicara kasar
7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Mengancam secara verbal atau fisik
9. Melempar atau memukul benda /orang lain
10. Merusak barang atau benda
11. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol
perilaku kekerasan.
B) Masalah Keperawatan
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada
perilaku kekerasan yaitu : a. Perilaku Kekerasan. b. Resiko mencederai
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. c. Perubahan persepsi sensori:
halusinasi. d. Harga diri rendah kronis. e. Isolasi sosial. f. Berduka
disfungsional. g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif. h. Koping
keluarga inefektif.
C) Pohon Masalah

Efek Resiko Menciderai Diri Sendiri,


Orang Lain, Dan Lingkungan

CP Perilaku Kekerasan

Ganggan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

D) Rencana Tindakan
Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan
yang digunakan untuk diagnosa perilaku kekerasan yaitu
:
Tindakan keperawatan untuk
klien Tujuan :
1. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
3. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya.
4. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
5. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
6. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,
spiritual, sosial, dan terapi psikofarmaka.
Tindakan:
1. Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan
agar klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan
Saudara. Tindakan yang harus Saudara lakukan dalam rangka
membina hubungan salig percaya adalah mengucapkan salam
terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, serta
membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
klien.
2. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang
terjadi di masa lalu dan saat ini.
3. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala
perilaku kekersan, baik kekerasan fisik, psikologis, sosial, sosial,
spiritual maupun intelektual.
4. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa
dilakukan pada saat marah baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan.
5. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku
marahnya. Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku
kekerasan baik secara fisik (pukul kasur atau bantal serta tarik
napas dalam), obat obat-obatan, sosial atau verbal
(dengan
mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual
(salat atau berdoa sesuai keyakinan klien).
Tindakan keperawatan untuk keluarga
1. Tujuan
Keluarga dapat merawat klien di rumah
2. Tindakan
a) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan
meliputi penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang
muncul, serta akibat dari perilaku tersebut.
b) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan
perilaku kekerasan. (1) Anjurkan keluarga untuk selalu
memotivasi klien agar melakukan tindakan yang telah
diajarkan oleh perawat. (2) Ajarkan keluarga untuk
memberikan pujian kepada klien bila anggota keluarga
dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat. (3)
Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus klien
menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang
perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar
atau memukul benda/orang lain.
E) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan: Perilaku Kekerasan
Tujuan Umum: Selama perawatan diruangan, pasien
tidak memperlihatkan perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil:
1. Dapat membina hubungan saling percaya.
2. Dapat mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, bentuk
dan akibat PK yang sering dilakukan.
3. Dapat menyebutkan cara mengontrol PK dengan cara fisik.
4. Dapat melakukan cara mengontrol PK dengan cara fisik,
minum obat teratur, verbal, dan spiritual.
5. Memasukan cara yang sudah dipilih dalam kegitan harian.
F) Intervensi
1. Tindakan Psikoterapi
a) BHSP
b) Ajarakan SP I: Diskusikan penyebab, tanda dan gejala,
bentuk dan akibat PK yang dilakukan pasien serta akibat
PK. Latih pasien mencegah PK dengan cara fisik (tarik
nafas dalam & memukul bantal dan kasur). Masukkan
dalam jadwal harian
c) Ajarkan SP II: Diskusikan jadwal harian. Diskusikan
tentang manfaat obat dan kerugian jika tidak minum obat
secara teratur. Masukkan dalam jadwal kegiatan harian
d) Ajarkan SP III: Diskusikan jadwal harian. Latih pasien
mengntrol PK dengan cara verbal. Latih pasien cara
menolak dan meminta yang asertif. Masukkan dalam
jadwal kegiatan harian
e) Ajarkan SP IV: Diskusikan jadwal harian. Latih cara
spiritual untuk mencegah PK. Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian. Bantu pasien mempraktekan cara yang
telah diajarkan. Anjurkan pasien untuk memilih cara
mengontrol PK yang sesuai. Masukkan cara mengontrol
PK yang telah dipilih dalam kegiatan harian
2. Tindakan psikofarmako
a) Berikan obat-obatan sesuai program pasien
b) Memantau kefektifan dan efek samping obat
yang diminum
c) Mengukur vital sign secara periodic
G) Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
klien terhadap tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan
setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif
dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan
umum yang telah ditentukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.
Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan
perilaku kekerasan antara lain:
1) Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku kekerasan.
2) Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
3) Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan
yang dilakukakannya.
4) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
5) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah
dilakukan.
6) Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
7) Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif
dalam mengungkapkan kemarahan.
8) Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol
perilaku kekerasan.
9) Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol
perilaku kekerasan.
10) Klien menggunakan obat sesuai program yang telah
ditetapkan. (Fitria, 2010)

F. STRATEGI PELAKSANAAN
Strategi Tindakan Keperawatan Menurut Fitria (2010) strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan
1) SP I Pasien
Membina hubungan saling percaya, pengkajian perilaku kekerasan
dan mengajarkan cara menyalurkan rasa marah.
2) SP 2 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
3) SP 3 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
4) SP 4 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
5) SP 5 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
6) SP 1 Keluarga
Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang cara merawat klien
perilaku kekerasan di rumah

G. DAFTAR PUSTAKA
Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof.
Dr. Soeroyo Magelang.
Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Keliat, Budi Anna, dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.
Jakarta. EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM

A. DEFINISI
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus
internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham
yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan
realitas. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual
dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang
logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan berulang kali (Kusumawati,
2010).

B. ETIOLOGI
Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utama fungsi
otak Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
1. Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan kemampuan
menilai dan menilik terganggu.
2. Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan kemampuan
berespons terganggu, tampak dari perilaku nonverbal (ekspresi dan
gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).
3. Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.
4. Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan asosiasi, efek,
ambivalen, autistik, serta gangguan atensi dan aktivitas.
5. Gejala sekunder: halusinasi, waham, dan gangguan daya ingat.

C. TANDA DAN GEJALA


1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat) Cara berfikir magis dan
primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan pengorganisasian bicara
(tangensial,neologisme,sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek
tidak sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen.
4. Fungsi motorik. Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme,
stereotipik gerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak
dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial kesepian. Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.
6. Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang sering
muncul adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP: halusinasi.
Tanda dan Gejala Menurut Direja, (2011) yaitu : Tanda dan gejala
pada klien dengan Waham Adalah : Terbiasa menolak makan, tidak ada
perhatian pada perawatan diri, Ekspresi wajah sedih dan ketakutan,
gerakan tidak terkontrol, mudah tersinggung, isi pembicaraan tidak
sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan, menghindar dari orang
lain, mendominasi pembicaraan, berbicara kasar, menjalankan kegiatan
keagamaan secara berlebihan.
D. POHON MASALAH

Perilaku Kekerasan

Menarik diri

Waham

(Fitria, 2009, dikutip Direja, 2011)

E. ASUHAN KEPERAWATAN
A) Pengkajian
1. Identifikasi klien
Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak
dengan klien tentang: Nama klien, panggilan klien, Nama perawat,
tujuan, waktu pertemuan, topik pembicaraan.
2. Keluhan utama/alasan masuk Tanyakan pada keluarga/klien hal yang
menyebabkan klien dan keluarga datang ke Rumah Sakit, yang telah
dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah dan perkembangan
yang dicapai.
3. Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan, mengalami,
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan
dalam keluarga dan tindakan kriminal.
4. Aspek fisik/biologis
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi, suhu,
pernafasan. Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau perlu kaji
fungsi organ kalau ada keluhan
5. Aspek psikososial
a) Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi
yang dapat menggambarkan hubungan klien dan keluarga,
masalah yang terkait dengan komunikasi, pengambilan
keputusan dan polaasuh.
b) Konsep diri
1) Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap tubuhnya,
bagian yang disukai dan tidak disukai.
2) Identitas diri: status dan posisi klien sebelum dirawat,
kepuasan klien terhadap status dan posisinya dan
kepuasanklien sebagai laki- laki/perempuan.
3) Peran: tugas yang diemban dalam keluarga /kelompok
dan masyarakat dan kemampuan klien dalam
melaksanakan tugastersebut.
4) Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas,
lingkungan dan penyakitnya.
5) Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian
dan penghargaan orang lain terhadap dirinya,
biasanya
terjadi pengungkapan kekecewaan terhadap dirinya
sebagai wujud harga diri rendah.
c) Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam
kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat
d) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
6. Status mental
Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien,
aktvitas motori klien, alam perasaan klien (sedih, takut, khawatir),
afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi klien, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentasi dan
berhitung, kemampuan penilaian dan daya tilik diri.
7. Proses pikIr
Proses pikir dalam berbicara jawaban klien kadang meloncat-loncat
dari satu topik ketopik lainnya, masih ada hubungan yang tidak logis
dan tidak sampai pada tujuan (flight ofideas) kadang-kadang klien
mengulang pembicaraan yang sama (persevere) Masalah
keperawatan: Gangguan Proses Pikir.
8. Isi piker
Contoh isi pikir klien saat diwawancara :
a) Klien mengatakan bahwa dirinya banyak mempunyai pacar,
dan pacarnya orang kaya dan bos batu bara
Masalah keperawatan : waham kebesaran.
b) Klien mengatakan alasan masuk RSJ karena sakit liver.
Masalah keperawatan : waham somatik.
9. Kebutuhan kesiapan pulang
a) Kemampuan makan klien, klien mampu menyiapkan dan
membersihkan alat makan
b) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan WC serta membersihkan dan merapikan
pakaian
c) Mandi klien dengan cara berpakaian, observasi kebersihan
tubuh klien.
d) Istirahat dan tidur klien, aktivitas didalam dan diluar rumah
e) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksi yang dirasakan
setelah minum obat.
10. Masalah psikososial dan lingkungan dari data keluarga atau klien
mengenai masalah yang dimiliki klien.
11. Pengetahuan Data didapatkan melalui wawancara dengan klien
kemudian tiap bagian yang dimiliki klien disimpulkan dalam
masalah.
12. Aspek medic Terapi yang diterima oleh klien: ECT, terapi antara lain
seperti terapi psikomotor, terapi tingkah laku, terapi keluarga, terapi
spiritual, terapi okupasi, terapi lingkungan. Rehabilitasi sebagai
suatu refungsionalisasi dan perkembangan klien supaya dapat
melaksanakan sosialisasi secara wajar dalam kehidupan
bermasyarakat.
B) Diagnosa Keperawatan
Menurut Damaiyanti (2012) masalah keperawatan yang sering muncul
pada klien waham adalah: Gangguan proses pikir: waham, Kerusakan
komunikasi verbal dan Harga diri rendah kronik.
C) Rencana Keperawatan
Rencana Keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus
pada masalah waham sebagai diagnosa penyerta lain. Hal ini dikarenakan
tindakan yang dilakukan saling berkontribusi terhadap tujuan akhir yang
akan dicapai. Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan diagnosa
gangguan proses pikir : waham yaitu (Keliat, 2009) :
1. Bina hubungan saling percaya Sebelum memulai mengkaji pasien
dengan waham, saudara harus membina hubungan saling percaya
terlebih dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat
berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang harus dilakukan
dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah:
a) Mengucapkan salam terapeutik
b) Berjabat tangan
c) Menjelaskan tujuan interaksi
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
2. Bantu orientasi realita
a) Tidak mendukung atau membantah waham pasien
b) Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman
c) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
d) Jika pasien terus menerus membicarakan wahamnya
dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal
sampai pasien berhenti membicarakannya
e) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai
dengan realitas.
f) Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut
dan marah.
g) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan
fisik dan emosional pasien
h) Berdikusi tentang kemampuan positif yang dimiliki
i) Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki
j) Berdiskusi tentang obat yang diminum
k) Melatih minum obat yang benar
D) Evaluasi
Menurut Yusuf (2015) evaluasi yang diiharapkan pada asuhan
keperawatan jiwa dengan gangguan proses pikir adalah pasien mampu
melakukan hal berikut:
1. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
2. Berkomunikasi sesuai kenyataan.
3. Menggunakan obat dengan benar dan
patuh. Keluarga mampu melakukan hal berikut:
1. Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai
kenyataan.
2. Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan pasien

Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.


Pada situasi nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana hal
ini terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis
dalam melaksanakan tindakan keperawatan Dalami (2009). 4. Evaluasi
Keperawatan Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai
efek dari tindakan keperawatan klien (Dalami, 2009). Evaluasi dilakukan
terus menerus pada respon klien terhadap tindakan yang telah
dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua jenis yaitu : evaluasi proses atau
formatif dilakukan selesai melaksanakan tindakan. Evaluasi hasil atau
sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan
umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan.

F. STRATEGI PELAKSANAAN
Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan
Strategi Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing-masing masalah
utama. Pada masalah gangguan proses pikir : waham terdapat 4 macam SP
yaitu :
1. SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, latihan orientasi
realita : orientasi orang, tempat, dan waktu serta lingkungan
sekitar.
2. SP 2 Pasien : Mengajarkan cara minum obat secara teratur
3. SP 3 Pasien : Mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan
cara memenuhi kebutuhan; mempraktekkan pemenuhan kebutuhan
yang tidak terpenuhi
4. SP 4 Pasien : Mengidentifikasi kemampuan positif pasien yang
dimiliki dan membantu mempraktekkannya
G. DAFTAR PUSTAKA
Dalami, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa.
Jogjakarta : Trans Info Media
Damayanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung :
Refika Aditama.
Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika
Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika.
Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. DEFINISI
Defisit perwatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur,
tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas dan penampilan
tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul
pada pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami
ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif
dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat
(Yusuf, 2015).

B. ETIOLOGI
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013), penyebab defisit
perawatan diri adalah :
a. Faktor predisposisi
1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah
kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam
Dermawan, 2013), faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik social
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
menderita diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.

7. Kondisi fisik atau psikis


Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.
C. TANDA DAN GEJALA
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013) tanda dan gejala klien
dengan defisit perawatan diri adalah :
1. Fisik
a) Badan bau, pakaian kotor
b) Rambut dan kulit kotor
c) Kuku panjang dan kotor
d) Gigi kotor disertai mulut bau
e) Penampilan tidak rapi
2. Psikologis
a) Malas, tidak ada inisiatif
b) Menarik diri, isolasi diri
c) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
3. Sosial
a) Interaksi kurang
b) Kegiataan kurang
c) Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d) Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembarang
tempat, tidak gosok gigi dan tidak mandi

D. KLASIFIKASI
Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan (2013) Jenis-jenis defisit
perawatan diri terdiri dari:
1. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan Kurang perawatan diri
(mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
mandi / kebersihan diri.

2. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias Kurang


perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3. Kurang perawatan diri : makan Kurang perawatan diri (makan) adalah
gangguan kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
4. Kurang perawatan diri : toileting Kurang perawatan diri (toileting)
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan.
E. RENTANG RESPON
Menurut Dermawan (2013), adapun rentang respon defisit perawatan diri
sebagai berikut :

1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan


mampu untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang
dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor
kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.

F. ASUHAN KEPERAWATAN
A) Pengkajian
1. Identitas
Biasanya identitas terdiri dari: nama klien, umur, jenis kelamin,
alamat, agama, pekerjaan, tanggal masuk, alasan masuk, nomor rekam
medik, keluarga yang dapat dihubungi.
2. Alasan Masuk
Biasanya masalah yang di alami pasien yaitu senang menyendiri, tidak
mau banyak berbicara dengan orang lain, terlihat murung, penampilan
acak-acakan, tidak peduli dengan diri sendiri dan mulai mengganggu
orang lain.
3. Faktor Predisposisi
Pada pasien yang mengalami defisit perawatan diri ditemukan adanya
faktor herediter mengalami gangguan jiwa, adanya penyakit fisik dan
mental yang diderita pasien sehingga menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan perawatan diri.
4. Pemeriksaan Fisik
Biasanya pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda
tanda vital (TTV), pemeriksaan secara keseluruhan tubuh yaitu
pemeriksaan head to toe yang biasanya penampilan klien yang kotor
dan acak- acakan.
5. Psikososial
a. Genogram
b. Konsep diri
1) Citra tubuh
2) Identitas diri
3) Peran diri
4) Ideal diri
5) Harga diri
6) Hubungan social
7) Spiritual
8) Status mental
9) Kebutuhan pasien pulang
10) Mekanisme koping

a) Adaptif Biasanya pasien tidak mau berbicara dengan orang


lain, tidak bisa menyelesikan masalah yang ada, pasien
tidak mampu berolahraga karena pasien selalu malas.
b) Maladaptif Biasanya pasien bereaksi sangat lambat atau
kadang berlebihan, pasien tidak mau bekerja sama sekali,
selalu menghindari orang lain.
c) Masalah psikososial dan lingkungan Biasanya pasien
mengalami masalah psikososial seperti berinteraksi dengan
orang lain dan lingkungan. Biasanya disebabkan oleh
kurangnya dukungan dari keluarga, pendidikan yang
kurang, masalah dengan sosial ekonomi dan pelayanan
kesehatan.
d) Pengetahuan Biasanya pasien defisit perawatan diri
terkadang mengalami gangguan kognitif sehingga tidak
mampu mengambil keputusan.
11) Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan
koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi
stress dan ansietas dengan menggunakan sumber koping yang
ada di lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan
sebagai modal untuk menyelesaikan masalah. Dukungan
sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stressdan
mengadopsi strategi koping yang efektif
B) Pohon Masalah

E Isolasi Sosial

CP Defisit Perawatan Diri

C Harga Diri Rendah Kronis

C) Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
defisit perawatan diri menurut Fitria (2012), adalah sebagai berikut: a.
Defisit perawatan diri b. Harga diri rendah c. Isolasi sosial
D) Intervensi Keperawatan
Tindakan keperawatan untuk pasien :
a. Tujuan:
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
b. Tindakan keperawatan
1 Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.

b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga


kebersihan diriMenjelaskan cara-cara melakukan
kebersihan diri
c) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan
diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga
kebersihan diri
2 Melatih pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi
:
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
3 Melatih pasien makan secara mandiri
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan

b) Menjelaskan cara makan yang tertib


c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah
makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
4 Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
G. STRATEGI PELAKSANAAN
Menurut dermawan (2013), penatalaksanaan defisit perawatan diri dapat
dilakukan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP). Strategi pelaksanaan
tersebut adalah :
SP 1 pasien :
1. Identifikasi masalah perawatan diri : kebersihan diri,
berdandan,makan/minum, BAB/BAK.
2. Jelaskan pentingnya kebersihan diri.
3. Jelaskan cara dan alat kebersihan diri.
4. Latih cara menjaga kebersihan diri : mandi dan ganti
pakaian, sikat gigi, cuci rambut, potong kuku.
5. Masukkan pada jadwal kegiatan harian untuk latihan mandi, sikat
gigi (2 kali per hari), cuci rambut ( 2 kali per minggu), potong
kuku (satu kali per minggu).
SP 2 pasien :
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri. Beri pujian.
2. Jelaskan cara dan alat untuk berdandan.
3. Latih cara berdandan setelah kebersihan diri : sisiran, rias
muka untukperempuan; sisiran, cukuran untuk pria.
4. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk kebersihan diri dan
berdandan.

SP 3 pasien :
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri dan berdandan. Beri pujian.
2. Jelaskan cara dan alat makan dan minum.
3. Latih cara dan alat makan dan minum.
4. Latih cara makan dan minum yang baik.
5. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan kebersihan diri,
berdandan, makan dan minum yang baik.
SP 4 pasien :
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri, berdandan, makan
dan minum.Beri pujian.
2. Jelaskan cara buang air besar dan buang air kecil yang baik.
3. Latih buang air besar dan buang air kecil yang baik.
4. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan kebersihan diri,
berdandan, makan dan minum serta buang air besar dan buang air
kecil.
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta, Gosyan Publishing.
Fitria, Nita. 2012. Prinsip dasar dan aplikasi penulisan laporan pendahuluan
dan strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (LP dan SP) untuk 7
diagnosis keperawatan jiwa berat, Jakarta : Salemba Medika.
Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Selemba Medika
LAPORAN
PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

A. DEFINISI
Resiko Bunuh diri adalah resiko untuk menciderai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri
dan dapat mengakhiri kehidupan. bunuh diri merupakan keputusan terakhir
dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. (Captain, 2008)

B. ETIOLOGI
Menurut Fitria, Nita, (2009) etiologi dari resiko bunuh diri adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Predisposisi
Lima factor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai
berikut:
a. Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa.
Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko
untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
b. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi
c. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis,
perpisahan atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social
sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik,
dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab masalah,
respons seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan
lain-lain.
d. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan factor penting yang dapat menyebabkan seseorang
bunuh diri.
e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
sepeti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro
Encephalo Graph (EEG).
2. FaktorPresipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress
berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali
berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat
menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media
mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan
bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan melakukan tindakan bunuh diri.
3. PerilakuKoping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan
sering kali orang ini secara sadar memilih untuk melakukan
tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan
banyak faktor, baik faktor social maupun budaya. Struktur social
dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong
klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social dapat
menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang
untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan
masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan
angka bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat
mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
4. MekanismeKoping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi
mekanisme koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri,
termasuk denial, rasionalization, regression, dan magicalthinking.
Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang
tanpa memberikan koping alternatif.

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati
3. Impulsif
4. Menunjukan perilaku yang mencurigakan
5. Mendekati orang lain dengan ancaman
6. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
7. Latar belakang keluarga
8. Memiliki riwayat percobaan bunuhdiri.

D. KLASIFIKASI
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenisbunuh
diri, meliputi:
1. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang
didasari oleh faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful)
sehingga mendorong seseorang untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan
dengan kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan
tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan
faktordalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

E. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Lingkungan dan upaya bunuh diri: perawat perlu mengkaji
peristiwa yangmenghina atau menyakitkan, upaya persiapan,
ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan benda yang
berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
2. Gejala: perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap
diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, alam perasaan
depresi, agitasi gelisah, insomnia menetap, berat badan menurun,
bicara lamban,keletihan, withdrawl.
3. Penyakit psikiatrik: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan,
afektif, zat adiktif, depresi remaja, gangguan mental lansia.
4. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan
pekerjaan, stress multiple (pindah, kehilangan, putus hubungan,
masalah sekolah, krisis disiplin), penyakit kronik.
5. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi
negative dankaku, putus asa, harga diri rendah, antisocial
6. Riwayat keluarga: riwayat bunuh diri, gangguan afektif,
alkoholisme.
Tanda dan gejala resiko bunuh diri dapat dinilai dari
ungkapan klien yang menunjukkan keinginan atau pikiran
untuk mengakhiri hidup dan didukung dengan data hasil
wawancara dan observasi. Data yang digunakan adalah data
subjektif dan objektif

Data subjektif
Klien mengungkapkan tentang
1) Merasa hidupnya tak berguna lagi
2) Inginmati
3) Pernah mencoba bunuh diri
4) Mengancam bunuh diri
5) Merasa bersalah, sedih, marah, putus asa,
tidakberdayaData objektif
Data objektif resiko bunuh diri adalah:
1) Ekspresi murung
2) Takbergairah
3) Banyakdiam
4) Ada bekas percobaan bunuhdiri
Tanda dan gejala resiko bunuh diri dapat ditemukan melalui
wawancara dengan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana perasaan klien saatini?


2. Bagaimana penilaian klien terhadap dirinya?
3. Apakah klien mempunyai pikiran ingin mati?
4. Berapa sering muncul pikiran ingin mati?
5. Kapan terakhir berpikir ingin mati?
6. Apakah klien pernah mencoba melakukan percobaan
bunuh diri? lakukannya? Sudah berapa kali? Kapan
terakhir melakukannya? Dengan apa klien melakukan
percobaan bunuh diri? apa yang menyebabkan klien ingin
melakukan percobaan bunuh diri?
7. Apakah saat ini masih terpikir untuk melakukan
perilaku bunuh diri?
Tanda dan gejala resiko bunuh diri yang dapat
ditemukan melaluiobservasi adalah:

1) Klien tampak murung


2) Klien tidak bergairah
3) Klien tampak banyak diam
4) Ditemukan adanya bekas percobaan bunuh diri
F. POHON MASALAH

G. STRATEGI PELAKSANAAN
a. SP 1
1) Mengidentifikasi beratnya masalah resiko bunuh diri
2) Mengidentifikasi benda-benda yang dapat
membahayakanpasiendan
mengamankannya
3) Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri
4) Melatih cara mengendalikan bunuhdiri
5) Membantu pasien memasukkan kegiatan
dalam jadwal kegiatannya.
b. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Pada Pasien
1) Fase Orientasi
a. Salam terapeutik:
“Assalamualaikum..
Selamat pagi bapak/ibu…perkenalkan nama saya
Perawat Intan Syafika, saya senang dipanggil Intan.
Saya mahasiswa praktek dari Profesi Ners Universitas
Jambi yang akan merawat Bapak selama 1 minggu.
Nama Bapak/ibu siapa? Senangnya dipanggil siapa?”
b. Validasi
“Bagaimana perasaan Bapak/ibu hari ini ? Apa ada
masalah sampai Bapak/ibu begini ?
c. Kontrak
“Baiklah bu bagaimana kalau kita berbincang-bincang
tentang masalah Ibu ? Tujuannya agar saya dapat
membantu mengatasi masalah tersebut. Mau dimana
kita berbincang – bincang
? Bagaimana kalau di sini saja ? Berapa lama mau
berbincang- bincangnya pak/bu? Bagaimana kalau 20
menit ?
2) Fase Kerja
“Bagaimana perasaan Bapak/ibu setelah bencana ini
terjadi? Apakah dengan bencana ini Bapak/ibu merasa
paling menderita di dunia ini? Apakah Bapak/ibu
kehilangan kepercayaan diri? Apakah Bapak/ibu merasa
tak berharga atau bahkan lebih rendah daripada orang lain?
Apakah Bapak/ibu merasa bersalah atau mempersalahkan
diri sendiri? Apakah Bapak/ibu sering mengalamikesulitan
berkonsentrasi? Apakah Bapak/ibu berniat untuk
menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap
bahwa Bapak mati? Apakah Bapak/ibu pernah mencoba
untuk bunuh diri? Apa sebabnya, bagaimana caranya? Apa
yang Bapak/ibu rasakan?”. “Baiklah pak/bu, tampaknya
Bapak/ibu membutuhkan pertolongan segera karena ada
keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya tidak akan
membiarkan Bapak/ibu sendiri. Nah, Saya perlu
memeriksa seluruh isi kamar Bapak ini untuk
memastikan tidak ada benda
– benda yang membahayakan Bapak/ibu.” “Bapak/ibu,
apakah Bapak/ibu tahu benda-benda yang dapat
membahayakan diri
bapak/ibu? Coba sebutkan apa saja benda-benda tersebut.
Bagus sekali Bapak/ibu, Bapak/ibu tahu benda-benda yang
dapat membahayakan diri Bapak/ibu. Apakah salah satu
benda tersebut ada dikamar Bapak/ibu? Kalau ada benda
tersebut jangan Bapak/ibu dekati atau pegang ya Pak/bu”.
“Pak/bu, apa yang Bapak/ibu lakukan kalau keinginan
bunuh diri muncul? Kalau keinginan itu muncul, maka
untuk mengatasinya Bapak/ibu harus langsung minta
bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga
atau teman yang sedang besuk. Jadi Bapak/ibu jangan
sendirian ya, katakan pada perawat, keluarga atau teman
jika ada dorongan untuk mengakhiri kehidupan. Paham
Pak/bu ? Saya percaya Bapak/ibu dapat mengatasi masalah
Bapak/ibu”
3) Fase Terminasi
a) Evaluasi Subjektif dan Objektif
“Bagaimana perasaan Bapak/ibu setelah apa yang kita
bicarakan tadi ? Coba Pak/ibu jelaskan lagi bagaimana
jika Bapak/ibu mulai mempunyai keinginan untuk
mengakhiri hidup. Bagus, Bapak/ibu minta perawat
atau orang lain untuk minta bantuan yaa”
b) Rencana Tindak Lanjut
“Bapak/bu, selama kita tidak bertemu, bila Bapak/ibu
melihat benda-benda yang dapat membahayakan
Bapak/ibu, segera jauhi, dan Bapak/ibu segera minta
bantuan pada orang orang disekitar jika keinginan
untuk mengakhiri hidup mulai muncul lagi”
c) Kontrakyang akan datang
“Baiklah sekarang Bapak/ibu saya tinggal dulu.
Bagaimana kalau besok bertemu lagi untuk bercakap
cakap tentang berpikir positif pada diri sendiri ?
Tempatnya mau dimana Pak/bu ? Bagaimana kalau di
sini Pak/bu? Jam berapa Pak/bu
? Bagaimana kalau jam 09.00 ? Baiklah Pak/bu
selamatberistirahat”

a. SP 2
1) Mengevaluasi kegiatan sebelumnya
2) Melatih cara mengendalikan diri dari dorongan bunuh
diridenganberpikir positif terhadap diri sendiri.
3) Membantu klien memasukkan kegiatannya dalam
jadwal harian.
b. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Pada Pasien
1) Fase Orientasi
a. Salam terapeutik
Assalamualaikum.. Selamat pagi X (nama pasien).
masih ingatdengan saya Pak/bu ? Ya benar saya perawat
Intan
b. Validasi
“Bagaimana perasaan X hari ini ? Apa kemarin atau hari
ini ada keinginan bnuh diri lagi X ? Bagus. Masih ingat
apa yang harus X lakukan jika ada keinginan bunuh
diri ? Iya bagus sekalisegera minta bantuan pada orang
lain ya
c. Kontrak
“Baiklah X sesuai kontrak kita kemarin, sekarang
kita akan bercakap tentang pikiran positif X terhadap
diri sendiri. Berapa lama mau bercakap-cakapnya X ?
Bagaimana kalau
20 menit ? Dimana mau bercakapnya X ? Bagaimana
kalau disini X ?”
2) Fase Kerja
“Apa yang X tidak sukai dari anggota tubuh? Oh tangan.
Bisa jelaskan alasan tidak suka dengan tangan X? Oh jadi
karena tangan X tidak dapat menyelamatkan anak X dari
bencana ya ? X, semua bagian yang diciptakan oleh Tuhan
itu semuanya bermanfaat dan harus kita syukuri. Jadi
sebaiknya kalau X merasa anggota tubuh tersebut tidak X
sukai, cobalah dari sekarang X mulai mencoba
menyukainya dengan menggunakannya untuk hal hal yang
X sukai. Saya dengar X pandai melukis ya ? Bagus X, X
dapat memulai menyukai tangan X dengan cara melukis.
Bagaimana kalau kita melukis X ? Ayoo silahkan X. Wah
bagus sekali yah Xlukisannya, nanti X bisa melukis lagi ya
kalau ada waktu”
3) Fase Terminasi
a) Evaluasi Subjektif dan Objektif
“Bagaimana perasaan X setelah apa yang kita
bicarakan tadi ? Saya senang jika X mulai sekarang
mencoba menyukai anggota tubuh X yang X anggap
tidak suka. Coba X jelaskan lagi apa yang harus X
lakukan jika ada waktu luang ? Iya bagus X”
b) Rencana tindak lanjut
“X, bagaimana kalau jadwal melukis ini kita
masukkan dalam jadwal kegiatan harian X ? Mau
dilakukan sehari berapa kali X
? Sehari sekali ya”
c) Kontrak yang akan datang
“Baiklah sekarang X saya tinggal dulu, kapan kita bisa
bertemu lagi X? Bagaimana kalau besok ? Baiklah
besok kita akan membahas tentang cara melakukan hal
yang baik ketika sedang mengalami masalah. Mau
dimana kita berbicara X ? Bagaimanakalau di sini lagi
X ? Mau jam berapa X ? Bagaimana kalau jam
10.00 ? Baik besok kita bertemu lagi di sini jam 10.00 ya
X
? Apakah X setuju ? Baiklah X selamat beristirahat.
Wassalamualaikum”

a. SP 3
1) Mengevaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri,
keluargadanlingkungan. Beri pujian. Kaji risiko bunuh
diri
2) Mendiskusikan harapan dan masa depan
3) Mendiskusikan cara mencapai harapan dan masa depan
4) Melatih cara-cara mencapai harapan dan masa depan
secarabertahap(setahap demi setahap)
5) Memasukkan pada jadual latihan berpikir positif tentang diri,
keluarga danlingkungan dan tahapan kegiatan yang dipilih
b. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Pada Pasien
1) Fase Orientasi
a. Salam terapeutik
Assalamualaikum.. Selamat pagi X (nama pasien)… masih
ingat dengan saya X? Ya benar saya perawat Jogi
b. Validasi
“Bagaimana perasaan X hari ini ? Apa kemarin atau
hari ini ada keinginan bunuh diri lagi Pak/bu ? Bagus.
Masih ingat apa yangharus Bapak/ibu lakukan jika ada
keinginan bunuh diri ? Iya bagus sekali segera minta
bantuan pada orang lain ya”
c. Kontrak
“Baiklah Pak/ibu sesuai kontrak kita kemarin,
sekarang kita akan bercakap tentang apa yang harus
Bapak/ibu lakukan jika ada masalah. Berapa lama mau
bercakap ? Bagaimana kalau 20 menit ? Dimana mau
bercakap Pak/ibu? Bagaimana kalau disini
?”
2) Fase Kerja
“Bapak/ibu, ketika Bapak/ibu sedang mangalami masalah,
apa yang Bapak/ibu lakukan ? Apalagi Pak/ibu ? Bagus
sekali Bapak/ibu ini. Jadi kalau Bapak/ibu sedang
mengalami masalah seperti itu, Bapak/ibu bisa melakukan
hal-hal yang membuat Bapak/ibu sibuk, tapi sibuk dengan
hal-hal yang positif, seperti apa yang bapak/ibu katakan
tadi, misalnya : melukis, main bola, menyapu halamandan
shalat. Sekarang coba Bapak/ibu sebutkan lagi kegiatan-
kegiatannya ! Iya, bagus Pak/ibu. Bagaimana kalau kita
melukis lagi Pak/ibu ? Wah lukisan Bapak/ibu bagus sekali
ya, kapan kapan saya bisa diajari ya ?”
3) Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif dan Objektik
“Bagaimana perasaan Bapak/ibu setelah apa yang kita
bicarakan tadi ? Saya senang jika Bapak/ibu
melakukan kegiatan-kegiatan yang tadi kita bicarakan.
Sekarang coba Bapak/ibu sebutkan kembali apa yang
sudah kita bicarakan tadi.
b. Rencana tindak lanjut
“Bapak/ibu, selama kita tidak bertemu, Bapak/ibu bisa
melakukan kegiatan- kegiatan tadi, seperti main
melukis, bola, menyapu, dan shalat. Kemudian
Bapak/ibu mari kita masukan kedalam jadwal kegiatan
harian Bapak/ibu ya”
c. Kontrak yang akan datang
“Bagaimana kalau besok kita bertemu lagi untuk
membahas tentang membuat rencana untuk masa
depan. Dimana kitaakan berbicara Pak/ibu ?
Bagaimana kalau di taman lagi Pak/ibu? Mau jam
berapa Pak/ibu ? Bagaimana kalau jam 10 lagi ?
selamat beristirahat. Wassalamualaikum”

a. SP 4
1) Mengevaluasi kegiatan berpikir positif tentang diri,
keluarga danlingkungan serta kegiatan yang dipilih.
Beri pujian
2) Melatih tahap kedua kegiatan mencapai masa depan
3) Memasukkan pada jadual latihan berpikir positif tentang diri,
keluarga dan lingkungan, serta kegiatan yang dipilih untuk
persiapan masa depan
b. Strategi Pelaksanaan Komunikasi Pada Pasien
1) Fase Orientasi
a. Salam terapeutik
Assalamualaikum.. Selamat pagi X (nama pasien)…
masih ingat dengan saya X? saya perawat Jogi
b. Validasi
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini ? Apa kemarin atau
hari iniada keinginan bunuh diri lagi ? Bagus. Masih
ingat apa yang harus Ibu lakukan jika ada keinginan
bunuh diri ? Iya bagus sekali segera minta bantuan
pada orang lain danmenyibukkan diri”
c. Kontrak
“Baiklah buk sesuai kontrak kita kemarin, sekarang
kita akan bercakap tentang cara mencapai keinginan
Bapak. Berapa lama mau bercakap ? Bagaimana
kalau 20 menit ? Dimana mau bercakap buk ?
Bagaimana kalau disini ?”
2) Fase Kerja
“Ibuk, apa keinginan Ibuk dari dulu sampai sekarang?
Apalagi buk? Apakah masih ada ? Sampai saat ini sudah
ada keinginan Ibuk yang sudah tercapai ? Wah
hebat…..yang belum tercapai apa Buk ? Harapan Ibu
sangat bagus sekali, Ibu bias berusaha semampu Ibu
dengan cara yang sabar, lebih giat, ikhtiar dan berdoa.
Kegagalan bukan akhir dari sebuah harapan buk, namun
cobaan yang nantinya akan membawa Ibu ke arah yang
ibuk harapkan selama ini. Jadi, selalu berusaha menjadi
yang terbaik ya buk, kejar cita-cita Ibuk sampai dapat dan
ingat, kejar harapan itu sesuai kemampuan Ibu”.
3) Fase Terminasi
a. Evaluasi Subjektif dan Objektik
“Bagaimana perasaan Ibu setelah bercakap cakap ?
Saya senang, jika Ibu melakukan apa yang sudah tadi
kita bicarakan. Coba Ibu sebutkan kembali apa yang
seharusnya kita lakukan ketika kita menginginkan
sesuatu! Pintar sekali Ibu ini”
b. Rencana tindak lanjut
“Ibu, selama kita tidak bertemu, Ibu bisa melakukan
hal seperti tadi untuk mencapai keinginan Ibu yang
nyata, Ibu mesti lebih sabar, lebih giat, ikhtiar dan
berdoa. Jangan sampai menyerah ya Buk”
c. Kontrak yang akan datang
“Bagaimana kalau kita besok bertemu lagi untuk
melihat semua manfaat dari yang sudah kita pelajari
bersama bu ?. Jam berapa bu ? Bagaimana kalau jam
9 ? Dimana ? Bagaimana kalau disini lagi ? Baiklah,
sampai jumpa”

H. DAFTAR PUSTAKA
Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy,
Volume 6 (3).
Fitria, Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP &
SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC. Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta:
EGC
Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di
sekitarnya. Pasien merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain disekitarnya (Keliat,
2014).
B. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi Menurut Direja (2011)

faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial yaitu:

1.) Faktor tumbuh kembang Pada setiap tahapan tumbuh kembang


individu ada tugas perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak
terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas-tugas dalam
setiap perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan sosial selanjutnya.

2.) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga Gangguan komunikasi dalam


keluarga merupakan faktor pendukung untuk terjadinya gangguan
hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak jelas (double
bind) yaitu suatu keadaan dimana individu menerima pesan yang
saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan ekspresi emosi yang
tinggi di setiap berkomunikasi.

3.) Faktor Sosial Budaya Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari
lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh
normanorma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota
keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakitan kronis,
dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosial.
4.) Faktor Biologis Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor
pendukung yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan
sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi adalah.

b. faktor presipitasi

1) Stressor Sosial Budaya Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor


antara faktor lain dan faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas
unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti dalam
kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.

2) Stressor Psikologi Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan


terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk
mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang dekat atau
kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.

C. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan isolasi sosial:
menarik diri menurutDermawan dan Rusdi (2013) adalah sebagai berikut:

1. Gejala Subjektif
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh
orang lain
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Respon verbal kurang atau singkat
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
e. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
f. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
g. Klien merasa tidak berguna
h. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
i. Klien merasa ditolak
2. Gejala Objektif
a. Klien banyak diam dan tidak mau bicara
b. Tidak mengikuti kegiatan
c. Banyak berdiam diri di kamar
d. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang
yang terdekat
e. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
f. Kontak mata kurang
g. Kurang spontan
h. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
i. Ekpresi wajah kurang berseri
j. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
k. Mengisolasi diri
l. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
m. Memasukan makanan dan minuman terganggu
n. Retensi urine dan feses
o. Aktifitas menurun
p. Kurang enenrgi (tenaga)
q. Rendah diri
r. Postur tubuh berubah,misalnya sikap fetus/janin (khusunya
pada posisi tidur)

D. ASUHAN KEPERAWATAN
A) PENGKAJIAN
Adapun ruang lingkup pengkajian klien dengan masalah utama Kerusakan
Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri meliputi pegumpulan data,
perumusan masalah keperawatan, pohon masalah dan analisa data.
1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan
spiritual. Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula
berupa faktor predisposisi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan
kemampuan koping yang dimiliki klien (Stuart and Sundeen,
1995).Adapun data yang dapat dikumpulkan pada klien dengan
Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri adalah sebagai
berikut.

1) Identitas klien
Pada umumnya idetitas klien yang dikaji pada klien dengan masalah
utama Kerusakan Interaksi Sosial Menarik Diri adalah : biodata yang
meliputi nama, umur, terjadi pada umur atara 15 – 40 tahun, bisa
terjadi pada semua jenis kelamin, status perkawinan, tangggal MRS ,
informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien. dan
agama pendidikan serta pekerjaan dapat menjadi faktor untuk
terjadinya penyakit Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik
Diri.

2) Alasan masuk rumah sakit


Keluhan biasanya adalah kontak mata kurang, duduk sendiri lalu
menunduk, menjawab pertanyaan dengan singkat, menyediri
(menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada,
berdiam diri dikamar, menolak interaksi dengan orang lain, tidak
melakukan kegiatan sehari – hari, dependen.
3) Faktor predisposisi
Pernah atau tidaknya mengalami gangguan jiwa, usaha pengobatan
bagi klien yang telah mengalami gangguan jiwa trauma psikis seperti
penganiayaan, penolakan, kekerasan dalam keluarga dan keturunan
yang mengalami gangguan jiwa serta pengalaman yang tidak
menyenangkan bagi klien sebelum mengalami gangguan jiwa.
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan / frustrasi berulang, tekanan dari kelompok
sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba-tiba
misalnya harus dioperasi , kecelakaan, dicerai suami , putus sekolah,
PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan,
di tuduh KKN, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak
menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang
berlangsung lama.
4) Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD: cenderung meningkat, Nadi:
cenderung meningkat, suhu: meningkat, Pernapasan : bertambah, TB,
BB: menurun).
a. Keluhan fisik
Biasanya mengalami gangguan pola makan dan tidur sehingga
bisa terjadi penurunan berat badan. Klien biasanya tidak
menghiraukan kebersihan dirinya.
b. Aspeks psikososial
c. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
5) Konsep diri
Pada umumnya klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus
Menarik Diri mengalami gangguan konsep diri seperti :
a) Citra tubuh : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh
yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah
terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan
tubuh, persepsi negatip tentang tubuh.
b) Identitas diri: Ketidakpastian memandang diri, sukar
menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil
keputusan.

c) Peran: Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan


penyakit, proses menua, putus sekolah, PHK.

d) Ideal diri: Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya;


mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.

e) Harga diri: Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah


terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan
martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri. Klien
mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan
social dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok
yang diikuti dalam masyarakat. Keyakinan klien terhadap
Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual).

f) Hubungan sosial : Hubungan sosial merupakan kebutuhan bagi


setiap manusia, karena manusia tidak mampu hidup secara
normal tanpa bantuan orang lain. Pada umumnya klien dengan
Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri
mengalami gangguan seperti tidak merasa memiliki teman
dekat, tidak pernah melakukan kegiatan kelompok atau
masyarakat dan mengalami hambatan dalam pergaulan.

g) Status mental

h) Penampilan: Pada klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial :


Menarik Diri berpenampilan tidak rai, rambut acak-acakan,
kulit kotor, gigi kuning, tetapi penggunaan pakaian sesuai
dengan keadaan serta klien tidak mengetahui kapan dan
dimana harus mandi.

i) Pembicaraan: Pembicaraan klien dengan Kerusakan


interaksisosial Menarik Diripada umumnya tidak mampu
memulai pembicaraan, bila berbicara topik yang dibicarakan
tidak jelas atau kadang menolak diajak bicara.

j) Aktivitas motorik: Klien tampak lesu, tidak bergairah dalam


beraktifitas, kadang gelisah dan mondar-mandir.

k) Alam perasaan: Alam perasaan pada klien dengan Kerusakan


Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri biasanya tampak
putus asa dimanifestasikan dengan sering melamun.

l) Afek: Afek klien biasanya datar, yaitu tidak bereaksi terhadap


rangsang yang normal.
m) Interaksi selama wawancara: Klien menunjukkan kurang
kontak mata dan kadang-kadang menolak untuk bicara dengan
orang lain.

n) Persepsi. Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus


Menarik Diri pada umumnya mengalami gangguan persepsi
terutama halusinasi pendengaran, klien biasanya mendengar
suara-suara yang megancam, sehingga klien cenderung sering
menyendiri dan melamun.

o) Isi pikir. Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus


Menarik Diri pada umumnya mengalami gangguan isi pikir :
waham terutama waham curiga.

p) Proses pikir. Proses pikir pada klien dengan Kerusakan


Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri akan kehilangan
asosiasi, tiba-tiba terhambat atau blocking serta inkoherensi
dalam proses pikir.

q) Kesadaran. Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada


kasus Menarik Diri tidak mengalami gangguan kesadaran.

r) Memori. Klien tidak mengalami gangguan memori, dimana


klien mampu mengingat hal-hal yang telah terjadi.

s) Konsentrasi dan berhitung. Klien dengan Kerusakan Interaksi


Sosial pada kasus Menarik Diri pada umumnya tidak
mengalami gangguan dalam konsentrasi dan berhitung.

t) Kemampuan penilaian. Klien tidak mengalami gangguan


dalam penilaian

u) Daya tilik diri. Klien mengalami gangguan daya tilik diri


karena klien akan mengingkari penyakit yang dideritanya.

6) Kebutuhan persiapan pulang


1. Makan. Klien mengalami gangguan daya tilik diri karena klien
akan mengingkari penyakit yang dideritanya.
2. BAB / BAK. Kemampuan klien menggunakan dan
membersihkan WC kurang.

3. Mandi. Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus


Menarik Diri bisanya tidak memiliki minat dalam perawatan diri
(mandi)

4. Istirahat dan tidur: Kebutuhan istirahat dan tidur klien biasaya


terganggu

7) Mekanisme koping
Koping yang digunakan klien adalah proyeksi, menghindar dan kadang-
kadang mencedrai diri.Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak
mau menceritakannya pada orang orang lain (lebih sering menggunakan
koping menarik diri).
8) Masalah psikososial dan lingkungan
Klien mendapat perlakuan yang tidak wajar dari lingkungan seperti
klien direndahkan atau diejek karena klien menderita gangguan jiwa.

9) Pengetahuan
Klien dengan Kerusakan Interaksi Sosial pada kasus Menarik Diri,
kurang mengetahuan dalam hal mencari bantuan, faktor predisposisi,
koping mekanisme dan sistem pendukung dan obat-obatan sehingga
penyakit klien semakin berat.
10) Aspek medic
Meliputi diagnosa medis dan terapi obat-obatan yang digunakan oleh
klien selama perawatan.
11) Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata,
kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang
mampu berhubungan dengan orang lain, Adanya perasaan keputusasaan
dan kurang berharga dalam hidup.
B) Perumusan Masalah

a. Masalah Utama : Kerusakan interaksi social : menarik diri

b. Daftar masalah

C) Masalah Keperawatan
1. Perubahan persepsi – sensori : halusinasi
2. Isolasi Sosial : menarik diri

3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

1. Isolasi sosial : menarik diri


a) Data obyektif
Apatis, ekpresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri
dikamar, banyak diam, kontak mata kurang (menunduk), menolak
berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi
menekur.
b) Data subyektif
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya
dijawab dengan singkat, ya atau tidak.
D) DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan persepsi sensori
2. Isolasi sosial : menarik diri
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
E) INTERVENSI & IMPLEMENTASI
1. Gangguan isolasi sosial : menarik diri
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga
tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik dengan cara :
1. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan

3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai

4. Jelaskan tujuan pertemuan

5. Jujur dan menepati janji

6. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya

7. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien

2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri


Tindakan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-
tandanya

2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan


penyebab menarik diri atau mau bergaul

3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-


tanda serta penyebab yang muncul

4. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan


perasaannya

3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain


dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

Tindakan :

1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan


berhubungan dengan orang lain
1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain

2) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan


orang lain

3) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan


perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain.
2. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain

1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan


dengan orang lain

2) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan


dengan orang lain

3) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan


perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

4) Klien dapat melaksanakan hubungan social


Tindakan :
1. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
2. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap

K–P : Klien – Perawat

K – P – P lain : Klien – Perawat – Perawat lain

K – P – P lain – K lain : Klien – Perawat – Perawat lain – Klien lain

K – Kel/ Klp/ Masy : Klien – Keluarga/Kelompok/Masyarakat

3. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai

4. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan

5. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi


waktu

6. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan

7. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan.

5) Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan


orang lain
Tindakan :
1. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan
dengan orang lain
2. Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan
orang lain

3. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan


perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain

6) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga


Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
- Salam, perkenalan diri

- Jelaskan tujuan

- Buat kontrak

- Eksplorasi perasaan klien


2. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
- Perilaku menarik diri
- Penyebab perilaku menarik diri

- Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi

- Cara keluarga menghadapi klien menarik diri


3. Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien
untuk berkomunikasi dengan orang lain
4. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien
minimal satu kali seminggu

5. Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga.
E. DAFTAR PUSTAKA
Dermawan & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa (Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa). Yogyakarta: Gosyen Publishing
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Keliat, Budi Anna. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN
(Basic Course). Jakarta: EGC
Stuart, W. Gail. 2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

A. DEFINISI
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Pencapaian ideal diri atau cita-cita atau harapan langsung menghasilkan
perasaan bahagia.(Keliat, Budi, 2006)
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
a. Yang mempengaruhi harga diri : penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang
b. Yang mempengaruhi performa peran : sterotip peran gender,
tuntutan peran kerja dan harapan peran budaya
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma : misal penganiayaan seksual dan psikologis atau
menyaksikan yang mengancam kehidupan
b. Ketegangan peran : hubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dan individu mengalaminya sebagai frustasi : Ada 3
transisi peran yaitu transisi perkembangan seperti perubahan
normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan. Transisi peran
situasi, terjadi dengan bertambahnya atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran dan kematian. Transisi peran sehat
sakit, terjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan
sakit.

C. TANDA DAN GEJALA


1. Data subjektif:
a. Perasaan tidak mampu
b. Rasa bersalah
c. Mengkritik diri sendiri atau orang lain
d. Sikap negative pada diri sendiri
e. Sikap pesimis pada kehidupan
f. Keluhan sakit fisik
g. Pandangan hidup yang terpolarisasi
h. Menolak kemampuan diri sendiri
i. Mengungkapkan kegagalan diri sendiri
j. Ketidakmampuan menetukan tujuan
Data objektif:
a. Produktivitas menurun
b. Mengukur diri sendiri dan orang lain
c. Destruktif pada orang lain
d. Destruktif terhadap diri sendiri
e. Menolak diri secara sosial
f. Penyalahgunaan obat
g. Menarik diri dan realistis
h. Khawatir
i. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
j. Menunujukkan tanda depresi (susah tidur dan tidak nafsu makan)

D. POHON MASALAH

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep diri : Harga Diri Rendah

Koping individu
E. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Fokus Pengkajian
- Data Subyektif : Klien mengatakan tidak mampu, tidak bisa,
tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,
mengungkapkan perasaaan malu terhadap orang lain dari diri-
sendiri
- Data Obyektif : Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila
disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ ingin
mengakhiri hidup. (Stuart GW.Sundeen, 2005)
b. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
2. Isolasi sosial
c. Intervensi
1) Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
- Tujuan Umum : Klienmemiliki konsep diri yang positif
- Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina
hubngan saling percaya
Intervensi :
a. Sapa klien dengan ramah dan nama panggilan yang
disukai klien
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang
disukai klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Beri perhatian kepada klien dan perjhatikan kebutuhan
dasar klien
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek
positif yang dimilikiklien
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
klien
b. Hindarkan pemberi penilaian negatif setiap bertemu
klien
c. Untuk memberi pujian yang realistik
3. Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk
dilaksanakan
a. Diskusikan kemampuan yang masih dapat dilakukan
b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan
pelaksanaannya
4. Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuan
yang dimiliki
a. Rencanakan bersama aktivitas klien yang dapat
dilakukan setiap hari
b. Tingkatkan kegiatna sesuai kondisi klien
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien
lakukan
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuat
a. Anjurkan klien untuk melaksanakan kegiatan yang telah
direncanakan
b. Pantau kegiatan yang dilaksanakan klien
c. Beri pujian atas usaha yang dilakukan klien
d. Diskusikan kemungkinan pelaksaan kegiatan setelah
pulang
6. Klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang
cara merawat kliendengan harga diri rendah
b. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien
dirumah
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah
2) Isolasi Sosial
- Tujuan Umum: Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
- Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina
hubungan saling percaya
Intervensi:
a. Beri salam setiap interaksi
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan
tujuan perawatberkenalan
c. Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien
d. Tunjukkan sikap jujur dan menepati janjji setiap kali
berinteraksi
e. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi
klien
f. Buat kontrak interaksi yang jelas
g. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan
klien
2. Klien mampu menyebutkan penyebab menarik diri
a. Tanyakan pada klien tentang:
- Orang yang tinggal serumah atau teman
sekamar klien
- Orang yang paling dekat dengan klien di
rumah atau di ruangperawatan
- Apa yang membuat klien dekat dengan orang
tersebut
- Orang yang tidak dekat dengan klien di
rumah atau di ruangperawatan
- Apa yang membuat klien tidak dekat dengan
orang tersebut
- Upaya yang sudah dilakukan agar dekat
dengan orang lain
b. Diskusikan dengan klien penyebab menarik diri atau
tidak maubergaul dengan orang lain
c. Beri pujian terhadap kemampuan klien
mengungkapkan perasaan
3. Klien mampu menyebutkan keuntungan
berhubungan social dan kerugian menarik
diri
a. Tanyakan pada klien tentang manfaat hubungan
social dan kerugianmenarik diri
b. Diskusikan bersama klien tentang manfaat
berhubungan social dankerugian menarik diri
c. Beri pujian terhadap kemampuan klien
mengungkapkan perasaannya
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara
bertahap
a. Observasi perilaku klien saat berhubungan social
b. Beri motivasi dan bantu klien untuk berkenalan
atau berkomunikasi dengan perawat lain, klien lain
dan kelompok.
c. Libatkan klien dalam terapi aktivitas kelompok
sosialisasi
d. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan
untuk meningkatkankemampuan klien bersosialisasi
e. Beti motivasi klien untuk melakukan kegiatan
sesuai dengan jadwalyang telah dibuat
f. Beri pujian terhadap kemampuan klien memperluas
pergaulannyamelalui aktivitas yang dilaksanakan
5. Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah
berhubungan social
a. Diskusikan dengan klien tentang perasaannya
setelah berhubungan sosial dengan orang lain dan
kelompok
b. Beri pujian terhadap kemampuan klien
mengungkapkan perasaannya
6. Klien mendapat dukungan keluarga dalam memperluas
hubungan sosial
a. Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai
pendukung untukmengatasi perilaku menarik diri
b. Diskusikan potensi keluarga untuk membantu
Klien mengatasiperilaku menarik diri
c. Jelaskan pada keluarga
tentang:
- Pengertian menarik diri
- Tanda dan gejala menarik diri
- Penyebab dan akibat menarik diri
- Cara merawat kllien menarik diri
d. Latih keluarga cara merawat klien menarik diri
e. Tanyakan perasaan keluarga setalah mencoba cara
yang dilatihkan
f. Beri motivasi keluarga agar membantu klien untuk
bersosialisasi
g. Beri pujian kepada keluarga atas keterlibatannya
merawat klien di rumah sakit
7. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
a. Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan
kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosisi,
cara, efek terapi dan efek samping penggunaan obat
b. Pantau klien saat penggunaan obat
c. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar
d. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa
konsultsi dengan dokter
e. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter atau
perawat jikaterjadi hal-hal yang tidak diinginkan
F. DAFTAR PUSTAKA
Keliat, B.A. 2006.Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Stuart, W. Gail. 2005. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai