Makalah Hukum Bisnis Syariah Kel 12
Makalah Hukum Bisnis Syariah Kel 12
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita.
Makalah “Lembaga Penyelesaian Sengketa Syariah” disusun guna memenuhi tugas Ibu
Dosen Nur Faradilla Ananda pada mata kuliah Hukum Bisnis Syariah di UINSI Samarinda. Selain
itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Lembaga Penyelesaian Syariah yang harus kita teladani dalam era modern seperti ini.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Nur Faradilla Ananda selaku dosen
mata kuliah Hukum Bisnis Syariah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni kami. Kami juga mengucapkan terima kasih pada para
saudara, saudari dan teman sekalian yang telah menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah dan perbaikan makalah selanjutnya.
Kelompok 12
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I (PENDAHULUAN) ............................................................................................................4
A. Latar Belakang .......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................................4
1
Ahmad Khotibul Umam, “Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, Jurnal Risalah Vol. 1,
No. 1, Desember 2016, Hal 9-10
B. Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Agama
1. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan
kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara
cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai
substansi perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya
pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim
harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum
dimulainya proses pemeriksaan di persidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada
beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu:
a. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase. Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah
perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase
atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama yang
memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan kewenangan
absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan
sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau
sengketa atau perkara perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh
karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu
sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan
seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengupayakan perdamaian bagi para pihak.
Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase, maka tidak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan
perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolut
lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya,
pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adalah jika dalam perjanjian
tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi
perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut
akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka
tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan dengan
klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut
merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum
memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan
hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa
dan mengadili perkara tersebut.
b. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerja sama antar para
pihak.
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani
tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase,
lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila
upaya damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan
adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerja sama para
pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik
yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut
dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam
KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak
karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain lain yang disebut
dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.2
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu
saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik
yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama di bidang tersebut.
Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata
dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka
2
Salim HS, “Hukum Kontrak : Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 7
hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum islam.
3
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, “Riba dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, (Yogyakarta:
Politea Press, 2008), Hal. 7
berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil
yang telah dikemukakan di persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan
bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang
merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim
melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau
memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang
harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah
melakukan konstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menemukan hukum
dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam
suatu putusan (vonis) hakim.
4
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 1999), Hal. 167
5
Taufik, “Nadhariyyatu Al-Uqud Al- Syar’iyah”, (Yogyakarta:LKis, 2007), Hal. 95
2. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain
adalah:
a). UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan
b). UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia
c). UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
d). UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
e). PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
f). PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
g). SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat
deposito
h). SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet
Giro
i). Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya
yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.
5. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar
mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam
arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan
hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah
Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang
Perbankan syariah.
6. Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam
mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-
pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.
C. Penyelesaian Persengketaan pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
6
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 1999), Hal. 99
Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan
timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara
melaksanakan Klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal
lainnya. Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu
melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat
dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa Nomor 30 tahun 1999:'Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu,
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.'Dalam Pasal 5 Undang-
undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:'Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah
dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk
masalah-Masalah Perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang
paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
merekaLembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana
yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan
bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan
tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitrase.
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kemudian hari di antara mereka.
Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu
sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada
juga yang melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of
forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para
pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila di
kemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (pilihan hukum). Dasar hukum
pemberlakuan arbitrasedalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.Adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat
obyektif yang dipahami dalam pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif
dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999.
Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan
dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topik yang
diperjanjikan oleh para pihak tersebut. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga
arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yangterjadi dalam lalu
lintasperdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang
khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan
Arbitrase Syari'ah Nasional) yang menangani Masalah-masalah yang terjadi dalam
pelaksanaan Bank Syari'ah, dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang
khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam.
Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam
menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul akibat wanprestasi
terhadap kontrak-kontrakyang dilaksanakannya. Dalam kaitan ini, Indonesia yang
merupakan bagian dari masyarakat dunia juga telah memiliki lembaga arbitrase
dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat dengan BANI.
Keberadaan BANI ini diprakarsai oleh kalangan bisnis nasional yang tergabung
dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yangdidirikan pada tanggal 3 Desember
1977. Adapun tujuan didirikannya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
adalah memberikan penyelesaian yangadil dan cepat dalam sengketa-sengketa
perdata yang timbul dan berkaitan dengan perdagangan dan keuangan, baik yang
bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Di samping itu, keberadaan
BANI di samping berfungsi menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima
permintaan yang diajukan oleh parapihak dalam suatu perjanjian untuk
memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan.
Oleh karena BANI dibentuk untuk kepentingan masyarakat Indonesia, maka BANI
harus tunduk kepada hukum Indonesia. Selama ini praktek arbitrase banyak
diatur dalam HIR, khususnyapasal 377 HIR yang menyebutkan bahwa arbitrase
dibenarkan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak dengan
tetap berpedoman sebagaimana tersebut dalam buku ketiga Rv, dengan hal ini
dapat diketahui bahwa secara yuridis formal hanya Rv yang diakui sebagai hukum
positif arbitrase, dan tertutup kemungkinan untuk memilih dan mempergunakan
institusi atau peraturan yang terdapat dalam Rv. Namun keberadaan BANI telah
menerobos sifat tertutup Rv tersebut dengan memberlakukan beberapa peraturan
lain, diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang meratifikasi ICSID dan
KEPRES Nomor 34 Tahun 1981 yang meratifikasi New York Convention 1059,
sehingga ketentuan yang menentukan Rv sebagai satu-satunya aturan hukum yang
mengatur arbitrase sudah dipakai lagi. Dengan demikian sejak berdirinya BANI
dibolehkan mendirikan institusi arbitrase permanent yang dilengkapioleh aturan-
aturan yang dibuat oleh pemerintah dan DPR atau hak opsi mempergunakan aturan Rv
atau aturan lainnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ADR yang lain, tujuan
didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan
penyelesaian yang adil dan tepat dalam sengketa-sengketa perdata yang berkaitan
dengan perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Selain dari itu, keberadaan BANI di samping menyelesaikan
sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak
dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang
mengikat mengenai suatu persoalan. Meskipun ada perbedaan yang cukup
signifikan dengan tugas-tugas pengadilan, tetapi proses ajudikasi BANI tetap
berpedoman kepada peraturan prosedur secara khusus. Secara garis besar
prosedur pelaksanaan arbitrase melalui BANI sebagai berikut ini, yakni :
a. Prosedur arbitrase dimulai dengandidaftarkannya surat permohonan untuk
mengadakan arbitrase dan didaftar dalam register perkara masuk.
b. Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang mengatakan bahwa sengketa
akan diselesaikan melalui arbitrase,maka klausula tersebut dianggap telah
mencukupi. Dengan hal tersebut Ketua BANI segera mengeluarkan perintah untuk
menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada si termohon, disertai
perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberi jawaban secara
tertulis dalam waktu 30 hari.
c. Majelis arbitrase yang dibentuk atau arbiter tunggal yang ditunjuk menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan memeriksa sengketa antara para pihak atas
nama BANI dan menyelesaikan serta memutus sengketa.
d. Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak
untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-
lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu, dengan
pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang kuasa dengan
surat kuasa khusus.
e. Terlebih dahulu majelis akan mengusahakan tercapainya perdamaian antara
kedua belah pihak yang bersengketa.
f. Kedua belah pihak dipersilahkan untuk menjelaskan masing-masing pendirian
serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu untuk
menguatkannya.
g. Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut permohonannya.
h. Apabila majelis arbitrase menganggap pemeriksaan sudah cukup, maka ketua
majelis akan menutup dan menghentikan pemeriksaan dan menetapkan hari sidang
selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.
i. Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatuputusan arbitrase ditetapkan dengan
peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negeri yang bersengketa.
Meskipun sudah ada putusan arbitrase yang telah diputus oleh BANI,
kebanyakan para pihak tidak puas terhadap putusan tersebut. Hal ini dapat
diketahui bahwa sebagian besar perkarayang telah diputus oleh arbiter BANI
masih tetap diajukan kepada Pengadilan secara litigasi.
7
Ahmad Khotibul Umam, “Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, Jurnal Risalah Vol. 1,
No. 1, Desember 2016, Hal 11-14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kewenangan absolut pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan
tertentu untuk memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan
diperiksa dan diputus. Dalam hal suatu perkara memiliki beberapa orang tergugat,
dan setiap tergugat tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat
mengajukan gugatan ke PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah
seorang tergugat. Kepada penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri dari
beberapa orang dan masing-masing-masing tinggal di daerah hukum PN yang berbeda.
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim
selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk
mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara
tersebut. Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam
menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada
umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
Penyelesaian perkara perbankan syariah di lingkungan peradilan agama akan
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di
lingkungan peradilan umum. Dengan demikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara
tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut akan
berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang
secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul
dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat,
kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting
untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-
Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, yaitu Isi perjanjian atau akad (agreement)
yang dibuat para pihak, Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah,
Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi Syariah, Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional
di Bidang Perbankan Syariah, Yurisprudensi, Doktrin. Dasar hukum pemberlakuan
arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam
pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase
itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus
menjadi bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut.
Adapun tujuan dibentuk BAMUI adalah Pertama, memberikan penyelesaian yang
adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain. Kedua, menerima permintaan yang
diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya suatu sengketa untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan
dengan perjanjian tersebut. Syarat utama untuk menjadi arbiter tunggal atau arbiter
majelis diantaranya adalah beragama Islam yang taat menjalankan agamanya dan tidak
terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Saran
Kami selaku penyusun makalah ini, sangat menyadari bahwa masih jauh dari kata
sempurna. Dan tentunya banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, kami selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami
khususnya pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Khotibul Umam, “Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, Jurnal
Risalah Vol. 1, No. 1. Desember 2016.
Salim HS, “Hukum Kontrak : Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak”, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, “Riba dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah,
Yogyakarta: Politea Press, 2008.
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Taufik, “Nadhariyyatu Al-Uqud Al- Syar’iyah”, Yogyakarta:LKis, 2007.