Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“Lembaga Penyelesaian Sengketa Syariah


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis Syariah
Dosen Pengampu : Nur Faradilla Ananda, S.H, M.H

Disusun Oleh Kelompok 12:

1. Agus Adhi Kusuma (2131710055)


2. Muhammad Luthfi Anshori (2111101139)
3. Muhammad Shaum Dimyathi (2141913023)
4. Nadya Husna (2121407012)
5. Rina Amalia (2121407041)
6. Siti Mursyidah (2111101112)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada
junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita.

Makalah “Lembaga Penyelesaian Sengketa Syariah” disusun guna memenuhi tugas Ibu
Dosen Nur Faradilla Ananda pada mata kuliah Hukum Bisnis Syariah di UINSI Samarinda. Selain
itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
Lembaga Penyelesaian Syariah yang harus kita teladani dalam era modern seperti ini.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Nur Faradilla Ananda selaku dosen
mata kuliah Hukum Bisnis Syariah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni kami. Kami juga mengucapkan terima kasih pada para
saudara, saudari dan teman sekalian yang telah menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah dan perbaikan makalah selanjutnya.

Samarinda, 11 November 2023

Kelompok 12
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I (PENDAHULUAN) ............................................................................................................4
A. Latar Belakang .......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................................4

BAB II (PEMBAHASAN) .............................................................................................................5


A. Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Negeri .......................................................................5
B. Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Agama ......................................................................8
C. Penyelesaian Sengketa pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa ...........................14
BAB III (PENUTUP) ...................................................................................................................22
A. Kesimpulan.....................................................................................................................22
B. Saran ...............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum bisnis syariah adalah sebuah hukum yang mengatur aktivitas dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia baik itu produksi, distribusi, dan konsumsi dalam bentuk
perdagangan yang sesuai dengan pandangan dan ketentuan atau penetapan dari Alah
SWT. Islam mengajarkan kita untuk berbisnis secara sehat dan dalam rasa perdamaian,
namun tak mungkin rasanya di dunia ini tanpa adanya perselisihan. Dalam pasal Undang-
Undang Perbankan Syariah Pasal 1 ayat 13 menyebutkan akad adalah kesepakatan
tertulis antara Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat
adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka permasalahan dualisme dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah dianggap telah selesai. Pengadilan agama
menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa
perbankan syariah, akan tetapi pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
masih menimbulkan masalah. Terdapat argumentasi yang mengatakan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut hanya menghapuskan Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, tapi tidak menghapus pasalnya, sehingga pasal
tersebut masih tetap berlaku. Oleh karena itu, para pihak yang bersengketa mempunyai
kebebasan untuk memilih tempat yang disepakati dalam menyelesaikan sengketanya,
adapun hal lain akan kami bahas dalam makalah berjudul “Lembaga Penyelesaian
Sengketa Syariah”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Negeri?
2. Bagaimana Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Agama?
3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Negeri
2. Untuk Mengetahui Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Agama
3. Untuk Mengetahui Penyelesaian Sengketa pada Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyelesaian sengketa pada Peradilan Tinggi Negeri
Kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan adalah untuk
menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu
perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak
dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili
merupakan Syarat Formil sahnya gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada
pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya menyebabkan gugatan tersebut dapat
dianggap salah alamat dan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan
kewenangan absolut atau kewenangan relatif pengadilan.

Kewenangan Absolut Pengadilan


Kewenangan absolut pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan
tertentu untuk memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan
diperiksa dan diputus. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004, kekuasaan
kehakiman (kekuasaan kehakiman) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA)
merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif yang dilakukan
oleh lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Menurut Yahya Harahap, pembagian ligkungan peradilan tersebut
merupakan landasan sistem Peradilan Negara (Sistem pengadilan negara) di Indonesia
yang terpisah berdasarkan yurisdiksi (Sistem pengadilan pemisahan berdasarkan
yurisdiksi). Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, pembagian itu
berdasarkan pada lingkungan kewenangan yang dimiliki masing-masing-masing-masing
berdasarkan Yurisdiksi keragaman, kewenangan tersebut memberikan kewenangan
absolut pada masing-masing-masing lingkungan peradilan sesuai dengan subyek
Masalah yurisdiksi, sehingga masing-masing-masing lingkungan berwenang
mengadiliSebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Lingkungan
kewenangan mengadili itu meliputi :
a. Peradilan Umum berdasarkan UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum,
memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan
Perdata (umum dan niaga).
b. Peradilan Agama berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wakaf Dan Shadaqah.
c. Peradilan Tata Usaha Negera berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa dan memutusa sengketa Tata Usaha Negara.
d. Peradilan Militer yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perkara pidana
yang terdakwanya anggota TNI dengan pangkat tertentu.

Kewenangan Relatif Pengadilan


Kewenangan relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan
peradilan tertentu berdasarkan yurisdiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab
pertanyaan 'Pengadilan Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu
perkara?'. Dalam hukum acara perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang
berwenang mengadili suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang
meliputi wilayah hukumnya tempat tinggal tergugat(Aktor Sequitur Forum REI).
Mengajukan gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat,
tidak dibenarkan.
Persoalannya adalah, bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa
tempat tinggal yang jelas dan resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan
gugatan ke salah satu PN tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang
tergugat dalam KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana,
sementara faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan dapat
diajukan baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan
demikian, titik pangkal menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara
adalah tempat tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian ( perkaralokus delik)
seperti dalam hukum acara pidana.
Dalam hal suatu perkara memiliki beberapa orang tergugat, dan setiap
tergugat tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat
mengajukan gugatan ke PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah
seorang tergugat. Kepada penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri
dari beberapa orang dan masing-masing-masing tinggal di daerah hukum PN yang
berbeda.
Jika tergugat terdiri lebih dari satu orang, dimana tergugat yang satu
berkedudukan sebagai debitur pokok (Pokok Debitur) sedangkan tergugat lain
sebagai penjamin (penjamin), maka kewenang relatif PN yang mengadili perkara
tersebut jatuh pada PN yang daerah hukumnyameliputi tempat tinggal debitur pokok
tersebut. Opsi lainnya adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila
tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh
penggugat, tidak diketahuinya tempat tinggal tergugat itu perlu mendapat surat
keterangan dari pejabat yang bersangkutan yang menyatakan bahwa tempat tinggal
tergugat tidak diketahui. Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.
Jika obyek gugatan mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya
tanah, maka gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda
tidak bergerak itu berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi
beberapa wilayah hukum, maka gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan
penggugat. Namun jika perkara itu merupakan perkara tuntutan ganti rugi
berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUHPerdata yang
sumbernya berasal dari obyek benda tidak bergerak, maka tetap berlaku asas
Aktor Sequtur Forum Rei(benda tidak bergerak itu merupakan 'sumber perkara' dan
bukan 'obyek perkara'). Misalnya, tuntutan ganti rugi atas pembaran lahan perkebunan.
Dalam perjanjian, terkadang para pihak menentukan suatu PN tertentu
yang berkompetensi memeriksa dan mengadili perkara mereka. Hal ini,
berdasarkan asas kebebasan berkontrak, bisa saja dimasukan sebagai klausul
perjanjian, namun jika terjadi sengketa, penggugat memiliki kebebasan untuk
memilih, apakah PN berdasarkan klausul yang ditunjuk dalam perjanjian itu atau
berdasarkan asas Aktor Sequtur Forum Rei. Jadi, domisili pilihan dalam suatu
perjanjian tidak secara mutlak menyingkirkan asas aktor Forum Sequitur REI, dan
tergugat tidak dapat melakukan eksepsti terhadap tindakan tersebut.1

1
Ahmad Khotibul Umam, “Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, Jurnal Risalah Vol. 1,
No. 1, Desember 2016, Hal 9-10
B. Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Agama
1. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan
kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara
cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai
substansi perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya
pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim
harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum
dimulainya proses pemeriksaan di persidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada
beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu:
a. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase. Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah
perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase
atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama yang
memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan kewenangan
absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan
sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau
sengketa atau perkara perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh
karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu
sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan
seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengupayakan perdamaian bagi para pihak.
Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase, maka tidak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan
perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolut
lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya,
pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adalah jika dalam perjanjian
tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi
perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut
akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka
tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan dengan
klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut
merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum
memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan
hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa
dan mengadili perkara tersebut.

b. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerja sama antar para
pihak.
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani
tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase,
lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila
upaya damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan
adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerja sama para
pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik
yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut
dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam
KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak
karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain lain yang disebut
dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.2
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu
saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik
yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama di bidang tersebut.
Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata
dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka

2
Salim HS, “Hukum Kontrak : Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 7
hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum islam.

2. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah


Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam
menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah
pada umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip
fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di
pengadilan agama karena perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU
No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan
prinsip syariah.
Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas
tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsip
syariah. Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum
formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg,
RV dan KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan
syariah di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan
tujuan untuk menegakkan dan melindungi hukum materil islam.
Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak
banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada
bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya
justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang
menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal
itu menimbulkan persoalan baru. Dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di
pengadilan agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai
hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi
Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, namun keabsahan
hukumnya hingga saat ini di kalangan ulama masih kontroversial. Di satu sisi pihak
terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang
terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung
unsur riba yang secara qat’I dilarang syara,, sementara hal mendasar yang
membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung
riba itu sendiri. Di pihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi
semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid
asy-syariah3. Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam
itu hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan
tidak bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru
bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
3. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
a. Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, di mana
kedua belah pihak ternyata tidak menemui kata sepakat untuk menyelesaikan
perkaranya secara damai maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal
131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan
pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses
persidangan sebagaimana mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan syariah di lingkungan peradilan agama
akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang
berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak
berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di
persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan
demikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan
sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan
sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang
secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu
disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari
pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan
dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak

3
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, “Riba dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, (Yogyakarta:
Politea Press, 2008), Hal. 7
berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil
yang telah dikemukakan di persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan
bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang
merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim
melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau
memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang
harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah
melakukan konstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menemukan hukum
dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam
suatu putusan (vonis) hakim.

b. Sumber-Sumber Hukum Materiil Dalam Mengadili Perkara Perbankan Syariah


Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber
yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa
konkrit yang ditemukan dalam perkara tersebut.4 Sumber-sumber hukum yang sah
dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-
undang,yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan.5
Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang
terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan
syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah:

1. Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.


Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai
salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara
perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian atau akad itu
sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349
KUHPerdata.

4
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 1999), Hal. 167
5
Taufik, “Nadhariyyatu Al-Uqud Al- Syar’iyah”, (Yogyakarta:LKis, 2007), Hal. 95
2. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain
adalah:
a). UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan
b). UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia
c). UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
d). UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
e). PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
f). PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
g). SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat
deposito
h). SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet
Giro
i). Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya
yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.

3. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi Syariah


Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar
dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan di bidang ekonomi
syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu:
a). Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang
dalam waktu yang lama (longa et invetarata consuetindo)
b). Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion
necessitates)
c). Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.6
Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat
tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam
mengadili perkara perbankan syariah.

4. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah


Fatwa-fatwa DSN yang dapat dijadikan sumber hukum dalam mengadili
perkara perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang
perbankan syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk
pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan
respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa
memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih
lebih terhadap pihak lain. Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah
di pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah,
tampaknya mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.

5. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar
mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam
arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan
hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah
Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang
Perbankan syariah.

6. Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam
mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-
pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.
C. Penyelesaian Persengketaan pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

6
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 1999), Hal. 99
Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan
timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara
melaksanakan Klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal
lainnya. Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu
melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat
dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa Nomor 30 tahun 1999:'Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu,
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.'Dalam Pasal 5 Undang-
undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:'Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah
dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk
masalah-Masalah Perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang
paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
merekaLembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana
yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan
bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan
tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitrase.
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di kemudian hari di antara mereka.
Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu
sesuai dengan kesepakatan. Ada yang langsung ke lembaga Pengadilan atau ada
juga yang melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu arbitrase (choice of
forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para
pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila di
kemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (pilihan hukum). Dasar hukum
pemberlakuan arbitrasedalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.Adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat
obyektif yang dipahami dalam pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif
dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999.
Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan
dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topik yang
diperjanjikan oleh para pihak tersebut. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga
arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa bisnis yangterjadi dalam lalu
lintasperdagangan, antara lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang
khusus menangani masalah persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan
Arbitrase Syari'ah Nasional) yang menangani Masalah-masalah yang terjadi dalam
pelaksanaan Bank Syari'ah, dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang
khusus menyelesaikan sengketa bisnis non Islam.
Sebagian besar di negara-negara barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam
menyelesaikan berbagai sengketa ekonomi yang timbul akibat wanprestasi
terhadap kontrak-kontrakyang dilaksanakannya. Dalam kaitan ini, Indonesia yang
merupakan bagian dari masyarakat dunia juga telah memiliki lembaga arbitrase
dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat dengan BANI.
Keberadaan BANI ini diprakarsai oleh kalangan bisnis nasional yang tergabung
dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yangdidirikan pada tanggal 3 Desember
1977. Adapun tujuan didirikannya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
adalah memberikan penyelesaian yangadil dan cepat dalam sengketa-sengketa
perdata yang timbul dan berkaitan dengan perdagangan dan keuangan, baik yang
bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Di samping itu, keberadaan
BANI di samping berfungsi menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima
permintaan yang diajukan oleh parapihak dalam suatu perjanjian untuk
memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan.
Oleh karena BANI dibentuk untuk kepentingan masyarakat Indonesia, maka BANI
harus tunduk kepada hukum Indonesia. Selama ini praktek arbitrase banyak
diatur dalam HIR, khususnyapasal 377 HIR yang menyebutkan bahwa arbitrase
dibenarkan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak dengan
tetap berpedoman sebagaimana tersebut dalam buku ketiga Rv, dengan hal ini
dapat diketahui bahwa secara yuridis formal hanya Rv yang diakui sebagai hukum
positif arbitrase, dan tertutup kemungkinan untuk memilih dan mempergunakan
institusi atau peraturan yang terdapat dalam Rv. Namun keberadaan BANI telah
menerobos sifat tertutup Rv tersebut dengan memberlakukan beberapa peraturan
lain, diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang meratifikasi ICSID dan
KEPRES Nomor 34 Tahun 1981 yang meratifikasi New York Convention 1059,
sehingga ketentuan yang menentukan Rv sebagai satu-satunya aturan hukum yang
mengatur arbitrase sudah dipakai lagi. Dengan demikian sejak berdirinya BANI
dibolehkan mendirikan institusi arbitrase permanent yang dilengkapioleh aturan-
aturan yang dibuat oleh pemerintah dan DPR atau hak opsi mempergunakan aturan Rv
atau aturan lainnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ADR yang lain, tujuan
didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan
penyelesaian yang adil dan tepat dalam sengketa-sengketa perdata yang berkaitan
dengan perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Selain dari itu, keberadaan BANI di samping menyelesaikan
sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak
dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal opinion) yang
mengikat mengenai suatu persoalan. Meskipun ada perbedaan yang cukup
signifikan dengan tugas-tugas pengadilan, tetapi proses ajudikasi BANI tetap
berpedoman kepada peraturan prosedur secara khusus. Secara garis besar
prosedur pelaksanaan arbitrase melalui BANI sebagai berikut ini, yakni :
a. Prosedur arbitrase dimulai dengandidaftarkannya surat permohonan untuk
mengadakan arbitrase dan didaftar dalam register perkara masuk.
b. Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang mengatakan bahwa sengketa
akan diselesaikan melalui arbitrase,maka klausula tersebut dianggap telah
mencukupi. Dengan hal tersebut Ketua BANI segera mengeluarkan perintah untuk
menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada si termohon, disertai
perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberi jawaban secara
tertulis dalam waktu 30 hari.
c. Majelis arbitrase yang dibentuk atau arbiter tunggal yang ditunjuk menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan memeriksa sengketa antara para pihak atas
nama BANI dan menyelesaikan serta memutus sengketa.
d. Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak
untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-
lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu, dengan
pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang kuasa dengan
surat kuasa khusus.
e. Terlebih dahulu majelis akan mengusahakan tercapainya perdamaian antara
kedua belah pihak yang bersengketa.
f. Kedua belah pihak dipersilahkan untuk menjelaskan masing-masing pendirian
serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu untuk
menguatkannya.
g. Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut permohonannya.
h. Apabila majelis arbitrase menganggap pemeriksaan sudah cukup, maka ketua
majelis akan menutup dan menghentikan pemeriksaan dan menetapkan hari sidang
selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.
i. Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatuputusan arbitrase ditetapkan dengan
peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negeri yang bersengketa.
Meskipun sudah ada putusan arbitrase yang telah diputus oleh BANI,
kebanyakan para pihak tidak puas terhadap putusan tersebut. Hal ini dapat
diketahui bahwa sebagian besar perkarayang telah diputus oleh arbiter BANI
masih tetap diajukan kepada Pengadilan secara litigasi.

2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)


Perkembangan bisnis umat Islam berdasar syari’ah semakin menunjukkan
kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga yang dapat menyelesaikan
persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadidengan perdamaian dan
prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan merupakan suatu kebutuhan
yang sangat mendesak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprakarsai berdirinya
BAMUI dan mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Oktober 1993. Adapun tujuan
dibentuk BAMUI adalah pertama : memberikan penyelesaian yang adil dan cepat
dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, kedua : menerima permintaan
yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya suatu sengketa
untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan
berkenaan dengan perjanjian tersebut. Syarat utama untuk menjadi arbiter tunggal
atau arbiter majelis diantaranya adalah beragama Islam yang taat menjalankan
agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya arbiter harus mengupayakan perdamaian
semaksimal mungkin dan apabila usaha ini berhasil, maka arbiter membuat akta
perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk mentaati dan memenuhi
perdamaian tersebut. Jika perdamaian tidak berhasil, maka arbiter akan
meneruskan pemeriksaannya, dengan carapara pihak membuktikan dalil-dalil
gugatannya, mengajukan saksi-saksi atau mendengar pendapat para ahli dan
sebelum mengajukan keterangannya ia harus disumpah terlebih dahulu. Azas
pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup dan azas ini tidak bersifat mutlak
atau permanen, akan tetapi dapat dikesampingkan jika atas persetujuan kedua
belah pihak setuju sidang dilaksanakan terbuka untuk umum. Kepentingan
pemeriksaan secara tertutup ini adalah menghindari publisitas demi menjaga nama
baik perusahaan atau bisnis masing-masing para pihak.
Putusan BAMUI bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa
dan wajib mentaati keputusan tersebut, para pihak harus segera mentaati dan
memenuhi pelaksanaannya. Apabila ada para pihak yang tidak melaksanakan itu secara
suka rela, maka putusan itu dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam pasal
637 dan 639 Rv, yakni Pengadilan Negeri memiliki peranan yang penting dalam
memberikan exequatur bagi putusan arbitrase. Oleh karena itu, BAMUI harus
menyesuaikan diri dengan tata hukum yang ada, khususnya jangkauan
kewenangannya, karena sengketa yang diputus oleh BAMUI itu bukanlah
perkara yang didalamnya termuat campur tangan pemerintah atau bukan masalah-
masalah yang berhubungan dengan Wakaf dan Hibah sebagaimana tersebut dalam 616
Rv, yang pada perkara ini ada Pengadilan yang mengurusnya. Mengingatbahwa tidak
semua masalah dapat dieksekusi oleh Pengadilan, maka BAMUI membatasi
kewenangannya hanya pada penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungannya
dengan perdagangan, industri, keuangan dan jasa yang dikelola secara Islami.
Supaya putusan arbitrase BAMUI ini dapat diterima dengan baik oleh pihak-pihak
yang bersengketa, maka arbiter harus dapat menjatuhkan putusan yang adil dan tepat
bagi pihak yang bersengketa.

3. Badan Arbitrase Syariah Nasional ( BASYARNAS )


Badan Arbitrase syariah Nasional ( BASYARANAS ) sesuai dengan pedoman
dasar yang di tetapkan oleh MUI adalah lembaga Hakam yang bebas otonom
dan independent tidak boleh di campuri kekuasaan oleh pihak-pihak
manapun.BASYARNAS adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana DSN (
Dewan Syariah Nasional ),LPPO ( Lembaga Pengkajian pengawasan Obat-obatan
dan makanan ),YDDP ( Yayasan Dana Dakwah Pembangunan).Adapun dasar
hukum pembentukan lembaga BASYARNAS sebagai berikut :
a. Undang Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Arbitrase menurut Undang-Undang No, 30 Tahun
1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum,
sedangkan lembaga arbitrase adalah badanyang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
b. SK MUI (Majelis Ulama Indonesia) SK. Dewan Pimpinan MUI No.Kep-
09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang Badan Arbitrase Syariah
Nasional. Badan Arbitrase SyariahNasional(BASYARNAS) adalah lembaga
hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang
memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidang
perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain.
c. Fatwa DSN MUI Semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSNMUI) perihal hubungan muamalah(perdata) senantiasa diakhiri
dengan ketentuan : "Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan pihak,maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah". Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
mempunyai peraturan prosedur yang memuat ketentuan-ketentuan antara lain
:permohonan untuk mengadakan arbitrase, penetapan arbiter, acara
pemeriksaan, perdamaian, pembuktian dan saksi saksi, berakhirnya
pemeriksaan, pengambilan putusan,perbaikan putusan,pembatalan
putusan,pendaftaran putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi).7

7
Ahmad Khotibul Umam, “Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, Jurnal Risalah Vol. 1,
No. 1, Desember 2016, Hal 11-14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kewenangan absolut pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan
tertentu untuk memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan
diperiksa dan diputus. Dalam hal suatu perkara memiliki beberapa orang tergugat,
dan setiap tergugat tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat
mengajukan gugatan ke PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah
seorang tergugat. Kepada penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri dari
beberapa orang dan masing-masing-masing tinggal di daerah hukum PN yang berbeda.
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim
selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk
mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara
tersebut. Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam
menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada
umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
Penyelesaian perkara perbankan syariah di lingkungan peradilan agama akan
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di
lingkungan peradilan umum. Dengan demikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara
tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut akan
berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang
secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul
dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat,
kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting
untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-
Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, yaitu Isi perjanjian atau akad (agreement)
yang dibuat para pihak, Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah,
Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi Syariah, Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional
di Bidang Perbankan Syariah, Yurisprudensi, Doktrin. Dasar hukum pemberlakuan
arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam
pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase
itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus
menjadi bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut.
Adapun tujuan dibentuk BAMUI adalah Pertama, memberikan penyelesaian yang
adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain. Kedua, menerima permintaan yang
diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya suatu sengketa untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan
dengan perjanjian tersebut. Syarat utama untuk menjadi arbiter tunggal atau arbiter
majelis diantaranya adalah beragama Islam yang taat menjalankan agamanya dan tidak
terkena larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Saran
Kami selaku penyusun makalah ini, sangat menyadari bahwa masih jauh dari kata
sempurna. Dan tentunya banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, kami selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami
khususnya pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Khotibul Umam, “Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”, Jurnal
Risalah Vol. 1, No. 1. Desember 2016.
Salim HS, “Hukum Kontrak : Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak”, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, “Riba dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah,
Yogyakarta: Politea Press, 2008.
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Taufik, “Nadhariyyatu Al-Uqud Al- Syar’iyah”, Yogyakarta:LKis, 2007.

Anda mungkin juga menyukai