Derma Tomio Sit Is
Derma Tomio Sit Is
Dermatomiositis
Pembimbing
Mengetahui/Mengesahkan
Dr. dr. Cut Aria Arina, Sp.S(K) NIP. Dr. dr. Aida Fithrie, Sp.S(K) NIP.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat Nya, laporan kasus yang berjudul “Dermatomiositis” ini dapat tersusun.
Laporan kasus ini penulis susun untuk melengkapi tugas laporan kasus dalam
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing Dr. dr. Aida Fithrie, Sp.S(K), yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dan bimbingan dalam penyusunan laporan kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu saran dan kritikan
masih sangat diharapkan sebagai masukan dalam penulisan laporan kasus
selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih.
ii
DAFTAR ISI
iii
3.2.4. Manifestasi Klinis dan Temuan Pemeriksaan Penunjang ..... 35
3.2.5. Kriteria Diagnostik................................................................ 38
3.3. Dermatomiositis ............................................................................. 38
3.3.1. Definisi.................................................................................. 38
3.3.2. Epidemiologi ......................................................................... 38
3.3.3. Etiologi.................................................................................. 39
3.3.4. Klasifikasi ............................................................................. 41
3.3.5. Patogenesis............................................................................ 41
3.3.6. Gejala Klinis.......................................................................... 42
3.3.7. Diagnosis............................................................................... 46
3.3.8. Diagnosis Banding ................................................................ 55
3.3.9. Tatalaksana............................................................................ 59
3.3.9.1.Tatalaksana Farmakologi ............................................. 59
3.3.9.2. Tatalaksana Non Farmakologi .................................... 67
3.3.10. Prognosis ............................................................................. 68
Lampiran ................................................................................................... 82
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
MDA5 : Melanoma differentiation-associated gene 5
MHC : Major hystocompatibility complex
MII : Miopati inflamasi idiopatik
MSA : Myositis-specific autoantibodies
MUAP : Motor unit action potential
NXP2 : Nuclear matrix protein 2
OM : Overlap myositis
OM : Overlap myositis
OPDM : Oculopharyngodistal myopathy
OPMD : Oculopharyngeal muscular dystrophy
PLEC : Plectin
SAE : Small ubiquitin-like modifieractivating enzyme
SLE : Systemic lupus erythematosus
SLE : Systemic lupus erythematosus
SLONM : Sporadic late onset nemaline myopathy
SRP : Signal recognition particle
TIFl : Transcription intermediary factor 1
TRIM 32 : Tripatif motif containing 32
VCP : Valosin containing protein
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
ABSTRAK
ix
ABSTRACT
x
BAB I
PENDAHULUAN
otot. kelemahan otot-otot proksimal yang simetris dengan derajat yang bervariasi
dan onset akut atau subakut serta secara berkala memburuk seiring bertambahnya
minggu dan bulan, namun perkembangan fulminan dapat terjadi.4 Lesi kulit
patognomonik berupa gottron’s papule, heliotrope sign, gottron’s sign namun
karakteristik ruam kulit lainnya berupa shawl sign, v-neck sign, holster sign dan
mechanic’s hands.3
Selain itu, dermatomiositis juga dapat mempengaruhi sistem organ lain
seperti sistem pernafasan, kardiovaskular dan gastrointestinal. Banyak pasien yang
mengidap dermatomiositis disertai dengan suatu keganasan, dimana hal ini dapat
berpengaruh pada prognosis pasien.2 pemeriksan penunjang seperti pemeriksaan
enzim otot, elektroneurofisiologi, pemeriksaan autoantibodi, Imejing otot dan
biopsi otot untuk membantu menegakkan diagnosis dermatomyositis. Biopsi otot
merupakan diagnostik definitif untuk miopati.3
Walaupun dermatomiositis termasuk suatu penyakit autoimun,
etiopatogenesis masih belum dapat dipastikan.4 Oleh karena itu, perlu
pengetahuan terkini dan pemahaman terkait dermatomiositis sehingga apabila
dijumpai pasien yang memiliki kriteria yang mendukung, seorang klinisi dapat
mendiagnosis dermatomiositis, menatalaksana dan memberikan edukasi pada
pasien dengan dermatomiositis.
3
4
Anamnese Traktus
Anamnesa Traktus Sirkulatorius : Dalam batas normal
Anamnesa Traktus Respiratorius : Dalam batas normal
Anamnesa Traktus Digestivus : Dalam batas normal
Anamnesa Traktus Urogenitalis : Dalam batas normal
Anamnesa Penyakit terdahulu : Tidak ada
Anamnesa Intoksifikasi & obat : Tidak ada
Anamnesa keluarga : Riwayat dengan keluhan yang sama tidak
dijumpai
Anamnesa sosial
Kelahiran dan Pertumbuhan : Dalam batas normal.
Riwayat Imunisasi : Lengkap
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Perkawinan : Sudah Menikah
5
Nervus Kranialis
Pupil :
Lebar : 3 mm 3 mm
Bentuk : Bulat Bulat
RCL : (+) (+)
RCTL : (+) (+)
Deviasi konjugat : (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
Motorik :
Motorik :
Mimik : Simetris
Sensorik :
Uvula : medial
Nervus Aksesorius :
Nervus Hipoglosus :
Lidah :
Tremor,Atrofi,Fasikulasi : - -
Ujung lidah istirahat &
dijulurkan : Medial Medial
Sistem Motorik
Trofi : Eutrofi
Tonus : Normal
Kekuatan Otot :
ESD : 33444/ 33444 ESS : 33444/ 33444
EID : 33444/ 33444 EIS : 33444/ 33444
Sikap : berdiri butuh bantuan
Refleks Patologis : -
Sensibilitas
Eksteroseptik : dalam batas normal
Proprioseptik : dalam batas normal
Koordinasi
Lenggang : sulit dinilai
Tes telunjuk- telunjuk : sulit dinilai
Tes telunjuk – hidung : sulit dinilai
Diadokinesia : sulit dinilai
Tes tumit – lutut : sulit dinilai
Tes Romberg : sulit dinilai
Vegetatif : dalam batas normal
Vetebra
Bentuk : normal
Pergerakan : normal
Enzim Otot CKMB, LDH, CK 23/08/2022 LDH : 1091 U/L 125-220 U/L
CK-NAC : 8140 U/L 30-200 U/L
CK-MB : 859 U/L ≤ 24 U/L
Kimia Klinik ɣ- GT : 24 U/L 12-64
ALP : 41 40-150
Imunoserologi HbsAG : Non reaktif S/CO <
non reaktif S/CO 0,21 1.0
Anti HCV : Reaktif S/CO > 1.0
non reaktif S/CO 0,09
Darah Rutin 24/08/2022 Hb : 14,1 g/ dl 12-16
1
Di RS siloam
CMAP N. Medianus Sinistra : DL dalam batas normal , A rendah, NCV dalam batas normal.
CMAP N. Ulnaris Sinistra : DL dalam batas normal, A dalam batas normal, NCV dalam batas normal
F wave N. Medianus Sinistra : latensi dan persistensi dalam batas normal
F wave N. Ulnaris Sinistra : latensi dan persistensi dalam batas normal
SNAP N. Medianus Sinistra : DL dalam batas normal, A dalam batas normal, NCV dalam batas normal
SNAP N. Ulnaris Sinistra : DL dalam batas normal, A dalam batas normal, NCV dalam batas normal
CMAP N. Peroneus dekstra : DL dalam batas normal, A dalam batas normal, NCV dalam batas normal
CMAP N. Tibialis dekstra : DL dalam batas normal, A dalam batas normal, NCV dalam batas normal F
wave N. Tibialis dekstra : latensi dan persistensi dalam batas normal
SNAP N. Suralis Bilateral : tidak muncul
Di RSUP HAM
EMG pada M. Biseps dekstra dan M. Tibialis Anterior Sinistra : lesi miogenik, aktivitas spontan (+)
Kesimpulan : Lesi miogenik difus -> miopati
Pemeriksaan Foto Thoraks PA (1/9/2022)
1
Posisi Asimetris
⚫ Jantung tidak membesar
⚫ Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar
⚫ Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
⚫ Corakan Bronkovaskuler kedua paru baik
⚫ Tidak tampak infiltrate di kedua lapangan paru
⚫ Kedua sinus costophrenicus lancip. Kedua diafragma licin
Kesimpulan : tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
Pemeriksaan USG Abdomen (6/9/2022)
Axial T1
Makroskopis :
Diterima satu potongan jaringan beserta kulit yang berasal dari lengan kanan, berwarna keabuan,
permukaan tidak rata, konsistensi kenyal, volume 0,02 cc, ukuran jaringan 0,7 x 0,3 cm x 0,2 cm
ukuran kulit 0,4 X 0,3 X 0,1 cm
Mikroskopis :
Sediaan jaringan dari lengan kanan beserta kulit dengan pelapis epitel squamus berlapis dengan
struktur dan morfologi inti dalam batas normal dan basal membran intak. Fokus dijumpai satu-dua
struktur kistik dengan massa keratin di dalam lumen (horn cyst). Pada lapisan subepidermis tampak
jaringan ikat muskular yang diinfiltrasi sel radang limfosit, Tampak juga sel-sel lemak, folikel
rambut dan infiltrat agregat sel radang limfosit di antaranya, tidak dijumpai tanda-tanda keganasan
pada sediaan
Kesimpulan : mendukung diagnosis klinis suatu dermatomiositis
1
HE 4x10
HE 20x10
1
HE 40x10
Makroskopis :
Diterima satu potongan jaringan 0,5 cm kenyal abu-abu.
Mikroskopis :
Sediaan jaringan tampak infiltrasi sel-sel radang limfosit dan makrofag. Jaringan Otot dilapisi
inti bulat hingga spindel. N/C ratio sedikit meningkat. Kromatin halus sebagian anak inti
menonjol, sitoplasma eosinofilik dan memiliki serabut-serabut otot. Tidak ditemukan tanda- tanda
keganasan Kesimpulan : Proses radang kronis non spesifik menyokong diagnosis klinis Miositis
pada otot
paha kiri
2.7. Diagnosis
Diagnosa Fungsional : Tetraparese Tipe LMN
Diagnosa Anatomi : Otot
Diagnosa Etiologi : Autoimun
Diagnosa Banding : 1. Overlap Myositis
2. Immune Mediated Necrotizing Myositis
3. Inclusion Body Miositis
4. Antisynthetase syndrome
1
2.8. Penatalaksanaan
- Tablet Methylprednisolone 3x16 mg
- Natrium Mycophenolate 2x360 mg
- Vitamin B Kompleks 3x1
- Soft U derm 2x1 sue
- Desoximethasone topical cream 0,25% 2x1 sue
- Fisioterapi
kesemutan pada kedua tungkai. BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat
keluhan yang sama di keluarga tidak dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai,
Keluhan penurunan berat badan tidak dijumpai. Riwayat trauma tidak dijumpai.
Riwayat penggunaan obat-obatan tidak dijumpai. Pasien Sebelumnya telah
dirawat di Rumah Sakit Betang Pambelum pada tanggal 24 Juli 2022 sampai
dengan 27 juli
2022 dengan kecurigaan Polineuropati dd CIDP dan telah diberikan terapi Injeksi
Methylprednisolon 125 mg/6 jam, Inj. Ranitidine 50mg/12 jam, Inj. Mecobalamin
500µg/12 jam, kemudian pasien dirujuk ke RSUD Ulin (Banjarmasin) untuk
dilakukan pemeriksaan lanjutan EMG, namun karena kampung halaman pasien di
Kota Medan, pasien memutuskan untuk melanjutkan pengobatan di RSUP HAM.
Dari pemeriksaan fisik dan neurologis dijumpai tetraparese tipe LMN
disertai waddling gait dan dijumpai adanya ruam-ruam pada wajah, telinga, leher,
punggung, dada, abdomen dan ekstrermitas. Ruam-ruam yang dijumpai pada
pasien berupa Heliotrope’s rash, poikiloderma regio servikalis posterior, thoraks
posterior dan meluas ke lengan atas posterior kiri dan kanan (shawl sign).
punggung atas thoraks anterior posterior, gottron’s papule regio os humerus
dekstra et sinistra dan gottron’s sign regio dorsal metacarpophalangeal manus.
Dari pemeriksaan penunjang dijumpai peningkatan kadar enzim otot, lesi
miogenik difus pada EMG, hasil ANA test (+), MRI otot: Peningkatan signal
yang diffuse pada otot femur kanan/ kiri, Biopsi kulit dan otot dengan gambaran
mikroskopis Infiltrasi sel radang limfosit Pada lapisan subepidermis dan pada
jaringan otot dijumpai proses radang kronis non spesifik dengan infiltrasi sel-sel
radang limfosit dan makrofag yang mendukung klinis miositis. Pasien
didiagnosa dengan dermatomiositis dan diberikan terapi Tablet
Methylprednisolone 3x16 mg, Natrium Mycophenolate
2x360 mg, Soft U derm 2x1 sue, Desoximethasone topical creame 0,25% 2x1 sue.
• Departemen Kulit
Diagnosis : Xerosis Kutis + Dermatomiositis
Penatalaksanaan :
- Soft U derm 2x1 sue
- Desoximethasone topical cream 0,25% 2x1 sue
2.10. Follow Up
15 08 2022
Neurologi
S Kelemahan keempat anggota gerak, ruam-ruam kulit di daerah wajah, leher, telinga,
punggung, dada, abdomen dan ekstremitas (+) nyeri otot (-)
O Sens : CM
TD : 120/75 mmHg
HR : 78x/mnt
RR : 20x/mnt
Temp : 36,8
Pemeriksaan N, Kranialis
N II, III : RCL/RCTL (+/+), pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3 mm.
Kekuatan motorik :
Kekuatan motorik :
O Sens : CM
2
TD : 130/75 mmHg
HR : 72x/mnt
RR : 20x/mnt
Temp : 36,1°C
Pemeriksaan N, Kranialis
N II, III : RCL/RCTL (+/+), pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3 mm.
Kekuatan motorik :
O Sens : CM
TD : 130/75 mmHg
HR : 72x/mnt
RR : 20x/mnt
Temp : 36,1°C
2
A
Tetraparese tipe LMN ec suspek dermatomiositis
P R/ pemeriksaan Darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, Antids-DNA, CRP kuantitatif, C3, C4
dan TSH
Hasil pemeriksaan :
Darah rutin : Hb : 14,1 g/ dl, Ht : 41,9 %, Leukosit : 8960/ul, Trombosit : 424.000/u
Fungsi ginjal : Ureum : 11 mg/ dl, Kreatinin : 0.38 mg/dl, BUN : 5 mg/dl
Fungsi hati : SGOT (AST) : 197 U/L , SGPT (ALT): 121 U/L
Immunoserologi : Anti ds-DNA : 18,3 , CRP kuantitatif : <0,7, Komplemen C3 : 122 mg/dl,
Komplemen C4 : 33 mg/dl dan TSH : 1,69 µIU/ml
Departemen Neurologi (31 Agustus 2022)
S
Kelemahan keempat anggota gerak, nyeri otot (-),ruam-ruam kulit di daerah wajah, leher,
punggung,
O Sens : CM
TD : 120/80 mmHg
HR : 84x/mnt
RR : 16x/mnt
Temp : 36 °C
Pemeriksaan N, Kranialis
N II, III : RCL/RCTL (+/+), pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3 mm.
Kekuatan motorik :
Lokasi Ruam
Regio Orbitalis Edema yang disertai eritema di regio periorbita
bilateral (Heliotrope’s rash)
Fascialis Makula hiperpigmentasi tersebar diskret di regio
fascial dan auricularis dekstra et sinistra
Servikalis Makula hiperpigmentasi regio servikalis anterior
dan posterior (shawl sign)
Thorakalis Papul berwarna putih dengan makula
hiperpigmentasi generalisata di regio thorakalis
posterior dan anterior
Ekstremitas - Papul eritematosa dengan permukaan
halus, multipel, berukuran milier,
tersebar diskret pada regio os. humerus
dekstra et sinistra (Gottron’s papule),
eksoriasi (+)
- Makula eritema keunguan regio dorsal
metacarpophalangeal manus dekstra
dan sinistra (Gottron’s sign)
- Makula Hiperpigmentasi pada regio
falang digiti I-II pedis dekstra et sinistra
2
Departemen Gastrologi
S Riwayat kuning (-), demam (-), nyeri perut kanan atas (-), penurunan berat badan (-) Riwayat
minum alkohol (+) saat remaja. BAK dan BAB dalam batas normal
Penjadwalan USG hari ini
O Sens : CM
TD : 110/80 mmHg
HR : 78x/mnt
RR : 20x/mnt
Temp : 36 °C
A Kolelitiasis multipel
P Udrafalk 3x10 mg
Departemen Reumatologi
S kontrol ulang, ruam-ruam diwajah, leher, punggung, ekstremitas (+), kelemahan keempat
anggota gerak
O Sens : CM
TD : 120/70 mmHg
HR : 82x/mnt
RR : 16x/mnt
Temp : 36 °C
A Dermatomiositis
P Tab. Methylprednisolone 3x16 mg
Tab. Azatioprin 50 mg (2-0-1)
MRI otot femur dekstra dan sininstra
Kesimpulan :
Peningkatan signal yang diffuse pada otot femur kanan/ kiri, sesuai gambaran
dermatomyositis
16-30 September 2022
Departemen Kulit
S Ruam pada wajah, leher, punggung, dan ekstremitas. bengkak pada daerah sekitar mata sudah
berkurang. gatal -gatal (-), kelemahan keempat anggota gerak (-)
O Sens : CM
2
A Dermatomiositis
P - Soft U derm 2x1 sue
- Desoximethasone topical cream 0,25% 2x1 sue
- Anjuran untuk pemakaian pakaian untuk melindungi diri dari sinar matahari seperti
baju, topi atau syal.
Hasil Biopsi Kulit
Sediaan jaringan dari lengan kann beserta kulit dengan pelapis epitel squamus berlapis dengan
struktur dan morfologi inti dalam batas normmal dan basal membran intak. Fokus dijumpai
satu-dua struktur kistik dengan massa keratin di dalam lumen (horn cyst). Pada lapisan
subepidermis tampak jaringan ikat muskular yang diinfiltrasi sel radang limfosit, Tampak juga
sel-sel lemak, folikel rambut dan infiltrat agregat sel radang limfosit di antaranya, tidak
dijumpai tanda-tanda keganasan pada sediaan
Kesimpulan : mendukung diagnosis klinis suatu dermatomiositis
Departemen Bedah Saraf
S - Kelemahan kedua lengan dan kedua tungkai, ruam-ruam pada wajah, leher, punggung,
dan extremitas
O GCS : 15,
Kekuatan motorik :
A Dermatomiositis
P Biopsi Otot :
Mikroskopis :
Sediaan jaringan tampak infiltrasi sel-sel radang limfosit dan makrofag. Jaringan Otot dilapisi
inti bulat hingga spindel. N/C ratio sedikit meningkat. Kromatin halus sebagian anak inti
menonjol, sitoplasma eosinofilik dan memiliki serabut-serabut otot. Tidak ditemukan tanda-
tanda keganasan
Kesimpulan : Proses radang kronis non spesifik menyokong diagnosis klinis Myositis pada
otot paha kiri
2
PUSTAKA
3.1. Miopati
Miopati merupakan gangguan serabut otot yang bersifat herediter maupun
didapat yang menyebabkan perubahan struktur, metabolisme, atau disfungsi kanal
otot. Secara garis besar, miopati terdiri dari miopati herediter dan miopati akibat
kelainan yang didapat (acquired myopathy). Miopati herediter disebabkan oleh
varian patogenik DNA nuklear atau genom mitokondria. Klasifikasi dan
nomenklatur miopati herediter menjadi kompleks karena tidak seragam, ada yang
berdasarkan awitan, pola keterlibatan otot, etiologi, gambaran patologi otot, gen
kausatif dan nama spesifik yang mencerminkan sindrom tertentu. Berikut
Tabel
3.1. klasifikasi dari miopati : 1
Tabel 3. 1. Klasifikasi miopati1
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Pendekatan
Diagnosis Miopati In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 867-89
30
3
1
Tabel 3. 2. Gejala positif pada miopati
Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Pendekatan
Diagnosis Miopati In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 867-89
Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Pendekatan Diagnosis
Miopati In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2. Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 867-89
3
Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Pendekatan
Diagnosis Miopati In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 867-89
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F,
Safri AY, et al. Pendekatan Diagnosis Miopati In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W.
Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2022: 867-89
3
atas. 6
3.2.3. Epidemiologi
Laporan register Euromyositis 2017 yang menginklusi 3.067 MII,
menunjukkan bahwa 69% pasien adalah perempuan, dengan subtipe MIl
terbanyak adalah Dermatomiositis, diikuti ASS, OM, IBM, dan IMNM secara
berurutan. Namun epidemiologi dapat berbeda antarnegara dan belum ada data di
Indonesia.6
3.2.4. Manifestasi Klinis dan temuan pemeriksaan penunjang
Karakteristik MIl berupa kelemahan otot predominan proksimal awitan
subakut yang disertai peningkatan kadar enzim otot, kecuali pada IBM yang
memiliki kelemahan otot predominan distal dan asimetris. Otot bulbar, esofagus,
dan fleksor leher dapat terlibat, serta adanya gejala positif berupa mialgia. 6
3
selektif. Pola edema dan keterlibatan struktur lain berbeda antar subtipe MII.6
3
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Miopati
Inflamasi Idiopatik. In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 932-45
3
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Miopati
Inflamasi Idiopatik. In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 932-45
3.3. Dermatomiositis
3.3.1. Definisi
Dermatomiositis adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
inflamasi dan kerusakan pada kulit dan otot. Walaupun mayoritas DM memiliki
gangguan pada kulit dan otot, juga terdapat varian lain dari dermatomiositosis. 2
3.3.2. Epidemiologi
Dermatomiositis adalah kejadian yang langka. Sebuah studi retrospekstif
yang dilakukan diantara tahun 1967 – 2007 di Olmstend county, Minnesota,
memperkirakan incidence rate sebesar 9,63 per 1.000.000 penduduk. Studi yang
3
sama juga menemukan bahwa 21% dari semua kasus merupakan subtipe
amiopatik.2 Berdasarkan data kunjungan pasien ke Poliklinik Dermatologi dan
Venereologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama 5 tahun terakhir
terdapat 6 pasien dermatomiositis.3 DM umumnya menyerang mengenai orang
berusia diantara 40 dan 50 dengan rerata usia saat penegakan diagnosis sebesar
44,0
± 18,3 tahun.2. Puncak insidensi dari DM terjadi pada sekitar usia 50-60 tahun.
Insidensi DM lebih kurang dua kali lebih tinggi pada wanita. Beberapa studi juga
menyatakan bahwa wanita hamil lebih rentan terkena DM. Hampir sepertiga
pasien DM yang berusia diatas 50 tahun mempunyai penyakit keganasan yang
menyertai. Walaupun lebih langka, DM juga dapat terjadi pada anak-anak,dengan
jumlah kasus sekitar 2 kasus per 1.000.000 anak dibawah 16 tahun per tahunnya,
dengan median usia 6,8 tahun. Meskipun insidensi juvenile dermatomyositosis
lebih rendah dibandingkan dermamiositosis dewasa, juvenile dermatomyositosis
juga lebih sering terjadi pada anak perempuan dengan perbandingan 5:1.7,8,9
3.3.3. Etiologi
Walaupun penyebab dermatomiositis belum diketahui, beberapa faktor
genetika, imunologis, dan lingkungan berperan dalam terbentuknya kondisi ini. 2
• Faktor genetika
Beberapa studi mengemukakan bahwa pasien dengan tipe human
leukocyte antigen (HLA) tertentu berisiko lebih tinggi unuk terkena
dermatomiositis. Adapun HLA tersebut adalah HLA-A*68 pada ras kulit
putih, HLA-DRB1*0301 pada ras kulit hitam, HLA-DQA1*0104 dan
HLA- DRB1*07 pada ras tionghua, DQA1*05 dan DQB1*02 pada orang
Inggris. DRB1*03-DQA1*05-DQB1*02 juga sangatlah berhubungan erat
dengan terjadinya penyakit paru interstisial pada dermatomiositosis. 2
• Faktor imunologis
Walaupun autoantibodi terdeteksi pada pasien dengan
dermatomiositosis, masih tidak jelas apakah autoantibodi berperan dalam
patogenesis dari dermatomiositosis.2
• Infeksi
Virus seperti virus Coxsackie B, enterovirus, dan parvovirus telah
dicurigai untuk berperan sebagai pencetus dermatomiositosis. Ada
berbagai
4
•
Defisiensi Vitamin D
Defisiensi vitamin D merupakan salah satu faktor resiko pada beberapa
penyakit autoimun seperti miopati inflamasi dan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE). Meskipun begitu, masih belum diketahui secara
pasti bagaimana keadaan ini berhubungan dengan miopati inflamasi.10
3.3.4. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari dermatomiositis yaitu; Classic Dermatomyositis
(CDM), Amyopathic Dermatomyositis (ADM), Hypomyopathic Dermatomyositis
(HDM), Juvenile Dermatomyositis (JDM), dan Clinically Amyopathic
Dermatomyositis (CADM).13 CDM didefinisikan sebagai adanya manifestasi kulit
dengan kelemahan otot proksimal setelah 6 bulan onset kulit. ADM juga
berhubungan dengan keterlibatan kulit, dapat terjadi di dalam 6 bulan atau lebih
setelah diagnosis DM, tanpa adanya bukti klinis atau laboratorium kerusakan otot
atau kulit. Pada HDM, tidak ada kelemahan otot subjektif terutama setelah 6 bulan
pertama. Namun, data yang lebih subjektif dapat menunjukkan bukti subklinis dari
proses penyakit, dan termasuk didalamnya enzim otot yang abnormal dan tanda-
tanda miopati pada elektromiografi biopsi otot. DM klinis umumnya digunakan
untuk menjelaskan bukti subklinis dari ADM dan HDM. Oleh karena itu pada DM
klinis, ada bukti kelainan pada kulit dan otot. Amiopatik DM klinis berubah
menjadi DM klasik umum terjadi pada pasien DM dengan gejala kulit saja yang
mengalami onset kerusakan otot 6 bulan setelah presentasi klinis. Juvenile
dermatomyositis adalah subset dari DM yang terjadi pada pasien dengan umur 18
tahun kebawah. 13
3.3.5. Patogenesis
Dermatomiositis dikatakan terbentuk dari hasil serangan yang bersifat
humoral mediated terhadap kapiler otot dan endotelium dari arteriol. Kejadian
yang menginisiasi adalah aktivasi dari completer factor-3 (C3), yang membentuk
C3b dan C4b. Kemudian, diikuti oleh pembetukan neoantigen C3bNEO dan C5b-
C9 membrane attack complex (MAC). MAC kemudian berkumpul pada dinding
vaskular dan menyebabkan inflamasi. Kerusakan S0041hipoksik pada serat otot
berlanjut, menyebabkan atrofi serat otot, terkhususnya serat otot pada perifer yang
terletak paling jauh dari suplai vaskular. Seiring berjalannya waktu, densitas
kapiler berkurang, dan serat otot mulai mengalami nekrosis dan degenerasi. 2
Ada dugaan yang menyatakan bahwa respon imun adaptif dan bawaan
berperan dalam proses inflamasi kerusakan otot. Hal ini didasari atas
adanya temuan sel T pada hasil biopsi otot. Infiltrat inflamasi pada
dermatomiositis terdiri
4
myositis. Tanda khas DM adalah Gottron's papules (Gambar 3.5a). Lesi ini
terutama terdiri dari papula dan plak eritematosa hingga ungu pada permukaan
ekstensor sendi metakarpofalangeal dan interfalang. Lesi ini mungkin memiliki
sisik yang menyertainya, dan terkadang dapat berkembang menjadi ulserasi; lesi
aktif cenderung sembuh dengan dispigmentasi, atrofi, dan jaringan parut.
Gottron’s sign mengacu pada makula eritematosa dan bercak di atas siku dan/atau
lutut, dan merupakan temuan yang kurang spesifik untuk DM (Gambar 3.5b). 4
Tanda khas lain dari DM adalah ruam heliotrope yang terdiri dari eritema
ungu pada kelopak mata atas yang sering disertai edema dan telangiektasia. Perlu
dicatat bahwa pada jenis kulit yang lebih gelap, eritema ini mungkin tidak tampak
dan terabaikan. Bercak eritematosa dan/atau plak di daerah lain yang terpapar
sinar matahari atau tidak terpapar sinar matahari juga dapat terlihat pada DM.
Sebuah eritema konfluen pada distribusi malar yang melibatkan pipi dan
memanjang di atas jembatan hidung dapat terlihat, dan sering dapat melibatkan
lipatan nasolabial. Keterlibatan yang lebih luas dapat dilihat di area lain termasuk
dahi, wajah lateral, dan telinga.4
Eritema makula konfluen di atas leher anterior bawah dan dada anterior atas
juga dapat dilihat (yang disebut tanda “V”) (Gambar 3.5c). Shawl sign mengacu
pada eritema di punggung atas, leher posterior, dan bahu, kadang-kadang dengan
ekstensi ke lengan lateral (Gambar 3.5d). Area yang tidak terpapar sinar matahari
juga dapat terkena, terutama kulit kepala, punggung bawah, dan paha samping
(Holster sign). Eritroderma dengan area luas eritema konfluen yang melibatkan
lebih dari 50% area permukaan tubuh jarang terjadi. Selain itu, jarang juga pasien
dapat datang dengan varian yang lebih ichthyotic yang muncul sebagai kulit yang
sangat kering dan pecah-pecah.4
Gambar 3. 5. Ruam khas dermatomiositosis; (a) Gottron's papules, (b) Gottron's sign, (c) “V
4
neck” sign, (d) Shawl sign
Dikutip dari : Marvi U, Chung L, Fiorentino DF. Clinical presentation and evaluation of dermatomyositis. Indian J
Dermatol.
2012;57(5):375-381. doi:10.4103/0019-5154.100486
4
Tanda khas lain dari DM adalah ruam heliotrope (Gambar 3.6) yang terdiri
dari eritema ungu pada kelopak mata atas yang sering disertai edema dan
telangiektasia.15 Perlu dicatat bahwa pada jenis kulit yang lebih gelap, eritema ini
mungkin tidak tampak dan terabaikan. Bercak eritematosa dan/atau plak di daerah
lain yang terpapar sinar matahari atau tidak terpapar sinar matahari juga dapat
terlihat pada DM. Sebuah eritema konfluen pada distribusi malar yang melibatkan
pipi dan memanjang di atas jembatan hidung dapat terlihat, dan sering dapat
melibatkan lipatan nasolabial. Keterlibatan yang lebih luas dapat dilihat di area
lain termasuk dahi, wajah lateral, dan telinga (gambar 3.7)16
atau plak yang sering menonjol dan lunak dapat muncul di atas lipatan sendi
telapak tangan. Pada biopsi, lesi ini menunjukkan deposisi musin di dermis. 4
4
Gambar 3. 8. Lesi vaskulopati DM
Dikutip dari : Marvi U, Chung L, Fiorentino DF. Clinical presentation and evaluation of dermatomyositis. Indian J
Dermatol.
2012;57(5):375-381. doi:10.4103/0019-5154.1004864
Gambar 3. 9. Gambaran kulit lain yang berpotensi DM (a) Tangan “mekanik” (b) Kutikula (c)
alopesia multifokal 4(d) poikiloderma 16
Dikutip dari : Marvi U, Chung L, Fiorentino DF. Clinical presentation and evaluation of dermatomyositis. Indian J
Dermatol.
2012;57(5):375-381. doi:10.4103/0019-5154.1004864 dan Herath HMMTB, Keragala BSDP, Pahalagamage SP,
Janappriya GHCC, Kulatunga A, Gunasekera CN. Erythroderma and extensive poikiloderma - a rare initial presentation of
dermatomyositis: a case report. J Med Case Rep. 2018(1):1-7. https://doi.org/10.1186/s13256-
018-1618-y
Gejala lainnya
Penyakit paru interstisial merupakan sumber morbiditas dan mortalitas yang
signifikan pada pasien dengan miositis inflamasi. Diperkirakan bahwa sekitar 35-
40% pasien dengan polimiositis atau dermatomiositis akan menderita penyakit
paru interstisial selama perjalanan penyakit mereka. Pasien dengan penyakit paru
interstisial akan datang keluhan sesak saat aktivitas, batuk, dan penurunan
toleransi olahraga.4
Penyakit esofagus pada pasien DM paling sering muncul dengan disfagia
terhadap makanan padat dan cair karena hilangnya tonus otot faring-esofagus.
Tanda-tanda lain dari keterlibatan faring-esofagus termasuk nasal speech, suara
serak, regurgitasi hidung, dan pneumonia aspirasi.4
Keterlibatan jantung termasuk gagal jantung, disfungsi diastolik ventrikel
kiri, dan kontraksi ventrikel kiri hiperkinetik. Manifestasi lain dari DM termasuk
fenomena Raynaud, demam, penurunan berat badan, kelelahan, dan poliartritis
inflamasi nonerosif. 4,10
3.3.7. Diagnosis
Kriteria diagnosis
Awalnya, IIM telah diklasifikasikan dan didiagnosis menggunakan kriteria
oleh Bohan dan Peter (Tabel 3.7) sejak dipublikasi pada 1975 serta kriteria
menurut, kriteria European League Against Rheumatism/ American College of
Rheumatology (EULAR/ACR) 2017.19 Namun, kriteria diagnosis DM terbaru
adalah berdasarkan European Neuromuscular Center (ENMC) 2018 yang dapat
dilihat pada tabel 3.8.6
4
Dikutip dari : Oldroyd A, Chinoy H. Recent developments in classification criteria and diagnosis guidelines for idiopathic
inflammatory myopathies. Current Opinion in Rheumatology [Internet]. 2018 Nov [cited 2022 Oct 10];30(6):606–13.
Available from: https://journals.lww.com/00002281-201811000-00013
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Miopati
Inflamasi Idiopatik. In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 932-45
4
Pemeriksaan penunjang
• Enzim otot
Pemeriksaan awal pada kasus yang dicurigai adalah suatu
dermatomiositosis harus mencakup enzim otot, seperti creatine kinase
(CK), aldolase, lactate dehydrogenase (LDH), aspartate aminotransferase
(AST) and alanine aminotransferase (ALT). Kadar serum creatin kinase
(CK) sering meningkat sebagai akibat dari kerusakan membran otot dan
nekrosis pada pasien dengan miositis. Pada dermatomiositis, kadar CK
cenderung meningkat; namun kadarnya berkisar dari normal hingga ribuan
IU/liter. Karena kadar CK pada dermatomiositosis dapat normal, kadar CK
tidak dapat menggambarkan keparahan penyakit atau tidak dapat selalu
berguna dalam memonitoring progresivitas penyakit. Penanda enzimatik
lainnya yang dapat meningkat ketika dilepas dari otot skeletal yang terluka
yaitu aldolase, laktat dihidrogenase, dan juga transaminase, aspartat
transaminase (AST) dan alanin transaminase (ALT) (dimana ini ditemukan
pada hati dan otot skeletal). Pada pasien dengan miositis, peningkatan
kadar AST dan ALT dapat menyebabkan kebingungan, menimbulkan
kecurigaan adanya kerusakan hati; oleh karena itu pemeriksaan kadar γ-
glutamyl transferase, dimana ini spesifik pada hati (dan biasanya normal
pada pasien miositis tanpa kerusakan hati), dapat berguna dalam
membedakan kerusakan hati dari inflamasi otot skeletal.20
Pemeriksaan enzim otot
4
• Biopsi otot
Temuan histopatologis otot pada dermatomiositosis termasuk di
dalamnya atrofi perifasikular (gambar 3.13a), miofiber yang mengalami
degenerasi dan regenerasi, deposisi MAC pada dinding kapiler endomisial,
pembengkakan sel endotelial, dan nekrosis kapiler. Infiltrat sel inflamasi
terdiri dari sel T CD4+, sel dendritik plasmasitoid yang mensekresi IFN-
α, limfosit B, makrofag, dan sel plasma.23 Gambar 3.13b menunjukkan
inflamasi yang khas berupa perivaskular di dalam jaringan ikat perimisial.
Pada gambar ini, infiltrat limfositik perivaskular (seperti yang ditunjuk
panah). Beberapa sel darah merah di dalam lumen membantu dalam
mengidentifikasi struktur pembuluh darah. Perhatikan bahwa miofiber dan
endomisium disekeliling tidak mengalami peradangan. 24
(a) (b)
Gambar 3. 13. Gambaran histopatologi pada dermatomiositis (a) Gambaran atrofi
perifasikular pada dermatomiositis 21 (b) inflamasi perivaskular 24
Dikutip dari :Goyal NA. Immune-Mediated Myopathies. Continuum (Minneap Minn). 2019;25(6):1564-1585.
doi:10.1212/CON.0000000000000789 dan Adenisa AM. and Seidman R.,J. Skeletal Muscle Pathology. American
Academy Neurology.2016.Available from:https://emedicine.medscape.com/article/1869808-overview?
(a) (b)
Gambar 3.14. Biopsi Gottron’s papule (a)pembesaran kecil, (b)pembesaran
besar.25
Dikutip dari : Smith ES, Hallman JR, DeLuca AM, Goldenberg G, Jorizzo JL, Sangueza OP. Dermatomyositis: a
clinicopathological study of 40 patients. Am J Dermatopathol. 2009;31(1):61-67.
doi:10.1097/DAD.0b013e31818520e1
• Radiologi
Temuan biopsi MRI otot adalah alat non-invasif yang berguna yang
belakangan ini digunakan untuk membantu dalam diagnosis dan
penanganan miopati inflamasi. MRI merupakan imejing dapat
menunjukkan distribusi dan keparahan otot yang terlibat (menggambarkan
tingkat keparahan penyakit), memberikan panduan untuk memilih otot
yang akan dibiopsi (meningkatkan hasil biopsi), dan memberikan insight
tentang respons terhadap imunoterapi.21 MRI dapat menyediakan tampilan
anatomi yang detail hingga otot yang terlibat. Pada dermatomiositis, foto
T2 dan short tau inversion recovery (STIR) menunjukkan edema muskular
yang simetris, terutama pada otot yang dekat dengan ekstremitas atas,
dimana hal ini berkorelasi baik dengan aktivitas penyakit. Pada foto T1,
fatty atrophy pada otot tampak merefleksikan fase kronik dari
dermatomiositosis. 26
Gambar 3.15 menunjukkan gambaran MRI otot pada kasus
dermatomiositis.21
5
Gambar 3. 15. Gambaran MRI pada pasien dermatomiositis yang berat (a)
Hiperintensitas tampak pada jaringan subkutan (panah merah; potongan koronal,
short tau inversion
recovery sequences). (b) Gambar axial pada paha yang menunjukkan atrofi otot (panah
biru) menandakan penyakit berat dan kalsifikasi subkutan pada paha posterior. 21
Dikutip dari : Goyal NA. Immune-Mediated Myopathies. Continuum (Minneap Minn). 2019;25(6):1564-1585.
doi:10.1212/CON.0000000000000789
• Autoantibodi
Autoantibodi yang berkaitan dengan IIM terbagi menjadi myositis
specific autoantibodies (MSA) dan myositis associated autoantibodies
(MAA), yang akhirnya terjadi juga pada penyakit autoimun tanpa myositis.
Antibodi anti-Mi-2 berkaitan dengan DM klasik dan MSA yang paling
umum ditemukan pada pasien DM. Namun, belakangan ini beberapa
autoantigen baru telah ditemukan pada DM, terutama yang berkaitan
dengan penyakit paru interstisial dan kanker. MSA dan MAA yang
ditemukan pada pasien dermatomiositis ditunjukkan pada tabel 3.9. Ketika
MAA dideteksi, dapat dicurigai adalah suatu overlap syndrome.26
5
26
Tabel 3. 9. Autoantibodi pada dermatomiositis
Dikutip dari: Iaccarino L, Ghirardello A, Bettio S, et al. The clinical features, diagnosis and classification
of dermatomyositis. JAutoimmun. 2014;48-49:122-127. doi:10.1016/j.jaut.2013.11.005
• Pemeriksaan lainnya
Investigasi laboratorium dasar lainnya termasuk hitung darah
lengkap dengan diferensial, kreatinin, tes fungsi hati, dan penanda
inflamasi seperti laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP).
LED pada dermatomiositosis biasanya normal, atau dapat sedikit
meningkat. Pemeriksaan serum thyroid-stimulating hormone (TSH) dapat
dilakukan untuk mengeksklusikan hipotiroidisme. Elektrokardiografi
(EKG) dapat dilakukan untuk mencari abnormalitas konduksi. Fungsi tes
paru dilakukan untuk menilai tingkat keparahan apabila ada keterlibatan
paru. Pasien dengan penyakit paru interstisial menunjukkan defek restriktif
pada tes fungsi paru dengan berkurangnya forced vital capacity (FVC) dan
total lung capacity (TLC), dan berkurangnya kapasitas difusi. Pasien
dengan kelemahan otot pernafasan akan menunjukkan pola restriksi,
namun kapasitas difusi dapat normal.2
5
• Skrining keganasan
Selain skrining keterlibatan paru dan jantung pada subtipe MII yang
berisiko, penapisan keganasan penting dilakukan pada pasien yang
beresiko tinggi, yaitu (1) onset usia tua, (2) disfagia, (3) terdapat ovoid
patch, (4) lesi kulit berat (nekrosis kulit, tanda shawl), (5) memiliki
autoantibodi TIFl-y, NXP-2, atau HMGCR, (6) IMNM seronegatif, dan
(7) refrakter terhadap terapi.6
Modalitas skrining yang dianjurkan meliputi:
❖ CT scan toraks, abdomen, pelvis pada semua pasien
❖ Kolonoskopi pada pasien berusia >50 tahun
❖ Ultrasonografi pelvis dan mamografi pada perempuan berusia >50
tahun
❖ Ultrasonografi testis pada laki-laki berusia >50 tahun
❖ Endoskopi saluran pencernaan atas dan kolonoskopi pada pasien
dengan lesi nekrosis kulit atau dengan anti-TIFly atau NXP2
❖ Pap smear
❖ CA-125 pada perempuan dengan peningkatan risiko keganasan
ovarium
❖ Nasoendoskopi untuk mendeteksi karsinoma nasofaring
❖ Positron emission tomography (PET) scan
peningkatan LED, dan awitan cepat miositis. Keganasan terjadi pada 1-2 tahun
pertama setelah awitan dan menurun tahun ke-2 hingga ke- 5, namun
meningkat kembali setelah 5 tahun. Ada bukti yang menyatakan bahwa
peningkatan risiko keganasan ini bersifat sementara, dan setelah 2 tahun risiko
malignansi akan kembali normal sesuai dengan usia. Mekanisme keganasan
tidak diketahui, diduga karena terapi imunosupresif dan respons
imunologis.3,27
Mammogram, kolonoskopi, foto toraks atau CT-scan paru, dan USG
pelvis atau CT-scan abdomen adalah semua pemeriksaan yang dapat
dilakukan. Semua pemeriksaani ni harus dilakukan saat mendiagnosis DM dan
idealnya diulangi setiap 6 bulan hingga 1 tahun dalam 3 tahun pertama setelah
diagnosis. Pasien dermatomiositosis memerlukan pemeriksaan keseluruhan
dan teliti oleh dokter untuk mencari keganasan yang tersembunyi. Jika tidak
ditemukan, maka skrining harus diulangi pada mereka yang berisiko tinggi
dalam 3 tahun pertama setelah onset gejala.21
MAC pada pembuluh darah kecil otot, atau penurunan densitas kapiler,
atau inklusi tubuloretikular pada endotel pada mikroskopi elektron, atau
ekspresi MHC-1 pada serabut otot perifasikular.6
• Antisynthetase Syndrome
Hingga saat ini belum ada kriteria diagnosis ASS. Temuan yang
sugestif pada ASS meliputi lesi kulit berupa mechanic's hand dan lesi kulit
yang menyerupai DM, artritis, kecurigaan interstitial lung disease (ILD),
dan fenomena Raynaud. Biopsi otot menunjukkan infiltrasi sel inflamasi
primer, nekrosis serabut otot di area perifasikular, fragmentasi jaringan
ikat perimisium, peningkatan aktivitas alkaline phosphatase yang hebat di
perimisium, dan ekspresi MHC-1 dan MHC-2 pada serabut otot. 6
• Overlap Myositis
MII yang dapat disertai dengan adanya penyakit jaringan konektif
lain, seperti lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjogren, reumatoid
artritis dan sklerosis sistemik. Mii yang disertai dengan penyakit jaringan
Tabel 3. 10. Perbandingan manifestasi klinis dan kadar enzim otot pada miopati inflamasi
idiopatik6
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Miopati
Inflamasi Idiopatik. In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 932-45
3.3.9. Tatalaksana
3.3.9.1. Tatalaksana Farmakologi
Tujuan penatalaksanaan pada dermatomiositis adalah meningkatkan dan
memaksimalkan kekuatan otot sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan memperbaiki gejala.14 Seperti halnya penyakit autoimun inflamasi,
tatalaksana MII secara umum menggunakan immunoterapi. Pada prinsipya
tatalaksana prinsip pengobatan adalah imunosupresi. Imunosupresan yang paling
umum digunakan pada DM adalah Glukokortikoid (terapi induksi) ditambah
steroid-sparing agents yang dipilih berdasarkan efikasi, kesesuaian dengan profil
komorbid pasien, tingkat keparahan pasien, dan respon terhadap terapi
sebelumnya. Apabila terdapat kelemahan otot hingga menyebabkan
ketidakmampuan berjalan atau terdapat disfagia atau terdapat ILD, maka dianggap
derajat berat.6
• Terapi Induksi dengan Glukokortikoid Dosis Tinggi
Kortikosteroid, umumnya prednison, adalah terapi lini pertama dalam
pengobatan miopati inflamasi. Pada kasus kelemahan otot ringan tanpa adanya
disfagia atau ILD diberikan dengan dosis setara prednisone oral 0,5-1 mg/kg/hari,
dengan dosis maksimum 60 mg/hari hingga 80 mg/hari. Dalam praktiknya,
banyak ahli mencoba untuk tidak melebihi dosis harian 40 mg/hari hingga 60
mg/hari. Dalam kasus kelemahan yang berat, metilprednisolon IV (1 g/hari selama
3 sampai
5 hari) dapat diberikan pada awalnya, diikuti dengan prednison oral yang dapat
dilihat pada gambar 3.16.6,21
6
Mii, miopati inflamasi idiopatik; IBM, inclusion body myositis; IMNM, immune mediated necrotizing myopathy;
ILD, interstitial lung disease; SSA; steroid sparing agent; MMF, mikofenolat mofetil; AZA,azatriopin; MTX,
metotreksat; IVIG. intravenous immunoglobulin.
Tabel 3. 11. Panduan penurunan dosis glukokortikoid pada miopati inflamasi idiopatik6
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al.
Miopati Inflamasi Idiopatik. In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua
Volume 2. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 932-45
6
Tabel 3. 12. Steroid-sparing agents dan imunoterapi pada miopati inflamasi idiopatik6
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Miopati
Inflamasi Idiopatik. In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 932-45
6
6
Gambar 3. 20. Protokol pemantauan pada penggunaan metotreksat
Dikutip dari : Indrawati LA, Fadil N, Harsono AR, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviani F, Safri AY, et al. Miopati
Inflamasi Idiopatik. In : Aninditha T, Harris S dan Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Edisi Kedua Volume 2.
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2022: 932-45
• Immunomodulator
Studi terbaru menyarankan bahwa subtipe miopati autoimun tertentu
(berdasarkan autoantibodi) memiliki respon yang bagus terhadap
imunoterapi tertentu. IVIg telah terbukti efektif dalam suatu randomized
controlled trial untuk manajemen refractory dermatomyositis dan juga
efektif pada immune-mediated necrotizing myopathy, khususnya pada
pasien dengan antibodi anti–HMG-CoA, walaupun hanya sebagai
monoterapi.20 Pemberian IVIg tidak hanya meningkatkan kekuatan otot
dan memperbaiki kelainan kulit pada dermatomiositosis, melainkan juga
memperbaiki kondisi imunopatologis yang mendasari penyakit ini.
Manfaat IVIg berlangsung secara singkat (<8 minggu) dan dapat diulang
setiap 6-8 minggu untuk mempertahankan perbaikan dengan
dosisnya sebesar
2g/kgBB yang terbagi dalam 2-5 hari. Plasmaferesis maupun leukaferesis
tidak terlalu efektif dalam penanganan dermatomiositis. 16
• Manajemen manifestasi kulit
Manifestasi kulit DM lebih refrakter terhadap pengobatan dan
penggunaan prednison sistemik. Case series kecil telah menunjukkan
manfaat dari kortikosteroid topikal, antimalaria sistemik takrolimus topikal
6
69
gottron’s papule regio os humerus dekstra et sinistra dan gottron’s sign regio
dorsal metacarpophalangeal manus.
Langkah pertama dalam pendekatan diagnosis pasien dengan gangguan
neurologis atau neuromuskular adalah untuk menetapkan kemungkinan lokus
patologis yang dijumpai. Lokalisasi letak lesi merupakan hal yang sangat penting
dalam mendiagnosis.37 Sangat diperlukan anamnesis menyeluruh pada pasien baik
gejala positif atau negatif, distribusi gejala, data keterkaitan waktu (progesifitas,
usia dan onset), faktor pencetus, gejala dan tanda sistemik yang mendukung,
riwayat penyakit di keluarga, serta pemeriksaan neurologis yang detail merupakan
hal yang penting dalam diagnosis penyakit muskular ..21 Pada kasus dijumpai
adanya kelemahan keempat anggota gerak dengan predominan pada otot
proksimal disertai dengan adanya riwayat nyeri pada otot di kedua paha tanpa
disertai dengan gangguan sensorik. Pendekatan klinis pada pasien mengarah pada
diagnosis miopati hal ini adanya gejala negatif berupa kelemahan. Distribusi
kelemahan otot dapat bervariasi. Beberapa kelemahan bisa terjadi pada otot
proksimal sehingga pasien sulit bangkit dari duduk dan sulit menaiki tangga.
Namun kelemahan otot pada distal jarang terjadi tetapi dapat merupakan gejala
bagi miopati tertentu. Gejala negatif pada miopati yang dijumpai pada pasien
adanya nyeri otot (myalgia). Myalgia ditandai dengan adanya rasa nyeri otot
secara difus berupa nyeri tekan dan kram tanpa atau dengan adanya kelemahan
otot. Pola kelemahan pada miopati tanpa dijumpai adanya defisit sensorik.1 Pada
kasus dijumpai adanya waddling gait, gait ini tampak pada kelemahan proksimal
(kelemahan otot abduktor panggul bilateral) sehingga saaat pasien berjalan
tampak pelvis miring ke arah tungkai yang mengayun.
Pada kasus ini kelemahan dirasakan sepanjang hari dan tidak membaik
dengan istirahat. Keluhan kelemahan yang sama sebelumnya disangkal. Keluhan
kelemahan tidak disertai dengan kebas atau kesemutan pada kedua tungkai.
Karakteristik utama yang membedakan miopati dengan penyakit NMJ
(Neuromuscular junction) ialah tanda dan gejala yang fluktuatif. Pasien dengan
Myasthenia gravis mengeluhkan kelemahan selama aktivitas repetitif dan ringan
dengan istirahat. Otot ekstraokular umumnya dijumpai pada penyakit NMJ
70
7
dibandingkan dengan miopati.37 Pada kasus ini awalnya dari rumah sakit rujukan
pasien didiagnosis banding dengan CIDP. Karakteristik klinis pada CIDP ialah
kelumpuhan progresif, atau relaps dan remisi yang mengenai otot proksimal dan
distal secara simetris atau simetris. Progresifitas perjalanan penyakit ≥ 2 bulan
atau relaps. Kelemahan sering disertai defisit sensorik dan hilangya refleks
fisiologis.38
Miopati yang didapat dengan onset subakut pada pasien tanpa kelainan
yang
mendasari, tanpa adanya tanda penyakit sistemik, dan tanpa adanya Riwayat
pemakaian obat yang berpotensi miotoksik sangat mungkin suatu miositis
inflamasi.37
Keluhan kelemahan keempat anggota gerak pada pasien juga disertai
dengan manifestasi klinis pada kulit berupa bengkak pada kedua kelopak mata
sejak
2 bulan SMRS, ruam-ruam pada wajah, telinga, leher, punggung, dada dan
ekstrermitas yang dialami pasien 3 bulan sebelum adanya kelemahan keempat
anggota gerak. Adanya kelemahan otot yang bersifat simetris disertai manifestasi
kulit pada pasien mengarahkan suatu diagnosis miopati inflamasi. Lesi kulit
patognomonik pada dermatomiositis yang merupakan klasifikasi dari miopati
inflamasi berupa gottron’s papule, gottron’s sign, heliotrope sign namun
karakteristik ruam kulit lainnya dapat berupa shawl sign, v-neck sign, holster sign
dan mechanic’s hands..3 Kelainan kulit pada dermatomiositis dapat terjadi
sebelum atau sesudah keluhan otot. Sebanyak 30-50% pasien mengalami keluhan
kulit 3-6 bulan sebelum timbul keluhan otot, sedangkan pada 10% pasien terdapat
keluhan otot sebelum lesi di kulit.3 Ruam -ruam yang dijumpai pada kasus adalah
Heliotrope’s rash, hiperpigmentasi regio servikalis posterior, poikiloderma thoraks
posterior dan meluas ke lengan atas posterior kiri dan kanan (shawl sign),
gottron’s papule regio os humerus dekstra et sinistra dan gottron’s sign regio
dorsal metacarpophalangeal manus.
Angka Kejadian dermatomiositis adalah 9.63/ 1.000.000 penduduk.
Dermatomiositis umumnya dijumpai pada rentang usia 40 dan 50 tahun dengan
usia rata-rata didiagnosa 44.0 ± 18.3 tahun. Hampir sepertiga pasien
dermatomiositosis yang berusia diatas 50 tahun mempunyai penyakit keganasan
yang menyertai. Insidensi DM lebih kurang dua kali lebih tinggi pada wanita. DM
juga dapat terjadi
7
pada anak-anak,dengan jumlah kasus sekitar 2 kasus per 1.000.000 anak dibawah
16 tahun per tahunnya, dengan median usia 6,8 tahun. Pada kasus ini onset usia
pasien menderita dermatomiositis ialah 32 tahun.
Pada tanggal 15 agustus 2022, pasien dilakukan pemeriksaan skrining HIV
karena adanya riwayat oral kandidiasis, skrining HIV juga merupakan suatu
pemeriksaan tambahan pada pasien dengan miopati inflamasi dikarenakan adanya
keterkaitan infeksi HIV terhadap miopati seperti contoh pada kasus Polimiositis
dan Inclusion Body Myositis.39,40 Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis
dermatomiositis adalah autoantibodi, enzim otot, elektromiografi (EMG),
magnetic resonance imaging (MRI), biopsi kulit dan otot.3
Pemeriksaan awal pada kasus yang dicurigai adalah suatu
dermatomiositosis harus mencakup enzim otot, seperti creatine kinase (CK),
aldolase, lactate dehydrogenase (LDH), aspartate aminotransferase (AST) and
alanine aminotransferase (ALT). Kadar serum creatin kinase (CK) sering
meningkat sebagai akibat dari kerusakan membran otot dan nekrosis pada pasien
dengan miositis.6 Pada kasus ini dijumpai peningkatan enzim otot LDH: 1091 U/L
(rujukan 125-220 U/L), CK-NAC : 8140 U/L (rujukan 30-200 U/L) , CK-MB :
859
U/L (rujukan ≤ 24 U/L), AST : 197 U/L (rujukan 0-55 U/L), ALT : 121 U/L
(rujukan 5-34 U/L), ɣ- GT : 24 U/L (rujukan 12-64 U/L), ALP : 41 (rujukan 40-
150
U/L), Pada dermatomiositis, peningkatan CK dapat dijumpai 50 kali dari batas
normal, Namun serum CK mungkin normal pada 20% hingga 30% pasien.
peningkatan CK tidak berkorelasi dengan tingkat kelemahan yang dialami oleh
pasien. Penanda enzimatik lainnya yang dapat meningkat adalah AST dan ALT
(dimana ini ditemukan pada hati dan otot skeletal). Pada pasien dengan miositis,
peningkatan kadar AST dan ALT dapat menyebabkan kebingungan, menimbulkan
kecurigaan adanya kerusakan hati; oleh karena itu pemeriksaan kadar γ-glutamyl
transferase, dimana ini spesifik pada hati (dan biasanya normal pada pasien
miositis tanpa kerusakan hati).6 Pada kasus ini dijumpai peningkatan AST dan
ALT, tetapi nilai ɣ- GT dan ALP pasien dalam batas normal, pasien dilakukan
pemeriksaan lanjutan dengan USG abdomen dengan hasil kolelitiasis mulitpel dan
rencana akan dievaluasi ulang pemeriksaan AST dan ALT pada pasien.
7
diagnosis subtipe dari miopati inflamasi. Untuk mencapai hasil yang representatif
pada biopsi, diperlukan pemilihan sampel otot yang tepat yaitu otot yang
mengalami paresis yang tidak terlalu berat. Modalitas MRI dapat membantu
mengidentifikasi perubahan jaringan otot yang sudah mengalami kerusakan tahap
akhir.41
Pada kasus ini sebelum pasien dilakukan Biopsi otot, pemeriksaan
penunjang yang dilalui pasien ialah biopsi kulit anjuran dari departemen kulit
kelamin, jika merujuk pada kriteria diagnosis dermatomiositis berdasarkan ENMC
2018. Pemeriksaan biopsi kulit ditujukan untuk klasifikasi clinically amyopathic
DM (CADM). Pasien juga dilakukan pemeriksaan MRI untuk menentukan lokasi
biopsi otot. MRI merupakan imejing dapat menunjukkan distribusi dan keparahan
otot yang terlibat, memberikan panduan untuk memilih otot yang akan dibiopsi
dan memberikan insight tentang respons terhadap imunoterapi.21 Pada
dermatomiositis, foto T2 dan short tau inversion recovery (STIR) menunjukkan
edema muskular yang simetris, terutama pada otot yang dekat dengan ekstremitas
atas, dimana hal ini berkorelasi baik dengan aktivitas penyakit. Temuan khas
termasuk adanya edema otot, area yang mengalami inflamasi yang tampak
hiperintens pada sekuens T2.27 Pada foto T1, fatty atrophy pada otot tampak
merefleksikan fase kronik dari dermatomiositosis. Pada kasus ini hasil MRI pasien
adalah Peningkatan signal yang diffuse pada otot femur kanan/ kiri, sesuai
gambaran dermatomiositis.
Berdasarkan gambar 3.2 Algoritma pendekatan diagnosis miopati
inflamasi idiopatik. Dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, temuan
yang ada pada pasien didiagnosa dengan dermatomiositis. Diagnosis definite
miositis inflamasi idiopatik terkonfirmasi histologi, pada subtipe dermatomiositis
dijumpai gambaran mikroskopis biopsi otot berupa atropi perifasikular. Pada
kasus ini pasien sudah dilakukkan biopsi otot dengan gambaran mikroskopis
berupa proses radang kronis non spesifik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit
dan makrofag yang mendukung klinis miositis.6 Apabila merujuk kriteria
diagnosis Bohan dan Peter pasien ditegakkan dengan definite dermatomiositis.19
Penatalaksanaan MII pada gambar 3.16 berdasarkan kelemahan otot pasien
apakah mampu berjalan, ada atau tidak adanya disfagia dan ILD (Interstisial
Lung
7
Disease). Pada pemeriksan fisik pasien tidak dijumpai keluhan respiratorik dan
dilakukan foto thoraks untuk skrining penyakit interstitial lung disease dan
keganasan pada paru. Hasil foto thoraks pada kasus ini tidak tampak kelainan
radiologis pada jantung dan paru. Kemudian Pasien diberikan pengobatan
kortikosteroid dengan dosis 1mg/kg/bb (methylprednisolone 3x16 mg) dan
Azatioprin 50 mg (2-0-1) selama 4 minggu awal pengobatan. Hal ini sesuai
dengan algoritme tatalaksana imunosupresan pada miopati inflamasi
idiopatik (Gambar 3.16). Pemberian Glukokortikoid oral dengan SSA lini I :
Metotreksat, Azatioprin atau Mikofenolate mofetil.6 Pertimbangan pemilihan obat
steroid sparing agent berdasarkan manifestasi klinis, riwayat hipersensitivitas,
keterlibatan organ lain, misalnya ILD, tingkat respon dengan imunosupresan
sebelumnya, adanya keganasan, komorbiditas (gangguan fungsi hati, ginjal,
keadaan hematologi, dan infeksi). Algoritme pengobatan miopati autoimun
berdasarkan keparahan penyakit derajat sedang-berat pada kasus ini (gambar
3.17) ialah prednisone 1 mg/kg/bb dengan total dosis 60mg/ hari ekuivalen
dengan methylprednisolone 48 mg/ hari ditambah Azatioprin dengan dosis 2-3
mg/kgbb/ hari. Azathioprine merupakan Steroid Sparing Agent yang sering
digunakan karena dapat ditoleransi dengan baik.13 Obat ini bekerja dengan cara
metabolisme 6-merkaptopurin, yang dapat menghambat sintesis DNA, RNA dan
mengganggu proliferasi sel-T dan sel B. Efek samping yang dapat ditemukan
berupa gejala menyerupai flu; gangguan gastrointestinal berupa pankreatitis,
peningkatan enzim-enzim hepar, hepatitis; leukopenia, anemia, trombositopeni
atau pansitopeni.38
Pasien dilakukan follow up 1 bulan setelah pengobatan, pasien tidak
mengalami perbaikan motorik kemudian dilakukan pemeriksaan darah rutin,
enzim otot, fungsi ginjal, fungsi hati, dan kalsium dan vitamin D setelah 4 minggu
pengobatan. Dengan hasil penurunan nilai enzim otot, CKNAC (2225 U/L) dan
CKMB (573U/L) dibandingkan sebelum pengobatan. Fungsi ginjal dalam batas
normal, fungsi hati diatas batas normal (SGOT: 97 U/L) (SGPT : 69 U/L),
Kalsium: 8,40 dan Vitamin D : 24,0 obat azatioprin diganti dengan natrium
michopenolate dengan dosis 2x360 mg dengan pertimbangan fungsi hati yang
masih tinggi serta belum ada perbaikan kekuatan motorik21. Mekanisme kerja obat
7
77
BAB VI DAFTAR
PUSTAKA
78
7
25. Smith ES, Hallman JR, DeLuca AM, Goldenberg G, Jorizzo JL, Sangueza OP.
Dermatomyositis: a clinicopathological study of 40 patients. Am J
Dermatopathol. 2009;31(1):61-67. doi:10.1097/DAD.0b013e31818520e1
26. Iaccarino L, Ghirardello A, Bettio S, et al. The clinical features, diagnosis and
classification of dermatomyositis. J Autoimmun. 2014;48-49:122-127.
doi:10.1016/j.jaut.2013.11.005
27. Strowd LC, Jorizzo JL. Review of dermatomyositis: establishing the diagnosis
and treatment algorithm. J Dermatol Treat. 2013;24(6):418–21.
28. Femia AN, Vleugels RA, Cssallen JP. Cutaneous dermatomyositis: an updated
review of treatment options and internal associations. Am J Clin Dermatol.
2013;14(4):291-313. doi:10.1007/s40257-013-0028-6
29. Alexanderson H, Boström C. Exercise therapy in patients with idiopathic
inflammatory myopathies and systemic lupus erythematosus - A systematic
literature review. Best Pract Res Clin Rheumatol. 2020;34(2):101547.
doi:10.1016/j.berh.2020.101547
30. Alexanderson H, Munters LA, Dastmalchi M, et al. Resistive home exercise in
patients with recent-onset polymyositis and dermatomyositis—a randomized
controlled single-blinded study with a 2-year followup. J Rheumatol
2014;41(6):1124–1132. doi:10.3899/ jrheum.131145.
31. Santos LB dos, Mituuti CT, Luchesi KF. Speech therapy for patients with
oropharyngeal dysphagia in palliative care. Audiol, Commun Res [Internet].
2020; 25:e2262. Available from:
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S2317-
64312020000100301&tlng=pt
32. Coskun Benlidayi I, Gupta L. The pathophysiological effects of exercise in the
management of idiopathic inflammatory myopathies: A scoping review. Int J
Rheum Dis. 2021;24(7):896-903. doi:10.1111/1756-185X.14104
33. de Oliveira DS, de Souza JM, Shinjo SK. Beyond medicine: Physical exercise
should be always considered in patients with systemic autoimmune
myopathies. Autoimmun Rev. 2019;18(3):315-316.
doi:10.1016/j.autrev.2018.11.003
34. Alexanderson H. Exercise in Myositis. Curr Treatm Opt Rheumatol.
2018;4(4):289-298. doi:10.1007/s40674-018-0113-3.
35. Kuo CF, See LC, Yu KH, et al. Incidence, cancer risk and mortality of
dermatomyositis and polymyositis in Taiwan: a nationwide population study.
Br J Dermatol. 2011;165(6):1273-1279. doi:10.1111/j.1365-
2133.2011.10595.x
36. Yang X, Hao Y, Zhang Z. AB0627 Prognosis and Mortality of
Dermatomyositis and Polymyositis Patients with Malignancy. Annals of the
Rheumatic Diseases. Annals of the Rheumatic Diseases; 2020;79(Suppl
1):1609.1–.
8
82
8
8