Anda di halaman 1dari 2

Quantum Islam

Jumat, 10 April 2015 13:53 WIB

Editor: bakri

Oleh Ali Abubakar

TULISAN ini tidak hendak mengkaji tuntas tentang Teori Quantum yang awalnya digagas oleh John Archibaid Wheeler
(1911-2008) itu. Ia menyatakan bahwa alam semesta (partikel) bersifat fluktuatif, tidak ada yang pasti. Alam semesta,
menurut fisikawan Princeton University Amerika Serikat ini, dikontrol oleh ketidakpastian. Tulisan ini juga tidak banyak
bicara mengapa teori Wheeler ini kemudian dibantah habis-habisan oleh kolaborasi dua fisikawan abad ke-20 yaitu
Albert Einstein (1879-1955) dari Jerman dan Satyenda Nath Bose (1894-1974) dari India.

Teori Quantum yang kedua itu kemudian dikenal sebagai statistik Bose-Einstein. Teori ini menyatakan bahwa alam
semesta ada dalam keteraturan dan keseimbangan. Artikel ini hanya berupaya menunjukkan bagaimana kaitan antara
serpihan dari teori quantum Bose-Einstein dengan ajaran Islam dan kehidupan kita sehari-hari dalam penyebaran ajaran
tentang kebaikan. Tidak dikaitkan dengan teori Wheeler karena toh teori ini sudah terbantahkan oleh Bose-Einstein dan
karena teori kedua lebih dekat dengan Islam.

Menurut quantum Bose-Einstein, penyebab keseimbangan dalam sebuah galaksi (gugusan bintang) adalah adanya
gravitasi yang saling memengaruhi antarplanet. Bumi tidak berbenturan dengan bulan, matahari, dan planet-planet lain
dalam galaksi Andromeda ini karena ada gaya tarik-menarik antarbenda angkasa tersebut. Gaya tarik-menarik itulah
yang menyebabkan setiap planet tetap dalam garis edarnya masing-masing.

Namun demikian, sampai sekarang fisikawan belum menemukan apa penyebab terjadinya keseimbangan antargalaksi
atau antartata surya. Mereka belum dapat menjawab pertanyaan mengapa alam semesta seimbang. Apa hal yang
menghubungkan galaksi satu dengan lainnya. Alquran sendiri hanya menyatakan bahwa Allah meluaskan langit (alam
semesta) dan menempatkan mizan di dalamnya, sehingga terjadi keseimbangan. Alquran juga memberi catatan penting
agar mizan tersebut tetap dijaga (ar-Rahman: 7-8). Jadi yang dicari para ulul albab fisika modern adalah apa wujud dari
mizan tersebut.

Dua puluh lima abad sebelum Einstein, bibit teori kesatuan alam itu sudah ada. Anaximenes (610-547 SM) dari Yunani
Kuno adalah pemikir pertama yang menghubungkan tubuh manusia dengan jagat raya. Tubuh adalah mikrokosmos,
sedangkan jagat raya adalah makrokosmos, dan jiwa manusia bagai udara bagi jagat raya. Keyakinan yang sama dimiliki
ajaran Budha. Tubuh manusia terhubung dengan alam semesta melalui cakra dasar atau muladhara chakra. Di cakra ini
bersemayam energi sakti atau kundalili yang diyakini para yogi sebagai ibu Gayatri atau ibu alam semesta.

Satu kesatuan

Terkait dengan artikel ini, hal penting dalam Teori Quantum adalah bahwa alam semesta sebetulnya satu kesatuan tak
terpisahkan. Ketika satu bagian terganggu, bagian lain akan terpengaruh dan pada akhirnya, cepat atau lambat, akan
merusak keseimbangan alam semesta. Contoh yang lebih membumi adalah perusakan hutan. Kegiatan ilegal ini akan
memengaruhi kondisi tanah, air, udara, kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Bahkan memengaruhi ozon
dan cahaya matahari dan pada puncaknya adalah memengaruhi kehidupan individu, sosial, politik, dan ekonomi
masyarakat.

Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana penebangan hutan liar di Aceh menyebabkan beberapa kali banjir
bandang dan “banjir” masalah sosial, serta “banjir” masalah moral karena banyak bantuan sangkut dalam saluran
panjang. Jumlah bantuan akan berkurang satu angka nol pada setiap pos. Demikian juga pembakaran lahan dan hutan di
Riau memunculkan protes dari negara tetangga, lalu menjadi komoditas politik internasional.

Sebaliknya, jika yang dilakukan adalah melestarikan hutan, maka yang akan terjadi adalah kelestarian ekosistem: air
tanah yang bersih tetap tersedia, udara segar tetap ada, kehidupan hewan berkembang, tumbuhan terjaga, dan pada
puncaknya semua segi kehidupan menjadi lestari. Di sini tampak jelas kesatuan dan saling pengaruh antara benda di
alam semesta.

Dalam hukum pidana, Teori Quantum ini dengan amat cantik termuat dalam Alquran: “...Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...” (QS. al-Maidah: 32).

Jika ini dijadikan cermin bagi peristiwa-peristiwa pembunuhan dan penganiayaan yang akhir-akhir terjadi di Aceh, maka
korban perbuatan keji itu sebetulnya bukan hanya orang yang meninggal itu, tetapi rakyat Aceh, Indonesia, bahkan
penduduk seluruh dunia. Paling kurang, para pelaku telah “membunuh” rasa keamanan, ketentraman, dan kedamaian
yang telah terbina dengan apiknya dalam masyarakat. Yang mereka bunuh adalah kemanusiaan kita. Para pelaku sudah
merusak mizan dalam alam semesta.

Ayat ini juga menyatakan bahwa menjaga kehidupan satu orang manusia berarti sudah melestarikan kehidupan manusia
sejagat. Ini karena setiap manusia terhubung dengan manusia lain melalui mizan. Demikian juga antara manusia dan
lingkungannya, bahkan dengan alam semesta diikat dengan tali mizan. Karena itu, sangatlah benar ketika Nabi saw
menyatakan: “Orang-orang mukmin itu bagaikan satu orang, apabila kepalanya terasa sakit, maka seluruh tubuhnya ikut
sakit (tidak bisa tidur dan panas).” (HR. Muslim).

Quantum kebaikan

Teori bahwa setiap hal yang terjadi di alam semesta ini saling berhubungan satu sama lain, sangat dekat dengan ajaran
al-Qur’an tentang penyebaran kebaikan. Di surat al-Isra’ ayat 7 dinyatakan: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.” Ibarat senada
dapat ditemukan di beberapa tempat, antara lain di surat Luqman ayat 12: “Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” Dalam bentuk perbuatan yang lebih praktis, di al-Baqarah 272 disebutkan: “Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka itu untuk kamu sendiri.” Hal semakna dapat dirujuk pada al-Ankabut ayat6.

Makna ayat ini akan tampak lebih jelas dalam kisah penuh hikmah yang ditulis ulama sufi. Alkisah, seorang buta sedang
berjalan kaki di malam gelap gulita. Tangan kanannya memegang tongkat, sementara tangan kirinya memegang lampu
senter. Orang yang berpapasan dengan dia bertanya penuh keheranan, mengapa ia membawa lampu? Ia menjawab
enteng, tentu saja untuk penerangan. Ketika ditanya lagi apa gunanya penerangan bagi dia yang buta karena tetap saja
jalan akan tampak gelap bagi matanya, ia menjawab bahwa lampunya akan berguna bagi orang lain yang melewati jalan
itu dan agar orang lain tidak menabrak dia.

Kisah sarat makna ini mengajarkan kebaikan yang kita lakukan mestinya tidak terpusat pada diri kita sendiri. Pada saat
kita memberi, sebetulnya kita sedang menerima; pada saat kita menolong orang lain, sesungguhnya kita sedang
menolong diri sendiri; apa yang kita lakukan pada orang lain sebenarnya sedang kita lakukan pada diri kita sendiri. Hal
yang sama berlaku pada keburukan. Itulah mizan yang ditetapkan Allah dalam kebaikan.

Quantum kebaikan ini adalah rahasia kehidupan yang tidak banyak dipercayai orang. Karena itu banyak orang yang lebih
berbahagia menjadi penerima daripada memberi; lebih suka ditolong daripada menolong. Hidup ini berpusat pada
dirinya sendiri; seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali dengan orang lain, apalagi dengan lingkungan hidupnya dan
alam semesta.

Intinya, apa pun kebaikan harus tetap kita lakukan karena sesungguhnya kita sedang berbuat untuk alam semesta dan
kita adalah bagian alam semesta itu. Kebaikan yang diterima orang lain atau lingkungan alam sekitar kita sesungguhnya
adalah kebaikan universal, termasuk untuk diri kita sendiri. Setiap bagian dari alam semesta akan bergerak mengimbangi
gerakan kebaikan itu dan mengembalikan efeknya pada pembuatnya dalam jumlah yang jauh lebih besar. Alquran
mengibaratkannya seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai dan tiap tangkai menghasilkan seratus biji
(al-Baqarah: 261)

Sebaliknya, keburukan yang dilakukan pada orang lain dan alam sekitar kita, sesungguhnya adalah kegiatan yang sedang
menghancurkan diri sendiri. Akan sangat arif jika kita menjadi seperti orang buta yang senantiasa membawa lampu di
malam hari. Ia memang tidak memerlukannya secara langsung, tetapi banyak orang terselamatkan oleh perbuatannya,
termasuk ia sendiri.

* Dr. Ali Abubakar, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email:
aliamannabila@yahoo.com

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Quantum Islam,


https://aceh.tribunnews.com/2015/04/10/quantum-islam.

Anda mungkin juga menyukai