Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Model–model pengembangan kurikulum memegang peranan penting dalam kegiatan
pengembangan kurikulum. Sungguh sangat naif bagi para pelaku pendidikan di lapangan
terutama guru, kepala sekolah, pengawas bahkan anggota komite sekolah jika tidak memahami
dengan baik keberadaan, kegunaan dan urgensi setiap model–model pengembangan kurikulum.
Salah satu fungsi pendidikan dan kurikulum bagi masyarakat adalah menyiapkan peserta
didik untuk kehidupan di kemudian hari. Oleh karena itu ada beberapa ciri dasar yang dapat
disimpulkan atas penyelenggaraan kurikulum dan pendidikan yaitu sadar akan tujuan, orientasi
ke hari depan, dan sadar akan penyesuaian.
Pemahaman tentang kurikulum sendiri merupakan salah satu unsur kompetensi
paedagogik yang harus dimiliki seorang guru. Kompetensi paedagogik merupakan kemampuan
guru dalam pengelolaan pembelajaran pada peserta didik yang salah satunya kemampuan
pengembangan kurikulum.
Pada tahun 2013 pemerintah menerapkan pemberlakuan tentang kurikulum baru, yang
berlaku sebagai pengganti kurikulum 2006 yaitu Kurukulum 2013. Kurikulum ini merupakan
inovasi dan penyempurnaan dari kurikulum KTSP tahun 2006 dalam bidang kurikulum
pendidikan di Indonesia, karena dengan adanya kurikulum 2013, siswa menjadi lebih aktif dan
menjadi fokus pembelajaran sedangkan guru hanya sebagai fasilitator.
Dengan berkembangnnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat, menuntut
kemajuan masyarakat sebagai pelaku pendidikan juga berkembang, untuk itu pemerintah melalui
guru berusaha mewujudkan sumber daya manusia yang kompeten sebagai produk hasil dari
proses pendidikan. Maka dari itu perlu adanya pengembangan kurikulum sebagai modal dasar
agar pembelajaran dapat berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Model Konsep Kurikulum dan Model Pengembangan Kurikulum


Model adalah konstruksi yang bersifat teoritis diri konsep.1 Kurikulum merupakan
seperangkat susunan rencana kegiatan pendidikan mengenai tujuan, pokok, isi, bahan, metode,
dan strategi pembelajaran sebagai acuan penyelenggaraan kegiatan proses pembelajaran. Jadi,
model konsep kurikulum merupakan dasar untuk pengembangan kurikulum. atau dengan kata
lain, pendekatan pengembangan kurikulum didasarkan atas konsep-konsep kurikulum yang ada.
Pengembangan kurikulum tidak dapat jelas dari berbagai aspek yang mempengaruhinya,
seperti cara berpikir, sistem nilai (nilai moral, kegamaaan, politik, budaya, dan sosial), proses
pengembangan, kebutuhan peserta didik, kebutuhan masyarakat maupun arah program
pendidikan. Aspek-aspek tersebut akan menjadi bahan yang perlu dipertimbangkan dalam suatu
pengembangan kurikulum. Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur
dalam rangka mendesain (designing), menerapkan (implementation), dan mengevaluasi
(evaluation) suatu kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus dapat
menggambarkan suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang memenuhi berbagai
kebutuhan dan standar keberhasilan dalam pendidikan.
Dalam praktik pengembangan kurikulum sering terjadi cenderung hanya menekankan
pada pemenuhan mata pelajaran. Artinya, isi atau materi yang harus dipelajari peserta didik
hanya berpusat pada disiplin ilmu yang terstruktur, sistematis, dan logis, sehingga mengabaikan
pengetahuan dan kemampuan aktual yang dibutuhkan sejalan perkembangan masyarakat.
Agar dapat mengembangkan kurikulum secara baik, pengembangan kurikulum
semestinya memahami berbagai jenis model pengembangan kurikulum. Yang dimaksud dengan
model pengembangan kurikulum dalam tulisan ini yaitu langkah atau prosedur sistematis dalam
proses penyusunan suatu kurikulum. Dengan memahami esensi model pengembangan kurikulum
dan sejumlah alternatif model pengembangan, para pengembang kurikulum diharapkan akan bisa
bekerja secara lebih sistematis, sistemik dan optimal. Sehingga harapan ideal terwujudnya suatu
kurikulum yang akomodatif dengan berbagai kepentingan, teori dan praktik, bisa diwujudkan.2

1 Dakir, Perencanan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm.95
B. Model Konsep Kurikulum
1. Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan
esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu, semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah
ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-
hasil budayamasa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar
adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah
orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan
oleh guru.
Kurikulum subjek akademis tidak berarti hanya menekankan pada materi yamg
disampaikan, dalam perkembangannya secara berangsur memperhatiakan proses belajar yang
dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat beruntung pada segi apa yang dipentingkan
dalam materi pelajaran tersebut.
Beberapa kegiatan belajar memungkinkan untuk mengadakan generalisasi, suatu
pengetahuan dapat digunakan dalam konteks lain, daripada sekedar yang dipelajarinya, dapat
merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk menghubungkannya dengan masalah lain.
seorang siswa yang belajar fisika, umpamanya, harus melakukan kegiatan belajar sebagaimana
seorang ahli fisika melakukannya. Hal seperti itu akan mempermudah proses belajar fisika bagi
siswa.
Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan kurikulum subjek
akademis.
a. Melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid-murid belajar bagaimana memperoleh dan
mengurai fakta-fakta dan bukan sekedar mengingat-ingatnya.
b. Studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respons terhadap perkembangan
masyarakat yang menuntut model-model pengetahuan yang lebih komprehensif-terpadu.
Pelajaran tersusun atas satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-
batas ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pengajaran didasarkan atas fenomena-
fenomena alam, proses kerja ilmiah dan problema-problema yang ada. Mereka mengembangkan

2 Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali
Press, 2011), hlm.78
suatu model kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum). Ada beberapa ciri model
kurikulum yang dikembangkan.
1) Menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme).
2) Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu.
3) Menyatukan berbagai cara /metode belajar.
c. Pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah pada fundamentalis. Mereka tetap
mengajar berdasarkan mata-mata pelajaran dengan menekankan membaca, menulis, dan
memecahkan masalah-masalah matematis. Pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu
sosial, dan lain-lain dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktis pemecahan masalah
dalam kehidupan.
a. Ciri-ciri kurikulum subjek akademis
Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan tujuan, metode,
organisasi isi, dan evaluasi. Tujuan kurikulum subjek akademis adalah pemberian pengetahuan
yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”. Dengan
berpengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, para siswa diharapkan memilik konsep-konsep dan
cara-cara yang dapat terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Para siswa harus
belajar menggunakan pemikiran dan dapat mengontrol dorongan-dorongannya. Sekolah harus
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka
menguasai warisan budaya dan jika mungkin memperkayanya.
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademis adalah metode
ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai
mereka kuasai. Konsep utama disusun secara sistematis, dengan ilustrasi yang jelas untuk
selanjutnya dikaji. Dalam materi disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting,
kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan, bahwa kemampuan berpikir dan
mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam matematika, bentuk dan
perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam sejarah. Mereka mempelajari buku-buku
standar untuk memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami budaya masa lalu dan mengeti
keadaan masa kini.
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek akademis. Pola-pola
organisasi yang terpenting di antaranya:
1) Correlated curriculum
2) Unified atau Concentrated curriculum
3) Integrated curriculum
4) Problem Solving curriculum
Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk evaluasi
yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang study
humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian (essay test) daripada tes objektif. Bidang studi
tersebut membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara
menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian subjektif yang
jujur, di samping standar keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, nilai tertinggi
diberikan bila siswa menguasai landasan aksioma serta cara perhitungannya benar. Dalam ilmu
kealaman penghargaan tertinggi bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga
pada proses berpikir yang digunakan siswa.
Para ahli disiplin ilmu sering memiliki sifat ambivalen terhadap evaluasi, satu pihak
melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat berharga, yang dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan. Pada pihak lain mereka mengkhawatirkan kegiatan evaluasi dapat mempengaruhi
hubungan antara guru dan siswa. Evaluasi yang dilakukan dalam waktu singkat tidak akan
memberikan gambaran yang benar tentang perkembangan dan penguasaan siswa. Kekhawatiran
mereka dapat sedikit dikurangi dengan dikembangknnya model evaluasi formatif dan sumatif.
b. Pemilihan disiplin ilmu
Masalah besar yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum subjek akademis adalah
bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada. Apabila ingin
memiliki penguasaan ynag cukup mendalam maka jumlah disiplin ilmunya harus sedikit.
Apabila hanya mempeljari sedikit disiplin ilmu maka penguasaan para siswa akan sangat
terbatas, sukar menerapkannya dalam kehidupan masyarakat secara luas. Apabila disiplin
ilmunya cukup banyak, maka tahap penguasaannya akan mendangkal, Anak-anak akan tahu
banyak tetapi pengetahuannya hanya sedikit-sedikit (tidak mendalam).
Ada beberapa saran untuk mengatasi masalah tesebut, yaitu :
1) Mengusahakan adanya penguasaan yang menyeluruh (comprehensiveness) dengan menekankan
pada bagaimana cara menguji kebenaran atau mendapatkan pengetahuan.
2) Mengutamakan kebutuhan masyarakat (sosial utility), memilih dan menentukan aspek-aspek
dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
3) Menekankan pengetahuan dasar, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar
(prerequisite) bagi penguasaan disiplin-disipln ilmu yang lainnya.
c. Penyesuaian mata pelajaran dengan perkembangan anak
Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan penyusunan bahan
secara logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan bahan dengan kemampuan berpikir
anak. Mereka umumnya kurang memperhatikan bagaimana siswa belajar dan lebih
mengutamakan susunan isi, yaitu apa yang akan diajarkan. Proses belajar yang ditempuh oleh
siswa sama pentingnya sama dengan penguasaan konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi. Para
ahli kurikulum subjek akademis juga memandang materi yang akan diajarkan bersifat universal,
mereka mengabaikan karakteristik siswa dan kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dalam perkembangan selanjutnya
dilakukan beberapa penyempurnaan.
1) untuk mengimbangi penekanannya pada proses berpikir, mereka mulai mendorong penggunaan
intuisi dan tebak-tebakan.
2) adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan individu dan kebutuhan
setempat.
3) pemanfaatan fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat.
2. Kurikulum Humanistik
a. Konsep dasar
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum
ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education) yaitu John Dewey
(progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education). Aliran ini lebih memberikan
tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang
pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan.
Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk
berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Getsalt, bahwa individu atau
anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina
manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan efektif (emosi,
sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih
menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik
menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakansituasi yang
permisif, rileks, akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya.
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa (mendorong siswa),
dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. Tujuan pengajaran adalah memperluas
kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada
beberapa aliran yang termasuk dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan Konfluen,
Kritikisme Radikal, dan Mitikisme modern.
Pendidikan konfluen menekankan kebutuhan pribadi, individu harus merespons secara
utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap kesatuan yang menyeluruh dari
lingkungan.
Kritikisme Radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme Rousseau. Mereka
memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan dan mengembangkan
sendiri segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi
yang memungkinkan anak berkembang optimal. Pendidik adalah ibarat petani yang berusaha
menciptakan tanah yang gembur, air dan dan udara yang cukup, terhindar dari berbagai hama,
untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan berbagai potensi. Dalam pendidikan tidak ada
pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang.
Mitikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan pengembangan kepekaan
perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity training, yoga, meditasi, dan sebagainya.
b. Kurikulum konfluen
Kurikulum konfluen dikembangkan oleh para pendidikan konfluen, yang ingin
menyatukan segi-segi afektif (sikap, perasaan, nilai) dengan segi-segi kognitif (kemampuan
intelektual). Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan yang mengandung segi
afektif). Menurut mereka kurikulum tidak menyiapkan pendidikan tentang sikap, perasaan, dan
nilai yang harus dimiliki murid-murid. Kurikulum hendaknya mempersiapkan berbagai alternatif
yang dapat dipilih murid-murid dalam proses bersikap, berperasaan dan member pertimbangan
nilai. Murid-murid hendaknya diajak untuk menyatakan pilihan dan mempertanggungjawabkan
sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan pertimbangan-pertimbangan nilai yang telah dipilihnya.
c. Beberapa ciri kurikulum konfluen
Kurikulum konfluen mempunyai beberapa cirri utama yaitu :
1) Partisipasi
2) Integrasi
3) Relevansi,
4) Pribadi anak
5) Tujuan
Dasar dari kurikulum konfluen adalah Psikologi Gestalt yang menekankan keutuhan,
kesatuan, keseluruhan. Teori yang mendukung pandangan ini adalah Eksistensialisme yang
memusatkan perhatiannya pada apa yang terjadi sekarang di tempat ini. Apa yang menjadi isi
kurikulum diukur oleh apakah hal itu bermanfaat bagi kita sekarang? Apakah hal itu akan
memperbaiki kehidupan kita sekarang.
Prinsip pengajarannya menerapkan prinsip terapi Gestalt, yang menekankan keterbukaan,
kesadaran, keunikan, dan tanggung jawab pribadi. Hal-hal di atas sangat esensial dalam
perkembangan individu yang sehat, yang matang. Pengajaran lebih menekankan kepada
tanggung jawab pribadi daripadi kompetisi. Tidak ada jawaban yang salah atau benar dalam
pengajaran konfluen. Melalui latihan kesadaran/kepekaan perkembangan yang sehat akan
tercapai, karena dengan cara itu ia lebih sadar akan eksistensinya dan kemungkinannya untuk
berkembang.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan objektif dan subjektif, berhubungan
dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun masyarakat. Hal itu sesuai
dengan konsep Gestalt bahwa sesuatu itu dikatakan berarti (penting-red) apabila bermanfaat bagi
keseluruhan. Pendidikan konfluen sangat mengutamakan kesatuan dari keseluruhan.
d. Metode-metode belajar konfluen
Para pengembang kurikulum konfluen telah menyusun kurikulum untuk berbagai bidang
pengajaran. Kurikulum tersebut mencakup tujuan, topik-topik yang akan dipelajari, alat-alat
pelajaran, dan buku teks. Pengajaran konfluen juga telah tersusun dalam bentuk rencana-rencana
pelajaran, unit-unit pelajaran yang telah diujicobakan. Kebanyakan bahan tersebut diajarkan
dengan teknik afektif. George Issac Brown telah memberikan sekitar 40 macam teknik
pengajaran konfluen, diantaranya dyads yang merupakan latihan komunikasi afektif antara dua
orang, fantasy body trips merupakan pemahaman tentang badan dan diri individu, rituals yaitu
suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan, kegiatan atau ritual baru.
Berbeda dengan pengembang kurikulum yang lain, para penyusun kurikulum konfluen
tidak menuntut para guru melaksanakn pengajaran seperti yang mereka kerjakan. Mereka
mengharapkan setiap guru mengembangkan kreasi sendiri. Dalam menciptakan kreasi ini, yang
terpenting mereka memahami tujuan dan keguanaan kegiatan yang mereka ciptakan.
Dalam memilih kegiatan belajar beberapa cara dapat di tempuh. Pertama,
mengindentifikasikan tema-tema atau topik-topik yang mengandung self judgment. Untuk setiap
tema atau topik hendaknya dipilih prosedur atau bentuk-bentuk kegiatan yang atau teknik yang
sesuai. Kedua, materi disajikan dalam bentuk yang belum selesai (open ended), tema atau issue-
issue diharapkan muncul secara spontan dari prosedur serta perlengkapan pengajaran yang ada.
Cara yang kedua ini menuntut keterbukaan dari siswa tetapi juga guru perlu mengusahakan
kerahasiaan.
Pengajaran humanistik memfokuskan prosesa aktualisasi diri (self actualization). Setiap
orang mempunyai self (aku = diri) yang tidak selalu disadari, tersembunyi atau tertutup. Aku atau
diri ini perlu dibuka, atau dibangunkan melalui pendidikan.
Kurikulum perlu merencanakan program untuk membantu para siswa menemukan dan
menampakan dirinya. Kurikulum humanistik dapat membantu mereka memperlancar proses
aktualisasi diri ini. Melalui berbagai kegiatan pengajaran model humanistik para siswa dapat
menyatakan diri, berekspresi, bereksprimen, berbuat, memperoleh umpan balik dan menemukan
dirinya. Menurut Abraham Maslow, kita dapat belajar lebih banyak tentang diri kita melalui
pengujian respons-respons menuju puncak pengalaman (peak experiences). Puncak pengalaman
adalah penglaman-pengalaman yang membangkitkan rasa sayang, benci, cemas, duka, senang
dsb. Menurut Maslow puncak pengalaman ini merupakan awal dan juga akhir dari pendidikan.
Menurut Philip H. Phenix, kurikulum harus dapat mengembangkan kesadaran dan
mendorong kreativitas murid-murid. Bagi Phenix kesadaran merupakan kunci perkembangan diri
dalam membina hubungan dan penyesesuain diri dengan orang lain, kelompok, budaya, dan lain-
lain.
e. Karakteristik kurikulum humanistik
Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan tujuan,
metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis, kurikulum berfungsi menyediakan
pengalaman (pengetahuan-red) berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi
murid. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang
diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri
sendiri, orang lain, dan belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan
manusia yang teraktualisasi (self actualizing person). Seseorang yang telah mampu
mengaktualisasikan diri adalah orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni)
perkembangan seluruh aspek pribadinya baik aspek kognitif, estetika, maupun moral. Seorang
dapat bekerja dengan baik bila memiliki karakter yang baik pula.
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan murid.
Guru selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan murid, juga mampu
menjadi sumber. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu menciptakan
situasi yang memperlancar proses belajar. Guru harus memberikan dorongan kepada murid atas
dasar saling percaya. Peran mengajar bukan saja dilakukan oleh guru tetapi juga oleh murid.
Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak di sengani murid.
Sesuai dengan prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekankan integrasi, yaitu
kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga emosional dan tindakan.
Kurikulum humanistik juga menekankan keseluruhan. Kurikulum harus mampu memberikn
pengalaman yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal.kurikulum ini kurang
menekankan sekuens, karena dengan sekuens murid-murid kurang mempunyai kesempatan
untuk memperluas dan memperdalam aspek-aspek perkembangannya. Penyusunan sekuens
dalam pengajaran yang sifatnya afektif, dilakukan oleh Shiflett.
1) Menyusun kegiatan yang dapat memunculkan sikap, minat atau perhatian tertentu.
2) Memperkenalkan bahan-bahan yang akan dibahasdalam setiap kegiatan. Di dalamnya tercakup
topik-topik, bahan ajar serta kegiatan belajar yang akan membantu siswa dalam merumuskan apa
yang ingin merek pelajari. Kegiatan yang diutamakan adalah yang akan membangkitkan rasa
ingin tahu dari pemahaman.
3) Pelaksanaan kegiatan, para siswa diberi pengalaman yang menyenangkan baik yang berupa
gerakan-gerakan maupun penghayatan.
4) Penyempurnaan, pembahasan hasil-hasil yang telah dicapai, penyempurnaan hasil serta upaya
tindak lanjutnya.
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model lebih
mengutamakan proses daripada hasil.kalau kurikulum yang biasa terutama subjek akademis
mempunyai criteria pencapaian,maka dalam kurikulum humanistik tidak ada criteria.sasaran
mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri
sendiri. Kegiatan yang mereka lakukan hendaknya bermanfaat bagi siswa. Kegiatan belajar yang
baik adalah yang memberikan pengalamanyang akan membantu para siswa memperluas
kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Penilaiannya bersifat subjekif baik dari guru maupun para siswa.
3. Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekontruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum lainnya.
Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya dalam
masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut mereka
pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi, kerja sama. Kerja sama
atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru, tetapi juga antara siswa dengan
siswa, siswadengan orang-orang dilingkungannya, dan dengan sumber belajar lainnya. Melalui
interaksi dan kerja samaini siswa berusaha memecahakan problema-problema yang dihadapinya
dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an. Harold
Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya bahwa selama ini terjadi keseimbangan
antara kurikulum dengan masyarakat. Ia menginginkan para siswa dengan pengetahuan dan
konsep-konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasikan dan memecahkan masalah-
masalah sosial. Setelah diharapkan dapat menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil.
Para rekonstruksi sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu. Mereka ingin
meyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat warganya seperti yang ada sekarang
dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui consensus sosial.
Brameld juga ingin memberikan keyakinan tentang pentingnya perubahan sosial. Perubahan
sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi. Para rekonstruksionis sosial menentang
intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan kerja
sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.
a. Desain kurikulum rekontruksi sosial
Ada beberapa ciri dari desan kurikulum ini.
1) Asumsi
2) Masalah-masalah sosial yang mendesak
3) Pola-pola organisasi
b. Komponen-komponen kurikulum
1) Tujuan dan isi kurikulum
2) Metode
3) evaluasi
c. Pelaksanaan pengajaran rekontruksi sosial
Pengajaran rekontruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum
maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk
meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat,
sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintahan sekolah
berusaha mengembangkan potensi tersebut. Di daerah pertanian umpamanya sekolah
mengembangkan bidang pertanian dan peternakan, di daerah industri mengembangkan bidang-
bidang industri.
4. Teknologi dan kurikulum
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan berkembang pula
teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekan isi
kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada
penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih
sempit/khusus dan akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau diukur.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua
bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan
teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology),
sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system
technology).
a. Beberapa ciri kurikulum teknologis
Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan, memiliki beberapa ciri
khusus, yaitu:
1) Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk
perilaku.
2) Metode. Metode yang merupakan kegiaatn pembelajaran sering dipandang sebagai proses
mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respons yang
diharapkan maka respons tersebut diperkuat. Pelaksanaan pengajaran mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut.
a) Penegasan tujuan
b) Pelaksanaan pengajaran
c) Pengetahuan tentang hasil
3) Organisasi bahan ajar
4) Evaluasi
b. Pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum teknologi berpegang pada beberapa kriteria, yaitu:
1) Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang kurikulum
yang lain,
2) Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang, dan
hendaknya memberikan hasil yang sama.
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi.
Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan hanya sebagai alat bantu tetapi
bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan kompetensi tertentu.[4]
C. Model-Model Pengembangan Kurikulum
Berbagai model dalam pengembangan kurikulum secara garis besar diutarakan sebagai
berikut:
1. Model Administratif
Model administratif diistilahkan juga garis staf atau top down, dari atas kebawah.[5]
Artinya pengembangan kurikulum ini ide awal dan pelaksanaanya dimulai dari para pejabat
tingkat atas pembuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangan kurikulum. Tim
ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan kurikulum.[6]
Dengan wewenang administrasinya membentuk suatu komisi atau tim pengarah
pengembangan kurikulum. Anggotanya terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan,
ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini
adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama
dalam pengembangan kurikulum.
Selanjutnya administrator membentuk tim kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli
kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas
menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep
dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah seperti merumuskan tujuan-tujuan
yang lebih operasional, memilih sekuen materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta
menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikiulum bagi guru. Setelah Tim kerja selesai
melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang
berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik,
administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari
atas, maka model ini disebut juga Model top-down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan
monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
[7] Model model pengembangan kurikulum ini sering mendapat kritikan, karena dipandang tidak
demokratis, dan kurang memperhatikan inisiatif para guru. Di Indonesia model ini digunakan
alam penerapan kurikulum 1968 dan kurikulum 1975.[8]
2. Model dari Bawah (Grass-Roats)
Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan
pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi sedangkan model grass roots akan berkembang
dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi.[9]
Langkah-langkahnya:
a. Inisiatif pengembangan datangnya dari bawah (para pengajar).
b. Tim pengajar dan beberapa sekolah ditambah narasumber lain dari orang tua peserta didik atau
masyarakat luas yang relevan.
c. Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan.
d. Untuk pemantapan konsep pengembangan yang telah dirintisnya diadakan lokakarya untuk
mencari input yang diperlukan.[10]
Pentingnya guru sebagai kunci keberhasilan penerapan kurikulum digambarkan dalam empat
prinsip yang mendasari grass roots model:
a. Kurikulum akan meningkat bila kompetensi profesional guru meningkat.
b. Kompetensi guru akan meningkat bila mereka terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah
perubahan dan perbaikan kurikulum.
c. Keterlibatan guru dalam berbagai kegiatan perbaikan kurikulum sampai dengan penilaian
hasilnya akan sangat meningkatkan keyakinannya.
d. Dalam kelompok tatap muka, guru akan dapat memahami satu sama lain secara lebih baik dan
memperkaya konsensus pada prinsip-prinsip dasar, tujuan, daan rencana pembelajaran.
Prinsip-prinsip tersebut sangat mendorong guru untuk bekerja sama dalam menerapkan
kurikulum baru.
Kelemahan model grass roots antara lain disebabkan oleh tuntutan keterlibatan berbagai
pihak dalam pengembangan kurikulum, padahal tidak semua orang mengerti dan tertarik untuk
melibatkan dirinya.[11]
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang
studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang
studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik
dengan model grass roots, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan
sistem pendidikan yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri
dan kreatif.[12]
3. Model Demonstrasi
Model pengembangan kurikulum idenya datang dari bawah (grass roots). Semula
merupakan suatu upaya inovasi kurikulum dalam skala kecil yang selanjutnya digunakan dalam
skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan atau ketidaksetujuan
dari pihak-pihak tertentu. Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua bentuk model
pengembangan ini.
a. Sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk untuk
melaksanakan suatu uji coba atau eksperimen suatu kurikulum. Unit-unit ini melakukan suatu
proyek melalui kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan suatu model
kurikulum. Hasil dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan
pada lingkungan sekolah yang lebih luas. Pengembangan model ini biasanya diprakarsai oleh
pihak Departemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok guru dalam rangka inovasi dan
perbaikan suatu kurikulum.
b. Dari beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang sudah ada,
kemudian mereka mengadakan eksperimen, uji coba, dan mengadakan pengembangan secara
mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum ada, dan
merupakan suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan pengembangan
kurikulum yang berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum yang lebih
baik dari yang ada.
Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, di antaranya adalah:
a. Kurikulum ini akan lebih nyata dan praktis karena dihasilkan melalui proses yang telah diuji dan
diteliti secara ilmiah;
b. Perubahan kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan kecil
akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum yang sangat
luas dan kompleks.
c. Hakikat model dmostrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan
pelaksanaan di lapangan.
d. Model ini akan menggerakkan inisiatif, kreativitas guru-guru serta memberdayakan sumber-
sumber administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam mengembangkan
program yang baru.[13]
Hal penting dari model demontrasi adalah adanya keterbukaan komunikasi antara
percobaan yang dilakukan guru dengan percobaan-percobaan yang dilakukan secara lembaga. Di
samping itu model demontrasi dapat dikembangkan oleh setiap guru dalam bentuk penelitian
tindakan kelas (classroom action research).[14]
4. Model Beaucham
Model ini dikembangkan oleh G.A. Beauchamp (1964). Langkah-langkahnya sebagai
berikut:
a. Suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan di kelas, diperluas disekolah,
disebarkan disekolah-sekolah didaerah tertentu baik berskala regional maupun nasional yang
disebut arena.
b. Menunjuk tim pengembangan yang terdiri atas ahli kurikulum, para ekspert, staf pengajar,
petugas bimbingan, dan nara sumer lain.
c. Tim menyusun tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaan proses belajar mengajar.
d. Melaksanakan kurikulum di sekolah.
e. Mengevaluasi kurikulum yang berlaku.[15]
Secara umum model ini telah dianggap lengkap namun masih terdapat berbagai
pertanyaan yang tak terjawab dalam proses rekayasa kurikulum. Dalam beberapa hal model ini
hampir sama dengan model administratif, terutama dalam orientasinya dari atas ke bawah.[16]
Keuntungan model ini terutama adalah adanya penegasan arena yang kiranya akan
mempermudah dan memperjelas ruang lingkup kegiatan. Kekurangannya, seperti halnya model
administratif di atas, adalah kurang pekanya terhadap perubahan masyarakat dan kurag
memperhatikan keadaan daerah yang antara satu dengan lainnya menuntut adanya kekhususan-
kekhususan tertentu.[17]
5. Model Terbalik Hilda Taba
Model terbalik ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang disebut
model terbalik, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang
datangnya dari atas secara deduktif. Sebelum melaksanakan langkah-langkah lebih lanjut,terlebih
dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan, kemudian disusun teori
atas dasar hasil nyata, baru diadakan pelaksanaan.
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, menentukan materi, menemukan Penilaian,
memperhatikan antara luas dan dalamnya bahan, kemudian disusunlah suatu unit kurikulum.
b. Mengadakan try out.
c. Mengadakan revisi atas dasar try out.
d. Menyusun kerangka kerja teori.
e. Mengemukakan adanya kurikulum baru yang akan didesiminasikan.[18]
Pengembangan kurikulum model terbalik berusaha mendekatkan kurikulum dengan
realitas pelaksanaanya, yaitu melalui pengujian terlebih dahulu oleh staf pengajar yang
professional. Dengan demikian, model ii benar-benar memadukan teori dan praktik. Akan tetapi,
dan ini dipandang sebagai kelemahannya, model tersebut sulit diorganisasikan karena menuntut
kemampuan teoretis dan profesional yang tinggi dari staf pengajar dan administrator pelaksana.
[19]
6. Model Hubungan Interpersonal dari Rogers
Menurut Roger’s manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing,
changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi
karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu
memperlancar atau mempercepat perubahan tnersebut. Pendidikan juga tidak lain merupakan
upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik
lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah
pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers. Pertama, pemilihan target
dari system pendidikan. Didalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi
pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan
kelompok yang intensif. Selama satu minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan
kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal.[20]
Kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu secara
fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi secara
interpersonal.
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Diadakannya kelompok untuk dapatnya hubungan interpersonal di tempat yang tidak sibuk
b. Kurang lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling tikar pengalaman, dibawah
pimpinan staf pengajar.
c. Kemudian diadakan pertemuan dengan masyarakat yang lebih luaslagi dalam satu sekolah,
sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna.
d. Selanjutnya penemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi, yaitu
dengan mengikutsertakan para pegawai administrasi dan orang tua peserta didik. Dalam situasi
yang demikian diharapkan masing-masing person akan saling menghayati dan lebih akrab,
sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem sekolah yang dihadapi.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan penyusunan kurikulum akan lebih realistis,
karena didasari oleh kenyataan yang diharapkan.[21]
7. Model penelitian tindakan
Model ini dikembangkan oleh Smith, Stanley, dan Shores, berdasarkan asumsi bahwa
perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, yaitu proses yang melibatkan berbagai
kepribadian orang tua, peserta didik, guru, struktur sistem sekolah, dan hubungan individu serta
kelompok, baik di sekolah maupun di masyarakat.
Kurikulum muncul dalam konteks pengharapan dari masyarakat. Setiap orang berharap
bahwa setiap perilaku haruslah sesuai dengan profesinya, apa itu dokter, pengusaha, ibu,
wiraswastawan, maupun seorang guru. Dalam hal terakhir, setiap orang mempunyai sesuatu ide
tentang apa dan bagaimana seharusnya anak didik, serta peran apa yang harus dijadikan
kurikulum. Jadi program pengembangan kurikulum yang efektif berusaha memperhatikan
berbagai perasaan, pengharapan, dan ide yang dimiliki orang terhadap kurikulum serta selalu
dikaitkan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam model ini ialah:
a. Penelaahan berbagai masalah kurikulum, dengan cara: menemukan fakta-fakta secara luas untuk
dijadikan sesuatu masalah, mengidentifikasi berbagai faktor, kekuatan serta syarat yang harus
diambil jika masalah tersebut perlu dipecahkan.
b. Penerapan berbagai keputusan yang berhubungan dengan masalah pertama. Kegiatan ini
dilaksanakan dengan mencari data atau fakta. Untuk itu, perlu menyediakan data untuk penilaian,
memberi pandangan baru untuk suatu perencanaan kurikulum, menemukan data tambahan untuk
perubahan
8. Emerging technical models
Perkembangan bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efesiensi
efektifitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh
kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, diantaranya:
a. The behavioral analysis model analysis
Model ini menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Siswa mempelajari
perilaku-perilaku secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana menuju yang lebih
kompleks.
b. The system analysis model
Model ini berasal dari gerakan efesiensi bisnis. Langkah pertamadari model ini adalah
menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua
adalahmenyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. Langkah
ketiga, mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan.
Langkah keempat, membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
c. The computer based model
Merupakan model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer.
Pengembangan dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit
kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan
guru-guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah
diadakan pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai siswa
disimpan dalam komputer.[22]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka
mendesain (designing), menerapkan (impelementation), dan mengevaluasi (evaliation) suatu
kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan suatu
proses sistem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan standar
keberhasilan dalam pendidikan. Yang dimaksud dengan model pengembangan kurikulum yaitu
langkah atau prosedur sistematis dalam proses penyususnan suatu kurikulum.
Model konsep kurikulum dikembangkan oleh para ahli dikaji empat macam model
konsep kurikulum berdasrakan pada urutan kajian paling tradisional sampai dengan kajian yang
dianggap cukup modern yaitu kurikulum subjek akademis, humanistik, rekontroksi sosial dan
teknlogis.
Model pengembangan kurikulum yang dapat digunakan meliputi model administrasi,
model grass root, model demonstrasi, model Beauchamp, model hubungan Interpersonal dari
Roger, model Tyler, serta model Inverted dari Taba. Model administrasi rencananya berasal dari
pejabat, model grass root serta demonstrasi memiliki kemiripan dengan rencana yang berasal
dari pendidik, model Beauchamp menelaah erdasarkan langkah-langkah tertentu, model
hubungan Interpersonal dari Roger menitikberatkan pada kegiatan kelompok campuran, model
Tyler berdasar pada empat pertanyaan pendidikan, dan model Inverted dari Taba menekankan
pada kesederhanaan prosedur.

B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat untuk memperkaya dan memperluas wawasan keilmuan
kita sebagai pembaca yang haus akan ilmu pendidikan. Marilah kita menjadikan diri yang kaya
akan pendidikan agar menjadi insan-insan yang terdidik,berbudi pekerti yang baik serta dan
bermoral yang berpegang teguh pada agama masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Iif Khoiru, dkk. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi KTSP. Jakarta. Prestasi Pustaka.

Dakir. 2004. Perencanan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Rineka Cipta.

Hamid, Hamdani, dkk. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung. Pustaka Setia.

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Nurgiyanto, Burhan. 2008. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah Pengantar


Teoretis dan Pelaksanaan. Yogyakarta. BPFE Yogyakarta. cet. ke-2.

Sukmadinata, Nana Syaodih . 2005. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung. Remaja
Rosdakarya. cet. ke-7.

Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran . Jakarta.
Rajawali Press. Ed. 3.
[1]Dakir, Perencanan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.95
[2]Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), cet. ke-1, h.149
[3]Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran
(Jakarta: Rajawali Press, 2011), Ed. 3, h.78
[4] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), cet. ke-7, h.81-99
[5]Dakir, Op.Cit., h.95
[6]Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Op.Cit., h.81
[7]Iif Khoiru Ahmadi, Sofan Amri, Hendro Ari Setyono dan Tatik Elisa, Strategi
Pembelajaran Berorientasi KTSP, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), h.187
[8]E. Mulyasa, Kurikulum yang Disempurnakan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006),
h.100
[9]Dakir, Op.Cit., h.96
[10]Dakir, Loc.Cit.
[11]E. Mulyasa, Op.Cit., h.100-101
[12]Iif Khoiru Ahmadi, Sofan Amri, Hendro Ari Setyono dan Tatik Elisa, Op.Cit., h.188
[13]Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Op.Cit., h.83
[14]E. Mulyasa, Op.Cit., h.102
[15]Dakir, Op.Cit., h.97
[16]E. Mulyasa, Op.Cit., h.103
[17]Burhan Nurgiyanto, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah
Pengantar Teoretis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2008), cet. ke-2, h.170
[18]Dakir, Loc.Cit.
[19] Burhan Nurgiyanto, Op. Cit., h.171
[20] Nana Syaodih Sukmadinata, Op.Cit, h.167-168
[21]Dakir, Op.Cit., h.98
[22]Nana Syaodih Sukmadinata , Op.Cit., h.170

Anda mungkin juga menyukai