Anda di halaman 1dari 8

AHSANA MEDIA

Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan Penelitian Ke-Islaman


P-ISSN : 2354-9424 Vol.7 No. 02 Juli 2021
E-ISSN : 2549-7642 http://journal.uim.ac.id/index.php/ahsanamedia

NIKAH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq


dasadwi90@gmail.com, alvarokanahaya99@gmail.com
Prodi ahwal asy syakhsiyyah, STAI Nurul Huda Kapongan Situbondo

ABSTRAK
Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah hubungan intim dan mengumpuli ,
seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan
juga bisa disebut secara majaz nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya. Kedua,
secara hakiki nikah adalah akad dan secara majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian secara
bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti yang dijelaskan dalam al-
Quran dan Hadist. Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak
dilarang Dengan berdasarkan pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan
perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.

Keyword : Hukum Pernikahan dalam Islam

ABSTRACT

The definition of marriage there are three, the first is in the language of marriage is intimate and collecting
relationships, as it is said that the tree is married when fertilizing and gathering with each other, and can also be called
majaz marriage is an agreement because with this agreement we can touch it. Second, in essence marriage is an
agreement and majaz marriage is Wat'un (intercourse) in contrast to the understanding in language, and many
evidences that indicate that the marriage is an agreement as described in the Quran and Hadith. The law of marriage is
originally mubah (may be), in the sense that it is not obligatory but also not prohibited By based on the change of
illatnya or the circumstances of each person who wants to do marriage, then the marriage law can be sunnah,
obligatory, makruh, and haram.

Keywords: Marriage Law in Islam

A. PENDAHULUAN makna diperbolehkannya bersetubuh dengan


Secara kebahasaan, nikah bermakna menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya,”1
“berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat,
definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan Pendapat lain, Secara etimologi, kata kawin
Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul menurut bahasa sama dengan kata “nikah”, atau
Wahab berikut ini: kata, zawaj. Kata “nikah” disebut dengan an-nikh (
‫ ) اﻟﻨﻜﺎح‬dan az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah ) -‫اﻟﺰﯾﺠﮫ‬
َ‫ﻀ ﱠﻤﻦُ إﺑَﺎﺣَﺔ‬ ‫ ھ َُﻮ ﻟُﻐَﺔً اﻟ ﱠ‬.‫ﻛﺘﺎب اﻟﻨﻜﺎح‬
َ ‫ﻀ ﱡﻢ َوا ْﻟ َﻮ ْط ُء َوﺷ َْﺮﻋًﺎ‬
َ َ‫ﻋ ْﻘ ٌﺪ ﯾَﺘ‬ ‫ اﻟﺰواج‬-‫ اﻟﺰواج‬.( Secara harfiah, annikh berarti al-
◌ِ ‫طءٍ ِﺑﻠَ ْﻔ ِﻆ إ ْﻧﻜَﺎحٍ أ َ ْو ﻧَﺤْ ِﻮه‬
ْ ‫َو‬ wath'u (‫ اﻟﻮطء‬,( adh-dhammu ( ‫ ( اﻟﻀﻢ‬dan al-jam'u (
Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa ‫ اﻟﺠﻤﻊ‬.( Alwath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u -
bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan
secara syara’ bermakna akad yang menyimpan
1
Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul
Fikr, 1994, juz II, hal. 38
Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq, hal : 38-45.

wath'an ) ‫ وطﺄ‬-‫ ﯾﻄﺄ‬-‫ وطﺄ‬2,( artinya berjalan di atas, dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan
melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.5
menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Adh- Perkawinan akan berperan setelah masing-
dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma - masing pasangan siap melakukan peranannya yang
yadhummu – dhamman ( ‫ ﺿﻢ‬-‫ ﯾﻀﻢ‬-‫( ﺿﻤﺎ‬secara positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan.
harfiah berarti mengumpulkan, memegang, Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk-
menggenggam, menyatukan, menggabungkan, makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
menyandarkan, merangkul, memeluk dan nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina
menjumlahkan. Juga berarti bersikap lunak dan secara bebas atau tidak ada aturan. Akan tetapi,
ramah.3 Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia,
kata jama’a - yajma'u - jam'an ) ‫ ﺟﻤﻊ‬-‫ ﯾﺠﻤﻊ‬-‫( ﺟﻤﻌﺎ‬ Allah memberikan tuntutan yang sesuai dengan
berarti: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, martabat manusia. Bentuk perkawinan ini memberi
menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. jalan yang aman pada naluri seksual untuk
Itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau memelihara keturunan dengan baik dan menjaga
bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al- harga diri agar ia tidak laksana rumput yang dapat di
jima' mengingat persetubuhan secara langsung makan oleh binatang ternak manapun dengan
mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung seenaknya.6
dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.
Sebutan lain buat perkawinan (pernikahan) ialah az-
B. METODE PENELITIAN
zawaj/az-ziwaj dan az-zijah. Terambil dari akar kata
Dalam melakukan suatu penelitian perlu adanya
zaja-yazuju-zaujan ) ‫ زاج‬-‫ ﯾﺰوج‬-‫ ( زوﺟﺎ‬yang secara
metode, karena dibutuhkan tahapan-tahapan dalam
harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih
melakukan kegiatan penelitian, yang nantinya dapat
perselisihan dan mengadu domba. Namun yang
melaksanakan fungsi peneiltian, dimana fungsi
dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini ialah at-
penelitian untuk menemukan fakta kebenarannya.7
tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja-
Menemukan adanya fakta tentangsuatu
yuzawwijutazwijan ) ‫ وﺟّﺰ‬-‫ وﺟّﯿﺰ‬-‫) ﺗﺰوﯾﺠﺎ‬dalam bentuk
kebenaran tentunya berdasarkan pada sumber ilmu
timbangan "fa'ala-yufa'ilutaf'ilan")‫ ﻋﻠّﻒ‬-‫ ﻋﻞ ّﯾﻒ‬-‫ﺗﻔﻌﯿﺎل‬
pengetahuan yaitu darimana mendapatkan sumber
) yang secara harfiah berarti mengawinkan,
pengetahuan itu, dapatkah dipercaya atau tidak
mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai
sumber pengetahuan yang diperoleh oleh penulis.
dan memperistri.4
Untuk itu perlu adanya suatu metode dalam kegiatan
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut
penelitian setidaknya dengan menggunakan teknik
“Nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian
pendekatan.
untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
Oleh karenanya jika penelitian tidak
wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
dilaksanakan dengan metode maka seorang peneliti
antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
tidak akan memperoleh sumber pengetahuan pada
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
penelitiannya, akibatnya peneliti tidak akan dapat
menemukan suatu fakta dalam kebenarannya
sebagaimana fungsi dari penelitian tersebut.

2 5
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-
Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,
Progressif, 1997, hlm. 1461 1989), hlm.125.
3 6
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Slamet Dam Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung :
Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004, CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 298.
7
hlm.42-43 Marzuki, M,P, (2013), Penelitian hukum, Jakarta:
4
ibid Kencana Perdana Media Group. hlm. 20
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam (FAI)
39 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq, hal : 38-45.

Bahwa dalam penelitian hukum terdapat dua “Menurut syara’ nikah adalah suatu akad yang
model jenis pendekatan yaitu pendekatan penelitian berisi pembolehan berhubungan intim dengan lafad
hukum empiris dan penelitian hukum normatif. nikah atau tazwij.”11
Pendekatan dalam penulisan ini menggunkan
pendekatan normatif dalam bentuk buku- buku Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama
kajian hukum islam sebagai dasar penulis dalam adalah secara bahasa nikah adalah hubungan intim
melakukan tehnik pendekatan dan pengumpulan dan mengumpuli12, seperti dikatakan pohon itu
bahan yang ada kaitannya dengan permasalahan menikah apabila saling membuahi dan kumpul
yang akan diteliti serta sumbernya adalah fakta yang antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa
kebenarannya terjadi dalam kehidupan disebut secara majaz nikah adalah akad karena
8
bermasyarakat. Metode pedekatan yang digunakan dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya.
oleh penulis bersumber pada kajian teoritis yang ada Menurut Abu Hanifah adalah Wati’ akad bukan
kaitannya dengan hukum pernikahan prespektif Wat’un (hubungan intim). Kedua, secara hakiki
hukum islam. nikah adalah akad dan secara majaz nikah adalah
Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian
C. PEMBAHASAN secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan
Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat bahwa nikah tersebut adalah akad seperti yang
yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan dijelaskan dalam al-Quran dan Hadist. Pendapat ini
pendapat ini sebetulnya bukan untuk adalah pendapat yang paling diterima atau unggul
memperlihatkan pertentangan yang sungguh- menurut golongan Syafi’yah dan Imam Malikiyah.
sungguh antara pendapat yang satu dengan yang Ketiga, pengertian nikah adalah antara keduanya
lain. Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad yakni antara akad dan Wati’ karena terkadang nikah
dengan menggunakan lafal nikah atau zawj yang itu diartikan akad dan terkadang diartikan wat’un
menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya (hubungan intim).
dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau Sedangkan menurut para ulama fiqh
dapat kesenangan dari pasangannya.9 menyebutkan akad yang mereka kemukakan adalah:
Suatu akad tidak sah tanpa menggunakan lafal- “Akad adalah sesuatu yang dengannya akan
lafal yang khusus seperti akan kithabah, akad salam, sempurna perpaduan antara dua macam kehendak,
akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian
akad dan secara majas bermakna wat’un.10 karenanya timbul ketentuan/kepastian dua sisinya”.
Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah Dalam setiap perikatan akan timbul hak-hak
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk dan kewajiban pada dua sisi. Maksudnya, apabila
mengikat diri antara seorang laki-laki dengan mempunyai kemauan atau kesanggupan yang
seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan dipadukan dalam satu ketentuan dan disayaratkan
kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela dengan kata-kata, atau sesuatu yang bisa dipahami
atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa
kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang hukum yang disebut dengan perikatan.
diridhai Allah SWT. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin
Seperti yang telah dijelaskan oleh Zayn Al- antara orang laki-laki dan orang perempuan, dalam
din al-Malibari, mengenai pengertian nikah menurut hal ini perkawinan merupakan ikatan yang sakral
istilah adalah: untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia,
bahkan dalam pandangan masyarakat perkawinan itu
bertujuan membangun, membin dan
8
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan
Jakarta, Kencana Perdana Media Group, hlm.35.
9 11
ibid Zayn Al-din, Fathul Mu’in, hlm. 298
10 12
Nawawi, Nibayah Al Zayn, hlm. 298 ibid
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam (FAI)
40 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq, hal : 38-45.

damai, seperti yang telah diisyaratkan dalam memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi
Alquran surat al-Rum ayat 21. telah mempunyai sekedar biaya hidup, maka bagi
‫ﺴ ُﻜﻨُ ٓﻮ ۟ا إِﻟَ ْﯿﮭَﺎ َو َﺟﻌَ َﻞ‬
ْ َ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ أ َ ْز ٰ َو ًﺟﺎ ِﻟّﺘ‬
ِ ُ‫ﻖ ﻟَﻜُﻢ ِ ّﻣ ْﻦ أَﻧﻔ‬
َ َ‫َو ِﻣ ْﻦ َءا ٰﯾَﺘِ ِ ٓۦﮫ أ َ ْن َﺧﻠ‬ orang demikian itu sunnah baginya untuk kawin.
‫ﺖ ِﻟّﻘَ ْﻮ ٍم ﯾَﺘَﻔَﻜ ُﱠﺮون‬ ٰ
ٍ َ‫ﺑَ ْﯿﻨَﻜُﻢ ﱠﻣ َﻮ ﱠدةً َو َرﺣْ َﻤﺔً ۚ إِنﱠ ﻓِﻰ ذَ ِﻟﻚَ َل َءا ٰﯾ‬ Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap
bahwa niat itu sunnah bagi orang yang
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah melakukannya dengan niat untuk mendapatkan
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu seseorang dilihat dari segi biaya hidup sudah
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang mencukupi dan dari segi jasmaninya sudah
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi mendesak untuk kawin, sehingga kalau tidak kawin
kaum yang berpikir”. dia akan terjerumus melakukan penyelewengan,
maka bagi orang yang demikian itu wajiblah baginya
Perkawinan bagi manusia bukan sekedar untuk kawin.
persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda, Perkawinan hukumnya menjadi makruh
sebagai makhluk yang disempurnakan Allah, apabila seseorang yang dipandang dari segi
maka perkawinan mempunyai tujuan untuk jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. sangat mendesak sedang biaya untuk kawin belum
Dengan demikian agama Islam memandang bahwa, ada, sehingga kalau kawin hanya akan
perkawinan merupakan basis yang baik dilakukan menyengsarakan hidup isteri dan anak-anaknya,
bagi masyarakat karena perkawinan merupakan maka bagi orang yang demikian itu makruh baginya
ikatan lahir batin yang sah menurut ajaran Islam. untuk kawin.
Hukum perkawinan itu asalnya mubah Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila
(boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga seseorang itu menyadari bahwa dirinya tidak mampu
tidak dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan
Alquran surat an-Nur ayat 32 kewajiban batin seperti mencampuri isteri.
Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar dirinya
ِ ‫اﻷ َ ﯾ َ ﺎ َﻣ ٰﻰ ِﻣ ﻨ ْ ﻜ ُ ْﻢ َو اﻟ ﺼﱠ ﺎ ﻟ ِﺤِ ﯿ َﻦ ِﻣ ْﻦ‬
‫ﻋ ﺒ َ ﺎ ِد ﻛ ُ ْﻢ‬ ْ ‫ﺤ ﻮا‬ ُ ‫َو أ َ ﻧ ْ ِﻜ‬ tidak mampu memenuhi hak-hak suami, atau ada
ْ َ ‫ِﮭ ﻢ ُ ﱠ ُ ِﻣ ْﻦ ﻓ‬ hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani
ُ ‫ﻀ ﻠ ِ ﮫِ ۗ َو ﱠ‬ ِ ‫َو إ ِ َﻣ ﺎ ﺋ ِ ﻜ ُ ﻢْ ۚ إ ِ ْن ﯾ َ ﻜ ُﻮ ﻧ ُ ﻮا ﻓ ُ ﻘ َ َﺮ ا ءَ ﯾ ُ ﻐ ْ ﻨ‬
kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau kusta
ٌ ‫ﺳ ٌﻊ ﻋ َ ﻠ ِﯿ ﻢ‬ ِ ‫َو ا‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia tidak
diantara kamu, dan orang-orang yang layak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang semuanya itu kepada laki-lakinya. Ibaratnya seperti
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang seorang pedagang yang wajib menerangkan keadaan
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan barang-barangnya bilamana ada aibnya.
memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Bila terjadi salah satu pasangan mengetahui
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha aib pada lawannya, maka ia berhak untuk
Mengetahui”. membatalkan. Jika yang aib perempuan, maka
suaminya boleh membatalkan dan dapat mengambil
Dengan berdasarkan pada perubahan illatnya kembali mahar yang telah diberikan.
atau keadaan masing-masing orang yang hendak Dalam perkawinan ada beberapa hal yang
melakukan perkawinan, maka perkawinan perlu diperhatikan. Hal itu adalah syarat dan rukun
hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, yang harus dipenuhi. Adapun syarat dan rukun
dan haram. merupakan perbuatan hukum yang sangat dominan
Perkawinan hukumnya menjadi sunnah menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tertentu
apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya sudah dari segi hukum.
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam (FAI)
41 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq, hal : 38-45.

Dalam al-Quran tidak dijelaskan secara Sedangkan ketentuan batas usia dalam
eksplisit tentang batas usia minimal seseorang untuk Kompilasi Hukum Islam pada pasal 15 ayat (1)
melangsungkan mahligai pernikahan. Namun didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan
mazhab fikih telah membahasnya dengan tema keluarga dan rumah tangga. Perkawinan ini sejalan
“nikah al-shighar”. “Nikah al-shighar” dalam dengan prinsip yang diletakkan Undang-undang
terminologi fikih berarti pernikahan yang dilakukan Perkawinan, bahwa calon suami istri harus telah
oleh laki-laki atau perempuan yang belum mencapai matang jiwa raganya , agar dapat mewujutkan tujuan
usia baligh (AlSyafi’i, 1993, V: 33). Pembahasan perkawinan secara baik. Disampaing itu perkawinan
tentang nikah al-shighar di kalangan mayoritas mempunyai hubungan dengan masalah
ulama mazhab tidak menyentuh pada soal boleh atau kependudukan. Ternyata batas umur yang rendah
tidaknya pernikahan dalam usia tersebut. Mereka bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan
lebih fokus pada pembahasan seputar batasan baligh laju kelahiran semakain tinggi.
bagi seorang anak, laki-laki maupun perempuan. Meskipun demikian terdapat di beberapa daerah
Batasan baligh masih menjadi perdebatan di masih masih saja banyak terjadi pernikahan di
kalangan mereka. Menurut Abu Hanifah, usia baligh bawah umur dan hal ini dikarenakan beberapa sebab
terjadi jika laki-laki mencapai usia 18 tahun dan antara lain :
perempuan berusia 17 tahun. Imam al-Syafi’i 1. Pada daerah-daerah yang umumnya hidup
menilai usia baligh adalah 15 (lima belas) tahun, dari pertanian, orang tua si gadis
kecuali anak laki-laki telah mengalami mimpi basah membutuhkan tenaga penolong yang dapat
atau perempuan telah mengalami menstruasi. dipercaya untuk urusan-urusan yang
Berdasarkan pendapat Abu Hanifah di atas, penting, yang sebetulnya orang tua si gadis
pernikahan di bawah umur adalah pernikahan yang tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh
dilaksanakan sebelum usia 18 tahun bagi laki-laki karenanya anak perempuannya merasa perlu
dan 17 tahun bagi perempuan, namun jika berpijak untuk segera dicarikan jodoh.
pada pendapat Imam asy-Syafi’i, pernikahan di 2. Pernikahan di bawah umur karena pengaruh
bawah umur adalah pernikahan yang dilakukan ekonomi, faktor ini yang paling banyak
dibawah usia 15 (lima belas) tahun. Tentu saja, para karena orang tua si gadis sangat miskin dan
ulama mazhab di atas tidak mempersoalkan anak perempuannya cepat-cepat dikawinkan
pernikahan anak di usia dini atau anak yang belum agar tidak selalu menjadi beban bagi
mencapai usia baligh. hidupnya.
3. Kedua orang tuanya merasa kurang mampu
‫ﻟﻢ ﯾﺸﺘﺮط ﺟﻤﮭﻮر اﻟﻔﻘﮭﺎء ﻻﻧﻌﻘﺎد اﻟﺰواج‬: ،‫اﻟﺒﻠﻮغ واﻟﻌﻘﻞ‬ mengawasi anaknya, khawatir jika anak
‫وﻗﺎﻟﻮا ﺑﺼﺤﺔ زواج اﻟﺼﻐﯿﺮ واﻟﻤﺠﻨﻮن‬. ‫اﻟﺼﻐﺮ‬: ‫أﻣﺎ اﻟﺼﻐﺮ‬ gadisnya terpengaruh oleh pergaulan yang
‫ ﺑﻞ ادﻋﻰ اﺑﻦ اﻟﻤﻨﺬر‬،‫ﻓﻘﺎل اﻟﺠﻤﮭﻮر ﻣﻨﮭﻢ أﺋﻤﺔ اﻟﻤﺬاھﺐ اﻷرﺑﻌﺔ‬ tidak baik, yang hal itu akan mengakibatkan
malu dan merusak nama baik orang tuanya.
‫اﻹﺟﻤﺎع ﻋﻠﻰ ﺟﻮاز ﺗﺰوﯾﺞ اﻟﺼﻐﯿﺮة ﻣﻦ ﻛﻒء‬
Dengan demikian mencegah terjadinya
perkawinan usia muda akan dapat meminimalisir
“Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh
adanya perceraian dini. Selain itu adapun faktor-
dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka
faktor adanya pernikahan dini sebagai berikut :
berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah
a. Faktor Sosial
umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi
Perkawinan pada dasarnya merupakan
anak di bawah umur, menurut jumhur ulama
ikatan suami istri untuk hidup bersama tentulah
termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul
bukan ikatan yang statis belaka melainkan suatu
Mundzir mengklaim ijmak atau konsensus ulama
ikatan yang memberi peluang pada keduanya
perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur
untuk berkembang, bergaul dan tumbuh, akan
yang sekufu,”
tetapi tidak selamanya ikatan yang dinamis dan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam (FAI)
42 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq, hal : 38-45.

harmonis itu bisa berjalan dengan baik. Hal ini c. Faktor Biologis
di sebabkan karena perkawinannya dilaksanakan Pernikahan dini sering terjadi karena terjadi
pada usia yang relatif muda., dimana mereka hubungan yang telah terjalin lama baik
harus terpaksa melaksanakan perkawinan hubungan kedua orang tua mereka maupun
sehingga mereka terpaksa berhenti di tengah kedua calon mempelai, hal ini mempengarui
jalan dalam menyelesaikan studinya. terhadap pola pikirnya, bahwa jika seandainya
Disamping itu pergaulan remaja yang tidak mereka tidak segera dikawinkan akan terjadi
terkontrol cendrung lebih bebas seiring dengan hal-hal yang tidak diinginkan yang secara
itu pula para pelajar SD sudah banyak yang spikologis terjadi ketakutan akan terjadi akibat
mengenal rokok, kemudian meningkat ke yang lebih buruk terhadap diri anaknya
minuman keras dan tidak jarang diantara mereka khususnya terhadap anak gadisnya.
turut berbaur di tengah orang-orang dewasa Disamping itu ada kecendrungan
untuk main kartu dengan bertaruhkan uang. masyarakat tentang pendidikan agama, yang
Mereka juga sudah mengenal pacaran dan prospeknya tidak secerah pendidikan umum,
kebanyakan dari mereka menjalin hubungan orang tua sebagian cendrung melarang anak
dengan teman seusianya gadisnya melanjutkan ke pesantren selepas lulus
Hal lain yang menjadi penyebap pernikahan SD setelah 1-2 tahun di pesantren baru diambil
dini adalah pengaruh-pengaruh budaya dari luar kembali kemudian dikawinkan karena mereka
seperti pergaulan dengan remaja lainnya dari dianggap telah mampu berumah tangga.
luar lingkungan dimana meraka tinggal. Hal ini
tekait remaja di lingkungan setempat. Akhirnya Berdasarkan syariat islam dan tuntunan cara
para pemudanya pun sedikit demi sedikit pernikahan yang benar maka hukum pernikahan
meninggalkan adat istiadad (kebiasaan) yang dapat digolongkan dalam lima kategori yaitu wajib,
selama ini dilakukan oeh warga masyarakat. sunnah, haram, makruh dan mubah. Hukum
pernikahan tersebut dikategorikan berdasarkan
b. Faktor Ekonomi keadaan dan kemampuan seseorang untuk menikah.
Laki-laki dan perempuan dapat menikah Sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan berikut
hanya dengan melakukan akad nikah saja. ini :
Sementara resepsinya ditunda setelah selesai 1) Wajib
pendidikannya. Mereka menikah tetap tinggal Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika
bersama orang tua. Mereka dapat bertemu dan seseorang memiliki kemampuan untuk
melakukan dan hubungan seksual dengan membangun rumah tangga atau menikah serta ia
menggunakan sarana kontrasepsi yang halal tidak dapat menahan dirinya dari hal-hal yang
untuk menunda kehamilan. Hal ini dapat dapat menjuruskannya pada perbuatan zina.
terhindar dari dosa dan perkawinan mereka Orang tersebut wajib hukumnya untuk
bebas dari tanggung jawab. melaksanakan pernikahan karena dikhawatirkan
Dengan adanya pernnikahan dini, ada jika tidak menikah ia bisa melakukan perbuatan
anggapan dari masyarakat pedesaan akan adanya zina yang dilarang dalam islam (baca zina dalam
tambahan finansial yakni pendapatan dari sang islam). Hal ini sesuai dengan kaidah yang
suami atau minimal tambahan tenaga untuk menyebutkan bahwa“Apabila suatu perbuatan
mendukung kerja baik kerja di sektor pertanian bergantung pada sesuatu yang lain, maka
dan sektor lainnya. sesuatu yang lain itu pun wajib”

Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam (FAI)


43 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq, hal : 38-45.

2) Sunnah kemampuan untuk menikah namun ia dapat


Berdasarkan pendapat para ulama, pernikahan tergelincir dalam perbuatan zina jika tidak
hukumnya sunnah jika seseorang memiliki melakukannnya. Pernikahan bersifat mubah jika
kemampuan untuk menikah atau sudah siap ia menikah hanya untuk memenuhi syahwatnya
untuk membangun rumah tangga akan tetapi ia saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah
dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu tangga sesuai syariat islam namun ia juga tidak
menjerumuskannya dalam perbuatan dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.13
zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya
sunnah untuk menikah jika ia tidak D. KESIMPULAN
dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama
tidak menikah. Meskipun demikian, agama adalah secara bahasa nikah adalah hubungan intim
islam selalu menganjurkan umatnya untuk dan mengumpuli , seperti dikatakan pohon itu
menikah jika sudah memiliki kemampuan dan menikah apabila saling membuahi dan kumpul
melakukan pernikahan sebagai salah satu bentuk antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa
ibadah. disebut secara majaz nikah adalah akad karena
dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya.
3) Haram Kedua, secara hakiki nikah adalah akad dan secara
Pernikahan dapat menjadi haram hukumnya jika majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim)
dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki sebalinya pengertian secara bahasa, dan banyak dalil
kemampuan atau tanggung jawab untuk yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah
memulai suatu kehidupan rumah tangga dan jika akad seperti yang dijelaskan dalam al-Quran dan
menikah ia dikhawatirkan akan menelantarkan Hadist. Hukum perkawinan itu asalnya mubah
istrinya. Selain itu, pernikahan dengan maksud (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga
untuk menganiaya atau menyakiti seseorang tidak dilarang Dengan berdasarkan pada perubahan
juga haram hukumnya dalam islam atau illatnya atau keadaan masing-masing orang yang
bertujuan untuk menghalangi seseorang agar hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan
tidak menikah dengan orang lain namun ia hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh,
kemudian menelantarkan atau tidak mengurus dan haram.
pasangannya tersebut.

4) Makruh
Pernikahan maksruh hukumnya jika
dilaksanakan oleh orang yang memiliki cukup
kemampuan atau tanggung jawab untuk
berumahtangga serta ia dapat menahan dirinya
dari perbuatan zina sehingga jika tidak menikah
ia tidak akan tergelincir dalam perbuatan zina.
Pernikahan hukumnya makruh karena meskipun
ia memiliki keinginan untuk menikah tetapi
tidak memiliki keinginan atau tekad yang kuat
untuk memenuhi kewajiban suami terhadap
istri maupun kewajiban istri terhadap suami.

5) Mubah
Suatu pernikahan hukumnya mubah atau boleh
13
dilaksanakan jika seseorang memiliki Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz VI, (Bandung : PT. Al
Ma’arif, 2000), hlm, 90
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam (FAI)
44 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
Dwi Dasa Suryantoro, Ainur Rofiq, hal : 38-45.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Al-Munawwir, 1997. Kamus Al-


Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif.Marzuki
Mahmud

Peter, 2013, Penelitian Hukum, Jakarta : kencana


prenada media group.
Muhammad Amin Suma, 2004. Hukum Keluarga
Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.
Soemiyati, 1998. Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta
: Liberty Yogyakarta.

Slamet Dam Aminuddin, 1999. Fiqih Munakahat I,


Bandung : CV Pustaka Setia.

Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, 1994.


Beirut, Darul Fikr.

Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam (FAI)


45 Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan

Anda mungkin juga menyukai