Anda di halaman 1dari 6

Pelajaran ngaji ‘ulumul qur’an :

Mengenal istilah salaf dan kholaf bagi seorang mufassir.


---------------------------------------------------------------------------

Rosul mengisyaratkan tentang sebaik-baiknya generasi :

ْ‫خَيْ ُر أُمَّتِـيْ قَرْنِـيْ ثـُمَّ الَّذِيْنَ َيلُوْنَـهُمْ ثـُمَّ الَّذِيْنَ َيلُوْنَـهُم‬


Sebaik-baik ummatku yakni generasi yang hidup pada jamanku,
kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian
orang-orang yang datang setelah mereka. (HR. Bukhori 3377)

ٌ‫جلٌ النَّبـِيُّ أَيُّ النَّاسِ خَيْر‬


ُ ‫سَأَلَ َر‬
ُ‫قَالَ الْقَرْنُ الَّ ِذيْ أَنَا فِيْـهِ ثـُمَّ الثـَّانِ ْي ثـُمَّ الثـَّالِث‬
Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, manusia manakah yang
paling baik (akhlaqnya) ?. Beliau menjawab : “Yakni generasi
yang aku berada di (jaman)nya, kemudian generasi kedua,
kemudian generasi ketiga”. (HR. Muslim 4604)

Dari isyarat Rosul di atas dan sebagaimana kata beliau bahwa


satu generasi itu lamanya seratus tahun, akhirnya para ulama
ahli tasawwuf mengelompokkan atau mengkategorikan profil
manusia beriman yg khatam mengamalkan ajaran Islam
berdasarkan jaman generasinya :

Generasi pertama (tahun 1 s/d 100 hijriyah) generasi jamannya


para Rosul dan para sahabat, mereka mengamalkan ajaran
Islam atas dasar rasa kesetiaan, maka banyak orang berbai’at /
menyatakan sikap loyalitas kepada Rosul.
Generasi kedua, (tahun 101 s/d 200 hijriyah) generasi jamannya
para Tabi’in (pengikutnya para sahabat), mereka mengamalkan
ajaran Islam atas dasar rasa kesatriaan, maka banyak orang
gugur di medan perang.

Generasi ketiga, (tahun 201 s/d 300 hijriyah) generasi jamannya


para Tabi’it tabi’in (pengikutnya para pengikut sahabat), mereka
mengamalkan ajaran Islam atas dasar rasa malu, maka banyak
orang berakhlaq sufi.

Jadi, rasa kesetiaan + rasa kesatriaan + rasa malu sudah habis


diamalkan oleh umat Islam generasi terdahulu, sedangkan
generasi tahun 400 hijriyah s/d generasi jaman sekarang hanya
bisa mengamalkan sisanya, yakni mengamalkan ajaran Islam
atas dasar rasa takut (siksa neraka) dan rasa mengharap
(pahala sorga),

sebab, mengamalkannya atas dasar rasa cinta (kepada Alloh)


pun sudah habis diamalkan oleh generasi terdahulu. Maka
sekarang, jika ada umat Islam yang setia, yang satria, yang
punya rasa malu, adalah barang langka.

Begitu pula para ulama ahli tasawwuf mengelompokkan atau


mengkategorikan profil seorang Mufassir (Ahli Tafsir)
berdasarkan jaman generasinya,

yakni mereka yg hidupnya jamannya Rosul s/d jamannya tahun


300 hijriyah disebut ulama Salaf (secara bahasa, Salaf artinya
pendahulu)
dan mereka yg hidupnya jamannya tahun 400 hijriyah s/d jaman
sekarang disebut ulama Kholaf (secara bahasa, Kholaf artinya
belakangan)

Dalam hal menerjemahkan kalimat-kalimat yang tertulis di Al


Qur’an, ada perbedaan sikap antara ulama’ Salaf dan ulama’
Kholaf, kalau ulama’ Salaf bersikap tata krama, sedangkan
ulama’ Kholaf bersikap bijaksana.

Para ulama’ Salaf jika menerjemahkan kalimat di Al Qur’an yang


bermuatan sifat-sifat Alloh yang agaknya mirip dengan sifat
manusia, mereka (para ulama' Salaf) menerjemahkan kalimat
tersebut ke dalam bahasa mereka dengan sikap sangat-sangat
tata krama, tidak suka menta’wilkan (yakni tidak suka memahami
kalimat sebatas pemahaman berdasarkan dalil aqli / dalil logika
semata).

Sedangkan para ulama’ Kholaf jika menerjemahkan kalimat di Al


Qur’an yang bermuatan sifat-sifat Alloh yang agaknya mirip
dengan sifat manusia, mereka (para ulama’ Kholaf)
menerjemahkan kalimat tersebut ke dalam bahasa mereka
dengan sikap sangat-sangat bijaksana.

Para ulama’ Kholaf disebut sebagai para Mufassir yang


bijaksana, dikarenakan supaya umat mereka yang masih awam
ilmu aqidahnya atau awam ilmu bahasanya tidak salah paham /
salah mengerti ketika umat mereka membaca kitab-kitab tafsir
karangan para ulama’ Kholaf tersebut.
Perbedaan paling mendasar antara para Mufassir dari kalangan
ulama’ Salaf dengan para Mufassir dari kalangan ulama’ Kholaf
adalah sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Rosul berbunyi:

ُ‫خَيْ ُركُمْ َمنْ تَعَلـَّمَ الْقُرْءَانَ وَ عَلـَّمَـه‬


sebaik-baik kalian adalah orang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya.

Kalau seorang Mufassir dari kalangan Ulama’ Salaf, sikapnya


terhadap kitab Al Qur’an adalah lebih berorientasi untuk berbuat
mempelajari Al Qur’an, tujuannya mempelajari adalah untuk
dipahami sendiri karena dia ingin mengenal Alloh melalui
firmanNya secara mendalam,

sehingga jika semakin dalam mengenal Alloh maka semakin


besar takutnya kepada Alloh, dan sebagai bukti besarnya rasa
takutnya tersebut sampai-sampai dia takut merubah terjemahan
kalimat dari arti aslinya, demi menjaga sikap adab tata krama
sebagai seorang hamba di hadapan Tuhannya.

Kalau seorang Mufassir dari kalangan Ulama’Kholaf, sikapnya


terhadap kitab Al Qur’an adalah lebih berorientasi untuk berbuat
mengajarkan Al Qur’an, tujuannya mempelajari adalah untuk dia
pahamkan kepada umatnya yang masih awam karena dia ingin
mengenalkan Alloh melalui firmanNya secara pendekatan
makna yang tepat agar mudah dinalar oleh umatnya yang masih
awam tersebut,
maka dia menerjemahkan kalimat secara hati-hati dan bijaksana,
meski harus merubah dari arti aslinya, demi menyelamatkan
aqidah umatnya agar tidak salah paham mengenal Tuhannya.

Salah satu contoh kalimat yang bermuatan perbedaan


terjemahan / perbedaan arti antara ulama’ Salaf dan ulama’
Kholaf, yakni lafad AIDIN yang tertulis di surat Adz Dzariyat 47 :

Lafad AIDIN arti aslinya : tangan-tangan (yakni bentuk jama’ dari


lafad YADUN yang artinya : tangan).

Jika lafad AIDIN diartikan tangan-tangan, maka dipahami


(menurut akal manusia yang memang terbatas berimajinasinya)
bahwa wujud dzat Alloh itu tersusun dari bagian-bagian, antara
lain ada tangan, ada kaki, ada badan, ada kepala, maka
pemahaman seperti ini berarti menyamakan Alloh dengan
manusia, padahal Alloh mempunyai sifat : LAISA KA MItSLIHI
SYAI’UN tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.(baca
juga surat Asy Syuuro 11).

Demi menyelamatkan aqidahnya umat yang masih awam


sehingga menjadi salah paham tentang mengenal wujud Alloh,
maka ulama’ Kholaf menerjemahkan lafad AIDIN dengan arti :
kekuasaan.
Pendekatan makna dari lafad AIDIN yang artinya tangan,
dirubah artinya menjadi kekuasaan, supaya umat yang masih
awam tersebut tidak menyamakan Alloh dengan makhluq, maka
pendekatan makna dari lafad tangan diartikan dengan
kekuasaan adalah sikap seorang Mufassir yang bijaksana
dihadapan umatnya karena kemahirannya dalam menta’wil ayat
(yakni mengartikan kalimat secara majazi).

Sedangkan ulama’ Salaf tidak berani merubah-rubah terjemahan


kalimat dari arti aslinya, maka ulama Salaf menerjemahkan lafad
AIDIN yakni tetap diartikan : tangan-tangan (dan selalu disertai
keterangan di kitab tafsir karangan mereka dengan ucapan :
“Tapi kita tidak tahu hakekatnya”).

Maka sikap dalam menerjemahkan apa adanya seperti itu


sekaligus disertai keterangan ucapan seperti itu, termasuk sikap
seorang Mufassir yang menjaga adab tata krama di hadapan
Alloh karena rasa takutnya kepada Alloh sudah pada tingkatan
tinggi sebagaimana tingginya tingkatan maqom ma’rifatnya
kepada Alloh.

Jadi, kesimpulannya :
Ulama’ Mufassir Salaf adalah sebaik-baiknya generasi ulama’
sebagaimana hadits Rosul, karena akhlaqnya mereka sangat-
sangat tata krama dalam mempelajari Al Qur’an.

Ulama’ Mufassir Kholaf adalah generasi ulama’ belakangan,


yang akhlaqnya mereka sangat-sangat bijaksana dalam
mengajarkan Al Qur’an.

Anda mungkin juga menyukai