Sebaik-baik ummatku yakni generasi yang hidup pada jamanku, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. (HR. Bukhori 3377)
ٌجلٌ النَّبـِيُّ أَيُّ النَّاسِ خَيْر
ُ سَأَلَ َر ُقَالَ الْقَرْنُ الَّ ِذيْ أَنَا فِيْـهِ ثـُمَّ الثـَّانِ ْي ثـُمَّ الثـَّالِث Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, manusia manakah yang paling baik (akhlaqnya) ?. Beliau menjawab : “Yakni generasi yang aku berada di (jaman)nya, kemudian generasi kedua, kemudian generasi ketiga”. (HR. Muslim 4604)
Dari isyarat Rosul di atas dan sebagaimana kata beliau bahwa
satu generasi itu lamanya seratus tahun, akhirnya para ulama ahli tasawwuf mengelompokkan atau mengkategorikan profil manusia beriman yg khatam mengamalkan ajaran Islam berdasarkan jaman generasinya :
Generasi pertama (tahun 1 s/d 100 hijriyah) generasi jamannya
para Rosul dan para sahabat, mereka mengamalkan ajaran Islam atas dasar rasa kesetiaan, maka banyak orang berbai’at / menyatakan sikap loyalitas kepada Rosul. Generasi kedua, (tahun 101 s/d 200 hijriyah) generasi jamannya para Tabi’in (pengikutnya para sahabat), mereka mengamalkan ajaran Islam atas dasar rasa kesatriaan, maka banyak orang gugur di medan perang.
para Tabi’it tabi’in (pengikutnya para pengikut sahabat), mereka mengamalkan ajaran Islam atas dasar rasa malu, maka banyak orang berakhlaq sufi.
Jadi, rasa kesetiaan + rasa kesatriaan + rasa malu sudah habis
diamalkan oleh umat Islam generasi terdahulu, sedangkan generasi tahun 400 hijriyah s/d generasi jaman sekarang hanya bisa mengamalkan sisanya, yakni mengamalkan ajaran Islam atas dasar rasa takut (siksa neraka) dan rasa mengharap (pahala sorga),
sebab, mengamalkannya atas dasar rasa cinta (kepada Alloh)
pun sudah habis diamalkan oleh generasi terdahulu. Maka sekarang, jika ada umat Islam yang setia, yang satria, yang punya rasa malu, adalah barang langka.
Begitu pula para ulama ahli tasawwuf mengelompokkan atau
mengkategorikan profil seorang Mufassir (Ahli Tafsir) berdasarkan jaman generasinya,
yakni mereka yg hidupnya jamannya Rosul s/d jamannya tahun
300 hijriyah disebut ulama Salaf (secara bahasa, Salaf artinya pendahulu) dan mereka yg hidupnya jamannya tahun 400 hijriyah s/d jaman sekarang disebut ulama Kholaf (secara bahasa, Kholaf artinya belakangan)
Dalam hal menerjemahkan kalimat-kalimat yang tertulis di Al
Qur’an, ada perbedaan sikap antara ulama’ Salaf dan ulama’ Kholaf, kalau ulama’ Salaf bersikap tata krama, sedangkan ulama’ Kholaf bersikap bijaksana.
Para ulama’ Salaf jika menerjemahkan kalimat di Al Qur’an yang
bermuatan sifat-sifat Alloh yang agaknya mirip dengan sifat manusia, mereka (para ulama' Salaf) menerjemahkan kalimat tersebut ke dalam bahasa mereka dengan sikap sangat-sangat tata krama, tidak suka menta’wilkan (yakni tidak suka memahami kalimat sebatas pemahaman berdasarkan dalil aqli / dalil logika semata).
Sedangkan para ulama’ Kholaf jika menerjemahkan kalimat di Al
Qur’an yang bermuatan sifat-sifat Alloh yang agaknya mirip dengan sifat manusia, mereka (para ulama’ Kholaf) menerjemahkan kalimat tersebut ke dalam bahasa mereka dengan sikap sangat-sangat bijaksana.
Para ulama’ Kholaf disebut sebagai para Mufassir yang
bijaksana, dikarenakan supaya umat mereka yang masih awam ilmu aqidahnya atau awam ilmu bahasanya tidak salah paham / salah mengerti ketika umat mereka membaca kitab-kitab tafsir karangan para ulama’ Kholaf tersebut. Perbedaan paling mendasar antara para Mufassir dari kalangan ulama’ Salaf dengan para Mufassir dari kalangan ulama’ Kholaf adalah sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Rosul berbunyi:
sebaik-baik kalian adalah orang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.
Kalau seorang Mufassir dari kalangan Ulama’ Salaf, sikapnya
terhadap kitab Al Qur’an adalah lebih berorientasi untuk berbuat mempelajari Al Qur’an, tujuannya mempelajari adalah untuk dipahami sendiri karena dia ingin mengenal Alloh melalui firmanNya secara mendalam,
sehingga jika semakin dalam mengenal Alloh maka semakin
besar takutnya kepada Alloh, dan sebagai bukti besarnya rasa takutnya tersebut sampai-sampai dia takut merubah terjemahan kalimat dari arti aslinya, demi menjaga sikap adab tata krama sebagai seorang hamba di hadapan Tuhannya.
Kalau seorang Mufassir dari kalangan Ulama’Kholaf, sikapnya
terhadap kitab Al Qur’an adalah lebih berorientasi untuk berbuat mengajarkan Al Qur’an, tujuannya mempelajari adalah untuk dia pahamkan kepada umatnya yang masih awam karena dia ingin mengenalkan Alloh melalui firmanNya secara pendekatan makna yang tepat agar mudah dinalar oleh umatnya yang masih awam tersebut, maka dia menerjemahkan kalimat secara hati-hati dan bijaksana, meski harus merubah dari arti aslinya, demi menyelamatkan aqidah umatnya agar tidak salah paham mengenal Tuhannya.
Salah satu contoh kalimat yang bermuatan perbedaan
terjemahan / perbedaan arti antara ulama’ Salaf dan ulama’ Kholaf, yakni lafad AIDIN yang tertulis di surat Adz Dzariyat 47 :
Lafad AIDIN arti aslinya : tangan-tangan (yakni bentuk jama’ dari
lafad YADUN yang artinya : tangan).
Jika lafad AIDIN diartikan tangan-tangan, maka dipahami
(menurut akal manusia yang memang terbatas berimajinasinya) bahwa wujud dzat Alloh itu tersusun dari bagian-bagian, antara lain ada tangan, ada kaki, ada badan, ada kepala, maka pemahaman seperti ini berarti menyamakan Alloh dengan manusia, padahal Alloh mempunyai sifat : LAISA KA MItSLIHI SYAI’UN tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.(baca juga surat Asy Syuuro 11).
Demi menyelamatkan aqidahnya umat yang masih awam
sehingga menjadi salah paham tentang mengenal wujud Alloh, maka ulama’ Kholaf menerjemahkan lafad AIDIN dengan arti : kekuasaan. Pendekatan makna dari lafad AIDIN yang artinya tangan, dirubah artinya menjadi kekuasaan, supaya umat yang masih awam tersebut tidak menyamakan Alloh dengan makhluq, maka pendekatan makna dari lafad tangan diartikan dengan kekuasaan adalah sikap seorang Mufassir yang bijaksana dihadapan umatnya karena kemahirannya dalam menta’wil ayat (yakni mengartikan kalimat secara majazi).
Sedangkan ulama’ Salaf tidak berani merubah-rubah terjemahan
kalimat dari arti aslinya, maka ulama Salaf menerjemahkan lafad AIDIN yakni tetap diartikan : tangan-tangan (dan selalu disertai keterangan di kitab tafsir karangan mereka dengan ucapan : “Tapi kita tidak tahu hakekatnya”).
Maka sikap dalam menerjemahkan apa adanya seperti itu
sekaligus disertai keterangan ucapan seperti itu, termasuk sikap seorang Mufassir yang menjaga adab tata krama di hadapan Alloh karena rasa takutnya kepada Alloh sudah pada tingkatan tinggi sebagaimana tingginya tingkatan maqom ma’rifatnya kepada Alloh.
Jadi, kesimpulannya : Ulama’ Mufassir Salaf adalah sebaik-baiknya generasi ulama’ sebagaimana hadits Rosul, karena akhlaqnya mereka sangat- sangat tata krama dalam mempelajari Al Qur’an.
Ulama’ Mufassir Kholaf adalah generasi ulama’ belakangan,
yang akhlaqnya mereka sangat-sangat bijaksana dalam mengajarkan Al Qur’an.