Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM KESEHATAN REPRODUKSI


DALAM SITUASI DARURAT BENCANA (PPAM)

HIV ( HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS )


Dosen Pengampu : Verawati Pulungan, SST, M.KM

Kelompok 9 :
Rahmayani PO.71241230156
Sumariyani PO.71241230157
Widyah Octaviani PO.71241230158

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN


POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN
JAMBI
2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang " HIV ( Human
Immunodeficiency Virus )”.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal
jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan
juga inspirasi untuk pembaca.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR………………………………………………………......... ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………... 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 1
C. Tujuan………………………………………………………………….. 1
D. Manfaat………………………………………………………………… 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 2
1.1 Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus)………………………. 2
1.2 Kesadaran Tentang HIV……………………………………………….. 4
1.3 Pencegahan Hiv……………………………………………………….. 6
1.4 Konseling Dan Test HIV……………………………………………… 9
1.5 Intervensi Arv Dan Art………………………………………………... 13
1.6 Perawatan Komprehensif ODHA……………………………………… 16
1.7 Perawatan Anak Dengan HIV…………………………………………. 18
BAB III PENUTUP……………………………………………………………. 21
A. Kesimpulan …………………………………………………………… 21
B. Saran…………………………………………………………………... 21
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 22

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan bumi.
HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang harus diwaspadai karena Acquired
Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) sangat berakibat pada penderitanya.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala
penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalannya dirusak oleh
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, penggunaan obat suntik, ibu
ke anak-anak dan lain-lain. Mengenai penyakit HIV/AIDS, penyakit ini telah
menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping
belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan penyakit ini juga memiliki “window
periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan
penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena
gunung es (iceberg phenomena).
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Dari beberapa
cara penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko penularan cukup
besar. Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar penyebaran
mengalami perlambatan.
Penderita HIV tidak dapat disembuhkan karena tidak ada obat yang dapat
sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan penyakit dapat
diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat
antara berbagai obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat kerusakan yang
diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal terjadinya
AIDS.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan HIV ?
2. Bagaimana cara penularan HIV ?
3. Apa Tanda-tanda terserang HIV ?
4. Bagaimana pencegahan HIV ?

C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memahami tentang bahaya virus
HIV/AIDS dan cara menangulangi virus tersebut. Dan menyadarkan generasi muda
secara terus menerus akan bahaya HIV/AIDS dan mampu melaksanakan pencgahan
dan usaha-usaha penanggulangannya dalam angka meningkatkan kekebalan tubuh.

D. Manfaat
Dengan mempelajari makalah ini yang berjudul HIV (Human
Immunodeficiency Virus) pembaca dapat mengetahui manfaat sebagai berikut :
1. Mengetahui cara pencegahan HIV
2. Mendapatkan ilmu tentag bahaya terkena virus HIV

iv
3. Mengetahui tanda gejala terkena virus HIV
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang termasuk
golongan RNA virus, yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul
pembawa informasi genetik. Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat khas karena
memiliki enzim reverse transcriptase yaitu enzim yang memungkinkan viruss
mengubah informasi genetiknya berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang
kemudian di integrasikan ke dalam informasi genetic sel limfosit yang di serang.
Dengan demikian HIVdapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk
mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. Sel limfosit
adalah sel yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh makan pada orang dengan
HIV sistem kekebalan tubuhnya akan menurun dan tidak mampu melawan segala
penyakit yang datang. Namun demikian orang yang tertular HIV tidak berarti
langsung sakit, seseorang bisa hidup denga HIV dalam tubuhnya selama
bertahun-tahun taanpa merasa sakit atau mengalami gangguan Kesehatan yang
serius. Walaupun tampak sehat penderita HIV dapat menularkan HIV pada orang
lain (Damayanti, dkk, 2012).
1.1.1 Penyebab Tertular HIV/AIDS
Penularan penyakit HIV/AIDS dari penderita ke orang lain dapat terjadi
melalui pertukaran cairan tubuh. Remaja yang terlanjur terperangkap pada
pergaulan bebas dapat tertular HIV melalui beberapa cairan tubuh berikut:
1. Air mani, sperma dan cairan vagina
Penularan HIV pada remaja dapat terjadi melalui hubungan seksual
dari perilaku seks bebas remaja baik seks secara vaginal, anal maupun
oral. Orang yang melakukan hubungan seksual dengan berganti ganti
pasangan akan semakin besar risikonya untuk tertular HIV
2. Darah
Kontak antar luka terbuka, transfusi darah dan penggunaan jarum
suntik dapat menularkan HIV. Pemakaian jarum suntik yang dapat
menularkan HIV adalah pemakaian secara bergantian, Jarum suntik
seharusnya digunakan dalam keadaan steril dan hanya sekali pakai.
Namun biasanya pengguna napza suntik (penasun) dan pembuat tatto
akan menggunakan jarum suntik secara bergantian.
Penyebab penularan HIV pada remaja adalah adanya kontak cairan tubuh
berupa air mani, cairan vagina dan darah,. Hal tersebut berkaitan dengan
kenakalan remaja dan pergaulan bebas. Banyak remaja yang masuk dalam
dunia seks bebas. Selain itu, penyalahgunaan narkoba juga semakin menjadi di
kalangan remaja terutama remaja laki laki sehingga kejadian HIV pada remaja
semakin meningkat.

v
2.1.2. Faktor Resiko Tertular HIV/AIDS
HIV bisa menginfeksi semua orang dari segala usia. Akan tetapi, risiko
tertular HIV lebih tinggi pada pria yang tidak disunat, baik pria heteroseksual
atau lelaki seks lelaki. Selain itu, risiko tertular HIV juga lebih tinggi pada
individu dengan sejumlah faktor berikut:
1. Melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom, melalui dubur
(anus), atau dengan berganti-ganti pasangan.
2. Menderita infeksi menular seksual (IMS), misalnya sifilis, herpes,
klamidia, gonore, dan vaginosis bakterialis, karena sebagian besar IMS
menyebabkan luka terbuka di kelamin penderita.
3. Menggunakan NAPZA suntik, karena umumnya pelaku narkoba akan
saling berbagi jarum suntik.
4. Menerima suntikan, transfusi darah, transplantasi jaringan, dan prosedur
medis yang tidak steril atau tidak dilakukan oleh tenaga professional.
5. Bekerja sebagai petugas kesehatan, karena berisiko mengalami cedera
akibat tidak sengaja tertusuk jarum suntik.
1.1.2 Tanda dan gejala HIV/AIDS
Dalam 1 atau 2 bulan virus HIV memasuki tubuh. Sebesar 40 hingga 90
persen dari orang mengalami gejala seperti flu dapat dikenal sebagai sindrom
retroviral akut (ARS). Tetapi kadang-kadang gejala HIV tidak muncul selama
beberapa tahun bahkan beberapa dekade setelah infeksi. Berikut adalah
beberapa tanda-tanda bahwa mungkin seseorang positif terkena HIV, antara
lain:
1. Demam
Salah satu tanda-tanda pertama ARS adalah demam ringan, sampai
sekitar 39 derajat C (102 derajat F). Demam sering disertai dengan gejala
ringan lainnya, seperti kelelahan, pembengkakan pada kelenjar getah
bening, dan sakit tenggorokan.
2. Kelelahan
Respon inflamasi yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh juga
dapat menyebabkan lelah dan lesu. Kelelahan dapat menjadi tanda awal
dan tanda lanjutan dari HIV.
3. Pegal, nyeri otot dan sendi, pembengkakan kelenjar getah bening
ARS sering menyerupai gejala flu, mononucleosis, infeksi virus atau
yang lain, bahkan sifilis atau hepatitis. Hal tersebut memang tidak
mengherankan. Banyak gejala penyakit yang mirip bahkan sama, termasuk
nyeri pada persendian dan nyeri otot, serta pembengkakan kelenjar getah
bening. Kelenjar getah bening merupakan bagian dari sistem kekebalan
tubuh dan cenderung akan meradang bila ada infeksi. Kelenjar getah
bening berada di pangkal paha leher ketiak, dan lain-lain.
4. Sakit tenggorokan dan sakit kepala
Seperti gejala penyakit lain, sakit tenggorokan, dan sakit kepala sering
dapat merupakan ARS," kata Dr. Horberg. Jika memiliki risiko tinggi HIV,
maka melakukan tes HIV adalah ide yang baik. Karena HIV paling
menular pada tahap awal

vi
5. Ruam Kulit
Ruam kulit dapat terjadi lebih awal atau terlambat dalam
perkembangan HIV/AIDS.
6. Mual, Muntah dan Diare
Sekitar 30 hingga 60 persen dari orang dengan HIV memiliki gejala
jangka pendek seperti mual, muntah, atau diare pada tahap awal HIV, kata
Dr. Malvestutto. Gejala tersebut juga dapat muncul sebagai akibat dari
terapi antiretroviral, biasanya sebagai akibat dari infeksi oportunistik.
7. Penurunan berat badan
Jika penderita HIV sudah kehilangan berat badan, berarti sistem
kekebalan tubuh biasanya sedang menurun
8. Batuk kering
Batuk kering dapat merupakan tanda pertama seseorang terkena infeksi
HIV. Batuk tersebut dapat berlangsung selama 1 tahun dan terus semakin
parah.
9. Pneumonia
Batuk dan penurunan berat badan juga mungkin pertanda infeksi serius
yang disebabkan oleh kuman yang tidak akan mengganggu jika sistem
kekebalan tubuh bekerja dengan baik.
Pneumonia merupakan salah satu infeksi oportunistik, sedangkan yang
lainnya termasuk toksoplasmosis, infeksi parasit yang mempengaruhi otak,
cytomegalovirus, dan infeksi jamur di rongga mulut.
10. Perubahan pada kuku
Tanda lain dari infeksi HIV akhir adalah perubahan kuku, seperti
membelah, penebalan dan kuku yang melengkung, atau perubahan warna
(hitam atau coklat berupa garis vertikal maupun horizontal). Seringkali hal
tersebut disebabkan infeksi jamur, seperti kandida.
11. Infeksi jamur
Infeksi jamur yang umum pada tahap lanjut adalah thrush, infeksi
mulut yang disebabkan oleh Candida, yang merupakan suatu jenis jamur.
"Candida merupakan jamur yang sangat umum dan salah satu yang
menyebabkan infeksi jamur pada wanita.
12. Kesemutan dan kelemahan
Akhir HIV juga dapat menyebabkan mati rasa dan kesemutan di tangan
dan kaki. Hal ini disebut neuropati perifer, yang juga terjadi pada orang
dengan diabetes yang tidak terkontrol. "Hal tersebut menunjukkan
kerusakan pada saraf

1.2 Kesadaran Tentang HIV


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah salah satu tantangan kesehatan
global yang masih berdampak besar hingga saat ini. Meski sudah banyak
kemajuan dalam penanganan HIV/AIDS, stigma dan diskriminasi terhadap
penderita masih menjadi kendala dalam upaya pencegahan dan pengobatan yang
efektif. Dalam artikel opini ini, kita akan mengeksplorasi pentingnya membangun

vii
kesadaran da mengatasi stigma terkait HIV/AIDS agar dapat membantu
perubahan sosial yang positif.
Stigma dan diskriminasi terkait HIV/AIDS telah menghambat upaya
pencegahan, pengobatan, dan perawatan yang efektif dalam masyarakat. Oleh
karena itu, rasionalisasi, edukasi, dan penghapusan stigma harus menjadi prioritas
dalam perjuangan melawan HIV/AIDS. Berikut beberapa langkah yang dapat
dilakukan:
1. Edukasi dan Informasi yang Akurat
Pendidikan dan penyuluhan yang secara akurat menyampaikan informasi
tentang HIV/AIDS penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman
masyarakat. Masyarakat perlu meyakini bahwa tidak ada alasan untuk
menghukum atau mengucilkan penderita HIV/AIDS. Mereka perlu tahu bahwa
penularan virus tidak terjadi melalui kontak sehari-hari, misalnya bersentuhan,
berbagi makanan, atau bekerja dengan penderita HIV/AIDS.
2. Komunikasi Terbuka dan Dukungan Emosional
Menjaga komunikasi terbuka dan memberikan dukungan emosional
kepada penderita HIV/AIDS sangat penting. Masyarakat harus memahami
bahwa penderita HIV/AIDS adalah manusia yang sama dengan hak dan
kebutuhan yang sama. Mereka perlu merasa didukung dan diperlakukan
dengan hormat, bukan dijauhi atau dihakimi.
3. Peran Lembaga dan Pemerintah
Lembaga pemerintah dan non-pemerintah harus memainkan peran aktif
dalam mengatasi stigma terkait HIV/AIDS. Mereka harus mendorong
kebijakan tanpa stigmatisasi dan melakukan pencegahan diskriminasi melalui
program-program yang diperlukan. Lembaga ini juga dapat memberikan ruang
aman bagi penderita HIV/AIDS untuk pengobatan, dukungan, dan konseling
yang diperlukan.
4. Media sebagai Agen Perubahan
Media massa memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk opini dan
sikap masyarakat. Oleh karena itu, media harus berperan sebagai agen
perubahan untuk mengatasi stigma terkait HIV/AIDS. Media dapat
memberikan informasi yang akurat, menceritakan kisah penderita HIV/AIDS
secara bijak dan sensitif, serta mendukung program-program yang
mempromosikan kesetaraan dan penghapusan stigma.
1.1.1. Membangun Kesadaran Melalui Masyarakat Partisipatif
Membangun kesadaran terkait HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama
yang harus dilakukan melalui partisipasi aktif masyarakat. Ini membutuhkan
kolaborasi antara individu, keluarga, sekolah, tempat kerja, organisasi
masyarakat, lembaga pemerintah, dan berbagai pihak terkait. Berikut adalah
langkah-langkah yang dapat diambil:
1. Kampanye dan Program Pendidikan
Masyarakat perlu diakses melalui kampanye dan program pendidikan
terkait HIV/AIDS. Kampanye ini harus menjangkau semua lapisan
masyarakat, dari anak-anak hingga orang dewasa dan lansia. Program
pendidikan ini harus dirancang untuk memberikan informasi yang akurat
dan menekankan pentingnya pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS.

viii
2. Mendorong Tes HIV secara Rutin
Melakukan tes HIV secara rutin adalah langkah penting dalam
pengendalian penyebaran HIV serta memberikan kesempatan untuk
pengobatan lebih awal. Masyarakat harus didorong untuk melakukan tes
HIV secara rutin dan tidak merasa takut atau malu untuk melakukannya.
Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan akses yang mudah dan
terjangkau untuk melakukan tes.
3. Pencegahan dan Pengobatan sebagai Prioritas
Pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS harus menjadi prioritas utama
dalam upaya membangun kesadaran dan mengatasi stigma. Berbagai
program yang berfokus pada promosi sikap yang aman, penggunaan
kondom, penggunaan jarum suntik bersih, dan akses terhadap pengobatan
antiretroviral harus terus didorong.
Mengatasi stigma terkait HIV/AIDS dan membangun kesadaran adalah
kunci dalam pencegahan, pengobatan, dan perawatan yang efektif. Dalam
perjuangan melawan HIV/AIDS, kita perlu bersama-sama memahami,
menghormati, dan mendukung penderita HIV/AIDS. Dengan meningkatkan
kesadaran dan mengatasi stigma, kita dapat menciptakan lingkungan yang
inklusif, menyediakan dukungan yang diperlukan, dan memastikan bahwa
penderita HIV/AIDS dapat hidup dengan kebebasan, martabat, dan kualitas
hidup yang layak. Kita semua adalah bagian dari solusi dalam melawan
HIV/AIDS dan menciptakan masyarakat yang lebih baik dan lebih peduli.

1.3 Pencegahan HIV (Human Immunodeficiency Virus)


Pencegahan HIV merupakan langkah penting dalam mengurangi jumlah
infeksi baru dan mencegah penyebaran virus ini di masyarakat. Beberapa cara
pencegahan HIV yang dapat dilakukan adalah:
1. Abstinence & Awareness
Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali adalah cara pencegahan
yang efektif dalam menghindari penularan HIV. Ini khususnya berlaku bagi
remaja dan orang dewasa muda yang belum siap secara fisik dan emosional
untuk terlibat dalam hubungan seksual.
Memperkuat skrining HIV bagi mereka yang berisiko tinggi, termasuk
pekerja seks komersial, pengguna narkoba suntik, dan orang yang tinggal di
wilayah dengan prevalensi tinggi HIV.
2. Be Faithful
Setia pada satu pasangan adalah langkah pencegahan yang dapat
mengurangi risiko penularan HIV.
3. Condom & Circumcision
Menggunakan kondom saat berhubungan seksual berisiko dapat mencegah
penularan HIV dan infeksi menular seksual lainnya. Sirkumsisi atau sunat bagi
laki-laki telah terbukti dapat mengurangi risiko penularan HIV dalam
hubungan heteroseksual.
4. No Drug & Safe Blood Sterile Equipment

ix
Menghindari penggunaan narkoba, terutama narkoba suntik, dapat
mencegah penularan HIV melalui jarum yang tidak steril. Selalu menggunakan
peralatan medis yang steril, terutama saat transfusi darah dan transplantasi
organ, juga merupakan langkah pencegahan penting.
5. Education
Memberikan informasi yang benar tentang HIV sangat penting untuk
menyebarkan kesadaran mengenai risiko dan pencegahan HIV. Kampanye
edukasi harus mencakup informasi tentang tidak melakukan diskriminasi
terhadap orang dengan HIV, pentingnya pengobatan ARV (Antiretroviral), dan
pentingnya kepatuhan minum obat untuk menekan viral load dan
mempertahankan kesehatan penderita HIV.
1.1.2. Prioritas pencegahan penularan HIV
1. Memastikan kegiatan transfusi darah aman dan rasional yang
dilakukan oleh lembaga/organisasi yang bergerak dibidangnya,
misalnya: Palang Merah Indonesia (PMI)
 Pastikan darah berasal dari lembaga yang resmi yaitu Unit Transfusi
Darah (UTD) PMI, UTD Pemerintah serta BDRS (Bank Darah Rumah
Sakit) untuk menjamin darah aman digunakan dan dilakukan di fasilitas
kesehatan yang mempunyai perlengkapan dan tenaga kesehatan yang
kompeten. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, transfuse darah tidak
boleh dilakukan.
 Lakukan koordinasi untuk mengetahui contact person/penanggung jawab
yang dapat dihubungi di UTD PMI dan UTD Pemerintah serta BDRS
setempat untuk pemantauan ketersediaan darah.
 Perhatikan prinsip pelaksanaan transfusi darah yang rasional meliputi:
a. Transfusi darah hanya dilakukan untuk keadaan yang mengancam
nyawa dan tidak ada alternatif lain
b. Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau mengurangi
perdarahan aktif (misalnya Oksitosin, Asam Tranexamat,dll)
 Lakukan koordinasi dengan puskesmas atau rumah sakit untuk
penyediaan dan penggunaan cairan pengganti darah seperti cairan
pengganti berbasis kristaloid.
2. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal dimulainya
koordinasi dan memastikan penerapannya :
 Berkoordinasi dengan organisasi atau lembaga mitra sektor kesehatan
terkait untuk memastikan penerapan kewaspadaan standar tetap
dilakukan setiap saat, meskipun pada situasi krisis kesehatan.
 Berkoordinasi dengan klaster kesehatan untuk penyediaan alat-alat, bahan
dan media KIE untuk penerapan kewaspadaan standar (misalnya, masker,
sarung tangan, apron, sepatu boot, leaflet, poster, dll) kepada tenaga
kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan posko-posko kesehatan.
3. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pascapajanan
Memastikan ketersediaan Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) di layanan
kesehatan
 Memastikan petugas mengetahui PPP sebagai paket tindakan
pencegahan standar untuk mengurangi risiko penularan infeksi di

x
tempat kerja (mengidentifikasi dan menentukan petugas yang
bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan PPP)
 Pasang pengumuman/informasi tentang cara-cara pertolongan pertama
di ruang-ruang kerja dan informasikan kepada semua petugas
bagaimana mengakses perawatan untuk keterpaparan.
 Menyelenggarakan sesi orientasi di pelayanan kesehatan mengenai
tindakan kewaspadaan standar untuk para petugas kesehatan dan
petugas lain.
 Menetapkan sistem pengawasan dan melakukan observasi dengan
menggunakan daftar tilik (check list) sederhana untuk memastikan
kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, misalnya dengan
memperhatikan kebiasaan cuci tangan, pembuangan limbah tajam, cara
membersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh lainnya, dll.
4. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan
organisasi dan lembaga yang bekerja di bidang kesehehatan
reproduksi dan keluarga berencana (pemerintah dan non pemerintah)
Koordinator perlu memastikan tersedianya kondom sejak masa awal
tanggap darurat krisis kesehatan, karena kondom mampu mencegah
penularan IMS dan HIV, melalui koordinasi antara Dinkes, BKKBN, atau
lembaga lain.
a. Pastikan pemberian kondom harus dilakukan sesuai dengan budaya
masyarakat setempat (misalnya: melalui fasilitas kesehatan setempat).
Kondom diberikan pada kelompok seksual aktif, penderita IMS dan
HIV, kelompok berisiko tinggi tertular IMS dan HIV.
b. Berikan informasi cara penggunaan kondom kepada masyarakat yang
belum mengetahui cara penggunaannya. Untuk kondom perempuan,
sebaiknya tidak disediakan apabila masyarakat belum mengenal dan
mengetahuinya.
5. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada perempuan
yang terdaftar dalam program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak).
1. Memastikan ketersediaan data ODHA, layanan ARV dan layanan
HIV/AIDS lainnya di wilayah tersebut. Data dapat diperoleh dari
puskemas, LSM atau kelompok dukungan sebaya yang menjadi
pendamping minum obat ARV. Pemberian ARV dapat dilakukan di
puskesmas dan rumah sakit oleh petugas kesehatan yang terlatih.
 Puskesmas : memberikan ARV untuk orang dengan HIV AIDS
(ODHA) tanpa komplikasi.
 Rumah Sakit:
a. Memberikan ARV untuk ibu hamil dengan HIV
b. Memberikan ARV profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu HIV,
c. Pasien yang memiliki infeksi oportunistik dirawat di rumah sakit.
2. Pastikan saat krisis kesehatan pemberian ARV tidak boleh terputus oleh
karena itu penanggung jawab komponen pencegahan HIV/AIDS harus
berkoordinasi dengan penyedia layanan ARV.

xi
6. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24
jam untuk kelanjutan pengobatan ARV bersama dengan obat rutin
lainnya.
Informasi ketersediaan ARV maupun obat lainnya perlu diketahui oleh
ODHA, untuk memudahkan akses terhadap
terapinya. Penanggung jawab komponen pencegahan HIV/AIDS
mengkoordinasikan:
 Setiap layanan kesehatan ditempatkan papan informasi terkait nama
petugas, nomor kontak dan lokasi untuk mengakses ARV dan obat
penunjang lainnya.
 Diumumkan atau disosialisasikan pada pertemuan masyarakat di
pengungsian tentang cara mengakses obat ARV dan obat penunjang
lainnya.

1.4 Konseling Dan Test HIV


1.1.1. Konseling
Konseling dan Tes HIV atas inisiasi pemberi layanan kesehatan dan
konseling (KTIP) adalah Tes HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh
kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan sebagai komponen
pelayanan standar layanan kesehatan di fasilitas tersebut. Tujuan umum dari
KTIP adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan
memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan HIV serta untuk
memfasilitasi pengambilan keputusan klinis atau medis terkait pengobatan
Antiretroviral (ARV), yang dibutuhkan dimana hal tersebut tidak mungkin
diambil tanpa mengetahui status HIV nya. Berikut langkah-langkah dalam
melaksanakan KTIP di fasilitas pelayanan kesehatan :
A. Pemberian Informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes
1. Sesi informasi pra-tes
Sesi ini dapat dilaksanakan sebagai pilihan bila sarana
memungkinkan. Semua pasien atau klien yang datang ke layanan
kesehatan terutama di layanan TB, IMS, PTRM, LASS, KIA, KB,
layanan untuk populasi kunci/orang yang berperilaku risiko tinggi
(penasun, pekerja seks, pelanggan atau pasangan seks dari pekerja seks,
waria, LSL dan warga binaan pemasyarakatan) dan pada kelompok
pekerja yang berisiko ataupun klien yang datang ke layanan KTS untuk
mencari layanan Tes HIV secara sukarela,dapat diberikan KIE secara
kelompok di ruang tunggu sebelum bertatap muka dengan petugas yang
bersangkutan sambil
menunggu gilirannya dilayani. Informasi tentang HIV hendaknya
meliputi
komponen penting yang dibutuhkan pasien atau klien seperti:
a. Informasi dasar HIV dan AIDS,
b. Upaya pencegahan yang efektif, termasuk penggunaan kondom
secara konsisten, mengurangi jumlah pasangan seksual,
penggunaan alat suntik steril dan lainnya.
c. Keuntungan dan pentingnya tes HIV sedini mungkin.

xii
d. Informasi tentang proses pemeriksaan laboratorium HIV
e. Membahas konfidensialitas, dan konfidensialitas bersama
f. Membahas pilihan untuk tidak menjalani tes HIV
g. Tawaran untuk menjalani tes pada masa mendatang bila klien
belum siap
h. Pentingnya pemeriksaan gejala dan tanda penyakit TB selama
konseling pra dan pasca-tes
i. Rujukan ke layanan yang terkait dengan HIV, seperti misalnya
konsultasi gizi, pemeriksaan dan pengobatan TB, pemeriksaan
IMS, pemeriksaan CD4, tatalaksana infeksi oportunistik dan
stadium klinis.
Edukasi juga disertai dengan diskusi, artinya tersedia kesempatan
pasien/klien bertanya dan mendalami pemahamannya tentang HIV dan
status HIV. Petugas kesehatan/Konselor juga memberi dukungan atas
keadaan psikologik klien. Sesudah edukasi dan menimbang suasana
mental emosional, pasien/klien dimintai persetujuan untuk tes HIV
(informed consent) dan dilanjutkan pemeriksaan laboratorium darah.
Contoh formulir permintaan diagnosis HIV sebagaimana Formulir 1
terlampir. Informasi di atas akan memudahkan pasien menimbang dan
memutuskan untuk menjalani tes serta memberikan persetujuannya untuk
tes HIV yang harus dicatat oleh petugas kesehatan. Dengan demikian
penerapan tes HIV memenuhi prinsip 5C (informed consent,
confidentiality, counseling, correct testing and connection to care,
treatment and prevention services). Pada umumnya, komunikasi verbal
sudah cukup memadai untuk memberikan informasi dan mendapatkan
informed-consent pelaksanaan tes-HIV.
2. Persetujuan Tes HIV (Informed Concent)
Informed consent bersifat universal yang berlaku pada semua pasien
apapun penyakitnya karena semua tindakan medis pada dasarnya
membutuhkan persetujuan pasien. Informed consent di fasilitas layanan
kesehatan diberikan secara lisan atau tertulis. Dalam hal diberikan secara
tertulis, dapat menggunakan contoh formulir Informed Consent
sebagaimana Formulir 2 terlampir.Aspek penting di dalam persetujuan
adalah sebagai berikut:
a. Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk ke layanan HIV
termasuk pengobatan ARV dan penatalaksanaan lainnya.
b. Bagi mereka yang menolak tes HIV dicatat dalam catatan medik
untuk dilakukan penawaran tes dan atau konseling ulang ketika
kunjungan berikutnya.
c. Persetujuan untuk anak dan remaja di bawah umur diperoleh dari
orangtua atau wali/pengampu.
d. Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau hendaya kognitif
yang tidak mampu membuat keputusan dan secara nyata berperilaku
berisiko, dapat dimintakan kepada isteri/suami atau ibu/ayah kandung
atau anak kandung/saudara kandung atau pengampunya.

xiii
1.1.2. Test HIV
Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas
layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes
dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan
sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian
Kesehatan. Tes HIV wajib menggunakan reagen tes HIV yang sudah
diregistrasi dan dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementerian Kesehatan,
dapat mendeteksi baik antibodi HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat harus
dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya (ada dalam kotak
reagensia). Hasil tes cepat dapat ditunggu oleh pasien. Tes cepat dapat
dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan
dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan
primer oleh paramedis terlatih. Tes cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien
yang banyak.
Tes Enzyme Immuno Assay (EIA) biasanya dilakukan di fasilitas
layanan
kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan petugas yang terlatih
dengan jumlah pasien yang lebih banyak . Setiap dilakukan pemeriksaan harus
mencantumkan nama dan jenis reagen yang digunakan menggunakan contoh
Formulir 5 sebagaimana terlampir.Pemilihan antara menggunakan tes cepat
HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat
pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan
peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien
untuk kembali mengambil hasil. Dalam melaksakan tes HIV, perlu merujuk
pada alur Tes sesuai dengan pedoman nasional pemeriksaan yang berlaku dan
dianjurkan menggunakan alur serial, seperti contoh pada bagan 2, alur
diagnosis HIV. Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama memberi
hasil non reaktif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil tes
pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes HIV kedua pada
sampel yang sama dengan menggunakan reagen, metoda dan/atau antigen yang
berbeda dari yang pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual
dengan nama yang berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut.
Hasil tes kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka di lanjutkan dengan
tes HIV ketiga. Standar Nasional untuk tes HIV adalah menggunakan alur
serial karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama
memberi hasil reaktif saja. Pengendalian HIV dan AIDS Nasional
menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen yang berbeda sensitifitas
dan spesifitas-nya, dengan urutan yang direkomendasikan sebagai berikut:
• Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%.
• Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%.
• Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%.

xiv
Setiap jenis tes harus mendapatkan rekomendasi Laboratorium rujukan
Nasional dan sebaiknya. Kombinasi tes HIV tersebut perlu dievaluasi sebelum
digunakan secara luas, untuk menghindari diskordans <5 % dari kombinasi ke
3 reagensia. Tes HIV harus disertai dengan sistem jaminan mutu dan program
perbaikannya untuk meminimalkan hasil positif palsu dan negatif palsu. Jika
tidak maka, pasien akan menerima hasil yang tidak benar dengan akibat serius
yang panjang. Tes virologi HIV DNA kualitatif dianjurkan untuk diagnosis
bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang
merencanakan kehamilan dan persalinan. Tes HIV untuk anak umur kurang
dari 18 bulan dari ibu HIV-positif tidak dianjurkan dengan tes antibodi, karena
akan memberikan hasil positif palsu.

xv
1.5

Intervensi ARV Dan ART


Konseling adherence merupakan salah satu mata rantai dalam proses
pemberian ARV, sebelum pasien mendapatkan rencana pengobatan, pemberian
ARV dan pasien pulang dengan membawa ARV dan akan memulai pengobatan
untuk seumur hidup. Karakteristik dari virus HIV yang selalu bermutasi, mudah
terjadinya resisten jika pasien tidak minum dengan benar (mendapatkan ARV
yang tepat, rejimen yang tepat, dosis yang adekuat serta cara minum obat yang
benar), terbatasnya pilihan ARV yang ada di Indonesia serta pendanaan yang
terbatas, maka adherence mutlak harus dievaluasi sebelum seseorang diputuskan
dinyatakan memenuhi syarat secara medis dan non medis. Dalam proses
konseling, konselor mengevaluasi hambatan yang dapat menggangu kepatuhan
dan melakukan koreksi pada tiap pertemuan. Secara umum hambatan kepatuhan
terbagi menjadi 4, yaitu:

xvi
1. Hambatan yang berasal dari pasien baik kondisi fisik, mental, lingkungan
sekitar dan aspek sosial.
2. Hambatan yang berasal dari ARV termasuk diantaranya rejimen, interaksi
obat, efek samping obat.
3. Hambatan yang berasal dari sistem kesehatan konselor bekerja.
4. Hambatan yang berasal dari gejala sisa yang disebabkan oleh penyakit
oportunistik.
Pasien yang datang berobat terbagi menjadi dua yaitu pasien baru dan pasien
lama. Pada pasien baru akan dilakukan hal sebagai berikut :
1. Tes HIV.
2. Pemeriksaan klinis untuk mencari infeksi oportunistik, pemberian
kotrimoksasol profilaksis dan penentuan stadium.
3. Konseling adherence.
4. Pemberian ARV sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada pasien lama atau pasien yang telah mendapatkan ARV, pada setiap
kunjungan dilakukan:
1. Pengecekan cara pasien minum obat dan memastikan obat yang diberikan
diminum;
2. Evaluasi efek samping.
3. Pemeriksaan fisik oleh dokter untuk memastikan tidak lagi dijumpai infeksi
oportunistik.
4. Bantuan psikologis atau sosial lainnya jika dibutuhkan dan rumah sakit
mempunyai sarana dan jaringan kerja.
Evaluasi non medis dapat melibatkan kelompok dukungan sebaya terutama
pada
kasus putus obat, dimana petugas kesehatan tidak dapat melakukan jangkauan.
Peran petugas kesehatan dan konselor HIV dalam konseling adherence:
1. Pemberian informasi HIV, pencegahan dan konseling oleh konselor;.
2. Pemeriksaan kesehatan baik fisik maupun mental oleh team medis.
3. Penjelasan mengenai infeksi oportunistik yang diderita, pengobatan dan
pemberian kotrimoksasol untuk profilaksis oleh dokter.
4. Penjelasan untuk perawatan di rumah oleh perawat;
5. Penjelasan singkat oleh dokter tentang semua hal yang berkaitan dengan
rencana pemberian ARV termasuk di dalamnya penentuan rejimen, evaluasi
interaksi obat, penjelasan efek samping dan cara minum obat.
Tahapan dan kegiatan yang dilakukan dalam pemberian konseling adherence,
yaitu:
1) Tahap pertama
Pada pertemuan pertama konselor melakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Pengkajian di catatan medis untuk melihat apa saja tindakan yang telah
diberikan dan melihat rencana dokter untuk memberikan ARV.
2. Melakukan pengkajian singkat dan cepat untuk kondisi mental,
kepribadian dan kemungkinan pasien masih menggunakan napza.
3. Mengkaji pengertian dan persepsi pasien tentang penyakit yang diderita
dan informasi yang pernah diterima dari tim lain.

xvii
4. Mengkaji persepsi keluarga tentang kondisi yang diderita oleh pasien.
Jika keluarga pasien terlihat keberatan untuk merawat, dilakukan
konseling untuk merubah persepsi pihak keluarga dan persiapan untuk
melihat jejaring mana yang dapat diperkenalkan kepada pihak pasien dan
keluarga jika selama sesi keluarga masih keberatan untuk membantu
pasien.
5. Tidak mengulangi semua rangkaian proses agar pasien tidak bosan;
6. Meyakinkan pasien untuk aspek konfidensialitas tidak akan keluar dari
sistem pelayanan kesehatan.
Pengkajian cepat untuk evaluasi mental, dan kepribadian dilakukan dengan
cara anamnesa sederhana atau menggunakan STATUS MINI MENTAL (Mini
Mental State). Gangguan jiwa yang diderita bisa disebabkan karena efek napza
(narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya), karena penyakit infeksi
oportunistik dan karena beban mental yang disebabkan oleh status HIV yang
disandangnya. Gangguan jiwa yang sering terjadi dan perlu dianalisa adalah:
a. Anxietas;
b. Depresi;
c. Gangguan afektif;
d. Dual diagnosis, yaitu didapat:
1. gangguan jiwa diikuti penyalahgunaan zat
2. penyalahgunaan zat dengan gejala sisa patologis
3. diagnosis primer yang dual
4. keadaan beberapa etiolgi sekaligus.
e. Schizofrenia
f. Paranoid
g. Anti sosial
h. Obsesif kompulsif;
i. Gangguan kepribadian/personaliti.
Secara umum sulit untuk membedakan gangguan jiwa yang timbul akibat
napza dengan faktor psikologi, karena tampilan gejalanya sama. Jika pasien masih
aktif menggunakan napza, maka konselor merujuk kepada unit psikiatri atau
dokter yang telah terlatih untuk penanganan napza.
Napza dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
a. Golongan depresan: heroin, zat Aditif/obat-obat penenang
b. Golongan stimulan: cocain, derivat amphetamin (shabu, ekstasi);
c. Golongan halusinogen: alkohol, ganja, LSD, kecubung, jamur.
Narkotika yaitu :
a. Opiat: madat, candu, morfin, heroin;
b. Canabis: ganja, hashis;
c. Coca: kokain.
Obat psikotropika terbagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Golongan amphetamin: ekstasi (XTC), inex, shabu;
b. Golongan obat tidur: pil BK, mogadon, dan lain-lain;
c. Golongan oat penenang: Lexotan, Valium, dan lain-lain;
Zat Aditif yaitu :
a. Inhaler (thiner, lem, dan lain-lain)

xviii
b. Nikotin (rokok)
Beberapa hal yang harus selalu diingat adalah adanya interaksi dan efek
samping tumpang tindih antara ARV dan napza, seperti :
a. Evafirens (EFV) meningkatkan risiko depresi dan bunuh diri
b. Nevirapine (NVP) berisiko terjadinya hepatotoksisitas pada ODHA dengan
ko-infeksi HCV/HBV
c. Kenaikan konsentrasi Zidovudine (ZDV) 40% bila diberi bersama-sama
dengan metadon
d. Penurunan Didanosine (ddI) 60% dengan penggunaan bersama metadon
e. Penggunaan metadon dengan Rifampisin menurunkan kadar metadon 50%.
f. NVP, EVP dapat mengakibatkan putus zat opiat yang hebat pada beberapa
kasus karena penurunan efek metadon.
Jika dalam kajian awal didapat data bahwa pasien masih dalam kondisi
psikotik, depresi, cemas, gangguan maladaptif maupun gangguan kepribadian
lainnya termasuk penggunaan napza aktif maka pasien direncanakan untuk
dirujuk kepada tim yang berkompetensi yang tersedia di tempat konselor bekerja.
Jika dalam kajian awal pasien tidak didapat gangguan jiwa dan dievaluasi dapat
melanjutakan ke tahap kedua maka pada akhir sesi, konselor membuat jadwal
untuk kunjungan berikut dan memberikan gambaran apa yang akan dilakukan
pada tahap kedua.

1.6 Perawatan Komprehensif Odha


Yang dimaksud dengan layanan komprehensif adalah upaya yang meliputi
Upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk
layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif,
promosipenggunaan kondom, pengendalian faktor risiko, layanan Konseling dan
Tes HIV(KTS dan KTIP), Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP),
Pencegahan Penularandari Ibu ke Anak (PPIA), Pengurangan Dampak Buruk
NAPZA (LASS,PTRM, PTRB), layanan IMS, Pencegahan penularan melalui
darah donor dan produk darah lainnya, serta kegiatan monitoring dan evaluasi
serta surveilan epidemiologi di Puskesmas Rujukan dan Non-Rujukan termasuk
fasilitas
kesehatan lainnya dan Rumah Sakit RujukanKabupaten/Kota.
Yang dimaksud dengan layanan yang berkesinambungan adalah pemberian
layanan HIV & IMS secara paripurna, yaitu sejak dari rumah atau komunitas, ke
fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit dan kembali
ke rumah atau komunitas; juga selama perjalanan infeksi HIV (semenjak belum
terinfeksi sampai stadium terminal). Kegiatan ini harus melibatkan seluruh pihak
terkait, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok
dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh
masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat).
Layanan komprehensif dan berkesinambungan juga memberikan dukungan
baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial ODHA selama perawatan
dan pengobatan untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya. Puskesmas Rujukan (puskesmas terpilih yang memiliki sarana dan
tenaga tertetu sesuai dengan standar yang ditetapkan) dan Rumah Sakit Rujukan

xix
perlu didukung oleh ketersediaan pemeriksaan laboratorium di samping adanya
pusat rujukan laboratorium di kabupaten/kota (Labkesda) untuk pemeriksaan CD4
dan pusat rujukan laboratorium diprovinsi (BLK/fasilitas kesehatan lainnya),
untuk akses pemeriksaan viral load.
Permasalahan medis yang dihadapi ODHA dapat berupa infeksi oportunistik,
gejala simtomatik yang berhubungan dengan AIDS, ko-infeksi, sindrom pulih
imun tubuh serta efek samping dan interaksi obat ARV. Sedangkan masalah
psikologis yang mungkin timbul yang berkaitan dengan infeksi HIV adalah
depresi, ansietas (kecemasan), gangguan kognitif serta gangguan kepribadian
sampai psikosis. Masalah sosial yang dapat timbul pada HIV adalah diskriminasi,
penguciIan, stigmatisasi, pemberhentian dari pekerjaan, perceraian, serta beban
finansial yang harus ditanggung ODHA. Masalah psikososial dan sosioekonomi
tersebut sering kali tidak saja dihadapi oleh ODHA namun juga oleh keluarga dan
kerabat dekatnya. Sebagian dari kasus HIV berasal dari kelompok pengguna
NAPZA suntikan sehingga cakupan layanan pada ODHA tak dapat dilepaskan
dari pemasalahan yang timbul pada penggunaan NAPZA yaitu adiksi, overdosis,
infeksi terkait NAPZA suntikan, permasalahan hukum, dan lain-lain. Dengan
demikian cakupan layanan menjadi luas dan melibatkan tidak hanya layanan
kesehatan namun juga keluarga dan lembaga swadaya Masyarakat. Berdasarkan
pemaparan diatas berikut ada beberapa Langkah perawatan bagi ODHA yaitu :
1. Pencegahan, Pengobatan dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik (IO)
Pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan IO merupakan layanan
esensial dalam perawatan HIV yang optimal. Maka di dalam kerangka kerja
LKB, unit rawat jalan memberikan layanan pencegahan, pengobatan dan
tatalaksana IO. Dalam hal ini unit rawat jalan merupakan mata rantai LKB
atau sebagai titik penghubung utama ke layanan-layanan yang meliputi: KT
HIV, PPIA,Terapi ARV, diagnosis dan pengobatan TB, terapi substitusi
opioid, imunisasi hepatitis-B, keluarga berencana, layanan IMS, layanan
rawat inap, layanan dukungan psikososial Perawatan Berbasis Masyarakat
(PBM) dan Perawatan Berbasis Rumah (PBR). Peran ODHA sebagai
konselor atau manajer kasus menjadi sangat penting untuk kesuksesan mata
rantai LKB.
2. Terapi ARV
Ketersediaan obat ARV dan konseling kepatuhan merupakan masalah
esensial dalam LKB. Bagi ODHA, terapi ARV bukan hanya merupakan
komponen utama dalam layanan medis, namun merupakan harapan untuk
tetap hidup secara normal. Terapi ARV membantu untuk memulihkan
imunitas sehingga kuat untuk mengurangi kemungkinan IO, meningkatkan
kualitas hidup, serta mengurangi kesakitan dan kematian terkait HIV. Terapi
ARV tidak hanya terdiri atas pemberian obat ARV saja, namun termasuk
dukungan medis dan sosial untuk membantu klien mengatasi efek samping
obat dan menjaga kepatuhan klien pada terapi. Kepatuhan akan terjaga bila
semua pemberi layanan selalu mengulangi dan menyampaikan pesan yang
konsisten tentang kepatuhan minum obat tersebut. Kelompok pendukung
sebaya berperan kuat dalam memberikan konseling kepatuhan tersebut.
3. Pencegahan, Pengobatan dan Tatalaksana TB-HIV

xx
Diagnosis dan pengobatan dini TB pada ODHA akan memulihkan fungsi
imunnya dan menyembuhkan penyakit TB, yang merupakan pembunuh
nomor satu ODHA. Oleh karena itu layanan pengobatan TB harus juga
terhubung dan menjadi bagian dari layanan KT HIV. Tatalaksana klinis TB-
HIV akan lebih efektif bila diberikan oleh suatu tim yang terkoordinasi.
Dalam keadaan tertentu diperlukan rujukan ke layanan yang lebih spesialistik
seperti ke rumah sakit rujukan yang lebih tinggi di provinsi. Hal penting lain
yang perlu mendapat perhatian adalah mencegah ODHA agar tidak tertular
TB di fasyankes ketika mereka menjalani perawatan.

4. Dukungan Gizi
Dukungan gizi pada kehidupan sehari-hari ODHA merupakan strategi
penting untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA. Dalam LKB, petugas
Kesehata dapat memberikan konseling gizi dalam pertemuan kelompok atau
dukungan melalui pendidikan, suplemen makanan dan pemantauan gizi.
ODHA dan keluarganya mungkin juga perlu dukungan peningkatan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti perumahan,
makanan, transportasi. Dengan kerjasama lintas sektor program seperti ini
dapat dijalankan misalnya hibah kecil dari program Dinas Sosial setempat
untuk membantu mereka memulai usaha kecil dan mencari nafkah. Layanan
seperti ini belum banyak tersedia, baik melalui pemerintah atau LSM.
Program LKB dapat mengupayakan, mengidentifikasi layanan tersebut
melalui mekanisme koordinasi serta kemudian merujuk klien kepada layanan
tersebut. Pengelola LKB dapat menginisiasi forum kemitraan untuk para
mitra berpartisipasi dan menjalin jejaring rujukan yang lebih baik untuk
peningkatan dukungan sosial bagi klien ODHA miskin.
5. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif dapat mengurangi penderitaan ODHA dan
keluarganya dengan memeriksa dan mengobati nyeri ketika memberikan
dukungan psikososial atau spiritual untuk meningkatkan kualitas hidup
ODHA Perawatan paliatif sebagai pendukung pengobatan IO dan terapi ARV
diberikan sejak terdiagnosis HIV hingga kematian dan selama menjelang
kematian. Perawatan paliatif diberikan baik di rumah atau di rumah sakit
6. Dukungan Psikososial
Dukungan psikososial bertujuan untuk membantu ODHA dan
keluarganya atau mitra untuk mengatasi tantangan psikologis dan sosial dan
mempertahankan harapan mereka untuk hidup secara produktif, sebagai
anggota masyarakat yang terhormat. Para pendukung LKB perlu
mengadvokasi pengembangan layanan dukungan psikososial dan memastikan
bahwa mereka terhubung dalam mata rantai jejaring LKB. Dukungan
psikososial dapat berupa penyediaan konseling individu, keluarga dan
kelompok, layanan kesehatan mental dan dukungan sebaya.

1.7 Perawatan Anak Dengan HIV

xxi
Sebagaimana orang dewasa, seorang anak yang terkena virus HIV (Human
immunodefieciency virus) membutuhkan perawatan tepat agar dapat hidup sehat.
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Kondisi ini dapat
berkembang menjadi AIDS (acquired immune deficiency syndrome), sehingga
akan membuat anak rentan terkena berbagai penyakit.
HIV dapat menular melalui cairan tubuh, seperti darah, sperma, atau air susu
ibu (ASI). Penularan ini dapat terjadi pada masa kehamilan, melahirkan,
menyusui, berhubungan seks tanpa kondom, atau berbagi jarum suntik. Namun,
Virus HIV tidak menular melalui sentuhan. Biasanya seorang anak terjangkit HIV
akibat terinfeksi dari ibunya sendiri pada masa kehamilan, melahirkan, atau
menyusui. Anak yang terjangkit HIV menunjukkan berbagai tanda pelemahan
sistem kekebalan tubuh, seperti berat badan yang turun dan sulit naik, terus
menerus ruam di badan, pembengkakan kelenjar getah bening, diare yang kronis,
sariawan yang kronis, dan demam yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, anak yang terjangkit HIV perlu mendapat perawatan yang
tepat. Bila tidak, seorang anak bisa terdampak penyakit yang serius akibat HIV
tersebut, yaitu AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Bila sudah
berkembang ke AIDS, ia akan memiliki imunitas yang sangat lemah dan akan
lebih berisiko terkena penyakit lain yang lebih serius. Anak yang terjangkit HIV
sudah berkembang ke AIDS, biasanya akan menunjukkan gejala penurunan berat
badan yang sangat cepat dan drastis, infeksi paru-paru (pneumonia), sarkoma
kaposi, dan limfoma (kanker di sel-sel sistem kekebalan tubuh). Penderita HIV
pada anak dan dewasa berbeda. Pada orang dewasa, sistem kekebalan tubuhnya
sudah lebih matang, sedangkan sistem kekebalan tubuh anak masih berkembang.
Dengan begitu, meski mengonsumsi obat-obatan HIV, anak penderita HIV lebih
mungkin mengalami infeksi bakteri dibandingkan dengan orang dewasa. Berikut
beberapa langkah perawatan yang bisa dilakukan untuk merawat anak menderita
HIV/AIDS :
1. Konsumsi obat khusus pasien HIV
Memberikan pengobatan sedini mungkin dapat mencegah anak
penderita HIV AIDS dari kerusakan yang lebih parah. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan bahwa semua anak penderita
HIV yang berusia di bawah lima tahun dan anak penderita HIV di atas usia
lima tahun dengan jumlah sel CD4 kurang dari 500 perlu mendapat
pengobatan khusus HIV. Konsultasikan ke dokter Anda untuk pemberian
obat ini.
2. Hindari anak dari stres
Meski menderita HIV/AIDS, Anda tidak boleh lupa bahwa dia perlu
memiliki pengalaman kecil yang berharga sebagaimana anak kecil
lainnya. Hal ini perlu untuk menghindari stres pada anak Anda akibat dari
perawatan yang terus menerus dilakukan.
3. Nutrisi yang baik
Berikan anak makanan bergizi. Hal ini akan membantunya memberi
energi dan dukungan sistem kekebalan tubuh yang dibutuhkan agar tetap
sehat. Berikan anak tiga kali makan seimbang sehari dan camilan sehat.
Mengenai jenisnya, kamu bisa tanyakan kepada dokter atau ahli gizi anak.

xxii
Ahli diet juga bisa membantu jika si kecil memiliki masalah makan atau
makan khusus, seperti sariawan, yang membuat makan terasa sakit.
4. Perawatan kulit
Ketika anak mengalami ruam atau luka, kulitnya terbuka terhadap
kuman dan dapat terinfeksi. Merawat kulit anak dengan baik membantu
mencegah infeksi dan dapat membantu menjaga kesehatannya. Jika terjadi
luka ringan, bersihkan dan oleskan salep antibiotik. Tutupi sedikit dengan
perban agar tidak terinfeksi. Kenakan sarung tangan untuk mencegah
kontak dengan darah anak saat merawat luka. Jaga kebersihan kulit
dengan mencuci setiap hari menggunakan sabun lembut dan air. Jaga
kesehatan area kulit kering dengan mengoleskan krim pelembap setiap
hari.
Segera bicarakan dengan penyedia layanan kesehatan anak jika kamu
melihat ruam atau luka atau luka yang tidak biasa, atau jika luka tidak
sembuh secara normal. Ruam popok atau bercak putih di mulut anak
mungkin memerlukan perawatan tambahan. Oleskan tabir surya dan obat
nyamuk pada anak setiap kali mereka bermain di luar ruangan dengan
kulit terbuka.
5. Istirahat dan relaksasi
Kelelahan dan stres dapat membuat anak lebih mudah sakit.
Pertimbangkan hal berikut untuk memastikan anak mendapatkan istirahat
dan relaksasi yang dibutuhkan. Pastikan anak tidur setidaknya delapan
jam atau lebih setiap malam.

xxiii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penderita HIV/AIDS seringkali tidak mau membuka status mereka ke orang
lain karena mereka takut dan khawatir orang-orang akan menjauhi bahkan
mengucilkan mereka dari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya bagi mereka yang
bersedia untuk open status, biasanya mereka yang telah mendapatkan dukungan dari
keluarga dan teman-teman dekat mereka, sehingga mereka tidak khawatir akan
pengakuan keberadaan mereka.
Untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA
perlu diadakannya penyuluhan dan edukasi yang benar tentang apa itu HIV/AIDS dan
bagaimana cara penularannya sehingga masyarakat tidak perlu sampai mengucilkan
ODHA tetapi justru dapat memberikan dukungan dan motivasi kepada mereka untuk
dapat bertahan hidup dan berdaya di lingkungan masyarakat.

B. Saran
Masyarakat membutuhkan edukasi tentang bahaya penyakit HIV/AIDS dan
bagaimana cara penularannya yang benar agar stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA dapat diluruskan. Untuk itu perlu diadakannya seminar dan penyuluhan
tentang HIV/AIDS serta diselenggarakannya acara testimonial dari para ODHA untuk
pelajar dan mahasiswa.

xxiv
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2012. Pedoman penerapan layanan komprehensif HIV-IMS


berkesinambungan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Pengembangan Jejaring Layanan Dukungan, Perawatan, Pengobatan HIV
AIDS. 2007 (DepKes, 2007)
Kemenkes RI. Tes Dan Konseling Hiv Terintegrasi Di Sarana Kesehatan / Pitc.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI. 2018. Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal
Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi Remaja Pada Krisis Kesehatan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal
Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi Remaja Pada Krisis Kesehatan.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI

xxv

Anda mungkin juga menyukai