Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PERKEMBANGAN SISTEM EKONOMI INDONESIA

DARI MASA KE MASA

Disusun Oleh:
KETUA : Abidin Febriansyah Putra ( 2201110 )
SEKERTARIS : Mutia Nur Anisa ( 2201069 )
PEMAPAR : NurLaila Wahyu Amalia ( 2201063 )
Salma Zanatul Imaroh ( 2201065 )
Yohana Marlita Dewi ( 2201067 )
MODERATOR : Rizqika Nurfitriyanti ( 2201064 )
ANGGOTA : Rosyid Zaenal Abidin ( 2201118 )
Nursodik ( 2301084 )

Kelas Manajemen B

STIE TAMANSISWA BANJARNEGARA


Alamat : Jl. Mayjend. Panjaitan No. 29 Banjarnegara 53414 Telp./Fax (0286) 595043

Email: stietambara@stietsbanjarnegara.ac.id, Website: http://stietsbanjarnegara.ac


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Perkembangan Sistem Indonesia dari Masa ke Masa.

Makalah ini kami susun dengan mengacu pada beberapa sumber yang telah kami baca,
yaitu pada media online yang dapat kami pertanggungjawabkan serta sebagai tugas mata
kuliah Perekonomian Indonesia.

Terlepas dari itu semua kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari segi
kalimat, maupun dari segi tata bahasa. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan
saran yang membangun.

Akhir kata kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat serta dapat memberi
inspirasi bagi pembacanya, terutama bagi generasi muda.

Banjarnegara, 23 Desember 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................................i
BAB I.......................................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH...............................................................................................................1
1.3 TUJUAN PENULISAN.................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................................................2
2.1 PENGERTIAN SISTEM EKONOMI...........................................................................................2
2.2 PERKEMBANGAN SISTEM EKONOMI INDONESIA............................................................2
BAB III..................................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap negara memiliki suatu sistem ekonomi yang diterapkan berdasarkan
situasi dan kondisi yang ada di negara tersebut. Oleh sebab itu, sistem ekonomi
setiap negara bisa jadi berbeda-beda.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di


dunia, memiliki sejarah ekonomi yang panjang dan beragam. Indonesia sebagai
negara yang kaya akan keanekaragaman sumber daya alam telah mengalami
transformasi sistem ekonomi yang signifikan sepanjang sejarahnya.

Di dalam makalah ini kami akan membahas perkembangan sistem ekonomi


Indonesia dari masa kolonial hingga era modern. Indonesia, sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, memiliki sejarah ekonomi yang panjang dan beragam.
Sistem perekonomian Indonesia, dari sejak awal sudah dirumuskan oleh para pendiri
bangsa ini yang tercantum dalam UUD ’45.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan sistem ekonomi?
2. Bagaimana perkembangan sistem ekonomi Indonesia dari masa ke masa?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Makalah ini bertujuan sebagai bahan pelajaran
2. Memberikan gambaran mengenai perkembangan sistem ekonomi Indonesia
dari masa ke masa
3. Sebagai bukti tugas terstruktur dari dosen pengajar mata kuliah Ekonomi
Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SISTEM EKONOMI


Sistem ekonomi adalah suatu cara untuk mengatur segala kegiatan perekonomian
dalam masyarakat baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

Menurut Gilarso (1992:486) sistem ekonomi adalah keseluruhan tata cara untuk
mengoordinasikan perilaku masyarakat (para konsumen, produsen, pemerintah, bank,
dan sebagainya) dalam menjalankan kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi,
investasi, dan sebagainya) sehingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan dinamis, dan
kekacauan dapat dihindari.

2.2 PERKEMBANGAN SISTEM EKONOMI INDONESIA


Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra
Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua.
Salah satu jalur sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui
selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah
ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur).

Perdagangan maritim antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad
pertama sesudah masehi, begitu pula hubungan Indonesia dengan wilayah lain di Barat
(Kekaisaran Romawi). Perdagangan pada masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut
oleh Van Leur bersifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja dalam perdagangan
sangat besar.

Keberhasilan suatu negara dinilai dari luas wilayahnya, pendapatan per tahun, dan
ramainya pelabuhan. Hal ini disebabkan, oleh kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan
tersebut. Kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatra bersumber dari perniagaan, sedangkan
di Jawa keduanya bersumber dari pertanian dan perniagaan. Pada masa prakolonial,
pelayaran perniagaan yang cenderung lebih dominan. Namun, dapat dikatakan bahwa di
Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini.

2
Setelah masa kerajaan-kerajaan Islam, Perekonomian Indonesia dapat dibagi
menjadi lima masa, Masa Pemerintahan (Orde Lama) Soekarno, Masa Pemerintahan
(Orde Baru) Soeharto, Masa Pemerintahan Trans Habibie-Gusdur-Megawati, Masa
Pemerintahan Orde Raformasi SBY, dan Masa Pemerintahan Joko Widodo.

1. Perkembangan Indonesia pada Masa Orde Lama (1945-1966)


Sebagai akibat dari dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, Indonesia menerapkan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur perekonomian Indonesia mengarah pada
sistem etatisme (semua diatur oleh pemerintah). Sistem ini diharapkan akan
mengarah pada pemerataan kesejahteraan bersama dalam bidang sosial, politik, dan
ekonomi (Mazhab Sosialisme). Namun kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah
pada saat itu belum mampu memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia.
1) Devaluasi yang diumumkan pada tanggal 25 Agustus 1959 menurunkan nilai
uang sebagai berikut: Uang kertas pecahan Rp500 menjadi Rp50, uang kertas
pecahan Rp1000 menjadi Rp100, dan semua simpanan di bank yang melebihi
25.000 dibekukan.
2) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Pada pelaksanaannya, hal ini justru
mengakibatkan stagnasi perekonomian Indonesia. Bahkan pada tahun 1961-
1962 harga barang meningkat sebesar 400%.
3) Devaluasi yang dilakukan pada tanggal 13 Desember 1965 menjadikan uang
senilai Rp1000 menjadi Rp1 sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai
Rp1000 kali lipat uang rupiah lama, namun di masyarakat uang rupiah baru
hanya dihargai 10 kali lipat. Oleh karena itu pemerintah mengambil tindakan
menekan inflasi yang justru meningkatkan inflasi.

Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk.


Kegagalan dalam berbagai tindakan moneter diperparah dikarenakan pemerintah
tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Terjadinya pengeluaran besar-
besaran yang tidak ditujukan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,
melainkan dalam bentuk pengeluaran militer untuk biaya konfrontasi Irian Barat,
impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana revolusi) untuk membalas jasa
teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa. Perekonomia juga diperparah dengan
terjadinya tingginya inflasi sebesar 650%. Selain itu, Indonesia mulai terkucilkan

3
secara sosial di dunia internasional dan mulai mendekatkan diri ke negara-negara
komunis.

2. Perkembangan Indonesia pada Masa Orde Baru (1966-1998)


Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, pembangunan dan perkembangan di
Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Di antara berbagai sektor yang
paling terlihat adalah pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan, infrastruktur,
dll. Karena pada awalnya program Orde Baru diciptakan untuk menyelamatkan
perekonomian nasional, inflasi, penyelamatan uang negara, serta pengamanan
kebutuhan pokok rakyat. Karena pada awal tahun 1966 tingkat inflasi di Indonesia
meningkat sebesar 650% dalak setahun. Masalah inilah yang menjadikan
pembangunan di Indonesia mengalami kendala yang telah terancang oleh pemerintah.

Setelah itu keluar yaitu ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaharuan


kebijakan ekonomi, keuangan, serta pembangunan. Sehingga kabinet ampera yang
pada saat itu mempunyai kewenangan melaksanakan kebijakan ekonomi, keuangan,
dan pembangunan. Secara dramatis pada masa pemerintahannya Presiden Soeharto
turut mengubah politik dalam dan luar negeri Indonesia, seperti halnya ialah ketika
Indonesia bergabung kembali dengan PBB dengan maksud dan tujuan untuk
melanjutkan bekerja sama. Lalu membuat beberapa kebijakan yang mengacu pada tap
MPRS tersebut, antara lain:
1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang
menyebabkan kemacetan, seperti:
 Rendahnya penerimaan negara,
 Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara
 Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank,
 Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaab devisa bagi
impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian

2) Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian


3) Berorientasi pada kepentingan produsen kecil. Untuk melaksanakan langkah-
langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
 Mengadakan operasi pajak

4
 Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan
kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak
orang.

Pemerintah pada zaman Orde Baru juga menerapkan pola umum jangka
panjang (25-30 tahun) yang dikenal dengan istilah Pelita dimana pelaksanaannya
mencapai 6 kali (pelita I – VI). Perkembangan perekonomian Indonesia pada
masing-masing pelita adalah sebagai berikut:

PELITA I

Pelita I dimulai pada tanggal 1 April 1969 – 31 Maret 1974. Pelita ini menekankan
pada pembangunan bidang pertanian. Hampir seluruh target di sektor produksi
berhasil dicapai, bahkan produksi beras meningkat 25%. Tujuan Pelita I adalah
untuk menaikkan taraf hidup masyarakat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar yang
kuat bagi pembangunan nasional dalam tahap-tahap berikutnya.

PELITA II

Pelita II dimulai pada tanggal 1 April 1974 – 31 Maret 1979. Pelita II menekankan
pada peningkatan standar hidup bangsa Indonesia. Tujuan tersebut dilaksanakan
dengan tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
menyejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.

PELITA III

Pelita III dimulai pada tanggal 1 April 1979 – 31 Maret 1984. Pelita III menekankan
pada sektor pertanian untuk mencapai swasembada pangan dan pemantapan industri
yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Pelita ini meningkat 274%
dibandingkan pelita sebelumnya. Rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan
tinggal 26,9% dari jumlah penduduk tahun 1980.

PELITA IV

Pelita IV dimulai pada tanggal 1 April 1984 – 31 Maret 1989. Pelita IV menekankan
pada sektor pertanian untuk mempertahankan swasembada pangan sekaligus
meningkatkan industri yang dapat memproduksi untuk industri ringan maupun berat.
Penduduk yang hidup di garis kemiskinan hanya 16,4% pada tahun 1987.

5
PELITA V

Pelita V dimulai pada tanggal 1 April 1989 – 31 Maret 1994. Pelita V menekankan
pada sektor industri yang didukung oleh pertumbuhan yang mantap di sektor
pertanian.

PELITA VI

Pelita VI dimulai pada tanggal 1 April 1994 – 31 Maret 1999. Pelita VI merupakan
awal pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJPT II). Pada tahap ini bangsa
Indonesia memulai proses kebangkitan menuju terwujudnya masyarakat yang maju,
adil, dan mandiri. Pelita VI menitikberatkan pada sektor perekonomian untuk
mengaitkan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya guna
meningkatkan kualitas tenaga kerja.

Orde baru memilih perbaikan dan pembangunan di bidang ekonomi dengan tujuan
utama menempuh kebijakan melalui struktur administrasi yang didominasi oleh
militer, namun dengan masukan ekonomi dari para ahli barat.

Meski berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan mengentaskan


kemiskinan, Orde Baru juga menimbulkan beberapa permasalahan ekonomi yang
pada akhirnya berujung pada akhir periode. Masalah-masalah Orde Baru antara lain:

1. Ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar antara golongan kaya dan
miskin, antara pulau Jawa dan Luar Jawa, dan antara sektor formal dan
informal.
2. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di berbagai lini
pemerintahan dan bisnis yang mengakibatkan kerugian negara dan inefisiensi
ekonomi
3. Ketergantungan ekonomi terhadap utang luar negeri yang semakin besar dan
berisiko terhadap fluktuasi nilai tukar dan suku bunga internasional.
4. Krisis moneter dan keuangan Asia yang melanda Indonesia pada tahun 1997-
1998 yang menyebabkan anjloknya nilai rupiah, inflasi tinggi, gagal bayar
perbankan dan korporasi, serta kontraksi ekonomi.

6
3. Perkembangan Indonesia pada Masa Pemerintahan Trans
(BJ Habibie)
Maju menggantikan Presiden Soeharto yang lengser pada tanggal 20 Mei
1998, Bacharuddin Jusuf Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden
menghadapi pekerjaan rumah yang besar salah satunya adalah kondisi perekonomian
yang memprihatinkan sehingga berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah.
Untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintahan BJ Habibie telah mengambil
sejumlah langkah kebijakan penting. Di bidang moneter, mulai dari pengendalian
jumlah uang beredar, manaikkan suku bunga Sertifikat BI menjadi 70% dan
penerapan bank sentral independen. Di sektor perbankan, diterbitkan obligasi senilai
Rp650 triliun untuk menalangi bank, menutup 38 bank, dan mengambil alih 7 bank.
Selain itu, sebagai tindak lanjut dari krisis ekonomi, Indonesia memutuskan
untuk mendapatkan pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Program IMF
ini dimulai dengan pendatanganan Letter Of Intent (LOI) yang pertama pada akhir
oktober 1997, yang berlanjut hingga Desember 2003. Pada periode ini, empat
presiden yang berbeda melaksanakan sejumlah program reformasi ekonomi dengan
hasil berbeda dan beragam. Reformasi ekonomi pada periode pasca krisis sebagian
besar didorong oleh reformasi program yang ditetapkan IMF sebagai syarat untuk
menerima bantuan.
IMF mensyaratkan agenda reformasi struktural, sejumlah langkah menuju
stabilisasi makroekonomi dan peningkatan kesehatan sistem keuangan. Persyaratan
IMF juga mencakup penghapusan monopoli cengkih, serta penghapusan segala
bentuk subsidi pemerintah untuk industri yang dianggap tidak layak secara ekonomi,
seperti proyek mobil nasional Timor dan industri pesawat terbang.
Sejumlah langkah reformasi tersebut menghadapi tantangan besar, karena melibatkan
orang-orang dekat Presiden Soeharto. Meski demikian, langkah tersebut diperlukan
sebagai upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat dan pasar terhadap
pemerintah.
Pada bulan Juli 1998, persetujuan terhadap program bantuan IMF yang baru
disetujui, dan kali ini melibatkan strategi restrukturisasi korporasi serta program
restrukturisasi perbankan yang lebih luas. Namun pada masa B.J Habibie, terjadi
skandal Bank Bali. Pemerintah menolak mengumumkan hasil audit Bank Bali kepada

7
masyarakat, sesuai permintaan IMF, yang berakibat terhentinya sementara program
IMF pada bulan September 1999.
Program IMF sangat penting untuk mendukung agenda perekonomian yang
terstruktur dan sentral pada masa pemerintahan yang cenderung kacau dan sering
berubah-ubah. Program ini juga mencakup sejumlah reformasi yang bertujuan untuk
memperkuat kerangka kelembagaan untuk memastikan transparansi, persaingan yang
sehat, dan kerangka hukum dan peraturan yang lebih kuat. Termasuk dalam langkah
tersebut adalah reformasi penataan kembali sistem kepailitan, serta pembentukan
Pengadilan Niaga. Inisiatif lainnya adalah diterbitkannya Undang-undang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU persaingan usaha) pada
bulan Maret 1999, serta pemberian status independensi kepada Bank Indonesia
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
Kebijakan BJ Habibie lainnya adalah dengan mengesahkan undang-undang
yang mendorong efisiensi kegiatan ekonomi Indonesia, meskipun hasilnya tidaklah
signifikan tetapi pertumbuhan ekonomi masyarakat yang sebelumnya mencapai angka
-7,7% nyatanya bisa meningkat hingga 5%. Krisis perekonomian yang diawali
dengan anjloknya nilai tukar sekitar bulan Juli 1997 menjadi faktor utama mengapa
Undang-Undang tersebut disusun, dimana menjadi Undang-Undang pertama yang
secara eksplisit atau tertulis menerangkan keberadaan Bank Indonesia sebagai
lembaga Independen. Dengan independensi tersebut diharapkan Bank Indonesia dapat
menjadi lembaga yang menjaga stabilitas moneter untuk mendorong pembangunan
ekonomi berkelanjutan.

Kebijakan selanjutnya adalah menjadikan badan penasehat perbankan nasional


atau BPPN, serta lembaga yang bertugas memantau dan menyelesaikan hutang luar
negeri Indonesia serta perbaikan kebijakan fiskal dan moneter lainnya tetap
digalakkan dengan sebaik-baiknya. Dalam meningkatkan perekonomian nasiaonal,
Presiden B.J Habibie telah melakukan beberapa hal, antara lain: rekapitulasi sistem
perbankan, merekonstruksi perekonomian nasional yang ada, melikuidasi bank yang
memiliki masalah, serta menaikkan nilai tukar rupiah yang menurun.

8
Ada pengesahan Undang-Undang mengenai perbankan yakni perubahan UU
No. 7 Tahun 1992 menjadi UU No. 10 Tahun 1998. Ada pula kebijakan terhadap Bank
Indonesia dimana menurut Presiden B.J Habibie yang didasarkan pada UU No.13
Tahun 1968, tugas BI adalah sebagai lembaga yang membantu tugas presiden dalam
pelaksanaan kebijakan moneter, sehingga gubernur Bank Indonesia dapat dianggap ex
officio kabinet yang juga berlaku untuk jabatan jaksa agung. Sehingga Presiden B.J
Habibie menyusun dan mengesahkan undang-undang tentang perbankan agar bank
dapat memaksimalkan keberadaan dan tugasnya, yakni UU No.23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga
independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak-pihak yang lain.
Hal tersebut memiliki dampak yang baik sebab independensi ini mampu menciptakan
peningkatan kurs rupiah terhadap dolar AS yang sebelumnya menurun drastis.
Presiden B.J Habibie juga memberikan kebebasan kepada WNA atau Badan Hukum
Asing dapat mendirikan Bank Umum dengan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia, hal ini tertuang dalam Pasal 22 ayat (1) buruf b.

Ditambah lagi, dengan adanya kebijakan yang melarang monopoli dalam


perekonomian nasional dengan menetapkan undang-undang yang melarang monopoli
menciptakan kondisi perekonomian yang lebih baik dari sebelumnya. UU No. 5
Tahun 1999 tentang larangan praktek politik dan persaingan tidak sehat dan UU No. 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, meski belum optimal, namun
menunjukkan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan Undang-
Undang tersebut mengurangi keuntungan pribadi dari perusahaan yang dikelola secara
independen serta mengurangi pengelolaan pasar secara otoriter, hal ini jelas
menguntungkan kelompok kecil, sehingga Presiden B.J Habibie lebih disukai dari
pada Presiden Soeharto. Namun bukan berarti pelarangan ini seratus persen baik bagi
kepemimpinan Presiden B.J Habibie, sebagian masyarakat masih menganggap masih
menganggap keberadaan Presiden B.J Habibie sebagai Presiden bayangan Soeharto
yang menjadilan masyarakat sulit untuk mempercayai beliau.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inti dari reformasi ekonomi yang
dilakukan Presiden B.J Habibie merupakan perbaikan atas krisis ekonomi moneter
yang terjadi pada masa Orde Baru dan membawa perekonomian yang lebih baik ke
dalam perekonomian nasional di masa depan. Kebijakan yang ada bertujuan untuk
mengendalikan kekacauan perekonomian agar mencapai keseimbangan dan dapat

9
berjalan dengan lancar, yang selama ini banyak menuai pro dan kontra karena jabatan
B.J Habibie dianggap tidak sah sebagai presiden atau pendapat dirinya yang
merupakan bagian dari Orde Baru. Namun pada masa kepemimpinan Presiden B.J
Habibie juga mempunyai kelemahan yaitu daya beli masyarakat Indonesia mengalami
penurunan yang signifikan, selain itu tingginya risiko bisnis dalam negeri yang
menyebabkan pemulihan kepercayaan terhadap perekonomian akan berjalan lambat.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan tersebut, kebijakan-kebijakan yang ada telah
memberikan dampak yang baik dan membuka peluang ekonomi yang lebih luas di
masa depan dan untuk generasi berikutnya.

(Abdurrahman Wahid)

Selanjutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden pada


Oktober tahun 1999. Perjanjian ketiga dengan IMF ditandatangani pada bulan Januari
2000 dan berlanjut hingga Desember 2002. Program baru ini melibatkan agenda
jangka menengah yang terdiri dari empat aspek: kerangka makroekonomi jangka
menengah, restrukturisasi kebijakan, reorganisasi lembaga-lembaga ekonomi, serta
peningkatan sumber daya alam.

Kerangka makroekonomi menjelaskan pemulihan sekaligus menjaga stabilitas


tingkat harga program. Namun implementasi program tersebut cukup lambat meski
telah dilakukan beberapa kali reshuffle kabinet. Selanjutnya, Presiden Abdurrahman
Wahid terjerat oleh beberapa permasalahan governance, serta skandal Bulog yang
menyebabkan turunnya beliau dari jabatannya. Akibatnya, pencairan pinjaman IMF
menjadi tertunda. Penyebab lainnya adalah buruknya implementasi dari langkah-
langkah reformasi yang dilakukan tim ekonomi pemerintah saat itu, yang justru
menentang keterlibatan IMF dalam pemulihan krisis.

Pemerintahan Gus Dur menghadapi dua permasalahan utama dalam


pelaksanaan program reformasi, seperti:

 Program ini mencakup sejumlah permasalahan yang timbul dari kebutuhan


reformasi struktural.
 Kapasitas pemerintah dalam melaksanakan program cenderung terbatas,
karena permasalahan seperti kurangnya koordinasi antar menteri

10
perekonomian dan konflik antara pemerintah dan Bank Indonesia yang baru
mendapat status independen.
 Desentralisasi (otonomi daerah) serta memburuknya hubungan pemerintah
dengan parlemen juga membuat reformasi ekonomi pada periode ini kurang
berjalan mulus

Meski mempunyai peran penting dalam melaksanakan kebijakan pemulihan


ekonomi (karena lemahnya tim ekonomi di kabinet saat itu), Presiden Gus Dur kurang
mampu menunjukkan kepemimpinan yang efektif di bidang perekonomian. Untuk
menangani krisis, sejumlah institusi baru dibentuk, antara lain Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN), Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Indonesia,
serta Jakarta Initiative Task Force. Bersama Bank Indonesia, Kementerian Keuangan,
dan Menteri Negara Investasi serta Pemberdayaan BUMN, ‘institusi krisis’ tersebut
bertanggung jawab dalam melakukan restrukturisasi kredit, yang merupakan salah
satu langkah terpenting dalam pemulihan ekonomi. Pasa Juli 2001 Presiden Gus Dur
digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

(Megawati)

Tim ekonomi Presiden Megawati kembali memperbaiki hubungan dengan


IMF, yang berujung pada sejumlah perjanjian dengan IMF untuk memperbarui
program bantuan IMF sempat dihentikan. Tim ekonomi Megawati cukup terbuka dan
mendukung program IMF. Stabilitas politik berhasil dibangun kembali di bawah
pemerintahan Megawati. Namun, implementasi program reformasi ini berjalan cukup
lambat, sebagian disebabkan oleh kurangnya kapasitas implementasi, sebuah
permasalahan yang sudah ada sejak masa pemerintahan Gus Dur.

Sejak pertengahan tahun 2002, opini masyarakat mulai terbentuk agar


pemerintah tidak melanjutkan program bantuan IMF setelah selesai pada akhir tahun
2003. Saat itu, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang terkena dampak krisis
keuangan tahun 1997-98, yang hingga saat ini masih terus berlanjut. menerima
bantuan IMF. Pada bulan Juli 2003, pemerintah mengumumkan bahwa program
bantuan IMF tidak dilanjutkan. Oleh karena itu, pemerintah membentuk tim antar-
lembaga yang menyusun exit strategy yang mempertimbangkan hal-hal seperti

11
financing gap, yang terkait dengan dampak negatif dari sentimen pasar, ketika
program IMF berakhir. Keputusan untuk mengakhiri program bantuan IMF
dipengaruhi oleh semakin dekatnya pemilihan umum, serta meningkatnya sentimen
nasionalisme di dunia politik dan masyarakat. Pada tanggal 10 Desember 2003,
pemerintah menandatangani LOI terakhir dengan IMF.

Sebagai persiapan berakhirnya program bantuan IMF, pada 15 September 2003


pemerintah menerbitkan ‘Paket Kebijakan Ekonomi Pra- dan Pasca- IMF’, yang juga
dikenal sebagai “white paper”. Paket kebijakan ini diterima dengan baik oleh
masyarakat dan pasar. Secara umum, peran penting paket kebijakan adalah untuk
menjamin reformasi kebijakan pemerintah, khususnya pada masa pemilu. Cakupan
White Paper cukup beragam, bahkan menurut beberapa pengamat lebih luas dan
ambisius dibandingkan program bantuan IMF. Namun paket kebijakan ini dihasilkan
pemerintah Indonesia dengan masukan dari pihak swasta, setelah juga berkonsultasi
dengan sejumlah ekonom independen. Program pemerintah ini menciptakan rasa
kepemilikan yang lebih tinggi (karena tidak didikte oleh IMF atau asing), yang sangat
berguna dalam meningkatkan komitmen pemerintah untuk melaksanakannya, serta
meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara Kementerian Keuangan dan Bank
Indonesia.

Pemerintahan Megawati cukup berhasil membangun stabilitas makroekonomi,


antara lain karena pengembangan kelembagaan, independensi Bank Indonesia dalam
mengambil kebijakan moneter, serta penataan ulang Kementrian Keuangan (di bawah
UU No 17 tentang Keuangan Negara) untuk menerapkan disiplin fiskal. Namun,
pemerintahan Megawati kurang berhasil dalam melaksanakan reformasi ‘mikro’ yang
dijabarkan dalam Buku Putih, khususnya dalam hal perbaikan iklim investasi, yang
ditandai dengan tercatatnya investasi asing langsung yang negatif pada paruh pertama
tahun 2004.

Dengan berakhirnya program bantuan IMF, Indonesia menyetujui pemantauan


pemantauan pasca-program (Post program dialogue) dengan IMF, dimana tim IMF
akan datang dua kali setahun untuk memantau perkembangan reformasi ekonomi
yang dicanangkan dalam White Paper tahun 2004. Tidak hanya IMF, upaya
pemantauan reformasi ekonomi juga dilakukan oleh Kadin Indonesia yang

12
membentuk tim pemantau independen yang bekerja sama dengan beberapa kamar
dagang luar negeri di Indonesia dan ekonom independen.

Tim pemantau independen mengidentifikasi sejumlah isu kebijakan utama


yang menjadi perhatian dunia usaha, yaitu perbaikan iklim investasi dan dunia usaha
(khususnya reformasi hukum/ legal), reformasi administrasi perpajakan, reformasi
Bea Cukai, penyusunan peraturan pelaksana UU Ketenagakerja yang baru, serta
sejumlah langkah perbaikan kondisi infrastruktur (energi, listrik, telekomunikasi, dan
transportasi).

Cukup sulit bagi masyarakat untuk menilai apakah sejumlah peraturan dan
kebijakan yang dikeluarkan serta reformasi benar-benar diterapkan di lapangan.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Megawati berhasil
menjaga stabilitas makroekonomi. Peningkatan kinerja pada sektor finansial dapat
dikatakan beragam (mixed). Pertumbuhan kredit masih lambat, namun hal ini antara
lain disebabkan kesulitan di sektor riil serta kurang berhasilnya pemerintah untuk
memperbaiki iklim investasi. Pada awal 2004, perhatian publik sudah mulai teralih ke
pemilihan presiden, dimana Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi presiden
berikutnya.

4. Perkembangan Indonesia pada Masa Pemerintahan Orde Reformasi


(2004-2014)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari pentingnya pembangunan
infrastruktur bagi perekonomian. Oleh karena itu, pemerintah mengadakan
Infrastructure Summit pada bulan Januari 2005 untuk menarik partisipasi swasta
dalam pembangunan infrastruktur. Meski demikian, upaya ini kurang berhasil karena
kegagalan pemerintah dalam melaksanakan reformasi dan menghasilkan peraturan
yang diperlukan untuk memperbaiki iklim investasi infrastruktur. Kemunduran
tersebut salah satunya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi pada bulan Desember
2004 untuk membatalkan UU kelistrikan yang baru, yang berusaha untuk membuka
persaingan dengan swasta di sektor tersebut.
Akibatnya, Indonesia terus mengalami defisit infrastruktur pada masa
pemerintahan SBY. Hill (2015) mencatat bahwa meskipun sejumlah upaya reformasi
telah dilakukan untuk mendorong pembangunan infrastruktur (misalnya melalui
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI),

13
namun kenyataannya kemajuan yang dicapai cukup mengecewakan. Indonesia
tertinggal dibandingkan negara pesaing dalam beberapa indikator kualitas,
infrastruktur dan logistik. Jumlah investasi pada infrastruktur baru jauh dari yang
dibutuhkan dan terhambat oleh banyak hambatan peraturan, sehingga menyebabkan
perekonomian Indonesia sangat terpuruk dan sangat tidak efisien.
Sementara itu, untuk memperbaiki iklim investasi, pada bulan Februari 2006,
pemerintah mengeluarkan paket reformasi kebijakan, yang merupakan langkah
reformasi ekonomi yang lebih sistematis. Tiga karakteristik utamanya adalah:
- Bersifat top-down ketimbang bottom-up
- Memiliki tujuan dan jangka waktu yang spesifik serta Institusi pelaksana
reformasi yang ditunjuk secara khusus
- Untuk masing-masing reformasi, terdapat sub-reforms yang lebih spesifik
dengan target yang terukut dan langkah aksi yang konkrif

Paket kebijakan ini cukup luas, meliputi 85 usaha reformasi, yang antara lain
mencakup UU Penanaman Modal yang baru, UU Perpajakan yang baru, serta
amandemen UU Bea Cukai dan revisi UU Ketenagakerjaan. Hingga akhir 2006, baru
35 dari 85 langkah kebijakan yang telah diselesaikan. Namun kebijakan reformasi ini
kurang efektif penerapannya, antara lain disebabkan oleh permasalahan kronis seperti
lemahnya kapasitas dan koordinasi antar kementerian, serta lambatnya kemajuan di
DPR.

Salah satu fitur dalam perekonomian Indonesia pada era Presiden SBY adalah
mulai meningkatnya peran sektor jasa, dan melambatnya pertumbuhan sektor
manufaktur. Beberapa hal yang menjadi faktor penyebabnya, yaitu: iklim kebijakan
dalam negeri yang kurang kondusif, ditandai dengan tingginya biaya logistik, iklim
investasi yang kurang kondusif bagi investor asing, serta biaya tenaga kerja yang
tidak kompetitif. Kurangnya keberhasilan pemerintahan SBY dalam mengatasi
persoalan-persoalan diatas melalui reformasi ekonomi secara menyeluruh pada tingkat
mikro berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.

Pada era pemerintahan SBY, terdapat 3 perubahan besar pada lanskap politik
dan ekonomi yang berpengaruh pada upaya reformasi ekonomi, antara lain:

- Mulai ada peralihan otoritas dari presiden kepads parlemen

14
- Menteri kunci yang terkait ekonomi kini menjadi jabatan politik, dan lebih
dominan diambil dari berbagai partai politik
- Desentralisasi serta otonomi daerah, yang telah menyerahkan banyak
tanggung jawab pengelolaan politik maupun ekonomi kepada pemerintah
daerah
Akibat ketiga perubahan kelembagaan ini, terdapat proses pengambilan
kebijakan yang sangat terfragmentasi. Dalam praktiknya, setiap kementerian atau
pemerintah daerah bisa menjalankan agendanya masing-masing, dan tidak bisa
menyebarkan visi besar di tingkat nasional. Hal ini tercermin dari peningkatan
signifikan pada jumlah peraturan yang diterbitkan pemerintah daerah
(kota/kabupaten), yang secara rata-rata mencapai tiga regulasi baru per hari.
Kesimpulannya, meski ditopang oleh kenaikan (boom) harga komoditas dunia
dan melimpahnya likuiditas global, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bisa
dikatakan cukup berhasil dalam mengelola stabilitas makroekonomi (kecuali jika
menyangkut persoalan subsidi Bahan Bakar Minyak) dan mengatasi dampak krisis
finansial global tahun 2008, serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang moderat.
Namun Presiden SBY nampaknya kurang berhasil dalam melaksanakan reformasi
ekonomi lainnya, seperti perbaikan iklim investasi dan pembangunan infrastruktur,
mengatasi ketimpangan dan meningkatnya tren proteksionisme, ketidakmampuan
melaksanakan reformasi perpajakan yang menyebabkan rasio penerimaan pajak
terhadap PDB tetap rendah. Sangat disayangkan bahwa kurangnya keberanian
Presiden SBY menggunakan modal politiknya untuk melaksanakan reformasi
ekonomi secara besar-besaran (terutama pada periode kedua pemerintahannya)
menjadi salah satu faktor utama melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak
tahun 2010.

5. Perkembangan Indonesia pada Masa Pemerintahan Joko Widodo


(2014-sekarang)
Pada pemilihan presiden Indonesia tahun 2014, Joko Widodo (Jokowi) terpilih
sebagai presiden ke-7 di Indonesia dan mulai menjabat pada tanggal 20 Oktober 2014.
Kemenangan Jokowi sebagai Presiden menimbulkan optimisme di kalangan
masyarakat, karena Jokowi dipandang sebagai sosok pemimpin yang reformis dan
memiliki program kerja konkrit untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan,

15
seperti yang terlihat dari pengalamannya menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur DKI
Jakarta. Jokowi lebih merupakan tipe pemimpin taktis yang menekankan
langkah/kerja konkrit dan cepat di lapangan, dibandingkan tipe pemimpin strategis
yang fokus pada visi/gambaran besar. Pemerintahan baru Jokowi yang dijalankan oleh
Kabinet Kerja, diharapkan masyarakat agar dapat melaksanakan berbagai agenda
kebijakan reformasi di bidang perekonomian, terutama dalam percepatan proyek
infrastruktur, pengembangan sektor maritim, dan program jaminan sosial.
Sejumlah tantangan eksternal dan internal dihadapi Jokowi dalam menjalankan
upayanya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang terus melambat selama empat tahun terakhir, dari 6,8% pada tahun
2010 menjadi 5,0%, menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat. Selain itu,
kondisi eksternal juga kurang kondusif terhadap pertumbuhan perekonomian
Indonesia yang ditandai dengan perlambatan perekonomian global (khususnya resesi
di Eropa dan Jepang serta melambatnya pertumbuhan di Tiongkok dan India),
likuiditas global semakin berkurang, begitu pula dengan turunnya harga komoditas
ekspor. Dalam situasi seperti ini, pendekatan yang dilakukan Jokowi dalam
menstimulasi pertumbuhan ekonomi terutama melalui reformasi ekonomi dalam
negeri lebih fokus pada sisi penawaran (supply-side reforms), termasuk melalui
pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi.
Salah satu reformasi radikal yang dilakukan Jokowi terjadi kurang dari sebulan
setelah pelantikannya, yaitu pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara
signifikan bagi dunia usaha untuk mengurangi beban anggaran. Pada tanggal 18
November 2014, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi (Premium) menjadi
Rp 8.500 per liter, dan harga solar bersubsidi menjadi Rp 7.500 per liter. Bahkan,
momentum penurunan harga minyak di pasar dunia dimanfaatkan oleh Jokowi untuk
melakukan reformasi lebih lanjut dengan menghapuskan subsidi BBM Premium dan
memberikan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar dan mengikuti mekanisme
pasar dalam menentukan harga. Langkah reformasi yang berani tersebut berhasil
menciptakan ruang fiskal yang sangat dibutuhkan untuk membiayai sejumlah agenda
pembangunan lainnya, khususnya pembangunan infrastruktur.
Meskipun langkah ini telah meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi ekonomi secara serius, namun
hal tersebut tidak berlangsung lama. Pertumbuhan ekonomi terus melambat pada
tahun 2015, mencapai titik terendah sebesar 4,7% pada triwulan II. Banyak hal yang

16
menyebabkan hal tersebut, namun setidaknya ada dua tren yang paling penting yang
bisa dicermati di tahun pertama pemerintahan Jokowi adalah:
1. Belum ada perbaikan signifikan dalam iklim investasi hingga pertengahan
tahun 2015. Pembangunan Infrastruktur juga berjalan cukup lambat.
Tampaknya ada keterputusan antara pernyataan reformis di tingkat presiden
dan kementerian dengan kenyataan di tingkat presiden, pemerintah tingkat
bawah, dan daerah. Permasalahan umum seperti perizinan yang berbelit-belit,
memakan waktu, dan berbiaya tinggi masih terlihat jelas di berbagai sektor.
2. Rezim perdagangan yang semakin restriktif terutama melalui penggunaan
hambatan non-tarif dalam berbagai bentuk regulasi, baik di sisi impor maupun
ekspor. Faktanya, kecenderungan proteksionis seperti ini mulai muncul sejak
tahun 2009 pada masa jabatan kedua SBY dan berlanjut setidaknya hingga
pertengahan tahun 2015.

Menyikapi kondisi tersebut, Presiden Jokowi memutuskan untuk kembali


melakukan reformasi ekonomi dengan meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi pada
bulan September 2015. Sejak Juni 2016, terdapat dua belas Paket Kebijakan Ekonomi
(PKE) yang masing-masing berupaya menyelesaikan permasalahan kebijakan yang
berbeda. Sebagian besar reformasi yang dilakukan melalui paket kebijakan bertujuan
untuk mencapai hal ini dengan menghilangkan hambatan peraturan dan birokrasi yang
menghambat sektor swasta dalam melakukan usaha secara efisien, dan memberikan
insentif investasi kepada pelaku usaha sektor swasta di sektor tertentu.
Paket kebijakan pertama (yang paling komprehensif dengan cakupan terluas)
bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, mempercepat proyek
strategis nasional, serta meningkatkan investasi di sektor properti. Dua langkah
penting dalam paket ini adalah deregulasi dan debirokratisasi. Deregulasi dilakukan
dengan melakukan tinjauan regulasi yang komprehensif, serta menghilangkan regulasi
yang berulang, tidak diperlukan, tumpang tindih, atau yang tidak relevan. Deregulasi
juga berusaha untuk meningkatkan koherensi serta konsistensi antar regulasi, terutama
yang terkait dengan sektor ekonomi. Sementara itu, debirokratisasi mencakup
simplifikasi, delegasi otoritas, serta elektronisasi dari berbagi prosedur untuk
mendapatkan perizinan, dalam rangka memfasilitasi pelaku usaha untuk berinvestasi
di Indonesia.

17
Beberapa capaian utama dari upaya deregulasi tersebut antara lain
pembentukan Layanan Perizinan Penanaman Modal 3 jam, penyederhanaan perizinan
kehutanan dan pembentukan sistem pelayanan pelabuhan elektronik yang terintegrasi,
serta sejumlah keringanan pajak dan kredit untuk berbagai industri dan sektor. usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM). Lembaga yang ditunjuk untuk
mengoordinasikan pelaksanaan paket kebijakan ekonomi ini adalah Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian yang juga menjadi tuan rumah sejumlah
pertemuan yang melibatkan berbagai kementerian teknis terkait isu kebijakan tertentu.
Melalui 12 paket kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan untuk
menghasilkan 203 regulasi (terdiri dari 154 Peraturan Menteri dan 49 Peraturan
Presiden) yang menggantikan regulasi yang dianggap bermasalah. Hingga Juni 2016,
kurang lebih 98% dari regulasi yang ditargetkan sudah diselesaikan. Beberapa sektor
strategis yang dicakup deregulasi meliputi pertanian, infrastruktur, properti, maritim,
perikanan, kehutananpertambangan, dan logistik. Sementara itu, berdasarkan domain
kementerian, tiga kementerian yang paling banyak terlibat dalam deregulasi adalah
Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi & UMKM, serta Kementerian
Keuangan. Hal ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memfasilitasi usaha
perdagangan dan mengurangi hambatan regulasi yang tidak perlu, sebagai titik balik
dari tren kedua yang dijelaskan di atas.
Meskipun demikian, reformasi ekonomi yang telah dilaksanakan melalui
peluncuran paket kebijakan masih menimbulkan permasalahan mengenai efektivitas
pelaksanaan dan pemantauan upaya evaluasi. Terkadang paket kebijakan baru
diumumkan tanpa adanya evaluasi menyeluruh terhadap paket kebijakan sebelumnya.
Baru pada tanggal 31 Mei 2016 pemerintah secara resmi menyetujui pembentukan
empat gugus tugas yang bertugas memantau pelaksanaan paket kebijakan ekonomi
tersebut. Satgas ini bertanggung jawab memantau dan memastikan bahwa paket
kebijakan ekonomi ini benar-benar dilaksanakan dengan baik hingga ke tingkat
daerah, dan merumuskan langkah-langkah tindakan untuk mengatasi hambatan
spesifik implementasi di daerah.
Kesimpulannya, pemerintahan Jokowi tidak bisa lagi mengandalkan ekspor
sebagai sumber pertumbuhan pada periode ini karena perekonomian global yang
melambat dan harga komoditas yang masih rendah. Pengeluaran pemerintah juga
kurang dapat diandalkan, mengingat sangat rendahnya penerimaan pajak dalam
beberapa tahun terakhir (hanya rasio pajak terhadap PDB Indonesia). sekitar 10-11%

18
dari PDB). Oleh karena itu, upaya Presiden Jokowi untuk menekankan reformasi
ekonomi sisi penawaran sebenarnya tepat. Namun kenyataannya, implementasi
reformasi ini masih kurang efektif. Beberapa pernyataan reformis dari presiden dan
sejumlah menteri bahwa Indonesia terbuka terhadap investasi, masih kurang dalam
kebijakan yang ramah investasi (misalnya kecenderungan proteksionis di atas, tetapi
juga perubahan). iklim investasi yang konkrit di lapangan, setidaknya sampai
pertengahan tahun 2015). Permasalahan ini memberikan pesan bahwa pemerintah
terkesan setengah hati dalam menangani sektor ini. Sektor swasta, termasuk PMA,
merupakan lokomotif pembangunan ekonomi yang saat ini berjalan lambat. Oleh
karena itu, presiden reformis seperti Jokowi tetap perlu didukung oleh mekanisme
koordinasi dan implementasi kebijakan yang baik, serta dukungan politik yang
memadai.

19
BAB III
KESIMPULAN

Banyak hal yang mendorong dilakukannya reformasi pada masa pemerintahan


Orde Baru, terutama pada bidang ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan
hukum. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun
terbukti tidak konsisten dan sejalan dengan tuntutan awal kebangkitan Orde Baru.
Keputusan awal Orde Baru pada awal kebangkitannya pada tahun 1966 adalah
menerapkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pemerintahan Megawati cukup berhasil menjaga dan meningkatkan stabilitas


makroekonomi, namun kurang berhasil dalam melaksanakan reformasi di tingkat
mikroekonomi. Iklim investasi terus memburuk pada masa Megawati. Hal ini pun
menjadi warisan bagi pemerintahan selanjutnya (SBY), dan sepertinya menjadi salah
satu agenda kebijakan terpenting di pemerintahan SBY. Namun meskipun
menjanjikan, implementasi sejumlah inisiatif dan reformasi ekonomi untuk mengatasi
masalah ini masih kurang efektif. Presiden SBY sendiri kurang dikenal sebagai sosok
reformis, dan terkesan lebih menekankan pada stabilitas makroekonomi internal dan
pengelolaan perekonomian. Apalagi meningkatnya rasa nasionalisme dan
proteksionisme pada periode kedua SBY, juga menjadi kendala dalam melaksanakan
reformasi ekonomi yang kurang populer, meski sangat diperlukan.

Sebaliknya, presiden berikutnya, Jokowi, adalah pemimpin reformis dengan


agenda reformasi ekonomi yang cukup ambisius. Namun, meskipun mereka telah
berhasil melaksanakan reformasi yang secara politis sulit dilakukan (seperti subsidi
bahan bakar), pelaksanaan sejumlah reformasi mikro terkait iklim investasi masih
jauh dari harapan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Afiyah, M. S. (2021). Reformasi Ekonomi Habibie 1998-1999: Sebuah Kebijakan Atasi


Krisis Ekonomi Orde Baru. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan
Pengajarannya, 15(2), 249-262.

Aswicahyono, H., & Christian, D. (2017). Perjalanan Reformasi Ekonomi Indonesia 1997
2016. Centre for Strategic and International Studies.
Farida, A. S. (2011). Sistem Ekonomi Indonesia. Pustaka Setia.
Hermanto, H. B., & Mas Rasmini, S. E. (2019). Konsep Sistem Ekonomi Indonesia. MODUL
2: KONSEP DAN PRAKTIK BISNIS DI INDONESIA, 2.
Labetubun, M. A. H., Kembauw, E., Hasan, M., Arifudin, O., Yulistiyono, A., Maulina, D., ...
& Nugroho, L. (2021). Sistem Ekonomi Indonesia.
Mayrudin, Y. M. A. (2018). Menelisik Programpembangunan Nasional Di Era Pemerintahan
Soeharto. Journal Of Government (Kajian Manajemen Pemerintahan Dan Otonomi
Daerah), 4(1), 71-90.
Zulkarnain, M. E. (2016). Peran dan Kebijakan Zaman Orde Baru Dalam Sektor Ekonomi
Indonesia. IAIN Tulungagung, 4(1), 38-39.

21

Anda mungkin juga menyukai