UU Nomor 14 ahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), Pasal 1 ayat
(1) menyatakan bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada Pendidikan anak usia dini jalur
Pendidikan formal, Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah.
Selanjutnya dalam Pasal 8 UUGD menyebutkan, bahwa guru wajib
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan tujuan Pendidikan
nasional. Dan pada pasal 11 ayat (1) UUGD, menegaskan bahwa setifikat
pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
Pendahuluan
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3, UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk itu maka dalam mewujudkan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang dimaksud, tentunya harus dibangun melalui pendidikan
bermutu, yang ditangani oleh guru-guru berkualitas. Jelas ini membawa konsekwensi bagi guru,
karena menempatkan posisi guru pada kedudukan yang sangat strategis untuk mewujudkan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Menguatkan itu semua pernah pula disampaikan
Mohamad Surya selaku guru besar ilmu pendidikan sekaligus mantan Ketua Umum PB PGRI,
bahwa upaya meningkatkan kualiitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata,
hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka. Hal yang
sama juga disampaikan oleh Fuad Hasan, bahwa : “jangan terlalu ribut soal kurikulum dan
sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting
diperhatikan”. Sebagai mantan Menteri Pendidikan, tentu menyadari betul bahwa kualitas
gurulah yang justru menjadi permasalahan pokok mencapai pendidikan berkualitas (Surya, dkk.,
2010).
Pemerintah menyadari betul bahwa kualitas guru akan sangat menentukan bagi keberlangsungan
mutu pendidikan nasional, maka untuk mewujudkan pendidikan berkualitas tersebut harus
ditangani secara optimal dan professional oleh guru-guru yang juga harus profesional, sebab
mereka telah dibekali dengan keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah dalam
proses pembelajaran, dan berdedikasi tinggi pada pengabdiannya. Melalui guru professional
inilah nantinya akan menjadi aktor penentu yang sangat dominan bagi proses pendidikan secara
keseluruhan, dalam membidani lahirnya generasi unggul yang siap untuk bersaing baik di tingkat
nasional, regional, bahkan internasional. Menurut Usman (2017), guru professional adalah orang
yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu
melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata
lain, guru professional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki
pengalaman yang kaya di bidangnya. Pada akhirnya kedudukan guru sebagai tenaga profesional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUGD, berfungsi untuk meningkatkan martabat
dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
Tonggak sejarah kedudukan guru sebagai professional, dimulai pada saat Presiden SBY dalam
sambutannya di Hari Guru Nasional tahun 2005, dalam amanatnya memberikan pernyataan atas
pengakuan pemerintah bahwa guru adalah profesi, ini merupakan bentuk respon terhadap
tuntutan guru yang harus profesional dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Tidak berselang lama dari momentum HGN tahun 2005 tersebut, maka keluarlah UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), yang disahkan pada tanggal 30 Desember 2005
sebagai kebijakan fundamental terhadap guru. Dalam Pasal 1, ayat (1) UUGD secara tegas
menyatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya
pada Pasal 8 UUGD dijelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Kompetensi yang dimaksud pasal 8 UUGD, meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi. Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG) itu sendiri merupakan bagian
dari standar pendidikan guru yang bersifat nasional, dan bertujuan untuk menghasilkan guru
sebagai pendidik profesional yang nasionalis dan memiliki wawasan global sesuai dengan
kebutuhan nasional, lokal, dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Pasal
4, ayat 3 Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2017 Tentang Standar Pendidikan Guru).
Menindaklanjuti pasal 8 UUGD terkait sertifikat pendidik, sebagaimana dijelaskan pada pasal 11
ayat (1), menyatakan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi
syarat. Adapun sertifikat pendidik yang dimaksud sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat
(2) UUGD, merupakan bukti pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional.
Selanjutnya proses sertifikasi diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan, terakreditasi, dan ditetapkan oleh pemerintah, serta
dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel (Pasal 11 UUGD).
Prinsip Profesionalitas Guru
Profesionalitas guru sebagaimana dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1) UUGD, menyatakan bahwa
profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip,
antara lain: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen
untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (c) memiliki
kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; ( d) memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas
pelaksanaan tugas keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Tentu kita bertanya-tanya, mengapa guru perlu profesionalitas dalam menangani pendidikan.
Menurut Sanusi (dalam Satori, dkk. 2012), pendidikan harus ditangani secara professional,
sebab, antara lain: (1) subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemampuan,
pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat dikembangkan sesuai dengan potensinya, sementara
itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia; dan
(2) Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi
yang baik untuk berkembang. Karena pendidikan itu adalah usaha untuk mengembangkan
potensi unggul tersebut.
Oleh karena menjadi penting kiranya untuk mewujudkan guru-guru professional dalam rangka
membidani generasi Unggul melalui pendidikan. Berbagai kebijakan terus diupayakan oleh
pemerintah dalam rangka membentuk guru professional, salah satu diantaranya dengan
meluncurkan program PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang merupakan penyempurnaan pola
dari kebijakan program sertifikasi guru sebelumnya.
Kilas Balik PPG
1. Model Penilian Portofolio dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru)
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan, adalah aturan
turunan di awal pelaksanaan sertifikasi guru. sertifikasi dilaksanakan dalam 3 strategi, yaitu
pemberian sertifikat langsung bagi guru yang berpendidikan S2 ke atas dalam bidang mata
pelajaran yang diampunya, penilaian portofolio, dan melalui PLPG bagi guru yang mengikuti
portofolio tetapi dinyatakan tidak lulus.
Portofolio adalah bukti fisik berupa dokumen yang menggambarkan pengalaman
berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval
waktu tertentu. Komponen portofolio ada sepuluh, yakni: (1) Kualifikasi akademik; (2)
Pendidikan dan pelatihan; (3) Pengalaman mengajar; (4) Perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran; (5) Penilaian dari atasan dan pengawas; (6) Prestasi akademik; (7) Karya
pengembangan profesi; (8) Keikutsertaan dalam forum ilmiah; (9) Pengalaman organisasi bidang
pendidikan dan sosial dan (10) Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Pada kurun tahun 2006-2008 tercatat ada 197.64 guru (2007) dan 182.602 orang guru (2008)
yang dinilai portofolionya. Hasilnya, lebih dari separuhnya tidak lulus sertifikasi melalui
portofolio. Sebanyak 50,35 persen (2006-2007), dan 56,77 persen (2008) guru harus mengikuti
PLPG. Pelaksanaan PLPG berlangsung selama 11 hari, dan diikuti mereka yang sudah berstatus
guru dan memenuhi syarat lainnya. Menurut data Direktorat Profesi Pendidik, Ditjen PMPTK
(2009), total kelulusan sertifikasi generasi awal ada 92,67 persen (2006-2007), dan 93,96 persen
(2008). Tingginya angka kelulusan di PLPG tentunya langsung berdampak pada anggran
pendidikan pemerintah. Belum lagi ditambah biaya satuan pelaksanaan sertifikasi yang
diasumsuikan Rp 2 juta/orang, sehingga bila diakumulasi anggaran pendidikan untuk tunjangan
profesi tahun 2008 mencapai Rp 2,7 triliun (Majalah Guru Edisi 1/ Tahun 1/ Juni 2020).
2. Permasalah Era PLPG
Pelakasanaan PLPG yang dilaksanakan selama 11 hari. Berdasarkan kajian Pusat Penelitian
Kebijakan (Puslitjak), ketika itu sebagai lebaga Eselon II di bawah Sekretariat Jenderal pada
2011, ada sejumlah permasalahan penyelenggaraan PLPG. Menurut Puslitjak, PLPG
memperlihatkan kemampuan dalam membekali guru tetapi masih jauh untuk disebut memadai,
meski terdapat indikasi peningkatan kinerja guru. Beberapa pembenahan itu, diantaranya
meliputi: PLPG perlu melaksanakan training needs assessment (TNA) dengan memberikan tes
yang terstandar yang mencakup antara lain kebutuhan aktual guru dan materi ajar diklat.
Penyelenggara PLPG perlu mempersiapkan Satuan Acara perkuliahan (SAP) agar materi
pelatihan lebih terfokus dan terstandar. Perlu dikembangkan model paket-paket pelatihan sesuai
dengan kebutuhan aktual guru sebagaimana hasil needs assessment-nya; penyelenggara PLPG
perlu melaksanakan evaluasi dampak diklat secara reguler ke sekolah (Majalah Guru Edisi 1/
Tahun 1/ Juni 2020). Dari kajian Puslitjak dapat disimpulakan bahwa program PLPG gagal
memperoleh dampak yang substansial, yakni menghasilkan guru yang berkualitas/profesional.
Artinya bahwa program PLPG belum memberikan kontribusi yang nyata untuk meningkatkan
empat kompetensi guru sebagai syarat menjadi guru professional. Jadi program PLPG dianggap
belum memberikan pengaruh yang signifikan dalam hal peningkatan kualitas tenaga
pendidik. Pada akhirnya pelaksanaan sertifikasi guru melalui PLPG yang diselengarakan sejak
tahun 2007, dengan berbagai pertimbangan maka pada tahun 2018 pelaksanaan sertifikasi guru
tidak lagi menggunan model PLPG, melainkan menggunakan model program Pendidikan Profesi
Guru (PPG).
Untuk lebih jelasnya terkait kilas balik program sertifikasi guru, dapat dilihat pada bagan berikut
di bawah ini:
Tabel Perjalanan Sertifikasi Guru
PERJALANAN SERTIFIKASI GURU
DASAR HUKUM
Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tetang Guru dan Dosen
2007 - 2019 Guru wajib memiliki sertifikat
pendidik paling lama sepuluh tahun
sejak berlakunya UU Guru dan Dosen.
Sampai 2020, masih sekitar 1,5 juta
guru belum memiliki sertifikat
pendidik
Fatwa Hukum Menteri Hukum dan HAM Nomor I.UM.01.02-253
Guru Dalam Jabatan merupakan Guru Dalam Jabatan yang diangkat sampai dengan tahun 2025,
yang terdiri dari: (a) Guru yang telah memiliki sertifikat pendidikan Guru penggerak; (b) Guru
yang telah mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru namun belum lulus ujian tulis nasional
atau uji kompetensi pada akhir pendidikan dan latihan profesi guru; dan (c) Guru yang belum
memiliki Sertifikat Pendidik yang tidak termasuk Guru Penggerak dan guru yang telah mengikuti
pendidikan dan latihan profesi guru namun belum lulus ujian tulis nasional atau uji kompetensi
pada akhir pendidikan dan latihan profesi guru (pasal 4, Permendikbudristek Nomor 54 Tahun
2022 Tentang Tata Cara Memperoleh Sertifikat Pendidik Bagi Guru Dalam Jabatan).
Alur Perkuliahan:
Bila disederhanakan alur perkuliahan PPG Prajabatan, sebagai berikut: (1) Pertama-tama
mahasiswa calon PPG Prajbatan mengikuti ujian masuk; (2) Setelah dinyatakan lulus, mereka
akan mengikuti orientasi dan menjalani perkuliahan1 secara hybrid learning. Hybrid learning
adalah modus pembelajaran yang berbasis tatap muka dan Learning Management System (LMS);
(3) Di semester 1, ada perkuliahan berorientasi praktik dan praktik pengalaman lapangan/PPL I
di sekolah. Dalam pelaksanaan PPL I, ada dua kegiatan yang dilakukan, yaitu pengamatan siswa
(observing teaching) dan belajar mengajar mata Pelajaran (assisting teaching); (4) Di semester 2,
ada perkuliahan berorientas praktik, proyek kepemimpinan di lingkungan Masyarakat, dan
praktik pengalaman lapangan/PPL II di sekolah; (5) Dalam pelaksanaan PPL II, ada dua kegiatan
yang dilakukan, yatiu proyek inovasi pengajaran (collaborating teaching) dan proyek studi kasus
siswa yang bermasalah (leading teaching); dan (6) Setelah menjalani perkualihan 2 semester,
mahasiswa PPG Prajabatan menempuh lulusan program dan uji kompetensi PPG.
Daftar Pustaka
Anwar H.M., Muhammad. (2018). Menjadi Guru Profesional. Jakarta: Penerbit Prenandaedia
Group.
Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan RI. (2019). Kilasan Kinerja 2019 Kemdikbud. Jakarta:
Penerbit Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan (PASKA) Kemdikbud.
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 55
Tahun 2017 Tentang Standar Pendidikan Guru.
Satori, Djam’an, dkk. (2012). Profesi Keguruan. Tanggerang Selatan: Penerbit Universitas
Terbuka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudarma, Momon. (2013). Profesi Guru: Dipuji, Dikritisi, dan Dicaci. Depok: Penerbit PT
Rajagrafindo Persada.
Surya, Mohamad, dan Abdul Hasim, Rus Bambang Suwarno. (2010). Landasan Pendidikan:
Menjadi Guru Yang Baik. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Usman, Moh. Uzer. (2017). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Penerbit PT Remaja
Rosdakarya.