Anda di halaman 1dari 94

PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN

DAERAH PERTAMBANGAN KOTA SAWAHLUNTO


TAHUN 2009 SAMPAI 2019

SKRIPSI

untuk memenuhi sebagian persyaratan


memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh:

Elsi Agusri Dewi


NIM 15136057 / 2015

PROGRAM STUDI GEOGRAFI


JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
ABSTRAK

Elsi Agusri Dewi (2019) : Perubahan Tutupan Hutan Daerah


Pertambangan Kota Sawahlunto Tahun 2009
Sampai 2019.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) perubahan luasan tutupan


hutan di daerah pertambangan kota Sawahlunto tahun 2009 sampai 2019. (2) luas
deforestasi berdasarkan tutupan lahan daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun
2009-2019. (3) dan laju deforestasi tutupan hutan daerah pertambangan Kota
Sawahlunto tahun 2009-2019
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif, dilakukan di daerah pertambangan Kota Sawahlunto. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer didapat dari survei lapangan di daerah penelitian. Sedangkan data
Sekunder didapat dengan mendownload dari USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov/). Berupa Citra Satelit Landsat 5 TM dan Landsat
8 OLI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah dan data yang
digunakan adalah data sekunder. Tutupan lahan didapat dari citra landsat 5 TM
dan landsat 8 OLI menggunakan metode klasifikasi supervised. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, teknik
pengambilan sampel ini digunakan untuk menguji akurasi citra dalam
membuktikan kebenaran hasil interpretasi citra satelit dengan kenyataan yang ada
di lapangan.
Hasil (1) identifikasi perubahan tutupan hutan tahun 2009 ke 2014
memunjukan pengurangan luasan dari 3.572 hektar ke 3.556 hektar berkurang
seluas 16 hektar dan tahun 2014 ke tahun 2019 menunjukan perubahan yang
sangat signifikan yaitu dari 3.556 hektar ke 3.150 hektar berkurang seluas 406
hektar dengan (2) luas deforestasi selama 10 tahun seluas 607 hektar dengan (3)
laju deforestasi 0,66% atau seluas 34,95 hektar pertahun. Uji akurasi citra
dilakukan menggunakan confusion matrix (perbandingan interpretasi citra dengan
kondisi lapangan) dengan tingkat akurasi 88,43%.
.
Kata kunci : Perubahan Tutupan Hutan, Deforestasi, Laju Deforestasi

i
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahiwabarakatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian ini yang berjudul “Perubahan Tutupan Hutan Daerah Pertambangan

Kota Sawahlunto Tahun 2009 sampai 2019”.Tak lupa shalawat serta salam

senantiasa selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah

membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman yang berilmu

pengetahuan seperti pada saat sekarang ini.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Sains Strata Satu (S1) pada Program Studi Geografi,

Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. Penulis

menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang

telah membantu penulis selama pembuatan skripsi. Dengan kerendahan hati

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Arie Yulfa, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Padang beserta staf dan karyawan yang telah memberikan

pengarahan dan kemudahan dalam bidang akademik.

2. Hendry Frananda, S.Pi, M.Sc selaku pembimbing proposal yang

menyediakan waktu, tenaga, fikiran, dan kesabaran untuk membimbing serta

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan proposal.

ii
3. Ratna Wilis, S.Pd, M.P selaku pembimbing skripsi yang menyediakan waktu,

tenaga, fikiran, dan kesabaran untuk membimbing serta mengarahkan penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Tim Penguji : Dr. Iswandi U, M.Si dan Deded Chandra, S.Si, M.Si yang telah

memberikan bimbingan dan bantuan demi terlaksananya skripsi ini dengan

baik.

5. Teristimewa untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta ( Wendhendra dan Leni

Marlina). Serta ketiga adik Della Rahma Dani, Difa Sriyulia dan Nabila

Novira Putri yang selalu mendukung penulis sehingga bisa

menyelesaikan skripsi ini.

6. Terkhusus kepada sahabat serta motivator Cakra Haji, S.Si, Fakhrul Walad,

S.Si, Weni Putri, Fitri Aji, Ghinna Rahma Tania, Idris Afandy, Zulfariani,

Engga Prima Latifa, S.Si, Dela Syafmita dan sahabat keluarga Geografi yang

selalu mendukung dan membantu penulis selama pembuatan skripsi.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah

SWT. Penulis menyadari penelitian ini masih banyak kekurangan. Penulis

mengharapkan masukan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis

berharap skripsi ini bisa memberikan manfaat untuk semua pihak.

Padang, November 2019

Elsi Agusri Dewi

iii
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iv
DAFTAR TABEL...............................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Identifikasi Masalah................................................................................4
C. Batasan Masalah......................................................................................4
D. Rumusan Masalah...................................................................................4
E. Tujuan Penelitian....................................................................................5
F. Manfaat Penelitian..................................................................................5
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori..............................................................................................6
B. Penelitian Relevan.....................................................................................22
C. Kerangka Konseptual................................................................................23

BAB III METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian.......................................................................................25
B. Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................25
C. Alat dan Bahan.......................................................................................27
D. Populasi dan Sampel Penelitian.............................................................27
E. Teknik Pengambilan Data.......................................................................28
F. Pengolahan Data.....................................................................................30
G. Teknik Analisis Data..............................................................................32
H. Diagram Alir Penelitian..........................................................................36

iv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Daerah Penelitian.......................................................................37
B. Hasil Penelitian..........................................................................................41
C. Pembahasan Penelitian...............................................................................59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................66
B. Saran...........................................................................................................66

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................68
LAMPIRAN..........................................................................................................70

v
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Skema Klasifikasi Penutupan Lahan.................................................................10
2. Panjang Gelombang Dan Frekuensi Spectrum Eloktromagnetik......................13
3. Spesifikasi Peluncuran Landsat........................................................................14
4. Spesifikasi Band pada Landsat 5/7...................................................................15
5. Nilai spektral tiap Band Citra Landsat 8..........................................................16
6. Matriks kontingensi atau matrik kesalahan.......................................................20
7. Indeks Kappa.....................................................................................................21
8. Alat dalam penelitian........................................................................................27
9. Bahan dalam penelitian.....................................................................................27
10............................................................................................................................Var
iabel Penelitian..................................................................................................28
11. Teknik Pengumpulan Data...............................................................................29
12. Luas wilayah kota menurut kecamatan............................................................37
13. Kelerengan lahan di Kota Sawahlunto tahun 2014..........................................38
14. Perubahan Luasan Tutupan Lahan Metode Klasifikasi Supervised.................41
15. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Metode Klasifikasi Supervised.................48
16. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Metode Klasifikasi Supervised.................51
17. Tabel Confussion Matriks Metode Klasifikasi Supervised..............................53
18. Tabel deforestasi hutan Metode Klasifikasi Supervised..................................55
19. Laju Deforestasi Daerah Pertambangan Kota Sawahlunto Tahun 2009-
2019.................................................................................................................57
20. Perubahan Luasan Tutupan Lahan Metode Klasifikasi Supervised.................61
21. Perubahan Luasan Tutupan Lahan Metode Klasifikasi Supervised.................62
22. Laju Deforestasi Daerah Pertambangan Kota Sawahlunto Tahun 2009-2019
........................................................................................................................64

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Spektrum Gelombang Eletromagnetik...............................................................12
2. Kerangka Konseptual.........................................................................................24
3. Lokasi Kota Sawahlunto dilihat dari Sumatera Barat........................................31
4. Lokasi Sawahlunto.............................................................................................31
5. Bagan Alur Analisis Deforestasi........................................................................35
6. Bagan Diagram Alir...........................................................................................36
7. Perubahan Luasan Objek Metode Supervised....................................................42
8. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Metode Supervised......................................42
9. Perubahan Luasan Objek Metode Supervised....................................................61
10. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Metode Supervised....................................62
11..............................................................................................Peta Sebaran Sampel
...........................................................................................................................72
12. Peta Citra Landsat 5 TM Tahun 2009..............................................................73
13. Peta Citra Landsat 8 OLI Tahun 2014.............................................................74
14. Peta Citra Landsat 8 OLI Tahun 2019.............................................................75
15. Foto Survey Lapangan Hutan...........................................................................76
16. Foto Survey Lapangan Lahan Terbuka............................................................76
17. Foto Survey Lapangan Lahan Terbuka............................................................76
18. Foto Survey Lapangan Lahan Terbuka............................................................76
19. Foto Survey Lapangan Pemukiman.................................................................76
20. Foto Survey Lapangan Pertanian Lahan Kering..............................................76
21. Foto Survey Lapangan Sawah (Lahan Basah).................................................77
22. Foto Survey Lapangan Sawah (Lahan Basah).................................................77
23. Foto Survey Lapangan Tubuh Air....................................................................77
24. Foto Survey Lapangan Tubuh Air....................................................................77
25. Foto Survey Perkebunan (Lahan kering).........................................................77
26. Foto Survey Lapangan Lahan Terbuka............................................................77
27. Foto Survey Lapangan Lahan Terbuka............................................................78
28. Foto Survey Lapangan Perkebunan (Lahan kering).........................................78

vii
29. Foto Survey Lapangan Perkebunan (Lahan kering).........................................78
30. Foto Survey Lapangan Lahan Terbuka............................................................78

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat dari fakultas...............................................................................................70


2. Surat balasan dari DPMPTSPNaker...................................................................71
3. Peta Sebaran Sampel..........................................................................................72
4. Peta Citra Tahun 2009........................................................................................73
5. Peta Citra Tahun 2014........................................................................................74
6. Peta Citra Tahun 2019........................................................................................75
7. Dokumentasi Hasil Penelitian............................................................................76

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang berupa hutan, yang

ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya

sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian

hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu

yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.

Penunjukkan kawasan hutan mencakup pula kawasan perairan yang menjadi

bagian dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan

hutan dibagi kedalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan

Produksi. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut yang memelihara

kesuburan tanah (Statistik Planologi Kehutanan , 2008).

Industri pertambangan merupakan salah satu industri unggulan

pemerintahan Indonesia untuk mendatangkan devisa negara. Industri ini juga

menyedot tenaga kerja dan juga sumber pendapatan bagi pemerintahan daerah

yang mengolah industri pertambangan tersebut. Selain membawa banyak

keuntungan, industri pertambangan ini juga membawa kerugian bagi lingkungan

dan masyarakat sekitar tambang, kerugian tersebut salah satunya yaitu

berkurangnya lahan hijau atau perubahan tutupan lahan.

1
2

Sawahlunto merupakan daerah yang terkenal dengan pertambangan batu

bara. Aktifitas pertambangan batu bara sudah dilakukan sejak lama. Puluhan juta

ton batu bara telah dihasilkan dari daerah tersebut. Tahun 2010 terdapat

setidaknya sepuluh perusahaan tambang yang telah beroperasi. Apabila semakin

lama kegiatan pertambangan tersebut berjalan maka akan semakin merusak

ekosistem hutan dan secara otomatis akan mengubah jenis tutupan lahan yang ada

di sana. Sawahlunto memiliki luas 273,45 km2 dan lebih dari 27 persennya adalah

kawasan perbukitan yang ditutupi oleh hutan lindung yang masuk dalam daerah

Bukit Barisan (Badan Pusat Statistik, 2015).

Dikarenakan adanya kegiatan pertambangan batu bara tersebut, telah

mengubah kondisi tutupan lahan yang semula ditutupi oleh beragam ekologi

menjadi suatu daerah terbuka pertambangan batu bara dan tutupan lahan lain.

Apabila semakin lama kegiatan pertambangan tersebut berjalan maka akan

semakin merusak ekosistemnya. Luas lahan pertambangan batu bara semakin

lama semakin bertambah sedangkan luas hutannya akan semakin berkurang dan

secara otomatis akan mempengaruhi tingkat kerapatan vegetasi yang ada di kota

Sawahlunto. Apabila hal ini terus menerus dibiarkan maka akan berdampak pada

lingkungan di Kota Sawahlunto.

Karena Degradasi dan deforestasi di Kota Sawahlunto dari yang semula

tingkat ekologinya tinggi atau dapat dikatakan bahwa tingkat vegetasi lebat

menjadi suatu daerah pertambangan batu bara. Kurangnya informasi mengenai

adanya degradasi dan perubahan alih fungsi lahan dari tahun 2009 sampai 2019.

Salah satu cara yang digunakan untuk pemantauan degradasi hutan

adalah dengan
3

memanfaatkan citra satelit yang biasa disebut dengan teknologi penginderaan jauh

atau remote sensing.

Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang dapat digunakan

untuk memperoleh informasi tentang objek di permukaan bumi dengan cara

menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak

langsung terhadap objek yang dikaji. Perolehan data mengenai objek tersebut

dapat menggunakan sebuah alat jarak jauh misalnya satelit, pesawat angkasa, dan

sebagainya. Penggunaan citra satelit untuk mendeteksi penggunaan lahan (Land

Use) cukup banyak digunakan karena memiliki cakupan wilayah yang luas dan

waktu yang dibutuhkan singkat. Data citra satelit memiliki resolusi spasial,

temporal maupun spektral yang berbeda-beda sehingga dalam aplikasinya

penggunaan data tersebut disesuaikan dengan kebutuhan informasi yang ingin

didapatkan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

analisis degradasi dan deforestasi hutan daerah pertambangan Sawahlunto dengan

menggunakan citra landsat dengan bantuan pengolahan teknologi penginderaan

jauh. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Perubahan Tutupan Hutan daerah Pertambangan Kota Sawahlunto Tahun

2009 sampai 2019”.


4

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kondisi hutan di Kota Sawahlunto?

2. Bagaimana tingkat deforestasi tutupan hutan Kota Sawahlunto?

3. Bagaimana mengetahui tingkat deforestasi tutupan hutan Kota Sawahlunto?

4. Bagaimana kelas tutupan lahan di daerah pertambangan Kota Sawahlunto

tahun 2009 - 2019?

5. Bagaimana tingkat akurasi citra landsat 5 TM dalam interpretasi citra?

6. Bagaimana tingkat akurasi citra landsat 8 OLI dalam interpretasi citra?

C. Batasan Masalah

Batasan masalah diperlukan supaya penelitian lebih fokus dan tidak

menyimpang dari apa yang ingin diteliti, dengan keterbatasan dana, waktu,

maupun kemampuan menulis, maka penelitian ini dibatasi pada permasalahan

perubahan tutupan hutan daearah pertambangan, yang mencangkup deforestasi

tutupan hutan berdasarkan tutupan lahan dengan menggunakan teknologi

Penginderaan Jauh.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka rumusan masalah

pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perubahan luasan tutupan hutan di daerah pertambangan kota

Sawahlunto tahun 2009 sampai 2019?

2. Berapa luas deforestasi berdasarkan tutupan lahan daerah pertambangan

Kota Sawahlunto tahun 2009-2019?


5

3. Berapa laju deforestasi tutupan hutan daearh pertambangan Kota

Sawahlunto tahun 2009-2019?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui perubahan luasan tutupan hutan di daerah pertambangan

kota Sawahlunto tahun 2009 sampai 2019.

2. Mengetahui luas deforestasi berdasarkan tutupan lahan daerah

pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009-2019.

3. Mengetahui laju deforestasi tutupan hutan daerah pertambangan Kota

Sawahlunto tahun 2009-2019

F. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan di atas

maka penelitian ini berguna:

1. Untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar S1 (Strata satu)

pada Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri Padang.

2. Bagi masyarakat: memberikan informasi mengenai luas tutupan lahan

daerah pertambangan Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat;

3. Bagi instansi pemerintahan: mendukung program pemulihan lahan

terbuka bekas tambang Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat.


BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori

1. Hutan

Pengertian hutan atau definisi hutan adalah suatu kumpulan atau

asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas

sehingga akan dapat membentuk iklim mikro dengan kondisi ekologis yang

khas serta berbeda dengan areal luarnya (Zain, 1996). Menurut Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati

yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu

dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

2. Perubahan Tutupan Lahan

Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang

mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief,

hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensi akan

berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO,1976 dalam Sari et.al., 2014).

Pengertian penggunaan lahan, tutupan lahan, dan sistem penggunaan lahan

mempunyai sedikit perbedaan. Ekadinata dan Dewi (2012) menjelaskan bahwa

penggunaan lahan (land use) mengacu kepada aktifitas manusia, tutupan lahan

(land cover) mengacu pada tipe vegetasi atau perwujudan fisik objek-objek

yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-

objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1993 dalam Lisnawati dan Wibowo,

2007). Perubahan tutupan lahan adalah bertambahnya suatu tutupan

lahan diikuti dengan


6
7

berkurangnya tutupan lahan lainnya dengan berkurangnya tutupan lahan yang

lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya yang berbeda, atau berubahnya

fungsi suatu lahan pada suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda. Dalam

penelitian ini khususnya membicarakan tutupan wilayah hutan yang berubah

menjadi tutupan yang tidak berhutan dalam areal hutan daerah pertambangan

Kota Sawahlunto.

Ada dua faktor yang menyebabkan terganggunya hutan, yaitu faktor

alam dan faktor manusia. Gangguan yang disebabkan oleh alam meliputi

kebakaran hutan akibat petir dan kemarau, letusan gunung berapi, gempa bumi,

tanah longsor, banjir dan erosi akibat hujan deras yang lama. Sementara itu

gangguan terhadap hutan yang disebabkan oleh manusia dapat berupa

penebangan liar, penyerobotan lahan, dan kebakaran kemudian semakin

mendominasi dan mendesak ruang-ruang alami untuk berubah fungsi.

Fenomena tersebut terutama terjadi pada kawasan perkotaan, dimana

perubahan penggunaan lahan berlangsung sangat dinamis. Sejalan dengan

perkembangan kota, maka semakin besar desakan terhadap ruang-ruang alami

khususnya hutan yang merubah fungsi menyebabkan berkurangnya kualitas

lingkungan kota.

a. Lahan

Dalam perspektif perencanaan tata guna lahan, lahan (land) menurut

Dent dan Young 1981 (dalam Baja, 2012) dapat didefenisikan ruang yang

terdiri dari seluruh elemen lingkungan fisik sejauh memiliki potensi dan

pengaruh terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu, lahan tidak hanya

merujuk pada tanah tetapi juga termasuk aktifitas yang berhubungan dengan
8

semua faktor yang relevan dari lingkungan biofisik seperti geologi, bentuk

lahan, topografi, vegetasi dan termasuk aktifitas di bawah atau di atas

permukaan tanah, serta faktor yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi,

sosial, dan budaya. Dengan demikian secara lengkap lahan merupakan areal

atau luasan tertentu dari permukaan bumi yang memiliki ciri tertentu yang

mungkin stabil atau terjadi siklus baik di atas atau di bawah luasan tersebut

meliputi atmosfir, tanah, geologi, hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan

dan dipengruhi oleh kegiatan manusia (ekonomi, sosial dan budaya) dimasa

lampau dan sekarang selanjutnya mempengaruhi potensi penggunaannya pada

masa yang akan datang (Baja, 2012).

b. Tutupan Lahan

Menurut Sutanto (1994) penggunaan teknologi penginderaan jauh

untuk mendeteksi perubahan objek terdiri dari 10 aspek yakni: (1) Tutupan

dan penggunaan lahan, (2) Perubahan hutan atau vegetasi, (3) Penilaian

kerusakan hutan dan defoliasi, (4) Deforestasi, regenerasi dan permanen

selektif, (5) Perubahan lahan basah atau wetland, (6) Kebakaran hutan, (7)

Perubahan lansekap, (8) Perubahan daerah kota, (9) Perubahan lingkungan,

(10) Penggunaan lainnya seperti monitoring tanaman, monitoring

perladangan perpindah dan segmentasi jalan.

Menurut Barrett dan Curtis (1983) tutupan lahan adalah kenampakan

alamiah bumi seperti vegetasi, biota, tanah, topografi, hutan, air, struktur

buatan manusia dan sebagainya. Dengan kata lain, tutupan lahan merupakan

hamparan biofisik dari sebagian permukaan bumi. Informasi tutupan lahan


9

mempunyai peranan yang signifikan sebagai informasi tematik untuk

melakukan perencanaan, pengendalian dan penataan ruang agar tercipta

pembangunan berkelanjutan. Melalui bantuan citra satelit dan teknik

penginderaan jauh, tutupan lahan yang tampak dalam citra dapat

dikelompokkan kemudian dianalisis perubahannya. Perubahan tutupan lahan

merupakan perubahan kenampakan yang ada di permukaan bumi. Deteksi

perubahan tutupan lahan dalam suatu periode waktu merupakan hal penting

untuk memahami hubungan antara manusia dan fenomena alam, yang

berkaitan dengan menyusun keputusan pengelolaan dan penggunaan sumber

daya alam.

3. Deforestasi Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

P.30/Menhut- II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi

dan Degradasi Hutan (REDD) Deforestasi adalah perubahan secara permanen

dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan

manusia. Reforestasi atau penghutanan kembali dapat berupa kembalinya hutan

alam karena pertumbuhan alami atau pertambahan hutan tanam dan reboisasi

(Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2015)

Deforestasi ditandai dengan perubahan dari tutupan hutan menjadi

tutupan non hutan (Suryadi, 2012).


10

Berikut tabel skema klasifikasi FAO Land Cover Classification System

LCCS (Di Gregorio 2005) dalam menentukan tutupan lahan hutan dan non

hutan pada tabel 1.

Tabel 1. Skema Klasifikasi Penutup Lahan


Kelas Klasifikasi Tingkat Kelas Klasifikasi
Hutan Dataran Rendah (0-300 mdpl)
Hutan Perbukitan (300-900 mdpl)
Hutan Pegunungan Rendah (900-1500 mdpl)
Hutan Pegunungan Tinggi (> 1500 mdpl)
Hutan Hutan Rawa Gambut
Hutan Kerangas
Hutan Riparian
Hutan Air Tawar
Perkebunan
Semak, Ladang Berpindah, Pertanian Skala Kecil, Padang
Rumput
Bukan Hutan Lahan Basah
Permukiman
Lahan Terbuka
Air
Sumber: Telaah Situasi Penutupan Lahan dan Perubahan Penutupan Lahan di
Kabupaten Kapuas Hulu dan Malinau, Indonesia (Navratil, 2013)

4. Penginderaan Jauh

a. Defenisi Penginderaan Jauh

Menurut Curran (1985) pengertian dari penginderaan jauh adalah

sebuah ilmu pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek maupun

fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak langsung

dengan objek tersebut. Bisa dikatakan juga bahwa penginderaan jauh

merupakan suatu pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau

fenomena oleh sebuah alat dari jarak jauh misalnya dari pesawat, pesawat luar

angkasa, satelit, kapal atau alat lain.


11

Sebagaimana telah diketahui bahwa sinar matahari merupakan sumber

energi atau radiasi hampir tak terbatas untuk aplikasi penginderaan jauh.

Sistem penginderaan jauh yang mengukur energi secara alami disebut dengan

sensor pasif. Penginderaan jauh sistem sensor pasif hanya dapat digunakan

untuk mendeteksi energi jika tersedia sinar matahari dan objek-objek

memantulkan sebagian radiasi tersebut yang akhirnya ditangkap oleh sensor.

Energi dapat pula berasal dari pancaran suatu obyek seperti sumber-sumber

thermal, misal lokasi kebakaran hutan, sumber panas bumi, dan lain-lain

(Sutanto, 1994).

Penginderaan jauh sistem sensor aktif sebaliknya mempunyai sumber

energi tersendiri atau dapat dikatakan bahwa energi berasal dari sensor

tersebut. Sensor membangkitkan energi yang diarahkan ke objek, kemudian

objek memantulkan kembali ke sensor. Energi yang kembali ke sensor

membawa informasi tentang objek. Serangkaian nilai energi yang tertangkap

sensor ini disimpan sebagai basis data dan selanjutnya dianalisis. Sistem

penginderaan jauh aktif tidak tergantung pada adanya sinar matahari, karena

energi bersumber dari sensor. Contoh dari sistem penginderaan jauh aktif ini

adalah sistem kerja radar. Radar membangkitkan energi yang diarahkan ke

objek. Energi yang sampai pada obyek sebagian terpantul dan kembali ke

sensor. Sensor aktif dapat bekerja sepanjang waktu, siang maupun malam

(Sutanto, 1994).

b. Gelombang Elektromagnetik

Pengumpulan data dalam sistem penginderaan jauh dilakukan dari

jarak jauh dengan menggunakan sensor. Karena penginderaannya dilakukan

dari jarak jauh, diperlukan suatu energi penghubung yang membawa data
12

tentang objek ke sensor. Gambaran objek maupun nilai spektral yang

dihasilkan oleh perekaman tersebut tergantung pada besarnya energi yang

dapat mencapai sensor. Data tersebut dapat dikumpulkan dan direkam dengan

tiga cara, yakni dengan mendasarkan atas variasi: (1) distribusi daya, (2)

distribusi gelombang bunyi, (3) distribusi gelombang elektromagnetik.

Gelombang elektromagnetik terdiri dari berkas atau spektrum yang

sangat luas, yakni meliputi sinar kosmik, Gamma, X, ultraviolet, tampak,

inframerah, gelombang mikro dan gelombang radio. Istilah spektrum

digunakan untuk menunjukkan bagian tertentu spektrum elektromagnetik,

seperti spektrum tampak, spektrum inframerah dan spektrum ultraviolet.

Saluran/pita/band digunakan untuk bagian yang lebih kecil misalnya band

biru, band hijau dan band merah pada spektrum tampak. Jumlah total seluruh

spektrum ini disebut spektrum elektromagnetik seperti yang diperlihatkan pada

Gambar 1.

Gambar 1. Spektrum Gelombang Elektromagnetik


Sumber : Kurniawan, 2012
13

Tabel 2. Panjang Gelombang Dan Frekuensi Spectrum Elektromagnetik.


Spektrum Panjang gelombang
Gamma < 0.03 𝑛𝑚
X 0.03 nm − 3 nm
Ultraviolet 3 nm − 0.4 μm
Tampak 0.4 μm − 0.7 μm
Biru 0.4 − 0.5 μm
Hijau 0.5 − 0.6 μm
Merah
0.6 − 0.7 μm
Inframerah
0.7 − 1000 μm
Gelombang pendek
0.3 − 300 cm
Sumber : Paine, 1981

Hubungan antara cepat rambat, panjang gelombang dengan besarnya

frekuensi dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝑐=𝜆𝑓

dimana :

𝑐 = kecepatan cahaya, sebesar 3. 108 m/s

𝜆 = panjang gelombang (m)

𝑓 = frekuensi (Hz)

Sumber : Kurniawan, 2012

5. Citra Satelit

Satelit penginderaan jauh merupakan teknologi modern untuk

memperoleh data citra digital tentang permukaan bumi menggunakan

gelombang elektromagnetik. Beberapa panjang gelombang pada gelombang

elektromagnetik dapat dimanfaatkan untuk aplikasi penginderaan jauh.

Adanya teknologi penginderaan jauh dan pengolahan citra satelit

memungkinkan untuk mengakses informasi spasial-temporal dari suatu

wilayah tertentu. Keberadaan data-data spasial ini sangat bermanfaat jika

didukung oleh perkembangan pada


14

dasa warsa terakhir dimana jumlah satelit semakin banyak dan karakteristiknya

semakin bervariasi. Jumlah band juga semakin banyak serta jangkauan spasial

yang semakin luas. Berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh

dikelompokkan menjadi dua macam yaitu: satelit cuaca dan satelit sumber

daya alam. Citra satelit cuaca terdiri dari TIROS-1, ATS-1, GOES, NOAA

AVHRR, MODIS, DMSP.Citra satelit alam terdiri dari SPOT, ALOS,

ASTER, IKONOS, QUICKBIRD dan LANDSAT (Mahdi, 2014).

a. Citra Landsat

Seri Land Satelit atau lebih dikenal dengan istilah landsat pertama kali

adalah Eart Resource Tecnology Satelit (ERTS). Spesifikasi peluncuran

landsat dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 3. Spesifikasi Peluncuran Landsat


Nama Satellit Peluncuran Keterangan
Landsat 1 23 Juli 1972 -
Landsat 2 22 Januari 1975 -
Landsat 3 5 Maret 1978 Berakhir 31 Maret 1983
Landsat 4 16 Juli 1982 Berakhir tahun 1993
Landsat 5 1 Maret 1984 Berakhir Desember 2012
Landsat 6 5 Oktober 1993 Gagal mencapai orbit
Landsat 7 15 Desember 1999 Kerusakan sejak Mei 2003
Landsat 8 11 Februari 2013 Aktif sampai sekarang
Sumber : Finn, 2013.

1.) Citra Landsat 5

Landsat 5 merupakan satelit kelima yang diluncurkan dari Program

Landsat. Satelit diiluncurkand engan tujuan penyediaan arsip globaldalam

foto satelit yang dikelola langsung oleh Badan Survei Geologi Amerika

Serikat (USGS). Satelit Landsat memiliki bandwidth transimisi sebesar 85

bit
15

dan ditempatkan pada ketinggian 705,3 km. resolusi temporalnya adalah 16

hari maksudnya adalah satelit landsat membutuhkan waktu 16 hari untuk

satu kali menggitari bumi. Satelit landsat 5 memiliki spesifikasi sebagai

berikut:

Tabel 4. Spesifikasi Band pada Landsat 5/7


Nomor Band Panjang Kategori Resolusi
Gelombang (µm) Spasial (m)
1 0,45-0,52 Blue 30
2 0,52-0,60 Green 30
3 0,63-0,69 Red 30
4 0,76-0,90 Near Infrared 30
5 1,55-1,75 Near Infrared 30
6 10,40-12,50 Thermal 120
7 2,08-2,35 Mid Infrared 30
8. 0,520-0,9 Pancromatic 15
Sumber : USGS (2019)

2.) Citra Landsat 8

Landsat 8 lebih cocok disebut sebagai satelit dengan misi

melanjutkan landsat 7 dari pada disebut sebagai satelit baru dengan

spesifikasi yang baru pula. Ini terlihat dari karakteristiknya yang mirip

dengan landsat 7, baik resolusinya (spasial, temporal, spektral), metode

koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa. Hanya

saja ada beberapa tambahan yang menjadi titik penyempurnaan dari landsat 7

seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang elektromagnetik terendah

yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit (rentang nilai digital number) dari

setiap pixel citra (Finn, 2013). Setiap satelit landsat tersebut mempunyai

sensor sendiri-sendiri.

Landsat 1 sampai 3 mempunyai 2 sensor yaitu Return Beam Vidicon camera

(RBV) dan Multispectral Scanner (MSS). Landsat 4 dan 5 mempunyai

sensor MSS dan Thematic Mapper (TM). Landsat 7 mempunyai sensor

Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+).


16

Tabel 5. Nilai spektral tiap Band Citra Landsat 8


Nomor Band Panjang Kategori Resolusi
Gelombang (µm) Spasial (m)
1 0,43-0,45 Coastal Aerosol 30
2 0,45-0,52 Blue 30
3 0,52-0,60 Green 30
4 0,63-0,69 Red 30
5 0,76-0,90 Near Infrared 30
6 1,55-1,75 Near Infrared 30
6 10,40-12,50 Thermal 60
7 2,08-2,35 Mid Infrared 30
8 0,52-0,90 Pancromatic 15
9 1,36-1,39 Cirrus 30
10 10,60-11,19 TIRS 1 100
11 11,5-12,51 TIRS 2 100
Sumber : USGS (2019)

United States Geological Survey (USGS) mempublikasikan

spesifik dari satelit landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari

permukaan bumi dan memiliki area cakupan seluas 185 km x 185 km.

National Aeronautics and Space Administration (NASA) sendiri

menargetkan satelit landsat versi terbarunya ini mengemban misi selama 5

tahun beroperasi. Terdapat dua sensor yang terdapat pada landsat 8 yakni

sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan sensor Thermal

Infrared Sensor (TIRS). Satelit landsat 8 memiliki sensor OLI dan TIRS

dengan jumlah band sebanyak 11. Diantara band tersebut, 9 band (band 1-9)

berada pada OLI dan 2 band lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS.

6. Klasifikasi Citra

Pengenalan pola spektral merupakan salah satu bentuk pengenalan

pola secara otomatik. Kelompok titik mencerminkan pemberian multi

dimensional tanggapan spektral tiap kelompok jenis tutupan yang di

interpretasi.
17

Teknik kuantitatif dapat menerapkan interpretasi secara otomatis data citra

digital. Pada proses ini maka tiap pengamatan piksel (picture elemet) dievaluasi

dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi, jadi mengganti arsip data citra

dengan suatu matrik jenis kategori.

Klasifikasi adalah proses mengelompokkan piksel-piksel ke dalam

kelas-kelas atau kategori yang telah ditetapkan berdasarkan nilai kecerahan

atau Brightness Value (BV) istilah lainnya digital number (DN) piksel yang

bersangkutan. Berdasarkan tekniknya, klasifikasi dapat dibedakan atas

klasifikasi manual dan klasifikasi kuantitatif. Pada klasifikasi manual,

pengelompokan piksel ke dalam suatu kelas yang ditetapkan dilakukan oleh

interpreter secara manual berdasarkan nilai kecerahan digital number contoh

yang diambil dari area contoh (training area).

Menurut Lillesand dan Kiefer (1999), teknik klasifikasi citra secara

digital dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu klasifikasi secara terbimbing

(supervised classification), klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised

classification) dan klasifikasi hibrida (hibrid classfication) yang merupakan

gabungan dari dua cara di atas.

Pada klasifikasi terbimbing, seorang analis citra mengawasi prosedur

pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi

yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area)

yang mewakili setiap kelompok. Perhitungan statistik yang dilakukan terhadap

contoh-contoh kelas setiap kelas digunakan sebagai dasar klasifikasi. Proses

klasifikasi ini akan berhasil bila kelas-kelas spektral yang dipilih dapat
18

dipisahkan dan contoh-contoh kelas yang dipilih mampu mewakili seluruh

data. Selanjutnya pendekatan terbimbing disederhanakan menjadi tiga tahap

yaitu tahap penentuan kelas contoh (training set), tahap klasifikasi dan

ekstrapolasi, serta tahap penyajian hasil (output).

Klasifikasi kemiripan kemungkinan maksimum (maximum likehood

classification) merupakan metode klasifikasi yang paling banyak digunakan

dalam sebagian besar terapan logaritma klasifikasi ini, nilai peluang

(probabilitas) masuknya suatu piksel yang belum dikenal ke setiap kelas

dihitung oleh komputer. Kemudian piksel tersebut akan dimasukkan menjadi

anggota salah satu kelas yang nilai peluangnya paling tinggi atau dikelaskan

sebagai "tak dikenal" (unclassified) bila nilai peluangnya di bawah peluang

ambang yang telah ditetapkan oleh analis.

Klasifikasi tidak terbimbing lebih banyak menggunakan logaritma

yang mengkaji sejumlah besar piksel tidak dikenal dan membaginya ke dalam

sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan natural nilai spektral citra.

Anggapan dasarnya adalah bahwa nilai di dalam suatu jenis tutupan tertentu

seharusnya saling berdekatan pada suatu ruang pengukuran, sedangkan data

pada kelas yang berbeda harus dapat dipisahkan secara komparatif. Kelas yang

dihasilkan dari klasifkasi tidak terbimbing adalah kelas spektral.

Ketelitian klasifikasi merupakan suatu kriteria penting dalam menilai

hasil dari pemrosesan citra penginderaan jauh bagi suatu sistem klasifikasi

penutupan atau penggunaan lahan yang disusun berdasarkan data

penginderaan jauh. Badan Survei Geologi Amerika Serikat, telah

mensyaratkan tingkat
19

ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan atau

penggunaan lahan yang disusun yaitu:

a. Tingkat ketelitian klasifikasi / interpretasi minimum dengan

menggunakan pengindraan jauh harus tidak kurang dari 85 %.

b. Ketelitian klasifikasi / interpretasi harus lebih kurang sama untuk

beberapa kategori.

7. Confusion Matriks

Confusion matrix adalah suatu metode yang biasanya digunakan untuk

melakukan perhitungan akurasi pada konsep data mining atau sistem pendukung

keputusan. Pada pengukuran kinerja menggunakan confusion matrix, terdapat 4

(empat) istilah sebagai representasi hasil proses klasifikasi. Keempat istilah

tersebut adalah True Positive (TP), True Negative (TN), False Positive (FP) dan

False Negative (FN). Nilai True Negative (TN) merupakan jumlah data negatif

yang terdeteksi dengan benar, sedangkan False Positive (FP) merupakan data

negatif namun terdeteksi sebagai data positif. Sementara itu, True Positive (TP)

merupakan data positif yang terdeteksi benar. False Negative (FN) merupakan

kebalikan dari True Positive, sehingga data posifit, namun terdeteksi sebagai
data
negatif.

Presisi adalah data yang diambil berdasarkan informasi yang kurang.

Dalam klasifikasi biner, presisi dapat dibuat sama dengan nilai prediksi positif.

Berikut ini adalah aturan presisi. Precision = (TP / (TP + FP)) * 100%

Recall adalah data penghapusan yang berhasil diambil dari data yang

relevan dengan kueri. Dalam klasifikasi biner, recall dikenal sebagai sensitivitas.
20

Munculnya data relevan yang diambil adalah menyetujui dengan query dapat

dilihat dengan recall. Berikut ini adalah peran recall. Recall = (TP / (TP + FN)) *

100%

Akurasi adalah persentase dari total data yang diidentifikasi dan dinilai.

Berikut ini adalah aturan akurasi. Akurasi = (TP + TN) / (TP + TN + FP + FN)) *

100%.

Evaluasi akurasi digunakan untuk melihat tingkat kesalahan yang terjadi

pada klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya persentase

ketelitian pemetaan. Evaluasi ini menguji tingkat keakuratan secara visual dari

klasifikasi terbimbing. Akurasi ketelitian pemetaan dilakukan dengan membuat

matrik kontingensi atau matrik kesalahan (confusion matrix) seperti yang

disajikan pada tabel berikut.

Tabel 6. Matriks kontingensi atau matrik kesalahan


Data Referensi Diklasifikasikan dalam kelas (Data Jumlah Produccer’s
Kelas di Peta) Accuracy
A Xii Xi+ Xii / Xi+
B Xii
C Xii
D Xii
Total kolom Xi+

User’s Accuracy Xii / Xi+


Sumber: Altman,1991

Akurasi yang bisa dihitung berdasarkan hasil dari matrik kontingensi

tersebut antara lain, User’s accuracy, Producer’s Accuracy dan Overall

accuracy. Secara matematis akurasi diatas dapat dinyatakan sebagai berikut:

User’s Accuracy = Xii / Xi+ x 100%

Produccer’s Accuracy = Xii / Xi+ x 100%


21

Overall Accuracy = Xii / N x 100%

Keterangan:

Xii = nilai diagonal matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-

i Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i

X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

Sumber : Jaya (2010)

Menurut Jaya (2010), saat ini akurasi yang dianjurkan adalah akurasi

kappa, karena overral accuracy secara umum masih over estimate. Akurasi

kappa ini sering juga disebut dengan indeks kappa. Secara matematis akurasi

kappa

disajikan sebagai berikut:

N Xii - Xi+
X 100%
Kappa (k) = Xi+
2
N - Xi+ Xi+
Sumber : Jaya (2010)

Tabel 7. Indeks Kappa

Sumber : Altman,1991
22

B. Penelitian Relevan

No Penulis Judul Metode Hasil


1 La Ode Muh. Analisis Laju Penulis melakukan Penelitian ini menjelaskan
Yazid Deforestasi analisa lajuLima daerah atau Kabupaten
Amsah, Hutan Berbasis deforestasi di Papua yang mengalami deforestasi
Samsu Arif Sistem menggunakan paling besar dari tahun 2000-
dan Informasi supervised. 2009 yaitu Kabupaten
Syamsuddin Geografis (Studi Marauke, Kabupaten Mappi,
Kasus Provinsi Kabupaten Bouven Digoel,
Papua). Kabupaten Pegunungan
Bintang, dan Kabupaten
Yahu Kimo. Pada rentan
waktu dari tahun 2000-2009
deforestasi terbesar terjadi
pada tahun 2006-2009
sebesar 216.816 Ha, lalu
tahun 2003-2006 sebesar
72.400 Ha, dan tahun 2000-
2003 sebesar 25.759 Ha.
2 Nurul Analisis Penelitian ini Hasil penelitian ini
Faniman Perubahan bertujuan untuk menunjukkan perubahan
Tutupan Lahan mengetahui luas tutupan lahan terbangun
Kecamatan perubahan tutupan sebesar 316,46 ha, lahan
Kuranji Tahun lahan, laju terbuka 33,22 ha, sawah
2004-2014. perubahan tutupan berkurang sebesar 56,10 ha,
lahan dan tingkat perairan berkurang
akurasi citra. sebanyak 4,16 ha, hutan
Metode yang berkurang sebesar 148,78
digunakan dalam ha, semak belukar berkurang
penelitian ini sebesar 181,52 ha, kebun
deskriptif campuran bertambah
kuantitatif. Data sebesar 40,92 ha. Laju
yang digunakan perubahan tutupan lahan
adalah Citra Satelit dari tahun 2004-2014 yang
Landsat TM5 didapati dari perubahan
perekaman tahun tutupan lahan terbangun
2004 dan sebanyak 34,79%, lahan
OLI/TIRS tahun terbuka 298,20%, sawah
2014 dangan 3,40%. Hasil uji akurasi
pengambilan citra Landsat didapati
sampel metode sebanyak 92,308% baik
purposive digunakan dalam analisis
sampling perubahan tutupan lahan.
sedangkan teknik
analisis data
supervised
classification.
23

3 Catur,U., Identifikasi Penelitian kedua Dari penelitian yang


Dipo, Y dan lahan tambang oleh Catur, et al dilakukan ini, diperoleh ciri-
mukhoryah timah (2015) melakukan ciri lahan tambang timah
(2015) menggunakan penelitian pada citra landsat 8 yakni
metode mengenai mempunyai warna coklat
klasifikasi identifikasi lahan terang sampai putih cerah,
terbimbing tambang timah tekstur kasar, mengikuti pola
Maximum menggunakan sungai, memiliki ukuran
likelihood pada metode klasifikasi lahan yang luas dan terdapat
citra landsat 8 supervised dengan kubangan air yang berwarna
memanfaatkan data biru. Tingkat akurasi yang
citra satelit land dihasilkan dari penelitian
satellite tersebut adalah 90,5 persen.
(LANDSAT).

C. Kerangka Konsep

Hutan merupakan komponen penting dalam ekosistem darat, ada banyak

mahkluk hidup yang tinggal dan berkembang di hutan, sebagai produsen primer

dalam produksi O2 dan mengikat Co2, maka kerusakan hutan merupakan suatu

fenomena penting dalam ekosistem darat yang akan berpengaruh kepada

kestabilan lingkungan.

Analisis citra yang digunakan dalam menentukan luasan hutan tahun 2009

dengan menggunakan Citra Landsat 5, dan untuk mendapatkan luasan hutan

tahun 2019 menggunakan Citra landsat 8. Berdasarkan tahapan analisis

pemotongan citra kemudian menggunakan klasifikasi supervised selanjutnya

overlay peta untuk mendapatkan luasan tutupan hutan.


24

Exploitasi Sumber Penambangan


Daya Alam

Batu Bara

Deforetasi
Hutan

Luas deforestasi Laju deforestasi


Perubahan Luasan Tutupan
hutan Hutan tahun 2009 - 2019 hutan

Perubahan Tutupan Hutan


Daerah pertambangan Kota Sawahlunto,
tahun 2009 - 2019

Gambar 2. Kerangka Konseptual


Sumber : Pengolahan data
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, sedangkan pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu

metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena

yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini

menggunakan fenomena-fenomena yang dikaji berdasarkan time base dan space

base sehingga hasil penelitian menunjukan perubahan dalam skala ruang dan

waktu berdasarkan teori-teori dan perturan-peraturan terkait dengan tema

penelitian.

Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan fakta-fakta dan

menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada dan

mencoba menganalisis kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian merupakan tempat atau wilayah dimana penelitian akan

dilakukan (Afrizal, 2016: 128). Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019 dengan

wilayah kajian adalah Kota Sawahlunto, pengambilan data sekunder berupa citra

dan data primer cek lapangan, pengolahan data dan penyusunan laporan hasil

penelitian. Pengambilan data lapangan dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2019.

25
26
27

C. Alat Dan Bahan


1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 8. Alat dalam penelitian


No Alat Kegunaan
1. Software Envi 5.1 Untuk analisis data penelitian

2. Software ArcGis 10.3 Untuk menganalisis data vector

3.
Kamera dan GPS (global positioning Untuk mengambil dokumentasi
System) di lapangan
4. Alat tulis Untuk catatan hasil penelitian
Sumber : pengolahan data

2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Dalam penelitian ini digunakan beberapa data. Data terbut diantaranya

adalah data berupa data citra dan data pemetaan berupa softfile, berikut adalah

penjabaran data yang digunakan dan sumbernya:

Tabel 9. Bahan dalam penelitian


No Bahan Sumber
1 Peta Administrasi Bappeda
2 Citra landsat 5 tahun 2009 USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov/)
3 Citra landsat 8 tahun 2014 USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov/)
4 Citra landsat 8 tahun 2019 USGS
(https://earthexplorer.usgs.gov/)
Sumber : pengolahan data

D. Populasi Dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan (universum) dari objek penelitian yang dapat

berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap

hidup, dan sebagaiannya, sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data

penelitian (Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S. Sos., M. Si, 2005). Populasinya

yaitu Kota Sawahlunto.


28

Sampel merupakan bagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri atau

keadaan tertentu yang akan diteliti (Nanang Martono, 2016). Teknik sampel

yang di gunakan yaitu area sampling yang dimana teknik ini dipakai apabila

populasi penelitian adalah populasi area. Populasi yang berada pada area besar

kemudian dibagi menjadi daerah-daerah kecil yang jelas batasnya. Untuk

penelitian ini membutuhkan peta atau potret udara daerah yang di teliti. Peta atau

potret udara yang ini diperlukan untuk menentukan segmen-segmen wilayah

populasi tersebut. Maka populasi dan Sampel dari penelitian ini adalah daerah

pertambangan Kota Sawahlunto.

Tabel 10. Variabel Penelitian.


No Variabel Indikator Jenis Data
.
1 Variabel terikat a.Klasifikasi tutupan lahan dan Sekunder.
perubahan tutupan hutan
b.Klasifikasi tutupan lahan
(hutan,pertanian,lahan
terbuka,pemukiman dan
air)
2 Variable bebas a. Citra landsat 2009 Sekunder.
b. Citra landsat 2014
c. Citra landsat 2019
3 Variable control a. Citra resolusi tinggi Sekunder.
b. Cek lapangan dan Primer
Sumber : pengolahan data

E. Teknik Penarikan Sampel

Sampel dalam penelitian ini yaitu; purposive sampling, teknik

pengambilan sampel ini digunakan untuk menguji akurasi citra dalam

membuktikan kebenaran hasil interpretasi citra satelit dengan kenyataan yang

ada di lapangan. Mc.Coy, 2005 menjelaskan teknik pengambilan sampel ini

didasarkan sepenuhnya pada penilaian operator yang disengaja, dengan memilih

wakil atau lokasi sampel. Pengambilan sampel ini dipertahankan jika operator
29

sepenuhnya berpengalaman dalam bekerja dengan fenomena yang menjadi

sampel dan juga sangat akrab dengan luasnya variasi dalam daerah penelitian.

Dalam menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini ditetapkan

sebanyak 225 sampel dianggap sudah mewakili. Untuk menentukan ukuran

sampel (Justice dan Townshend ,1981 dalam Mc. Coy) menggunakan formula:

A=P(1+2L) ….. Sumber : Mc.Coy (1981)


Dimana:
A= Ukuran sampel di lapangan
P= ukuran piksel citra
L= Perkiraan akurasi lokasi (1 piksel)
Jadi,
A =1,5 m²(1+2×1)
=2,25 m²(1+2)
=2,25 m²(3)
=6,75 m²
Sumber: Mc. Coy. 2005

F. Teknik Pengambilan Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer didapat dari survei lapangan di daerah penelitian.

Sedangkan data Sekunder didapat dengan mendownload dari USGS

(https://earthexplorer.usgs.gov/). Berupa Citra Saetelit Landsat 5 TM dan Landsat

8 OLI.

Tabel 11. Teknik Pengupulan Data


No Nama Data Sumber Jenis Data
1 Citra Satelit Landsat 5 dan USGS Sekunder
citra Landsat 8 (https://earthexplorer.usgs.gov/)
2 Peta Adminsitrasi Bappeda Sekunder
4 Data Lapangan Survey Primer
5 Pendukung Informasi Wilayah Bappeda Sekunder
Sumber : pengolahan data

G. Pengelolaan Data
30

Metode penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap


persiapan, tahap pengolahan data dan tahap pasca pengolahan data. Berikut
penjabaran dari tahap penelitian tersebut :
1. Tahap Persiapan

Persiapan awal yang dilakukan dalam suatu penelitian yaitu

menyiapkan data-data dasar yang berhubungan dengan penelitian. Dalam

penelitian ini data yang diperlukan antara lain adalah bahan-bahan bacaan

yang berkaitan dengan penelitian, data tambahan dari instansi terkait,

disertai kajian pustaka dan citra satelit yang dapat di download di USGS

(United States Geological Survey).

2. Tahap Pengolahan Data

a. Pemotongan Citra (Masking citra)

Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi

objek penelitian. Hal pertama sebelum melakukan pemotongan citra yakni

dengan melakukan penentuan lokasi penelitian (clipping) dalam hal ini

berdasarkan batas administrasi wilayah Kota Sawahlunto. Selanjutnya setelah

didapatkan batasan area lokasi penelitian kemudian proses pemotongan citra

dapat dilakukan.

Tahapan pemotongan citra menyesuaikan dengan batasan kajian atau

batasan lain yang ditentukan oleh peneliti dalam objek kajiannya. Wilayah

komplek Kota Sawahlunto berbatasan dengan beberapa kabupaten,

pemotongan citra didasarkan pada wilayah administrasinya.


31

Gambar 3. Lokasi Kota Sawahlunto dilihat dari Sumatera Barat


Sumber : Pengolahan Data Primer 2019

Batasan Pemotongan disesuaikan dengan kotak merah diatas yang

secara administratif dan alami sudah mencangkup semua kawasan Kota

Sawahlunto. Berikut hasil pemotongan Citra Landsat wilayah Kota

Sawahlunto.

Gambar 4. Lokasi Kota Sawahlunto


Sumber : Pengolahan Data Primer 2019

b. Tutupan Lahan

Ekstraksi tutupan lahan dari citra baik Landsat 5 TM maupun Landsat

8 OLI TIRS dilakukan menggunakan metode supervised. Klasifikasi


32

terbimbing ini bertujuan unutk mendapatkan gambaran kasar tentang objek

dasar tutupan lahan yaitu berupa hutan dan non hutan.

3. Tahap Pasca Pengolahan Data

a. Penyusunan Laporan (Analisis dan Pembahasan)

Setelah data diolah, dianalisis dan disimpulkan hasil analisis.

Sehingga dapat diambil keputusan lanjut mengenai tindakan berikutnya.

Hasil analisis menjadi hasil akhir penelitian dengan menyajikan data yang

telah dianalisis.

Penyusunan laporan dilakukan saat penelitian telah selesai. Tahapan

ini merupakan bentuk pelaporan terhadap penelitian yang telah dilakukan

kemudian dilaporkan secara jelas dan detail sebagai pertanggung jawaban

atas penelitian yang telah dilaksanakan.

H. Teknik Analisis Data

1. Pengolahan citra

a) Metode Klasifikasi Terbimbing (Supervised)


Pada proses ini keakuratan objek bergantung sepenuhnya pada training

sample area yang diambil oleh peneliti saat pengambilan sampel di citra ketika

proses klasifikasi.Klasifikasi terbimbing ini bertujuan unutk mendapatkan

gambaran kasar tentang objek dasar tutupan lahan.

Hasil klasifikasi ini dipengaruhi oleh objek-objek sampel yang diambil

dalam kotak dialog klasifikasi terbimbing (terbimbing). Klasifikasi terbimbing

ini menggunakan teknik klasifikasi maksimum likelihood yang berpedoman

pada kemiripan nilai piksel pada setiap objek dicitra. Pengambilan objek

diperolah dalam bentuk training sample yang menghasilkan klasifikasi objek

tidak optimal
33

pada segi akurasi sehingga hasil hanya berupa gambaran kasar sebagai

perbandingan.

b) Tahap Overlay

Tahap overlay dimaksudkan untuk mendapatkan tutupan padang lamun

pada setiap tahun yang dijadikan acuan yaitu tahun 2009, 2014 dan 2019. Data

yang diadapatkan berupa hasil data vector yang sudah bisa terkalkulasikan

luasnya. Tahap overlay ini akan menghasilkan perubahan yang ada pada

tutupan hutan sehingga hasil akhir yang didapat berupa tren perubahan luasan.

c) Tahap Perhitungan Luas

Hasil ekstraksi dari analisis supervised diolah di Software ArcGIS 10.3

setelah hasil ekstraksi di convert menjadi Shapefile (shp). Metode perhitungan

luasan ini didasarkan pada sistem proyeksi UTM. Pengkonversian Shapefile

dilakukan dengan menggunakan tool project yang tersedia di Arctoolbook.

Setelah file terkonversi kedalam sistem koordinat UTM maka tahapan

perhitungan luas sudah dapat dilakukan, dalam hal ini zona UTM yang dipakai

adalah zona UTM 47 S, perhitungan dilakukan dengan menggunakan tool yang

tersedia di atribut tabel yaitu: calculate geometri dan satuan yang digunakan

adalah hektar (Ha).

d) Uji akurasi

Uji akurasi dengan data primer yang ditemukan dilapangan hingga

didapatkan metode Confusion matrix yang bernilai akurasi baik untuk

mendeteksi tutupan hutan, selain itu data yang didapatkan akan dijadikan

referensi dalam penyelesaian penelitian. Perhitungan nilai akurasi hasil


34

klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode confusion matrix. Hasil

confusion matrix adalah Kappa Coefficient, Overall Accuracy, User Accuracy

dan Producer Accuracy.

Secara matematis akurasi diatas dapat dinyatakan sebagai berikut:

User’s Accuracy = Xii / Xi+ x 100%

Produccer’s Accuracy = Xii / Xi+ x 100%

Overall Accuracy = Xii / N x 100%

Keterangan:

Xii = nilai diagonal matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i

Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i

X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

Secara matematis akurasi kappa disajikan sebagai berikut:

N Xii - Xi+
Kappa (k) X 100%.
Xi+
N2 -
= Xi+ Xi+
Sumber : Jaya (2010)
2. Analisis Luas Deforestasi Hutan

Deforestasi dalam Buku Pintar Bidang Planologi dan Tata Lingkungan

Tahun 2015 dihitung dengan batasan:

a) Penghitungan dilakukan pada kondisi tutupan lahan yang pada liputan

tahun sebelumnya merupakan hutan sedangkan pada liputan tahun berjalan

mengalami perubahan menjadi tidak berhutan (Non Hutan) dikurangi

kondisi tutupan lahan yang pada liputan tahun sebelumnya merupakan

tidak berhutan (Non Hutan) sedangkan pada liputan tahun berjalan

mengalami perubahan menjadi berhutan


35

b) Deforestasi bruto didapatkan dari hasil identifikasi lokasi-lokasi yang

berubah dari penutupan hutan ke tidak berhutan. Proses selengkapnya

disajikan pada gambar 6.

Gambar 5. Bagan Alur Analisis Deforestasi


Sumber: Buku Pintar Bidang Planologi dan Tata Lingkungan Tahun 2015
3. Laju Deforestasi Hutan

Laju deforestasi hutan diperoleh menggunakan persamaan rumus:

Sumber: Navratil Peter, 2013

r = Laju Deforestasi

A2 = Wilayah hutan (dalam Ha) pada tahun pengamatan 1

A2 = Wilayah hutan (dalam Ha) pada tahun pengamatan 2

Δt = Beda Waktu (dalam tahun) antara kedua tahun pengamatan


36
Citra

landsat 5 Citra landsat 8 Citra landsat 8


Tahun 2009 tahun 2014 tahun 2019

Pemotongan
citra

Analisis
supervised

Peta tutupan Peta tutupan Peta tutupan


lahan tahun 2009 lahan tahun 2014 lahan tahun 2019

overlay
Keterangan

= Data

= Proses
Peta Perubahan Survey
= Hasil lapangan
luasan Tutupan
Lahan
= uji akurasi

Uji
akurasi

Peta Perubahan Luas deforestasi Laju deforestasi


luasan Tutupan hutan hutan
Hutan

Peta Perubahan Tutupan Hutan Daerah


Pertambangan Kota Sawahlunto Tahun 2009-2019

Gambar 6. Bagan Diagram Alir


Sumber : Pengolahan Data
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Sawahlunto terletak di perbukitan dengan posisi terletak antara

0° 33' 40'' - 0°' 48' 33'' LS sampai 100° 41' 59' '- 100° 41' 60'' BT. Berdasarkan

letak geografis tersebut kota Sawahlunto berbatasan dengan:

1. Utara : Kabupaten Tanah Datar

2. Selatan : Kabupaten Solok

3. Timur : Kabupaten Sijunjung

4. Barat : Kabupaten Solok

Kota Sawahlunto di kenal sebagai kota tambang dengan luas wilayah

sebesar 27.345 ha atau 273,45 km2, secara administrasi terdiri dari 4 kecamatan,

10 kelurahan dan 27 desa. Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Silungcdkang

dengan luas 32.93 km2 sedangkan kecamatan terluas adalah Kecamatan Talawi

dengan luas 99.39 km2, untuk lebih jelasnya mengenai luas wilayah administrasi

Kota Sawahlunto dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 12. Luas wilayah kota menurut kecamatan


Kecamatan Luas Wilayah (km²)
Kecamatan Silungkang 32,93
Kecamatan Lembah Segar 52,58
Kecamatan Barangin 88,55
Kecamatan Talawi 99,39
Jumlah 273.45
Sumber: BPS Tahun 2014

37
38

Secara topografi wilayah Kota Sawahlunto terletak di perbukitan

dengan ketinggian antara 250-650 meter dari permukaan laut, terbentang dari

utara ke selatan. Bagian timur dan selatan memiliki topografi yang relative

curam dengan kemiringan lebih dari 40%, yang keseluruhan luasnya mencapai

28,52% dari luas wilayah kota, sedangkan bagian utara bergelombang dan

relatif datar. Permukiman perkotaan hanya dijumpai di Kecamatan Talawi,

Pusat Kota Lama dan sebagian wilayah Kecamatan Barangin, yang wilayahnya

relatif datar dengan total luas 18% dari luas wilayah. Selengkapnya kelerengan

lahan di Kota Sawahlunto dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 13. kelerengan lahan di Kota Sawahlunto tahun 2014


Luas Lahan Dengan Kelerengan (Ha)
Kecamatan > Jumlah
0 – 2% 2 – 15% 15 – 25% 25 – 40%
40% (Ha)
Talawi 991 1.420 2.680 3.195 1.653 9.939

Barangin 343 1.514 1.432 3.450 2.136 8.855

Lb. Segar 240 358 694 1.836 2.110 5.258

Silungkang 29 288 735 340 1.901 3.293

Jumlah 1.603 3.580 5.541 8.821 7.800 27.345


Sumber:Kota Sowahlunto dalam angka Tahun 2014

Secara umum suhu rata-rata di Sumatera Barat tercatat antara 22º- 28ºC

sedangkan perbedaan antar temperatur siang dan malam antara 5º-7ºC, kondisi

ini tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada di Kota Sawahlunto berkisar

antara 22º-28ºC.

Peta Curah Hujan Indonesia memberikan gambaran bahwa Kota

Sawahlunto berada di dalam isohyat (garis curah hujan) antara 1.500 – 2.000

mm
39

per tahun dengan rata-rata curah hujan per tahunnya sebesar 1.716,37 mm

dengan rata-rata hari hujan 130 hari. Sepanjang tahun terdapat dua musim yaitu

musim hujan pada bulan November sampai Juni dan musim kemarau pada bulan

Juli sampai Oktober Kota Sawahlunto dilalui oleh Daerah

Aliran Sungai (DAS) INDRAGIRI yang terdiri dari 5 (lima) buah sungai

atau batang utama yaitu:

a. Batang Ombilin

Sungai Ombilin merupakan sungai terbesar yang mengalir dari utara ke

selatan dari Desa Talawi Mudik ke Desa Rantih Kecamatan Talawi. Sungai ini

berhulu dari Danau Singkarak dan bermuara di Batang Kuantan Riau, dengan

debit sungai di daerah Sikalang-Rantih lebih dari 10 m3/detik.

b. Batang Malakutan

Sungai ini mengalir dari barat yang berhulu di Desa Siberambang,

Kecamatan X Koto, Kabupaten Solok ke timur melewati Desa Kolok Mudiak

dan Desa Kolok Nan Tuo di Kecamatan Barangin yang akhirnya bertemu

dengan Batang Ombilin.

c. Batang Lunto

Sungai ini berhulu di Desa Lumindai, Kecamatan Barangin dan mengalir

dari arah barat menuju timur dan membelah kota dan bermuara di Batang

Ombilin.
40

d. Batang Sumpahan

Sungai ini berhulu di Kubang Utara Sikabu di Kecamatan Lembah

Segar kemudian bertemu dengan Batang Lunto di Kelurahan Pasar dan

akhirnya bermuara di Batang Ombilin.

e. Batang Lasi

Sungai ini berhulu di Kecamatan IX Koto Sungai Lasi, Kabupaten

Solok yang mengalir menyusuri jalan Nasional Solok ke Sijunjung di

Kecamatan Silungkang, dan keluar di perbatasan Kota Sawahlunto – Sijunjung.

Sungai ini kemudian bertemu juga dengan Batang Ombilin di Sungai Kuantan

atau Indragiri.

Kota Sawahlunto terletak di atas Formasi Sawahlunto, batuan yang

terbentuk pada zaman yang diberi istilah kala (epoch) Eocen sekitar 40 – 60

juta tahun yang lalu, serta berada di cekungan pra-tersier Ombilin yang

berbentuk belah ketupat panjang dengan ujung bulat, selebar 22,50 km dan

Panjang 47,00 km. Dalam cekungan ini diperkirakan 2,00 km, diisi oleh

lapisan yang muda yang disebut dengan Formasi Brani, Formasi

Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawah Tambang dan Formasi

Ombilin. Formasi Ombilin merupakan lapisan paling muda menurut kategori

zaman tersier atau berumur sekitar 2 juta tahun.


41

B. Hasil Penelitian

1. Identifikasi Perubahan Luasan tutupan hutan di daerah pertambangan

Hutan adalah seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan

pergunungan (dataran tinggi dan subalpin) yang belum menampakkan bekas

penebangan, termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas batuan kapur,

hutan di atas batuan ultra basa, hutan daun jarum, hutan luruh dan hutan lumut.

Hutan pada daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009 seluas 3.572 Ha

dan berkurang pada tahun 2014 menjadi 3.556 Ha berkurang seluas 16 Ha pada

tahun 2019 menjadi 3.139 Ha. Berkurangnya hutan ini disebabkan

terdegradasinya hutan menjadi tutupan lahan lainnya.

Hasil analisis menunjukkan terjadi perubahan luasan yang ada di tutupan

hutan dari tiga tahun yang telah di identifikasi dan di hitung luasannya,

perbedaan luasan terjadi dari tahun ke tahun, berikut perubahan luasannya:

Tabel 14. Perubahan Luasan Tutupan Lahan Metode Klasifikasi Supervised


No Objek 2009 (Ha) 2014 (Ha) 2019 (Ha)
1 Hutan 3.572 3.556 3.150
2 Pertanian 745 780 1.115
3 Permukiman 98 119 225
4 Lahan Terbuka 783 686 686
5 Tubuh air 98 119 119
Sumber : Hasil kalkulasi metode Klasfikasi Supervised

Objek tutupan hutan yang terdeteksi oleh metode klasifikasi supervised

menunjukkan ada perbedaan luasan yang terjadi pada tahun 2009 ke 2014 dan

2014 ke 2019 untuk gambaran lebih jelasnya adalah sebagai berikut :


42

Perubahan Tutupan Lahan


4.000
3.500
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
Hutan Pertanian Permukiman Lahan Terbuka Tubuh air

2009 (Ha) 2014 (Ha) 2019 (Ha)

Gambar 7. Perubahan luasan objek metode klasifikasi Supervised


Sumber : Data olahan Klasifikasi Supervised

Hutan
3.700
3.600 3.572 3.556
3.500
3.400
3.300
3.200
3.100 3.150
3.000
2.900
2009 (Ha) 2014 (Ha) 2019 (Ha)

Gambar 8 . Perubahan luasan tutupan hutan metode klasifikasi Supervised


Sumber : Data olahan Klasifikasi Supervised

Berdasarkan data hasil analisis supervised yang telah di kalkulasikan di

dalam grafik diatas terlihat objek tutupan hutan mengalami pengurangan luasan

dari tahun 2009 ke 2019 yaitu luasannya berkurang dari 433 hektar menjadi

3.139 hektar.
43

a) Klasifikasi Tutupan Lahan

Berdasarkan hasil pembuatan peta tutupan lahan daerah

pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009 - 2019 dengan klasifikasi

supervised menggunakan citra landsat 5 TM dan citra landsat 8 OLI,

terdapat 5 klasifikasi tutupan lahan. Klasifikasi tutupan lahan daerah

pertambangan Kota Sawahlunto yaitu:

1) Hutan

Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan

pergunungan (dataran tinggi dan subalpin) yang belum menampakkan

bekas penebangan, termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas

batuan kapur, hutan di atas batuan ultra basa, hutan daun jarum, hutan

luruh dan hutan lumut. Hutan pada daerah pertambangan Kota Sawahlunto

tahun 2009 seluas 3572 Ha dan berkurang pada tahun 2014 menjadi 3.556

Ha berkurang seluas 16 Ha. Pada tahun 2019 menjadi 3.130 Ha dan

berkurang lagi seluas 426 Ha. Berkurangnya hutan ini disebabkan

terdegradasinya hutan menjadi tutupan lahan lainnya.

2) Lahan Terbuka

Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan

puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkanik, gosong pasir, pasir

pantai, endapan sungai), dan lahan terbuka bekas aktivitas tambang.

Kenampakan lahan terbuka untuk pertambangan dikelaskan pertambangan,

sedangkan lahan terbuka bekas pembersihan lahan (land clearing)

dimasukkan kelas lahan terbuka. Lahan terbuka dalam kerangka rotasi


44

tanam sawah / tambak tetap dikelaskan sawah / tambak. Luas lahan

terbuka pada daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009 seluas

783 Ha, tahun 2014 seluas 686 Ha dan pada tahun 2019 berkurang mnjadi

672 Ha.

3) Pemukiman

Kawasan permukiman, baik perkotaan, perdesaan, industri dll. yang

memperlihatkan pola alur rapat. Luas pemukiman pada hutan lindung Kota

Padang tahun 2009 seluas 98 Ha bertambah pada tahun 2014 menjadi 155

Ha dan tahun 2019 seluas 224 Ha.

4) Pertanian

Semua aktifitas pertanian, baik pertanian di lahan kering seperti

tegalan, kebun campuran dan ladang, maupun semua aktifitas pertanian

lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang. Yang perlu diperhatikan

oleh penafsir adalah fase rotasi tanam yang terdiri atas fase penggenangan,

fase tanaman muda, fase tanaman tua dan fase berat. Luas lahan pertanian

pada daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009 seluas 745 Ha

meningkat pada tahun 2019 menjadi 780 Ha dan tahun 2019 seluas 1.133

Ha.

5) Tubuh Air

Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk,

terumbu karang, padang lamun dll. Kenampakan tambak, sawah dan rawa-

rawa telah digolongkan tersendiri. Luas tubuh air pada daerah

pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009 seluas 98 Ha, tahun 2016

meningkat menjadi 119 Ha dan tahun 2019 seluas 105 Ha.


45
46
47
48

b) Perubahan Tutupan Hutan

Hasil analisis menunjukkan terjadi perubahan luasan yang ada di

tutupan hutan dari tiga tahun yang telah di identifikasi dan di hitung

luasannya, perbedaan luasan terjadi dari tahun ke tahun, berikut perubahan

luasannya:

1) Perubahan tutupan hutan tahun 2009-2014

Perhitungan perubahan tutupan hutan daerah pertambangan Kota

Sawahlunto sesuai dengan metode penelitian pada bab tiga analisis luas

tutupan hutan berdasarkan overlay tutupan lahan tahun 2009 dengan

tutupan lahan tahun 2014. Dalam penelitian ini jarak waktu perhitungan

perubahan luasan 5 tahun.

Tabel 15. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Metode Klasifikasi Supervised


no Tutupan Lahan 2009 luas (ha)
Tutupan Lahan 2014 luas (ha)
Hutan (-) 2958
Permukiman (+) 39
1 Hutan 3572 pertanian (+) 435
Tambang (+) 126
Tubuh Air (+) 14
2 Permukiman 98 Permukiman 98
Hutan (+) 382
3 pertanian 745 Permukiman (+) 18
pertanian (-) 345
Hutan (+) 216
4 Tambang 783 Tambang (-) 560
Tubuh Air (+) 7
5 Tubuh Air 98 Tubuh Air 98
Total 5296 5296
1 Hutan 3572 Hutan (-) 3556
2 Permukiman 98 Permukiman (+) 155
3 pertanian 745 pertanian (+) 780
4 Tambang 783 Tambang (-) 686
5 Tubuh Air 98 Tubuh Air (+) 119
total 5296 5296
Sumber : Hasil kalkulasi metode Klasfikasi Supervised 2019
49

Dari hasil didapat dari tutupan hutan tahun 2009 adalah areal hutan

menjadi non hutan pada tahun 2014, yaitu seluas 614 Ha. Dan areal non

hutan menjadi hutan seluas 598 Ha. Sementara keadaan tetap, yaitu

tutupan hutan pada tahun 2009 dan 2014 seluas 2.958 Ha. Perubahan

tutupan hutan ini terjadi karena degradasi hutan karena hutan berubah ke

tutupan lahan lain, seperti permukiman, pertanian, lahan terbuka terkusus

tambang dan perubahan hutan ini tidak ada terjadi karena bencana alam,

walaupun topografi daerah ini berbukit-bukit. Agar lebih jelas dapat

dilihat pada peta perubahan tutupan hutan daerah pertambangan Kota

Sawahlunto berikut:
50
51

2) Perubahan tutupan hutan tahun 2014-2019

Perhitungan perubahan tutupan hutan daerah pertambangan Kota

Sawahlunto sesuai dengan metode penelitian pada bab tiga analisis luas

tutupan hutan berdasarkan overlay tutupan lahan tahun 2014 dengan

tutupan lahan tahun 2019. Dalam penelitian ini jarak waktu perhitungan

perubahan luasan 5 tahun. Analisis overlay klasifikasi tutupan lahan tahun

2014 dan 2019 menemukan perubahan tutupan hutan daerah pertambangan

Kota Sawahlunto.

Tabel 16. Perubahan Luasan Tutupan Hutan Metode Klasifikasi Supervised


no tutupan lahan 2014 luas (ha) tutupan lahan 2019 luas (ha)
Hutan (-) 3150
1 Hutan 3556 Permukiman (+) 70
Pertanian (+) 341
Tubuh Air (+) 1
2 Permukiman 155 Permukiman 155
3 pertanian 780 Pertanian (-) 774
4 Tambang 686 Tambang 686
5 Tubuh Air 119 Tubuh Air 119
total 5296 Total 5296
1 Hutan 3556 Hutan (-) 3150
2 Permukiman 155 Permukiman (+) 225
3 pertanian 780 Pertanian (+) 1115
4 Tambang 686 Tambang 686
5 Tubuh Air 119 Tubuh Air (+) 120
Total 5296 Total 5296
Sumber : Hasil kalkulasi metode Klasfikasi Supervised 2019

Dari hasil didapat dari tutupan hutan tahun 2014 adalah areal hutan

menjadi non hutan pada tahun 2019, yaitu seluas 413 Ha. Sementara

keaadaan tetap, yaitu tutupan hutan pada tahun 2014 dan 2019 seluas

3150 Ha. Agar lebih jelas dapat dilihat pada Peta perubahan tutupan

Hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto berikut:


52
53

c) Uji Akurasi Citra

Uji akurasi dalam pengolahan citra bertujuan untuk membandingkan

tingkat akurasi metode klasifikasi supervised. Uji akurasi dilakukan dengan

menggunakan Confusion Matrik. Jumlah sampel yang diambil adalah 51

titik sampel yang ditentukan secara random. Penentuan Jumlah sampel

menggunakan rumus sebagai berikut : Dalam penelitian ini tingkat ketelitian

minimum yang diharapkan adalah 85 % dan tingkat kesalahan maksimum

adalah 10 % maka setelah dihitung sampel yang dibutuhkan adalah :

4. 𝑝. 𝑞
𝑁=
𝐸2

𝑁= = 51

Maka sampel yang digunakan untuk uji akurasi adalah 51


Berikut ini tabel uji akurasi metode klasifikasi supervised:

Tabel 17. Tabel Confussion Matriks Metode Klasifikasi Supervised


Data Lapangan
Klasifikasi Hutan Pertanian Permukiman Tambang Tubuh Air Total Ref

Hutan 29 2 1 1 0 33
Pertanian 0 7 0 2 0 9
Permukiman 0 0 2 0 0 2
Tambang 1 0 0 6 0 7
Tubuh air 0 0 0 0 1 1
Total Ref 30 9 3 9 1 51
Piksel Piksel Tingkat Akurasi total Piksel
Eror Benar = Piksel eror / piksel benar X
100 = 88, 43 %

Sumber: Tabel matrik uji akurasi metode klasifikasi supervised

Berdasarkan hasil tabel uji akurasi, nilai akurasi metode klasifikasi

supervised memiliki akurasi sebesar 88,43 %, terhitung ada 45 sampel benar


54

dan 6 sampel berada diluar objek yang di interpretasi dari total 51 sampel

yang diambil dilapangan.

2. Luas Deforestasi Hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto

Perhitungan deforestasi hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto

sesuai dengan metode penelitian pada bab tiga analisis luas deforestasi hutan

berdasarkan overlay tutupan lahan tahun 2009 dengan tutupan lahan tahun

2019. Dalam penelitian ini jarak waktu perhitungan deforestasi 10 tahun.

Analisis overlay klasifikasi tutupan lahan tahun 2009 dan 2019 menemukan

deforestasi dan reforestasi untuk menghasilkan deforestasi pada hutan daerah

pertambangan Kota Sawahlunto.

Untuk mendapatkan hasil analisis spasial

a) H (to)  H (ti) (tetap)

b) H (to)  NH (ti) (berubah)

c) NH (to)  NH (ti) (tetap)

d) NH (to)  H (ti) (berubah)

Untuk perhitungan deforestasi :

H (to)  H (ti) (Deforestasi)

NH (to)  H (ti) (Reforestasi)

Deforestasi = Deforestasi bruto - Reforestasi

Keterangan : to  tahun 2009, ti  tahun 2019

Sumber: Buku Pintar Bidang Planologi dan Tata Lingkungan Tahun 2015
55

Tabel 18. Tabel deforestasi hutan Metode Klasifikasi Supervised


No Tutupan Lahan 2009 Luas (Ha) Tutupan Lahan 2019 Luas (Ha) Deforestasi
3572 Hutan 2982 Tetap
Permukiman 135 Deforestasi
1 Hutan Pertanian 465 Deforestasi
Tambang 162 Deforestasi
Tubuh Air 13 Deforestasi
2 Tambang Hutan 168 Reforestasi
3 Permukiman 98 Permukiman 98 Tetap
745 Permukiman 55 Tetap
4 Pertanian
Pertanian 667 Tetap
Tambang 18 Tetap
783 Pertanian 143 Tetap
5 Tambang
Tambang 458 Tetap
Tubuh Air 14 Tetap
6 Tubuh Air 98 Tubuh Air 86 Tetap
Total 5296 Total 5296
Sumber: Hasil kalkulasi metode klasifikasi supervised 2019

Kategori tutupan lahan hutan adalah seluruh tutupan hutan, dan kategori non

hutan adalah tutupan lahan selain hutan (permukiman, lahan terbuka, pertanian

dan tubuh air). Doforestasi didapat dari tutupan lahan 2009 adalah areal hutan

menjadi non hutan pada tahun 2019, yaitu seluas 775 Ha. Reforestasi kebalikan

dari deforestasi, dimana tutupan lahan non hutan menjadi hutan seluas 168 Ha.

Sementara keaadaan tetap, yaitu tutupan lahan non hutan dan hutan sama pada

tahun 2009 dan 2019 seluas 4.521 Ha. Untuk mendapatakan luas deforestasi

bersih, deforestasi dikurang dengan reforestasi, yaitu 607 Ha. Jadi total deforestasi

pada hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009-2019 seluas 607

Ha. Agar lebih jelas dapat dilihat pada Peta Deforestasi Hutan daerah

pertambangan Kota Sawahluntoberikut:


56
57

3. Laju Deforestasi Hutan Daearah Pertambangan Kota Sawahlunto

Interpretasi citra Landsat 5 TM tahun 2009 dan Landsat 8 TM tahun

2014 dan 2019 masing-masing menghasilkan peta tutupan lahan. Laju

deforetasi diperoleh dari perubahan tutupan lahan tahun 2009-2019. Sesuai

dengan bab dua tabel dua skema klasifikasi penutup lahan, tutupan lahan dibagi

menjadi hutan dan bukan hutan untuk menghitung laju deforestasi hutan

menggunakan persamaan rumus pada bab tiga persamaan laju deforestasi

hutan.

Laju deforestasi hutan diperoleh menggunakan persamaan rumus:

r = Laju Deforestasi

A1 = Wilayah hutan (dalam Ha) pada tahun pengamatan 2009

A2 = Wilayah hutan (dalam Ha) pada tahun pengamatan 2019

Δt = Beda Waktu (dalam tahun) antara kedua tahun pengamatan (10 tahun)

Sumber: Navratil Peter, 2013

Berikut tabel laju deforestasi hutan daerah pertambangan Kota

Sawahlunto tahun 2009-2019:

Tabel 19. Laju Deforestasi Daerah Pertambangan Kota Sawahlunto Tahun 2009-2019
Laju Laju
Kelas Luas 2009 Persentase Luas 2019 Persentase
Deforestasi Deforestasi/ Ket
Klasifikasi (Ha) (%) (Ha) (%)
(%) Tahun (%)
Hutan 3.572 68 3.150 64 6.63 0,66 (-)
Bukan
1.724 32 2.146 36 14.37 1.43 (+)
Hutan
Total 5296 100 5296 100
Sumber: Analisis Deforestasi Daerah Pertambangan Kota Sawahlunto
58

Laju deforestasi hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto

pertahunnya adalah 0,66%, artinya hutan daerah pertambangan Kota

Sawahlunto setiap tahunnya berkurang seluas 34,95 Ha. Laju areal bukan hutan

tiap tahunnya bertambah 1.43% artinya areal bukan hutan di hutan daerah

pertambangan Kota Sawahlunto setiap tahunnya akan bertambah seluas 75,72

Ha setiap tahunnya. Angka ini disebabkan degradasi pada hutan daerah

pertambangan terdegradasi sangat besar dan tutupan non hutan bertambah.

Hutan bertambah dan berkurang menjadi kelas klasifikasi areal bukan hutan.
59

C. Pembahasan

Penelitian analisis perubahan tutupan hutan dilakukan pada daerah

pertambangan Sawahlunto. Daerah pertambangan Kota Sawahlunto berdasarkan

status kawasan pada RTRW Kota Sawahlunto. Daearah pertambangan Kota

Sawahlunto meliputi Kecamatan Talawi, Kecamatan Barangin, Kecamatan

Lembah Segar.

Secara topografi wilayah Kota Sawahlunto terletak di perbukitan dengan

ketinggian antara 250-650 meter dari permukaan laut, terbentang dari utara ke

selatan. Bagian timur dan selatan memiliki topografi yang relative curam dengan

kemiringan lebih dari 40%, yang keseluruhan luasnya mencapai 28,52% dari luas

wilayah kota, sedangkan bagian utara bergelombang dan relatif datar. Daerah

pertambangan Kota Sawahlunto umumnya berada pada lereng datar sampai

dengan lereng curam (kelas 0%-40%).

Kota Sawahlunto terletak di atas Formasi Sawahlunto, batuan yang

terbentuk pada zaman yang diberi istilah kala (epoch) Eocen sekitar 40 – 60 juta

tahun yang lalu, serta berada di cekungan pra-tersier Ombilin yang berbentuk

belah ketupat panjang dengan ujung bulat, selebar 22,50 km dan Panjang 47,00

km.

Hasil penelitian ini menggunakan klasifikasi supervised. Klasifikasi

Supervised adalah metode pengolahan supervised menggunakan tahapan

pengambilan training sampel objek Region Of Interest sampel yang diambil

adalah Hutan, Pertanian, Permukiman, Lahan Terbuka dan Tubuh air. Rerata nilai

piksel yang diambil sesuai dengan kepekaan mata. Citra Landsat 5 tahun 2009

memiliki
60

resolusi spasial sebesar 30 dan mempunyai Band Pankromatik dengan resolusi

spasial 15 meter. hingga bisa digunakan dalam mempertajam Band red green blue.

Proses pengambilan training dilakukan dari beragam macam sampel. Pengambilan

training sampel ini sudah mewakili objek yang di klasifikasikan yaitu Hutan,

Pertanian, Permukiman, Lahan Terbuka dan Tubuh air. Kemudian dengan

menggunakan Algoritma Maksimum Likelhood dengan asumsi kemiripan

maksimum sehingga piksel akan dikelompokan dalam nilai piksel yang sama serta

mengevaluasi kuantitatif varian maupun korelasi pola tangggapan spektral pada

saat melakukan klasifikasi untuk piksel yang tidak dikenal.

Pengukuran tingkat akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan atas 51 titik

sampel pada daerah pertambangan Kota Sawahlunto. Berdasarkan tabel uji

akurasi, nilai akurasi metode klasifikasi supervised memiliki akurasi sebesar

88,43 %, yaitu terdapat 45 sampel berada pada objek yang sesuai dengan kondisi

real di lapangan.

Akurasi citra didapat dari hasil interpretasi citra yang dibandingkan

dengan survey lapangan. Uji akurasi dilakukan setelah overlay interpretasi citra

tahun 2009, 2014, dan 2019. Titik sampel diletakkan pada tutupan lahan yang

berubah menggunakan purposive sampling. Dimana uji akurasi ini hasilnya

88,43%. Kesalahan terjadi pada tutupan lahan terbuka tambang, pertanian

permukiman.

1. Identifikasi Perubahan Luasan tutupan hutan di daerah pertambangan

Hasil analisis menunjukkan terjadi perubahan luasan yang ada di tutupan

lahan dari tiga tahun yang telah di identifikasi dan di hitung luasannya,

perbedaan

luasan terjadi dari tahun ke tahun, berikut perubahan luasannya:


61

Tabel 20. Perubahan Luasan Tutupan Lahan Metode Klasifikasi Supervised


No Objek 2009 (Ha) 2014 (Ha) 2019 (Ha)
1 Hutan 3.572 3.556 3.150
2 Pertanian 745 780 1.115
3 Permukiman 98 119 224
4 Lahan Terbuka 783 686 686
5 Tubuh air 98 119 119
Sumber : Hasil kalkulasi metode Klasfikasi Supervised

Objek tutupan hutan yang terdeteksi oleh metode klasifikasi supervised

menunjukkan ada perbedaan luasan yang terjadi pada tahun 2009 ke 2014 dan

2014 ke 2019 untuk gambaran lebih jelasnya adalah sebagai berikut :

Perubahan Tutupan Lahan


4.000

3.000

2.000

1.000

0
Hutan Pertanian Permukiman Lahan Tubuh air
Terbuka

2009 (Ha) 2014 (Ha) 2019 (Ha)

Gambar 9. Perubahan luasan objek metode klasifikasi Supervised


Sumber : Data olahan Klasifikasi Supervised

Berdasarkan data hasil analisis supervised yang telah di kalkulasikan di

dalam grafik diatas terlihat objek tutupan hutan mengalami pengurangan luasan

dari tahun 2009 ke 2019 yaitu luasannya berkurang dari 433 hektar menjadi

3.150 hektar. Dan daerah tutupan lahan pertanian dan pertanian mengalami

peningkatan luasan dari tahun 2009 sampai tahun 2019. Sedangkan tutupan

lahan lahan terbuka atau daerah pertambangan mengalami pengurangan dari

tahun 2009 sampai dengan 2019.


62

Tabel 21. Perubahan Luasan Tutupan Lahan Metode Klasifikasi Supervised


Hutan
Tahun 2009 2014 2019
Luas 3572 3556 3150
Sumber : Data olahan Klasifikasi Supervised

Hutan
3.700
3.600 3.572 3.556
3.500
3.400
3.300
3.200
3.100 3.150
3.000
2.900
2009 (Ha) 2014 (Ha) 2019 (Ha)

Gambar 10. Perubahan luasan tutupan hutan metode klasifikasi Supervised


Sumber : Data olahan Klasifikasi Supervised

Berdasarkan data hasil analisis supervised yang telah di kalkulasikan di

dalam grafik diatas terlihat objek tutupan hutan mengalami pengurangan luasan

dari tahun 2009 ke 2019 yaitu luasannya berkurang dari 433 hektar menjadi

3.150 hektar. Perubahan tutupan hutan ini terjadi karena degradasi hutan

karena hutan berubah ke tutupan lahan lain, seperti permukiman, pertanian,

lahan terbuka terkusus tambang dan perubahan hutan ini tidak ada terjadi

karena bencana alam, walaupun topografi daerah ini berbukit-bukit.

2. Luas Deforestasi Hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto

Penelitian deforestasi hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto

berbasis tutupan lahan. Tutupan lahan ini terdiri dari klasifikasi tutupan lahan

hutan dan klasifikasi tutupan lahan bukan hutan. Tutupan lahan hutan terdiri
63

dari hutan. Tutupan lahan bukan hutan terdiri dari pertanian, lahan terbuka,

tubuh air, dan pemukiman.

Perhitungan deforestasi hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto

sesuai dengan metode penelitian pada bab tiga analisis luas deforestasi hutan

berdasarkan overlay tutupan lahan tahun 2009 dengan tutupan lahan tahun

2019. Dalam penelitian ini jarak waktu perhitungan deforestasi 10 tahun.

Analisis overlay klasifikasi tutupan lahan tahun 2009 dan 2019 menemukan

deforestasi dan reforestasi untuk menghasilkan deforestasi pada hutan daerah

pertambangan Kota Sawahlunto.

Doforestasi didapat dari tutupan lahan 2009 adalah areal hutan menjadi

non hutan pada tahun 2019, yaitu seluas 775 Ha. Reforestasi kebalikan dari

deforestasi, dimana tutupan lahan non hutan menjadi hutan seluas 168 Ha.

Sementara keaadaan tetap, yaitu tutupan lahan non hutan dan hutan sama pada

tahun 2009 dan 2019 seluas 3.965 Ha. Untuk mendapatakan luas deforestasi

bersih, deforestasi dikurang dengan reforestasi, yaitu 607 Ha. Jadi total

deforestasi pada hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009-

2019 seluas 607 Ha.

3. Laju Deforestasi Hutan Daearah Pertambangan Kota Sawahlunto

Interpretasi citra Landsat 5 TM tahun 2009 dan Landsat 8 OLI tahun

2014 dan 2019 masing-masing menghasilkan peta tutupan lahan. Laju

deforetasi diperoleh dari perubahan tutupan lahan tahun 2009-2019. Sesuai

dengan bab dua tabel dua skema klasifikasi penutup lahan, tutupan lahan dibagi

menjadi hutan dan bukan hutan untuk menghitung laju deforestasi hutan

menggunakan
64

persamaan rumus pada bab tiga persamaan laju deforestasi hutan. Berikut tabel

laju deforestasi hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009-2019:

Tabel 22. Laju Deforestasi Daerah Pertambangan Kota Sawahlunto Tahun 2009-2019
Laju Laju
Kelas Luas 2009 Persentase Luas 2019 Persentase
Deforestasi Deforestasi/ Ket
Klasifikasi (Ha) (%) (Ha) (%) (%) Tahun (%)
Hutan 3.572 68 3.150 64 6.63 0,66 (-)
Bukan
1.724 32 2.146 36 14.37 1.43 (+)
Hutan
Total 5296 100 5296 100
Sumber: Analisis Deforestasi Daerah Pertambangan Kota Sawahlunto

Laju deforestasi hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto

pertahunnya adalah 0,66%, artinya hutan daerah pertambangan Kota

Sawahlunto setiap tahunnya berkurang seluas 34,95 Ha. Laju areal bukan hutan

tiap tahunnya bertambah 1.43% artinya areal bukan hutan di hutan daerah

pertambangan Kota Sawahlunto setiap tahunnya akan bertambah seluas 75,72

Ha setiap tahunnya. Angka ini disebabkan degradasi pada hutan daerah

pertambangan terdegradasi sangat besar dan tutupan non hutan bertambah.

Hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto mengalami deforestasi

hutan tahun 2009 sampai tahun 2019. Deforestasi hutan ini diperoleh dari

deforestasi bruto dikurang reforestasi. Dari pengurangan ini mendapatkan

angka deforestasi hutan lindung seluas 607,5 Ha. Dengan laju deforestasi

34,95 Ha, setiap tahunnya dan bertambah luasnya area bukan hutan 75,72 Ha.

Dilihat dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, analisis perubahan

tutupan hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto tahun 2009-2019 seluas

607,5 Ha dengan laju deforestasi 38,57 Ha pertahunnya dan bertambah luasnya

area bukan hutan 332,64 Ha pertahunnya. Menggunakan metode interpretasi

citra manual dengan klasifikasi supervised menggunakan citra landsat 5 TM


65

tahun 2000 dan landsat 8 OLI tahun 2014 dan 2019 didapat hasil uji akurasi

88,43%.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kondisi perubahan luasan tutupan hutan menggunakan metode klasifikasi

supervised tahun 2009 seluas 3.572 Ha tahun 2014 seluas 3.556 Ha

mengalami pengurangan luas menjadi 16 Ha pada tahun 2019 seluas

3.130 luas tutupan hutan berkurang derastis pada luas 426 Ha.

2. Analisis deforestasi berbasis tutupan lahan di hutan daearah pertambangan

Kota Sawahlunto terdiri dari tutupan lahan hutan dan tutupan lahan bukan

hutan. Tutupan lahan hutan terdiri dari hutan. Tutupan lahan bukan hutan

terdiri dari pertanian, pemukiman, lahan terbuka, dan tubuh air.

Deforestasi hutan daerah pertambangan Kota Sawahlunto dari tahun 2009

sampai tahun 2019 seluas 607,5 Ha.

3. Untuk laju deforestasi hutan seluas 34,95 Ha pertahun dan laju bertambah

luasnya area bukan hutan seluas 75,72 Ha pertahunnya.

B. Saran

1. Bagi pemerintah Kota Sawahlunto, deforestasi hutan daerah

pertambangan ini perlu mendapatkan pengawasan pemerintah dan instansi

terkait khususnya dinas kehutanan. Perhatian dan pengawasan ini

dilakukan agar fungsi hutan tidak terganggu.

2. Saran bagi peneliti selanjutnya, harus memperhatikan lagi pengambilan

sampel agar benar-benar sesuai dengan kondisi real di lapangan serta juga

mempertimbangkan kondisi fisik untuk hasil yang lebih akurat.

66
67

3. Pada saat proses interpretasi harus memperhatikan bagaimana scene cloud

dari citra bagaimana kondisi tutupan awan dari citra yang di interpretasi,

dan juga terdapat ada beberapa metode lain dalam mengidentifikasi

tutupan lahan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Statistik Daerah Sawahlunto 2015.


Sawahlunto: Badan Pusat Statistik Sawahlunto.

Barrett, E.C dan Curtis, L.F. 1983. Introduction to Environmental Remote Sensing.
London: Chapman and Hall.
Catur, U., Susanto, Dipo, Y dan Mukhoriyah. 2015. Identifikasi Lahan Tambang
Timah Menggunakan Metode Klasifikasi Terbimbing Maximum Likelihood
Pada Citra Landsat 8. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (LAPAN): 1-
15.
Chanlett, E.T. 1979. Environmental Protection. New York: McGraw-Hill Book
Company Inc.
Curran, P.J. 1985. Principles of Remote Sensing. UK: Longman Scientific &
Technical.
Finn, M.P., Reed, M.D, and Yamamoto, K.H. 2013. A Straight Forward Guide
for Processing Radiance and Reflectance for EO-1 ALI, Landsat 5 TM,
Landsat 7 ETM+, and ASTER. Unpublished Report from USGS/Center of
Excellence for Geospatial Information Science.

Januar dan Indarto. 2011. Application of a Multispectral SPOT Image for Land
Use Classification in Sampean Watershed. Journal Trop Soils 16(2): 175-
181.

Kurniawan, H. 2012. Memahami Konsep dan Prinsip Gelombang


Elektromagnetik.

Lillesand, T.M dan Kiefer, R.W. 2000. Remote Sensing and Image
Interpretation.New York: John Wiley and Sons Inc.

Lindgren, D.T. 1985. Land Use Planning and Remote Sensing. Doldrecht:
Martinus Nijhoff Publishers.
Lintz , J.Jr. dan Simonett, D.S. 1976. Remote Sensing of Environment. London:
Addison-Wesley Publishing Company.
Mahdi, K. 2014. Pengenalan Penginderaan Jauh dan Teori Dasar Pendukung
Pengolahan Citra Digital. Makalah Diskusi Panel. Jakarta: LAPAN. 10 Feb
2014.

Paine, D. 1981. Aerial Photography and Image Interpretation for Resource


Management. New York: John Wiley and Sons Inc.
Prasetyo, Noviantoro Prasetyo, Bandi Sasmito, Yudo Prasetyo. Analisis
Perubahan Kerapatan Hutan Menggunakan Metode Ndvi Dan Evi Pada
Citra Satelit Landsat 8 Tahun 2013 Dan 2016. Universitas Diponegoro.

68
69

Suits, G.H. 1975. The Nature of Electromagnetic Radiation, In: Manual of


Remote Sensing Vol. 1. Edisi Pertama. Virginia: R.G. Reeves: ed.-in-chief,
American Society of Photogrammetry, Falls Church.
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Pemantauan Sumber
Daya Hutan Indonesia. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Statistik
Kehutanan. 2008. Planologi. Departemen Kehutanan.
Lampiran

70
71
72
73
74
75
76
77

Dokumentasi penelitian

Gambar 15. Foto Survey Lapangan Hutan Gambar 16. Foto Survey Lapangan Lahan
Terbuka

Gambar 17. Foto Survey Lapangan Lahan Gambar 18. Foto Survey Lapangan
Terbuka Lahan Terbuka

Gambar 19. Foto Survey Lapangan Gambar 20. Foto Survey Lapangan
Pemukiman Pertanian Lahan Kering
78

Gambar 21. Foto Survey Lapangan Sawah Gambar 22. Foto Survey Lapangan
(Lahan Basah) Sawah (Lahan Basah)

Gambar 23. Foto Survey Lapangan Tubuh Gambar 24. Foto Survey Lapangan Tubuh
Air Air

Gambar 26. Foto Survey Lapangan


Gambar 25. Foto Survey Perkebunan Lahan Terbuka
(Lahan kering)
79

Gambar 28. Foto Survey Lapangan


Gambar 27. Foto Survey Lapangan Lahan Perkebunan (Lahan kering)
Terbuka

Gambar 29. Foto Survey Lapangan


Perkebunan (Lahan kering) Gambar 30. Foto Survey Lapangan
Lahan Terbuka

Anda mungkin juga menyukai