Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN TUGAS AKHIR

PENERAPAN TERAPI BRANDT DAROFF TERHADAP


PENURUNAN RESIKO JATUH PADA PENDERITA
VERTIGO DI RSUD SITI AISYAH
KOTA LUBUK LINGGAU
TAHUN 2022

MILANDA SEPTIA SYAHRUL

PO.71.20.3.19.040

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

LUBUKLINGGAU TAHUN 2022


LAPORAN TUGAS AKHIR

PENERAPAN TERAPI BRANDT DAROFF TERHADAP


PENURUNAN RESIKO JATUH PADA PENDERITA
VERTIGO DI RSUD SITI AISYAH
KOTA LUBUK LINGGAU
TAHUN 2022

MILANDA SEPTIA SYAHRUL

PO.71.20.3.19.040

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

LUBUKLINGGAU TAHUN 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis haturkan kehadirat Allah Subhaanahu waa


ta’ala, yang mana atas ridhonya, penulis dapat menyelesaikan Proposal Laporan
Tugas Akhir Studi Kasus dengan judul “ Penerapan Terapi Brandt Daroff Terhadap
Penurunan Resiko Jatuh Pada Penderita Vertigo Di RSUD Siti Aisyah Kota
Lubuklinggau Tahun 2022”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Proposal Laporan Tugas Akhir
studi kasus ini, masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan Proposal Laporan
Tugas Akhir studi kasus ini.
Dalam menyelesaikan Proposal Laporan Tugas Akhir studi kasus ini, penulis
banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran baik tertulis maupun lisan. Untuk itu,
bersama ini perkenakan penulis menghanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Muhammad Taswin, S.Si Apt. MM. M.K es selaku Direktur
Poltekkes Kemenkes Palembang.
2. Ibu Hj. Devi Mediarti, S.Pd. M.Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Palembang.
3. Bapak H. Jhon Feri, S.Kep, Ners, M.Kes selaku Ketua Prodi Keperawatan
Lubuklinggau.
4. Ibu HJ. Susmini, SKM. M.KES selaku Dosen Pembimbing I.
5. Bapak Bambang Soewito, SKM. M.Kes selaku Dosen Pembimbing II.
6. Bapak / Ibu Dosen dan Staf Prodi Keperawatan Lubuklinggau yang turut
membantu dalam proses penyelesaian Proposal Laporan Tugas Akhir ini.
7. Kedua Orang Tua ku yang telah banyak memberikan dorongan baik moril
maupun materil dalam penyelesaian Laporan Tugas Akhir ini.
8. Sahabat seperjuangan yang senantiasa saling memotivasi dalam
penyelesaian Proposal Laporan Tugas Akhir studi ini.

Semoga Allah Subhaanahu Waataa’ala senantiasa membalas segala kebaikan


yang telah diberikan dengan rahmat yang tak terhingga. Akhir kata Penulis berharap
semoga Proposal Laporamn Tugas Akhir Studi Kasus ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin

Lubuklinggau, Januari 2022


Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Vertigo merupakan salah satu gangguan yang paling sering dialami dan

menyusahkan sebagian besar manusia. Pada umumnya vertigo sering terjadi

disebabkan oleh stress, mata lelah dan akibat makanan dan minuman tertentu. Selain

itu juga vertigo bisa bersifat fungsional dan tidak ada hubungannya dengan perubahan

organ dalam otak. Otak sendiri biasanya tidak peka terhadap nyer yang pada

umumnya vertigo tidak di sebabkan oleh kerusakan yang terjadi dalam otak. Namun

satu ketegangan ataupun tekanan pada selaput otak atau pembuluh darah besar

didalam kepala dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat pada kepala (Junaidi, 2013).

Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau sensasi gerak tubuh dengan gejala

lain yang timbul terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan gangguan alat

keseimbangan tubuh. Dizziness lebih mencerminkan keluhan rasa gerakan yang

umum, tidak spesifik, rasa goyah, kepala ringan, dan perasaan sulit dideskripsikan

oleh penderita sendiri. (Panowo dkk, 2018)

Menurut (Priyono & Nusadewiarti (2020), kasus vertigo sebagian besar benign

paroxysmal positional vertigo (BPPV) di dunia mencapai 64/100.000 yang paling

banyak melibatkan kanalis semisirkularis posterior unilateral. Prevalensi vertigo di

Amerika sebesar 85% yang disebabkan Oleh gangguan sistem vestibular akibat

adanya perubahan posisi atau gerakan kepala. Prevalensi vertigo di Jerman, berusia 18

tahun hingga 79 tahun adalah 30%, 24% diasumsikan karena kelainan vestibuler.

Penelitian di Prancis menemukan 12 bulan setelahnya prevalensi vertigo 48% (Grill et

al., 2013; Bissdorf, 2013). Prevalensi di Amerika, disfungsi vestibular sekitar 35%
populasi dengan umur 40 tahun ke atas (Grill et al., 2013). Pasien yang mengalami

vertigo vestibular, 75% mendapatkan Gangguan vertigo Perifer dan 25% mengalami

vertigo sentral (Chaker et al., 2012).

Di Indonesia angka kejadian vertigo dari usia 40 sampai 50 tahun sekitar 50%

yang merupakan keluhan nomor tiga paling sering dikeluhkan oleh penderita yang

datang ke praktek umum, setelah nyeri kepala dan stroke (Putri, Rahayu, & Sidharta,

2016). Di salah satu Rumah Sakit di Indonesia pada tahun 2019 menunjukan bahwa

vertigo mengenai semua golongan umur, 20% pada pasien usia lebih dari 25 tahun,

30% pada pasien usia lebih dari 40 tahun, dan 50% pada populasi berusia lebih dari

65 tahun (Atia & Mardianingrum, 2018).

Banyak tindakan maupun terapi yang sering digunakan seseorang yang

mengalami vertigo. Salah satunya yaitu terapi farmakologi atau obat. Seperti halnya

upaya yang sudah dilakukan di praktik mandiri dokter yang akan diteliti yaitu

memberikan obat untuk meringankan vertigo. Seseorang yang mengalami vertigo

biasanya mengkonsumsi obat untuk mengurangi atau menghilangkan gejala vertigo.

Namun obat yang di konsumsi memiliki berbagai macam efek samping. Adapun

terapi lain selain farmakologi.

Salah satunya adalah terapi brandt daroff suatu latihan atau rehabilitasi yang

bertujuan untuk mengeluarkan debris dari kanal semisirkularis yang merupakan

penyebab dari vertigo. Metode ini dapat dilakukan di rumah, berbeda dengan metode

latihan lain yang harus dikerjakan dengan pengawasan dokter atau tenaga medis.

Latihan ini memberikan efek meningkatkan darah ke otak sehingga dapat

memperbaiki fungsi alat keseimbangan tubuh dan memaksimalkan kerja dari sistem

sensori (Jurnal Medika Saintika Vol.8 (2)).


Dalam studi pendahuluan yang menderita vertigo di RSUD Siti Aisyah Kota

Lubuklinggau biasanya pasien di anjurkan untuk istirahat yang cukup untuk

meminimalkan terjadinya resiko jatuh akibat gejala yang timbul.

Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

menunjukkan bahwa pasien vertigo di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau dalam

waktu 3 tahun terakhir ini yaitu pada tahun 2019 berjumlah 13 orang pasien vertigo.

Tahun 2020 berjumlah 108 orang pasien vertigo dan tahun 2021 berjumlah 45 orang

pasien vertigo.

Berdasarkan analisa di atas maka penulis tertarik untuk membuat penelitian

mengenai intervensi keperawatan penerapan terapi brandt daroff untuk penurunan

resiko jatuh pada pasien vertigo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan

studi kasus tersebut dengan “ Bagaimanakah dilakukannya Penerapan Terapi Brandt

Daroff dapat mengatasi Resiko Jatuh pada Penderita Vertigo di Rumah Sakit Siti

Aisyah Kota Lubuklinggautahun 2022 ? “

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui tentang Penerapan Terapi Brandt Daroff dapat

mengatasi Resiko Jatuh pada Penderita Vertigo di Rumah Sakit Siti Aisyah Kota

Lubuklinggautahun 2022
2. Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui Pengkajian Keperawatan dilaku Penerapan Terapi Brandt

Daroff dapat mengatasi Resiko Jatuh pada Penderita Vertigo di Rumah Sakit

Siti Aisyah Kota Lubuklinggautahun 2022.

2. Untuk Mengetahui rumusan diagnosa keperawatan dengan Resiko Jatuh pada

Penderita Vertigo di Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggautahun 2022.

3. Untuk Mengetahui intervensi keperawatan dengan Resiko Jatuh pada

Penderita Vertigo di Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggautahun 2022.

4. Untuk Mengetahui implementasi keperawatan dengan Resiko Jatuh pada

Penderita Vertigo di Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggautahun 2022.

5. Untuk Mengetahui evaluasi keperawatan dengan Resiko Jatuh pada Penderita

Vertigo di Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggautahun 2022.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi penulis

mendapatkan pengalaman meneliti dan menambah pengetahuan serta

wawasan dalam menerapkan ilmu yang telah diterapakan selama kuliah dan

penerapannya pada kasus nyata.

2. Manfaat bagi institusi pendidikan poltekkes kemenkes palembang

prodi keperawatan lubuklinggau.

Diharapkan dapat digunakan sebagi bahan kajian dan referensi untuk

mengembangkan penelitian selanjutnya.


3. Manfaat bagi tempat penelitian

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai acuan atau panduan untuk

meningkatkan kinerja tenaga medis dalam menanggapi klien dengan diagnosa

Vertigo.

4. Manfaat bagi perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan

Dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pembelajaran dalam dunia

kesehatan dan dapat memanfaatkan fasilitas jaringan internet sebagai salah satu sarana

dan media dalam pelayanan kesehatan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Vertigo
1. Pengertian Vertigo

Menurut yayan A. Israr (2016) Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita

bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau

berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan vertigo

bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa berlanjut sampai beberapa jam bahkan

hart. Penderita kadang merasa lebih baik jika berbaring diam, tetapi vertigo bisa terus

berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama sekali.

Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau gerakan dari tubuh atau

lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang disebabkan oleh gangguan alat

keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit dengan demikian vertigo

bukan suatu gejala pusing berputar saja, tetapi merupakan suatu kumpulan gejala atau

satu sindrom yang terdiri dari gejala somatic (nistagmus, untoble), otonomik (pucat,

peluh dingin, mual dan muntah dizziness lebih mencerminkan keluhan rasa gerakan

yang umum tidak spesifik, rasa goyah, kepala ringan dan perasaan yang sulit

dilukiskan sendiri oleh penderitanya. Pasien sering menyebutkan sensasi ini sebagai

nggliyer, sedangkan giddiness berarti dizziness atau vertigo yang berlangsung singkat

(Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).

Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau sensasi gerak tubuh dengan gejala

lain yang timbul terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan gangguan alat

keseimbangan tubuh. Dizziness lebih mencerminkan keluhan rasa gerakan yang


umum, tidak spesifik, rasa goyah, kepala ringan, dan perasaan sulit dideskripsikan

oleh penderita sendiri. (Panowo, Citra, Sutarni, & Yogyakarta, 2018)

Vertigo didefinisikan sebagai sensai gerak ilusi dari diri atau lingkungan tanpa

adanya gerakan yang sebenarnya. Vertigo posisional didefinisikan sebagai sensasi

berputar yang dihasilkan oleh perubahan posisi kepala yang relative terhadap

gravitasi. BPPV didefinisikan sebagai gangguan telinga bagian dalam yang ditandai

dengan fase vertigo posisional yang berulang. Istilah dari benign dan paroxysmal

telah digunakan untuk mencirikan bentuk tertentu dari vertigo posisional. Bentuk

vertigo posisional bukan karena gangguan sistem saraf pusat yang serius dan bahwa

ada prognosis yang menguntungkan secara keseluruhan untuk pemulihan. Dampak

klinis dan kualitas hidup dari BPPV yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati

mungkin jauh dari jinak karena pasien dengan BPPV memiliki risiko lebih tinggi

jatuh dan mempengaruhi kinerja aktivitas sehari-hari. (Bhattacharyya et al., 2017)

2. Etiologi Vertigo

Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang

menghubungkan antara telinga dengan otak dan di dalam otak sendiri. Vertigo juga

berhubungan dengan kelainan lainnya, selain kelainan pada telinga, saraf yang

menghubungkan telinga dalam dengan otak, serta di otak, misalnya kelainan penglihatan atau

perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba (Putri & Sidharta, 2016). Faktor yang

mempengaruhi vertigo dibagi menjadi :

a. Usia : usia lanjut terjadi berbagai perubahan struktural berupa degenerasi dan atrofi

pada sistem vestibular, visual dan proprioseptif dengan akibat gangguan fungsional

pada ketiga sistem tersebut. Usia lanjut dengan gangguan keseimbangan memiliki

risiko jatuh 2-3 kali dibanding usia lanjut tanpa gangguan keseimbangan. Tiap tahun
berkisar antara 20-30% orang yang berusia lebih dari 65 tahun sering lebih banyak

berada di rumah saja karena masalah mudah jatuh. (Laksmidewi et al., 2016).

b. Stress berat : Tekanan stres yang terlampau besar hingga melampaui daya tahan

individu, maka akan timbul gejala-gejala seperti sakit kepala, gampang marah, dan

tidak bisa tidur. Salah satu respons yang muncul dari akibat stres adalah gangguan

pemenuhan kebutuhan tidur. (Fransisca, 2013)

c. Keadaan lingkungan : motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)

d. Gaya hidup, Obat-obatan : alkohol, Gentamisin

e. Kelainan sirkulasi : transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena

berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan arteri

basiler

f. Kelainan di telinga : Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam

telinga bagian dalam (menyebabkan bening paroxysmal positional vertigo).

3. Manifestasi Klinis

Menurut Dewanto, (2015).Manifestasi klinis pada klien dengan vertigo yaitu

Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan weak dan

lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan tunm, lelah, lidah pucat

dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala,

penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah

merah dengan selaput tipis. Menurut Dewanto (2015) Pasien Vertigo akan mengeluh

jika posisi kepala berubah pada suatu keadaan tertentu. Pasien akan merasa berputar

atau merasa sekelilingnya berputar jika akan ke tempat tidur, berguling dari satu sisi
ke sisi lainnya, baaglcit dari teæpat üdur di pagi kari, mencapai sesuai yang tinggi

atau jika kepala digeiakkan ke belakang. Biasanya vertigo hanya berlangsung 5-10

detik. Kadang-kadang disertai rasa mual dan seringkali pasien merasa

cemas.Penderita biasanya dapat mengenali keadaan ini dan berasaha izienghindarinya

dengan tidak melakukan gerakan yang dąpat menimbulkan vertigo. Vertigo ädak akan

teijadi jika kepala tegak lurtıs atau berputar secara aksial tanpa ekstensi, pada hampir

sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang dan akhirnya berhenti secara spontan

dalam beberapa hari atau beberapa bulan, tetapi kadang-kadang dapat juga sampai

beberapa tahun.

Menurut Dewanto (2015) Pada ananinesis, pasien mengeluhkan kepala terasa

pusing berputar pada perubahan posisi kepala dengan posisi tertentu. Secara klinis

vertigo terjadi pada perubahan posisi kepala dan akan berkurang serta akhirnya

berhenti secara spontan setelah beberapa waktu. Pada pemeriksaan THT secara umum

tidak didapatkan kelainan berarti, dan pada uji kalori tidak ada paresis kanal.

Menurut Dewanto (2015) Uji posisi dapat membantu mendiagnosa vertigo,

yang paling baik adalah dengan melakukan manuver Hallpike : penderita duduk

tegak, kepalanya dipegang pada kedua sisi oleh pemeriksa, lalu kcpala dijatubkan

mendadak sainbil menengok ke satu sisi. Pada tes ini akan didapatkan nistagmus

posisi dengan gejala Penderita vertigo akan merasakan sensasi gerakan seperti

berputar, baik dirinya sendiri atau lingkungan, Merasakan mual yang luar biasa,

Sering muntah behagar akibat dari rasa mual, Gerakan mata yang abnonnal, Tiba -

tiba muncul keringat dingin, Telinga sering terasa berdenging, Mengalami kesulitan

bicara, Mengalami kesulitan berja1an karena merasakan sensasi gerakan berputar,

Pada keadaan tertentu, penderita juga bisa mengalami gangguan penglihatan.


4. Patofisiologi Vertigo

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh

yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa

yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Menurut Putri & Sidharta, (2016) ada

beberapa teori yang dapat menerangkan terjadinya vertigo, yaitu:

a. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan

hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu akibatnya akan timbul

vertigo, nystagmus, mual dan muntah.

b. Teori Konflik Sensorik

Dalam keadaan normal, informasi untuk alat keseimbangan tubuh ditangkap

oleh tiga jenis reseptor, yaitu reseptor vestibuler, penglihatan, dan propioseptik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai

reseptor sensorik perifer yaitu antara mata, vestibulum dan proprioseptik, atau

ketidakseimbangan masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan

tersebut menimbulkan kebingunan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang

dapat berupa nistagmus(usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan

(gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari

sensasi kortikal).

c. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut teori ini

otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada

suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah

tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru
tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga

berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

d. Teori Otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha

adaptasi gerakan atau perubahan posisi gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu

dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

e. Teori Sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan

neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses

adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stress yang akan

memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor). Peningkatan kadar CRF

selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan

mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistem saraf parasimpatik. Teori

ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat

diawal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala

mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas

susunan saraf parasimpatis. (Putri & Sidharta, 2016).

5. Klasifikasi Vertigo

Vertigo dikalsifikasikan menjadi dua bagian berdasarkan saluran vestibular

dan non vestibular yang mengalami kerusakan, yaitu vertigo perifer dan vertigo

sentral. Vertigo dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Vertigo Vestibular Vestibular adalah salah satu organ bagian dalam telinga

yang senantiasa mengirimkan informasi tentang posisi tubuh ke otak untuk menjaga

keseimbangan. Vertigo timbul pada gangguan sistem vestibular, yang menimbulkan


sensasi berputar, timbulnya episodic, diprovokasi oleh gerakan kepala, dan bias

disertai rasa mual muntah (Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).

2. Vertigo non vestibular Vertigo sistemik adalah keluhan vertigo yang

disebabkan oleh penyakit tertentu misalnya diabetes militus, hipertensi dan jantung.

Sementara itu, vertigo neurologik adalah gangguan vertigo yang disebabkan oleh

gangguan saraf. Keluhan vertigo yang disebabkan oleh gangguan mata atau

berkurangnya daya penglihatan disebut vertigo ophtamologis, sedangkan vertigo yang

disebabkan oleh berkurangnya fungsi alat pendengaran disebut vertigo

otolaringologis. Selain penyebab dari segi fisik penyebab lain munculnya vertigo

adalah pola hidup yang tidak teratur, seperti kurang tidur atau terlalu memikirkan

suatu masalah hingga stres. Vetigo yang disebabkan oleh stres atau tekanan emosional

disebut psikogenik. Perbedaan vertigo vestibur dan non vestibular sebagai berikut

(Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).

Tabel 1.1: Perbedaan Vertigo Vestibular Dengan Non Vestibular

Gejala Vertigo Vestibular Vertigo Nonvestibular

Sifat vertigo Rasa berputar Melayang , goyang

Serangan Episodik Kontinu/konstan

Mual/muntah + -

Gangguan pendengaran +/- -

Gerakan pencetus Gerakan kepala -

Situasi pencetus - Gerakan obyek visual

keramaian, lalu lintas

(Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).


Berdasarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular, yaitu:

1. Vertigo vestibular perifer

Vertigo perifer terjadi jika terdapat gangguan di saluran yag disebut kanalis

simirkularis, yaitu telinga bagian tegah yang bertugas mengontrol keseimbangan.

Vertigo jenis ini biasanya diikuti gejala-gejala seperti:

a. Pandangan mata gelap

b. Rasa lelah dan stamina menurun

c. Jantung berdebar

d. Hilang keseimbangan

e. Tidak mampu berkonsentrasi

f. Perasaan seperti mabuk

g. Otot terasa sakit h. Muan dan muntah

h. Daya pikir menurun

i. Berkeringat

Gangguan kesehatan berhubungan dengan vertigo perifer antara lain penyakit

(Benign Proxymal Postional Vertigo) atau BPPV (gangguan keseimbangan karena

ada perubahan posisi kepala), minire disease (gangguan keseimbangan yang sering

kali menyebabkan hilangnya pendengaran), vestibular neuritis (peradangan 17 pada

sel-sel saraf keseimbangan) dan labyrinthis (radang di bagian dalam pendengaran)

(Sutarni, Rusdi & Abdul, 2019).

2. Vertigo vestibular sentral

Vertigo sentral terjadi jika ada sesuatu yang tidak normal di dalam

otak,khususnya di bagian saraf keseimbangan, yaitu daerah percabangan otak dan


serebelum (otak kecil). Gejala vertigo sentral biasanya terjadi secara bertahap,

penderita akan mengalami hal tersebut di antaranya ialah:

a. Penglihatan ganda

b. Sukar menelan

c. Kelumpuhan otot-otot wajah

d. Sakit kepala yang berat

e. Kesadaran terganggu

f. Tidak mampu berkatakata

g. Mual dan muntah

h. Tubuh terasa lemah

Gangguan kesehatan yang berhubugan dengan vertigo sentral termasuk antara

lain, stroke, multiple sclerosis (gangguan tulang bekalang dan otak), tumor, trauma di

bagian kepala, migren, infeksi, kondisi peradangan, neurodegenerative illnesses

(penyakit kemunduran fungsi saraf) yang menimbulkan damak pada otak kecil.

Penyebab dan gejala keluhan vertigo biasanya datang mendadak, diikuti gejala klinis

tidak nyaman seperti banyak berkeringat, mual dan munahfaktor penyebab vertigo

adalah Sistemik, Neurologik, Ophatalmogik, Otolaringologi, Psikogenik, dan dapat

disingkat SNOOP, sedangkan perbedaan 18 vertigo vestibular perifer dan sentral

sebagai berikut (Sutarni, Rusdi & Abdul, 2019).

Tabel 1.2: Perbedaan Vertigo Vestibular Perifer Dengan Sentral

Gejala Perifer Sentral

Bangkitan Lebih mendadak Lebih lambat

Derajat vertigo Berat Ringan

Pengaruh gerakan kepala ++ +/-


Mual/muntah/keringatan ++ +

Gangguan pendengaran +/- +/-

Tanda fokal otak - +/-

(Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).

6. Pemeriksaan penunjang Vertigo

Menurut Yayan A. Israr (2010) Pemeriksaan penunjang pada pasien vertigo

adalah CT sean atau MRI kepala, yang bisa menunjukkan kelainan tulang atau tumor

yang menekan saraf. Jika di duga suatu infeksi, bisa diambil contoh cairan dari telinga

atau sinus atan dari tulang belakang. Jika di duga terdapat penurunan aliran darah ke

otak, maka dilakukan pemeriksaan aagiograın, nutuk melihat adanya sumbatan pada

pembuluh darah yang menuju ke otak.

7. Penatalaksaan Vertigo

Vertigo biasanya di atasi dengan menangani sesuai penyebabnya. Misal,

vertigo disebabkan pada gangguan telinga, maka diobati di bagian telinganya. Jika

vertigo disebabkan pada gangguan penglihatan, maka diobati di bagian

penglihatannya. Keluhan vertigopun akan hilang dengan sendirinya seiring dengan

sembuhnya yang mendasari vertigo tersebut. Pemberian vitamin antihistamin,

diuretika, dan pembatasan konsumsi garam yang telah diketahui dapat mengurangi

keluhan vertigo (Widjajalaksmi, 2015).

Penanganan yang diberikan pada vertigo selama ini dapat dilakukan dengan

farmakologi, non-farmakologi. Padafarmakologi, penderita biasanya akan diberikan

golongan antihistamin dan benzodiazepine. Salah satu terapi non farmakologi yaitu

menggunakan tekhnikbrandt daroff (Widjajalaksmi, 2015).


Tujuan utama terapi vertigo adalah mengupayakan tercapainya kualitas hidup

yang optimal sesuai dengan perjalanan penyakitnya, dengan mengurangi atau

menghilangkan sensasi vertigo dengan efek samping obat yang minimal. Terapi

vertigo meliputi beberapa perlakukan yaitu pemilihan medikamentosa, rehabilitasi dan

operasi. Pilihan terapi vertigo mencakup:

1. Terapi simtomatik, melalui farmakoterapi

2. Terapi kausal, mencakup

a. Farmakoterapi

b. Prosedur reposisi partikel (pada BPPV)

c. Bedah

3. Terapi Rehabilitaf atau Terapi (vestibular exercise) mencakup

a. Metode brandt-daroff

b. Latihan visual vestibular

c. Latihan berjalan :

 Reposisi kanalit

 Mencapai kompensasi dan adaptasi

4. Mekanisme kerja terapi rehabilitasi melalui:

a. Substitusi sentral ola sistem visual dan somatosensory

untuk fungsi vestibular yang terganggu.


b. Mengaktifkan kendali konus n.vestibularis oleh

serebelum,sistem visual, somatosensory

c. Menimbulkan habituasi yaitu berkurangnya respon

terhadap stimuli sensori yang berulang-ulang (Sutarni ,

Rusdi & Abdul, 2019).

Pada pasien dengan gangguan vestibular, sebaiknya menggunakan obat anti

vertigo di antara lainnya adalah :

1. Antikolinergik

Mengurangi eksitabilitas neuron dengan menghambat jaras eksitatorik

kolinergik ke nervus.vestibularis yang bersifat kolinergik mengurangi respon

nervus.vestibularis terhadap rangsang. Efek samping: mulut kering, dilatasi

pupil, sedasi, gangguan akomodasi menghambat kompensasi. Tidak

dianjurkan pemakaian kronis contoh:

a. Sulfas atropine: 0,4mg/im

b. Skopolamin: 0,6mg iv dapat diulang tiap 3 jam.

2. Antihistamin

Memiliki efek anti kolinergik dan merangsang inhibitori dengan akibat

inhibisi nervus.vestibularis. hamper semua anti histamine yang digunakan

untuk terapi vertigo mempunyai efek anti kolinergik.

a. Diphenhidramin: 1,5mg/im-oral dapat diulang tiap 2 jam

b. Dimenhidrinat: 50-100 mg/6 jam


3. Ca entryblodsker: mengurangi eksitatori SSP dengan menekan pelepasan

glutamate dan bekerja langsung sebagai depressor labirin. Bisa untuk vertigo

central atau periver contoh: flonarizin

4. Monuaminergik: merangsang jaras inhibitori monuamenergik pada

n.vestibularis, sehingga berakibat mengurangi eksatibilitas neuron. Contoh:

amfetamin. Efedrin.

5. Antidopaminergik: bekerja pada chemoreseptor trigger zone dan pusat

muntah dimedula contoh: klopromazin, haloperidol

6. Benzodiazepine: termasuk obat sedative, menurunkan resting aktivitas

neuron pada n.vestibularis dengan menekan reticular paskilitatori sistem.

Contoh: diazepam

7. Histaminic: inhibisi neuron polisinaptik pada nervus vestibularis lateraris.

Contoh: betahistin mesilat.

8. Antiyepileptik: bekerja dengan meningkatkan ambang, husunya pada vertigo

akibat epilepsi lobus temporalis contoh: karbamezepin, venitoin, berikut daftar

obat di bawah ini (Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).


8. WOC
Lesi batang otak,serebelum atau lobus
9.
Vestibalar
- Fisiologi : motion sickness
VERTIGO temporal

- Vestibelar neurunitis /peradangan - Infark atau perdarahan pons


saraf yang menghubungkan telinga - Insufisiensi vertecho basilar
bagian dalam otak - Migraine anteri basilaris
- Menieres discase/gangguan telinga - Siklerosi diseminata
bagian dalam Sistem keseimbangan tubuh
(vestibuler) terganggu

Motion sickneas
Sensasi seperti bergerak,
berputar
Gerakan berulang
dirasakan oleh otak
melalui N.Optikus,
Ketidakcocokan N. Vesitibularis, N.
Pusing, sakit Gg. Di sistem
informasi yang Spinovensitibularis
kepala saraf
Tumor non – disampaikan
kanker pada keotak oleh saraf
saraf atasan Spasme aferen
Peristalik Otak tidak bisa
meningkat saraf/peningkatan menkoordinasikan
intrakranial
Proaca pengobatan ke 3 input dengan
informasi baik
Mengenai N.VIII Nyeri, sakit terganggu
Mual, muntah
saraf/utama dari kepala
telinga bagian Konflik dalam
Tranmisi persepsi
dalam ke otak koordinasi ke 3
Intek tidak Disorientasi/ ke reseptor
propriocepites input
adekuat kurang
terganggu
konsentrasi
Peningkatan
tekanan intra Risiko tidak Kelebihan beban
kranial Kesadaran Kegagalan
keseimbangan elektrolit kerja
menurun koodinasi otot

Penurunan pendengaran Resiko jatuh Ketidak teraturan


skunder adanya sumbatan Koping tidak
kerja otot
cerumen pada liang efektif
telinga
Intolevansi aktifitas

Gangguan komunikasi
verbal

Sumber : Rhya Juma, (2019)


B. Konsep Resiko Jatuh

1. Pengertian

Beresiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan kesehatan akibat terjatuh

(Tim Pokja SDKI PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta :

DPP PPNI).

2. Etiologi

Etiologi Jatuh Menurut (R. J. Mitchell et al., 2014), Kejadian jatuh disebabkan

beberapa hal seperti:

(a) Lingkungan, seperti kamar mandi tanpa ada pegangan tangan, karpet yang

terlipat, pencahayaan yang kurang

(b) penggunaan obat-obatan antidepresan, obat tidur, dan obat hipnotik

(c) kondisi kesehatan seseorang

(d) Kurangnya kebutuhan nutrisi yang menyebabkan kelemahan fisik.

Penyebab dari kejadian jatuh pada seseorang juga dikarenakan penurunan daya

keseimbangan dan kekuatan otot ekstremitas yang ditandai dengan kelemahan fisik

dan gaya berjalan yang lemah, adanya gangguan pada area ekstremitas bawah (kaki)

dan penggunaan alas kaki yang tidak nyaman, adanya penurunan daya penglihatan

maupun pendengaran, adanya penurunan kognitif dan presepsi, adanya kondisi medis

yang serius, adanya perasaan takut akan jatuh, adanya riwayat jatuh sebelumnya,

adanya disorientasi ruangan maupun lingkungan (Willians, Perry, & Watkins, 2010).

3. Faktor Risiko

1) Usia > 65 tahun (pada dewasa) atau <2 tahun (pada anak)
2) Riwayat jatuh

3) Anggota gerak bawah prostesis (buatan)

4) Penggunaan alat bantu jalan

5) Penurunan tingkat kesadaran

6) Perubahan fungsi kognitif

7) Lingkungan tidak aman (misal licin, gelap, lingkungan asing)

8) Kondisi pasca operasi

9) Hipotensi ortostatik

10) Perubahan kadar glukosa darah

11) Anemia

12) Kekuatan otot menurun

13) Gangguan pendengaran

14) Gangguan keseimbangan

15) Gangguan penglihatan (misal glaukoma, katarak, ablasio retina,

neuritisoptikus)

16) Neuropati

17) Efek agen farmakologi (misal sedasi, alkohol, anastesi umum)

4. Kondisi Klinis Terkait

1) Osteoporosis

2) Kejang

3) Penyakit Sebrovaskuler

4) Katarak

5) Glaukoma

6) Demensia

7) Hipotensi
8) Amputasi

9) Intoksikasi

10) Preeklampsi

D. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Vertigo

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses keperawatan,

pengkajian keperawatan ini bertujuan untuk menggali atau mendapatkan data utama

tentang kesehatan pasien baik itu fisik, psikologis, maupun emosional. (Debora, 2013)

Menurut Ardiyansyah, (2012) yang harus dikaji pada klien yang mengalami

penyakit vertigo adalah:

a. Pengkajian (Anamnesis)

1) Biodata Pada biodata, bisa diperoleh data tentang identitas pasien

meliputi nama pasien, tempat tanggal lahir, alamat, umur pasien, jenis

kelamin pasien, pekerjaan pasien, pendidikan pasien, status kawin

pasien, agama dan asuransi kesehatan. Selain itu juga dilakukan

pengkajian tentang orang terdekat pasien.

2) Keluhan utama Selama pengumpulan riwayat kesehatan, perawat

menanyakan kepada pasien tentang tanda dan gejala yang dialami oleh

pasien. Setiap keluhan harus ditanyakan dengan detail kepada pasien

disamping itu diperlukan juga pengkajian mengenai keluhan yang

disarasakan meliputi lama timbulnya

3) Riwayat Penyakit Sekarang Pada klien dengan vertigo biasanya klien

mengeluh pusing bila klien banyak bergerak dan dirasakan berkurang


bila klien beristirahat, Kualitas darisuatu keluhan atau penyakit yang

dirasakan. Pada klien dengan vertigo biasanya pusing yang dirasakan

seperti berputar, daerah atau tempat dimana keluhan dirasakan. pada

klien dengan vertigo biasanya lemah dirasakan pada daerah

kepala,derajat keganasan atau intensitas dari keluhan tersebut, pusing

yang dirasakan seperti berputar dengan skala nyeri (0-5), waktu

dimana keluhan dirasakan, time juga menunjukan lamanya atau

kekerapan. Keluhan pusing pada klien dengan vertigo dirasakan hilang

timbul.

4) Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit terdahulu, baik yang

berhubungan dengan system persyarafan maupun penyakit sistemik

lainnya.

5) Riwayat kesehatan keluarga Penyakit-penyakit keluarga perlu

diketahui terutama yang menular dan merupakan penyakit turunan.

Selain pengkajian riwayat harus bisa diseimbangkan sesuai dengan

kebutuhan seorang pasien. Setiap pola merupakan suatu rangkaian

perilaku yang membantu perawat dalam mengumpulkan suatu data

(Wijaya & Putri, 2013).

b. Pengkajian pola-pola fungsi Gordon adalah:

1) Pola Persepsi Kesehatan Persepti terhadap adanya arti kesehatan,

penatalaksanaan kesehatan serta pengatahuan tentang praktek

kesehatan.
2) Pola nutrisi Mengidentifikasi masukan nutrisi dalam tubuh, balance

cairan serta elektrolit. Pengkajian meliputi: nafsu makan, pola makan,

diet, kesulitan menelan, mual, muntah, kebutuhan jumlah zat gizi.

3) Pola eliminasi Menjelaskan tentang pola fungsi ekskresi serta kandung

kemih dan kulit. Pengkajian yang dilakukan meliputi: kebiasaan

defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah miksi (oliguria,

disuri), frekuensi defekasi dan miksi. Karakteristik urine dan feses,

pola input cairan, masalah bau badan.

4) Pola latihan-aktivitas Menggambarkan tentang pola latihan, aktivitas,

fumgsi pernapasan. Pentingnya latihan atau gerak dalam keadaan sehat

maupun sakit, gerak tubuh dan kesehatan berhubungan dengan satu

sama lain. Kemampuan klien dalam menata dirinya sendiri apabila

tingkat kemampuannya: 0: mandiri, 1: dengan alat bantu,2: dibantu

orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4: tergantung dalam

melakukan ADL, kekuatan otot dan ROM, riwayat penyakit jantung,

frekuensi, irama dan kedalaman napas, bunyi napas, riwayat penyakit

paru.

5) Pola kognitif perseptual Menjelaskan tentang persepsi sendori dan

kognitif. Pola ini meliputi pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran,

perasaan, pembau dan kompensasinya terhadap tubuh. Dan pola

kognitif memuat kemampuan daya ingat klien terhadap peristiwa

peristiwa yang telah lama atau baru terjadi.

6) Pola istirahat dan tidur Menggambarkan pola tidur serta istirahat

pasien. Pengkajian yang dilakukan pada pola ini meliputi: jam


tidursiang dan malam pasien, masalah selama tidur, insomnia atau

mimpi uruk, penggunaan obat serta mengaluh letih.

7) Pola konsep diri-persepsi diri Menggambarkan sikap tentan diri sendiri

serta persepsi terhadap kemampuan diri sendiri dan kemampuan

konsep diri yang meliputi: gambaran diri, harga diri, peran, identitas

dan ide diri sendiri.

8) Pola peran dan hubungan Menggambarkan serta mengatahui hubungan

pasien serta peran pasien terhadap anggota keluarga serta dengan

masyarakat yang berada dalam lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

9) Pola reproduksi atau seksual Menggambarkan tentang kepuasan yang

dirasakan atau masalah yang dirasakan dengan seksualitas. Selain itu

dilakukan juga pengkajian yang meliputi: dampak sakit terhadap

seksualitas, riwayat haid, pemeriksaan payudara sendiri, riwayat

penyakit hubungan seks, serta pemeriksaan genetalia.

10) Pola koping dan Toleransi Stres Menggambarkan tentang pola cara

menangani stress, yang meliputi dengan cara: interaksi dengan orang

terdekat menangis, dan lain sebagainya.

11) Pola keyakinan dan nilai Menggambarkan tentang pola nilai dan

keyakinan yang dianut. Menerangkan sikap serta keyakinan yang

dianaut oleh klien dalam melaksanakan agama atau kepercayaan yang

dianut.

c. Pemeriksaan Fisik menurut Ardiyansyah, (2012) adalah :

1) Kesadaran: pada awalnya compos mentis, adalah perasaan tidak

berdaya.

2) Respirasi: tidak mengalami gangguan.


3) Kardiovaskuler: hipotensi, takikardia, disritmia, nadi perifer lemah,

pengisian kapiler lambat (vasokontriksi), warna kulit pucat, sianosis,

dan kulit/ membrane mukosa berkeringat (status shock, nyeri akut).

4) Persarafan: sakit kepala, kelemahan, tingkat kesadaran dapat

terganggu, disorientasi/bingung, dan nyeri epigastrium.

2. Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian klinis terhadap adanya

pengalaman dan respon individu, keluarga ataupun komunitas terhadap masalah

kesehatan, pada risiko masalah kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis

keperawatan adalah bagian vital dalam menentukan proses asuhan keperawatan yang

sesuai dalam membantu pasien mencapai kesehatan yang optimal. Mengingat

diagnosis keperawatan sangat penting maka dibutuhkan standar diagnosis

keperawatan yang bisa diterapkan secara nasional di Indonesia dengan mengacu pada

standar diagnosis yang telah dibakukan sebelumnya (PPNI, 2016).

1. Resiko jatuh berhubungan dengan gangguan penglihatan.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.

3. Risiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan muntah.

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan adalah suatu tindakan yang dirancang oleh perawat,

atau suatu perawatan yang di lakukan berdasarkan penilaian secara klinis dan

pengetahuan perawat yang bertujuan untuk meningkatkan outcome pasien atau klien.

Perencanaan keperawatan mencakup perawatan langsung serta perawatan tidak

langsung. Kedua perawatan ini ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat
dan orang-orang yang dirujuk oleh perawat, dirujuk oleh dokter maupun pemberian

layanan kesehatan lainnya (PPNI, 2018).

A. Resiko jatuh berhubungan dengan gangguan penglihatan.

SLKI : Tingkat jatuh

Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam maka di harapkan

tingkat jatuh dapat menurun dengan kriteria hasil:

Kriteria hasil 1 2 3 4 5

Jatuh saat berdiri √

SIKI : Pencegahan jatuh

Observasi :

1. Identifikasi faktor risiko jatuh (mis. Usia >65 tahun, penurunan tingkat

kesadaran, defisit kognitif, hipotensi ortostatik, gangguan keseimbangan,

gangguan penglihatan, neuropati)

2. Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh

3. Monitor kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda dan

sebaliknya

Teraupetik :

1. Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu dalam kondisi terkunci

2. Pasang handrail tempat tidur

3. Atur tempat tidur mekanis pada posisi terendah


Edukasi :

1. Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan untuk

berpindah

2. Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh

B. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.

SLKI : Toleransi aktivitas

Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam maka di harapkan

toleransi aktivitas dapat meningkat dengan kriteria hasil:

Kriteria hasil 1 2 3 4 5

Kemudahan dalam √

melakukan aktivitas

sehari-hari

Kekuatan tubuh √

bagian bawah

SIKI : terapi aktivitas

Observasi :

1. Identifikasi kemampuan beradaptasi dalam aktivitas tertentu

2. Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas

Teraupetik :

1. Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang di alami

2. Koordinasi pemilihan aktivitas sesuai usia

Edukasi :
1. Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari

C. Risiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan muntah

SLKI : keseimbangan cairan

Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam maka di harapkan

keseimbangan cairan dapat meningkat dengan kriteria hasil:

Kriteria hasil 1 2 3 4 5

Asupan cairan √

Asupan makanan √

SIKI : manajemen muntah

Observasi :

1. Identifikasi karakteristik muntah

2. Identifikasi faktor penyebab muntah

Teraupetik :

1. Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab muntah

2. Atur posisi untuk mencegah aspirasi

Edukasi :

1. Anjurkan memperbanyak istirahat

2. Anjurkan tekni non farmakologis untuk mengelola muntah

Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian amtimetik, jika perlu


4. Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan suatu proses keperawatan yang dilakukan setelah

perencanaan keperawatan. Implementasi keperawatan adalah langkah keempat dari

proses keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk membantu pasien

yang bertujuan mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak ataupun respon

yang dapat ditimbulkan oleh adanya masalah keperawatan serta kesehatan terhadap

komplementer. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas

perawat (Debora, 2013).

5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi keperawatan merupakan tahap kelima atau proses keperawatan

terakhir yang berupaya untuk membandingkan tindakan yang sudah dilakukan dengan

kriteria hasil yang sudah ditentukan. Evaluasi keperawatan bertujuan 1 2 3 4 d.

Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan rendah lemak Ajarkan penggunaan teknik

nonfarmakologis untuk mengatasi mual (misalnya relaksasi, terapi music, akupresure.

Titik-titik akupresure untuk vertigo yaitu, titik GB 20 Fengchi, BL 18 Gansu, Ki 3

Taixi, BL 23 Shenshu, LR 2 Xingjia. 32 menentukan apakah seluruh proses

keperawatan sudah berjalan dengan baik dan tindakan berhasil dengan baik (Debora,

2013). Evaluasi yang diharapkan dapat dicapai pada pasien vertigo dalam pemenuhan

kebutuhan rasa nyaman adalah dapat mengontrol terhadap adanya gejala, menyatakan

rasa nyaman, tidak adanya mual.


E. Kerangka Konsep Adaptasi
perubahan
Vertigo posisi kepala
dan tubuh

Resiko jatuh

Terapi Non
farmakologis

Mencegah
resiko jatuh
Terapi Brandt
Daroff
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Desain yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan

menggunakan metode deskriptif yaitu metode yang dilakukan dengan tujuan utama

untuk membuat gambaran tentang studi keadaan secara objektif dan menganalisis lebih

mendalam tentang asuhan keperawatan pasien vertigo dengan resiko jatuh di di RSUD

Siti Aisyah tahun 2022.

B. Subyek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang pasien dengan diagnosa medis

vertigo dengan intervensi terapi brandt daroff di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

tahun 2022. Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah :

1. Kriteria inklusi yaitu karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2015). Kriteria Inklusi :

a. Klien yang berusia >45 tahun

b. Klien yang bersedia menjadi responden

c. Klien yang mampu berkomunikasi dengan baik

d. Klien yang bersedia mengikuti dan menjalani terapi fisik selama penelitian

berlangsung

e. Klien yang kesadaran composmentis

2. Kriteria ekslusi yaitu menghilangkan/mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria

inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2015).


Kriteria Ekslusi :

a. Klien yang kurang kooperatif.

b. Klien yang mengalami keterbatasan gerak.

C. Fokus Studi

1. Gangguan resiko jatuh pada pasien vertigo.

2..Asuhan keperawatan pada pasien vertigo dengan resiko jatuh.

D. Definisi Operasional

1. Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau sensasi gerak tubuh dengan gejala lain

yang timbul terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan gangguan alat

keseimbangan tubuh.

2. Resiko jatuh adalah Berisiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan kesehatan akibat

terjatuh.

3. Terapi brandt daroff adalah langkah mengatasi vertigo yang bisa dilakukan secara

mandiri di rumah. Gerakannya sendiri dilakukan menggunakan gravitasi untuk

mengeluarkan kristal dari telinga bagian dalam.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau pada bulan

Maret tahun 2022.


F. Metode Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam studi kasus ini adalah data primer dan data

sekunder, data primer diperoleh dengan cara melakukan pengkajian terhadap responden.

Sedangkan data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini diperoleh dari status

pasien dan rekam medik di RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau.

G. Analisis Data dan Penyajian Data

Data yang ditemukan saat pengkajian dikelompokkan dan dianalisis berdasarkan

data subjektif dan objektif sehingga dapat dirumuskan diagnosa keperawatan, kemudian

menyusun rencana keperawatan dan melakukan implementasi serta evaluasi keperawatan

dengan cara dinarasikan. Analisis selanjutnya membandingkan asuhan keperawatan yang

telah dilakukan pada hasil awal dan akhir dengan teori dan penelitian terdahulu.

(Nursalam, 2015).

H. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi pihak

institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat

penelitian dalam hal ini RSUD Siti Aisyah Kota Lubuklinggau setelah mendapat

persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekan masalah etika penelitian yang

meliputi :

1. Informent consent (lembar persetujuan menjadi responden)Informent consent

diberikan kepada responden yang akan diteliti disertai judul penelitian, apabila

responden menerima atau menolak, maka peneliti harus mampu menerima

keputusan responden.

2. Anonymity (tanpa nama)


Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan menyebutkan nama responden

tetapi akan menggantinya menjadi inisial atau kode responden.

3. Confidentiality (kerahasiaan informasi)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data

tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.

4. Beneficience

Penelitian melindungi subjek agar terhindar dari bahaya danketidaknyaman fisik.

5. Full disclosure

Penelitian memberikan kepada responden untuk membuat keputusan secara

sukarela tentang partisipasinya dalam penelitian ini dan keputusan tersebut tidak

dapat dibuat tanpa memberikan penjelasan selengkap-lengkapnya. keputusan

tersebut tidak dapat dibuat tanpa memberikan penjelasan selengkap-lengkapnya.


DAFTAR PUSTAKA

Junaidi, iskandar. Sakit kepala, migrain, dan vertigo Edisi revisi. Jakarta. Bhuana ilmu
populer. FK UNDIP. 2013

Widjajalaksmi K, dkk. 2015. Pengaruh latihan Brandt Daroff dan modifikasi manuver Epley
pada vertigo posisi paroksismal jinak Vol. 45 No. 1 Universitas Indonesia/Rumah
Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

PPNI, (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan kriteria hasil
keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI, (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI Tim Pokja, (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Putri & Sidharta, (2016). Hubungan Antara Cedera Kepala Dan Terjadinya Vertigo.
(December).

Sri Sutarni, Rusdy Ghazali Malueka, Abdul Ghofir. 2015. Bunga Rampai Vertigo.
https://books.google.co.id/books?
id=2oFYDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=vertigo+bahasa+indonesia+sutarni&
hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjgma737fbaAhUDSI8KHXSxBcoQ6AEIKDAA#v=one
page&q&f=false. Diunduh 27 desember 2021

Juma Rhya, 2019 https://id.scribd.com/document/407791687/Pathway-VERTIGO-Print


diunduh 28 desember 2021

Grill E, Furman JM. Alghwiri AA., et al. Using score sets of the international classicfication
of functioning. Disability and healt (ICF) to measure disability in vistibular disorders:
studi protocol. J Vestib Res. 23 (6). 297-303 (2013).

Bisdorff, AR., Bosser, G., Gueguen, R., and Perrin,P. “The Epidemiologyof
Vertigo,Dizzines, and Unsteadiness and Its Links to Co-Morbidities”, Front. Neurol.
4.29 (2013)

Fransisca. (2013). Pengaruh terapi akupresur terhadap vertigo di klinik sinergy mind health
surakarta

Laksmidewi, dkk (2016). Bali Neurology Update. Denpasar: Udayana University.

Nursalam, (2015). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Ardiyansyah. (2012). Medikal Bedah. Retrieved from Retrieved from www.divapress-


online.com
Debora. (2013). Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Salemba Medika.

Herlina, A. Et al., (2017). Efektifitas Latihan Brandt Daroff Terhadap Kejadian Vertigo Pada
Subjek Penderita Vertigo. Jurnal Medika Saintika, 8(2).

Gunaidi, S. Et al., (2021). Pengaruh Posisi Brandt Daroff Terhadap Mual Muntah Pada
Pasien Vertigo Di Igd Klinik Griya Medika Utama Karanganyar. Vertigo, Brandt
Daroff, Mual-Muntah 48 (2011 – 2021)

Sugeng, R. S. Et al., (2021). Pengaruh Pemberian Brandt Daroff Exercise Untuk


Meningkatkan Keseimbangan Pada Benign Paroxysmal Positional Vertigo : Metode
Narrative Review. Journal Physical Therapy UNISaA, 1(1), 23-32.
SOP TERAPI BRANDT DAROFF

A. Pengertian :
Latihan Brandt Daroff merupakan latihan fisik yang ditambahkan pada pasien dengan
vertigo setelah menjalani terapi standar di praktek dokter. Latihan Brandt Daroff ini
dapat dilakukan sendiri oleh pasien, sehingga pasien bisa mengulanginya setiap hari
di rumah.
B. Tahap Prainteraksi
1. Membaca status pasien
2. Menyiapkan diri dan alat yang dibutuhkan
C. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan tujuan
4. Menjelaskan prosedur
5. Kontrak waktu

D. Tahap Kerja
1. Pertama atur posisi pasien dengan posisi duduk di sisi tempat tidur
2. Kemudian berbaring kesamping dengan cepat 1-2 detik.
3. Lalu tetap pada posisi ini selama 30 detik
4. Kemudian kembali ke posisi duduk dan tunggu selama 30 detik
5. Sekarang baringkan tubuh seperti tadi kesamping dengan arah berlawanan dari
sebelumnya
6. Lalu tetap pada posisi ini tunggu sampai 30 detik
7. Kemudian kembali ke posisi duduk dan tunggu selama 30 detik
8. Lakukan gerakan ini sebanyak 3 kali pengulangan dalam sehari.
E. Tahap Terminasi
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan yang telah dilakukan
2. Rencana tindak lanjut
3. Kontrak waktu
4. Dokumentasi tindakan

Anda mungkin juga menyukai