Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN


“TEORI BELAJAR KOGNITIVISME DAN KONTRUKTIVISME
SERTRA APLIKASI PEMBELAJARAN DARI PARA AHLI
KOGNITIVISME DAN KONTRUKTIVISME ”

Disusun Oleh Kelompok 3


Anggota Kelompok :

1. Ajeng Ayu Dananti (A1C220041)


2. Hanifah Dwinanda Syafitri (A1C220071)
3. Samara Alifa Jazuli (A1C220091)
4. Syifaurrahmadania (A1C220013)

Kelas : R.003

Dosen Pengampu :
1. Sri Winarni, S.Pd., M.Pd.
2. Rina Kusumadewi, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Kami panjatkan kehadirat Allah Swt atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Belajar Dan Pembelajaan
yang berjudul “Definisi Teori Belajar Kognitivisme Dan Kontruktivisme Dan
Aplikasi Pembelajaran Dari Para Ahli Kognitivisme Dan Kontruktivisme” sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam terselesaikannya makalah ini. Penulis berharap, semoga
makalah kegiatan ini dapat menjadi bahan pertimbangan, informasi, dan
pengetahuan bagi pihak yang memberikan tanggung jawab atau pun pembaca
lainnya.
Makalah ini disusun untuk melengkapi salah satu tugas Belajar Dan
Pembelajaan sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Ibu Sri Winarni, S.Pd.,
M.Pd. dan Ibu Rina Kusumadewi, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah Belajar Dan Pembelajaran.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena
pengetahuan yang kami miliki masih minim, dan masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Untuk itu penulis memohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan dan penyampaian materi dalam makalah ini.
Selanjutnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita serta dapat dipahami
oleh pembaca. Aamiin.

Senin, 06 September 2021

Kelompok 3
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................1
1.3 Tujuan ................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
2.1 Teori Belajar Kognitivisme dan Pengaplikasiannya ..........................................3
2.2 Teori Belajar Kontruktivisme dan Pengaplikasiannya .....................................20
BAB III PENUTUP ..............................................................................................30
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................30
3.2 Saran .................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belajar adalah proses aktivitas mental yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang bersifat positif dan menetap
relatif lama melalui latihan atau pengalaman yang menyangkut aspek
keperibadian baik secara fisik maupun psikis.
Warsita (2008: 65) menyatakan bahwa ada banyak teori-teori belajar,
setiap teori memiliki konsep atau prinsip-prinsip sendiri tentang belajar yang
mempengaruhi bentuk atau model penerapannya dalam kegiatan pembelajaran.
Teori belajar yang mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya disebut
teori kognitif.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang dalam suatu usaha untuk
mengerti sesuatu. Para psikologi kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya dapat menentukan keberhasilan dalam mempelajari
pengetahuan yang baru (Yuberti, 2014:35).
Teori Kognitif (Cognitive) berasal dari kata cognition yang berarti
pengertian atau mengerti. Istilah kognitif secara umum mecakup segala bentuk
pengenalan yang meliputi perilaku mental yang berhubungan masalah
pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, mempertimbangkan,
pengelolaan informasi, pemecahan masalah, berpikir dan keyakinan
(Setiawan,Andi 2017:57).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana teori belajar Kognitivisme?
2. Bagaimana aplikasi pembelajaran dari para ahli Kognitivisme?
3. Bagaimana teori belajar Kontruktivisme?
4. Bagaimana aplikasi pembelajaran dari para ahli Kontruktivisme?

1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui teori belajar Kognitivisme.
2. Mengetahui aplikasi pembelajaran dari para ahli Kognitivisme.
3. Mengetahui teori belajar Kontruktivisme.
4. Mengetahui aplikasi pembelajaran dari para ahli Kontruktivisme.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Belajar Kognitivisme dan Pengaplikasiannya.


Teori belajar kognitivisme merupakan salah satu teori yang mendasarkan
pemahaman atas beberapa tokoh di antaranya yaitu: Bruner dengan teorinya
discovery learning, Ausubel dengan teori belajar bermakna, Kurt Lewin dengan
teori belajar medan kognitif, Jean Piaget dengan teori perkembangan kognitif, M
Gagne dengan teori pemrosesan informasi, Marx Wertheimer dengan teori kognisi
gestalt. Setiap masing masing ahli mempunyai pemahaman yang mendasar dari
sudut pandang kognitif (Setiawan, 2017).
Teori ini lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajar. Bagi
pengalaman kognitivistik belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berfikir yang
sangat kompleks. Menurut teori kognitivistik, ilmu pengetahuan dibagun dalam
diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinamb ungan dengan
lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah tetapi melalui
proses yang mengalir, bersambung-sambung menyeluruh. Ibarat seseorang yang
memainkan musik, tidak hanya memahami not balok pada partitur sebagai
informasi yang saling lepas dan berdiri sendiri, tapi sebagai suatu kesatuan yang
secara utuh masuk kedalam pikiran dan perasaannya.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk
mengerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat
berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah,
mencermati lingkungan, mempraktekkan sesuatu untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Para psikologi kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya dapat menentukan keberhasilan mempelajari
informasi/pengetahuan yang baru (Yuberti, 2014).
Berikut adalah beberapa pendapat para ahli mengenai teori belajar kognitivisme :

A. Robert M. Gagne
3
Menurut Yuberti (2014), salah satu teori belajar yang berasal dari
psikologi kognitif adalah teori pemprosesan informasi (informasi Processing
Theory) yang dikemukakan Gagne. Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai
proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan otak
manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Receptor (alat-alat indera) menerima rangsangan dari lingkungan
mengubahnya menjadi rangsangan neural, memberikan simbol-simbol
informasi yang diterimanya dan kemudian diteruskan kepada
2. Sensory register (penampungan kesan-kesan sensoris) yang terdapat pada
syarat pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan
seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perseptual (persepsi selektif).
Informasi-informasi yang masuk, sebagian diteruskan kememori jangka
pendek sebagian dari sistem
3. Short-term memory (memori jangka pendek) menampung hasil pengolahan
perseptual dan menyimpannya, informasi tertentu disimpan lebih lama dan
diolah untuk menentukan maknanya. Memory jangka pendek dikenal
juga dengan memory kerja (working memory), kapasitasnya sangat terbatas
waktu penyimpanannya juga pendek. Informasi dalam memori ini dapat
ditransformasi dalam bentuk-bentuk kode dan selanjutnya diteruskan ke
memori jangka panjang.
4. Long-term memory (memori jangka panjang), menampung hasil pengolahan
yang ada dimemori jangka pendek. Informasi disimpan dalam memori jangka
panjang dan bertahan lama, siap untuk dipakai bila diperlukan saat
transformasi informasi. Informasi-informasi baru terintegrasi dengan
Informasi-informasi lama yang sudah tersimpan dalam memori jangka
panjang adalah dengan pemanggilan. Ada 2 cara pemanggilan:
a. Informasi mengalir dari memori jangka panjang kememori jangka pendek
dan kemudian ke response generator.
b. Informasi mengalir langsung dari memori jangka panjang ke response
generator selama pemanggil (respon otomatis).
5. Response generator (pencipta respon), menampung informasi yang tersimpan
4
Dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.
Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:
1. Belajar Isyarat (Signal Learning)
Bentuk pembelajaran yang paling sederhana, dan pada dasarnya terdiri dari
pengkondisian klasik yang pertama kali dijelaskan oleh psikolog perilaku Pavlov.
Dalam hal ini, subjek 'dikondisikan' untuk memancarkan respons yang diinginkan
sebagai akibat stimulus yang biasanya tidak menghasilkan respons tersebut. Hal
ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengekspos subjek pada stimulus yang
dipilih (dikenal sebagai stimulus terkondisi) bersamaan dengan stimulus lain
(dikenal sebagai stimulus tak berkondisi) yang menghasilkan respons yang
diinginkan secara alami; Setelah sejumlah pengulangan stimulus ganda,
ditemukan bahwa subjek memancarkan respons yang diinginkan saat terkena
stimulus terkondisi sendiri. Penerapan pengkondisian klasik dalam memfasilitasi
pembelajaran manusia sangat terbatas.Belajar isyarat mirip dengan conditioned
respons atau respon bersyarat. Seperti menutup mulut dengan telunjuk, isyarat
mengambil sikap tidak bicara. Lambaian tangan, isyarat untuk datang mendekat.
Menutup mulut dan lambaian tangan adalah isyarat, sedangkan diam dan datang
adalah respons. Tipe belajar semacam ini dilakukan dengan merespons suatu
isyarat. Jadi respons yang dilakukan itu bersifat umum, kabur dan emosional.
Menurut Krimble (1961) bentuk belajar semacam ini biasanya bersifat tidak
disadari, dalam arti respons diberikan secara tidak sadar.
2. Belajar Stimulus – Respons ( Stimulus Respons Learning)
Bentuk pembelajaran yang agak canggih ini, yang juga dikenal sebagai
pengkondisian operan, pada awalnya dikembangkan oleh Skinner. Ini melibatkan
pengembangan obligasi stimulus-respons yang diinginkan dalam subjek melalui
jadwal penguatan yang direncanakan dengan hati-hati berdasarkan
penggunaan'penghargaan' dan 'hukuman'. Pengondisian operan berbeda dari
pengkondisian klasik karena agen penguat ('hadiah' atau 'hukuman') disajikan
setelah respon. Tipe pengkondisian inilah yang membentuk dasar pembelajaran
terprogram dalam berbagai manifestasinya.Berbeda dengan belajar isyarat,
5
respons bersifat umum, kabur dan emosional. Tipe belajar S – R, respons bersifat
spesifik. 2 x 3 = 6 adalah bentuk suatu hubungan S-R. Mencium bau masakan
sedap, keluar air liur, itupun ikatan S-R. Setiap respons dapat diperkuat dengan
reinforcement.
3. Belajar Rangkaian (Chaining)
Bentuk pembelajaran yang lebih maju dimana subjek mengembangkan
kemampuan untuk menghubungkan dua atau lebih ikatan stimulus-respons yang
dipelajari sebelumnya ke dalam urutan yang terkait. Ini adalah proses dimana
keterampilan psikomotor yang paling kompleks (misalnya mengendarai sepeda
atau bermain piano) dipelajari.
4. Asosiasi Verbal (Verbal Assosiation)
Asosiasi verbal dalah bentuk chaining dimana hubungan antara item yang
terhubung bersifat verbal. Asosiasi verbal adalah salah satu proses kunci dalam
pengembangan kemampuan bahasa. Contoh suatu kalimat “unsur itu berbangun
limas” adalah contoh asosiasi verbal. Seseorang dapat menyatakan bahwa unsur
berbangun limas kalau ia mengetahui berbagai bangun, seperti balok, kubus, atau
kerucut. Hubungan atau asosiasi verbal terbentuk jika unsur-unsurnya terdapat
dalam urutan tertentu, yang satu mengikuti yang lain.
5. Belajar Diskriminasi (Discrimination Learning)
Pembelajaran ini melibatkan pengembangan kemampuan untuk membuat
tanggapan yang sesuai (berbeda) terhadap serangkaian rangsangan serupa yang
berbeda secara sistematis. Prosesnya dibuat lebih kompleks (dan karenanya lebih
sulit) oleh fenomena gangguan, dimana satu hal belajar menghambat yang lain
Gangguan dianggap salah satu penyebab utama lupa.Tipe belajar ini adalah
pembedaan terhadap berbagai rangkaian. Seperti membedakan berbagai bentuk
wajah, waktu, binatang, atau tumbuh-tumbuhan.
6. Belajar Konsep (Concept Learning)
Melibatkan pengembangan kemampuan untuk membuat respons yang
konsisten terhadap rangsangan yang berbeda yang membentuk kelas atau kategori
umum. Ini membentuk dasar kemampuan untuk menggeneralisasi,
mengklasifikasikan dll.Konsep merupakan simbol berpikir. Hal ini diperoleh dari
6
hasil membuat tafsiran terhadap fakta. Dengan konsep dapat digolongkan
binatang bertulang belakang menurut ciri-ciri khusus (kelas), seperti kelas
mamalia, reptilia, amphibia, burung, ikan. Kemampuan membentuk konsep ini
terjadi jika orang dapat melakukan diskriminasi.
7. Belajar Aturan (Rule Learning)
Proses kognitif tingkat tinggi yang melibatkan kemampuan untuk
mempelajari hubungan antara konsep dan menerapkan hubungan ini dalam situasi
yang berbeda, termasuk situasi yang sebelumnya tidak dihadapi. Ini menjadi
dasar pembelajaran peraturan umum, prosedur, dll.Tipe belajar ini banyak
terdapat dalam semua pelajaran di sekolah, seperti benda memuai jika
dipanaskan, besar sudut dalam segitiga sama dengan 180o. Setiap dalil atau rumus
yang dipelajari harus dipahami artinya.
8. Belajar Pemecahan Masalah ( Problem Solving Learning)
Tingkat tertinggi proses kognitif menurut Gagné. Ini melibatkan
pengembangan kemampuan untuk menciptakan aturan, algoritma, atau prosedur
yang kompleks untuk memecahkan satu masalah tertentu, dan kemudian
menggunakan metode untuk memecahkan masalah lain yang serupa.Upaya
pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan berbagai urusan
yangrelevan dengan masalah itu. Dalam pemecahan masalah diperlukan waktu,
adakalanya singkat adakalanya lama. Juga seringkali harus dilalui berbagai
langkah, seperti mengenal tiap unsur dalam masalah itu, mencari hubungannya
dengan aturan (rule) tertentu. Dalam segala langkah diperlukan pemikiran.
Tampaknya pemecahan masalah terjadi dengan tiba-tiba. Dengan ulanganulangan
masalah tidak terpecahkan, dan apa yang dipecahkan sendiri-yang
penyelesaiannya ditemukan sendiri lebih mantap dan dapat ditransfer kepada
situasi atau problem lain. Kesanggupan memecahkan masalah memperbesar
kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah lain.

Terdapat lima jenis hasil belajar atau yang bisa disebut dengan sistematika
“lima jenis belajar”. Sistematika ini tidak jauh berbeda dengan sistematika
delapan tipe belajar, dimana isinya merupakan bentuk penyederhanaan dari
7
sistematika delapan tipe belajar. Uraian tentang sistematika lima jenis belajar ini
memperhatikan pada hasil belajar yang diperoleh siswa. Hasil belajar ini
merupakan kemampuan internal yang telah menjadi milik pribadi seseorang dan
memungkinkan orang tersebut melakukan sesuatu yang dapat memberikan
ptrestasi tertentu. Sistematika ini mencakup semua hasil belajar yang dapat
diperoleh, namun tidak menunjukkan setiap hasil belajar atau kemampuan internal
satu-persatu. Akan tetapi mengelompokkan hasil-hasil belajar yang memiliki ciri-
ciri sama dalam satu kategori dan berbeda sifatnya dari kategori lain. Maka dapat
dikatakan, bahwa sistematika Gagne meliputi lima kategori hasil belajar. Kelima
kategori hasil belajar tersebut adalah Informasi verbal, Kemahiran intelektual,
Pengaturan kegiatan kognitif, Keterampilan motorik, dan Sikap.
1. Informasi Verbal (Verbal Information)
Merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan
dalam bentuk bahasa, lisan, dan tertulis. Pengetahuan tersebut diperoleh dari
sumber yang juga menggunakan bahasa, lisan maupun tertulis. Informasi verbal
meliputi ”cap verbal” dan ”data/fakta”. Cap verbal yaitu kata yang dimiliki
seseorang untuk menunjuk pada obyek-obyek yang dihadapi, misalnya ’kursi’.
Data/fakta adalah kenyataan yang diketahui, misalnya ’Ibukota negara Indonesia
adalah Jakarta’.
2. Kemahiran Intelektual (Intellectual Skill)
Adalah kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan
dirinya sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai
lambang/simbol (huruf, angka, kata, dan gambar). Kategori kemahiran intelektual
terbagi lagi atas empat subkemampuan, yaitu:
a. Diskriminasi jamak : yaitu kemampuan seseorang dalam mendeskripsikan
benda yang dilihatnya.
b. Konsep : yaitu satuan arti yang mewakili sejumlah obyek yang memiliki
ciriciri sama. Konsep dibedakan atas konsep konkret dan konsep yang harus
didefinisikan. Konsep konkret adalah pengertian yang menunjuk pada
obyekobyek dalam lingkungan fisik. Konsep yang didefinisiskan adalah
konsep yang mewakili realitas hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada
8
realitas dalam lingkungan hidup fisik.
c. Kaidah : yaitu kemampuan seseorang untuk menggabungkan dua konsep atau
lebih sehingga dapat memahami pengertiannya.
d. Prinsip : yaitu telah terjadi kombinasi dari beberapa kaidah, sehingga
terbentuk suatu kaidah yang bertaraf lebih tinggi dan lebih kompleks.
Berdasarkan prinsip tersebut, seseorang mampu memecahkan suatu
permasalahan, dan kemudian menerapkan prinsip tersebut pada permasalahan
yang sejenis.
3. Pengaturan Kegiatan Kognitif (Cognitive Strategy)
Merupakan suatu cara seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan
berpikirnya sendiri, sehingga ia menggunakan cara yang sama apabila
menemukan kesulitan yang sama.
4. Keterampilan Motorik (Motor Skill)
Adalah kemampuan seseorang dalam melakukan suatu rangkaian gerak-
gerik jasmani dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi antara gerak-
gerik berbagai anggota badan secara terpadu.
5. Sikap (Attitude)
Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan sekali dalam
mengambil tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya sendiri.

Fase-fase belajar menurut Gagne.


Menurut Gagne, belajar melalui empat fase utama yaitu:
1. Fase Pengenalan (Apprehending Phase)
Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap
artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri
dengan berbagai cara. Dengan kata lain pada fase ini, rangsang diterima oleh
seseorang yang belajar. Ini ada beberapa langkah. Pertama timbulnya perhatian,
kemudian penerimaan, dan terakhir adalah pencatatan (dicatat dalam jiwa tentang
apa yang sudah diterimanya). Ini berarti bahwa belajar adalah suatu proses yang
unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab
terhadap belajarnya karena cara yang unik yang dia terima pada situasi belajar.
9
2. Fase Perolehan (Acqusition Phase)
Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru (dapat berupa fakta,
keterampilan, konsep atau prinsip) dengan menghubungkan informasi yang
diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa
membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama. Pemilikan
pengetahuan dapat ditentukan dengan mengamati atau mengukur apa yang telah
dimilikinya itu. Hal ini perlu dilakukan di dalam proses belajar mengajar agar
supaya guru dapat mengetahui apa yang telah dimiliki dan apa yang belum
dimiliki.
3. Fase Penyimpanan (Storage Phase)
Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi. Sarana
menyimpan bagi manusia adalah ingatan (memory). Penelitian mengindikasikan
bahwa terdapat dua tipe memori, yaitu memori jangka pendek (short term
memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Memori jangka pendek
mempunyai kapasitas terbatas dan hanya bertahan dalam waktu singkat. Banyak
orang dapat menahan (menyimpan) tujuh atau delapan informasi berbeda dalam
memori selama tiga puluh detik. Memori jangka panjang adalah kemampuan kita
mengingat informasi selama lebih dari tiga puluh detik, dan ini disimpan dalam
pikiran secara permanen. Gagne mendeskripsikan beberapa ciri yang mungkin
dimiliki fase ini, sebagai berikut.
a. Apa yang telah dipelajari mungkin tersimpan di dalam suatu bentuk yang
permanen, tetap intens selama bertahun-tahun.
b. Beberapa hal yang dipelajari mungkin memudar sedikit demi sedikit sejalan
dengan berlalunya waktu.
c. Gudang ingatan mungkin mengalami pencampuradukan dalam arti ingatan
yang baru mengaburkan ( atau mungkin menghapus) yang terlebih dulu karena
mereka bercampur baur. Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari
memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui
pengulangan kembali (rehearsal), praktek (practice), elaborasi atau lain-
lainnya. Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang
sehingga dapat digunakan bila diperlukan dan kemampuan baru yang telah
10
diperoleh dipertahankan atau diingat. Fase ini berhubungan dengan ingatan
dan kenangan.
4. Fase Pengungkapan Kembali (Retrieval Phase)
Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil
kembali informasi yang ada dalam memori. Apa yang telah dipelajari, dimiliki,
dan disimpan (dalam ingatan) dengan maksud untuk digunakan (memecahkan
masalah) bila diperlukan, baik itu yang menyangkut fakta, keterampilan, konsep,
maupun prinsip. Jika kita akan menggunakan apa yang disimpan, maka kita harus
mengeluarkannya dari tempat penyimpanan tersebut, dan inilah yang disebut
dengan pengungkapan kembali.
Menurut Gagne, fase pertama dan kedua merupakan stimulus, dimana
terjadinya proses belajar,sedangkan pada fase ketiga dan keempat merupakan
hasil belajar. Keempat fase belajar manusia ini telah disatukan menyerupai model
sistem komputer, meskipun sedikit lebih kompleks daripada yang ada pada
manusia. komputer menangkap rangsangan listrik dari pengguna komputer,
memperoleh stimulus dalam central processing unit, menyimpan informasi dalam
stimulus pada salah satu bagian memori, dan mendapatkan kembali informasi
pada penyimpanannya.
Contoh kasus : jika siswa mempelajari prosedur menentukan nilai
pendekatan akar kuadrat dari bilangan yang bukan kuadrat sempurna, mereka
harus memahami metode, memperoleh metode, menyimpan di dalam memori, dan
memanggil kembali ketika dibutuhkan. Untuk membantu siswa melangkah maju
melalui empat tahap dalam mempelajari algoritma akar kuadrat, guru
menimbulkan pemahaman dengan mengerjakan suatu contoh pada papan tulis,
memudahkan akusisi setelah setiap siswa mengerjakan contoh dengan
mengikutinya, langkah demi langkah, daftar petunjuk, membantu penyimpanan
dengan memberikan soal-soal untuk pekerjaan rumah, dan memunculkan
pemanggilan kembali dengan memberikan kuis pada hari berikutnya.

Pengaplikasian Teori Gagne dalam Pembelajaran

11
Ada beberapa pendekatan dan langkah-langkah agar bisa menerapkan teori
Gagne dalam proses pembelajaran. Berikut merupakan konsep Sembilan Kondisi
Intruksional Gagne yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menerapkan teroi
Gagne dalam pembelajaran:
1. Mengarahkan perhatian
Kegiatan ini merupakan proses guru dalam memberikan stimulus siswa
dengan cara meyakinkan siswa bahwa mempelajari materi tersebut itu penting.
Hal ini bisa dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan ringan seputar
materi yang akan disajikan. Contoh : Guru menunjukan perkalian 4 dengan
menggunakan buah apel.
2. Memberikan Informasi Tujuan
Pembelajaran Dalam hal ini guru harus mengupayakan untuk memberitahu
siswa akan tujuan pembelajaran. Sehingga siswa mengetahui tujuan dari materi
pembelajaran yang dipelajarinya. Ini sangat penting dilakukan agar siswa lebih
termotivasi untuk bisa mencapai tujuan pembelajaran. Contoh : Guru memberikan
informasi bahwa pembelajaran yang akan dipelajari mengenai operasi perkalian.
3. Merangsang siswa untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari
Upaya merangsang siswa dalam mengingat materi yang lalu bisa
dilakukan dengan cara bertanya tentang materi yang telah diajarkan. Contoh :
guru menanyakan hasil dari perkalian tertentu menggunakan media yang ada.
4. Menyajikan stimulus
Menyajikan stimulus bisa dilakukan dengan cara guru menyajikan materi
pembelajaran secara menarik dan menantang. Sehingga siswa merasa tertarik
untuk mengikuti pembelajaran yang sedang berlangsung. Contoh : guru membagi
siswa dalam kelompok-kelompok kecil dan memberikan pertanyaan kemudia
dibahas bersama dengan guru.
5. Memberikan bimbingan kepada siswa
Pada konsep ini guru harus membimbing siswa dalam proses belajarnya.
Sehingga siswa dapat terarah dalam pembelajarannya. Contoh : dalam proses
perhitungan yang diberikan oleh guru, siswa diminta untuk menghitung sambil
guru menulis hasil dipapan.
12
6. Memancing Kinerja
Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan
untuk menerapkan apa yang telah dipelajari itu. Contoh : siswa diminta
menyebutkan apa yang telah dipelajari/penguasaan materi yang dipahami.
7. Memberikan balikan
Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid
apakah hasil belajarnya benar atau tidak. Contoh : guru menanyakan pada siswa
sudah benar atau belum perhitungan yang dilakukan.
8. Menilai hasil belajar
Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk
mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan
memberikan beberapa soal. Contoh : memberikan evaluasi kepada siswa.
9. Mengusahakan transfer
Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan
untuk menggeneralisasi apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat
menggunakannya dalam situasi-situasi lain dengan cara yang cepat/rangkuman.
Contoh : guru mengajak siswa memecahkan masalah perkalian dengan metode
jaritmatika.

B. Jean Piaget
Teori perkembangan kognitif disebut pula teori perkembangan intelektual
atau teori perkembangan mental. Teori berkenaan dengan kesiapan anak untuk
belajar yang dikemas dalam tahaptahap perkembangan intelektual sejak lahir
sampai dewasa. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses
yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan
makin bertambahnya usia seseorang, maka makin komplekslah susunan sel
sarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya (Akhiruddin dkk., 2019).
Atas dasar pemikiran ini maka Piaget disebut-sebut cenderung menganut
teori psikogenesis, artinya pengetahuan sebagai hasil belajar berasal dari dalam
individu. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap
sebagai berikut :
13
1. Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan,
proses membangun pemikiran-pemikiran.
2. Asimilasi
Proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya
atau dapat dikatakan pula menghubungkan antara pengetahuan lama dengan
pengetahuan baru.
3. Akomodasi
Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan
rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga
cocok dengan rangsangan itu.
4. Keseimbangan (Ekuilibrasi)
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Sedangkan
Diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses
asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Contoh pengaplikasiannya adalah sebagai berikut :


1. Pada tahap skemata ini contohnya seorang anak dilihatkan gambar seekor
kuda, lalu orang tua nya memberikan informasi bahwa kuda itu berkaki empat
dan berekor, lalu dia secara sistematis didalam otaknya akan tergambar apa
ciri-ciri kuda tersebut di dalam ingatannya.
2. Asimilasi, pada tahapan ini contohnya seorang anak diajak orang tua nya ke
kebun binatang, lalu dia melihat ciri-ciri seekor hewan yang sudah
dipelajarinya dari sebuah gambar itu lalu dia langsung tau bahwa hewan
tersebut adalah kuda. Karena dia sudah memiliki konsep atau pola sebelumnya
dari pengetahuan dan langsung merealisasikannya.
3. Akomodasi, pada tahapan ini contohnya setelah seorang anak mengetahui
bahwa hewan itu adalah seekor kuda, lalu dia melihat hewan lain yaitu zebra,
dengan sepontan anak itu bilang bahwa hewan tersebut adalah kuda
14
dikarenakan ciri-ciri hewan tersebut sama dengan ciri-ciri kuda yang
tergambarkan di ingatanya. Disitulah akomodasi terjadi, skema yang sudah ada
bertemu dengan rangsangan yang baru. Lalu orang tua menjelaskan perbedaan
dari kedua hewan tersebut sehingga seorang anak akan mendapatkan informasi
baru bahwa hewan itu adalah zebra bukan kuda karena adanya perbedaan pada
warna ditubuhnya.
4. Keseimbangan, pada tahap ini seorang anak akan menyeimbangkan antara
asimilasi dan akomodasi yaitu antara pengalaman yang sudah ada dengan
pengalaman baru sehingga seorang anak akan mengetahui dalam ingatannya
apa perbedaan dari hewan tersebut, sehingga dia tidak akan keliru lagi.

Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan


dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam konteks ini
terdapat empat tahap yaitu tahap sensorimotor (anak usia 1,5 – 2 tahun), tahap
praoperasional (2-8 tahun) dan tahap operasional konkrit (usia 7/8 tahun sampai
12/14 tahun) dan tahap operasional fonnai (14 tahun atau lebih). Proses belajar
yang dialami oleh seorang anak berbeda pada tahap satu dengan tahap yang lain
nya, secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakinteratur
dan juga semakin abstrak cara berfikirnya. Karena itu seharusnya guru memahami
tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya, serta memberikan isi, metode,
media pembelajaran sesuai dengan tahap-tahap tersebut

C. David P. Ausubel
Konsep dasar pandangan Ausubel dalam pembelajaran yaitu teori subsumi
dan advance organizer. Teori subsumsi merupakan teori yang mengkaitkan antara
materi baru dengan struktur kognitif peserta didik (pengetahuan atau materi ketika
masuk ke struktur kognitif akan diorganisasikan secara hirarkis). Advance
Organizer berisi materi lama yang sudah dikenal baik oleh peserta didik akan
tetapi masih mempunyai hubungan dengan materi yang baru. Progressive
differensial berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan
terlebih dahulu hal-hal yang umum terus sampai pada hal-hal khusus, kemudian
15
dijelaskan disertai dengan pemberian contoh-contoh. Rekonsiliasi integratif
(integrative reconsiliation) dalam hal ini guru menjelaskan dan menunjukkan
secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi yang telah
dijelaskan terlebih dahulu dan telah dikuasai siswa. Konsolidasi dalam hal ini,
guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran yang telah diberikan untuk
memudahkan si belajar memahami dan mempelajari materi selanjutnya (Setiawan,
2017).
David P. Ausubel merupakan tokoh kognitivisme yang melakukan kritik
terhadap teori neo behaviorisme dan mengembangkan teori belajar bermakna.
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar :
1. Belajar bermakna (meaningful learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang belajar
2. Belajar menghafal (rote learning).
Belajar menghafal adalah peserta didik berusaha menerima dan menguasai
bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.

Contoh pengaplikasiannya yaitu :


Eveline Siregar & Hartini Nara (2014: 33) menurut Ausubel, peserta didik
akan belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional conten) sebelumnya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada peserta
didik (advance organizers) dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan
kemajuan belajar siswa. Advance organizers adalah konsep atau informasi umum
yang mewadahi semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Advance
organizers dapat memberikan tiga manfaat :
1. Menyediakan suatu kerangka konseptual.
2. Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang
dipelajari.
3. Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik
16
dengan demikian ia akan mampu men emukan informasi yang sangat abstrak
umum dan inklusif yang mewadahi apa yang ingin diajarkan. Guru juga harus
memiliki logika berfikir yang baik agar dapat memilah-milah materi
pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan pada serta
mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami.

D. Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner adalah imigrasi dari Polandia yang dibesarkan di New
York. Bukunya tentang pendidikan yang terlihat mendukung prinsip kognitivisme
antara lain adalah The Process of Education (1960), dan The Culture of Education
(1996). Dasar dari teori Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan
bahwa anak harus berperan secara aktif saat belajar di kelas. Konsepnya adalah
belajar menemukan (discovery learnig), siswa mengorganisir bahan pelajaran
yang dipelajarinya dengan suatubentuk akhir yang sesuai dengan tingkat
kemajuan berpikir anak. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses
penemuan personal (personal discovery), oleh setiap individu murid. Inilah
tema pokok teori Bruner. Belajar penemuan (discovery learning) merupakan
salah satu model pembelajaran/belajar kognitif yang dikembangkan oleh Bruner
(1966). Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar
penemuan. Agar belajar menjadi bermakna dan memiliki struktur informasi yang
kuat, siswa harus aktif mengidentifikasi prinsipprinsip kunci yang ditemukannya
sendiri, bukan hanya sekedar menerima penjelasan dari guru saja (Akhiruddin
dkk., 2019).
Suyono & Hariyanto (2014: 89) menurut Bruner seiring dengan terjadinya
pertumbuhan kognitif, para pembelajar harus melalui tiga tahapan pembelajaran
meliputi: enactive, iconic dan simbolic.
1. Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara
langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak
belajar sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif,
dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata,
17
pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Ia akan
memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.
2. Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran
internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau
grafikyang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan
gambaran dariobjek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung mema
nipulasi objek sepertiyang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan
visual(visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan
kongkretatau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas
(butir a).Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian
seseorangmencapai masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang
didasarkan padapengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir
abstrak.
3. Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi
simbulsimbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat
dengan objekobjek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah
mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap
simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak
(abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orangorang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol
verbal (misalnya hurufhuruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang
matematika, maupun lambanglambang abstrak yang lain.
Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah,
pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal
itu dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 3
kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng
semuanya ini merupakan tahap enaktif). Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan
18
dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2
kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng
semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua
ikonik, siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan
pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut. Pada tahap
berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu
dengan menggunakan lambang-lambang bialngan, yaitu : 3 + 2 = 5.

Contoh pengaplikasiannya yaitu :


Guru akan mengajarkan konsep perkalian, objek digunakan misalnya sapi. Tahap
enaktif, anak kita bawa ke kandang sapi, dengan mengamati dan mengotak-atik
dari 3 ekor sapi, jika kita perhatikan adalah :
Banyaknya kepala = ada 3
banyaknya ekor = ada 3
banyaknya telinga = ada 6
banyaknya kaki = ada 12
Tahap Ikonik, anak dapat diberikan 3 ekor gambar sapi sebagai berikut :

Dari 3gambar sapi diatas dapat diketahui :


Banyaknya kepala = ada 3
Banyaknya ekor = ada 3
Banyaknya telinga = ada 6
Banyaknya kaki = ada 12
Tahap simbolis, dapat ditulis kalimat perkalian yang sesuai untuk ketiga sapi
tersebut bila tinjauannya berdasarkan pada :
Banyaknya kepala =3x1
Banyaknya ekor =3x1

19
Banyaknya telinga =3x2
Banyaknya kaki =3x4
Dari fakta dan kalimat perkalian yang bersesuaian tersebut disimpulkan bahwa:
3 x 1 = 3, 3 x 2 = 6 dan 3 x 4 = 12.
Untuk lebih jelas simbolis dipandang adalah kakinya, maka untuk :
Banyaknya kaki pada 1 sapi =4
Banyaknya kaki pada 2 sapi = 8 (karena kaki sapi 1 + kaki sapi 4) = 4 + 4
Banyaknya kaki pada 3 sapi = 12 (kaki sapi 1 + kaki sapi 2 + kaki sapi
3) = 4+4+ 4
Dengan konstruksi berpikir semacam ini maka banyaknya kaki untuk
2 sapi = 1 x 4 =4
3 sapi = 2 x 4 = 4 + 4 =8
4 sapi = 3 x 4 = 4 + 4 + 4 = 12

2.2 Teori Belajar Kontruktivisme dan Pengaplikasiannya.


Konstruktivisme berasal dari kata to construct yang artinya membangun
atau menyusun. Menurut Von Glasersfeld, konstruktivisme merupakan salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi
(bentukan) kita sendiri. Pengetahuan dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang
sewaktu berinteraksi dengan lingkungan (Akhiruddin, dkk. 2019). Tujuan dari
teori belajar ini adalah untuk menumbuhhkan motivasi peserta didik,
mengembangkan motivasi dan kemampuan menjadi pemikir yang mandiri atau
yang tidak harus distimulus terus. Konstruktivisme merupakan teori belajar yang
mencoba menjelaskan bagaimana peserta didik belajar dengan membangun
memahami untuk diri mereka sendiri. Bagian ini akan mengeksplorasi teori
pembelajaran konstruktivisme dengan mendefinisikan konstruktivisme,
memberikan berbagai pandangan konstruktivisme, dan menggambarkan
bagaimana konstruktivisme berhubungan dengan pembelajaran mandiri dan
pendidikan tinggi.
Adapun Tokoh-tokoh Teori Belajar Konstruktivisme sebagai berikut :

20
A. Jean Piaget
Menyebutkan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses adalah
untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas di
kenyataan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah
sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata
yang dimilikinya. Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget
adalah sebagai berikut:
1. Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan
lingkungan, proses membangun pemikiran - pemikiran. Manusia selalu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia juga cenderung
mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan adanya
sejumlah struktur psikologis yang berubah pada setiap fase perkembangan tingkah
laku dan kegiatan berfikir manusia. Struktur ini disebut dengan struktur pikiran
(intellektual scheme) . Dengan demikian pikiran harus mempunyai struktur
pikiran yaitu skema yang berfungsi mengadaptasi lingkungan dan menata
lingkungan itu secara intelektual. Skemata dapat dipandang sebagai kumpulan
konsep yang nanti digunakan dalam berinteraksi dengan lingkungan, skemata ini
senantiasa berkembang. Artinya ketika masih kecil anak hanya memiliki beberapa
skemata saja, dengan bertambahnya usia akan terbentuk sekemata - skemata yang
banyak, luas, kompleks dan beragam. Perkembangan ini dimungkinkan karena
stimulus - stimulus yang beragam dan kemudian diorganisasikan dalam
pikirannya. Piaget mengatakan bahwa skemata orang dewasa berkembang dimulai
dari skemata anak melalui proses adaptasi sampai pada penataan dan organisasi.
Maka banyak stimulus yang diterima, semakin banyak pula skemata yang
dimilikinya. Dengan demikian, skemata adalah struktur kognitif yang selalu
berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya perubahan tersebut
adalah asimilasi dan akomodasi.
21
2. Asimilasi
Proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya atau dapat dikatakan pula menghubungkan antara pengetahuan lama
dengan pengetahuan baru. Asimilasi adalah proses kognitif dan penyerapan
pengalaman baru ketika seseorang memadukan stimulus-stimulus yang baru ke
dalam skemata skemata yang telah terinternalisasi dalam pikiran. Misalnya
seseorang belum mengerti akan arti dari pendidikan tetapi sudah mengerti arti
belajar. Ketika stimulus pendidikan masuk, maka akan diolah dalam pikirannya,
dicocok-cocokkan dengan skemata-skemata yang telah ada pada struktur
mentalnya. Karena skemata yang telah terinternalisasi adalah belajar, maka ia
memaknai pendidikan seperti halnya memaknai arti dari belajar. Nanti, ketika ia
telah memahami arti pendidikan, maka terbentuklah skemata pendidikan dalam
struktur pikirannya.
Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tetapi mempengaruhi
pertumbuhan skemata yang baru. Dengan demikian, asimilasi adalah proses
kognitif individu dalam usahanya mengadaptasikan diri dengan lingkungannya.
Asimilasi terjadi secara continue, berlangsung terus-menerus dalam
perkembangan kehidupan intelektual anak.
3. Akomodasi
Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan
rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu. Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang
berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut telah
menghasilkan skemata baru yang diperoleh dari pengalaman yang sebelumnya
belum terbentuk dalam skemata lama, artinya skemata lama mengalami
perubahan. Di sini nampak perubahan secara kualitatif, sedangkan pada asimilasi
terjadi perubahan secara kuantitatif. Artinya pada saat akomodasi skemata
mengalami pengembangan dan menjadikan skemata seseorang lebih sempurna.
Jadi, pada hakikatnya akomodasi menyebabkan terjadinya pengembangan dan
perubahan skemata. Sebelum terjadi akomodasi, ketika seorang anak
22
mendapatkan stimulus baru, struktur mentalnya menjadi goyah atau tidak
seimbang. Bersamaan dengan terjadinya proses akomodasi, maka struktur mental
menjadi stabil kembali. Struktur mental anak akan selalu mengalami kegoyahan
(ketidak seimbangan) ketika mendapatkan stimulus baru, dan menjadi stabil
ketika ada proses akomodasi, itu akan terjadi terus menerus pada struktur mental
anak. Begitulah proses asmilasi dan akomodasi terjadi terus-menerus dan
menjadikan skemata seseorang bertambah dan berkembang bersamaan dengan
waktu dan bertambahnya pengalaman. Mula-mula skemata seseorang masih
bersifat umum, global, kurang tetilti, bahkan terkadang kurang tepat, tetapi
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang terus-menerus berlangsung
menjadikan skemata yang semula umum, global dan kurang teliti tersebut diubah
menjadi lebih tepat dan lebih teliti.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam asimilasi,
individu memaksakan struktur yang telah ada padanya kepada stimulus yang
masuk. Artinya, stimulus dipaksa masuk kepada salah satu dari struktur skemata
yang ada dan dicocokkan. Sebaliknya pada akomodasi individu dipaksa
mengubah struktur yang lama dengan struktur baru agar cocok dengan yang baru.
Dengan kata lain, asimilasi bersama-sama dengan akomodasi secara terkoordinasi
dan terintegrasi menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual dan
perkembangan struktur intelektual.
4. Keseimbangan (Ekuilibrasi)
adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Dalam proses
adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur mental
atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian ada proses asimilasi dan proses
akomodasi yang seimbang. Seandainya hanya terjadi proses asimilasi, maka yang
terjadi pada seseorang yang bersangkutan hanya akan memiliki beberapa skemata
global dan tidak dapat melihat perbedaan antara berbagai hal. Sebaliknya, jika
hanya proses akomodasi yang berjalan secara kontinue, maka individu akan hanya
memiliki skemata-skemata kecil saja, dan mereka tidak mempunyai skemata yang
global. Individu-individu tersebuat tidak akan bisa melihat persamaan-persamaan
di antara berbagai hal. Itulah sebabnya, ada keserasian di antara asimilasi dan
23
akomodasi yang oleh Jean Piaget disebut dengan keseimbangan (equalibrium).
Dengan adanya keseimbangan ini, maka efisiensi interaksi antara anak
yang sedang berkembang dengan lingkungannya akan tercapai dan terjamin.
Dengan kata lain, ada keseimbnagan antara faktor internal dan eksternal. Jadi,
ketika mula-mula anak dihadapkan dengan stimulus baru, maka struktur
mentalnya menjadi goyah, dalam keadaan tidak stabil. Tetapi setelah konsep baru
dijelaskan kepadanya atau telah terjadi perubahan skemata atau skemata
berkembang, artinya proses akomodasi telah berjalan, maka struktur mentalnya
kembali stabil dalam tingkat yang lebih tinggi.
Dengan demikian, apabila ada stimulus yang sama masuk lagi, maka
dengan stimulus ini dapat segera diintegrasikan ke dalam skemata yang telah
berkembang. Bila ada stimulus baru yang akan masuk dan ternyata cocok dengan
skemata yang ada, maka skemata ini akan diperkaya atau akan lebih mantap lagi.
Akan tetapi, jika stimulus baru yang masuk tidak sesuai (berbeda) dengan skemata
yang ada, maka anak akan mengalami kegoyahan dan terjadilah
ketidakseimbngan. Namun karena individu ingin stabil, maka proses asimilasi,
akomodasi dan keseimbangan akan berlangsung terus dan bersamaan dengan
proses tersebut struktur mental manusia tumbuh dan berkembang pada tiap tingkat
perkembangannya sejak lahir samapi dewasa.
Secara siklus, mula-mula penalaran sudah stabil kemudian datang stimulus
baru yang mengakibatkan perubahan pada pola-pola penalaran sehingga menjadi
labil. Seterusnya melaui proses asimilasi , akomodasi dan keseimbangan
penalaran tersebut menjadi stabil dalam keadaan lebih sempurna. Proses adaptasi
juga dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan, sehingga hal ini dapat
mempengaruhi seseorang dalam proses asimilasi, akomodasi dan keseimbangan.
Faktor keturunan yang baik akan memengaruhi proses adaptasi, walaupun
bersekala kecil, dibandingkan dengan pengaruh dari faktor lingkungan.
5. Diskuilibrasi
Diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses
asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamnya. Proses akomodasi adalah
24
keseimbangan antara proses-proses asimilasi dan akomodasi. Apabila seseorang
melalui proses asimilasinya tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan,
terjadilah ketidakseimbangan. Dan dari keseimbangan itulah mendorong
terjadinya proses akomodasi di mana struktur kognitifnya sebelum mengalami
perubahan atau penambahan skema sehingga terciptalah keseimbangan. Jadi,
perkembangan intelektual adalah suatu proses yang kontinu dari seimbang-tidak
seimbang-seimbang dan yang terjadi setiap saat, pada setiap fase perkembangan
manusia.
Sebelum siswa mampu menyusun skema baru, ia dihadapakan pada posisi
ketidakseimbangan (disequilibrium), yang akan menganggu psikologi anak.
Setelah skema sempurna atau anak telah berhasil membentuk skema baru, maka
anak akan kembali pada posisi seimbang (equilibrium), untuk kemudian anak
akan dihadapakan pada perolehan pengalaman baru.

Contoh pengaplikasiannya yaitu :


Skemata :
Pada seorang anak SMA kelas 1 yang baru memasuki tahun ajaran baru
dimana akan diperkenalkan dengan konsep suatu pelajaran seperti rumus – rumus
maupun dasar dari sebuah materi pada suatu BAB pelajaran.
Asimilasi:
Pada asimilasi anak mulai memasuki konsep – konsep dasar tersebut
beserta rumus – rumusnya ke dalam suatu permasalahan atau soal sehingga di
dapat lah sebuah penyelesaian.
Akomodasi:
Dalam akomodasi anak tersebut mulai untuk mempelajari BAB berikutnya
setelah mempelajari bab sebelumnya disinilah terjadi perubahan baru lagi
sehingga harus memahami dan mempelajari BAB baru lagi.
Keseimbangan:
Sesuai dengan yang dimaksud dengan keseimbangan dimana asimilasi dan
akomodasi yang setimbang seperti disaat anak tadi telah selesai mempelajari BAB
pertama dan melanjutkan ke BAB kedua sang anak tidak akan melupakan BAB
25
pertama sehingga disaat memasuki dan mempelajari BAB kedua ia masih
mengingat hal ha pada BAB pertama.
Diskuilibrasi:
Dimana disini adalah kendala yang dihadapi sang anak dalam pergantian
BAB pelajaran tersebut sehingga dia akan kesulitan untuk mempelajari pelajaran
yang baru karena perbedaan topik dan materi yang ada.

B. Vygotsky
Peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan
suatu lingkungan sosial. 2 konsep penting menurut Vygotsky :
1. Zone of Proximal Development (ZPD)
Satu konsep yang utama pada teori konstruktivisme Lev Vygotsky adalah
Zone of Proximal Development (ZPD). definisi ZPD yang diungkapkan oleh
Vygotsky (1986: 86) yaitu jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan
ditentukan oleh pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat potensi
pembangunan yang ditentukan melalui permasalahan pemecahan di bawah
bimbingan orang dewasa atau bekerja sama dengan rekan yang lebih cakap. Maka
dapat disintesiskan bahwa Zone of proximal development adalah jarak antara
tingkat perkembangan sesung-guhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan
potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Zone of Proximal Development merupakan istilah vygotsky untuk
serangkaian tugas yang sulit dikuasai anak secara mandiri tetapi dapat dipelajari
dengan bantuan dari orang lain seperti dari guru atau teman yang lebih mampu.
Jadi, batas bawah dari ZPD adalah tingkat sebuah masalah yang mampu di
pecahkan oleh anak secara mandiri. Batas atas ZPD adalah tingkat tanggung
jawab atau tugas tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan dari seorang
instruktur atau guru. Konsep ZPD dalam teori konstruktivisme Lev Vygotsky
dapat digambarkan sebagai berikut:
Empat tahap dalam zone of proximal development (ZPD) dijelaskan oleh
26
Gallimore dan Tharp sebagai berikut:
Tahap I : Tahap pertama menunjukkan bagaimana peserta didik
mengembangkan pemahaman tentang bahasa yang sesuai dengan studi mereka
dan dasar-dasar topik yang sedang dipelajari dengan mengandalkan orang lain
seperti instruktur untuk melakukan suatu tugas.
Tahap II : Pada tahap kedua, pembelajar menggunakan pengetahuan
sebelumnya untuk melaksanakan tugas tanpa bimbingan apapun. ZPD terjadi
antara tahap pertama dan kedua. Peserta didik berlatih sendiri, yang menyiratkan
bahwa mereka melakukan aktivitas tertentu tanpa bantuan. Namun, mereka tidak
pada tahap kemampuan sempurna dan terkadang memerlukan beberapa bantuan.
Tahap III : Pada tahap ketiga kinerja dikembangkan. Artinya pada tahap
ini peserta didik mencapai tahap kemandirian. Pada tahap ini, seorang siswa tidak
memerlukan bantuan dari orang dewasa, atau berlatih lebih banyak latihan untuk
memperkuat pengetahuan yang sudah ada.
Tahap IV : Pada tahap keempat, peserta didik melakukan deautomatisasi
kinerja yang mengarah pada proses pengulangan fungsi, setiap kali
menerapkannya pada hasil tahap sebelumnya melalui ZPD.
2. Scaffolding,
Konsep lain dalam teori Konstruktivisme Lev Vygotsky adalah
Scaffolding. Scaffolding erat kaitannya dengan zone of proximal development
yaitu sebuah teknik untuk mengubah level dukungan. Selama sesi pengajaran,
orang yang lebih ahli (guru atau siswa yang lebih mampu) menyesuaikan jumlah
bimbingannya dengan level kinerja murid yang telah dicapai. Ketika tugas yang
akan dipelajari murid merupakan tugas yang baru, maka orang yang lebih ahli
dapat menggunakan teknik instruksi langsung. Saat kemampuan siswa meningkat,
maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan. Vygotsky menganggap bahwa
anak mempunyau konsep yang kaya tetapi tidak sistematis, tidak teratur, dan
spontan. Anak akan bertemu dengan konsep yang sistematis dan logis serta
rasional yang dimiliki oleh orang yang lebih ahli yang membantunya.

Contoh pengaplikasiannya yaitu :


27
Guru akan mengajarkan Matematika yaitu sistem persamaan dengan dua variabel
dalam bentuk soal cerita.
Tahap I, Mengamati.
Dalam kegiatan mengamati guru akan membuka kesempatan secara luas
dan bervariasi kepada siswa untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan
menyimak, melihat, mendengarkan dan membaca.
Contoh : guru akan menjelaskan secara umum mengenai sistem persamaan
dua veriable dan beberapa soal yang berkaitan dengan persamaan dua variabel.
Disini guru juga bisa memberi beberapa referensi untuk menambah sumber
wawasan bagi siswa.
Tahap II, Menanya.
Ketika kegiatan menanya guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak dan dibaca.
Contoh : jika ada siswa bertanya atau mengalami kesulitan dalam
memahami soal cerita, guru tidak akan langsung memberi jawabannya tetapi akan
membantu memahami masalah untuk menentukan yang diketahui dan ditanya
dan mengingatkan cara-cara yang tepat untuk menentukan variabel yang
digunakan sehingga diperoleh model matematika.
Tahap III, Mengumpulkan dan mengasosiasikan.
Tidak lanjut dari menanya adalah mencari informasi dari berbagai sumber
yang dapat mendukung pembelajaran pada hari itu. Sumber informasi dapat
diperoleh dari mana saja dan melalui apa saja. Dan seorang siswa akan berusaha
tidak memerlukan bantuan dari guru, siswa akan mulai mencoba menyelesaikan
soal yang ada.
Contoh : siswa akan melakukan perhitungan atau algorithme untuk
mendapatkan nilai variable dari strategi yang sudah ditentukan. Jika siswa
mengalami kesulitan, guru dapat mengarahkan cara atau menunjukkan berbagai
hal yang berkaitan dengan konsep-konsep yang digunakan untuk menyelesaikan
soal cerita tersebut.
Tahap IV, Mengkomunikasikan hasil.
Siswa melakukan kegiatan menulis apa yang mereka temukan dalam
28
kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menentukan pola. Kemudian
hasil yang mereka tuliskan akan dipresentasikan. Dengan dilakukannya presentasi
oleh siswa maka secara otomatis siswa akan melakukan deautomatisasi kinerja
yang mengarah pada proses pengulangan fungsi setiap kali menerapkannya pada
hasil tahap sebelumnya.
Contoh : siswa akan lebih memahami tentang system persamaan dua
variable dan juga memahami soal cerita yang diberikan guru sebelumnya dan
bahkan siswa akan mencari contoh soal cerita persamaan dua variabel yang lain
dan menyelesaikannya untuk menambah dan memperkuat pengetahuan siswa.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
A. Teori belajar kognitif dapat menjadikan peserta didik lebih kreatif dan
mandiri serta membantu peserta didikmemahami bahan belajar lebih
mudah. Namun teori ini tidak menyeluruh untuk semua tingkat
pendidikan, sulit dipraktikan terutama di tingkat lanjut dan juga
beberapa prinsipnya seperti inteligensi sulit di pahami dan dan
pemahamannya masih belum tuntas.
B. Contoh pengaplikasian teori kognitivisme salah satunya menurut teori
Jerome S. Bruner, pembelajaran melalui 3 tahap yaitu Guru akan
mengajarkan konsep perkalian, objek digunakan misalnya sapi. Pertama
tahap enaktif, anak kita bawa ke kandang sapi, dengan mengamati dan
mengotak-atik dari 3 ekor sapi. Kedua tahap Ikonik, anak dapat
diberikan 3 ekor gambar. Dan yang ketiga tahap simbolis, dapat ditulis
kalimat perkalian yang sesuai untuk ketiga sapi tersebut.
C. Dalam teori konstruktivisme, saat proses membina pengetahuan baru
peserta didik lebih berpikir untuk mnyelesaikan masalah, menjalankan
idenya dan membuat keputusan dan juga karena peserta didik terlibat
langsung secara aktif, peserta didik akan mengingat semua konsep lebih
lama. Namun, dalam jika menerapkan teori ini, peran guru sebagai
pendidik kurang mendukung dan karena cakupannya lebih luas, maka
lebih sulit dipahami.
D. Contoh pengaplikasian teori konstruktivisme salah satunya menurut
Teori Jean Piaget yang Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori
belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun
dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi
sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

30
3.2 Saran
Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami paparkan, besar
harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena
keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi.

31
DAFTAR PUSTAKA

Akhiruddin, dkk. 2019. Belajar Dan Pembelajaran. Gowa : CV. Cahaya Bintang
Cemerlang.
Andi,S. 2017. Belajar Dan Pembelajaran. Surabaya: Uwais Inspirasi Indonesia.
Setiawan, Andi. 2017. Belajar Dan Pembelajaran. Ponorogo : Uwais Inspirasi
Indonesia.
Thobroni,M .2015. Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Ar-ruzz Media.
Wilis,R. 2011. Teori-Teori Belajar & Pembelajaran. Surabaya:Erlangga
Yuberti. 2014. Teori Pembelajaran Dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam
Pendidikan. Bandar Lampung : Anugra Utama Raharja (AURA).

32

Anda mungkin juga menyukai