Anda di halaman 1dari 190

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya sampaikan Kehadirat Allah Swt atas segala rahmat dan Nikmat-Nya senantiasa
diberi kekuatan dan kesehatan untuk menyelesaikan penyusunan buku ini. Selawat berserta salam semoga
selalu tercurahkan kepada junjungan kita penghulu alam baginda Rasulullah Nabi Besar Muhammad Saw
beserta keluarga dan sahabat beliau sekalian, dengan perjuangannya yang gigih mengantarkan kita
umatnya dari zanman jahiliah kezaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan, selalu kita nantikan
syafa’at-Nya di hari kiamat nanti.

Saya menyadari dalam penyusunan buku ini masih banyak kekurangan baik secara teknis maupun
isi muatan buku ini sendiri dalam penyusunannya, buku ini semaksimal mungkin saya upayakan berkat
dukungan dan bantuan berbagai pihak sehingga saya dapat memperlancarkan dalam penyusunannya,
untuk itu saya tidak lupa juga mengucapkan banyak terimakasih atas semua pihak yang telah mendukung
saya sehingga dapat menyelesaikan buku ini.

Buku ini saya beri judul “ ULUMUL HADITS ”, saya mengharapkan kepada pembaca agar
dapat mengambil inti sari dari isi buku ini, semoga bermanfa’at dan bisa menjadi sebuah ilmu
pengetahuan yang baik serta diamalkan agar menjadi ilmu pengetahuan untuk dari sendiri dan bisa
diberikan kepada orang lain, semoga dengan diberikan kepada orang lain dengan ikhlas kerena Allah
Swt agar Allah Swt menjadikan sebuah amal baik untuk saya dan dengan amal baik itu menjadi teman di
alam barzah nanti.

Buku ini insya Allah akan memberikan banyak manfa’at bagi pembabaca khususnya mahasiswa
dan mahasiswi agar menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman yang baik. Bagi pembaca yang
budiman saya dengan lapang dada selalu menerima kritikan dan saran-saran yang baik demi
kesempurnaan buku ini untuk masa-masa yang akan datang, karena saya keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman, saya yakin masih banyak kekurangan dalam buku ini. Dan buku ini semoga
mbermanfa’at buat penyusun sendiri maupun kepada kaum muslimin sekalian.Aaaminnn yarabbal
‘alamin.

Banda Aceh, 2021

Penulis,

Ramli, S. Ag. M.H


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I ULUMUL HADITS

A. Pengartian Ilmu Hadits


B. Pembagian Ilmu Hadits
C. Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah Dengan Ilmu Hadits Dirayah
D. Cabang-cabang Ilmu Hadits
E. Klasifikasi Hadits dari Segi Sanad

BAB II HADITS SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR

A. Pengertian Hadits
B. Pengertian Sunnah
C. Pengertian Khabar
D. Pengertian Atsar
E. Perbedaan Hadits Dengan Sunnah, Khabar dan Atsar
F. Subtansi Hadits

BAB III SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam


B. Hubungan Hadits Dengan Al-Qur’an
C. Hadits Tidah Boleh Menduduki Di bawah Mazhab

BAB IV HADITS PRAKODIFIKASI

A. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah Saw


B. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat
C. Perkembangan Hadits Pada Tabi”in
BAB V SEJARAH KODIFIKASIHADITS, PEMBUKUAN HADITS ABAD II, III, IV, V SAMPAI
SEKARANG

A. Sejarah Kodifikasi Hadits


B. Pengumpulan Hadits

BAB VI SEJARAH PERKEMNGAN HADITS

A. Pengertian Sejarah Perkembangan Hadits


B. Pengertian Hadits
C. Priode Sejarah Hadits
D. Tokoh-tokoh Hadits

BAB VII HADITS MUTAWATIR, AHAD DAN MASYHUR

A. Pengertian Hadits
B. Hadits mutawatir
C. Macam-macam Hadits Mutawatir
D. Hukum dan Kedudukan Hadits Mutawatir
E. Hadits Ahad

BAB VIII PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS SANAD, SHAHIH,HASAN DAN
DHA’IF

A. Hadits Shahih
B. Hadits Hasan
C. Hadits Dha’if

BAB IX KEDUDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS

A. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam


B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

BAB X HADITS MAUDHU’

A. Pengertian Hadits Maudhu’


B. Bagian-bagian Hadits Maudhu’
C. Tanda-tanda Hadits Maudhu’
D. Status Hadits Maudhu’
E. Sejarah Kemunculan dan Penyebaran Hadits Maudhu’
F. Kreteria Pembauat Hadits Palsu dan Faktor Yang Melatarbelakanginya
G. Hukum Berdusta Atas Nabi Muhammad Saw dan Periwayatan Hadits Maudhu’
H. Golongan-golongan yang Memalsukan Hadits
I. Karya-karya dalam Hadits Maudhu’

BAB XI PENGENALAN TAKHRIJ HADITS

A. Pengertian Takhrij
B. Sejarah Ilmu Takhrij
C. Kitab-kitab Ilmu Takhrij
D. Cara Mentakhrij Hadits

BAB XII METODE MUTADISIN DALAM MEMAHAMI HADITS

A. Priode Mutaqdimin
B. Hermeneutikan sebuah Paradigma Baru Dalam Memahami Hadits
C. Tokoh-tokoh Pemikir Hemeneutikan Hadits
D. Tipologi Ulama Dalam Memahami Hadits
E. Contoh Hadits Tentang Ishalur Izar

BAB XIII HADITS DAN ILMU HADITS

A. Pengertian Hadits dan Ilmu Hadits


B. Sejarah Hadits dan Ilmu Hadits
C. Hadits dan Ilmu Hadits di Era Moderen

BAB XIV INGKAR SUNNAH KLASIK DAN MODEREN

A. Pengertian Ingkar Sunnah


B. Sejarah Perkembangan Ingkar Sunnah
C. Ingkar Sunnah Klasik
D. Ingkar Sunnah Moderen

BAB XV ILMU JARH WA TA’DIL

A. Pengertian Jarh Wa Ta’dil


B. Terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil
C. Pembahasan Mengenai Ilmu Jarh Wa Ta’dil
D. Pertentangan Jarh Wa Ta’dil

BAB XVI FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

A. Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam


B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
C. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam

BAB XVII TAHAMMUL WA AL-ADA’

A. Pengertian Tahaamul
B. Syarat Penerima dan Penyampaiannya
C. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya
D. Periwayatan Hadits Antara bial-lafzh

BAB XVIII NAMA-NAMA RAWI HADITS

A. Pengertian Sahabat
B. Sahabat Yang Menadat Gelar Al-Muhtsirunfi Ar-Riwayah
C. Sebagai Sahabat Yang Ternama
D. Pentadwin dan Pentakhrij Hadits
E. Istilah-istilah yang Digunakan Oleh Rawi Diakhir Hadits
F. Cara-cara Penyusun Kitab Dalam Menyebutkan Rawi

BAB XIX PENUTUP

A. Kesimpulan
B. S a r a n

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT PENULIS


BAB I

ULUMUL HADITS

A. Definisi Ilmu Hadits

Secara Etimologis kata “ilmu hadits” merupakan kata serapan dari bahasa arab, “Ilmu al-hadits”
yang terdiri atas dua kata, yaitu ”ilmu” dan “hadits”. Jika mengacu kepada pengertian hadits, berarti ilmu
pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya. Secara bahasa ilmu hadits terdiri dari dua
kata yakni ilmu dan hadits, secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledge, dan science dan
hadits artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dari perkataan
maupun persetujuan.1

Sedangkan pengertian ilmu hadits secara terminologi ialah Satu ilmu yang dengannya dapat
diketahui betul tidak ucapan, perbuatan, keadaan atau lain-lainnya, yang orang katakan dari Nabi
Muhammad Saw. Ilmu hadits dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atapun
sifat-sifat, tabiat, dan tingkah lakunya atau yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin. 2

Menurut al-Suyuthi, ulama mataqaddimun (Ulama yang hidup sebelum abad keempat Hijriah)
mendefisinikan ilmu hadits sebagai berikut: “ilmu pengetahuan yang membahas tentang cara-cara
penyambungan hadits sampai kepada Rasulullah Saw, dari segi mengetahui hal ikhwal para
periwayatnya, menyangkut ke dhabith-an dan keadilannya, dan dari segi tersambung atau terputusnya
sanad, dan sebagainya”. 3

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan
untuk mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan. Atau definisi yang lebih ringkas, kaidah-
kaidah yang mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkannya.4

Dapat disimpulkan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan tantang keadaan atau sifat
para perawi dan yang meriwayatkan. Perawi adalah orang –orang yang membawa, menerima, dan
menyampaikan berita kepada Nabi Muhammad Saw yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadits.

1
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,( Bogor: Ghalia indonesia, 2010), hal. 71
2
Abdul Majid Khon. Ulumul Hadits,(Jakarta: Amzah, 2010), hal. 68
3
A. Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits,(Bandung: c.v Diponegoro,2002), hal. 15
4
Jalal al-Din ‘Abd al- Rahman ibn Abi bakr al-Suyuthi, Tadrib al-RAwi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, jilid
1, (Beirut: Dar al-Fikr,1988), hlm 5-6.
Bagaimana sifat-sifat mereka apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagimana sifat
kejujuran dan keadilan mereka dan bagaiman daya ingat mereka apakah sangat kuat atau lemah.
Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru perawi yang membawa berita dalam
sanad suatu hadits atu isi berita (matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika bibandingkan
dengan sanad atau matan perawi yang lebih kredibel (tsiqah). Dengan mengetahui hal tersebut dapat
diketahui mana hadits yang shahih dan yang tidak shahih. Imu yang g membicarakan hal tersebut
disebut ilmu hadits.

B. Pembagian Ilmu Hadits.

Apabila dilihat kepada garis besarnya, terbagi dalam dua bagian. Pertama , Ilmu Hadits Riwayat
(riwayah) kedua, Imu Hadits Dirayat ( dirayah).

1. Ilmu hadits Riwayah

Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita, maka ilmu hadits riwayah artinya ilmu hadits
berupa periwayatan,secara terminologis, yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah ialah, “Ilmu
pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya”.5

Definisi lain ilmu hadits Dirayah adalah Ilmu hadits tantang meriwayatkan, yaitu, satu ilmu yang
mengandung pembicaraan tentang mangkhabarkan,sabda-sabda Nabi Muhammad Saw, perbuatan-
perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri. 6

2. Ilmu Hadits Dirayah

Istilah Ilmu hadits Dirayah juga disebut sebagai ilmu Musthalah al-Hadits atau Ushul al-Hadits
atau Qawa’id al-Tafdits menurut as-Suyuti muncul setelah masa al-Khatib al-Bagdadi, yaitu masa Ibnu
al-Akfani .

Menurut al-Sayuti dalam Tadrib al-Rawi menyatakan, “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui
hahekat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, serta untuk mengetahui

5
Abdul Majid khon, ulumul hadis, (Jakarta: Hamzah, 2010) , hlm. 68
6
Suyitno , Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Idea press, 2013), hal. 8, Tengku Muhammad Hasbi ash-
Shidiqi, sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 111,
keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala
yangberkaitan dengannya”. 7

Menurut Ajjaj al-Khatib mendefisinikan ilmu hadits dirayah sebagai, “kumpulan kaidah-kaidah
dan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi (sanad dan matan ) dari segi maqbul dan
mardudnya (diterima dan ditolak)”.

Menurut Mahfuzh al_tirmisi ilmu hadits dirayah ialah, Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk
mengetahui sanad dan matan.8

C. Perbedaan Ilmu Hadits Riwayah dengan Ilmu Hadits Dirayah.

Pada perkembangannya, oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadits ini dipecah menjadi dua, yaitu Ilmu
Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.

Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-
hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at
maupun tingkah lakunya.

Obyek ilmu Hadits Riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain,
dan memindahkan atau mendewankan..

Adapun faedah mempelajari ilmu Hadits Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan
yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi Muhammad Saw.

Ilmu Hadits Dirayah.

Menurut Al-Tirmisi ilmu Hadits Dirayah adalah undang-undang atau kaidah-kaidah untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lainlain.

Menurut Ibnu al-Akfani ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui hakikat periwayatan,
syarat-syarat, macam-macam, dan hokum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik
syarat-syaratnya, macam- macam Hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya.

7
A. Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits,(Bandung: c.v Diponegoro,2002), hal. 17
8
Suyitno , Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Idea press, 2013), hal. 10, Abdul Majid khon, ulumul
hadis, (Jakarta: Hamzah, 2010) , hlm. 71
Objek pembahasan ilmu hadits dirayah yaitu keadaan para perawi dan marwinya. Maksud dari
keadaan perawi adalah menyangkut pribadinya, seperti akhlak, tabi’at, dan keadaan hapalnnya, maupun
yang menyangkut persambungan dan terputusnya sanad. Keadaan marwi, yaitu dari sudut kesahihan dan
kedaifannya, maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan matan.9

D. Cabang-cabang Ilmu Hadits.

Dari ilmu hadits riwayah dan dirayah ini, kemudian muncul cabang-cabang ilmu hadits lainnya,
meliputi:

1. Ilmu Rijal al-Hadits.

Secara bahasa, kata rijal al-Hadits artinya orang-orang disekitar hadits, maka kata ilmu rijal al-
Hadits, artinya ilmu tentang orang-orang disekitar hadits.

Menurut Subhi shalih dalam “Ulum al-Hadits Musthalatuhu” menjelaskan bahwa ilmu Rijal al-
Hadits adalah, " Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka sebagai perawi
hadits".10

Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari serius ilmu ialah al-Bukhari, Izzad-
Bin ibn Al-Atsir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Atsir (630 H), ulama abad ke tujuh
hijriyah, yang berhasil menyusun kitab Usul al-Gabah fi Asma ash-Shahabah.

Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttashil)) atau tidaknya sanad suatu
hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu
langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya pengakuan saja.

2. Ilmu Jarh Wa Ta’dil

Menurut Dr. Shubhi Ash-Shalih member definisi ‘Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu sebagai
berikut, "Adalah imu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka,
dari apa yang mercela mereka atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus".

Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-Jarh) atau adilnya (at-ta’dil) seorang perawi
dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hirarki tertentu

9
Munzier Saparta , Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 23-15.
10
Utang ranuwijaya, Ilmu hadits(Jakarta, Raja g rafindo persada, 1997 ) hlm. 30, Subhi shalih, Ulum al-
Hadits Musthalatuhu Dar al-Ilmi(Malaysia,1997)hlm. 92
Tujuan ilmu ini untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan atau kedhobitanya seorang perawi
hadits. Diatara kitab yang membicarakan ilmu ini adalah Thabaqot ibn sa’ad Az-zuhri Al-bashri ( w.256
H ) terdiri 15 jilid, Tawarikh Tsalatsah dan At-Tarikh Al-Khadir oleh Al-Bukhari (w. 256 H), Tarikh
ditulis oleh Ali-Almadini (w. 234 H), dll..

3. Ilmu ‘Ilal Al-Hadits

Kata ilal “dari alla,yaillu, adalah jamak dari kata ‘al-illah, yang menurut bahasa, artinya al-marad
(penyakit /sakit). Menurut ulama ahli hadits, al-illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar
yag dapat mencemarkan hadits sehingga pada hadits tersebut tedak terlihat adanya kecacatan.

Adapun yang dimaksud dengan imu ‘ilal al-hadits menurut mereka, adalah, Ilmu yang yang
membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadits, misalnya
mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqoti’, menyebut marfu’, terhadap hadits yang mauquf,
memasukan hadits ke hadits lain, dan lain-lain yang seperti itu.

Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa diantara periwayat haditsa yang
terlibat illat dalam peiwayatannya, dalam bentuk apa dan dimana ‘illat tersebut terjadi, dan pada sanad
atau pada matan. Diantara ulama yang konsen dalam ilmu ini adalah Ibnu al-Madini (w. 234 H) dalam
bukunya al-‘Illah, Ibnu Abi Hatim (w. 227 H), dengan karyanya ‘Ilal Al-Hadits, Ad-Daruquthni (w. 375)
dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits dll.

4. Ilmu Gharib Al-Hadits

Ilmu gharib al-hadits dapat didefinisikan sebagai, “Adalah ilmu yang mempelajari makna matan
hadits dari lafal yang sulit dan asing bagi kebanyakan manusia, karena tidak umum dipakai orang arab.”

Ilmu ini muncul ketika banyak bangsa-bangsa yang bukan Arab memeluk agama islam.Tujuan
ilmu ini untuk mengetahui mana kata-kata dalam hadits yang tergolong ghaib dann bagaimana metode
para ulama memberikan interperensi kalimat ghaib dalam hadits tersebut :

Pertama kali yang menulis ilmu ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsana Al-Bashi
(w.210 H), kemudian Abu Al-Hasan bin Syumail Al-Mazani(w. 204 H), Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam
(w. 223 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H) dll..

5. Ilm Mukhtalif Al-Hadits

Menurut Dr. Mahmud Ath-Thalah menjelaskan secara sederhana, bahwa Mukhtalif Al-hadits adalah,
Hadits makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.
Menurut subhi shahih bahwa Ilmu mukhtalifah ialah, Ilmu yang membahas hadits yang menurut
lahirnya saling bertentang, karena adanya kemungkinan dapat dikrompomikan, baik dengan cara di-
taqyid (pembatasan) yang mutlak, takhshish al-am (menghususan yang umum), atau dengan yang lain.

Tujuan ilmu ini mengetahui hadits mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan bagaimana
pemecahannya atau langkah-langkah apa yang dilakuakan para ulama dalam menyikapai hadits-hadits
yang kontra tersebut.

Pertama kali yang menulis Ilmu mukhtalifah Al-Hadits ini adalah Asy-Syafii (w. 204 H) dengan
karyanya Ikhtilaf Al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H) dengan karyanya Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits,
Ath-Thahawi dengan karyanya Musykil Al-Atsar dll,..

6. Ilmu Nasikh wa Mansukh

Ilmu Nasikh wa Mansukh menurut hadits adalah, Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits
yang menasakh dan yang dinasakh

Ilmu Nasikh wa Mansukh membahas hadits-hadits yang kontradiktif yang tidak mungkin
dikompromikan, maka salah satu yang datangnya belakangan sebagai nasikh dan yang lain datangnya
duluan sebagai Mansukh.11

Tujuan mempelajari Ilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari Hadi
dalam bentuk nasikh mansukh dan mengapa terjadi Nasikh Mansukh.

Pertama kali yang menulis Nasikh Al-Hadits wa Mansukhu adalah Ahmad bin Ishak Ad-Dirani
(w. 318 H), Muhammad bin Bahr Ash-ashbahani (w. 322 H) Hibadatullah bin Salamah (w. 410),
Muhammad bin Musa Al-Hazimi. Dll,.

7. Ilmu Fann Al-Mubhamat

Ilmu Fann Al-Mubhamat adalah, adalah ilmu yang membicarakan tentang seseorang yang samar
namanya dalam matan atau sanad. 12

Tujuan Ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang yang
disebutkan dalam matan atau sanad hadits yang masih samar-samaratau tersembuyi.

11
Abdul Majid khon, ulumul hadis, (Jakarta: Hamzah, 2010) , hlm. 89, Tengku Muhammad Hasbi ash-
Shidiqi, sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 121,
12
Abdul Majid khon, ulumul hadis, (Jakarta: Hamzah, 2010) , hlm.90, Tengku Muhammad Hasbi ash-
Shidiqi, sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2009), hlm. 119,
Diantara yang menyusun ilmu ini adalah Al-Khatib Al-Baghdadi yang kemudian diringkas dan
dibersihkan oleh An-Nawawi dalam bukunya Al-Isyarat ila Bayani Asma Al-Mubhamat. Waliyuddin Al-
Iraqi dengan karyanya Al-mustafad min Mubhamat Al-Matn wa Al-Isnad, dll,.

8. Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits

Menurut istilah Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah, Ilmu yang menerangkan sebab-sebab
datangnya hadits dan beberapa munasabahnya (latar belakang)

Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits adalah ilmu yang menjelaskan tentang sebab-sabab datangnya
hadits , latar belakang dan waktu terjadinya.

Tujuan mengetahui Ilmu ini sebab-sabab dan latar belakang munculnya suatu hadits , sehinggga
dapat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang di kehendaki. Ulama pertama yang menyusun
ilmu ini adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Raja Al-Ukrabi (w. 309 H), Ibnu Hamzah Al-
Huzaini (w. 1120 H), yang menulis Al-Bayan WaAt-Ta’rif, As-Suyuthi (w. 911 H), yang menulis Asbab
Wurud Al-Hadits atau Al-luma’ fi Asbab Al-Hadits dll.

9. Ilmu tashif wa Tahrif

Ilmu tashif wa Tahrif adalah, Ilmu yang membahas hadits-hadits yang diubah titiknya
(mushahhaf) atau dirubah bentuknya (muharraf)

Al-Hafidz Ibnu hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yakni: Ilmu al-Tashif dan ilmu al-
Tahfif, sedangkan Ibnu Shakah dan para pengikutnya mengggabungkan kudua ilmu menjadi satu. 13

Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad
dan matan hadits bagaimana sesunggguhnya yang benar sehinggga tedak terjadi kesalahan terus menerus
dalam penukilan dan pengatahuan drajat kualitas kecerdasan dank e-dhobith-an seorang perawi.

Diantara kitab yang membicarakan tantang ilmu ini adalah kitab Ad-Dar Quthni (w. 385 H), At-
Tashif Ad-Daruquthni dan kitab Tashhifat Al-Muhadditsin yang ditulis oleh Abu Ahmad Al-Askari (W.
283 H), Ishlah Khatha” Al-Muhadditsin ditulis oleh Al-Khathabi, dll.

10. Imu Mushalah Al-Hadits.

Imu Mushalah Al-Hadits adalah, Ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli
hadits dan yang dikenal antara mereka.

13
Suyitno , Studi Ilmu-Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Idea press, 2013), hal. 17
Maksudnya ilmu ini mebicarakan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan ahli hadits dalam
penelitian hadits dan disepakati mereka, sehingga menjadi popular. Misalnya: Sanad, matan, mukharrij,
mutawatir ahad, shahih dha’if, dll.

Tujuannya, memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan riset hadits,
karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan mudah tanpa
mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama.

Diantara ulama yang pertama menulis ilmu ini adalah Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzi (w. 360
H), yang menulis Al-Muhaddits Al-Fashil Bayn Ar-Rawi wa Al-Wai, kemudian diikuti oleh yang lain
seperti Al-Hakim An- Nasaburi (w. 430 H), yang menulis Ma’rifat Ulum Al-Hadits dan Abu Nu’aim Al-
Ashbahani (w. 430 H) Al-Muustakhraj ‘ala Ma’rifat Ulum Al-Hadits.

11. Imu Tarikh al_Ruwah

Ilmu Tarikh ar-Ruwah adalah, Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits yang berkaitan dengan
usaha periwayatn mereka terhadap hadits

Ilmu ini mempelajari keadaan dan identitas para perwi, seperti: kelahirannya, wafatnya, gur-
gurunya, kapan mereka mendengar hadits dari gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadits dari
padanya, tempat tinggal mereka dan tempat mereka mengadakan lawatan. Ilmu ini merupakan bagian dari
ilmu Rijal al-Hadits yang mengkhususkan kajiannya pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang
terlibat dalam periwayatan.14

Demikian cabang-cabang Ilmu Hadits, masing-masiong memiliki pembahasan tersendiri yang luas
dan dalam, pada makalah ini tidak dibahas secara dalam

E. Klasifikasi Hadits dari Segi Sanad


1. Hadis Shahih

Menurut bahasa kata shahih (‫ )صحيح‬berasal dari kata shahha dan shihhah yang berarti sehat,
tidak cacat, lawan kata dari sakit (saqim). Sedang menurut istilah adalah, “Hadis yang bersambung
sanadnya,diriwayatkan oleh orang adil,dan dhabit sempurna dari sesamanya,selamat dari
kejanggalan,dan cacat.”15

14
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,( Bogor: Ghalia indonesia, 2010), hal. 73
15
Abdul Majid Khan.2013.Ulumul Hadis.Jakarta:Amzah,hlm 168
a. Syarat-syarat hadis shahih:
1) Bersambung sanadnya,maksudnya bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan
menerima langsung dari guru yang memberinya,kata lain,sanad yang selamat dari
keguguran.
2) Rawinya adil,yaitu beragama islam,mukallaf,melaksanakan ketentuan agama,dan
memelihara muru’ah.
3) Dhabit, yaitu ingatannya lebih banyak daripada lupanya,dan kebenarannya lebih banyak
daripada kesalahannya.
4) Tanpa syadz (janggal),maksudnya hatis tersebut tidak bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah.
5) Tanpa ‘illat (cacat),maksudnya tidak ada sebab yang samar dapat menurunkan derajat
keshahihan hadis,namun dilihat lahirnya tampak selamat dari cacat. 16

2. Macam-macam hadis shahih.


a. Hadis Shahih Li Dzatihi, hadis yang telah memenuhi semua syarat-syarat hadis
shahih.Contoh hadis shahih li dzatihi, “Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia
berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin
Muth’im, dari ayahnya, dia berkata,aku telah mendengar Rasulullah Saw telah membaca
surat ath-Thur pada shalat Maghrib.” (HR. Bukhari).
b. Hadis Shahih Li Ghairihi, adalah hadits hasan li dzatihi yang mempunyai riwayat dari jalan
lain yang setara dengannya atau bahkan lebih kuat darinya. Dinamakan shahih li ghairihi,
karena keshahihan disini tidak muncul dari sanadnya tersendiri, tetapi karena bergabungnya
sanad atau riwayat lain yang menguatkan hadits tersebut. Contoh , “Kalau tidak memberatkan
umatku,sungguh aku akan menyuruh merekasiwak (sikat gigi) setiap hendak
shalat.”(HR.Tirmidzi).17
c. Kehujahan hadis shahih. Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib
diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian
ulama ushul dan fiqh.Tidak ada alasan bagi seorang muslim,tinggal mengamalkannya.Hadis
shahih li ghairihi lebih tinggi derajatnya daripada hasan li dzatihi tetapi lebih rendah daripada
shahih li dzatihi.Sekalipun demikian,ketiganya dapat dijadikan hujah. 18

16
Muhammad, Zunin, dkk.2015.Buku Siswa Hadis-Ilmu Hadis.Jakarta:Direktora pendidikan
madrasah,hlm. 60
17
Imam Khoiri,dkk.2011.Ilmu Hadis kelas XI program keagamaan.Yogyakarta:,hlm 48
18
Abdul Majid Khan.2013.Ulumul Hadis.Jakarta:Amzah,hlm 174
3. Hadis Hasan.

Menurut bahasa,berasal dari kata yang bermakna al-jamal yang berarti keindahan.Sedangkan
menurut istilah adalah, “Adalah hadis yang bersambung sanadnya,diriwayatkan oleh orang adil,kurang
sedikit kedhabitannya,tidak ada kejanggalan (syadz),dan tidak ada ‘illat.”. 19

a. Macam-macam hadis hasan.


1) Hadis Hasan Li Dzatihi,hadis yang memenuhi lima unsur persyaratan hadis shahih,tetapi
salah satu perawi ditengarai kurang kuat hafalannya.Contoh hadis hasan li dzatihi, dari
Abu Hurairah r.a. berkata Rasulullah Saw.,bersabda.

“Banyak-banyaklah membaca syahadat sebelum terhalangi kalian dengan mereka dan talqinlah orang-
orang yang sedang menghadapi kematian (sakaratul maut).” Ini adalah hadis hasan karena didalam
sanadnya terdapat perawi bernama Dhammam bin Ismail.Berkata Abu Hatim tentangnya.”shaduqun
muta’abbid”(jujur dan ahli ibadah),dan Al Hafidz ibn Hajar mengatakan tentangnya “shaduq wa rubama
akhtha”.(jujur dan kadang-kadang keliru).20

2) Hadis Hasan Li Ghairihi,hadis dha’if yang karena didukung oleh hadis lain yang shahih
dengan matan yang sama,naik menjadi hadis hasan.Contoh hadis hasan li ghairihi.

“Seorang perempuan dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Maka rasulullah
pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau ridha terhadap dirimu dan hartamu dengan sepasang sandal
ini? Perempuan tadi menjawab , “Ya”. Maka kemudian rasulullah membolehkannya.”

Hadits diatas diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh beliau, dari jalan Syu’bah dari
Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ dari ayahnya. Perawi yang bernama Ashim bin
Ubaidillah dikenal sebagai perawi dha’if karena hafalannya yang buruk, namun Tirmidzi menghasankan
karena periwayatannya yang tidak hanya pada satu jalan saja.

3) Kehujahan hadis hasan

Hadis hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya dibawah hadis shahih.Semua
fuqaha,sebagian muhaddisin,dan ushuliyyin mengamalkannya, kecuali sedikit dari kalangan orang yang
sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadis atau musyadiddin. Bahkan sebagian Muhadditsin
yang mempermudah dalam dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya kedalam hadis
shahih,seperti Al-Hakim,Ibnu Hibban,dan Ibnu Khuzaimah.21
19
Abdul Majid Khan.2013.Ulumul Hadis.Jakarta:Amzah,hlm 179
20
Imam Khoiri,dkk.2011.Ilmu Hadis kelas XI program keagamaan.Yogyakarta:,hlm 50
21
Abdul Majid Khan.2013.Ulumul Hadis.Jakarta:Amzah,hlm 181
4. Hadis Dhaif

Menurut bahasa dha’if, secara harfiah berarti lemah sebagai lawan dari kata kuat. Secara istilah
hadits dha’if adalah,“Hadits dhaif ialah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan tidak
pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”.22

Dari definisi di atas memberikan pengertian bahwa hadits dha’if adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat sebagaimana hadits shahih dan hasan. Artinya hadits itu tidak bersambung
sanadnya atau tidak diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit atau terdapat syadz dan ‘illat dalam
sanad maupun matannya.Terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan
hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah Saw,23

Contoh hadits dha’if adalah, “Barang siapa shalat enam rakaat setelah maghrib, dan tidak
berbicara buruk diantara itu semua, maka seimbang dengan ibadah dua belas tahun.” (HR Tirmidzi).

5. Klasifikasi Hadits Dha’if.


a. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya.
Hadits Munqathi, Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih , atau pada
sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
b. Hadits Mu’allaq. Hadits yang pada bagian awal sanadnya dibuang,baik seorang rawi atau
lebih secara berturut-turut.
c. Hadits Mursal. Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan
gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah
orang yang pertama menerima hadits dari Rasul Saw.
1) Mursal al-Jali. Hadits yang disandarkan oleh tabi’in kepada Nabi Saw., tanpa
menyebutkan sahabat penerima langsung suatu hadis dari Nabi Saw.
2) Mursal al-Khafi. Hadis yang diriwayatka oleh seorang tabi’in,yang hidup sezaman
sahabat,tetapi ia tidak pernah mendengar satu hadis pun dari sahabat tersebut.
3) Mursal Sahabi. Hadis yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi SAW.,tanpa
menyebutkan sahabat penerima langsung suatu hadis dan Nabi SAW.,
d. Hadits Mu’dhal. Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, ditengah sanadnya
secara berturut-turut.
e. Hadits Mudallas. Yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan
bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.

22
Nur Kholis.2013.Kuliah Ulumul Hadis.Yogyakarta:Multipresindo.hlm115
23
Nur Kholis.2013.Kuliah Ulumul Hadis.Yogyakarta:Multipresindo.hlm116
6. Dha’if karena cacatnya rawi dalam sanad.
a. Hadits al-Maudhu’. Hadits yang dibuat-buat oleh seorang ( pendusta ) yang
ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja
maupun tidak.
b. Hadits Matruk. Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap
hadits yang diriwayatkannya).
c. Hadis Mungkar. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lemah yang bertenyangan
dengan periwayatan lain yang lebih tsiqah.
d. Hadits Mu’allal.

Hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada
lahirnya tampak selamat dari cacat.

e. Hadits Mudraj. Hadits yang menampilkan ( redaksi ) tambahan, padahal bukan (bagian
dari) hadits.
f. Hadits Maqlub. Hadits dimana perawinya menukar satu kata atau kalimat dengan kata
atau kalimat yang lain atau mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan,atau
mengahkirkan apa yang seharusnya didahulukan.
g. Hadits Mudhtharib. Hadits yang diriwayatkan secara berbeda-beda tetapi,sama dalam
kekuatannya,sehingga tidak mungkindilakukan tarjih diantara keduanya.
h. Hadits Mushahhaf. Hadits yang perubahan kata dalam hadis pada selain yang
diriwayatkan oleh periwayat tsiqah baik secara lafadz maupun makna.
i. Hadis Majhul. Hadis yang tidak diketahui jati diri periwayatnya atau keadaannya.
j. Hadis Mukhtalit. Hadis yang driwayatkan oleh seorang rawi yang memiliki salah satu
sifat dari beberapa jenis sifat ikhtilat.
k. Hadis Syadz. Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama. 24

Kesimpulan

Secara Etimologis kata “ilmu hadits” merupakan kata serapan dari bahasa arab, “Ilmu al-hadits”
yang terdiri atas dua kata, yaitu ”ilmu” dan “hadits”. Jika mengacu kepada pengertian hadits, berarti ilmu
24
Sifat ikhtilat adalah kerusakan pada hafalan seorang rawi
pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw, baik berupaperkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya

Apabila dilihat kepada garis besarnya, terbagi dalam dua bagian. Pertama , Ilmu Hadits Riwayat
(riwayah) kedua, Imu Hadits Dirayat ( dirayah).

Cabang-cabang Ilmu Hadits meliputi, Ilmu hadits Riwayah, . Ilmu Jarh Wa Ta’dil, ’Ilmu ‘Ilal Al-Hadits,
‘Ilmu Ghorib Al-Hadits, Ilm Mukhtalif Al-Hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh, ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat,
‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits, Ilmu tashif wa Tahrif, Imu Mushalah Al-Hadits, Imu Tarikh al-Ruwah.

Bahwa hadis ditinjau dari kualitas sanad dan matan dibagi menjadi tiga,antara lain:

1. Hadis shahih yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis dan dapat dijadikan hujjah dan wajib
diamalkan.Hadis shahih dibagi menjadi dua yaitu,shahih li dzatihi,dan shahih li ghairihi.
2. Hadis hasan.yaitu hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih,namun para perawinya
ditengarai kurang kuat hafalannya,hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu,hasan li dzatihi, dan
hasan lighairihi.Hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadis shahih.
3. Hadis dhaif,yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih dan hasan.Para ulama
berbeda pendapat mengenai hujjah hadis dhaif,ada yang mengatakan dapat dijadikan hujjah ada
yang tidak dapat dijadikan hujjah.

BAB II

HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR


A. Pengertian Hadits

Kata al-hadits ( ‫ )َح ِد ْيثَاْل‬adalah kata mufrad, yang jama’nya adalah al-ahadits ( ‫ )َاألحَاِد ْي ُث‬dan

dasarnya adalah tahdits ( ‫ )َتْح ِد ْيٌث‬artinya pembicaraan. Dari sisi bahasa, kata hadits memiliki beberapa
arti, diantarnya ialah:

1. al-jadid ( ‫)َاْل َجِد ْيُد‬, artinya yang benar, lawan kata al-qadim ( ‫ )َاْل َقِد ْيُم‬artinya yang lama, dalam
arti ini menunjukan adanya waktu dekat dan singkat.

2. al-thariq (‫ )َالّطِر ْيَقُة‬artinya jalan, yaitu ‫ َالّطِر ْيَقُة َاْلَم ْس ُلْو َك ُة‬jalan yang ditempuh.
3. al-khabar ( ‫ )َاْل َخ َبُر‬artinya berita.

4. al-sunnah (‫ )َالُّس ًنُة‬artinya perjalanan.

Menurut istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai denga latar belakang
disiplin keilmuan masing-masing, sebagaimana perbedaan antara ahi ushul dan ahli hadits dalam
memberikan definisi al-hadits. Antaralain:

a. Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan (taqrir) maupun sifat beliau.Dari definisi tersebut dapat dimengerti
bahwa hadits meliputi biografi Nabi Muhammad Saw, sifat-sifat yang melekat padanya, baik
berupa fisik maupun hal-hal yang terkait dengan masalah psikis dan akhlak keseharian Nabi
Muhammad Saw, baik sebelum maupun sesudah terutus sebagai Nabi Muhammad Saw.
b. Ahli Ushul. Semu perkataan Nabi Muhammad Saw, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum-hukum syara' dan ketetapanya.25

Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari
Nabi Muhammad Saw, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan-ketetapan Allah yang disyari’atkan
kepada manusia. Lain halnya dengan ahli fiqih, hadits dipandang sebagai suatu perbuatan yang harus
dilakukan, tetapi tingkatanya tidak sampai wajib, atau fardlu, sebab hadits masuk kedalam suatu
pekerjaan yang setatus hukumnya lebih utama dikerjakan, artinya suatu amalan apabila dikerjakan
mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak dituntut apa-apa, akan tetapi apabila ketentuan

25
Ridwan Nasir, Ulumul Hadis dan Muslhalah Hadits, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm. 13-14.
tersebut dilanggar mendapat dosa. Dengan demikian, maka hadits memiliki kesamaan arti dengan kata
sunnah, khabar, dan atsar.26

Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memeberikan pengertian tentang hadits.
Dikalangan umat hadits sendiri ada beberapa pendapat dalam memberikan pengertian masing-masing.
Dalam kajian hadits ulama sering mengistilahkan hadits dengan penisbatan sahabat yang meriwayatkan
atau tema hadits atau tema hadits itu sendiri atau tempat peristiwa dan lainya. Misalnya penisbatan
kepada perawi hadits Abu Hurairah itu lebih kuat dari pada hadits Wail ibn Hujr, maksudnya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Wail ibn Hujr. Misalnya penisbatan kepada peristiwa hadits al-gharaniq,
maksudnya hadits yang menceritakan kisah al-gharaniq. Misalnya penisbatan kepada tempat hadits
Ghadir Khum maksudnya hadits yang menceritakan kisah yang terjadi di Ghadir Khum. 27

Contoh dari hadits Nabi Muhammad Saw: Artinya : “ Segala amal perbuatan dengan niat”. (H.R.
Al-Bukhori dan Muslim).

B. Pengertian Sunnah

Kata (‫ )َالُس َّنُة‬adalah kata tunggal. Jama’nya adalah al-sunan ( ‫ )َالُّس َنْن‬artinya jalan yang dilalui,
terpuji atau tidak, atau berati perjalanan. Sebagaimana firman Allah dan sabda Rasul-Nya:

1. Al-Qur’an.

٧٧ ‫ُس َّنَة َم ن َقۡد َأۡر َس ۡل َنا َقۡب َلَك ِم ن ُّر ُس ِلَنۖا َو اَل َتِج ُد ِلُس َّنِتَنا َتۡح ِو ياًل‬

Artinya. (kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami
yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu temukan perbuatan bagi ketetapan kami tersebut. (Q.
Al-Isra:77)

2. al-Hadits, yaitu Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang baik, maka baginya mendapatkan pahala atas
perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakanya sampai pada hari kiamat. Siapa yang
mengerjakan perbuatan jahat, maka baginya mendapatkan dosa atas perbuatanya dan ikut juga
menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya sampai pada hari kiamat.
26
Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 14
27
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2011), hlm. 4.
Para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sunnah menurut istilah. Hal ini lebih
disebabkan perbedaan latar belakang, persepsi dan sudut pandang mereka terhadap diri Rasulullah
Saw.yaitu,

a) ahli hadits.

Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan, perangi, budi pekerti, maupun perjalanan hidup, baik sebelum diangkat Rasul maupun
sesudahnya.28

Dari definisi tersebut, dapat diambil kepemahaman bahwa para ahli hadits membawa masuk
semua bentuk kebiasaan Nabi Muhammad Saw, baik yang melahirkan hukum syara’ maupun tidak
kedalam pengertian sunnah dan memiliki makna sama dengan pengertian hadits.Karena itu dari cakupan
tradisi Nabi Muhammad Saw yang dilakukan sebelum maupun sesudah beliau terutus sebagai utusan,
sehingga kandungan kata sunnah dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’ meliputi semua bentuk
perkataan, perbuatan, penetapan, dan kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Akibatnya kandungan arti sunnah
lebih luas dari pada hadits, sebab sunnah melihatnya pada keberadaan beliau Saw sebagai uswatun
hasanah, sehingga yang melekat pada diri beliau secara utuh harus diterima tanpa membedakan apakah
yang telah diberitakan itu berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak.29

b) Ahli Ushul:

Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-quran al-hikmah, al-karim, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang memng layak untuk dijadikan sebagai dalil bagi hukum
syara’.

Dari definisi tersebut, sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, tetapi hanya yang berhubungan dengan hukum syara’ baik, yang berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapanya. Sedang sifat-sifat yang melekat pada beliau, yaitu perilaku perbuatan dan
perjalanan hidup beliau serta semua yang bersumber dari beliau, yang tidak berhubungan dengan hukum
syara’ serta terjadinya sebelum beliau diangkat sebagai Rasul tidak masuk dalam kategori pengertian
sunnah. Dengan demikian, maka yang termasuk ke dalam kategori pengertian sunnah hanya terbatas pada
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw saja. Sedangkan yang bersumber dari sahabat
dan tabi’in tidak termasuk sunnah. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW adalah
pembawa dan pengatur udang-undang yang memiliki misi kewajiban untak menjelaskan undang-undang

28
Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 15
29
Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 16.
kepada manusia, sehingga yang tidak mengandung misi tidak termasuk sunnah dan tidak bisa juga
dijadikan sebagai sumber hukum yang mengikat.30

c) Ahli Fiqih

Semua ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad Saw selain yang difardlukan, diwajibkan
dan termasuk kelompok hukum yang lima.

Definisi ini menunjukanbahwa objek pembahasan para ahli fiqih Islam hanya terbatas pada
pribadi dan perilau Nabi Muhammad Saw sebagai landasan hukum syara’ untuk diterapkan pada
perbuatan manusia pada umumnya baik yang wajib, haram, makruh, mubah maupun sunat. Karenanya
jika dikatakan perkara ini sunnah. Karenanya jika diktakan perkara ini sunnah, maka yang dikehendaki
adalah pekerjaan itu memiliki nilai hukum yang dibebankan oleh Allah Swt kepada setiap orang yang
sudah dewasa, berakal sehat dengan tuntutan.

d) contoh sunnah.

Dan dalam tataran hukum Islam sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini
diterapkan dalam sabda Nabi Muhammad Saw sebagai berikut:

Artinya :“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untukmu dua perkara; kamu tidak akan sesat
selama kamu berpegang padakeduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulnya”
(HR.Malik).

Artinya :“Berpegang tegulah kamu dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafah Ar-Rasyiddin
sesudahku” (HR.Abu Daud dan Turmudzi dan Irbadh bin Sariyah).

Guna menghindari kerancuan pengertian hadits dan sunnah perlu ditegaskan perbedaannya.
Haduts ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, walaupun selama hayat
beliau hanya sekali terjadi, atau hanya diriwayatkan oleh seseorang. Adapun sunnah adalah amaliah Nabi
Muhammad Saw yang mutawatir dan sampai kepada kita dengan cara mutawatir pula.

Nabi Muhammad Saw melaksanakannya bersama para sahabat, lalu para sahabat
melaksanakannya. Kemudian diteruskan oleh para tabi’in, waklaupun lafadz penyampaiannya tidak
mutawatir namun cara penyampaiaannya mutawatir.

Mungkin terjadi perbedaan lafadz dalam meriwayatkan suatu kejadia, sehingga dalam segi sanad
dia tidak mutawatir, akan tetapi dalam segi amaliahnya dia mutawatir. Proses yang mutawatir itulah yang
30
Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 17.
disebut sunnah. Oleh karena itu dalam kehidupan kita sehari-hari sering para ulama menjelaskan bahwa
amalan ini telah sesuai dengsan sunnah Rasul Saw .

C. Pengertian Khabar

Menurut bahasa al-khabar ( ‫ )َاْلَخ َبُر‬artinya warta atau berita, maksudnya sesuatu yang
diberitakandan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain atau sesuatu yang disandarkan kepada nabi
dan para sahabat, dilihat dari sudut pendekatan bahasa ini kata khabar sama artinya dengan hadits. Jadi
setiap hadits termasuk khabar, tetapi tidak setiap khabar adalah hadits. 31

Menurut istilah Al-khabar, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai dengan
latar belakang dan disiplin keilmuan masing-masing, diantaranya adalah:

1. Sebagian ulama mengatakan bahwa khabar ialah sesuatu yang datangnya selain dari Nabi
Muhammad Saw, sedangkan yang dari Nabi Muhammad Saw disebut hadits.
2. Ulama lain mengatakan bahwa hadits lebih luas dari pada khabar, sebab setiap hadits
dikatakan khabar dan tidak dikatakan bahwa setiap khabar adalah hadits.
3. Ahli hadits memberikan definisi sama antara hadits dengan khabar, yaitu segala sesuatu yang
datangnya dari Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan
maupun ketetapanya.32

Ulama lain berpendapat bahwa khabar hanya dimaksudkan sebagai berita yang diterima dari
selain Nabi Muhammad Saw. Orang yang meriwayatkan sejarahdisebut khabary atau disebut muhaddisy.
Disamping itu pula yang berpendapat bahwa khabary itu sama dengan hadits, keduanya dari Nabi
Muhammad Saw. Sedangkan atsar dari sahabat. Karenanya, maka timbul hadits marfu’, mauquf atau
maqtu’.

Artinya : “Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi Muhammad Saw atau yang selain dari
Nabi Muhammad Saw.

Contoh Ali bin Abi Thalib ra. Berkata:

Artinya :“Sunnah ialah meletakkan tangan di bawah pusar.

31
Ibid, Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 24
32
Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 21.
D. Pengertian Atsar.

Al-atsar dalam bahasa artinya adalah sisa, sedangkan menurut pengertian istilah, para ahli
berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu mereka masing-masing, diantaranya adalah:

1. Jumhur berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw sahabat, dan tabi’in.
2. Menurut ulama lain, seperti ulama Kharasan atsar untuk hadits mauquf dan khabar untuk
hadits marfu.
3. Ahli hadits lain mengatakan tidak sama, yaitu khabar, berasal dari nabi, sedangkan atsar
sesuatu yang di sandarkan hanya kepada sahabat dan tabi’in, baik perbuatan maupun
perkataan.

Dari pengertian tentang hadits, sunnah, khabar, dan atsar sebagaimana diuraikan di atas, menurut
Jumhur ulama hadits juga dapat dipergunakan untuk maksud yng sama, yaitu bahwa hadits disebut juga
dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu juga sunnah bisa disebut dengan hadits, khabar, atsar. Maka
hadits mutawatir disebut juga sunnah mutawatir, begitu juga hadits shahih dapat juga disebut dengan
sunnah shahih, khabar shahih dan atsar shahih.33

Dari beberapa uraian tentang hadits diatas dapatlah ditarik bahwa, baik Hadits, Sunnah, Khabar
dan Atsar sebagaimana yang telah diuraikan, maka pada dasarnya kesemuanya memiliki persamaan
maksud, yaitu untuk menunjukkan segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad Saw,baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrirnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa atsar lebih umum dari pada khabar, yaitu atsar berlaku bagi
segala sesuatu dari Nabi Muhammad Saw maupun yang selsain dari Nabi Muhammad Saw, sedangkan
khabar khusus bagi segala sesuatu dari Nabi Muhammad Saw saja.

Para fuqaha’ memakai istilah “atsar” untuk perkataan-perkataan ulama’ salaf, sahabat , tabi’in, dan lain-
lain.

Artinya. Perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

Contohnya perkataan tabi’in , Ubaidillah Ibn Abdillah IBN Utbah ibn Mas’ud:

33
Ibid, Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 25.
Artinya. Menurut sunnah hendaklah imam bertakbir pada hari raya fitri dan adha sebannyak
sembilan kali ketilka duduk di atas mimbar sebelum berkhutbah (HR. Baihaqi)

E. Perbedaan Hadits dengan Sunnah, Khabar dan Atsar

Dari keempat tema tersebut dapat ditarik bahwa tema tersebut sangat berguna sebagai ilmu
tambahan bagi masyarakat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menentukan kulitas dan
kuwantitas Hadits, sunnah, Khabar dan Atsar.

Para ulama juga membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagai berikut:

1. Hadits dan sunnah.

Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada Nabi Muhammad Saw,
sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan,
takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasulmaupun
sesudahnya.

2. Hadits dan khabar.

Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang berasal atau disandarkan
kepada selain Nabi Muhammad Saw., hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi
Muhammad Saw.

3. Hadits dan atsar:

Jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga ulama
yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi
Muhammad Saw, sahabat dan tabiin.

F. Subtansi Hadits

Dari penjelasan diatas dapat diambil pengertian bahwa hadits, sunnah, khabar, dan atsar memiliki
maksud yang sama, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Dari kesamaan ini ditemukan adanya beberapa kesamaan
diantara pengertian-pengertian tersebut, diantaranya dalam bentuk subtansinya, yaitu perkataan (hadits
qauli), perbuatan (hadits fi’li), ketetapan (hadits taqriri), dan karakter kepribadianya (hadits hammi dan
ahwali).

1. Hadits qauli

Hadits qauli ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, berupa
perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan
dengan keyakinan, syari’ah, akhlaq maupun yang lainya. Dengan kata lain suatu perkataan yang penuh
beliau ucapkan dalam berbagai bidang, misalnya bidang hukum (syari’ah), akhlaq, pendidikan dan
sebagainya.

Contoh: perkataan Nabi Muhammad Saw yang mengandung akhlaq

(Perhatikan) tiga hal: siapa saja yang sanggup menghimpunya, niscaya ia sudah dapat
menghimpun iman secara sempurna, yaitu: pertama, jujur terhadap diri sendiri. Kedua, mengucapkan
salam perdamaian kepada seluruh dunia. Ketiga, mendermakan apa-apa yang menjadi kebutuhan umum.
Hadits riwayat Bukhari

Hadits itu mengandung anjuran terhadap seseorang untuk berakhlak mulia, berkesadaran tinggi,
cinta perdamaian dan dermawan.

2. Hadits Fi’li

Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang sampai kepada kita yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, seperti tata cara berwudlu, pelaksanaan shalat, dan pelaksanaan kewajiban haji dan
lainya. Dengan kata lain semua perbuatan Nabi Muhammad Saw yang menjadi penjelasan praktis
terhadap peraturan-peraturan syari’ah yang belum jelas cara pelaksanaanya.

Contoh: tata cara pelaksanaan kewajiban shalat Shalatlah kamu sebagaimana kamu sekalian
melihat aku melakukan shalat. Hadits riwayat Bukhari.

3. Hadits taqriri

Hadits taqriri menurut bahasa ialah penetapan atau persetujuan, sedangkan menurut istilah berati
perbuatan sahabat yang kemudian diakui dan dibenarkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi Muhammad Saw.
Maksudnya ialah segala ketetapan Nabi Muhammad Saw terhadap apa-apa yang datang dari sahabat dan
beliau memberikan perbuatan mereka tersebut setelah syarat-syaratnya terpenuhi, baik mengenai
pelakunya maupun perbuatanya.34

Contoh:

a. Status shalat orang yang bertayamum, dimana ditengah shalat ada air, lalu hal ini dilaporkan
kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian dijawab dengan mengatakan. Nabi Muhammad Saw
berkata yang tidak mengulangi shalat “sudah benar engkau”, kemudian menjawab kepada yang
mau mengulang lagi shalatnya: “kamu mendapatkan dua pahala”
b. Pelaksanaan perintah dan larangan Nabi Muhammad Saw sesuai dengan penafsiran masing-
masing sahabat, misalnya hadits sebagai berikut. Janganlah ada seorangpun yang melaksanakan
shalat ‘ashar kecuali di Bani Quraidlah. Hadits riwayat Bukhari.

Hadits ini ditanggapi para sahabat berbeda-beda, diantaranya:

Sebagian sahabat berpendapat bahwa larangan itu harus berdasarkan pada hakekat dari arti larangan
itu sendiri, sehingga berakibat pada pelaksanaan shalat ‘ashar tidak tepat pada waktunya, bahkan
pelaksanaanya mundur sampai waktu shalat maghrib.

Sebagian lagi berpendapat bahwa larangan tersebut mengandung pengertian untuk segera sampai ke
tempat Bani Quraidlah dan dalam peperangan itu tidak boleh santai, sehingga shalat ‘ashar harus
dilaksanakan tepat pada waktunya.

4. Hadits hammi dan hadits ahwaliy

Hadits hammi ialah segala hadits Nabi Muhammad Saw berupa keinginan atau hasrat yang belum
terealisasikan, seperti keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘asyura, sebagaimana dalam hadits:

“Ketika Nabi Muhammad Saw berpuasa pada hari ‘Ayura dan memerintahkanya para sahabat untuk
berpuasa, mereka berkata, ya Nab Muhammad Sawi, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh oang-
orang Yahudi dan Nasrani. Lalu Nabi Muhammad Saw bersabda: Tahun yang akan datang insya Allah
aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. Hadits riwayat Muslim

Hadits ahwaliy ialah hadits Nabi Muhammad Saw yang berupa seluk beluk Nabi Muhammad
Saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadianya, contoh hadits tentang bentuk fisik
Nabi Muhammad Saw: “Anas berkata bahwa aku tidak pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna

34
Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 26-27.
yang halus, sehalus telapak tangan Rasul Saw dan juga belum pernah mencium wewangian seharum
Rasul Saw. Hadits riwayat Bukhari.

BAB III

HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


A. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam.

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-
Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara
otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak
kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad
hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-
Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan umat Islam harus kembali
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو َأِط يُعوْا ٱلَّرُسوَل َو ُأْو ِلي ٱَأۡلۡم ِر ِم نُك ۖۡم َف ِإن َتَٰن َز ۡع ُتۡم ِفي َش ۡي ٖء َف ُر ُّد وُه‬
٥٩ ‫ر َو َأۡح َس ُن َتۡأ ِو ياًل‬ٞ ‫ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱلَّرُسوِل ِإن ُك نُتۡم ُتۡؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِۚر َٰذ ِلَك َخ ۡي‬

Artinya.. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(An.Nisa’ 59)

Setiap Mu’min wajib taat kepada Allah dan kepada Rasulullah Saw.seperti surah .An-Nisa’ di
atas dan banyak surah yang lain seperti . Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah:
13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).

Patuh kepada Rasul Saw berarti patuh dan cinta kepada Allah disebtkan dalam surah.An-Nisa: 80
dan Ali ‘Imran: 31

٨٠ ‫َّم ن ُيِط ِع ٱلَّرُسوَل َفَقۡد َأَطاَع ٱَۖهَّلل‬


Artiya. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.

٣١ ‫م‬ٞ‫ر َّر ِح ي‬ٞ‫ُقۡل ِإن ُك نُتۡم ُتِح ُّبوَن ٱَهَّلل َفٱَّتِبُعوِني ُيۡح ِبۡب ُك ُم ٱُهَّلل َو َيۡغ ِفۡر َلُك ۡم ُذ ُنوَبُك ۚۡم َو ٱُهَّلل َغ ُفو‬

Artinya. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa sepertinya dijelaskan dalam surah.Al-
Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115.

١٣ ‫َقاَل َفٱۡه ِبۡط ِم ۡن َها َفَم ا َيُك وُن َلَك َأن َتَتَك َّبَر ِفيَها َفٱۡخ ُر ۡج ِإَّنَك ِم َن ٱلَّٰص ِغ ِريَن‬
Artinya. Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya
menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang
hina"

‫َو َم ن ُيَش اِقِق ٱلَّرُسوَل ِم ۢن َبۡع ِد َم ا َتَبَّيَن َلُه ٱۡل ُهَد ٰى َو َيَّتِبۡع َغ ۡي َر َس ِبيِل ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن ُن َو ِّلِهۦ َم ا َت َو َّلٰى َو ُنۡص ِلِهۦ‬
١١٥ ‫َجَهَّنَۖم َو َس ٓاَء ۡت َم ِص يًرا‬

Artinya Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali

‫إَِّن ٱَّلِذ يَن ُيَح ٓاُّد وَن ٱَهَّلل َو َر ُسوَل ۥُه ُك ِبُت وْا َك َم ا ُك ِبَت ٱَّل ِذ يَن ِم ن َقۡب ِلِهۚۡم َو َق ۡد َأنَز ۡل َن ٓا َء اَٰيِۢت َبِّيَٰن ٖۚت َو ِلۡل َٰك ِف ِر يَن‬
٥ ‫ن‬ٞ‫ب ُّم ِهي‬ٞ‫َع َذ ا‬

Artinya. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat
kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami
telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan

Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman seperti dijelaskan dalam surah.
(An-Nisa: 65).

‫َفاَل َو َر ِّبَك اَل ُيۡؤ ِم ُنوَن َح َّتٰى ُيَح ِّك ُم وَك ِفيَم ا َش َجَر َبۡي َنُهۡم ُثَّم اَل َيِج ُد وْا ِفٓي َأنُفِس ِهۡم َحَر ٗج ا ِّمَّم ا َقَض ۡي َت‬
٦٥ ‫َو ُيَس ِّلُم وْا َتۡس ِليٗم ا‬

Artinya. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak
dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum
utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan
lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan
umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah Saw . Selain itu juga akan
mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna),
muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah
untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada
pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.35

Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada
As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata, “Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan
sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah
aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus
kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikat
erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-
Syafi’I ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.36

Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad Saw merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya. Untuk
mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa
dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli.

35
Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash Shiddieqy,Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS 2,Bulan Bintang
Jakarta,1976.hal.365
36
Ibid.hal.355-357.
1. Dalil Al-Qur’an.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala
yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah, Firman Allah
Swt dalam surah Ali Imran ayat 179.

‫َّم ا َك اَن ٱُهَّلل ِلَيَذ َر ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن َع َلٰى َم ٓا َأنُتۡم َع َلۡي ِه َح َّتٰى َيِم يَز ٱۡل َخ ِبيَث ِم َن ٱلَّطِّيِۗب َو َم ا َك اَن ٱُهَّلل ِلُيۡط ِلَع ُك ۡم‬
‫َع َلى ٱۡل َغ ۡي ِب َو َٰل ِكَّن ٱَهَّلل َيۡج َتِبي ِم ن ُّر ُس ِلِهۦ َم ن َيَش ٓاُۖء َٔ‍َفاِم ُنوْا ِبٱِهَّلل َو ُرُس ۚۦِلِه َو ِإن ُتۡؤ ِم ُن وْا َو َتَّتُق وْا َفَلُك ۡم َأۡج ٌر‬
١٧٩ ‫م‬ٞ‫َع ِظ ي‬

Artinya. Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib,
akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka
bagimu pahala yang besar (QS:Ali Imran:179) dan dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء ا ُنٓو ْا َء اِم ُنوْا ٱِهَّلل َو َر ُسوِلِهۦ َو ٱۡل ِكَٰت ِب ٱَّلِذ ي َنَّز َل َع َلٰى َر ُسوِلِهۦ َو ٱۡل ِكَٰت ِب ٱَّلِذٓي َأنَز َل ِم ن َقۡب ُۚل‬
‫ِب‬ ‫َم‬
‫َٰٓل‬
١٣٦ ‫َو َم ن َيۡك ُفۡر ِبٱِهَّلل َو َم ِئَك ِتِهۦ َو ُكُتِبِهۦ َو ُرُس ِلِهۦ َو ٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِر َفَقۡد َض َّل َض َٰل اَۢل َبِع يًدا‬

Artinya; “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS:An-Nisa:136). 37

Dalam kedua ayat di atas telah jelas bahwa kita sebagai umat Islam harus beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), Al-Qur’ann, dan kitab yang diturunkan sebelumya. Dan pada
akhir ayat Allah mengancam kepada siapa saja yang mengingkari seruannya.

Selain Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah
juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan
taat kepada Rasul Saw itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt.
Banyak ayat Al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.

37
Drs.H.Mudasir,Ilmu Hadits, CV.Pustaka Setia, Bandung,1999, hal.66
Perhatikan firman Allahh Swt. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

٣٢ ‫ُقۡل َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو ٱلَّرُسوَۖل َفِإن َتَو َّلۡو ْا َفِإَّن ٱَهَّلل اَل ُيِح ُّب ٱۡل َٰك ِفِر يَن‬

Artinya: “Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS:Ali Imran : 32).

Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو َأِط يُعوْا ٱلَّرُسوَل َو ُأْو ِلي ٱَأۡلۡم ِر ِم نُك ۖۡم َف ِإن َتَٰن َز ۡع ُتۡم ِفي َش ۡي ٖء َف ُر ُّد وُه‬
٥٩ ‫ر َو َأۡح َس ُن َتۡأ ِو ياًل‬ٞ ‫ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱلَّرُسوِل ِإن ُك نُتۡم ُتۡؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِۚر َٰذ ِلَك َخ ۡي‬

Artinya. “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).

Juga dalam Surat An-Nur ayat 54.

‫ُقۡل َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو َأِط يُعوْا ٱلَّرُسوَۖل َف ِإن َتَو َّل ۡو ْا َفِإَّنَم ا َع َلۡي ِه َم ا ُح ِّم َل َو َع َلۡي ُك م َّم ا ُح ِّم ۡل ُتۖۡم َو ِإن ُتِط يُع وُه‬
٥٤ ‫َتۡه َتُد وْۚا َو َم ا َع َلى ٱلَّرُسوِل ِإاَّل ٱۡل َبَٰل ُغ ٱۡل ُم ِبيُن‬

Artinya. “Katakanlah: “Ta’at kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu
sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya
kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang”.(An-Nur:54).38

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa
ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap
Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.

38
Ibid.hal.70
Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan
mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam.

2. Dalil Al-Hadits.39

Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul Saw berkenaan dengan kewajiban
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah
sabdanya.

Artinya. “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-
lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
(HR. Hakim)

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-
Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya
dalam menentukan hukum.

3. Kesepakatan Ulama (Ijma’). 40

Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang
terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah Saw, sepeninggal beliau, masa
khulafaurrasyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum
Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini.

a. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah Saw, sesungguhnya saya
takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.
b. Saat Umar ra berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya tidak melihat Rasulullah Saw menciummu, saya tidak akan menciummu.”.
c. Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-
Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah Swt telah mengutus Nabi Muhammad Saw kepada kita

39
Ibid.hal.70
40
Ibid.hal.73
dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami
melihat Rasulullah Saw berbuat.”

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan
diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan
oleh umatnya.

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad).41

Kerasulan Muhammad Saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban
misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah Swt, baik isi maupun
formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga
tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing
oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber
ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.

B. Hubungan Hadits Dengan Al-Qur’an.

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan
penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan
dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar-Risalah adalah sebagai berikut

1. Bayan At- Taqrir.

Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’qid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan bayan
taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti
Rasulullah Saw bersabda,

‫ َأْفِط ُرْو ا َو ِلُر ْؤ َيِتِه ُصْو ُم ْو ا‬،‫َثَالِثْيَن ِل َشْع َباَن ْك ِم ُلْو ا َفَأ ُغ َّم َفِإْن ُر ْؤ َيِتِه‬
Artinya: "Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan
melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya'ban menjadi 30 hari," (HR
Bukhari dan Muslim).

41
Ibid.hal.74
Apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka berbukalah)
adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

‫َش ۡه ُر َر َم َض اَن ٱَّلِذٓي ُأنِز َل ِفي…ِه ٱۡل ُق ۡر َء اُن ُه ٗد ى ِّللَّن اِس َو َبِّيَٰن ٖت ِّم َن ٱۡل ُه َد ٰى َو ٱۡل ُفۡر َق اِۚن َفَم ن َش ِهَد ِم نُك ُم‬
‫ة ِّم ۡن َأَّياٍم ُأَخ َۗر ُيِر يُد ٱُهَّلل ِبُك ُم ٱۡل ُيۡس َر َو اَل ُيِر يُد ِبُك ُم‬ٞ ‫ٱلَّشۡه َر َفۡل َيُصۡم ُۖه َو َم ن َك اَن َم ِر يًضا َأۡو َع َلٰى َس َفٖر َفِع َّد‬
١٨٥ ‫ٱۡل ُع ۡس َر َو ِلُتۡك ِم ُلوْا ٱۡل ِع َّدَة َو ِلُتَك ِّبُروْا ٱَهَّلل َع َلٰى َم ا َهَد ٰى ُك ۡم َو َلَع َّلُك ۡم َتۡش ُك ُروَن‬

Artinya.. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur

2. Bayan At-Tafsir.

Yang dimaksud dengan bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti hadits.

Rasulullah Saw

(‫“ ُأَص ِّلى َر َأْيُتُم وِنى َك َم ا َص ُّلوا )ومسلم البخاري رواه‬

Artinya. Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat (HR.Bukhari , Muslim)

Hadits di atas merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :

٤٣ ‫َو َأِقيُم وْا ٱلَّص َلٰو َة‬

Artinya. Dan dirikanlah shalat,

3. Bayan At-Tasyri’.
Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang
tidak didapati dalam Al-Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim.
Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.

Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits
lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan
setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai
umat Islam.

Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah.

Artinya. Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu
sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.”

Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang
lainnya.

4. Bayan An-Nasakh.

Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau
at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil
syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi
membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap
hadits ahad ia menolaknya.

Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits;

Dari Ibnu Abbas

Artinya “Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang haknya masing-masing, maka tidak
ada wasiat untuk ahli waris.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa hak masing-masing ahli waris dan yang bukan ahli waris
sudah ditetapkan bagiannya. Ahli waris mendapatkan bagian dari jatah waris dan yang bukan ahli waris
mendapatkan bagian dari jatah wasiat apabila almarhum pernah berwasiat.

Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180.
‫ُك ِتَب َع َلۡي ُك ۡم ِإَذ ا َحَض َر َأَح َد ُك ُم ٱۡل َم ۡو ُت ِإن َتَر َك َخ ۡي ًرا ٱۡل َو ِص َّيُة ِلۡل َٰو ِل َد ۡي ِن َو ٱَأۡلۡق َر ِبيَن ِب ٱۡل َم ۡع ُروِۖف َح ًّق ا‬
١٨٠ ‫َع َلى ٱۡل ُم َّتِقيَن‬

Artinya. “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180). 42

C. Hadits Tidak Boleh Menduduki di Bawah Mazhab.43


1. Tidaklah boleh kita mengembalikan hadits kepada mazhab secara yang menghilangkan
keindahan hadits tersebut. Karena yang demikian adalah memerendahkan kedudukan hadits.
Perkataan para ulama ada yang diambil dan ada juga yang ditolak, terkecuali hadits Nabi
Muhamad Saw yang shahih maka semuanya tidak boleh sekali-kali ditolak.
2. Tidak boleh bertasahhub dengan jalan mencari berbagai macam alasan untuk membela
mazhab. Abu Ishaq Asy Syatiibi mengatakan bahwa segala yang diamalkan oleh ahli
tasawwuf yang mu’tabar dalam bidang tasawwuf seperti halnya Al-Junaidi tidaklah sunyi dari
hal-hal berikut:
a. Adakalanya yang diamalkan itu sesuatu yang mempunyai dasar dalam Syari’at, maka
dalam hal ini kita dapat mengikuti mereka.
b. Adakalanya tidak mempunyai dasar dalam syari’at, kalau demikian, kita tidak boleh
mengamalkannya, karena Shohibus Sunnah adalah orang yang terpelihara dari salah
sedangkan orang tasawwuf itu tidaklah demikian.

Karenanya para ulama semuanya mengatakan. “Tiap-tiap perkataan ada diantaranya yang
diambil dan ada yang ditinggalkan, terkecuali perkataan Rasulullah Saw.”

D. Perbedaan Pendapat Dalam Suatu Hukum.44

Hukum fiqih belumlah dibukukan di zaman Rasulullah Saw. Usaha membahas pada masa itu,
belumlah sebagai usaha pembahasan seperti yang dilakukan para fuqaha.

42
Ibid.hal.76-86.
43
Op,cit.hal.360
44
Ibid.hal.366
Nabi Saw shalat, para shahabat melihatnya,lalu mereka pun shalat seperti apa yang dilihat
dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dan juga seperti haji, umrah, dan segala macam aspek ibadat yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw mereka tiru sebagaimana Rasululah Saw mengerjakannya. Maka
oleh sebab itu dari berbagai versi shohabat melihat kelakuan Nabi Muhammad Saw dalam mengerja
ibadat maka hasillah bermacam-macam cara dalam mengerjakan sebuah ibadat dan terjadi perbedaan
dalam menentukan sebuah hukum.

1. Perbedaan pendapat itu ada beberapa macam:


a. Karena seseorang shahabat mendengar putusan Rasul dalam suatu perkara, atau mendengar
sesuatu fatwa, sedangkan putusan atau fatwa tersebut tidak didengar oleh shahabi lain.
Karenanya shohabi lain itu harus berijtihad dalam mengahadapi perkara tersebut.
2. Ijtihad mereka terdiri dari beberapa macam:
a. Ijtihadnya itu sesuai dengan hadits.
b. Terjadi munadharoh (diskusi) antara dua orang dan diperoleh hadits yang menimbulkan
sangka kuat Nabi Saw telah menyabdakan hal itu, lalu kembalilah ijtihadnya kepada hadits
tersebut.
c. Sampai hadits kepada seseorang shahabi tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan
persangkaan kuat bahwa Nabi pernah menyabdakan hal tersebut.
d. Sama sekali tidak sampai hadits kepada seorang shahabi.
b. Berselisih lantaran lupa.
c. Perselisihaan karena berbeda lafadz yang diingat.
d. Perselisihan pendapat tentang menanggapi ‘illat hukum.
e. Perselisihan karena berbeda pendapat dalam mempertemukan dua hadits yang bertentangan. 45

Kesimpulan

Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok
sebagai berikut:

45
Ibid.hal.367-369
1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut
istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang
disandarkan pada Nabi Muhammad Saw (aqwal, af’al wa taqrir).
2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga
menjadi sumber hukum sekunder/kedua setelah Al-Qur’an.
3. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; Bayan
At-Taqrir, Bayan At-Tafsir, Bayan At-Tasyri’, dan Bayan An-Nasakh.
4. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal
ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang
syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama
sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.

BAB IV

HADITS PRAKODIFIKASI (MASA NABI, SAHABAT DAN TABI’IN)

A. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah Saw.

Pada periode ini sejarah hadits disebut ‘Ashr al-Wahyi wa at-Takwin (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam). 46 Pada masa inilah, Hadits kemudian lahir yang berupa sabda Nabi
Muhammad Saw, Perbuatan Nabi Muhammad Saw, dan Ketetapan Nabi Muhammad Saw yang fungsinya
adalah untuk menerangkan Al-Qur’an serta menegakkan Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat.

Pada masa ini Hadits disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat dan masyarakat luas
melalui khutbah, pertemuan antar kelompok, dirumah beliau sendiri, dan bahkan pasar ketika beliau
sedang bepergian. Media-media tersebut sangat efektif untuk penyampaian hadits. Perhatian sahabat
terhadap hadits ini sangat tinggi untuk diingat dan disampaikan kepada para sahabat lain yang tidak hadir
dalam majlis. Demikian juga diantara mereka yang tidak hadir dalam majlis Rasul Saw juga sangat inten
untuk mencari Informasi tentang apa yang disampaikan beliau baik secara langsung atau melalui utusan.

46
M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Uliumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 34.
Diantara mereka ada yang bergantian hadir di majlis beliau seperti yang dilakukan oleh Umar ra.
Sahabat Umar ra berkata: “Aku bersama tetanggaku sahabat Anshar Bani Umayyah bin Zaid. Dia diantar
oleh tokoh Madinah bergantian hadir di majlis Rasulullah Saw sehari dia hadir dan hari yang lain aku
yang hadir. Jika aku yang hadir aku sampaikan kepadanya berita tentang wahyu dan yang lain kepadanya,
demikian juga jika ia yang hadir.47

Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi Muhammad Saw sesuai dengan
sabda beliau:

‫الَّنِبَّي َأَّنَعْم ٍر و ْبِن ِهَّللا َع ْبِد َع ْن َكْبَشَة َأِبي َع ْن َع ِط َّيَة ْبُن َح َّساُن َح َّد َثَنا ْو َز اِعُّي اَأْل َأْخ َبَر َنا َم ْخ َلٍد ْبُن الَّضَّحاُك َعاِصٍم َأُبو َح َّد َثَنا‬

‫الَّناِر ِم ْن َم ْقَع َد ُه َفْلَيَتَبَّو ْأ َتَعِّم ًدا ُم َع َلَّي َك َذ َب َو َم ْن َحَر َج َو اَل ِئيَل ِإْس َر اَبِني َع ْن َو َح ِّد ُثوا آَيًة َو َلْو َع ِّني َبِّلُغ وا َقاَل َو َس َّلَم َع َلْيِه ُهَّللا َص َّلى‬

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abu 'Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan
kepada kami Al Awza'iy telah bercerita kepada kami Hassan bin 'Athiyyah dari Abi Kabsyah dari
'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sampaikan dariku sekalipun satu
ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang
berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka"
(HR.Bukhari).

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa para sahabat Nabi pun menerima hadits dari
Rasulullah Saw melalui 2 metode yakni penyampaian secara langsung dan tidak langsung. Penyampaian
secara langsung ini misalnya ketika Nabi Muhammad Saw memberikan ceramah, pengajian, Khatbah,
atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Sedangkan penyampaian tidak langsung dilakukan
dengan cara mendengarkan dari sahabat lain atau dari utusan-utusan yang dikirim oleh Nabi Muhammad
Saw ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi Muhammad Saw .

Hadits pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihapal oleh mereka (tidak ditulis)
seperti Al-Qur’an ketika disampaikan Nabi SAW kepada mereka. Rasulullah melarang keras penulisan
hadits karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Al-Qur’an.

Selain itu, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat juga sangat terbatas sehingga membuat
Rasulullah lebih menekankan untuk menghapal, memahami, mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.48 Ada dorongan kuat yang cukup memberikan
motivasi bagi para sahabat untuk menghapal hadits yaitu, pertama hafalan merupakan budaya bangsa arab
dan mereka terkenal kuat hafalannya, kedua Rasulullah banyak memberikan spirit melalui do’a-do’anya,
47
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: AMZAH, 2011), 42.
48
Suyadi, Hadis.,34.
ketiga sering kali beliau menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan
menyampaikannya.

Namun dibalik larangan Rasulullah Saw dalam menulis hadits tidak sedikit sahabat yang menulis
hadits untuk membantu hafalannya atau hanya diperbolehkan bagi para sahabat yang hafalannya kurang
dan hanya diperuntukan untuk dirinya sendiri tidak untuk disebarkan kepada orang lain. Setelah ditulis
kemudian harus dihapalkan sampai benar-benar hapal. Jika sudah hapal, catatan-catatan hadits tersebut
mereka bakar sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa sahabat.

B. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat

Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya beliau
meninggalkan dua pegangan dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (sunnah) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.49

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat
Nabi Muhammad Saw. Sahabat Nabi Muhammad Saw yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah
Abu Bakar as-Shiddiq (wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644
M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah
ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan
zaman sahabat besar

Memasuki periode sahabat ini, yang dihadapi oleh umat Islam persoalan orang orang murtad dan
pertikaian politik. Para sahabat, utamanya Khulafaur Rasyidin tidak menyukai banyak periwayatan dari
Rasulullah Saw, takut terjadi kebohongan atas nama Rasul Saw dan pembelokan perhatian orang Islam
dari Al-Qur’an kepada al-hadist. Oleh karena itu dengan pertimbangan yang matang Abu Bakar Ash-
Shiddiq memilih mengurungkan niatnya untuk membukukan Hadits.

Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadist tersebar secara terbatas. Penulisan
hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan pada masa itu Umar melarang para
sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarkan Al-Qur’an.50

49
Ibid., 35.
50
Ibid.
Alasan Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak riwayat Hadits adalah karena beliau
sangat khawatir dapat menimbulkan tasyabbuh/menyerupai ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang
meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para
Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir umat Islam meninggalkan Al-Qur’an dan
hanya membaca hadits. Jadi Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi
pada masanya belum memungkinkan untuk itu.

Dalam periode para sahabat ini penyampaian periwayatan dilakukan secara lisan dan hanya jika
benar-benar diperlukan saja yaitu ketika umat Islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum.
Walaupun demikian, tetapi mereka sangat selektif dalam menerima hadits dan menguji kebenaran hadits
tersebut.

Setelah masa khalifah Abu Bakar dan Umar berakhir, periwayatan Hadits kemudian dilanjutkan
oleh Utsman bin Affan. Akan tetapi langkah Utsman tidaklah setegas langkah Umar bin Khatthab.
Utsman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal meriwayatkan
hadits Nabi Muhammad Saw yang berasal dari riwayat Utsman sekitar empat puluh hadits saja. Hal ini
dikarenakan beliau lebih banyak terjun dalam bidang politik.

Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam agara lebih berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi
tertentu yang bersikap longgar dalam periwayatan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi
Utsman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam semakin luas. Luasnya wilayah Islam ini
mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.

Tercatat pada masa sahabat ini ada 6 (enam) orang diantara para sahabat yang tergolong banyak
meriwayatkan Hadits diantaranya:

1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 hadits.


2. Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635 hadits.
3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits.
4. Aisyah Ummi al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadits.
5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.560 buah hadits.
6. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits.51

51
Khon, Hadis., 49.
Pada masa Ali bin Abi Thalib, periwayatan Hadits juga tidak begitu banyak karena pada masa ini
banyak terjadi konflik dan perpecahan umat Islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dan
Mu’awiyyah. Akibat konflik tersebut umat Islam terpecah menjadi 3 (tiga) golongan:

a. Khawarij yaitu golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) antara
dua kelompok yang sedang bertikai, Kelompok ini pada awalnya mendukung Ali, akan tetapi
kemudian ia keluar karena mereka tidak setuju dengan Ali yang menerima tahkim.
b. Syiah yaitu pendukung setia terhadap Ali. Diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan
terhadap Ali.
c. Jumhur Muslimin, Diantara mereka ada yang mendukung Ali, ada yang mendukung
Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah politik.

Akibat pertikaian ini, banyak pihak yang tidak bertanggung jawab berani membuat hadits palsu
(Maudhu’) dengan tujuan ingin mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan/kelompok
diatas dan ingin mencari dukungan dari umat Islam. Akhirnya dengan adanya pemalsuan hadits ini para
Ulama’ kemudian mengadakan perlawatan ke berbagai daerah dalam rangka untuk mengecek kebenaran
hadits yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan maupun sanad.

Selain untuk mengecek hadits, mereka juga sekaligus mencari ilmu kepada para Sahabat senior
pasca Khulafaur Rasyidin (41-98 H). Para sahabat senior waktu itu banyak yang pindah ke berbagai
daerah yang sudah dikuasai oleh Islam. Daerah-daerah yang sudah dikuasai Islam itu diantaranya Syam
dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).

Setelah perlawatan selesai, mereka kemudian menyampaikan hasil perlawatan tersebut kepada
umat Islam secara transparan. Demikian perhatian para Ulama terhadap Hadits, mereka rela
mengorbankan harta benda dan meninggalkan kampung halamannya beberapa hari untuk mencari ilmu. 52

C. Perkembangan Hadits Pada Masa Tabi’in

Pada periode ini dikenal dengan Masa Pengkodifikasian Hadits (al-Jam’u wa at-tadwin). Pada
masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf oleh para sahabat Khulafaur Rasyidin
sehingga para Tabi’in berbondong-bondong belajar Al-Qur’an dan Hadits pada mereka.

52
Ibid., 50.
Pada masa ini wilayah Islam semakin luas sejak kekuasaan Islam dipegang oleh Bani Umayyah.
Seiringn dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah
kekuasaan Islam juga semakin meningkat.

Hadist-hadist yang diterima para tabi'in dari para sahabat senior ini terkumpul dalam bentuk
catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah
terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini
saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan. 53

Seiring berjalannya waktu pada abad pertama perkembangan hadits, sebagian perawi mencatat
hadits-hadits dari para pendahulunya, sedangkan yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya
mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga
sampailah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Melihat perkembangan hadits seperti
itu Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) menganggap perlunya untuk segera melakukan
penghimpunan dan pembukuan hadits. Beliau sangat khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi Muhammah
Saw setelah ditinggal wafat oleh para Ulama’ baik dari kalangan para sahabat dan Tabi’in. 54

Untuk itu beliau Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan kepada para gubernur di
semua wilayah Islam untuk segera menghimpun dan membukukan Hadits Nabi Muhammad Saw. Beliau
kemudian menulis sepucuk surat yang dikirim kepada Ibnu Hazm (gubernur Madinah). Isi surat tersebut
yaitu: “Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari hadits Rasulullah Saw, sesungguhnya aku khawatir
hilangnya ilmu dan wafatnya para Ulama”.

Mengenai kepastian siapa ulama yang lebih dahulu melaksanakan instruksi Khalifah Umar bin
Abdul Aziz ini belum dapat diketahui. Ada berbagai pendapat dikalngan para Ulama’. Akan tetapi yang
paling masyhur adalah Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri sedangkan Ibnu Hazm adalah
orang yang melaksanakan tugas untuk menyampaikan Khalifah ke seluruh negeri Kekuasaan Islam dan
belum melakukan kodifikasi Hadits.

Berdasarkan fakta sejarah, aktifitas penghimpunan dan pengkodifikasian hadits baru tersebar di
berbagai Negeri Islam pada abad ke-2 H.55

53
Ibid.,53.
54
Ibid., 53.
55
Ibid.
Kesimpulan

Sejarah hadist pra kodifikasi ini terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah
memahaminya, kami akan meringkasnya menjadi beberapa uraian berikut ini:

1. Dalam periode Nabi Muhammad Saw, beliau dalam menyampaikan hadits di berbagai tempat
diantarnya di berbagai majlis-majlis, masjid, rumah beliau, pasar (ketika dalam perjalanan),
ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka. Pada waktu itu penulisan hadits masih sangat
terbatas disamping Rasul Saw sendiri juga melarangnya. Ketika itu para Sahabat masih
mengandalkan hafalan, namun ada juga yang menulisnya akan tetapi diperuntukan untuk
dirinya sendiri dan tidak untuk disebarkan kepada orang lain.
2. Dalam periode sahabat, belum ada pembukuan hadits secara resmi. Hal ini dikarenakan
masyarakat masih banyak yang belum mengenal Al-Qur’an sebagai syariat, serta para sahabat
lebih selektif dan berhati-hati dalam memilih hadits, menguji kebenaran hadits tersebut
terlebih dahulu karena pada waktu itu sudah mulai muncul berbagai hadits palsu oleh orang-
orang yang tidak bertanggung jawab pasca pertikaian Ali dengan Mu’awiyyah.
3. Pada periode Tabi’in juga belum dilakukan pembukuan dan penulisan hadits secara resmi.
Penulisan hadits secara resmi baru dilakukan pada generasi tabi’tabi’in (abad ke-2 H)
walaupun pada akhir abad ke-1 H instruksi penghimpunan hadits sudah diinstruksikan oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
BAB V

SEJARAH KODIFIKASI HADITS: PEMBUKUAN HADIS ABAD II, III, IV, V H DAN SAMPAI
SEKARANG

A. Sejarah Kodifikasi Hadits

Hadis atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan peran hadits sebagai
salah satu sumber ajaran Hukum Islam yang diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat dinafikan.

Demikian keberadaan Al-hadits dalam proses tadwin (kodifikasi)nya sangat berbeda dengan Al-
Qur’an. Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunannya lebih lama dan panjang masanya dibandingkan
dengan Al-Qur’an. Hadits butuh waktu 3 abad untuk pentadwinannya secara menyeluruh .

Perkembangan dan pengkodifikasian hadits dibagi menjadi 5 masa yaitu masa Nabi Muhammad
Saw, pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan periode setelah tabi’ tabi’in. perkembangan hadits pada
masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi Muhammad Saw untuk menulis
hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi Muhammad Saw akan tercampirnya nash Al-
Qur’an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi Muhammad Saw pada para sahabat yang
bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Banyak sekali lika-liku dalam sejarah pengkodifikasan hadits
yang berlangsung pada waktu itu.
B. Sejarah Pengumpulan Hadits.

At-Tadwin atau Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau pembukuan
hadits. Sedangkan menurut terminologi artinya pengumpulan dan penyusunan hadits yang secara resmi
didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan
yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Sebagaimana Al-
Qur’an, hadits juga mengalami proses panjang dalam pembukuannya.56

Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadits pada periode ini adalah pembukuan hadits
secara resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah seorang pemimpin kepala Negara dengan
melibatkan orang-orang yang mempunyai keahlian dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang terjadi
pada masa Rasulullah Saw yang dilakukan secara individu atau untuk kepentingan pribadi.

Perlu pembedaan antara sunnah dan hadits. Dengan mempertimbangkan ciri konsep sunnah,
maka hadits sangat serupa dengan Al-Qur’an. Di mana, material hadits harus dipahami dalam konteks
praktik aktual Nabi Muhammad Saw. Hadits shahih sangat berpeluang untuk dikritisi jika hadits tersebut
dinilai bertentangan dengan sunnah aktual dan hadits-hadits lainnya. 57 Periode penulisan dan kodifikasi
resmi (permulaan abad ke II H), 5). Periode pemurnian, penyihatan, dan penyempurnaan (awal abad ke III
H akhir abad ke III H), 6). Periode penerbitan, pemeliharaan, penambahan, dan penghimpunan (awal
abad IV H- jatuhnya kota Baghdad), 7). Periode penyarahan, perhimpunan, pengtakhrijan, pembahasan
(656 H-sekarang).58

Usaha mempelajari kodifikasi (pembukuan) hadits diharapkan dapat mengetahui sikap diadakan
tindakan umat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli hadits, terhadap hadits serta usaha
pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab
hasil tadwin secara sempurna. Perjalanan hadits pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan
dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka
pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut.

1. Pembukuan Hadits pada Abad II, III, IV, V H


a. Pembukuan Hadis Pada Abad II H

56
Zuliyanti Anik, Astutik wuri,dkk ‘Proses Kodifikasi Hadits’, 2015, hlm. 4
57
Alfatih Suryadilaga Muhammad, ‘Hadits dan Perannya dalam tafsir Konstektual Perspektif Abdullah
Saaed’, 5.2 (2015), hlm. 337
58
Moh. Muhtador, ‘Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadits’, Studi Hadis, 2.2
(2016), hlm. 243.
Secara garis besar, pola penyusunan kitab Hadits yang berkembang pada kurun waktu abad II H
sampai dengan abad IV H dapat dipolakan menjadi empat bentuk metode penulisan kitab Hadits, yaitu:
sunan, mushannaf, jâmi‘, dan musnad. Tiga model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah
yang sama yaitu mengakomodasi kepentingan fikih yang memang menjadi kebutuhan dan lebih dapat
diterima masyarakat Islam pada umumnya. Munculnya kitab-kitab Hadits yang bercorak fiqhi mulai abad
II H yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi pertanda menguatnya pengarusutamaan fikih
yang terjadi di kalangan masyarakat Islam pada saat itu. Al-Kattani menyebutkan bahwa sunan adalah
kitab Hadits yang disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya,
terdapat beberapa Hadits yang dinilai mawquf di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat riwayat-riwayat
yang dinilai mawquf.59

Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hasil periode awal kodifikasi, pada
umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui sistematika penulisan yang baik, dikarenakan
usia kodifikasi yang reatif masih muda sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadits Nabi
Muhammad Saw dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum
mengklasifikasi hadits menurut kelompok-kelompoknya. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798
M), al-Muwaththa’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadits paling tua (disusun pada
pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadits Nabi Muhammad Saw saja tetapi juga fatwa-
fatwa sahabat dan tabi’in.60 Perkembangan hadits mulai sejak abad II Hijriyyah, yakni sejak
dikeluarkannya perintahan resmi dari khilafah Umar bin Abdul Aziz dalam membukukan hadits:

Pertama, fase ahli hadits, para ahli dalam menyusun kitab-kitab hadits juga mengunakan ayat-
ayat Al-Qur’an, atsar-atsar sahabat dan tabi’in, di semua kota besar yang masuk dalam daerah Islam ada
ahliahli haditsnya yang terkenal.

Kedua, fase sampai awal abad III Hijriyah. Dalam fase ini kitab-kitab hadits, khusus hanya
memuat hadits Nabi Muhammad Saw saja, mulai ada. Susunan Hadits yang termaktub dalam beberapa
kitab hadits ada yang berdasarkan nama sahabat periwayat.

Ketiga, fase pada abad II Hijriyah dan seterusnya. Dalam fase ini, merupakan perkembangan
hadits lebih kepada penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah mencapai puncaknya yang tertinggi.
Ilmu-ilmu hadits pada masa ini telah mengalami perkembangan yang pesat. 61
59
Rifqi Muhammad Fatkhi, ‘Dominasi Paradigma Fiqih dalam Periwayatn dn Kondifikasi Hadits, XII.2
(1989), hlm. 104.
60
Muhammad Rusli and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul
Hadis’, 17.1 (2013), hlm. 128
61
Yasin Dutton. Asal Mula Hukum Islam: Alqur`an, Muwatta` dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur.
Yogyakarta: Islamika, 2003.
Dengan demikian karya ulama pada periode ini masih bercampur aduk rata hadits dengan fatwa
sahabat dan tabi’in, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama pada masa ini belum dipiah-pilahantara
hadits marfu’ mauquf, dan maqthu’, dan diantara hadits shahih, hasan dan dha’if.

Pada abad II H ini pula mulai diadakan pemisahan antara hadits tafsir dan hadits padaumumnya,
juga pemisahan hadits sirah dan magaziy. 62

b. Pembukuan Hadis Pada Abad III H

Abad ke III merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H kegiatan pentashihan
hadits Nabi Muhammad Saw mulai dilakukan dengan sistematis, yakni pembukuan hadits yang semata-
mata hadits Nabi Muhammad Saw, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat atau thabi’in. ulama yang
mempelopori kegiatan ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih. Kemudian dilanjutkan oleh Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Al-Turmudzi, An-Nas’I, Ibnu Majah dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka
terciptalah pula syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman,
masa dan lain-lain.

Dari tokoh-tokoh haditts abad ke-3 inilah pada perkembangan berikutnya muncul ilmuan-ilmuan
hadits sekaliber Al-Bukhari, Al-Darimi, Abu Hatim Al-Razi, yang karena kontribusi intelektual
merekalah hadits maupun ilmu hadits maupun ilmu hadits menemukan elanvital-nya sebagai hasanah pola
pikir para cerdik cendekiawan dimasa- masa berikutnya.

Pada masa penyeleksian atau penyaringan hadits ini terjadi pada zaman pemerintahan Bani
Abbasiyah, yakni pada masa tadwin belum bisa memisahkan hadits mauquf dan maqtu’ dan hadits
marfu’. Mereka kemudian membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah hadits itu
shahih atau dhaif. Para perawipun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diselidiki
kejujurannya, kehafalannya dan lain sebagainya. Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan
khalifah Alma’mun sampai pada awal pemerintahan khalifah Almuqtadir dari kekhalifahan dinasti
Abbasiyah. Pada masa ini para ulama memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan
terutama kemurnian hadits Nabi Muhammad Saw sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits
yang semakin marak.

c. Pembukuan Hadis Pada Abad IV dan V H Sampai Sekarang

62
M Jayadi and Kearsipan Khizanah Al-hikmah, ‘Perkembangan Literatur Hadis Pada Masa Awal’, 2015, hlm. 74 .
Setelah berakhirnya kodifkasi hadits pada masa atba’ atba’ al tabi’in proses pengumpulan hadits
masih terus berlanjut. Paling tidak abad IV hingga abad V , di kalangan orang-orang yang bermadhhab
Aswaja, telah disusun beragam kitab hadits dengan metode dan materi yang beragam. 63

Pada peride ini dinamakan masa menghafal dan mengisnadkan. Penghimpunan hadits disertai
pemeliharaannya tetap dilakukan walau tidak sebanyak yang sebelumya. Hanya saja hadits-hadits yang
dihimpun tidaklah sebanyak sebelum periode ini. Didalam era ini jenis kitab-kitab hadits Nabi
Muhammad Saw mencakup sebagian besar kitab-kitab hadits yang sifatnya mengumpulkan kitab-kitab
hadits yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadits Nabi Muhammad Saw sebelumnya. Kegiatan hadits
pada periode ini banyak dilakukan dengan cara lisensi atau sertifikat dari guru untuk murid untuk
mendapatkan izin meriwayatkan hadits dan muktabah (pemberian catatan hadits dari gurunya.

Sepeninggal periode khalifah Abbasiyah ke XVII Al-Mu’tashim (w. 656 H). Periode hadits
dimasa tersebut dinamakan ‘Ashr al- Syarh waal Jami’ wa Al-Takhrij wa Al-Bahts, periodesasi hadits
memasuki masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan. Penulisan ilmu hadits ini
berlanjut hingga masuk masa kematangan dan kesempurnaan pembukuan ilmu hadits pada abad ke VII
hingga pada abad ke X. Pada masa ini, karya-karya seputar ilmu hadits banyak ditulis dan lebih
disederhanakan. Selanjutnya kajian ‘Ulum al-Hadits mencapai tingkat kesempurnaannya dengan
ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadits. Bersama itu dilakukan juga
penghalusan sejumlah ungkapan dan penelitian berbagai masalah dengan mendetail. Sebelum beranjak
lebih dalam, penulis akan sedikit mengulas tentang sejarah penamaan dekade kontemporer. Kata
kontemporer merupakan penisbatan pada zaman. Dalam kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary
dijelaskan, ada dua pengertian dari contemporary. Pertama belonging to the same time (termasuk waktu
yang sama), dan yang kedua, of the present time; modern (waktu sekarang atau modern). Dalam bahasa
Indonesia, kontemporer adalah pada masa kini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode
kontemporer ialah sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.

Perkembangan studi hadits sempat terkendala sejak tahun 656 H hingga 911 H, karena
diakibatkan oleh kejumudan umat Islam hingga waktu itu, sampai akhirnya perkembangan hadits tahun
656 H hingga 911 H mengalami perkembangan kembali dan sudah sampai menerbitkan isi kitab-kitab
hadits, menyaringnya serta menyusun kitab-kitab takhrij. Melihat perkembangan Hadits di era
sebelumnya yang tidak begitu signifikan, maka perkembangan hadits mulai di galakan kembali oleh para
ilmuwan hadits dengan sebuah kemasan menarik, hal inilah yang membuat para ilmuan hadits ingin
memasukan kajian hadits dalam era digital hal ini guna mengembangkan studi hadits di era yang sudah
63
Muhammad Nizar and Ibn Abdul Aziz, ‘Tadwin Al-Hadith ( Kontribusinya Sebagai Penyempurna
Hukum Islam Ke Dua )’, Al-Tsiqah (Dakwah Dan Ekonomi), 4.1 (2019), hlm. 25
memasuki globalisasi, dengan mengembangkan keberadaan internet maka tampak hadits akan terlihat
menarik, hal ini sebagaimana melihat manfaat internet yang dapat mempermudah tata kerja dan
mempercepat suatu proses suatu pekerjaan, sehingga segala sesuatu dapat ditemukan dengan cara praktis
dan cepat. Hal ini, juga telah terdahulu dijelaskan oleh Muhammad alfatih Suryadilaga, Menurutnya
memasuki era kekinian, disaat peradaban manusia sudah berkembang semakin pesat. Mencermati
ungkapan seorang akademi hadits yang produktif di era pasca milenium tersebut, maka sudah sepatutnya
kita sebagai regenarasi selanjutnya memanfaatkan era global dengan kajian hadits. 64

Adapun para ulama hadits Indonesia pada paruh pertama abad XX, menurut catatan Daud Rasyid
Harun, seorang doktor alumni Timur Tengah, bahwa para ulama hadits Indonesia pada masa kurun awal
itu banyak sekali, tercatat sebanyak 69 orang. Namun Daud Rasyid tidak menjelaskan secara langsung
batasan apa yang dipakainya sehingga seorang ulama itu termasuk ahli hadis. Barangkali Daud Rasyid
memakai batasan yang paling umum tentang kriteria ulama tempo dulu, yang biasanya keluasan ilmunya
sangat mumpuni, yang hampir saja menguasai berbagai cabang keilmuan Islam yang sangat banyak
itu.Misalnya seorang ulama Indonesia tempo dulu itu bukan saja ahli tafsir dan fiqh, tetapi dia juga sangat
menguasai hadits, walaupun tidak menyebarkan pengetahuannya itu melalui buku-buku yang ditulisnya,
sehingga tercatatlah para ulama ahli hadits di Indonesia sebanyak itu. 65

Karena melihat perkembangan hadits sendiri yang sekarang sudah ber era digital maka sudah
semestinya kita harus mengetahui bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi
tersebut sudah sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini. Peran kita sebagai
regenerasi hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya guna mengembangkan hirrah kajian
hadits menuju era ke-emasan kembali.

64
Luthfi Maulana, Preodesasi Perkembangan Studi Hadits ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis
Digital )’, 17.1 (2016), hlm. 120 .
65
Khaeruman badri, Perkembangan Hadits di Indonesia pad abad ke XX Badri Khaeruman’, Ilmu Hadits,
2.105 (2017), hlm. 192
Kesimpulan.

At Tadwin atau Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau pembukuan
hadits. Sedangkan menurut terminologi artinya pengumpulan dan penyusunan hadits yang secara resmi
didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan
yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya.

Secara garis besar, pola penyusunan kitab Hadis yang berkembang pada kurun waktu abad II H
sampai dengan abad IV H dapat dipolakan menjadi empat bentuk metode penulisan kitab Hadits, yaitu:
sunan, mushannaf, jami, dan musnad. Tiga model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah
yang sama yaitu mengakomodasi kepentingan fikih yang memang menjadi kebutuhan dan lebih dapat
diterima masyarakat Islam pada umumnya. Munculnya kitabkitab Hadis yang bercorak fiqhî mulai abad
II H yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi pertanda menguatnya pengarusutamaan fikih
yang terjadi di kalangan masyarakat Islam pada saat itu. Al-Kattani menyebutkan bahwa sunan adalah
kitab Hadits yang disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya,
terdapat beberapa Hadits yang dinilai mawquf di dalam kitab-kitab sunan) tidak memuat riwayat-riwayat
yang dinilai mawquf.

Abad ke III merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H kegiatan pentashihan
hadits Nabi Muhammad Saw mulai dilakukan dengan sistematis, yakni pembukuan hadits yang semata-
mata hadits Nabi Muhammad Saw, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat atau thabi’in. ulama yang
mempelopori kegiatan ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih. Kemudian dilanjutkan oleh Al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Al-Turmudzi, An-Nas’I, Ibnu Majah dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka
terciptalah pula syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman,
masa dan lain-lain.

Setelah berakhirnya kodifkasi hadits pada masa at-ba’ at-ba’ al tabi’in proses pengumpulan hadits
masih terus berlanjut. Paling tidak abad IV hingga abad V , di kalangan orang-orang yang bermazhab
Aswaja, telah disusun beragam kitab hadits dengan metode dan materi yang beragam. Karena melihat
perkembangan hadits sendiri yang sekarang sudah ber era digital maka sudah semestinya kita harus
mengetahui bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut sudah
sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini. Peran kita sebagai regenerasi
hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya guna mengembangkan hirrah kajian hadits
menuju era ke-emasan kembali.

BAB VI

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

A. Pengertian Sejarah Perkembangan Hadits

Perkembangan Hadits adalah proses dan fase-fase pembinaan Hadits mulai dari masa Rasulullah
Saw sampai pentadwinan hadits dewasa ini. Yang dimaksud dengan sejarah perkembangan Hadits adalah
masa atau periode- periode yang telah dilalui oleh hadits semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh dalam
pengenalan, penghayatan dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. 66

Oleh karena itu, megkaji sejarah berarti membicarakan atau mengungkap fakta-fakta yang
sebenarnya, sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalan Hadits pada tiap-tiap periodenya
mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara periode satu dengan periode
yang lainnya tidak sama. Sejalan dengan bergantinya waktu, para ulama Muhadditsin membagi beberapa
periode dalam sejarah perkembangan

Sedangkan menurut ulama’ Fiqih (fuqaha), pengertian hadits adalah suatu ketetapan yang datang
dari Rasulullah Saw dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, namun adalah sifat syara’ yang
menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya seperti
shalat sunnah, puasa sunnah dan lain-lain.67

Jadi singkatnya, hadits ialah semua yang datang dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan,
tindakan, ataupun ketetapan beliau. Setelah berlalu masa Rasulullah Saw dimasukkan ke dalam hadits apa
yang datang dari para sahabat, sebab sahabat adalah mereka yang selalu bergaul dengan Nabi Muhammad
Saw, mulai mendengar perkataan beliau hingga menyaksikan perbuatannya, kemudian mereka
menceritakan apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar. Lalu datang kemudian para tabi’in yang
bergaul dengan para sahabat mendengar dari mereka dan melihat perbuatan mereka. 68

66
Prof.DR. T.M.Hasbi ash-Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits.hal 36
67
Prof.DR.T.M.Hasbi ash-Shiddiqiey,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,hal.33
68
Ibid, hal.30
B. Pemgertian Hadits

Sedangkan hadits menurut istilah terdapat perbedaan antara beberapa ulama terutama antara
ulama muhadditsun, ushuliyyun, dan fuqaha’.

1. Menurut ahli hadits atau muhadditsun, pengertian hadits ialah. Seluruh perkataan, perbuatan,
dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad Saw. Sedangkan menurut yang lainnya adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya..
2. Menurut ahli Ushul atau ushuliyyun, pengertian hadits adalah: “Semua perkataan, perbuatan,
dan takrir Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
Atau juga diistilahkan dengan Segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad Saw
yang bersangkutan dengan hukum.

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari
masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi.69 Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman
Nabi Muhammad Saw meneliti dan membina hadits, serta segala hal yang memengaruhi hadits tersebut.
Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadits dalam beberapa periode.

C. Priode Sejarah Hadits.

Para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadits. Ada yang
membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.70

M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode sejak periode Nabi
Saw hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.71

1. Periode Pertama. Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah Saw

Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat Islam).Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi

69
Drs.Fatchur Rahman,Ikhtishar Musthalah al-hadits,hal.31
70
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005, hlm. 29.
71
M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 46
Muhammad Saw yang berfungsi menerangkan AI-Qur’an untuk menegakkan syariat Islam dan
membentuk masyarakat Islam.

Nabi Muhammad Saw menjadi pusat nara sumber, referensi dan tumpuan pertanyaan ketika
mereka menghadapi suatu masalah baik secara langsung atau tidak langsung. Nabi Muhammad Saw
dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasulullah Saw berdakwah, menyampaikan dan
mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya. Nabi Muhammad Saw sebagai sumber hadits menjadi
figure sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktivitas beliau seperti perkataan, perbuatan,
dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya
karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi Muhammad Saw dan tidak seluruhnya selalu
menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban
menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang di dengar dari Rasullah Saw baik ayat-ayat Al-Qur’an
maupun hadits-hadits dari Rasullah Saw.

Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan tenaga dan waktunya
untuk mengabadikan ayat-ayat Al-Qur’an diatas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi
tidak demikian halnya terhadap Al-Hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-
petunjuk dan bimbingan Nabi Muhammad Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-
ketentuan di dalam Al-Qur’an, namun mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam
generasi mendatang selama Al-Hadits belum diabadikan dalam tulisan.

Di masa ini pula Rasullah Saw memberikan larangan penulisan hadits yaitu untuk menghindarkan
adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-Hadits kedalam lembaran-
lembaran tulisan Al-Qur’an , karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasullah Saw. Adalah wahyu
semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak
mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk
antara Al-Qur’an dengan Al-Hadits.

Disamping Rasullah Saw. melarang menulis Al-Hadits, beliau juga memerintahkan kepada
beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis Al-Hadits. Misalanya hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah r.a. menerangkan bahwa sesaat ketika kota Makkah telah dikuasai kembali oleh Rasullah Saw.
Beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia.

Disamping itu , ketika Nabi Muhammad Saw. Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat,
beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah
dan surat tentang seruan dakwah Islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat.
Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa
Nabi Muhammad Saw. telah dilakukan penulisan hadits di kalangan sahabat. Dalam sejarah penulisan
hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya :

a. ‘Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Ash Shadiqah.


b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga dan lain-lain.
c. Anas Ibn Malik.72

Kemudian para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
langsung misalnya saat Nabi Muhammad Saw memberi ceramah, pengajian, khutbah, atau penjelasan
terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari
sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi Muhammad Saw ke
daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi Muhammad Saw.

Pada masa Nabi Muhammad Saw, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah
bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang,
Nabi Muhammad Saw menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan dan
memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.

Dalam pemeliaharaan hadits NabiMuhammad Saw mengandalkan hapalan para sahabat yang
pada umumnya mereka memiliki daya ingat dan daya apal yang kuat. Hadits cukup diingat mereka dan
disimpan dalam dada sedangkan Al-Qur’an disimpan dalam tulisan dan dada mereka sekaligus. Kecuali
bagi mereka yang kurang kuat hapalannya atau memiliki kecakapan tulis-menulis atau bagus tulisannya
tidak ada kekhawatiran tercampur tulisan keduanya, maka diperbolehkan menulis hadits. Penulisan hadits
disini secara pribadi tidak untuk umum berfungsi untuk membantu hapalan mereka karena intinya
dihapal, setelah mereka hapal hadits-hadits tersebut yang mereka catat kemudian catatan itu dibakar
seperti yang dilakukan oleh beberapa sahabat.

2. Periode Kedua. Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H – 40 H)

Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan hadits (As-Sunnah
yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.73

72
Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965.hlm 13.
73
Ibid. hlm. 41-46.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab, periwayatan hadits tersebar secara
terbatas. Penulisan hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu,
kedua khalifah melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits,dan sebaliknya, beliau
menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an. 74

Kebijakan kedua Khalifah tersebut dapat dimaklumi, mengin75gat bahwa masyarakat pada waktu
itu selum seluruhnya mengenal Al-Qur’an sebagai dasar syari’at yang pertama. Terutama bagi masyarakat
yang baru saja menerima dakwah Islamiyah, Al-Qur’an masih asing baginya. Kebijaksanaan itu bukan
berarti menghambat Al-Hadits untuk berkembang, melainkan hanya belum menaruh perhatian secar
sempurna.

Dimasa ini beliau meriwayatkan hadits yakni dengan :

a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hapal benar lafazh dari Nabi Muhammad Saw
b. .Dengan maknanya saja yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli
dari Nabi Muhammad Saw.

Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul lafadh aslinya, di samping mereka
hanya mementingkan dari segi isinya yang benar-benar dibutuhkan disaat itu. System meriwayatkan
hadits dengan maknanya saja tidak dilarang oleh Rasullah Saw. Berlainan dengan meriwayatkan Al-
Qur’an susunan bahasa dan maknaya sedikit pun tidak boleh diubah, baik dengan mengganti lafadh
muradlif (sinonim)-nya yang tidak mempengaruhi isinya, teristimewa kalau sampai membawa perbedaan
makna. Hal itu disebabkan karean lafadh dan susunan kalimat Al-Qur’an itu merupakan mukjizat Allah
Swt. Tetapi di dalam meriwayatkan Al-Hadits yang dipentingkan ialah isinya. Adapun lafadh dan susunan
bahasanya diperbolehkan menggunakan lafadh dan susunan kalimat lain, asalkan kandungan dan
maknanya tidak berubah.

3. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in

Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya
periwayatan hadits).76 Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya
para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan
dan penyebaran ilmu hadits.
74
Ash- Shiddieqy. Op. cit. hlm. 62.
75
Ibid. hlm. 63.
76
Ibid. hlm. 47-54. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.hlm. 69-78
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi Muhammad Saw
diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadits kepada
sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di
samping tersebarnya periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk
mencari haditspun menjadi ramai.

Faktor lain yang menyebabkan para sahabat mengadakan perlawatan ke berbagai wilayah untuk
mencari hadis atau mencari ilmu karena para sahabat senior pasca Khulafa Ar-Rasyidin (41-98H) telah
pindah ke berbagai kota lain pada masa perluasan ekspansi wilayah Islam.

Karena meningkatnya periwayatan hadits, munculah bendaharawan dan lembaga-lembaga


(Centrum Perkembangan) hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Diantara bendaharawan hadits yang
banyak meneriama, menghapal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:

a. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi beliau meriwayatkan 5.374 hadis, sedangkan menurut Al-
Kirmany beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
b. ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadits.
c. ‘Aisyah, istri Rasulullah Saw. Meriwayatkan 2.276 hadits.
d. ‘Abullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadits
e. Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
f. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1. 170 hadits.77

Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik antara
pendukung Ali dan Mu’awiyah. Terpecah menjadi tiga golongan :

1) Khawarij, golongan pemberontak yang tidak suka dengan perdamaian (tahkim) dua golongan
yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung Ali, tetapi kemudian mereka keluar
(Khawarij jamak dari kharij artinya keluar) dari dukungannya terhadap Ali karena Ali
menyetujui perdamaian.
2) Syia’ah, pendukung setia terhadap Ali, diantara mereka fanatic dan terjadi pengkultusan
terhadap Ali.
3) Jumhur muslim, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan Ali, ada yagn
mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula netral tidak mau melibatkan diri dalam
kancah politik.

77
Soetari. Op.cit. hlm.48
Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu (maudhu’) untuk
mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai di atas dan untuk
mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya hadits maudhu dalam sejarah yang
merupakan dampak konflik politik secara internal.

Dari berbagai keterangan telah didapat catatan atau penulisan hadits sebelum pengkodifikasian
secara resmi berdasarkan intruksi seorang khalifah. Diantara dokumen penting adalah sebagai berikut :

a) Ash-Shahifah Ash-Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Al-Ash(w.65 H). tulisan ini
berbentuk lembaran-lembaran sesuai dengan namanya ash-shahifah (lembaran), memuat
kuran lebih 1000 hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan kitab-kitab
Sunan lain. Ash-Shahifah ini dokumentasi penting, ilmiah, dan bersejarah karena ia tulis
dengan tangannya sendiri dan mendapat izin dari Rasullah SAw. Oleh karena itu dinamakan
Ash-Shadiqah artinya benar-benar diterima Nabi Muhammad Saw secara langsung tanpa ada
perantara.
b) Ash-Shahifah Jabir bin ‘Abd Allah An-Anshari (w. 78 H) yang diriwayatkan oleh sebagian
sahabat. Jabir mempunyai majlis atau halaqah di Masjid Nabawi dan mengajarkan hadits-
haditsnya secara imlak atau dikte.
c) Ash-Shahifah Ash-Shahihah, catatan salah seorang tabi’in Hammam bin Munabbih (w. 131
H). Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan dari sahabat besar Abu Hurairah, berisikan kurang
lebih 138 buah hadis. Hadisnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnad-nya dan oleh Al-Bukhari dalam berbagai bab.

Adapun lembaga-lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan
pengembangan hadits terdapat di:

(1) Madinah, dengan tokoh-tokohnya : Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah. ‘Aisyah, Ibn Umar,
Sa’id- Al Khudri, Zid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), ‘Urwah, Sa’id Az-Zuhri, ‘Abdullah
Ibn Umar, Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar, Nafi’, Abu Bakar Ibn Ar-Rahman Ibn
Hisyam Dan Abu Zinad (dari kalangan tabiin).
(2) Mekah, dengan tokoh-tokohnya : Ali, ‘Abdullah Ibn Mas’ud, Sa’ad Ibn Abi Waqas, Sa’id Ibn
Zaid, Khabbah Ibn Al-Arat, Salman Al-Farisi, Abu Juhaifah (sahabat), Masruq, Ubaididah,
Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa’id Ibn Jubair, Amir Ibn Syurahil, Asy-Sya’bi (tabi’in).
(3) Bashrah, dengan tokoh-tokohnya : Anas Ibn Malik, ‘Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah,
Ma’qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd Ar-Rahman Ibn Sumirah, ‘Abdullah Ibn Syikhkhir,
Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu Al-Aliyah, Rafi’ Ibn Mihram Al-Riyahi, Al-Hasan Al-
Bishri, Muhammad Ibn Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf Ibn ‘Abdullah
Ibn Syikhkhir, Abu Bardah Raja’ Ibn Abi Musa (tabiin).
(4) Syam, dengan tokoh-tokohnya : Mu’adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamid, Abu Darda
(sahabat), Abu Idris Al-Khulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ Bn Haiwah (tabiin).
(5) Mesir, dengan tokoh-tokohnya : ‘Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn
Hudzaifah, ‘Abdullah Ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Saad Al-Khair, Martsad Al-Yaziri,
Yazid Ibn Abi Habib (tabi’in).78
4. Periode Keempat : Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif
pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada
masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi Muhammad Saw. 79

Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.[13] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para
perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir
apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada
kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para
penghapalnya ke alam barzakh.80

Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur
Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits,
Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadits Rasulullah Saw yang
terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah
Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan
hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M),
seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.81

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah
kekuasaannya untuk membukukan hadits yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-
masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr
78
Ibid. hlm. 48-49. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.hlm. 74-76
79
Ibid. hlm. 78-88
80
Soetari. Op.cit.hlm.54
81
Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn
Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar.
LihatAsh-Shidieqy. op.cit. hlm. 79.
Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh
dan hadits. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran Khalifah. 82

Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim
Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits pada
masanya.

Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadits atas anjuran Abu `Abbas As-
Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.

Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :

a. Pengumpul pertama di kota Makkah, Ibnu Juraij (80-150 H).


b. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H).
c. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H).
d. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.).
e. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H).
f. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
g. Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
h. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
i. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
j. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).83

Semua ulama yang membukukan hadits ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah. Kitab-
kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak.
Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadits adalah:

1) Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H).


2) Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3) Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
4) Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
5) Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
6) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
7) Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
8) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
82
Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said
Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.
83
Ibid.hlm. 81
9) Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy
10) .A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H)
11) .Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
12) Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
13) Mukhtalif Al-Hadits, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.84

Sebagaimana disebutkan pada nama-nama buku tersebut yaitu al-mushanaf, al-muwaththa’ dan
musnad. Arti istilah-istilah ini adalah :

a) Al-Mushanaf, dalam bahasa diartikan sesuatu yang tersusun. Dalam istilah yaitu teknik
pembukuan hadits yang didasarkan pada klasifikasi hokum fikih dan didalamnya
mencantumkan hadits mafu’,mawquf dan maqthu. Misalnya al-mushanaf oleh Abdul-Razzaq
bin Hammam Ash-Shan’ani.
b) Al-Muwaththa’, dalam bahasa diartikan sesuatu yang dimudahkan. Dalam istilah al-
muwaththa’ diartikan sama dengan Mushannaf yaitu teknik pembukuan hadits yang
didasarkan pada klasifikasi hukum fikih dan di dalamnya mencantumkan hadits marfu’,
mawquf dan maqthu’. Misalnya al-muwaththa’ Imam Malik (w. 179 H) dan Al-Muwaththa’
Ibn Dzi’ib Al-Marwazi (w. 158 H).
c) Musnad, dalam bahasa tempat sandaran sedangkan dalam istilah adalah pembukuan hadits
yang didasarkan pada nama para sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, sepetri Musnad
Asy-Syafi’i. Berarti hadits-hadits yang dihimpun Asy-Syafi’I sistematisnya disandarkan atau
didasarkan nama para sahabat yang meriwayatkannya.

Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan,
Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn
Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.85

5. Periode Kelima. Masa Men-tashih-kan Hadis dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya

Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij,
kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan
menghafal hadits, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. 86

84
Ibid.hlm. 83
85
Ibid.hlm. 88
86
Ibid.hlm. 89-104
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kotanya masing-
masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan
hadits. Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah,
Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan Himsh.

Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai
daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.

Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa
mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah
terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadits, para
ulama pun melakukan hal-hal berikut:

a. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa,
dan lain-lain.
b. Memisahkan hadits-hadits yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadist.

U1ama hadits yang mula-mula menyaringdan membedakan hadits-hadits yang sahih dari yang palsu
dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang sangat termasyhur.

Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari.
Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia
hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh
muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.

Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak
Bukhari dan Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-
kitab hadis yang dikenal dan menjadi buku Induk Hadits yang dijadikan pedoman dan referensi para
ulama hadits berikutnya, yaitu :

1) Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Bukhari (194-256 H).


2) Al-Jami’ Ash-Shahih Muslirn bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261)
3) Sunan Abu Dawud (202-276H).
4) Jami’ At-Tirmidzi (209-269)
5) Sunan An-Nasa'i (215-303H).
6) Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-276H)
Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.

Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh
para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian
dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.

D. Tokoh-tokoh Hadits.

Tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini adalah:

1. `Ali Ibnul Madany.


2. Abu Hatim Ar-Razy.
3. Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari.
4. Muhammad Ibn Sa'ad.
5. Ishaq Ibnu Rahawaih.
6. Ahmad
7. Al-Bukhari
8. Muslim
9. An-Nasa'i
10. Abu Dawud
11. At-Tirmidzi
12. Ibnu Majah
13. Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.87

Sebagian ulama pada periode ini juga ada yang mengkodifikasi hadits berdasarkan nama
periwaya para sahabat yang diperolehnya antara lain :

a. Al-Musnad, susunan Musa Ibn ‘Abdillah Al-‘Abasy


b. Al-Musnad, susunan Musaddad ibn Musarhad
c. Al-Musnad, susunan Asad Ibn Musa
d. Al-Musnad, susunan Abu Daud Ath Thayalisy (w. 204 H)
e. Al-Musnad, susunan Nu’aim ibn Hammad
f. Al-Musnad, susunan Abu Ya’ala Al-Maushuly
g. Al-Musnad, susunan Al-Humaidy

87
Ibid.hlm. 101-102
h. Al-Musnad, susunan ‘Ali Al-Madaidi
i. Al-Musnad, susunan ‘Abid ibn Humaid (249 H)
j. Al-Musnadu Al-Mu’allal, susunan Al-Bazzar
k. Al-Musnad, susunan Baqiy ibn Makhlad (201-296 H)
l. Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H)
m. Al-Musnad, susunan Muhammad ibn Nashr Al-Marwazy
n. Al-Musnad, susunan Ahmad ibn Ahmad
o. Al-Musnad, susunan Abu Bakr ibn Abi Syaibah (235 H)
p. Al-Musnad, susunan Abu Al-Qasim Al-Bagdawy (214 H)
q. Al-Musnad, susunan ‘Utsman ibn Abi Syibah (239 H)
r. Al-Musnad, susunan Abdul Husain ibn Muhammad Al-Masarkhasy(298H)
s. Al-Musnad, susunan Ad-Darimi
t. Al-Musnad, susunan Sa’id ibn Mansur (227 H)
u. Tahdzibu Al-‘Atsarm, susunan Al-Imam ibnu Jarir
v. Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Bukhari
w. Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Muslim
x. As-Sunan, susunan An-Nasa’i
y. As-Sunan, susunan Abu Dawud
z. As-Sunan, susunan At-Tirmidzi
aa. As-Sunan, susunan Ibnu Majah
bb. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Al-Jarud
cc. Ath-Thabaqat, susunan Ibnu Sa’ad.88

Perkembangan pembukuan hadis pada periode ini ada 3 bentuk yaitu:

1) Musnad, adalah menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan
masalah atu topiknya, tidak perbab seperti fikih dan kualitas hadisnya yang shahih, hasan dan
dha’if. Misalnya Musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Musnad Ahmad bin Rahawaih.
2) Al-Jami’, adalah teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi Sembilan masalah yaitu
aqa’id, hokum, perbudakan (riqaq),adab makan minum, tafsir, tarikh, dan sejarah, sifat-sifat
akhlak (syama’il), fitnah(fitan) dan sejarah (manaqib). Misalnya Al-jami’u Ash-Shahih,
susunan Bukhari dan Al-jami’u Ash-Shahih, susunan Muslim.
3) Sunan, adalah teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fikih, setiap bab membuat
beberapa hadis dalam satu topic. Misalnya Sunan An-Nisa’I dan Sunan Abu Dawud.

88
Ibid. hlm. 103
6. Periode Keenam. Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.

Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah
angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'. 89
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan
hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiridan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para
penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya. Setelah
abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya
digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari
kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para
penghapalnya.

Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga.
Kitab-kitab itu antara lain:

a. Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah


b. At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
c. Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
d. Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
e. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
f. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.90

Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:

1) Mengumpulkan Hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang


mengumpulkan hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-
Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H),
Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq
Al-Asybily(582 H).
2) Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam. Di antara kitab yang mengumpulkan hadits-
hadits kitab enam, adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul
Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
3) Mengumpukan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab. Di antara kitab-kitab yang
mengumpulkan hadits-hadits dari berbagai kitab adalah: (a) Mashabih As-Sunnah oleh Al-
89
Umarie. op.cit.hlm.20. lihat Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm. 114-126
90
Ash-Shiddieqy. op.cit. hlm.115-116
Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (b) Yami'ul Masanid wal Alqab, oleh Abdur
Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (c) Bakrul Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad
Al-Samarqandy (49I H).
4) Mengumpulan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf. Diantara kitab-kitab
yang mengumpulkan hadis hokum adalah Muntaqal Akbar, As-Sunannul Kubra dan Al-
Ahkamus Sughra.91

Perkembangan teknik pembukuan hadis pada abad ini yakni abad 4-6 H sebagai berikut :

a) Mu’ajam, artinya penghimpunan hadits yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara
abjad (alphabet) seperti Al-Mu’ajam Al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (w.360 H).
Atau diartikan seperti Kamus ialah penghimpunan Hadits didasarkan pada nama masyayikh-
nya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad seperti Al-Mu’ajam Al-Awsath oleh
penulis yang sama.
b) Shahih, artinya metode pembukuan mengikuti metode pembukuan hadits Shahihayn (Al-
Buhkari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shahih saja menurut penulisnya
seperti Shahih bin Hibban Al-Bas’ti (w. 354 H) dan lain-lain.
c) Al-Mustadrak, artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab
Al-Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya, seperti Al-
Mustadrak ‘ala Al-Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H)
d) Sunan, artinya metode penulisannya seperti kitab sunan Abad sebelumnya yaitu cakupannya
hadits-hadits tentang hokum sepeti fikih kualitasnya meliputi shahih, hasan dan dha’if seperti
Muntaqa Ibn Al-Jarud (w. 307 H)
e) Syarah, artinya penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama
maksud dan makna matan hadis atau pemecahan jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau
hadits lain, misalna Syarh Ma’ani Al-Atsar dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-Thahawi
(w. 321 H).
f) Mustakhraj, artinya seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits dari
sebuah buku hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad
sendiri, misalnya MustkhrajAbi Bakr Al-Isma’ili ala Shahih Al-Bukhari (w. 371 H).
g) Al-Jum’u, artinya gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, Al-Jam’u
Bayn Ash-Shahihyn yang ditulis oleh Isma ‘il bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Al-Furat
(w. 401 H) Al-Jam’u Bayn Ash-Shahihayn ditulis Al-Husin bin Mas ‘ud Al-Baghawi (w.516
H), At-Tajrid li Ash-Shahah wa As-Sunan gabungan Shahihayn, Al-Muwaththa’, dan kitab-

91
Ibid. hlm. 119-121
kitab sunan selain Ibnu Majah, ditulis oleh Abu Al-hasan Razin bin Mu’awiyah As-Sirqisthi’
(w. 535 H) dan Jami’ Al-Ushul li Ahadits Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari
(w. 606 H) gabungan enam kitab hadits.

Perkemabangan penulisan hadits pada abad intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadits
terdahulu secara tematik, baik dari matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat islam untuk
mempelajarinya sebagai berikut :

(1) Al-Mawdhu’at, yaitu menghimpun hadits-hadits yang mawdhu (palsu) saja ke dalam sebuah
buku, seperti Al-Mawdhu’at ditulis oleh Al-Asbahani (w.414 H).
(2) Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadits-hadits tentang hokum saja seperti fikih, misalnya Al-
Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H).
(3) Al-Athraf, yaitu teknik pembukuan hadits dengan menyebutkan permulaan haditsnya saja,
misalnya Athraf al-kutub al-sittah (Atgaf kitab enam yaitu Shahihayn dan kitab-kitab Sunan
selain Ibn Majah) ditulis oleh Al-Maqdish dikenal Ibnu Al-Qisrani (w. 507 H).
(4) Takhrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadits yang ada dalam buku hadits
atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya.
Misalnya Irwa’ Al-Ghalil fi Tkhrij Ahadits Manmar Al-Sabil oleh Nashiruddin Al-Albani.
(5) Zawa’id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti musnad dan Mu’jam ke
beberapa buku induk hadits. Misalnya Majma’Al-Zawa’id wa Manba’ Al-Fawa’id ditulis
oleh Al-Haitami (w. 807 H).
(6) Jawami’ atau Jami’, yaitu sebuah kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw secara mutlak, seperti Al-Jami’ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan
Jami’ Al-Jawami dan Al-Jami’ Ash-Shaghir tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).92

7. Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w.
656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-
Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan. 93

92
Az-Zahrani Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm. 246
93
Umarie. op. cit. hlm. 21; Lihat Ash-Shidieqy. op. cit. hlm. 126-134.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits,
menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami' yang umum.

Pada .periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadits yang terdapat
dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu
Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id
yang lain.

Di samping itu, para ulama hadits pada periode ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat
dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami' Al-Masanid wa As-
Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami'ul Jawami susunan Al-
Hafidz As-Suyuthi (911 H).

Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadits-hadits yang tidak disebut perawinya
dan pen-takhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan
hadits-hadits itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadits
TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh
Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh inipun muncul ulama-ulama hadits yang
menyusun kitab-kitab Athraf, di antaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al- Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-
`Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan masih
banyak lagi kitab Athraf yang lainnya.

Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah:

a. Adz-Dzahaby (748 H).b. Ibnu Sayyidinnas (734 H).c. Ibnu Daqiq Al-`Ied.d. Muglathai (862
H).e. Al-Asqalany (852 H).f. Ad¬Dimyaty (705 H).g. Al-`Ainy (855 H).h. As-Suyuthi (911
H). i. Az-Zarkasy (794 H).j. Al-Mizzy (742 H). k. Al-`Alay (761 H). l. Ibnu Katsir (774 H).
m. Az-Zaily (762 H). n. Ibnu Rajab (795 H). o. Ibnu Mulaqqin (804 H).p. Al-Bulqiny (805
H). q. Al-`Iraqy (w. 806 H).r. Al-Haitsamy (807 H). s. A’ u Zurah (826 H).94

94
Ibid. hlm. 132.
Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Penyebab dari Kodifikasi Hadits itu sendiri dikarenakan telah banyaknya para sahabat atau
ulama penghapal hadist yang meninggal dunia.
2. Penyebab Kedua adalah banyaknya beredar Hadits-hadits palsu sehingga perlunya kodifikasi
hadits yang mulai dilaksanakan secara perdana dan massal pada masa pemerintahan Khalifah
Umar Ibn Abdil Aziz. Yang mereka hanya memperkuat eksistensi golongan dan rasa mereka
saja.
3. Pada Kodifikasi Hadits ini melahirkan berbagai ulama dan tokoh-tokoh Seperti yang kita
kenal sampai sekarang yaitu Perawi Hadits-hadits shahih seperti Imam Bukhari dan Muslim,
At-Tharmidzi, Abu Daud, dan lain-lain yang masih banyak lagi
4. Dari sejarah kodifikasi hadits ini, kita bisa mengetahui kapan masa jaya, kapan masa
kodifikasi yang banyak memunculkan para ulama ahli hadits yang banyak menghasilkan
kitab-kitab hadits dan pada masa periode siapa kitab-kitab hadits shahih bermunculan, mulai
dari pertama kali di kodifikasi sampai pada masa periode terakhir kemunduran islam itu
sendiri.

BAB VII

HADIST MUTAWATIR AHAD DAN MASYHUR

A. Pengertian Hadits

Kata hadits (Arab: hadits) secara etimologis berarti “komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam
konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah peristiwa dan kejadian aktual. 95

95
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1998) hlm.31.
Dengan demikian, maka sesuatu yang yang disandarkan kepada beliau sebelum beliau diangkat
menjadi Rasul, bukanlah Hadis.

Sedangkan secara istilah (terminologi), para ahli memberikan defenisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai
dengan latar belakang disiplin ilmunya.96 Seperti pengertian hadits menurut ahli ushul akan berbeda
dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadis.

Menurut ahli hadis, pengertian hadits ialah:

“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”

Yang dimaksud dengan “hal ikhwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw
yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahirann, dan kebiasaan-kebiasaanya.

Sementara para ushul fiqih memberikan pengertian hadits adalah. Segala perkataan Nabi
Muhammad Saw, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.

Berdasarkan pengertian hadits menurut ahli ushul fiqih ini jelas bahwa hadits adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang
berhubungan dengan hukum dan ketentuan-ketentuan Allah yang di syariatkan kepada manusia. Selain itu
tidak bisa dikatakan hadits.

Hadits adalah sumber hukum yang pertama setelah Al-Qur’an. Selain berkedudukan sebagai
sumber, ia juga berfungsi sebagai penjelas, pemerinci, dan penafsir Al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, maka
kajian tentang hadits memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu-ilmu sumber di dalam Islam.

B. Hadits Mutawatir.

Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadits terbagi menjadi dua yaitu:

1. Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fa’il dari kata al-tawatur, yang berarti al-tatabu,
yaitu berturut-turut. Pengertian etimologis ini, bila dikaitkan dengan hadits menunjukkan
pada hadits mutawatir itu antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain pada

96
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hlm. 2.
generasi sebelum dan sesudahnya terjadi hubungan yang berturut-turut, runtu sehingga tidak
berputus-putus dikarenakan jumlah pada masing-masing generasi cukup banyak. 97
2. Menurut istilah Ulama hadits, Mutawatir berarti.hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak
yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dusta.

Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadits
shahih yang di riwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil
mereka sepakat berdusta. Hadits itu diriwayatkan oleh banyak periwayat pada awal, tengah, sampai akhir
sanad dengan jumlah tertentu.

Kriteria Hadis Mutawatir yaitu :

a. Diriwayatkan oleh banyak perawi

Mengenai jumlah periwayat, para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal dari kriteria
banyak. sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah minimal “banyak” itu adalah empat. Ulama lain
berpendapat 5, 7, 10, 12, 40, 70 dan ada yang berpendapat 300 orang , lebih. Mengutip pendapat sebagian
ulama, al-suyuthi menyetakan bahwa pendapat yang terpilih (al-mukhtar) adalah sepuluh orang karena
merupakan batas minimal bilangan banyak.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa diantara ulama ada yang menetapkan jumlah tertentu
dan ada pula yang tidak menetapkannya. Menurut ulam yang tidak menetapkan tertentu, yang penting
dalam jumlah itu menurut akal sehat dan adat kebiasaan dapat memberikan keyakinan terhadap kebenaran
apa yang di beritakan dan mustahil para periwayat itu sepakat untuk berdusta.

b. Jumlah tersebut harus terdapat pada setiap lapisan atau tingkatan sanad.
c. Mustahil menurut adat bahwa mereka dapat sepakat untuk berbuat dusta
d. Sandaran riwayat mereka adalah pancaindera, yaitu sesuatu yang dapat dijangkau oleh
pancaindera (mahsusat), umpamanya melalui pendengaran atau penglihatan.
C. Macam-macam Hadits Mutawatir.
1. Mutawatir Lafhzi.

Yang dimaksud dengan hadits Mutawatir Lafhzi adalah Hadis yang Mutawatir lafhaz dan
maknanya. Atau hadits yang Mutawatir riwayatnya pada suatu lafaz.

Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits mutawatir lafzhi sangat sedikit jumlahnya. Salah
satu contohnya adalah hadits tentang ancaman berdusta terhadap Rasulullah Saw.
97
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm.130.
“Barang siapa yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan
tempatnya di neraka. (hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat).

2. Mutawatir Ma’nawi.

Mutawatir Ma’nawi ialah hadits yang diriwayatkan secara makna namun tidak secara lafal.
Hadits yang Mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya. Contoh. “Hadits tentang mengangkat tangan
ketika berdo’a”.

Telah diriwayatkan lebih dari seratus hadits mengenai mengangkat tangan ketika berdo’a, namun
dengan lafazh yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.98

3. Mutawatir Amali

Mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama
dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi Muhammad Saw mengerjakannya, menyuruhnya,
atau selain dari itu. Macam hadits Mutawatir amali ini banyak jumlahnya seperti hadits yang
menerangkan waktu shalat, rakaat shalat, shalat jenazah, shalat id, tata cara shalat, pelaksanaan haji dan
lain-lain.

D. Hukum dan Kedudukan Hadis Mutawatir.

Status dan hukum hadits Mutawatir adalah qat’i al-wurud, yaitu pasti keberadaanya dan
menghasilkan ilmu yang dharuri (pasti). Oleh karenanya, adalah wajib bagi umat Islam untuk menerima
dan mengamalkannya. Dan karenanya pula, orang yang menolak hadits Mutawatir dikumkan kafir.
Seluruh hadis mutawatir adalah Maqbul, dan karena itu pembahasan mengenai keadaan para perawinya
tidak diperlukan lagi.99

E. Hadits Ahad.

Secara bahasa kata ahad atau wahid berarti satu. Khabar ahad atau khabar wahid, di pahami
sebagai berita yang disampaikan oleh satu orang.adapun menurut terminologi ulama hadits, hadits ahad
adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat hadits mutawatir..

98
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Citapustaka Media, 2005) hlm.146.
99
Nawir Yuslem, Op, Cit., hlm.207.
Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bhuti, hadits ahad adalah hadits yang sanadnya shahih
dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi Muhammad Saw) tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu,
dua atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir.

1. Macam-macam hadits ahad.


a. Hadits Masyhur.

Secara bahasa, kata Masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti al-zhuhur, yaitu nyata.
Sedangkan pengertian hadits Masyhur menurut istilah ilmu hadits adalah Hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad selama tidak sampai kepada tingkat mutawatir.

Defenisi di atas menjelaskan bahwa hadits masyhur adalah hadits yang memiliki perawi
sekurang-kurangnya tiga orang, dan jumlah tersebut harus terdapat pada setiap tingkatan sanad.

b. Macam-macam hadis mashur.100


1) Mashur di kalangan ahli hadits, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi
atau lebih. Contohnya: bahwasanya Rasulullah Saw. Membaca do’a qunut sesudah
rukuk selama satu bulan penuh, berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan.
2) Masyhur di kalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama lain dan dikalangan orang
umum, seperti: orang Islam (yang sempurna) itu adalah: orang-orang Islam lainnya
selamat dari lidah dan tangannya.(HR Muslim).
3) Masyhur dikalangan ahli fiqih, seperti. “Rasulullah Saw. Melarang jual beli yang di
dalamnya terdapat tipu daya”. (HR. Muslim).
4) Masyhur dikalangan ahli ushul fiqih, seperti. “Apabila seorang hakim memutuskan
suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh
dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan pabila ijtihadnya salah, maka
ia memperoleh suatu pahala (pahala ijtihad)”. (HR Muslim)
5) Masyhur dikalangan ahli sufi, seperti “Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui
Aku mereka pun kenal padaKu”.
6) Masyhur dikalangan orang awam seperti. “Tergesa-gesa itu adalah (perbuatan) setan.
(HR Tirmidzi)

100
Munzier Suparta, Op, Cit., hlm.113.
2. Contoh hadits masyhur.

Diantara contoh hadits masyhur adalah hadits tentang niat. Bunyi hadits tersebut yaitu.“Amal itu
(sah) dengan niat dan seseorang hanya memperoleh apa yang di niyatkannya. Hadits ini pada generasi
pertama, kedua, ketiga, dan keempat, hanya diriwayatkan satu orang saja. Namun pada generasi
selanjutnya diriwayatkan oleh banyak periwayat.

c. Hadits ‘Aziz

Secara leksikal kata ‘Aziz berarti qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi) yang berasal dari kata
‘azza, ya’izzu.101 Secara terminologis, Ibn Hajar al-‘Asqalani memilih defenisi hadits ‘aziz sebagai
berikut. (Hadits yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi, sekalipun dua orang ini di temukan
masih dalam satu generasi, kemudian setelah itu ada banyak orang yang sam meriwayatkannya).

Defenisi ini menunjukkan bahwa apabila dalam salah satu generasinya kurang dari dua perawi,
maka tidak termasuk kedalam hadits ‘aziz. Sebab jumlah minimal para perawi untuk hadis ‘aziz, adalah
dua orang. Namun, pabila ada satu atau dua generasi periwayatnya memiliki tiga atau empat orang
perawi, tetapi ditemukan pada generasi tersebut yang meriwayatkan dua orang saja, maka hadits tersebut
masih termasuk ke dalam kelompok hadits ‘aziz.

d. Pembagian hadits dan kehujjahan hadits‘aziz.

Kualitas hadis ‘aziz terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu sahih, hasan dan daif. Pembagian ini
tegantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang berkaitan dengan
kualitas ketiga kategori tersebut secara umum.

Di antara contoh hadis ‘aziz, adalah. (Dari Abu Hurairah ra.bahwasanya Rasulullah Saw
bersabda, “tidak beriman salah seorang kamu sehingga ia lebih mencintai aku daripada ayah, anaknya dan
semua manusia”).

e. Hadits gharib.

Menurut bahasa, kata gharib adalah shifat musyabbahat yang berarti al-munfarid atau al-baid ‘an
aqaribihi, yaitu yang menyendiri atau jauh dari kerabatnya.

Gharib menurut istilah ilmu hadis berarti. Yaitu hadits yang menyendiri seorang perawi dalam
periwayatnya.

101
Ibid, hlm.154.
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan sanad, bahwa setiap hadits yang di riwayatkan oleh
seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagiantingkatan dan bahkan mungkin hanya
pada satu tingkatan sanad, maka hadits tersebut dinamakan hadits Gharib.

f. Pembagian hadits gharib.Hadits gharib terbagi dua, yaitu Gharib Mutlaq dan Gharib
Nisbi.
1) Gharib Mutlaq, yaitu. Hadits yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya
pada asal sanad.Contoh hadits Gharib Mutlaq adalah. (Nabi Saw. Bersabda, “Iman itu
memiliki tujuh puluh tiga cabang, malu merupakan salah satu dari cabangnya
tersebut.).
2) Gharib Nisbi, adalah. “Hadits yang terjadi Gharib dipertengahan sanadnya”.Hadits
Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada
asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun di pertengahan sanadnya tedapat
tingkatan yang perawinya hanya sendiri atau satu orang).Contoh hadits Nisbi ialah
(kami diperintahkan Rasulullah Saw untuk membaca surah Al-fatihah dan surah yang
mudah dari Al-Qur’an. HR Abu daud).

Hadits ini hanya diriwayatkan oleh perawi Basrah yaitu sa’id meriwayatkan kepada Abu
Nadhrah, Abu Nadhrah meriwayatkan kepada Qatadah, Qatadah meriwayatkan kepada Hammam,
Hammama meriwayatkan kepada Abu al-Walid ath-Thayalisi, baru di takhrij oleh Ab Daud.

Kesimpulan

Kata hadits (Arab: hadits) secara etimologis berarti “komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam
konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah peristiwa dan kejadian aktual.

Dengan demikian, maka sesuatu yang yang disandarkan kepada beliau sebelum beliau diangkat
menjadi Rasul, bukanlah Hadits.

Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari segi segi kuantitasnya. Maksud
tinjauan dari segi kuantitas di sini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber
adanya suatu hadits. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir,
mashur dan ahad dan ada juga yang membaginya menjadi dua yaitu, hadits mutawatir dan ahad.

BAB VIII

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS SANAD SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF

A. Hadits Shahih.

Pengertian Hadits Shahih


Kata “Shahih” dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata “as-saqim” orang yang sakit,
jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil,
Dhabth, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya
syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).102

Atau bisa disimpulkan juga bahwa hadits shahih adalah hadits yang sanadnya muttashil
(bersambung) melalui periwayatan para perawi yang ‘adil, dhabth dan mutqin di setiap thabaqahnya
hingga berakhir ke ujung sanadnya, terbebas dari berbagai penyakit seperti syaadz (keganjilan) ataupun
mu’allal (mempunyai cacat atau ‘illat).

Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi.

Shahih lidzatihi (dalam bahasa Indonesia bermakna shahih dengan zatnya) yaitu hadits yang telah
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan di atas, atau dengan kata lain, ia memang telah
shahih dengan sendirinya tanpa bantuan penguat dari jalur lain.

Shahih lighairihi (bermakna : shahih dengan selainnya) yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-
syarat di atas secara maksimal seperti misalnya diantara para perawinya ‘adil namun ada yang kurang
dhath atau kurang mutqin, dan ia dikuatkan oleh perawi lain yang satu thabaqah dengannya dari jalur
yang lain, jadi ia shahih dengan bantuan penguat dari jalur lain.

Diantara syarat-syarat perawi ‘adil, yaitu ia haruslah beragama Islam, telah baligh, berakal atau
mumayyiz, selamat dari sifat fasiq dan selamat dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak Islami. 2 syarat:

Pertama diwajibkan ketika ia menyampaikan hadits, adapun untuk menerima hadits maka tidak
disyaratkan ia telah baligh dan mumayyiz.Dan kedhabithan para perawi hadits terbagi menjadi dua, yaitu
dhabth hapalan (hifzh), maksudnya adalah ia menguasai hadits dengan hapalan-hapalannya.

Kedua adalah dhabth kitab, maksudnya adalah ia menguasai hadits dengan bantuan catatan-
catatannya atau kitabnya. Oleh karena itu kerapkali kita temukan perkataan para ulama ketika men-jarh
wa ta’diil mengenai seorang perawi, “Fulan shahih jika meriwayatkan dari kitabnya, adapun dari
hapalannya maka ia dha’iif,” dan sebaliknya.

Kelemahan untuk kedhabithan jenis pertama adalah jika perawi tersebut mengalami penurunan
kualitas hapalan di akhir umurnya atau beberapa tahun sebelum wafatnya, biasanya karena ikhtilaath
102
Alaan, ibnu. Pembagian Hadits dari SegiI Kualitas Sanad,
http://ibnualaan07.blogspot.co.id/2012/10/jumat-10-juni-2011-pembagian-hadis-dari.html ,10/08/2012 08:26:00
PM
yaitu hapalannya bercampur baur sehingga ia sulit membedakan mana hadits yang ia riwayatkan mana
hadits yang diriwayatkan orang lain, dan juga karena taghayyur yaitu hapalannya berubah. Oleh
karenanya, para ulama membuat kaidah untuk para perawi tsiqah yang mengalami hal ini yaitu hadits-
hadits yang diriwayatkan darinya sebelum ia mengalami ikhtilaath atau taghayyur maka hadits-haditsnya
bisa diterima, adapun untuk hadits-hadits yang diriwayatkan darinya setelah ia ikhtilaath atau taghayyur
maka haditsnya tidak dijadikan hujjah kecuali dengan adanya penguat dari jalur lain.

Sedangkan kelemahan untuk dhabith jenis kedua adalah jika kitab-kitabnya tersebut terbakar atau
dicuri orang, maka ia pun tidak bisa lagi membedakan mana hadits-haditsnya, mana hadits orang lain,
akibatnya hapalannya pun menjadi bercampur-baur karena ia sangat menggantungkan hapalannya kepada
kitab-kitabnya tersebut.103

B. Hadits Hasan

Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah.104 Definisinya adalah hadits yang
sanadnya muttashil melalui periwayatan para perawi ‘adil namun lebih rendah dari sisi dhabth atau
mutqin, dan terbebas dari segala macam syaadz atau ‘illat.Sebagaimana hadits shahih, maka hadits hasan
pun terbagi lagi menjadi dua, yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighairihi.Hasan lidzatihi yaitu hadits hasan
yang telah memenuhi persyaratan yang telah disebutkan diatas atau dengan kata lain ia adalah hadits
hasan dengan sendirinya tanpa memerlukan bantuan penguat dari jalur lain. Adapun hasan lighairihi yaitu
hadits yang didalamnya terdapat perawi majhuul (tak dikenal,) atau jujur namun sering melakukan
kesalahan ataupun perawi yang kadar kelemahannya ringan, namun ia mendapatkan penguat dari jalur
lain, bisa dari perawi yang lebih tsiqah darinya ataupun yang sederajat dengannya, jadi hadits hasan
lighairihi asalnya adalah hadits dha’if yang naik menjadi hasan karena ia dibantu dari jalur lainnya,
namun jika ia tidak ada penguat maka ia tetap dalam kedha’ifannya.

Hadits hasan dengan kedua jenisnya di atas dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana
hadits shahih walaupun kekuatan hujjahnya berada dibawah hadits shahih. Adapun prasangka sebagian
orang pada masa kini bahwa dengan banyaknya jalur periwayatan maka ia bisa menaikkan hadits dha’if
menjadi hasan atau shahih, maka perkataan ini harus diteliti lebih lanjut, dikarenakan perawi pendusta

103
Ahmad,Abu. Ringkasan Daurah Musthalahul Hadits (bagian 2), December 8, 2013 oleh Al-Ustadz Abu
Yahyaa Badrussalam, Lc -hafizhahullah- di masjid Al-Barkah, Cileungsi, pada hari Ahad, 27 Muharram 1435
H .https://muhandisun.wordpress.com/2013/12/08/ringkasan-daurah-musthalahul-hadits-bagian-2/
http://www.zulfanafdhilla.com/2013/10/pengertian-hadits-munqathi.html , Jan 29, 2016.
104
Ibnu alaan, Pembagian hadits dari Kualitas sanad http://ibnualaan07.blogspot.co.id/2012/10/jumat-10-
juni-2011-pembagian-hadis-dari.html , 10/08/2012 08:26:00 PM
(kadzdzab) ataupun perawi yang disepakati untuk ditinggalkan hadits-haditsnya (matruuk atau muttaham
bil kadzib), hadits-hadits mereka tidaklah bisa dijadikan penguat. Oleh karena itu jika sebuah hadits
dha’if yang ia punya banyak jalur periwayatan namun dalam sanadnya diisi oleh perawi-perawi pendusta
ataupun matruuk, maka jalur-jalur ini tidak bisa saling menguatkan, malah ia akan semakin mengukuhkan
kelemahan hadits tersebut.

C. Hadits Dha’if

Definisinya adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hasan. Adapun
klasifikasi hadits-hadits dha’if baik dari sisi penelitian sanad maupun matan, maka ia terbagi menjadi
banyak jenis, kami akan sebutkan secara ringkas, diantaranya adalah :

1. Hadits Mursal

Definisinya adalah sebuah hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’in kepada Rasulullah Saw
tanpa menyebutkan perantara sahabat yang meriwayatkan kepada tabi’in tersebut.Hadits mursal dihukumi
dha’if namun para ulama berbeda pendapat apakah ia bisa dijadikan hujjah atau tidak. Abu Haniifah dan
Malik berpendapat boleh dijadikan hujjah secara mutlak, sedangkan An-Nawawiy menyebutkan bahwa
hadits mursal tidak boleh dijadikan hujjah secara mutlak, dan ini adalah pendapat Asy-Syaafi’iy serta
mayoritas ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh, ada pula yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa
dijadikan hujjah jika ia diperkuat dari jalur musnad yang lain.

2. Hadits Munqathi’.105

Definisinya adalah hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau
lebih, atau bisa jadi munqathi’ karena ada perawi yang mubham (tidak disebutkan namanya, biasanya
hanya disebutkan “dari seorang laki-laki)

Beda inqitha’ (terputus) dengan irsal.

Secara umum tidak ada bedanya, namun biasanya para ulama membedakan irsal dengan inqitha’
yaitu irsal dari sisi gugurnya perawi pada thabaqah (tingkatan dari para perawi hadits) sahabat, sementara
inqitha’ tidak ada batasan thabaqah, walaupun para prakteknya seringkali para ulama menyebut hadits
munqathi’ dengan hadits mursal.106

105
Ibnu Katsîr. Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts. Disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakir dengan judul al-Bâ’its
al-Hatsîts fî Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts. Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa tahun.
3. Hadits Mu’dhal

Definisinya adalah hadits yang dalam sanadnya gugur dua orang perawi atau lebih secara
berturut-turut.

4. Hadits Mudallas

Definisinya adalah hadits yang di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang melakukan
tadlis, yaitu ia menyembunyikan perantara syaikh yang ia mengambil riwayat darinya namun ia langsung
menyebutkan syaikh yang diambil riwayatnya dari syaikhnya tersebut. Gambaran singkatnya adalah :

Fulan A —> Syaikh B —> Syaikh C

Fulan A melakukan tadlis, maka menjadi :

Fulan A —> Syaikh C, Fulan A tidak menyebutkan Syaikh B yang menjadi perantaranya.

Tadlis ini termasuk jenis ‘illat hadits tersamar yang tidak semua orang bisa mengetahuinya karena
mudallis biasanya menggunakan lafazh yang tidak mengisyaratkan secara pasti bahwa ia mendengar,
seperti misalnya lafazh ‘an’anah (‘an = dari). Jenis ‘illat ini hanya bisa diketahui oleh para ulama hadits
yang mengenal para perawi dengan baik termasuk mengenal kebiasaan-kebiasaan mereka ketika
meriwayatkan suatu hadits dari syaikhnya.

Tadlis terbagi menjadi dua jenis :

a. Tadliis Al-Isnaad, yaitu seorang perawi yang berkata bahwa ia meriwayatkan dari orang yang
semasa dengannya namun perawi tersebut tidak pernah bertemu dengan orang itu, atau
mereka pernah bertemu namun hadits yang ia riwayatkan itu tidak didengarnya dari orang
tersebut melainkan dari orang lain. Biasanya perawi yang melakukan tadlis jenis ini
menggunakan lafazh yang mengisyaratkan dugaan mendengar langsung, misalnya, “Qaala
Fulaan (Fulan berkata)”, “‘An Fulaan (dari Fulan)”. Seandainya perawi mudallis mengatakan
“haddatsani fulaan (telah menceritakan kepadaku fulan),” pada riwayat yang ia tidak
mendengarnya langsung, maka ini artinya ia telah berdusta dan ia bukan lagi termasuk perawi
mudallis namun jatuh kepada derajat kadzdzab dan haditsnya jelas tertolak.

Termasuk dalam jenis tadlis sanad ini adalah tadlis taswiyah, yaitu seorang perawi yang
menggugurkan syaikhnya atau syaikh dari syaikhnya, bisa karena kedha’ifan syaikhnya tersebut, atau
106
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, berkata “Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung
sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang
lain.”http://www.zulfanafdhilla.com/2013/10/pengertian-hadits-munqathi.html , Jan29,2016.
karena ia mendengarnya dari seorang yang masih kecil, dan buruknya adalah perawi mudallis ini
menyamaratakan sanadnya seakan-akan ia bertemu langsung dengan para syaikh yang tsiqah. Para ulama
mengecam jenis tadlis ini sebagai jenis tadlis terburuk, bahkan Syu’bah bin Al-Hajjaaj berkata,
“Andaikan aku berzina maka itu lebih kusukai dibandingkan aku berbuat tadlis.” Perkataan beliau ini
menunjukkan tercelanya tadlis walaupun tidak bisa dikatakan mereka telah berdusta. Diantara para perawi
yang kerapkali melakukan tadlis ini adalah Al-Waliid bin Muslim dan Baqiyyah bin Al-Waliid.

b. Tadliis Asy-Syuyuukh, yaitu perawi yang menyamarkan nama syaikhnya dengan hanya
menyebutkan nama kuniyahnya, laqabnya atau nisbatnya atau memberi sifat yang tidak
dikenal. Tadlis ini lebih ringan dibanding jenis tadlis pertama karena perawi tidak
menggugurkan syaikhnya melainkan ia hanya menyamarkan sehingga tidak diketahui orang,
namun pada asalnya tetap tercela karena ini menyulitkan pengecekan keshahihan hadits
dikarenakan tersembunyinya jati diri syaikhnya. Dan tingkat celanya akan menjadi buruk
apabila diketahui bahwa syaikhnya tersebut ternyata dha’if.Para ulama telah mengklasifikan
perawi-perawi mudallis ini ke dalam berbagai tingkatan mulai dari yang jarang melakukan
tadlis hingga ke yang berat. Contoh kitab yang membahas ini adalah kitab karya Al-Haafizh
Abul Fadhl Ibnu Hajar, yaitu Thabaqaatul Mudallisiin atau nama lainnya Ta’riifu Ahlut
Taqdiis. Dalam kitabnya ini, beliau rahimahullah menyusun thabaqah para mudallis mulai
dari thabaqah pertama yaitu perawi yang sangat jarang melakukan tadlis hingga thabaqah
kelima yaitu perawi yang memang dha’if sehingga bila ia melakukan tadlis atau menyatakan
dengan jelas penyimakannya, riwayatnya tetap tertolak. Silahkan untuk merujuk ke kitab
tersebut untuk keterangan lengkapnya.
5. Hadits Mudhtharib

Definisinya adalah hadits yang diriwayatkan dengan perbedaan pada sanad atau matannya (atau
bisa kedua-duanya) yang tidak memungkinkan untuk ditarik tarjih sebagian atas sebagian yang lain. Jika
dalam suatu kasus hadits tersebut bisa dilakukan tarjih, maka namanya bukan lagi mudhtharib namun
namanya menjadi rajiih (untuk hadits yang ditarjih) dan marjuuh (untuk hadits yang tertolaknya).

6. Hadits Maqluub

Definisinya adalah hadits yang mengalami pemutarbalikkan pada matannya, nama salah satu
perawi dalam sanadnya, atau bisa juga terputar baliknya suatu sanad untuk matan yang lain. Contoh
hadits maqluub yang terbalik pada matannya adalah pada hadits, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi
oleh Allah pada hari tiada naungan kecuali naunganNya…,” hingga pada matan, “…Dan seseorang yang
bersedekah lalu ia menyembunyikannya sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diinfakkan
oleh tangan kirinya.” Redaksi matan inilah yang disusun terbalik karena seharusnya, “…Sampai tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”

7. Hadits Syaadz.

Definisinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbuul namun iamenyendiri
(tafarrud) atau menyelesihi (mukhalafah) riwayat perawi yang lebih tsiqah darinya. Contoh hadits syaadz
adalah, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh dan
rambutnya dicukur, dan dilumuri dengan darah,” perawi pada hadits ini yaitu Hammaam bin Yahyaa (ia
tsiqah), menyelisihi perawi-perawi tsiqah lain yang meriwayatkan dari Qataadah dengan lafazh
“yusamma (diberi nama),” dan Hammaam menyendiri didalam meriwayatkan lafazh “yudamma (dilumuri
darah).” Demikianlah yang dijelaskan Al-Imam Abu Daawud dalam sunannya. Hadits syaadz jika bisa
ditarjih maka hadits yang rajih disebut mahfuuzh dan yang marjuuh itulah disebut syaadz.

8. Hadits Munkar.

Definisinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang mana ia berbeda
dengan perawi-perawi yang tsiqah. Kriterianya sama dengan hadits syaadz yaitu adanya tafarrud dan atau
mukhalafah dari perawi-perawi yang tsiqah, hanya saja bedanya jika hadits syaadz berasal dari perawi
yang juga tsiqah, hadits munkar berasal dari perawi yang dha’if. Hadits munkar jika ia diselisihi oleh
hadits dari perawi tsiqah, maka hadits dari perawi tsiqah inilah yang diambil dan ia disebut hadits
ma’ruuf, adapun yang marjuuh maka itulah yang disebut munkar.

9. Hadits Matruuk

Disebut matruuk yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang berstatus “muttaham
bil kadzib” (tertuduh berdusta), bisa karena ia diketahui sering berdusta baik ketika sedang meriwayatkan
hadits Nabi maupun dalam kehidupan sehari-harinya, terlihat kefasikannya melalui perbuatan atau kata-
katanya, atau karena para ulama sepakat meninggalkan hadits-haditsnya (matruukul hadiits). Hadits jenis
ini termasuk ke dalam golongan hadits dha’iif jiddan (lemah sekali) dan ia merupakan tingkat hadits
dha’if terendah, dan harus pula kita perhatikan bahwa hadits yang dikategorikan jenis ini tidak bisa
dijadikan hujjah baik untuk fadhilah amal ataupun menjadi penguat.

10. Hadits Mu’allal

Hadits yang secara zhahir terlihat shahih baik dari sisi sanad maupun matannya, namun setelah
diteliti melalui penelitian yang seksama, ternyata ia mempunyai cacat tersembunyi yang menjatuhkan
keshahihan hadits tersebut menjadi dha’if. Hadits jenis ini dikatakan mempunyai ‘illat, atau secara ilmu
musthalah disebut hadits Mu’allal. Pada intinya jenis hadits-hadits yang telah kami sebutkan diatas
termasuk dalam kategori mu’allal karena tidaklah ‘illat hadits itu muncul melainkan dikarenakan adanya
irsal, inqitha’, tadliis, maqluub, idhtiraab, syaadz dan lain-lain.Ilmu ‘Ilal hadits termasuk dalam cabang
ilmu hadits yang paling rumit dan paling tinggi ma’rifahnya dikarenakan tidak sembarangan orang bisa
mengetahui cacat tersembunyi dari suatu hadits melainkan ia haruslah dari kalangan ulama kritikus yang
haafizh lagi mutqin, mempunyai ma’rifah yang tinggi terhadap para perawi hadits, cermat dalam meneliti
dan mengetahui sanad-sanad juga matan-matan hadits. Diantara para ulama yang menguasai bidang ini
adalah Syu’bah bin Al-Hajjaaj, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin,
‘Aliy bin Al-Madiiniy, Al-Bukhaariy, Abu Daawud As-Sijistaaniy, An-Nasaa’iy, Abu Haatim dan Abu
Zur’ah Ar-Raaziy, Abul Hasan Ad-Daaruquthniy dan lain-lain –rahimahumullah-. Mereka telah
menyusun kitab-kitab ‘ilalul hadiits yang khusus menghimpun hadits-hadits mu’allah didalamnya,
ataupun kitab-kitab tersebut disusun oleh para murid mereka yang kadang juga terhimpun dalam kitab-
kitab su’aalaat yaitu kitab yang berisi kumpulan tanya jawab mereka dengan para muridnya tersebut
mengenai status perawi, sanad hadits, taariikh perawi dan sebagainya.

Kesimpulan.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang berbagai kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat
menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits. Misalnya hadits
ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya yang tentu peninjauan inti tersebut adalah bagaimana
derajat hadist itu sendiri.

Pembagian hadits dari segi kualitas sanad dapat dibagi menjadi tiga yaitu: shahih, hasan dan
dha’if. hadits shahih adalah hadits yang sanadnya muttashil (bersambung) melalui periwayatan para
perawi yang ‘adil, dhabth dan mutqin di setiap thabaqahnya hingga berakhir ke ujung sanadnya, terbebas
dari berbagai penyakit seperti syaadz (keganjilan) ataupun mu’allal (mempunyai cacat atau ‘illat).

Hadist Hasan adalah hadits yang sanadnya muttashil melalui periwayatan para perawi ‘adil
namun lebih rendah dari sisi dhabth atau mutqin, dan terbebas dari segala macam syaadz atau ‘illat.
Hadist dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih maupun hasan. Hdis dhaif
dibagi menjadi beberapa yaitu; hadist mursal, hadist muqathi’, hadist mu’dhal, hadist mudallas, hadist
mudhtharib, hadist maqlub, hadsit syaadz, hadist munkar, hadist matruuk, dan hadist mu’allal.

BAB IX

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS

A. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam

Umat Islam sepakat bahwa Hadits Rasulullah Saw merupakan sumber dan dasar hukum Islam
setelah Al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti Hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-
Qur’an.

Menurut Yusuf Qardhawi, bahwa Rasulullah Saw merupakan sumber hukum kedua bagi Islam
setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan undang-undang yang memuat pokok-pokok dan kaidah-kaidah
mendasar bagi Islam , yang mencakup bidang akidah, akhlak, muamalah dan adab sopan santun. Selain
itu, ia juga mengatakan, sunah (Hadits) merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi Al-Qur’an. Oleh
sebab itu, kita harus mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang diberikan
Rasulullah saw., menaati perintah Rasulullah adalah wajib, sebagaimana kita menaati apa yang
disampaikan oleh Al-Qur’an.107

Dengan demikian, Hadits merupakan mubayyin (penjelas) bagi Al-Qur’an yang karenanya,
siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memehami dan menguasai Hadits. Begitu
pula halnya menggunakan Hadits tanpa Al-Qur’an akan kehilangan arah, karena Al-Qur’an merupakan
dasar hukum pertama yang berisi garis besar syariat Islam. Uraian dibawah ini paparan tentang
kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.

1. Dalil Al-Qur’an

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala
yang disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Diantara
ayatnya adalah:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو َأِط يُعوْا ٱلَّرُسوَل َو ُأْو ِلي ٱَأۡلۡم ِر ِم نُك ۖۡم َف ِإن َتَٰن َز ۡع ُتۡم ِفي َش ۡي ٖء َف ُر ُّد وُه‬
٥٩ ‫ر َو َأۡح َس ُن َتۡأ ِو ياًل‬ٞ ‫ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱلَّرُسوِل ِإن ُك نُتۡم ُتۡؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱۡل َيۡو ِم ٱٓأۡلِخ ِۚر َٰذ ِلَك َخ ۡي‬

Artinya. “Hai orang-rang yang beriman! Taatilah Allah, Rasul dan Ulil Amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu , maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih baik utama dan
lebih baik akibatnya”. [QS. An-Nisa’ (4): 59]

Selain Allah Swt memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw, juga
meneyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik
berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasulullah Saw ini sama halnya
tuntutan taat kepada Allah Swt.108

‫ِكيِن َو ٱۡب ِن‬ ‫َأۡه ِل ٱۡل ُقَر ٰى َفِلَّل ِه َو ِللَّرُس وِل َو ِل ِذ ي ٱۡل ُق ۡر َبٰى َو ٱۡل َيَٰت َم ٰى َو ٱۡل َم َٰس‬
‫ َّم ٓا َأَفٓاَء ٱُهَّلل َع َلٰى َر ُسوِلِهۦ ِم ۡن‬.
‫َف ٱنَتُهوْۚا‬
‫ُه‬ ‫ٱَأۡلۡغ ِنَيٓاِء ِم نُك ۚۡم َو َم ٓا َء اَتٰى ُك ُم ٱلَّرُس وُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َنَهٰى ُك ۡم َع ۡن‬ ‫ٱلَّس ِبيِل َك ۡي اَل َيُك وَن ُد وَلَۢة َبۡي َن‬
٧ ‫َو ٱَّتُقوْا ٱَۖهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َش ِد يُد ٱۡل ِع َقاِب‬
107
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 33
108
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 51
Artinya. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya [QS. Hayr (59): 7]

Hukum taat kepada Rasulullah Saw sama dengan taat kepada Allah, hal ini sebagaimana disebut
dalam firman Allah (QS. An-Nisa’: 80).109

٨٠ ‫َّم ن ُيِط ِع ٱلَّرُسوَل َفَقۡد َأَطاَع ٱَۖهَّلل‬


Artinya. “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah....” [QS. An-
Nisa’ (4): 80]

2. Dalil Hadits

Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, kedudukan Hadits ini dapat dilihat melalui
Hadits Nabi saw., yang berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits sebagai pedoman hidup
disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya. Nabi Muhammad Saw., bersabda. “Rasulullah Saw.,
besabda: “aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya, selagi kamu
berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah Nabi-Nya”. (HR. Malik). 110

Dalam Hadits lain,Rasulullah Saw., bersabda. “Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidiin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah ).

Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadits atau menjadikan
Hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh
kepada Al-Qur’an.111

3. Dalil dari Ijma’

Umat Islam sepakat menjadikan Hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal karena sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah Swt. Kesepakatan ini, telah terjadi sejak Rasulullah Saw masih

109
Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 34
110
Ibid, hlm. 35
111
Muzier Suparta, Op.Cit., hlm. 55
hidup. Sepeninggal beliau, masa Khulafa Al-Rasyidin dan masa selanjutnya tidak ada yang
mengingkarinya bahkan menghafal dan menyebarluaskan ke generasi selanjutnya.

Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber
hukum Islam, antara lain:

a. Ketika Abu Bakar di baiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata: “saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah Saw, sesungguhnya saya takut tersesat
bila meninggalkan perintahnya.[6]
b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad, ia berkata: “saya tahu engkau adalah batu.
Saendainya saya tidak melihat Rasulullah Saw menciummu, saya tidak akan menciummu”
c. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Utsman bin ‘Affan berkata: “saya duduk seperti
duduknya Rasulullah Saw, saya makan seperti makannya Rasulullah Saw dan saya shalat
seperti shalatnya Rasulullah Saw.112

Masih banyak contoh yang menunjukkan apa yang disampaikan dan diserukan niscaya diikuti
umatnya. Dan begitu cara sahabat dalam menjaga dan mempraktikkan Sunah.

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal

Kerasulan Nabi Muhammad Saw telah di akui dan di benarkan oleh umat islam. Maka sudah
selayaknya segala peraturan dan perundang – undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan
atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.
Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai rasul mengharuskan
ummatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber
ajaran islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran.113

B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an.

Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu
dengan yang lainnya. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama
banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.

112
Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 37
113
Ibid, hlm. 57
Disinilah Hadits menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran Islam yang kedua. Hadits
menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan Al-Qur’an. Sesuai firman Allah Swt., pada surat An-Nahl: 44

٤٤ ‫ِبٱۡل َبِّيَٰن ِت َو ٱلُّز ُبِۗر َو َأنَز ۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱلِّذ ۡك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلۡي ِهۡم َو َلَع َّلُهۡم َيَتَفَّك ُروَن‬

Artinya.“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agr kamu mnerangkan kepada umat manusia
apa yang di turunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir”. [QS. An-Nahl (16):44].114

Allah Swt menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia , agar Al-Qur’an ini dapat dipahami oleh
manusia , maka Rasulullah Saw di perintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara
melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui Hadits-Haditsnya.

Oleh karena itu, fungsi Hadits Rasulullah Saw sebagai penjelas (bayan) Al-Qur’an itu
bermacam-macam. Disini akan menjelaskan empat bayan, sebagai berikut:

1. Bayan Taqrir.

Bayan Taqrir disebut juga bayan ta’kid, ada juga yang menamai bayan Itsbat. Yang dimaksud
dengan bayan ini, adalah menetapkan, memperkuat serta memperkokoh apa yang telah diterangkan
kandungan Al-Qur’an.115 Seperti dalam surat Al-Baqarah: 185

١٨٥ ‫َفَم ن َش ِهَد ِم نُك ُم ٱلَّشۡه َر َفۡل َيُصۡم ُۖه‬

Artinya…. barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu… (QS. Al-Baqarah(2): 185).

Ayat di ayas di-taqrir oleh Hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi. ”Apabila
kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah , juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah” .
(HR.Muslim).116

Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al- muwafiq li al-
nas al kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sesuai dengan nas Al-Qur’an.

2. Bayan Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan Tafsir adalah bahwa kehadiran Hadits berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
114
Ibid, hlm. 58; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 38
115
Ibid, hlm. 59; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 39
116
Ibid, hlm. 60
memberi persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak dan mengkhususkan
(takhsish) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum.117

a. Merinci ayat-ayat yang Mujmal.

Mujmal ialah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung makna
yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna yang dimaksudkannya kecuali setelah ada
penjelasan.[16] Sebagai contoh ayat tentang shalat dan zakat (QS. Al-Baqarah: 43)

٤٣ ‫َو َأِقيُم وْا ٱلَّص َلٰو َة َو َء اُتوْا ٱلَّز َكٰو َة َو ٱۡر َك ُعوْا َم َع ٱلَّٰر ِكِع يَن‬

Artinya. “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
[QS. Al-Baqarah(2): 43]

Untuk memperjelas ayat tersebut, Nabi Muhammad Saw., memberikan perincian dengan
sabdanya. “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat” . (HR. Bukhari). 118

b. Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq

Kata mutlaq artinya yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri, apa adanya, dengan tanpa
memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang
mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh pada surat QS. Al-Maidah: 38

٣٨ ‫م‬ٞ‫َو ٱلَّساِر ُق َو ٱلَّساِر َقُة َفٱۡق َطُع ٓو ْا َأۡي ِدَيُهَم ا َج َز ٓاَۢء ِبَم ا َك َسَبا َنَٰك اٗل ِّم َن ٱِۗهَّلل َو ٱُهَّلل َع ِز يٌز َحِكي‬

Artinya.“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang telah apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana. [QS. Al-Maidah(5). 38]

Ayat tersebut di-taqyid oleh Hadits riwayat Muslim. “Rasulullah Saw di datangi seseorang
dengan membawa pencuri , maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.” (H.R
Muslim).119

c. Men-takhsish ayat yang ‘Am

Kata takhsish atau khas ialah kata yang menunjukkan arti khusus tertentu atau tunggal.
Sedangkan kata ‘am ialah yang menunjukkan atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak (umum).
117
Ibid, hlm. 61
118
Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 39
119
Ibid, hlm. 40
Yang dimaksud men-takhsish ayat ‘am ialah membatasai keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu.

Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, keumuman ayat bisa tadikhsiskan oleh
Hadits ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, sebaliknya.
Contoh Hadits Nabi Muhammad Saw. “Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H.R Ahmad).

Hadits tersebut men-takhsis keumuman firman Allah Q.S An-Nisa’: 11

‫ُيوِص يُك ُم ٱُهَّلل ِفٓي َأۡو َٰل ِد ُك ۖۡم ِللَّذ َك ِر ِم ۡث ُل َح ِّظ ٱُأۡلنَثَيۡي ِۚن َفِإن ُك َّن ِنَس ٓاٗء َف ۡو َق ٱۡث َنَتۡي ِن َفَلُهَّن ُثُلَث ا َم ا َت َر َۖك َو ِإن‬
‫د َف ِإن َّلۡم َيُك ن َّل ۥُه‬ٞۚ ‫َكاَنۡت َٰو ِح َد ٗة َفَلَها ٱلِّنۡص ُۚف َو َأِلَبَو ۡي ِه ِلُك ِّل َٰو ِحٖد ِّم ۡن ُهَم ا ٱلُّس ُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِإن َك اَن َل ۥُه َو َل‬
‫ة َفُأِلِّمِه ٱلُّس ُد ُۚس ِم ۢن َبۡع ِد َو ِص َّيٖة ُيوِص ي ِبَه ٓا َأۡو َد ۡي ٍۗن‬ٞ ‫د َو َو ِر َث ٓۥُه َأَبَو اُه َفُأِلِّمِه ٱلُّثُلُۚث َفِإن َك اَن َل ٓۥُه ِإۡخ َو‬ٞ‫َو َل‬
١١ ‫َء اَبٓاُؤ ُك ۡم َو َأۡب َنٓاُؤ ُك ۡم اَل َتۡد ُروَن َأُّيُهۡم َأۡق َر ُب َلُك ۡم َنۡف ٗع ۚا َفِر يَض ٗة ِّم َن ٱِۗهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ِليًم ا َحِكيٗم ا‬

Artinya. Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS. An-Nisa’(4).11]120

3. Bayan Tasyri’

Kata at-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan hukum. Yang dimaksud bayan
tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajran yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an, atau
dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Banyak Hadits Nabi Muhammad Saw., termasuk
kedalam kelompok ini, diantaranya tentang zakat fitrah:

120
Ibid
Artinya. “Bahwasannya Rasulullah Saw., telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan
satu sukat (sha’) kuram atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau
perempuan. (H.R Muslim).121

4. Bayan Nasakh

Secara bahasa, an-nasakh berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil


(memindahkan), at-taghyir (mengubah).

Para ulama’, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan
bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan kata
nasakh dari segi kebahasaan. Pada perbedaan ini, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut
menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih
cocok dengan nuansanya.122

Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama’ adalah sabda Nabi saw., dari Abu
Ummah Al-Bahili, “ Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap prang haknya (masing-
masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i)

Hadits ini menurut mereka men-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 180

‫ُك ِتَب َع َلۡي ُك ۡم ِإَذ ا َحَض َر َأَح َد ُك ُم ٱۡل َم ۡو ُت ِإن َتَر َك َخ ۡي ًرا ٱۡل َو ِص َّيُة ِلۡل َٰو ِل َد ۡي ِن َو ٱَأۡلۡق َر ِبيَن ِب ٱۡل َم ۡع ُروِۖف َح ًّق ا‬
١٨٠ ‫َع َلى ٱۡل ُم َّتِقيَن‬

Artinya “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalakan harta yang banyak berwasiat untuk bapak-ibu dan karib kerabatnya secara makruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S Al-Baqarah: 180). 123

Kesimpulan

121
Ibid; Sohari Sahrani, Op.Cit., hlm. 42
122
M. Agus Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) hlm. 84
123
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.Cit., hlm. 85-86
Antara Hadist dan Al-Qur’an memiliki pertalian dan hubungan yang sangat erat sekali, karenanya
satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan Hadits merupakan mubayyin atau penjelas dari Al-Qur’an

Secara ‘aqli maupun secara naqli, maka kedudukan hadist terhadap Al-Qur’an adalah bahwa
Hadist merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Hadits berfungsi sebagai bayan at-tafsir, bayan at-
taqrir,bayan an-naskh, dan bayan at-tasyri’ yang merupakan penjelasan dan penafsiran Al-Qur’an.

Kewajiban untuk mengamalkan keduanya, bukan saja karena perintah Al-Qur’an dan Hadits, tapi
merupakan kebutuhan umat Islam kepadanya sangat besar, yaitu pedoman hidup dan pedoman untuk
beramal.

BAB X
HADITS MAUDHU’

A. Pengertian Hadis Maudhu’

Pengertian hadits maudhu’ Secara bahasa, kata maudhu’ berarti sesuatu yang digugurkan (al-
masqath), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-adakan (al-muftara). Menurut istilah, hadits maudhu’
adalah pernyataan yang dibuat oleh seseorang kemudian dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw.

secara istilah diberikan oleh para muhaddisin dengan redaksi berbeda-beda, tetapi pada intinya
menpunyai kesamaan dalam hal prinsip makna yang mendasar.

Menurut Qadir Hasan, mendifinisikan maudhu’ secara bahasa artinya: yang disusun, dusta yang
diada-adakan, yang diletakkan. Maka, hadits maudhu’ adalah satu hadits yang yang diada-adakan orang
atas nama Nabi Muhammad Saw., dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Hadits maudhu’ itu dicipta
oleh pendusta dan disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk memperdayai. Sedangkan menurut
Sohari Sahrani, hadis maudhu adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap
Nabi saw., dibuat secara sengaja atau tidak sengaja. Dengan kata lain, hadis maudhu’ dibuat dan
dinisbahkan kepada Nabi, dengan disengaja atau tidak, dengan tujuan buruk atau baik sekalipun. 124.

B. Bagian-bagian Hadis Maudhu’

Hadit maudhu’ atau hadits yang orang ada-adakan ini, terbagu empat bagian:

1. Si rawi mengada-ngadakan sendiri yang tidak sama dengan perbuatan orang lain.
2. Si rawi mgambil perkataan salaf, hukama dan cerita-cerita Israiliyyat, lalu disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw.
3. Susunan rawi dengan tidak sengaja, tetapi karena ada waham.
4. Si rawi mengambil satu hadits yang lemah sanadnya lalu disusunnya dalam satu sanad yang
shahih.125

C. Tanda-tanda Hadis Maudhu’

124
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), Cet. Ke-4,
hlm. 275.
125
Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 92-93.
Banyak sekali tanda-tanda ke-maudhu-an hadits pada sanad. Pertama, tanda-tanda yang diperoleh
dari sanad. Kedua, tanda-tanda yang diperoleh dari matan. Dengan rincian sebagai berikut:

1. Tanda-tanda pada sanad ialah :


a. Perawi terkenal berdusta (seorang pendusta) dan haditsnya tidak diriwayatkan oleh orang
yang dapat dipercaya.
b. Pengakuan dari rawi bahwa ia telah memalsukan hadits.
c. Menurut sejarah tidak semasa dan mungkin bertemu dengan perawi di atasnya.
d. Keadaan perawi-perawi -perawi sendiri serta dorongan membuat hadits.
2. Tanda-tanda pada matan ialah :
a. Buruk susunannya dan lafadznya.
b. Rusak maknanya.
c. Menyalahi keterannngan Al-Qu’an yang terang dan sunnah yang mutawatir dan kaidah-
kaidah kulliyah.
d. Menyalahi hakikat sejarah yang sudah terkenal pada masa Nabi Muhammad Saw.
e. Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau
siksa yang sangat besar terhadap perbuatan yang kecil.126

D. Status Hadis Maudhu’.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadits maudhu, apakah merupakan bagian
dari hadits atau bukan. Dalam hal ini, terdapat tiga pandangan.

Pertama, yang diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa
hadits maudhu merupakan bagian hadits dhaif. Hanya saja, posisi ke-dhaifannya berada pada tingkat yang
paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya. Imam Ibnu Shalah menegaskan bahwa hadits
maudhu adalah hadits dhaif yang paling jelek dan paling jahat.

Kedua, diwakili oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M) berpendapat bahwa hadits
maudhu bukan termasuk hadits Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan.
Hadits maudhu’ bukan suatu yang datang atau berasal dari Nabi Muhammad Saw , tetapi dikatakan
bahwa hal itu berasal dari Nabi Muhammad Saw.

126
Munzier suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003), hlm.176
Ketiga, diwakili oleh Ahmad ‘Umar Hasyim hadits maudhu’ tidak disebut hadits secara mutlak
tetapi berdasar anggapan dan kecendrungan pembuatnya, sedang hakikat dan asalnya bukan hadits. 127

E. Sejarah Kemunculan dan Penyebaran Hadis Maudhu’

Masuknya penganut agama lain ke Islam, sebagai hasil penyebaran dakwah ke pelosok dunia,
secara tidak langsung menjadi faktor awal dibuatnya hadis-hadis maudhu’. Tidak bisa dipungkiri bahwa
sebagian dari mereka memeluk Islam karena benar-benar ikhlas dan tertarik dengan kebenaran ajaran
Islam. Namun terdapat pula segolongan dari mereka yang menganut Islam hanya karena terpaksa
mengalah kepada kekuatan Islam pada masa itu dan mereka berkeyakinan bahwa mereka tidak akan
mendapatkan tempat dihati penguasa-penguasa mukmin kecuali dengan memeluk Islam. Golongan inilah
yang kemudian senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap Islam dan kaum muslimin.
Kemudian mereka menunggu peluang yang tepat untuk menghancurkan dan menimbulkan keraguan di
dalam hati orang banyak terhadap Islam. Peluang tersebut terjadi pada akhir masa pemerintahan Khalifah
Usman bin Affan (W.35H), yang memang sangat toleran terhadap orang lain.128

Imam Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H) menuturkan, ”Pada mulanya umat Islam apabila
mendengar sabda Nabi Saw mereka tidak akan menanyakan tentang sanadnya. Namun setelah terjadinya
fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu bertanya, dari manakah
hadis itu diperoleh? Apabila diperoleh dari orang-orang Ahl sunnah, hadis itu diterima sebagai dalil. Dan
apabila diterima dari orang-orang penyebar bid’ah, hadis itu ditolak.” Diantara orang yang memainkan
peranan dalam hal ini adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang mengaku memeluk Islam. Dengan
berdalih membela Sahabat Ali dan Ahl al-Bait, ia berkeliling ke segenap pelosok daerah untuk menabur
fitnah. Ia menyampaikan bahwa Ali yang lebih layak menjadi khalifah daripada Usman bahkan Abu
Bakar dan Umar. Kemudian ia mengemukakan hadis yang dibuat-buatnya: “Setiap Nabi itu ada penerima
wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali.” Walaupun pada saat itu khalifah Usman menolak begitu
juga shahabat Ali, bahkan oleh khalifah Usman ibnu Saba diusir dari Madinah karena ulahnya itu, tapi
tetap saja ada orang yang mau mempercayainya.129

Peristiwa itu adalah awal dari kemunculan hadis maudhu’, namun penyebarannya pada waktu itu
belum gencar karena masih banyak sahabat utama yang mengetahui dengan persis akan kepalsuan sebuah
hadis. Dan apa yang disampaikan nabi tentang ancaman membuat hadits palsu masih sangat kuat
127
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok –pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: PT Karya Unipress,1987), hlm.360-
361
128
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits, (Semarang:Rasail Media Group,2007), hlm.152
129
Ibid, hlm.152
menancap dalam hati mereka. Saat setelah terbunuhnya Khalifah Usman barulah kemudian karena
kemunculan beberapa aliran politik dengan berbagai kepentingannya hadi’s maudhu’ mengalami
perkembangan yang signifikan.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Tawus bahwa pernah suatu ketika dibawakan kepada Ibnu
Abbas suatu buku yang di dalamnya berisi keputusan-keputusan Ali. Ibnu Abbas kemudian
menghapusnya kecuali sebagian (yang tidak dihapus). Sufyan bin Uyainah menjelaskan bagian yang tidak
dihapus itu sekadar sehasta.

Imam al-Dzahabi dalam al-Tadhkirahnya juga meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, ia
berkata: “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: Semoga Allah melaknati mereka (yaitu golongan putih
yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadits-hadits Rasulullah Saw.” Menyadari hal ini, para
sahabat mulai memberikan perhatian terhadap hadits yang disebarkan oleh seseorang. Mereka tidak akan
mudah menerimanya sekiranya ragu akan kesahihan hadits itu.

Imam Muslim dengan sanadnya meriwayatkan dari Mujahid (W.104H) sebuah kisah yang terjadi
pada diri Ibnu Abbas: “Busyair bin Kaab telah datang menemui Ibnu Abbas lalu menyebutkan sebuah
hadits dengan berkata “Rasulullah Saw telah bersabda”, “Rasullulah Saw telah bersabda”. Namun Ibnu
Abbas tidak menghiraukan hadis itu dan juga tidak memandangnya. Lalu Busyair berkata kepada Ibnu
Abbas “Wahai Ibnu Abbas! Aku heran mengapa engkau tidak mau mendengar hadis yang aku sebut. Aku
menceritakan perkara yang datang dari Rasulullah Saw tetapi engkau tidak mau mendengarnya. Ibnu
Abbas lalu menjawab: “Kami dulu apabila mendengar seseorang berkata “Rasulullah Saw bersabda”,
pandangan kami segera kepadanya dan telinga-telinga kami kosentrasi mendengarnya. Tetapi setelah
orang banyak mulai melakukan yang baik dan yang buruk, kita tidak menerima hadits dari seseorang
melainkan kami mengetahuinya.”

Pada masa Tabiin, periwayatan dan peyebaran hadis semakin meluas, begitu juga pemalsuan atas
nama Nabi saw., ataupun sahabat bermunculan dan tersebar bersamanya. Hal itu terjadi karena perhatian
para Khalifah Dinasti Umayyah pada saat itu terfokus kepada adanya perpecahan politik, disamping
sebenarnya ada juga perhatian khalifah terhadap periwayatan-periwayatan hadis akan tetapi kondisi
perpecahan umat yang sangat berat, memecah kosentrasi kerhatian ini. Sedangkan pada masa dinasti
Abbasiyyah banyak terjadi juga pemalsuan atas nama Nabi akan tetapi lebih banyak dilatar belakangi
oleh rasa ingin dikenal dekat oleh penguasa, yaitu dengan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan
khalifah dan mencaci musuh-musuhnya, atau juga karena perpecahan aliran-aliran baik tentang teologi
maupun fiqh dengan tujuan pembelaan atas pendapat dari masing-masing kelompok mereka. 130

130
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta:AMZAH,2009,)hlm.208-213
Sebagai contoh, pernah terjadi pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadis-hadis maudhu’ dibuat demi
mengambil hati para khalifah. Diantaranya seperti yang terjadi pada Harun al-Rasyid, di mana seorang
lelaki yang bernama Abu al-Bakhtari (seorang qadhi) masuk menemuinya ketika ia sedang menerbangkan
burung merpati. Lalu ia berkata kepada Abu al-Bakhtari: “Adakah engkau menghafal sebuah hadits
berkenaan dengan burung ini? Lalu dia meriwayatkan satu hadis, katanya: “Bahwa Nabi Muhammad
Saw. selalu menerbangkan burung merpati.” Harun al-Rasyid menyadari kepalsuan hadits tersebut lalu
menghardiknya dan berkata: “Jika engkau bukan dari keturunan Quraish, pasti aku akan mengusirmu.”

Tahap penyebaran hadis-hadis maudhu’ pada zaman tersebut masih sedikit dibanding zaman-
zaman berikutnya. Ini karena masih banyak para tabiin yang menjaga hadis-hadis dan menjelaskan mana
yang lemah dan yang sahih. Ini juga karena zaman mereka masih dianggap hampir sama dengan zaman
Nabi Saw dan disebut oleh beliau sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat
dari Nabi masih segar dikalangan para tabiin yang menyebabkan mereka dapat mengetahui kepalsuan
sebuah hadits.

Karena munculnya hadis-hadis palsu inilah yang kemudian menjadikan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz (w.101h) memerintahkan kepada ulama-ulama di berbagai kota untuk mengumpulkan dan
membukukan hadis. Dari hasil usaha para ulama dalam menghafal dan menjaga hadis itulah kita bisa
membedakan antara hadis shahih dari yang dhaif atau hadis yang maqbul dari yang mardud. 131

F. Kriteria Pembuat Hadis Palsu dan Faktor Yang Melatar Belakanginya.

Membahas mengenai munculnya Hadis Maudhu’ tidak bisa terlepas dari melihat bagaimana
keadaan orang yang membuatnya, karena apapun yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari sebab yang
melatar belakanginya. Perlu diketahui bahwasanya seseorang yang produk hadisnya maudhu’ atau
maqlub itu ada lima kriteria:

1. Orang-orang yang terbenam dalam kezuhudan yang kemudian mereka lupa akan hadis-hadis
yang telah dihafalnya. Hal itu bisa jadi karena kitabnya hilang, terbakar atau mereka
menimbunnya. Selanjutnya mereka meriwayatkan dengan hafalannya sehingga terjadi
kesalahan.
2. Orang-orang yang tidak ahli dalam penukilan hadis sehingga banyak melakukan kesalahan
3. Orang-orang yang shiqot akan tetapi akal mereka telah ikhtilat karena faktor usia, sehingga
mereka melakukan kesalahan dalam periwayatan hadis-hadisnya.
131
Munzier Suparta, Op. Cit. hlm. 191-193
4. Orang-orang yang di liputi oleh kelalaian dan selamat. Diantaranya adalah orang yang
meriwayatkan hadis yang ia tidak mendapatkan dari gurunya, sedang dia menganggap bahwa
hal itu diperbolehkan.
5. Orang yang sengaja memalsukan Hadis. Golongan yang kelima ini ada tiga kelompok yaitu:
a. Mereka yang meriwayatkan suatu hadis yang salah tapi mereka tidak menyadari akan
kesalahannya, sedang setelah mereka mengetaui kesalahannya mereka tidak berusaha
membenarkannya.
b. Mereka yang meriwayatkan hadis dari para pendusta, walaupun mereka tahu betul
dengan setatus gurunya itu. Akan tetapi dalam periwayatannya mereka men-tadlis nama
gurunya.
c. Mereka yang benar-benar dengan sengaja mendustakan atas nama Nabi Muhammad Saw.
tidak karena salah dalam periwayatannya ataupun meriwayatkannya dari para pendusta.

Kesengajaan kelompok yang ketiga ini dalam memalsukan hadis tentu ada faktor-faktor yang
mendorongnya. Berikut akan disebutkan beberapa diantara faktor-faktor yang melatar belakanginya:

1) Zindiq. Artinya orang-orang yang bermaksud merusak shariat dan membuat ragu orang-orang
awam terhadapnya serta mempunyai tujuan untuk mempermainkan agama. Sebagai contoh:
Artinya: sesungguhnya Allah ketika hendak menciptakan diri-Nya maka Ia menciptakan
seekor kuda kemudian menjalankannya hingga berkeringatlah kuda itu. Kemudian Dia
menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu”.
2) Konflik politik. Perselisihan antara khawarij dan Shi’ah, Shi’ah dan ‘Usmaniyah, diantara
keduanya, Umwiyyin dan ‘Abbasiyyin, dan antara khawarij dan Umawiyyin adalah
merupakan diantara sebab terjadinya pemalsuan hadis. Hamad bin Salmah berkata “seorang
Shaih mereka (ar-Rafidah) bercerita kepadaku: “ketika kita berkumpul dan menganggap
sesuatu itu baik, maka kami akan membuat hadis” Masih bin al Jahm al Tabi’i berkata: “suatu
saat salah seorang dari kita sesat (mengikuti hawa nafsunya) namun kemudian kembali ada
jamaah, semoga Alloh menyelamatkan kamu sekalian dari mengikuti Ahlu Al-Hawa,
sesungguhnya kami telah meriwayatkan kebatilan (hadis Maudu’), dan kami menganggap
bahwa menyesatkan kalian adalah suatu kebaikan.
3) Fanatisme etnis dan negara. Hadis-hadis di buat untuk mengangkat satu kabilah atau
merendahkannya. Satu contoh hadis: “Sesungguhnya jika Allah swt murka maka Ia akan
menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan jika Ia ridla maka akan menurunkannya dengan
bahasa Persi.” Atau seperti hadis yang menerangkan tentang keutamaan bangsa Arab dari
pada bangsa Persi, termasuk diantaranya hadis yang menerangkan keutamaan-keutamaan
suatu kota atau sebaliknya. Para pembuat hadis banyak melakukannya dalam masalah ini.
4) Perselisihan ahli Kalam dan ahli Fiqh. Ulama telah terbagi, ada yang ahli Sunah, Mu’tazilah,
Jabariyah dan Murji’ah. mereka berselisih tentang masalah kalam dan iman, apakah iman
bisa bertambah atau berkurang? Apakah iman itu ucapan atau perbuatan? dan tentang al-
Qur’an apakah termasuk makhluk? Dalam permasalahan-permasalahan tersebut sebagian
mereka memperbolehkan membuat hadis untuk menguatkan pendapat mereka. Sebagai
contoh: Artinya: apapun tidak akan bermanfaat dengan adanya kemushrikan, begitu juga
tidak ada yang membahayakan dengan adanya keimanan.
5) Menarik simpati masa. Diantara yang mempunyai maksud seperti ini adalah tukang cerita,
orang yang ingin terkenal dan mendapatkan kekuasaan atau orang yang mencari keuntungan
duniawi.
6) Memotifasi manusia untuk senang melakukan kebaikan. Mereka yang bertujuan seperti ini
adalah ahli zuhud dan para sufi yang tidak mempunyai pengetahuan Agama yang dalam.
Mereka beranggapan bahwa membuat hadis dalam rangka Targhib dan Tarhib itu
diperbolehkan dan bahkan mereka beranggapan penduataan ini adalah kebaikan bagi mereka
dan tidak berbahaya bagi mereka.
7) Mengikuti kemauan raja atau pemerintah. Salah seorang ada yang membuat suatu hadis
dalam rangka pembenaran terhadap apa yang dilakukan oleh raja.132

G. Hukum Berdusta atas Nabi Saw dan Periwayatan Hadis Maudhu’.

Para ulama telah sepakat atas keharaman pembuatan hadis palsu secara mutlak. Berbeda dengan
kelompok al-Karamiyyah yang memperbolehkannya dalam rangka al-Targhib wa al-Tarhib, bukan dalam
hal yang berhubungan dengan hukum. Pendapat mereka ini jelas ditolak karena tidak berpijak pada
pijakan yang kuat dan bertentangan dengan dail Aqli maupun Naqli. Padahal Nabi Muhammad Saw telah
bersabda:

“Siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka dia telah mempersiapkan tempatnya di
dalam neraka.”

132
Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm. 86-87.
Jumhur Ahli al-Sunah telah sepakat bahwa berdusta itu termasuk dosa besar. Semua ahli hadis
menolak hadis yang dibawa oleh pendusta atas nama Nabi Muhammad Saw. Bahkan Abu Muhammad al-
Juwaini tidak segan-segan menghukumi kafir mereka yang telah membuat hadis Maudhu’.

Penulis sependapat denga al Juwaini, karena bebohong saja sudah termasuk dosa besar, lalu
bagaimana dengan berdusta atas nama Nabi, padahal Nabi Muhammad Saw telah bersabda:

Artinya: al-Mughiroh berkata saya mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda : "Sungguh
berdusta atas (nama)-ku tidak sama dengan berdusta atas seseorang (selain aku), barangsiapa yang
berdusta atasku dengan sengaja maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka"

Ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa tidak beriman orang yang mengada-adakan
kebohongan kepada Alloh. Mendustakan Rasulullah Saw sama halnya dengan mendustakan Allah. Dalam
surat An-Najm Allah berfirman:

٤ ‫ي ُيوَح ٰى‬ٞ ‫ ِإۡن ُهَو ِإاَّل َو ۡح‬٣ ‫َو َم ا َينِط ُق َع ِن ٱۡل َهَو ٰٓى‬
Artinya: “dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”(An.Najm. 3, 4)

Sepakat juga dengan al Juwaini seorang pengikut mazhab maliki yaitu Imam Nasirudin ibnu al-
Munir dan juga ulama yang lain dari pengikit Imam Hambali begitu juga al Zahabi, tentang kesengajaan
melakukan kedustaan dalam halal dan haram.

Perlu menjadi catatan bahwa tidak tergolong berdusta atas nama Nabi Muhammad Saw
periwayatan dengan makna, karena para ulama memperbolehkan hal tersebut bagi orang-orng yang ahli
dalam bahasa, paham betul tentang syariat dan maksud pensyariatannya serta waspada terhadap hal-hal
yang dapat mempengaruhi berubahnya makna.

Seperti halnya para ulama sepakat akan diharamkannya memalsukan hadis, mereka juga sepakat
tentang keharaman meriwayatkannya tanpa menjelaskan ke-maudu’-annya. Mereka sama sekali tidak
memperbolehkan meriwayatkan hadis maudhu’ baik yang berkenaan dengan cerita, motifasi apalagi yang
berkenaan dengan hukum. Nabi Muhammad Saw bersabda :

Artinya : Dari Samurah bin Jundub radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan suatu hadis dariku yang dia menduga bahwa itu dusta (palsu),
maka dia termasuk satu dari dua pendusta".133
133
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.hal.34
H. Golongan Yang Memalsukan Hadits

Ada Delapan golongan yang membuat hadits palsu yaitu:

1. Zanadiqah (orang-orang Zindiq)


2. Penganut-penganut bid’ah
3. Orang-orang yang pengaruhi fanatik kepartaian, orang-orang yang ta’ashshub kepada
kebangsaan, kenegerian, dan keimaman.
4. Orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshub madzhab.
5. Para qushshash (ahli riwayat/dongeng)
6. Para ahli tasawuf zuhhad yang keliru.
7. Orang-orang yang mencari penghargaan pembasar negeri.
8. Orang-orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan hadis-hadis yang tidak
diperoleh orang lain.134

I. Karya-Karya Dalam Hadits Maudhu’


1. Al-Maudlu'aat, karangan Ibnul-Jauzi beliau paling awal menuliskan ilmu ini.
2. Al-La'ali Al-Mashnu'ah fil-Ahaadits Al-Maudluu'ah, karya As-Suyuthi merupakan ringkasan
kitab Ibnul-Jauzi dengan beberapa tambahan.
3. Tanzihusy-Syar'iyyah Al-Marfu'ah 'anil-Ahaadits Asy-Syani'ah Al-Maudluu'ah, karya Ibnu
'Iraq Al-Kittani yang merupakan ringkasan dari kedua kitab tersebut di atas.
4. Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla'iifah wal-Maudluu'ah, karya Al-Albani. 135

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan:

134
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV. Pustaka Setia.hal.35
135
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1998) hlm.31.
1. Hadis maudhu’ adalah hadis yang diada-adakan dan dipalsukan atas nama nabi Muhammad
Saw atau kepada orang sesudahnya baik sahabat ataupun Tabi’in.
2. Hadis Maudhu’ mulai muncul pada akhir masa kekhalifahan Usam bin Affan.
3. Bagian-bagian hadis maudhu’: si rawi mengada-ngadakan sendiri, si rawi mgambil perkataan
salaf, hukama dan cerita-cerita israiliyyat, lalu disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw
4. .Tanda-tanda hadis maudhu’: tanda-tanda pada sanad dan tanda-tanda pada matan.
5. Status hadis maudhu’; pertama, berpendapat: hadis maudhu bagian hadis dhaif. kedua,
berpendapat: hadis maudhu bukan termasuk hadis nabi, baik berupa ucapan, perbuatan,
ataupun ketetapan. ketiga, berpandangan: hadis maudhu’ tidak disebut hadis secara mutlak
tetapi berdasar anggapan dan kecendrungan pembuatnya, sedang hakikat dan asalnya bukan
hadis
6. Hukum membuat hadis maudhu’ itu haram, dan bahkan ada sebagian ulama yang meng-kafir-
kan orang yang sengaja membuat hadis palsu. Begitu juga di haramkan meriwayatkannya
kecuali disertai dengan menyertakan keterangan ke-maudhu’-annya.
7. Periwayatan dengan makna tidak dikategorikan pemalsuan atas Nabi saw karena sebagian
ulama membperbolehkannya.
8. Golongan yang memalsukan hadis: zanadiqah, penganut-penganut bid’ah, orang-orang yang
pengaruhi fanatik kepartaian, orang-orang yang ta’ashshub kepada kebangsaan, kenegerian,
dan keimaman, orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshub madzhab, para qushshash, para ahli
tasawuf zuhhad yang keliru.
9. Karya-karya dalam hadits maudlu': Al-Maudlu'aat, Al-La'ali Al-Mashnu'ah fil-Ahaadits Al-
Maudluu'ah, Tanzihusy-Syar'iyyah Al-Marfu'ah 'anil-Ahaadits Asy-Syani'ah Al-Maudluu'ah,
Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla'iifah wal-Maudluu'ah.

BAB XI

PENGENALAN TAKHRIJ HADITS


A. Pengertian Takhrij

Mahmud attahhan menjelaskan pengertian Takrij menurut bahasa sebagai “Berkumpulnya dua
perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu kata”. Tahkrij sering dikatakan dalam beberapa arti :

1. Al-Istimbat (hal mengeluarkan)


2. Al-Tadrib (hal melasih)
3. At-taujih (hal memperhadapkan).136

Sedangkan tahkrij menurut istilah berbeda-beda menurut penuturan berbagai ulama. Abd. Yuhdi
Abdul Qadir mendefenisikan takhrij sebagai “bahwa penulis menyebutkan hadis dengan sanad-sanadnya
dalam kitab-kitabnya”. Ibrahim abd. Fattah Halibah mengutib pendapat Al-Manawi tentang defenisi
takhrij sebagai berikut: Mengembalikan hadis-hadis ketempat asalnya yang ditulis oleh ulama-ulama
hadis dalam kitab jawami’, sunan dan musnad. 137

Sementara Mahmud at-Tahhan memberi defenisi sebagai berikut.Menunjukkan letak hadis pada
sumber aslinya yang lengkap dengan sanad-sanadnya kemudian menjelaskan status atau kualitas hadis
jika diperlukan . Dari defenisi diatas dapat kita lihat bahwa takhrij itu adalah menelusuri suatu hadis
kesumber asalnya yaitu kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan
kualitas hadis tersebut apakah shhih, Hasan atau dhaif.138

B. Sejarah Ilmu Takhrij.

Ulama-ulama dahulu tidak memetingkan pada kaidah ilmu takhrij karena pengetahuan mereka
pada hadis sangat luas dan hubungan mereka sumber asli sangat akrab dan kuat. Apabila mereka mau
membuktikan kesahihan suatu hadis dengan spontan mereka bisa mencari dalam Kutub as-sittah bahkan
di jilid beberapa terdapat hadis tersebut sehingga mudahlah bagi mereka mengetahui hadis yang didengar
sumber aslinya.

Era di mana para ulama-ulama menguasai sumber asli hanya beberapa abad. Para ulama selanjutnya
mulai menemui kesulitan untuk mengetahui sumber suatu hadis yang terdapat dalam Kitab Fiqih Tafsir

136
Mahmud Al Tahhan, Usul At-Takhrij Wadirasatul Asrid (Kairo: Maktabah al-Ma’arif lin nasr wat tauzi
riadh, t.th.), H. 7- 8.
137
Ibrahim Abd Fattah Halibah, Al-Qoul Badi’ fi Takhrij Ahadis Syafi’i. (Kairo: Dar Arabiyah
Muhammadiyah, t.th.), h. 10.
138
Mahmud At-thahan, Usul Takhrij, h. 10
dan Tarikh maka muncullah segolongan ulama yang mulai melakukan Takhrij hadis terhadap karya-karya
ilmu tersebut dan menjelaskan kedudukan hadis itu apakah statusnya shohih. Hasan atau dhaif.

Di antara kitab-kitab takhrij yang pertama muncul adalah: Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-
Shihah wa al-Gharaib karya Abi Al-Gharaib, Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Gharaib
karya Abi Qasim al-Mahrawam dan kitab Takhrij Ahadits al-Muhazzab oleh Abu Ishak As Syirazi.
Kemudian pada masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrij hadis semakin meluas hingga
mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri sangat signifikan terhadap
perkembangan ilmu-ilmu keIslaman lainnya.139

Mahmud at-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat
penting sekali bagi setiap ilmuan yang bergelut dibidang ilmu syariah khususnya bagi yang bergelut
dibidang ilmu hadis dengan ilmu ini seseorang bisa memeriksa hadis ke sumber asalnya. Ismail Abd
Wahid Makhluf dan Taufiq Ahmad Saliman menyebutkan tujuan ilmu takhrij sangatlah banyak, namun
yang terpenting di antaranya.

1. Mengetahui sumber hadis dimana hadis tersebut didapati.


2. Untuk mengetahui status kualitas, apakah hadis itu shahih atau Hasan atau dhaif. 140

M. Syuhudi Ismail menyebutkan sebab-sebab perlunya kegiatan takhrij hadis sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui asal usul riwayat hadis yang diteliti


b. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan di teliti.
c. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya Shahib dan Mutabi. Pada sanad yang diteliti. 141

Abd. Muhdi Abdul Qadir menyebutkan tujuan takhrij adalah mengetahui sumber asal hadis dan
kualitas hadis tersebut apakah bisa diterima atau tidak.[9] Sedangkan manfaat takhrij hadis banyak sekali
diantaranya :

Memperkenalkan Sumber-sumber hadits

Menambah perbendaharaan sanat hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukkan.

Memperjelas keadaan-keadaan sanat sehingga dapat diketahui apakah hadis tersebut manqothi, mudhol
atau lainnya.

139
Muhammad Abd Muldi Abd Qhair, Turuq Takhrij Hadis Rasulullah SAW (Kairo: Darul I’tisom, t..th.),
h. 9.
140
Ismail Abd Wahid dan Taufiq Ahmad Salim, Nazarat Fi Ilmi Takhrij (Beirut: t.p., 1988), h. 8.
141
M. Syuhudi Ismail, Methodology Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang. 1992), h. 44.
C. Kitab-kitab yang diperlukan dalam mentakhrij.

Seorang peneliti dalam melakukan takhrij hadis haruslah mempunyai kitab-kitab pedoman
diantara kitab-kitab tersebut.

1. Usul Takhrij oleh mahmud Attahhan.


2. Hushul al-Tafrij oleh Ahmad Ibn. Muhammad Al-Gharami.
3. Turuq Takhrij oleh Abd Muhdi
4. Methodologi Penelitian Hadits Nabi Muhammad Saw oleh Syuhudi Ismail.

Selain kitab-kitab diatas diperlukan juga bantuan kitab-kitab kamus mu’jam hadits dan mu’jam
para perowi hadis diantara kitab-kitabnya :

a. Al-Mu’jam al-Mufharas li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J. Wensinck.


b. Miftah Kunuz al-Sunnah oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad
Abd Baqi.
c. Mausu’ah Athraful Hadits an-Nabawi oleh Zaglul.142

Disamping itu diperlukan juga kitab yang memuat biografi para sahabat diantaranya:

1) Al-Istiab oleh Ibnu Abd Barr.


2) Usul al-Ghabah oleh Abd Atsir
3) Al-Ishabah oleh Ibn Hajar al-Asqalani.
4) Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

Kemudian juga diperlukan kita Tabaqat yaitu kitab-kitab yang membahas biografi para perawi
hadits. Seperti al-Jarh wa at-Ta’dil.143

D. Cara Mentakhrij Hadits.

Dalam melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
142
A.J. Wensick, al-Mu’jam al-Mufahras (Leiden: Breil, 1962).
143
Ibnu Hajar al-Asqolani, Tahdzib at-Tahdzib (Beirut: Daar Shadir, 1325).
1. Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis
2. Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan
3. Takhrij menurut rawi pertama
4. Takhrij menurut tema hadis
5. Takhrij menurut status hadis
a. Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis.

Ketika kita menjumpai sepotong hadis yang mau diteliti kita harus mengetahui bagian awal dari
bagian matan tersebut, penelusuran hadis dalam metode ini dilakukan melalui awal kata matan hadis, ini
dapat dilakukan dengan bantuan sebagian kitab atrof yang disusun menurut urutan alfabet maka seorang
peneliti harus disusun menurut urutatn alfabet maka seorang peneliti harus melihat huruf pertama pada
kitab-kitab takhrij. Kitab-kitab yang membuat susunan seperti ini diantaranya:

1) Mausu’ah Atraful Hadis oleh Zaglul


2) Al-Jami’as-Shaghir oleh Imam as-Suyuti.
3) Hidayatul Bari oleh at-Tahtawi

Metode ini mempunyai kelebihan dalam memberikan kemungkinan peneliti mencari hadis
dengan cepat akan tetapi metode ini punya kelemahan ketika lafal pertama hadis tersebut adalah huruf
seperti ‫إذا‬. Dan sebagainya.144

b. Takhrij melalui kata-kata dalam matan hadis

Metode ini mengambil lafaz hadis berdasarkan fi’il dan isim saja kalau sudah ditemui fi’il atau
isim dalam hadis, maka fiil atau ism tersebut dicari di kamus-kamus hadis. Penyusun metode ini
memusatkan pada lafaz-lafaz yang asing dan jarang penggunaannya. Kelebihan metode ini :

Metode ini relatif cepat dalam pemcarian hadis. Para penulis kamus-kamus hadis juga telah menuliskan di
kitab apa hadis tersebut termua, hingga bab serta juz dan halamannya. Dengan metode ini kata apa saja
yang ditemui dalam potongan hadis akan dapat dicari hadis tersebut.

Kelemahan Metode ini. Pengguna metode ini harus punya kemampuan yang memadai dalam
bahasa arab. Metode ini tidak menyebutkan perawi hadis tersebut. Terkadang tidak ditemui dalam
pencarian itu dengan satu kata maka harus beralih pada kata-kata yang lain hingga pencarian suatu hadi
bisa memerlukan dua kata kunci atau lebih. Karangan yang terkenal dalam metode ini ialah al-Mu’jam al-
Mufharas lil al-Fazil Hadis oleh A.J. Wensick.

144
Abu Muhammad Abdurrahman b. Hatim, Kitab Jarh wa at-Ta’dil. (Beirut: Daar Kutub Ilmiyah, t.t.).
c. Takhrij melalui parawi hadis pertama.

Metode ini merupakan pencarian dengan menggunakan sahabat atau perawi pertama jika hadis
tersebut sanadnya bersambung sampai pada nabi. Namun bila hadisnya mauquf maka harus ditentukan
rawi pertama.langkah selanjutnya adalah mencari hadis-hadis yang tertera dibawah sahabat tersebut,
namun apabila sahabat tersebut termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadis maka haruslah dicari
rawi dan begitu selanjutnya.

d. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis

Dalam menggunakan metode ini, peneliti harus mengetahui tema yang dibahas dalam hadis
tersebut. Dalam menggunakan meggunakan metode ini, peneliti memerlukan pengetahuan tentang
keIslaman secara umum dan kajian fiqih secara khusus. Dalam suatu hadis sering dijumpai beberapa
tema, dalam hal ini seorang peneliti harus menetapkan pada tema apa hadis tersebut dicari. Diantara
karya-karya yang disusun dengan metode ini ialah :

1) Kanz al-Ummal oleh Muttaqi Al Hindi.


2) Miftah Kunuz al-Sunnah oleh A.J. Wensinck.
3) Nashb al-Rayah oleh al-Zaila’l.
4) Takhrij Berdasarkan Status hadis.

Metode ini dapat dilaksanakan setelah peneliti mengetahui status suatu hadis seperti hadis Qudsi,
hadis Masyhur, daif atau hadis mursal. Keistimewaan metode ini adalah penelitian menjadi mudah bagi
peneliti yang sudah terbiasa menggunakan kitab-kitab yang menyususn hadis berdasarkan satatusnya.
Kelemahannya adalah tersangkut dengan sedikitnya fasilitas berupa buku-buku yang dapat dipergunakan
untuk metode ini. Karya-karya yang ditulis berdasarkan metode ini.

a) Al-Azhar al-Mutanatsirah oleh Imam Suyuti.


b) Al-Ittihafat al-Saniyah oleh Maidani.
c) Silsilah Ahadis ad-Daifah wal Maudu’ah oleh Nasruddin albani

Kesimpulan.

Ada perbedaan di kalangan ulama hadis dalam mendefenisikan Takhrij hadis, namun dapat
disimpulkan bahwa takhrij hadis adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya pada kitab-kitab Jami,
sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah shahih, Hasan
atau dhaif. Ada beberapa cara dalam mentakhrij hadits:

1. Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis.


2. Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan .
3. Takhrij menurut rawi pertama.
4. Takhrij menurut tema hadis.
5. Takhrij menurut status hadis.

Beberapa kitab yang diperlukan dalam mentakhrij hadis adalah:

a. Usul Takhrij oleh mahmud Attahhan.


b. Hushul al-Tafrij oleh Ahmad Ibn. Muhammad Al Gharami.
c. Turuq Takhrij oleh Abd Muhdi.
d. Al-Mu’jam al-Mufharas li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J. Wensinck.
e. Miftah Kunuz al-Sunnah oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad
Abd Baqi.
f. Mausu’ah Athraful Hadis an-Nabawi oleh Zaglul.
g. Al-Istiab oleh Ibnu Abd Barr.
h. Usul al-Ghabah oleh Abd Atsir.
i. Al-Ishabah oleh Ibn Hajar al-Asqalani.
j. Al-Jarh wa at-Ta’di juga karya Ibnu Hajar.

BAB XII

METODE MUHADITSIN DALAM MEMAHAMI HADITS


Para ulama ahli hadits dalam memahami hadits Nabi Muhammad Saw ini dibagi dalam dua
periode, yaitu:

A. Periode Mutaqdimin

Periode ini menjaga otentitas/keaslian dan validitas suatu bangunan hadits, ulama hadits periode
mutaqadimin ini tidak semata-mata hanya mengandal: akurasi daya ingat yang kuat dan dokumentasi
catatan yang teruji, integritas individu penyampai hadits dan ketersambungan sanad, tetapi juga
memandang signifikansi tersambungnya bangunan riwayat hadits dari syad dan illat. Hadits dengan
kualitas seperti inilah yang bisa dijadikan sandaran argumentasi dalam beragama. 145

Secara umum, mekanisme dalam memahami hadits Nabi Muhammad Saw. melalui tahapan sebagai
berikut:

1. Memperhatikan kualitas hadits

Ulama hadits mutaqadimin menganggap penting, di mana kajian dalam memahami matan suatu
hadits dilakukan setelah sanad matan hadits telah diketahui kualitasnya. Kajian dalam memahami matan
dilakukan setelah sanad hadits itu memang berkualitas shahih, hasan atau asal dha’ifnya tidak terlalu, jika
sanadnya sudah diketahui sudah terlalu, maka tidak perlu dikaji matannya, sebab tidak akan banyak
memberi manfaat.

2. Mencermati susunan redaksional matan

Tidak jarang diketemukan perbedaan redaksi matan hadits yang memiliki kesamaan arti. Hal ini
terjadi akibat toleransi ar-riwayat bi al-makna, rawi rupa, atau mis-konsepsi terhadap riwayat yang
diterima dari gurunya. Menurut muhaditsin, perbedaan redaksional yang tidak mengakibatkan perbedaan
arti asalkan sanadnya sama-sama shahih dapat ditoleransi. Dalam kasus seperti ini, mekanisme kajian
yang dilakukan dengan melakukan komparasi sekian matan yang memiliki kesamaan substansi. Sehingga
dapat diketahui, mana di antara sekian matan hadits itu yang pantas dinisbahkan kepada Nabi Muhammad
Saw.

3. Meneliti dan memahami substansi matan

145
T.M. Hasbi Al-Shiddieqie dalam Usman Syahroni, Otentisitas Hadis. (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008)
hal. 2
Dalam meneliti dan memahami kandungan matan hadits, realitasnya diketemukan keragaman
acuan pendekatan, ada yang disepakati dan ada yang menyisakan polemik di antara ulama hadits. Acuan
yang disepakati sebagai pendekatan dalam memahami maksud matan hadits ada dua, yaitu Al-Qur’an dan
as-Sunnah. Sementara acuan dalam memahami substansi matan hadits yang sampai sekarang masih
menjadi polemik di antara ulama antara lain: a. logika (akal sehat). b. fakta historis. c. pokok-pokok
ajaran Islam. d. ijma’ (konsensus ulama). e. qiyas (analogi). f. perilaku sahabat, dan lain-lain. 146

B. Hermeneutika Sebuah Paradigma Baru Dalam Memahami Hadits

Sebagai sebuah teks, hadits Nabi Muhammad Saw menghadapi problem yang sama sebagaimana
yang dihadapi oleh teks-teks lainnya, seperti Al-Qur’an dan kitab-kitab suci yang lain, teks pasti tidak
bisa mempresentasikan keseluruhan gagasan dan situasional sang empunya. Karena dalam alam yang
berbeda yang satu pada dataran alam ghaib dan satu sisi berada dalam alam empiris. Demikian juga
teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis dan kompleks dituliskan, maka penyempitan dan pengeringan
makna dan nuansa tidak bisa dihindari. Berdasar struktur berfikir yang seperti ini, maka perumusan
metodologi pemahaman dan penafsiran hadits menjadi sangat urgen dalam rangka pencarian kembali
teks-teks hadits sehingga menjadi wacana yang hidup dan mampu berdialog dengan zaman yang selalu
berubah. Di sinilah hadits bersinggungan dengan problem Hermeneutika.

Secara terminologis Hermeneutika diartikan sebagai penafsiran ungkapan-ungkapan dan


anggapan dari orang lain, khususnya yang berbeda jauh dari rentang sejarah. Dewasa ini Hermeneutika
sering diartikan penafsiran terhadap teks yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang berbeda
dengan lingkungan yang ketika sebuah teks itu diturunkan. Dengan demikian Hermeneutika mengarahkan
agar teks yang sedang dipelajari mempunyai arti sekarang dan di sini, sehingga sebuah teks tersebut
mengarah secara terbuka menuju sekarang dan di sini.147

C. Tokoh-tokoh Pemikir Hermeneutika Hadits.


1. Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawiy (Ulama Mesir mantan Rektor Al-Azhar Mesir, ahli Fiqh
Kontemporer).

146
Ibid. hal. 3
147
Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushtalatul Hadis. (Bandung: PT Alma’arif, 1991) hal6-12
Dalam rangka memahami makna hadits dan menemukan signifikasi kontekstualnya al-
Qardhawiy menganjurkan beberapa prinsip dalam penafsiran hadits:

a. Memahami sunnah berdasarkan petunjuk Al-Qur’an.


b. Menghimpun hadits yang topiknya sama.
c. Memahami hadits berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuan (asbaabul wurud).
d. Pendekatan linguistik. Seorang penafsir hadits harus menggunakan pendekatan historis
terhadap makna lafadz-lafadz hadits yang sesungguhnya pada saat hadits yang
bersangkutan muncul dan penggeseran-penggeseran makna yang menjadi pada bentangan
sejarah berikutnya.
2. Prof. Dr. Syuhudi Ismail (Guru besar Hadits UIN, Ulama’ Indonesia)

Dalam memahami hadits itu harus dipagami ketika Nabi berbuat, berkata dan menetapkan itu
beliau sebagai apa: sebagai Nabi dan Rasul, Kepala Negara, Kepala Masyarakat, sebagai Hakim, sebagai
suami, sebagai ayah dan sebagai kakek.

3. Prof. Dr. Muhammad Iqbal (Ulama’ dari Pakistan, Sastrawan dan pembaharu pemikiran
dalam Islam)

Menurut Iqbal ketika seseorang hendak mengambil pelajaran dari hadits adalah bagaimana
membedakan hadits-hadits yang membawa konsekuensi hukum dan yang tidak membawa konsekuensi
hukum. Kemudian harus diteliti pula sejauhmana hadits-hadits hukum tersebut mengandung kebiasaan
bangsa Arab pra Islam yang membiarkan beberapa kasus tetap berjalan dan beberapa kasus yang lain
yang telah dimodifikasi oleh Nabi Muhammad Saw.

4. Prof. Dr. Fazlur Rahman (Ulama’ dari Pakistan kemudian hijrah ke Amerika).

Bagi penafsir hadits harus dipahami bahwa hadits itu adalah:

a. Sunnah Nabi Muhammad Saw lebih tepat jika dipandang sebagai konsep pengayoman
daripada bahwa hadits mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara
mutlak.
b. Bahwa sunnah adalah merupakan petunjuk arah daripada serangkaian peraturan-peraturan
yang telah ditetapkan secara pasti.
Oleh karena itu penafsiran situasional melalui studi historis dalam rangka mencairkan hadits-
hadits ke dalam bentuk sunnah yang hidup ini kami membuat kita dapat menyimpulkan norma-norma
darinya.148

D. Tipologi Ulama’ dalam Memahami Hadits

Secara garis besar tipologi ulama’ dalam memahami hadits Nabi Muhammad Saw dapat
diklasifikasi ada dua tipologi:

1. Tekstualitas, yaitu tipologi pemahaman yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua
ajaran Islam tanpa memperdulikan proses panjang pengumpulan hadits dan proses
pembentukan ajaran orotodoks/normatif. Tipologi yang demikian ini oleh ahli sosiologi
dikategorikan sebagai tipologi pemikiran yang ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya
hadits dari sunnah yang timbul pada saat itu).
2. Kontekstualis, yaitu golongan yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam
melalui kritik-historis terhadapnya dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul
(asbaabul wurud) hadits tersebut. (Amin Abdullahl 1996, 315).149

E. Contoh Hadits Tentang Isbaalur Izar

‘Ubaid bin Khalid ra. berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah tiba-tiba ada
seorang di belakangku sambil berkata: “Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan
kepada ketakwaan”, ternyata dia adalah Rasulullah Saw , aku pun bertanya kepadanya: “Wahai
Rasulullah Saw ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal), Rasulullah Saw menjawab: “Tidakkah pada
diriku terdapat teladan?” Mkaku melihat sarungnya hingga setengah betis”. (HR. Tirmidzi dalam Syamail
97, Ahmad 5/364, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Syamail Muhammadiyah, hal. 69). 150

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Walhasil ada dua keadaan bagi laki-laki, dianjurkan yaitu
menurunkan sarung hingga setengah betis, boleh yaitu hingga di atas kedua mata kaki. Demikian pula

148
Mukhtar al-Shihah dalam Prof. Dr. MM. Azami. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jaarta:
Pustaa Firdaus, 2009), cet. ke-4, hal. 13
149
T.M. Hasbi Al-Shiddieqie dalam Usman Syahroni, Otentisitas Hadis. (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008) hal. 2-3
150
Lisan al ‘Arab dalam Prof. Dr. MM. Azami. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jaarta: Pustaa
Firdaus, 2009), cet. ke-4, hal. 13
bagi wanita ada dua keadaan, dianjurkan yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga sejengkal, dan
dibolehkan hingga sehasta”. (Fathul Bari 10/320).

1. Dalil-dalil Haramnya Isbal

Pertama:

Artinya. Dari Abu Dzar bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak
akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang peduh; Rasulullah Saw
menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang tiga kali, Abu Dzar berkata: “Merugilah mereka,
siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah Saw menjawab: “Orang yang memanjangkan pakaiannya,
yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah
palsu”. (HR. Muslim 106, Abu Dawud 4087, Dharimy 2608, Lihat Al-Irwa’: 900).

Kedua:

Artinya. Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang
melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” (HR.
Bukhari 5783, Muslim 2085).

Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena
itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat, tidak disucikan-Nya, dan baginya adzab
yang pedih”. (Manahi Syari’ah 3/206).

Ketiga:

Artinya. Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi Muhammad Saw bersabda: “Apa saja yang di
bawah kedua mata kaki di dalam neraka”. (HR. Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96).

Keempat:

Artinya. Dari Mughirah bin Su’bah ra., adalah Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Sufyan bin
Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal” (HR. Ibnu
majah 3574, Ahmad 4/246, Thabrani dalam Al-Kabir 7909, dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-
Shalihah 2862).
Kelima:

Artinya. “Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan dan Allah
tidak menyukai kesombongan”. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishahihkan oleh Al-Albany dalam
As-Shahihah 770).

Keenam:

Artinya. Dari Ibnu Umar berkata: “Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku
terjurai, kemudian Rasulullah Saw. menegurku seraya berkata: “Wahai Abdullah tinggikan sarungmu!”
Aku pun meninggikannya, belia bersabda lagi: “Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka
semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya: “Seberapa
tingginya?” “Sampai setengah betis”. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).

2. Dalil Bolehnya Isbaalul Izar, Asal Tidak Sombong

Artinya. Nabi Muhammad Saw bersabda: Barang siapa yang menyeret pakaiannya dengan perasaan
sombong, maka Allah tidak akan pernah melihat dia di hari kiamat. Maka Abu Bakar bertanya: “Ya
Rasulullah Saw , sesungguhnya pakaian saya sering kali melorot ke bawah kecuali dijaganya. Maka
Rasulullah Saw menjawab: Engkau bukan termasuk orang yang sombong (HR. Bukhari dan Ibnu Umar).
Bukhari Juz I.151

151
Prof. Dr. MM. Azami. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jaarta: Pustaa Firdaus, 2009), cet. ke-
4, hal. 14
BAB XIII

HADITS DAN ILMU HADITS

A. Pengertian Hadits dan Ilmu Hadits.


1. Pengertian Hadits

Menurut Ibnu Manzhur, kata hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits, jamaknyaal-ahadits,
al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang
baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.[2]Selain itu bila kata
hadist diperhadapkan pada etimologi (asal-usul kata), lafaz ‫ حدث‬dapat berarti al-kalam (pembicaraan), al
waq’u (kejadian), Ibtada’a (mengadakan), al-sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al-qadim (lawan
dari yang lama).152

Dalam Al-Qur’an kata hadits ini disebutkan sebanyak 23 kali.Berikut ini beberapa contohnya.

a. Hadits sebagai komunikasi: risalah atau Al-Qur’an. Allah Swt. berfirman,

‫ٱُهَّلل َنَّز َل َأۡح َس َن ٱۡل َحِد يِث ِكَٰت ٗب ا ُّم َتَٰش ِبٗه ا َّم َثاِنَي َتۡق َش ِع ُّر ِم ۡن ُه ُج ُلوُد ٱَّل ِذ يَن َيۡخ َش ۡو َن َر َّبُهۡم ُثَّم َتِليُن ُج ُل وُد ُهۡم‬
‫َو ُقُلوُبُهۡم ِإَلٰى ِذ ۡك ِر ٱِۚهَّلل َٰذ ِلَك ُهَدى ٱِهَّلل َيۡه ِد ي ِبِهۦ َم ن َيَش ٓاُۚء َو َم ن ُيۡض ِلِل ٱُهَّلل َفَم ا َل ۥُه ِم ۡن َهاٍد‬
Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa
(ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan
kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.dan barangsiapa yang disesatkan
oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberi petunjuk.” (Q.S. Az-Zumar: 23).

b. Hadits sebagai kisah tentang suatu watak secular atau umum.

Allah Saw. berfirman,

‫َو ِإَذ ا َر َأۡي َت ٱَّلِذ يَن َيُخ وُضوَن ِفٓي َء اَٰي ِتَنا َفَأۡع ِر ۡض َع ۡن ُهۡم َح َّتٰى َيُخ وُضوْا ِفي َحِد يٍث َغ ۡي ِرۚۦِه َو ِإَّم ا ُينِسَيَّنَك‬
‫َّٰظ‬
٦٨ ‫ٱلَّشۡي َٰط ُن َفاَل َتۡق ُع ۡد َبۡع َد ٱلِّذ ۡك َر ٰى َم َع ٱۡل َقۡو ِم ٱل ِلِم يَن‬

152
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1991), h.59.
Artinya: “dan apabila kamu (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat
kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika syaitan benar-
benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk
bersama orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al An’am: 68).

c. Hadits sebagai kisah historis.

Allah Swt. berfirman,

‫َو َهۡل َأَتٰى َك َح ِد يُث ُم وَس ٰٓى‬

Artinya: “apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?.” (Q.S. Thaha:9).

d. Kisah kontemporer atau percakapan.

Allah Swt. berfirman,

‫َو ِإۡذ َأَس َّر ٱلَّنِبُّي ِإَلٰى َبۡع ِض َأۡز َٰو ِج ِهۦ َحِد يٗث ا َفَلَّم ا َنَّبَأۡت ِبِهۦ َو َأۡظ َهَرُه ٱُهَّلل َع َلۡي ِه َع َّر َف َبۡع َض ۥُه َو َأۡع َر َض َع ۢن‬
٣ ‫َبۡع ٖۖض َفَلَّم ا َنَّبَأَها ِبِهۦ َقاَلۡت َم ۡن َأۢن َبَأَك َٰه َذ ۖا َقاَل َنَّبَأِنَي ٱۡل َعِليُم ٱۡل َخ ِبيُر‬

Artinya: “dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya
(Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah
memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad
memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain
(kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah)
lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal Ini kepadamu?" Nabi menjawab:
"Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."” (Q.S. At-
Tahrim: 3).

Dari ayat-ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kata hdits telah digunakan dalam al-
Qur’an dalam arti kisah, komunikasi atau risalah baik religion ataupun sekuler, dari suatu masa lampau
atau masa kini.153

Secara terminologis pengertian hadist berbeda-beda menurut para ulama, baik muhaditsin, ulama
ushul, ataupun fuqaha.Ulama Hadits mendefinisikan hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari
Nabi Saw., baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat atau hal ihwal Nabi Muhammad Saw. 154
153
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung : Cita Pustaka Media, 2005) h.138.
154
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) h. 204.
Menurut ahli ushul fiqh, pengertian hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw., selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, amupun taqrir Nabi Muhammad
Saw yang bersangkut-paut dengan hukum syara’.Sedangkan menurut para fuqaha hadits adalah segala
sesuatu yang ditetapkan Nabi Muhammad Saw.yang tidak bersangkut paut dengan masalah fardhu atau
wajib.155

Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-
masing, yang tentu saja megandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.Perbedaan
tersebut memunculkan dua pengertian hadits, yaitu secara khusus atau terbatas dan secara umum atau
luas.156

Penegertian hadits secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur al-Muhaditsin adalah
“sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw.baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan
(taqrir) dan sebagainya.”Dengan demikian, menurut ulama hadits, esensi hadits adalah segala berita yang
berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad Saw.Yang dimaksdud
dengan hal ikhwal di sini adalah segala sifat dan keadaan Nabi Muhammad Saw. 157

Adapun pengertian hadits secara luas, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Saw Mahfudz
At-Tirmidzi, adalah “sesungguhnya hadits bukan hanya yang dimarfukkan kepada Nabi Muhammad
Saw., melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan kepada perkataan dan sebagainya
dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin).Perbedaan ini didasari
bahwa para ulama memaknai hadits berbedda dalam melihat sasaran hadits tersebut. 158

Istilah sunnah, khabar, dan atsar sering disebut sebagai pengganti istilah hadits. Dari sudut
terminologi, para ahli tidak membedakan antara hadits dan sunnah. Menurut mereka, hadits atau sunnah
adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan
maupun sifat beliau, dan sifat ini, baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku, sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya.159

Selain disinonimkan dengan Sunnah, Hadits juga disinonimkan dengan khabar.Khabar menurut
lughah adalah al-naba’ (berita).Kalangan Muhaditsin menilai antara khabar dengan hadits adalah sinonim.
Pendapat lain membedakan istilah keduanya, yakni hadis adalah apa yang datang dari Nabi Muhammad
Saw. Menurut istilah khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi Muhammad
155
Rahman, Ibid.
156
Al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Beirut : Dar Al-Qur’an al-Karim, 1399 H/ 1979 M) h .19.
157
Rahman, Ikhtisar, h .64.
158
Rahman, Ikhtisar, h .65
159
Rahman, Ikhtisar.
Saw., atau yang selain dari Nabi Muhammad Saw. Maksudnya bahwa khabar itu cakupannya lebih luas
dibandingkan dengan hadits.Khabar mencakup segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad
Saw.dan selain Nabi Muhammad Saw, seperti perkataan sahabat dan tabiin, sedangkan hadits adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir
(ketetapan) beliau.160

Adapun kata atsar secara bahasa berarti bekas atau sisa sesuatu, tetapi secara istilah kata atsar ada
yang menyamakan dengan istilah hadits dan adapula yang berpendapat bahwa kata atsar adalah khusus
yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad Saw (sahabat dan tabi’in). 161

Dari pengertian mengenai hadits, sunnah, khabar, dan atsar di atas, menurut jumhur ulama ahli
hadits, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah,
khabar, atau atsar. Begitu pula sunnah dapat disebut dengan hadits, khabar, atau atsar. Oleh karena itu,
hadits mutawatir dapat juga disebut dengan sunnahmutawatir atau khabar mutawatir. Begitu juga, hadits
sahih dapat disebut dengan sunnah sahih, khabar sahih, atau atsar sahih. 162

Sedangkan bentuk-bentuk hadits itu antara lain:

1) Hadits Qauli

Hadits Qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Dengan kata lain, hadits qauli adalah hadits berupa perkataan Nabi Muhammad Saw.
yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek
aqidah, syariat, maupun akhlak.163

2) Hadits Fi’li

Hadits Fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.Dalam
hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi Muhammad Saw.yang menjadi anutan perilaku para
sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya. 164

3) Hadits Taqriri

Hadits Taqriri adalah hadits berupa ketetapan Nabi Muhammad Saw.terhadap apa yang datang
atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi Muhammad Saw. membiarkan atau mendiamkan suatu
160
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 106.
161
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 207.
162
Hasbi As-Shiddiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirasah Hadis (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), h. 32.
163
Wahid, Studi Ilmu Hadis, h. 152.
164
Khatib, Ushul al-Hadits, h. 302.
perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau
membenarkan atau mempersalahkannya. Sikap Nabi Muhammad Saw yang demikian inidijadikan dasar
oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah atau mempunyai kekuatan hukum untuk
menetapkan suatu kepastian syara’.165

4) Hadits Hammi

Hadits Hammi adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi Muhammad Saw.yang
belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Nabi Muhammad Saw belum
sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum datang bulan ‘Asyura tahun
berikutnya.Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’i dan para pengikutnya, menjalankan hadits hammi
disunahkan, sebagaimana menjalankan sunah-sunah lainnya.166

5) Hadits Ahwali

Hadits Ahwali adalah hadits yang berupa hal ikhwal Nabi Muhammad Saw.yang tidak termasuk
kedalam keempat kategori bentuk hadits di atas. Hadits yang termasu kategori ini adalah hadits-hadits
yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik Nabi Muhammad Saw. 167

2. Pengertian Ilmu Hadits

Imu hadits (‘ulum al-hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits.Kata ‘ulum
adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu). Secara etimologis, seperti yang diungkapkan oleh As-Suyuthi,
ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada
Nabi Muhammad Saw.dari segi hal ihwal para rawinya, yang menyangkut kedhabitan dan ke adilannya
dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.168

Secara garis besar, ulama hadits mengelompokkan ilmu hadits tersebut ke dalam dua bidang
pokok, yakni ilmu haditsriwayah dan ilmu haditsdirayah.

a. Ilmu hadits riwayah. Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadits riwayah,
menurut bahasa, berarti ilmu hadits yang berupa periwayatan. Menurut ‘Itr secara istilah
165
Thahhan, Taisir Mushthala , h. 22.
166
Rahman, Ikhtisar , h. 69.
167
Thahhan, Taisir Mushthala , h. 25.
168
Bukhari, Shahih Al Bukhari (Beirut : Dar al Fikr, 1401 H/1981 M), 8 juz : juz 1, h. 9.
adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW.,
periwayatannya, dan penelitian lafaz-lafaznya.
b. Ilmu hadits dirayah. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmuushulal-hadits, ‘ulum al-hadits,
musththalah al-hadits, dan qawa’id al-hadits.Definisi yang paling baik, seperti yang
diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu, ilmu yang membahas pedoman-pedoman
yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.169

Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahuai hal ihwalsanad, matan, cara menerima dan mnyampaikan
hadits, dan sifat rawi.

B. Sejarah Hadits dan Ilmu Hadits

Di masa lalu, bermula sejak masa Nabi Muhammad Saw dan sahabat, memang terbuka peluang
untuk membukukan Hadits, tetapi untuk menghindarkan tercampur baurnya dengan Al-Qur’an, maka
nanti pada masa tabi’in barulah hadits-hadits dibukukan. Puncaknya adalah pada masa kekhalifahan
Abbasiyah, yakni ketika Umar bin Abd al-Azis menjabat gubernur Mesir (65-85 H), ia menginstruksikan
agar hadits-hadits ditulis dan dikodifikasikan dalam suatu kitab. 170

Usaha pengkodifikasian Hadits pada masa ini, merupakan tahap awal yangdalam sejarah atau
disebut sebagai periode pertama, tepatnya pada abad 1 H memasuki abad II H, pengkodifikasian hadits-
hadits sudah mengalamiperkembangan, karena ia terhimpun dalam beberapa kitab hadits dengan
metodejuz dan atraf(penghimpunan hadits dengan metode juz dalam arti “bagian” adalah hadits-hadits
disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan kepada penulis kitab. Sedangkan metode atraf adalah setiap
bagian hadis terkadang dicantumkan nama-nama periwayat hadits yang merupakan sumber rujukan),
metode muwatta dan metode musannaf (penghimpunan hadits dengan metode muwattha dalam arti “bab-
bab” adalah hadits-hadits dipisahkan antara hadits Nabi Muhammad Saw. dengan fatwa para sahabat dan
tabi’in, atau pemisahan catatan hadits fiqhi, akidah dan lain-lain.Sedangkan Musannaf yaitu metode
penghimpunan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam dalam mencantumkan hadits-hadits marfu’,
mawquf, dan maqtu’, atau penyusunan kitab-kitab hadis dengan memuat bab-bab tertentu). 171

169
Thahhan, Taisir , h. 25-26.
170
Sunusi, Masa Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013, hlm. 58.
171
Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm.
27.
Memasuki abad III H,Hadis-hadis terhimpun dalam kitab musnad (hadits-hadits yang terhimpun
dalam kitab musnad, tidak tersusun secara bab per bab, melainkan tersusun dari nama-nama sahabat
berdasarkan alfabetis dan juga berdasarkan urutan kedekatannya pada Nabi Muhammad Saw. dengan
demikian, jika seseorang ingin mencari hadits melalui kitab musnad maka terlebih dahulu harus
mengetahui nama sahabat yang pertama meriwayatkan hadits itu. Kitab-kitab musnad yang dapat
ditemukan saat ini adalah antara lain Musnad al-Humaidiy (w.219), Musnad Abu Dawud al-Tayalisiy
(w.204) dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w.241 H)), kitab sunan (hadits-hadits yang terhimpun dalam
kitab sunan tersusun dalam bentuk klasifikasi sumbernya; marfu’ jika berasal dari Nabi Muhammad Saw,
mawquf jika berasal dari sahabat dan maqtu’ jika berasal dari tabi’in. Klasifikasi kualitasnya, yakni hadits
sahih, hasan, da’if. Di antara kitab-kitab himpunan hadits yang tersusun dengan metode ini adalah:
SunanAbu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimiy), dan kitab jami’(hadits-hadits yang terhimpun
dalam kitab jami’ tersusun berdasarkan metode berdasarkan topik-topik masalah yang dibahas dalam
agama; masalah akidah, hukum, adab, tafsir, dan lain-lain. Antara lain kitab hadits yang menggunakan
metode ini adalah kitab jami’ sahih al-Bukhari, dan Sahih Muslim). 172

Pada perkembangan selanjutknya, yakni pada abad IV H, himpunan Hadis dalambeberapa kitab
dijabarkan penghimpunannya dalam metode mu’jam (metode mu’jam yaitu suatu metode penyusunan
kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadis dan lazimnya huruf-hurufnya
disusun berdasarkan alfabetis.Di antara kitab-kitab himpunan hadis yang menggunakan metode ini adalah
kitab Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-Awsat),mustakhraj (metode mustakhraj adalah suatu kitab himpunan
hadis yang metode penyusunannya mengutip kembali hadis-hadis dari kitab-kitab lain, kemudian dikutip
pula sanad-sanadnya secara menyendiri. Kitab-kitab himpunan hadis yang menggunakan metode ini
antara lain Mustakhraj Sahih Bukhari karya Isma‟iliy (w.371 H).), mustadrak (metode mustadrak adalah
kitab himpunan hadits yang didalamnya tercantum kitab hadits lain dan mengikuti persyaratan-
persyaratan hadits yang dipakai oleh kitab lain. Adapun kitab mustadrak yang terkenal saat ini, antara lain
kitab Mustadrak al Hakimal Naisaburi. Kitab tersebut disusun berdasarkan bab-bab fiqh sebagaimana
yang terdapat dalam sahih Bukhari di mana hadits-hadits yang termuat di dalamnya, juga diteliti sesuai
kualitas keshahihannya berdasarkan syarat-syarat Imam Bukhari), dan majma’ (metode majmu’ adalah
pengumpulan hadits-hadits dengan menggabungkan kitab-kitab hadits yang telah ada.Di antara kitab-
kitab himpunan hadits yang menggunakan metode ini adalah Jami’ Bayna al-sahihayn karya al-Humaidi
(w. 488H).Isi kitab tersebut merupakan kutipan hadits-hadits yang digabungkan dari Sahih Bukhari dan
Sahih Muslim).173
172
Sunusi, Masa Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013, hlm.58, 66,
67.
173
Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, (t.t.; Dar: al-Qawmiyah, 1966),
hlm.101.
Dengan terhimpunnya hadits-hadits ke dalam kitab-kitab dengan berbagai metode yang terpakai
itu, menjadikan pula keorisinilan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.yang periwayatannya senantiasa
terjaga dari generasi ke generasi dan apalagi karena ia didukung oleh lahir berkembangnya kaidah-kaidah
ulum hadits. Ulum hadits sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, muncul seiring dengan peliknya
memahami hadits-hadits.Oleh karena itu, pembahasan tentang latar belakang sejarah ulum hadits terkait
dengan perkembangan hadits itu sendiri, mulai dari masa Nabi SAW., sampai masa pengkodifikasian
hadits-hadits itu sendiri.

Menurut data sejarah, faktor utama munculnya ulum hadits, adalah disebabkan munculnya hadits-
hadits palsu, yang telah mencapai klimaksnya pada abad III H. Atas kasus ini, maka ulama hadits
menyusun berbagai kaidah dalam ilmu hadits yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian hadits.
Adapun orang yang pertama menyusun kitab ulum hadits secara sistematis adalah Abu Muhammad al
Ramahurmuzi (360 H), sesudah itu ulama-ulama yang ada di abad IV H, ikut meramaikan arena ulum
hadits, seperti al Hakim Muhammad ibn Abdillah al-Naysaburiy, Abu Nu’im al-Asbahani, al-Khatib dan
generasinya. Kitab-kitab ulum hadits yang ditulisnya dijadikan panduan oleh muhaditsin sesudahnya. 174

Memasuki abad V H dan VI H, ulama-ulama hadits menitik beratkan usaha untuk memperbaiki
susunan kitab dan memudahkan jalan pengambilannya, seperti mengumpulkan hadits-hadits hukum
dalam satu kitab dan hadits-hadits targib dalam sebuah kitab. Bersamaan dengan itu, bermunculannya
kitab-kitab syarah yang memudahkan para muhadits untuk memahami hadits.Pada abad selanjutnya (abad
VII H) pusat kegiatan perkembangannya ulum hadits berada di Mesir dan India.Dalam masa ini banyak
kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang hadits.Atas kebijakan mereka pulalah, sehingga
kitab-kitab ulum hadits diterbitkan.175

Demikianlah ulum hadits terus berkembang dan dipelajari banyak orang.Meskipun terjadi
perubahan-perubahan dalam sistematikanya dan metodepenulisannya, namun tidak terlepas dari
ketentuan-ketentuan yang telahdirumuskan oleh ulama-ulama yang merintisnya. Perubahan sistematika
danmetode penulisannya berkaitan erat dengan proses perkembangan ilmupengetahuan dan kebutuhan
manusia kepadanya.

Ulum hadits yang substansinya terdiri atas ilmu hadis dirayah danriwayah memiliki cabang yang
menurut sebagian ulama telah mencapai 60-anjenis. Bahkan setelah itu berkembang lagi sehingga
menjadi 90-an jenis. Adapun cabang ulum hadits yang termasyhur dan diperpegangi para muhaditsin
selamaini adalah berjumlah tujuh jenis, yakni:
174
Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm.
123.
175
Subhi Saleh, Ulum al-Hadis wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Ilm al Malayin, 1998), hlm. 109.
1. Ilmu Rijal Hadis, yang menerangkan para periwayat hadits, baik darisahabat, tabi’in dan
tabaqah-tabaqah selanjutnya. Diantara kitab-kitabyang membahas masalah ini adalah al
Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr danUsul al Ghabah karya Izzuddin Ibu Asir.
2. Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, yang menerangkan tentang keaiban dan keadilanseorang periwayat
hadits. Kitab yang terkenal membahas masalah iniadalah kitab Tabaqat karya Muhammad Ibn
Sa’ad al-Zuhry al-Basri.
3. Ilm Gharib al- Hadis, yang menerangkan makna-makna atau kalimat yangsukar dipahami
dalam matan hadits. Kitab yang membahas masalah iniadalah al Faiq fi Gharib al Hadits
karya al Zamakhsyari dan al Nihayah fiyGarab al-Hadits, karya Majd al-Din Ibn Asir.
4. Ilm Ilal al-Hadis, yang menerangkan tentang sebab-sebab yangtersembunyi (tidak nyata)
yang dapat mencacatkan hadits. Kitab yangmembahas masalah ini adalah ‘Ilal al-Hadits
karya Ibn Abi Hatim.
5. Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yang menerangkan hadits-hadits yang sudahdihapus, dalam arti
(hadits-hadits) yang tidak relevan untuk diamalkan saatini, tetapi ditemukan hadits lain
sebagai alternatif pengganti. Kitab yangmembahas masalah ini adalah al-I’tibar karya
Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy.
6. Ilm Asbab al Wurud al Hadits, yang menerangkan tentang latar belakangdisabdakan hadits-
hadits oleh Nabi saw. kitab yang membahas masalah iniadalah al-Bayan wa al-Ta’rif karya
Ibn Hamzah al-Husayni.
7. Ilmu Talfiq al-Hadits atau disebut juga Ilm Mukhtalaf al-Hadits, yang menerangkan tentang
cara mengumpulkan antara hadits-hadits yangberlawanan pada zahirnya. Kitab yang
membahas masalah ini adalahMukhtalif al-Hadits karya Imam Syafi’i.

Berdasar dari klasifikasi Ulum hadits diatas, maka secara ontologisia merupakan sebuah cabang
ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada pembahasan secara mendalam dan sistematis terhadap
hadits-hadits, serta pembuktiannya terhadap kevalidan hadits-hadits itu sendiri. 176

C. Hadits dan Ilmu Hadits di Era Modern


1. Modernisasi dalam Islam

Harun Nasution mengemukakan, bahwa dalam masyarakat barat “moderenisme” diartikan


pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham, adat istiadat, istitusi lama, agar menjadi

176
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hlm 11.
sesuai dengan pendapat dan kondisi baru yang ditimbulkan oleh iptek modern. Dalam Islam gerakan
pembaharuan terjadi bukan disebabkan karena pertentangan antara kaum agama dan ilmuan sebagaimana
di barat, melainkan karena adanya kesadaran di kalangan para tokoh pembaharu akan keterbelakangan
umat Islam dari dunia barat.177

Dalam hadits disebutkan “sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini di penghujung setiap
seratus tahun seorang yang memperbaruhi agamanya.”(H.R Abu Dawud).178

Para ilmuan memberikan komentar yang berbeda tentang pengertian modernisasi dalam Islam,
salah satunya al-Alqamiy yang mengatakan al-Tajdid atau modernisasi adalah menghidupkan kembali
pengalaman al-Kitab dan sunnah setelah lenyap dan melaksanakan apa yang dikehendaki keduanya. 179

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modernisasi Islam berarti proses usaha pembaharuan
dalam pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an dan sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan kondisi
masyarakat, sains dan pemurnian akidah islamiyah dari berbagai kurafat, takhayul, tradisi, dan bid’ah
yang bertentangan dengan Islam.

2. Modernisasi dalam Sunnah

Modernisasi dalam sunnah merupakan proses usaha pembaharuan dalam pemahaman dan
pengalaman sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kondisi masyarakat dan sains dan
pemurnian sunnah dari berbagai khurafat, takhayul, tradisi, dan bid’ah dengan cara mengadakan
penelusuran dan penelitian keauntetikan secara adil dah jujur.

Dari pengertian modernisasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa modernisasi sunnah harus
mengakomidasi beberapa hal, yaitu:

a. Adanya usaha pembaharuan. Di sisni berarti perlu adanya pemabaru suunah yang memiliki
persyaratan tertentu pada wialayah sunnah tertentu yang nantinya akan dijelaskan pada
keterangan berikutnya yakni persyaratan pembaru dan wilayah modernisasi.
b. Tututan perkembangan sosial. Modernisasi suunah sangat diperlukan sesuai dengan
perkembangan sosial masyarakat. Karena datangnya sunnah secara berangsur-angsur
menjawab permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

177
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hlm 12.
178
Al-Azdiy Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz 4, hlm. 1835.
179
Abi al-Thayyib Muhammad Syam al-Haqq Abadiy, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), hlm 260.
c. Tututan pemurnian sunnah dari khurafat dan bid’ah. Sunnah adalah perjalanan Rasulullah
Saw. dalam membimbing umat manusia ke jalan yang lurus dan benar. Namun dalam sejarah,
sunnah tidak tercatat secara keseluruhan seperti Al-Qur’an. Terdapat pemalsuan yang dengan
sengaja memasukkan khurafat, bid’ah, takhayul, dan tradisi ke dalam hadits. 180
3. Syarat-syarat Modernisasi dalam Sunnah.
a. Wialayah modernisasi. Sunnah menjadi penjelas Al-Qur’an, menurut Quraish Shihab terbagi
menjadi dua kategori yaitu; 1) di luar wilayah nalar, seperti metafisika, dan perincian ibadah.
2) dalam wilayah nalar, seperti masalah kemasyarakatan. Pertama, jika nilai periwayatannya
shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa adanya pengembangan pembaruan, karena ia di
luar jangkauan rasio manusia. Kedua, sekalipun harus diyakini kebenaran penafsiran nabi
Saw. Namun, harus didudukkan pada proposisi yang tepat, karena bentuk sifat penafsiran
beliau sangan bervaritif, adakalanya berbentuk ta’rif (pemberitahuan), dan irsyad(petunjjuk),
tash’hih (pelurusan).181
b. Seorang modernis memenuhi persyaratan. Semua ulama mempersyaratkan bagi seorang yang
ingin melakukan ijtihad dalam bidang ilmu tertentu harus sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan, persyaratan ijtihad dalam bidang hadits juga demikian.
c. Pemahaman teks sunah secara benar dan dinamis. Misalnya pada masa sahabat disepakati
bahwa diantara persyaratan deorang khalifah harus berketurunan quraysy. Akan tetapi, karena
kemampuan bangsa quraysy yang semakin melemah, maka persyaratan tersebut digugurkan
dan Ibnu Khaldun memberikan iterpretasi makna kata “quraysy” menjadi yang kuat, cerdik,
pandai, religius, sehingga dapat menyatukan suku-suku, dan memelihara stabilitas
pemerintahan.
d. Memelihara sunnah secara kritis. Seorang modernis kritis dan selektif terhadap hadits. Baik
dari pemalsuan, penyimpangan, khurafat, maupun dari bid’ah yang bertentangan dengan
sunnah itu sendiri. Pemeliharaan sunnah dilakukan secara serius dengan cara mengkeritik
berbagai buku hadits baik kritik internal (matan) maupun kritik eksternal (sanad). Kritik
hadits dilakukan dalam rangka pengamalan ajaran Islam yang benar sesuai dengan al-Qur’an
dan sunnah dan menjaga diri dari cercaan musuh Islam.182

180
Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada
Media Group, 2011), hlm. 179-180.
181
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 95.
182
Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada
Media Group, 2011), hlm. 186.
Kesimpulan

Kata hadits berasal dari bahasa Arab, yaitual-hadits, kata inimemilikial-jadid (yang baru), danal-
khabar, yang berarti kabar atau berita.Penegertian hadit secara terbatas, adalah sesuatu yang dinis batkan
kepada Nabi Muhammad Saw.baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.
Sedangkan pengertian hadits secara luasya itu hadits bukan hanya yang dimarfu kan kepada Nabi
Muhammad Saw., melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan kepada perkataan dan
sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan kepada perkataan dan sebagainya dari tabiin).

Adapun ilmu hadits, berartiilmu-ilmu tentang hadits.Secara etimologis, ilmu hadits adalah ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Nabi Muhammad
Saw.dari segi shahih pararawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya dan dari bersambung
dan terputusnya sanad, dan sebagainya.

Dalam dunia modern modernisasi Islam adalah latarbelakang dari terjadinya modernisas idalam
sunnah. Modernisasi dalam sunnah merupakan proses usaha pembaharuan dalam pemahaman dan
pengalaman sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kondisi masyarakat dan sains dan
pemurnian sunnah dari berbagai khurafat, takhayul, tradisi, dan bid’ah dengan cara mengadakan
penelusuran dan penelitian keauntetikan secara adil dah jujur.Dengan demikian modernisasi sunnah
adalah bertujuan untuk memecahkan masalah yang terjadi di tengah masyarakat modern dengan
menampakkan kembali Al-Qur’an dan sunnah yang mulia pudar.

BAB XIV

INGKAR SUNNAH KLASIK DAN MODERN

A. Pengertian Inkar Sunnah

Kata” Ingkar sunah “ terdiri dari dua kata yaitu “ Ingkar dan sunah”. Kata “Ingkar” berasal dari

akar kata arab ‫َاْنَك َر ُيْنكُر اْنَك َر‬ yang mempunyai beberapa arti diantaranya “tidak mengakui dan tidak
menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak
tergambarkan dalam hati.183

Menerut pendapat lain, Secara bahasa inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan sunnah.
Menurut bahasa inkar berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal, tidak membenarkan atau tidak
mengakui dan orangnya disebut dengan mungkir”. Menurut Ragif al Isfahani, inkar berarti “penolakan
hati terhadap hal-hal yang tidak tergambar olehnya, baik berupa penolakan dengan lidah sebagai
ungkapan hati ( kebodohan ), maupun penolakan dengan lidah sedangkan hati mengakui.”

183
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta; Bumi aksara, 2010), hal. 2
Berarti orang yang melakukan inkar sunnah ia tidak mengakui, dan menolak Sunnah Rasulullah
Saw, baik sebagian maupun seluruhnya. Orang yang mengingkari sunnah Rasulullah Saw walaupun
hanya sebagiannya saja itu tetep dikatakan mengingkari Sunnah.184

Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang
dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik.
Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang
menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti
pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah Saw. Sunnah
merupakan sumber ajaran Islam yang ke-2 setelah Al-Qur'an

Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah secara terminology antara lain disebut dalam
Ensiklopedi Islam yaitu “orang-orang yang menolak sunnah atau hadits Rasulullah Saw sebagai hujjah
dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”

Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah adalah paham yang menolak sunnah atau hadits sebagai
ajaran Islam di samping al-Qur`an. Pendapat lain, dikemukakan oleh Edi Safri bahwa inkar al-sunnah
adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau sumber
ajaran agama yang wajib ditaati dan diamalkan”.185

Menurut Mustafa al- Siba`i yang dimaksud inkar al-sunnah ialah pengingkaran karena adanya
keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi
melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong.

Sementara itu Lukmanul Hakim mendefenisikan bahwa ingkar al-sunnah adalah gerakan dari
kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah sebagai hukum atau sumber
ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan diamalkan.186

Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa inkar al-sunnah adalah aliran, golongan dan
paham yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam atau hujjah yang wajib ditaati dan
diamalkan umat Islam. Maksudnya keraguan yang lahir menjadi penolakan terhadap keberadaan sunnah
atau hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.

184
Lukmanul hakim, Inkar Sunnah Priode Klasik, (Jakarta: Hayfa Press, 2004), Cet. Ke 1, hal. 58
185
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hlm 11.
186
Lukmanul hakim, Inkar Sunnah Priode Klasik, (Jakarta: Hayfa Press, 2004), Cet. Ke 1, hal. 57
Sebagian kelompok ingkarus sunnah menamakan dirinya Al-Qur’aniyyun seperti yang terjadi di
India. Ada lagi kelompok Qur’ani atau al-Qur’an suci seperti yang terjadi di Indonesia. Penamaan ini
tampaknya berasal dari mereka untuk memberi kesan bahwa mereka adalah orang-orang yang multazim
atau berpegang teguh kepada Al-Qur’an.

Dalam prakteknya, ulama seperti Imam Syafi’i, member golongan yang mengingkari sunnah
menjadi tiga golongan:

1. Golongan yang menolak seluruh sunnah, baik yang mutawatir maupun ahad.
2. Golongan yang menolak sunnah kecuali sunnah tersebut memiliki kesamaan dengan petunjuk
Al-Qur’an (as-sunnah al-mu’akkidah).
3. Golongan yang menolak sunnah yang berstatus sebagai ahad. Golongan ini hanya menerima
sunnah yang berstatus mutawatir.187

B. Sejarah Perkembangan Ingkarus Sunnah.


1. Gejala Awal Ingkarus Sunnah

Belum ada atau tidak ditemukan bukti sejarah yang kuat yang menjelaskan bahwa bahwa pada
zaman Nabi ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Dalam sejarah para sahabat tidak skeptic dalam mendengar, meriwayatkan dan melaksanakan sunnah
yang dating dari Nabi Muhammad Saw. Di masa hidup beliau, tidak ada sahabat yang mendustakannya,
atau tidak mempercayai sabda-sabdanya, atau berani berdusta atas nama beliau. 188

Memang , Ahmad Amin budayawan dan sejarawan Mesir lahir pada 1878 dan wafat pada 1954
memberikan analisis berbeda dengan realita sejarah terhadap hadis Rasulullah Saw:

Menurutnya, pada masa Nabi Muhammad Saw telah terjadi pemalsuan hadis dan pendustaan
kepada beliau. Dan sabab al-wurud hadis ini kemungkinan besar dilator belakangi adanya pendustaan
terhadap beliau. Hanya saja, pendapat ini mengandung kelemahan baik dilihat dari segi bukti historis,
sikap sahabat terhadap segala yang berasal dari Nabi, serta tidak adanya dukungan data hadis yang dibuat

187
Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm.
123.
188
Zarkasih, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 120
pada masa Nabi Muhammad Saw Pendapatnya itu hanya didasarkan pada dugaan tersirat (mafhum) hadis
tersebut.189

Gejala paling awal, menurut Mahmud Muhammad Mazru’ah, telah terjadi di zaman Rasulullah
Saw sendiri. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan lain-lain dari
sahabat Zubair bin Awwam yang bertengkar dengan seorang laki-laki Anshar dalam masalah pengairan
kebun. Rasulullah Saw memutuskan supaya Zubair mengairi kebunnnya terlebih dahulu baru kemudian
mengalirkan air tersebut ke kebun tetangganya yang Anshar. Laki-laki Anshar tersebut memprotes
keputusan Nabi Muhammad Saw seraya berkata “Apakah karena dia itu anak bibimu (sehingga engkau
memutuskan seperti itu)?”. Berubahlah wajah Rasulullah Saw seketika itu (karena marah), lalu berkata
sekali lagi: “Airilah (wahai Zubair)! Kemudian tahan airnya sampai mata kaki”. Lalu turunlah ayat Al-
Qur’an surat An-Nisa’ ayat 65. Zubair berkata”Demi Allah aku tidak berpendapat bahwa ayat ini turun
kecuali dalam peristiwa ini”.190

‫َفاَل َو َر ِّبَك اَل ُيۡؤ ِم ُنوَن َح َّتٰى ُيَح ِّك ُم وَك ِفيَم ا َش َجَر َبۡي َنُهۡم ُثَّم اَل َيِج ُد وْا ِفٓي َأنُفِس ِهۡم َحَر ٗج ا ِّمَّم ا َقَض ۡي َت‬
٦٥ ‫َو ُيَس ِّلُم وْا َتۡس ِليٗم ا‬

Artinya. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.

Kendati demikian peristiwa tersebut tidak dianggap oleh sejarawan sebagai tindakan mengingkari
sunnah Rasulullah Saw. Hal ini karena asing dan jarangnya kejadian seperti itu, lagi pula pelakunya pun
segera rujuk atau kembali kejalan yang benar sehingga pengaruhnya juga tidak signifikan.

Riwayat lain dikemukakan oleh Imam Hasan al-Bashri menuturkan bahwa ketika sahabat Nabi
Saw. Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis, tiba-tiba ada seorang yang emoting
pembicaraan beliau lalu bertanya: “Wahai Abu Nujaid”, (nama panggilan “Imran), berilah kami pelajaran
Al-Qur’an saja.

Imran bin Hushain lalu meminta agar orang tersebut maju ke depan. Setelah itu beliau bertanya,
“Bagaimana pendapatmu seandainya kamu dan kawan-kawanmu hanya memakai al-Qur’an saja, apakah
kamu dapat menemukan dalam al-Qur’an bahwa shalat zuhur empat rakaat, salat ashar empat rakaat, dan

189
Loc. Cit, hlm. 120
190
Op. Cit, hlm, 121
shalat magrib tiga rakaat? Apabila hanya memakai al-Qur’an saja, dari mana kamu tahu bahwa tawaf dan
sa’i antara Shafa dan Marwah itu tujuh kali?

Mendengar jawaban itu orang tadi berkata, “Engkau telah menyadarkan aku, mudah-mudahan
Allah selalu menyadarkan engkau”. Akhirnya , kata al-Hasan al- Bashri- sebelum wafat orang itu menjadi
tokoh ahli fiqih.

Imam Hasan al-Bashri tidak menyebutkan siapa nama orang yang tidak mau diberi pelajaran
hadis tadi. Namun kisah ini menunjukan bahwa pada masa yang sangat dini sudah muncul gejala-gejala
ketidakpedulian terhadap hadis di mana dalam perkembangan selanjutnya hal ini menjadi ‘cikal-bakal’
munculnya paham yang menolak hadis sebagai salah satu sumber syariat Islam, yang kemudian lazim
dikenal inkar-sunnah.191

C. Ingkarus Sunnah Klasik

Pada awal masa Abasiyah (750-1258 M), barulah muncul secara jelas sekelompok kecil umat
Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Musthafa al-Siba’I juga
mengungkapkan bahwa abad kedua (hijriyah) belum berlalu, sunnah telah diuji oleh mereka yang
mengingkari kehujahannya sebagai salah satu sumber hukum penetapan syariat Islam, baik yang
mengingkarinya secara mutlak, maupun yang mengingkari sunah yang tidak mutawattir, dan yang
mengingkari al-sunnah bal-ustaqillah- sunnah yang bukan merupakan penjelasan dan bukan pula penguat
Al-Qur’an. Terhadap yang terakhir ini, sunah yang berdiri sendiri, Imam Ibnu Qayyim menyatakan
bahwa ini bukan berarrti mendahulukan sunnah dari Al-Qur’an, tetapi justru menaati perintah Allah
supaya mengikuti Rasul-Nya. Kalau dalam hal ini Rasul tidak diikuti, maka tiada maknanya ketaatan
kepadaNya, dan gugurlah ketaatan kepada Rasul yang bersifat khusus (pada hal-hal yang tidak dinyatakan
al-Qur’an).192

Hal tersebut dapat dipahami dari penjelasan Imam al-Syafi’I (Imam madzhab fikih w. 204 H) di
dalam kitab Jima’ al-Ilmi yang merupakan bagian dari kitab al-Umm. Di situ ia membuat fasal khusus
yang memuat panjang lebar perdebatannya dengan orang yang disebut sebagai “ ahli tentang mazhab
kawan-kawannya’ yang menolak sunnah secara keseluruhan. Di antara argument yang dikemukakan
kelompok ingkarus sunnah secara rinci sebagai berikut:

191
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis,( Yogyakarta: Aswaja Ressindo, 2012), hlm. 122
192
Op. Cit, hlm. 124
1. Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu, bukan yang diterangkan. Jadi al-
Qur’an tidak memerlukan keterangan dari sunnah.
2. Al-Qur’an bersifat qat’iy (pasti, absolute kebenarannya), sedang sunnah bersifat dzanniy
(bersifat relative kebenarannya) maka jika terjadi kontradiksi antara keduannya sunnah tidak
dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.
3. Jika di antara fungsi sunnah sebagai penguat (muakkidah) terhadap hukum di dalam Al-
Qur’an, maka yang diikuti adalah Al-Qur’an, bukan sunnah.
4. Jika sunnah merinci (tafshil) keglobalan ayat al-Qur’an, maka tidak mungkin terjadi al-
Qur’an yang bersifat qat’iy diterangkan dengan sunnah yang bersifat dzanniy dan tidak kafir
pengingkarannya.
5. Sunnah mutawatirah tidak dapat member kepastian (qat’iy) karena prosesnya melalui ahad.
Boleh jadi, di dalamnya terdapat kebohongan.

Semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis dan dipatahkan oleh Imam
al-Syafi’iy dengan jawaban yang argumentative, ilmiah, dan rasional, sehingga akhirnya ia mengakui dan
menerima sunah Nabi Muhammad Saw sebagai hujjah. Karenannya Imam Syafi’I diberi julukan sebagai
nashir al-sunnah (pembela sunnah).193

Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriyah muncul kelompok yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber syariat Islam, di samping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja. 194

Di antara kelompok tersebut adalah :

a. Khawarij dan Sunnah

Kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharij, yang berarti ‘sesuatu yang keluar’.
Sementara menurut terminologis, khawarij adalah kelompok atau golongan yang keluar dan tidak loyal
kepada pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan Khawarij di sini adalah golongan tertentu yang
memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a. Apakah khawarij menolak Sunnah? Ada
sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat sebelum kejadian
fitnah (perang saudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Muawiyah r.a.) diterima oleh kelompok
khawarij. Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang adil.
Namun setelah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi Muhammad

193
Ibid, hlm. 124
194
Agus Sholahuddin, Agus Suydi, Ulumul Hadis (Bandung :Pustaka Setia, 2009) hlm. 210
Saw. Sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sesudah
kejadian itu di tolak kelompok Khawarij.195

b. Syiah dan Sunnah

Kata Syi’ah berarti para pengikut atau para pendukung. Secara terminologis, Syi’ah adalah
golongan yang menganggap bahwa Ali bin Abu Thalib r.a. lebih utama dari khalifah sebelumnya (Abu
Bakar, Umar, dan Utsman) dan berpendapat bahwa Ahl-Bait (keluarga Nabi Muhammad Saw.) lebih
berhak menjadi khalifah daripada yang lain.

Golongan syi’ah menganggap bahwa bahwa sepeninggal Nabi Muhammad Saw., moyoritas para
sahabat sudah murtad (keluar dari Islam), kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap
Muslim. Karena itu, golongan Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat
tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl Al-Bait saja. 196

c. Mu’tazilah dan Sunnah

Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adalah “sesuatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang
dimaksud disini adalah golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karena mereka
berpendapat bahwa seorang Muslim yang fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir.
Adapun golongan Ahl As-Sunnah berpendapat bahwa orang Muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai
mukmin, meskipun ia berdosa. Pendapat Mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan Al-Bashri, dan
dipelopori oleh Washil Bin Ata (w. 131 H).197

Apakah Mu’tazilah menolak sunnah? Syeikh Muhammad al-Khudhari Beik berpendapat bahwa
Mu’tazilah menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskussi antara Imam Syafi’I (w. 204 H)
dan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di
Basrah Irak adalah Mu’tazilah. Prof. Dr. al-Siba’I tampaknya sependapat dengan pendapat al-Khudari.

Ulama Mu’tazilah yang tampak menolak sunnah yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sajyar, yang
popular dengan sebutan al-Nadhdham (w. 221-223 H). ia mengingkari kemukjizatan al-Qur’an dari segi
susunan bahasanya, mengingkari mukjizat Nabi Muhammad Saw., dan mengingkari hadis yang tidak
dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at Islam.

195
Ibid, hlm. 210
196
Op. Cit, hlm. 212
197
Op. Cit, hlm. 212
D. Ingkarus Sunnah Modern.

Sejak abad ketiga sampai abad keempat belas Hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang
menunjukan bahwa di kalangan umat Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak sunnah sebagai
salah satu sumber syari’at Islam, baik secara perseorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak
sunnah yang muncul pada abad I H (ingkarus sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad
III H.198

Pada abad keempat belas hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan kali
ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari ingkarus sunnah klasik. Apabila ingkarus sunnah
klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidakahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan
sunnah, ingkarus sunnah modern muncul akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin
melumpuhkan dunia Islam.199

Kapankah aliran ingkarus sunnah modern itu lahir? Muhammad Mustafa Azami menuturkan
bahwa ingkarus sunnah modern lahir di Kairo Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323
H/ 1849-1905 M). Dengan kata lain, Syeikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali
melontarkan gagasan ingkarus sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih di beri catatan,
apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitab Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar.

Abu Rayyah menuturkan bahwa Syeikh Muhammad Abduh berkata, “ Umat Islam pada masa sekarang
ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam pada awal
sebelumnya terjadi fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata, “Umat Islam sekarang tidak mungkin
bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di al-Azhar dan sejeninya) masih
tetap diajarkan. Umat Islam tidak mungkin maju tanpa ada semangat yang menjiwai umat Islam abad
pertama, yaitu al-Qur’an. Semua hal selain al-Qur’an akan menjadi kendala yang menghalangi antara al-
Qur’an dan ilmu serta amal.

Abu Rayyah dalam menolak sunnah banyak merujuk pada pendapat Syeikh Muhammad Abduh
dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh ini khususnya Muhammad Abduh disebut-sebut sebagai
pengingkar sunnah. Namun , benarkah Muhammad Abduh mengingkari sunnah? Seperti dituturkan di
atas, Azami masih belum memastikan hal itu karena ia hanya menukil pendapat Abu Rayyah yang belum
dipastikan kebenarannya.

198
Zarkasih, Pengantar Study Hadis,( Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm.128
199
Op. Cit, hlm. 129
Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dalam ‘menolak’ sunnah ini diikuti oleh Taufik Shidqi,
yang menulis dua buah artikel dalam majalah al-Manar nomor 7 dan 12 tahun IX dengan judul “Islam
adalah al-Qur’an itu sendiri”. Sambil mengutip ayat-ayat al-Qur’an, Taufiq Shidqi mengatakan bahwa
Islam tidak memerlukan sunnah.200

Sayyid Rasyid Ridha tampaknya sangat mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan, ia
berpendapat bahwa hadis-hadis yang sampai kepada kita dengan riwayat mutawatir, seperti jumlah rakaat
shalat, puasa dan lain-lain, harus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara umum. Akan tetapi,
hadis-hadis yang periwayatanya tidak mutawatir disebut aturan agama secara khusus dimana kita tidak
wajib menerimanya.

Begitulah pendapat dan pemikiran Sayyid Rasyid Ridha tentang hadis. Namun demikian,
belakangan ia mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai pembela hadis. As-Siba’I menuturkan “
Pada awalnya Sayyid Rasyid Ridha terpengaruh dengan pemikiran gurunya, Syeikh Muhammad Abduh”.
Sesudah Syeikh Muhammad Abduh wafat dan Sayyid Rasyid Ridha menerima tongkat estafet
pembaharuan, ia banyak mendalami imu-ilmu fiqih, hadis, dan lain-lain, sehingga ia menjadi tempat
bertanya umat Islam seluruh dunia. Karena itu, pengetahuan beliau tentang hadis semakin dalam sehingga
akhirnya ia menjadi pengibar panji-panji sunah di Mesir.

Babak berikutnya, pada tahun 1929, Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajar al-Islam yang
mengulas masalah hadis dalam satu bahasan khusus (Bab VI Pasal 2). Kemudian , pada tahun 1353 H
(1933 M), Ismail Adham mempublikasikan bukunya tentang sejarah hadis. Ia berkesimpulan bahwa
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sahih (antara lain Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) tidak dapat
dipertanggungjawabkan sumbernya. Menurutnya, hadis-hadis itu secara umum diragukan otentitasnya. 201

Kesimpulan.

1. Ingkarus sunnah adalah paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis
atau sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an.

200
Op. Cit, hlm. 130
201
Op. Cit, hlm. 131
2. Gejala awal ingkarus sunnah, menurut Mahmud Muhammad Mazru’ah, telah terjadi di zaman
Rasulullah Saw sendiri. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dan lain-lain dari sahabat Zubair bin Awwam yang bertengkar dengan seorang laki-
laki Anshar dalam masalah pengairan kebun.
3. Ingkarus sunnah klasik muncul awal masa Abasiyah (750-1258 M), diantaranya yaitu
golongan Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah.
4.
5. Ingkarus sunnah modern menurut Muhammad Mustafa Azami lahir di Kairo Mesir pada
masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M). Toko-tokohnya antara lain
Muhammad Abduh, Abu Rayyah, Taufik Sidqhi dan Ismail Adham.

BAB XV

ILMU JARH WA TA’DIL

A. Pengertian Jarh wa Ta’dil

Jarh atau Tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dapat juga diartikan sebagai aib. Al-
Jarh adalah bekas luka pada tubuh dengan sebab terkena senjata tajam, sedangkan jika dibaca al-jurh
berarti nama sebuah luka, seperti luka kena pisau atau yang lainnya. 202

Sedangkan menurut istilah, Jarh ialah tersifainya seorang Rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti
kadzdzab, su’al-hifzh, mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain sehingga tertolak periwayatannya. Adib
202
‘Abd Al-‘Aziz Muhammad bin Ibrahim Al-Abd Al-Lathif, selanjutnya disebut Al-‘Abd Al-Lathif,
Dhawabith al-Jarh wa al-Ta’dil, (Madinah Munawwarah: al-Jami’ah al-Islamiyah, tth), h.10.
Salih menyatakan sebagai berikut. “Sifat yang ada pada rawi yang dengannya, riwayatnya ditolak dan
tidak diterima.” 203

Ajaj Al-Khatib dalam karyanya Ushul al-Hadis, mendefinisikan jarh sebagai sifat lahiriah rawi
yang keadilannya cacat, seperti lemah ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau tertolak dengan tajrih ini,
rawi disifati dengan sifat yang mengarah pada kelemahan atau tidak diterima riwayatnya. 204

Pengertian Ta’dil menurut bahasa ialah lafal adil yang seakar dengan lafal ‘adalah yang apabila
telah di muta’adil-kan atau ditransitifkan akan menjadi perkataan ta’dil. Sebelum perkataan ta’dil
diterangkan secara harfiah, ada baiknya jika diterangkan terlebih dahulu pengertian adil itu secara umum.

Adil menurut kitab Manhaj Dzawin Nazhar adalah sebagai berikut : “Orang yang memiliki
ketetapan dalam takwa, yaitu dengan menjauhi semua perbuatan yang buruk, baik berupa kemusyrikan,
kefasikan maupun bid’ah. Juga dikatan ‘adl jika mereka mampu menjauhi dosa-dosa kecil dan hina,
namun ia bertetap dalam hal-hal yang berkaitan dengan muru’ah.205

Sedangkan menurut istilah, Arti ta’dil adalah tersifatinya seorang perawi yang mengarah pada
diterimanya periwayatannya. Orang yang dinilai adil ialah orang yang tidak cacat urusan agama dan
muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi. 206

Menurut keterangan tersebut, yang dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada
dirinya, sehingga tidak ditolak riwayatnya atau pemberitaannya. Jadi, orang yang di-ta’dil atau yang
dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang
rawi agar riwayatnya tidak ditolak. Seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadits, harus seorang
Muslim, mukallaf, dhabith, tsiqah dan selamat dari kefasikan. Prof Hasbi Ash-Shiddiqie, dalam karyanya
Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, mengemukakan definisi jarh wa ta’dil sebagai berikut : “Zhahirnya
‘aib sehingga riwayatnya tertolak (dan) ta’dil didapat ketika keadilan dan ke-dhabith-annya diketahui.” 207

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ‘Ilmu yang membahas
tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya”.

203
Adib Shalih, Lamahat fi Ushul al-Hadis, (Beirut: al-Maktab al-Islami: 1997)
204
Al-‘Abd Al-Latif, op cit., h.11.
205
Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasi, Manhaj Dzawin Nazhar, (Mesir: Musthafa al-Babi al-
Halabi, 1955), h.9.
206
Muhammad Ajjad Khatib, op cit., h. 260.
207
T.M Hasbi As-Shiddiqie, Pokok-pokok Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. 2. H.
206,211
B. Terjadinya Ilmu Jarh Wa Ta’dil.

Pertumbuhan Ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, ini adalah sebagai
usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif. Walaupun jarh dan ta’dil
dimulai sejak adanya periwayatan hadits, alangkah baiknya jika dikemukakan terlebih dahulu masa
perkembangan hadits semenjak zaman Rasulullah sampai masa pensyarahan (penafsiran) kitab-kitab
hadits.

Menurut T.M. Hasbi As-Shiddiqie, sekurang-kurangnya ada tujuh periode perkembangan hadits,
yaitu :

1. Masa Turun Wahyu.

Masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun kedelapan sebelum Hijriah sampai tahun kesebelas Hijriah.
Masa ini masa pembentukan Tasyri Islami (hukum Islam) dimana Rasulullah Saw sebagai penyampai dan
para sahabat sebagai penerima risalah yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.

2. Masa Khukafaur Rasyidin

Lamanya 29 tahun, yaitu tahun kesebelas Hijriah sampai tahun empat puluh hijriah. Masa ini
terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.

3. Masa Perkembangan Riwayat dan Perlawanan ke Kota-kota Untuk Memberi Hadits.

Masa ini lamanya 60 tahun, yaitu mulai tahun empat puluh Hijriah sampai tahun seratus Hijriah.

4. Masa Pembukuan Hadits

Masa ini dimulai dari permulaan abad kedua Hijriah sampai akhirnya, lamanya kurang lebih
seratus tahun.

5. Masa Pen-tashihan Hadits

Menyaringnya dan menafsirnya yaitu mulai sejak abad ketiga Hijriah sampai akhirnya, kurang
lebih seratus tahun lamanya.

6. Masa Menafis dan Menyaring Kitab-Kitab Hadits

Lamanya kira-kira tiga setengah abad, yaitu mulai abad keempat sampai tahun 656 Hijriah.

7. Masa Membuat Syarah dan Menyusun Kitab-Kitab Takhri.


Masa ini adalah dimana masa mengumpulkan hadits hukum dan menyusunnya dalam kitab-kitab
jami’ sejak tahun 656 Hijriah smapai sekarang.

C. Pembahasan Mengenai Ilmu Jarh Wa Ta’dil.


1. Macam-Macam Kaidah Jahr dan Ta’dil

Kaidah-kaidah jahr dan ta’dil ada 2 macam :

a. Pertama, kepada cara-cara perawinya hadits, sahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar
kepercayaan kepada mereka. Disebut pula naqdun kharijjun, yaitu kritik yang datang dari
luar hadits atau kritik ekstrensik ( kritik yang tidak mengenai isi hadits).

Dalam masalah proses penerimaan dan penyampaian periwayatan hadits, akan menjadi parameter
diterima atau tidaknya suatu hadits. Perawi mendengar langsung dari gurunya, (murid bertemu langsung
dengan gurunya).

Diantara lafal-lafal yang menunjuk pada pertemuan itu ialah:

1) ‫ َسِم ْعَنا‬, ‫َسِم ْع ُت‬


Saya mendengar, kami mendengar

2) ‫ َح َّد َثِني َح َّد‬, ‫َثَنا‬

Seseorang telah bercerita kepadaku/ kami.

3) ‫َأْخ َبَر ِني‬,‫َأْخ َبَر َنا‬


Seseorang telah mengabarkan kepadaku/kami

4) ‫أْنَبأَنا‬
Seseorang telah memberi tahukan kepada kami

5) ‫ُفَالٌن (لنا) قلِلي‬


Seseorang telah berkata padaku/ kami

6) ‫فالن (لن)َذ َك َرِلي‬


Seseorang telah menuturkan padaku/ kami

7) ‫ حدثني قال‬,‫حدثنا قال‬


Dia berkata telah bercerita kepadaku/ kami

· Rawi yang belum diketahui secara pasti tentang bertemu tidaknya dengan gurunya, apakah ia
mendengar lagsung atau tidak. Adapun lafal-lafal yang menunjuk pada arti ini adalah:

‫ = روي‬diriwayatkan oleh,

‫ = حكي‬dihikayatkan oleh,

‫عن‬ = dari,

‫أن‬ = bahwasannya,

Adapun sebagai catatan, bahwa hadits yang diriwayatkan dengan sighat tamridh (yaitu bentuk
penilaian yang ambigu) ini tidak bisa dipastikan bahwa Nabi Saw, atau guru benar-benar bersabda tentang
hal itu, kecuali jika ada qarinah lain.208

b. Kedua, berpautan dengan hadits sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak ada jalan-jalan
keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya dinamakan naqdun dakhiliyun, yaitu kritik dari
dalam hadits atau kritik intrensik.

Tiadalah diterima suatu pencacatan, melainkan dengan adanya sesuatu yang benar-benar cacat.
Ibnu Hajr dalam muqaddamah Fat-hal-bari berkata, “Tiadalah diterima pencacatan terhadap seseorang
terkecuali terdapat sesuatu yang terang mencacatkan, karena sebab-sebab mencacatkan seseorang
berbeda-beda. Dan semuanya berkisar di sekitar lima hal, yaitu bid’ah, menyalahi orang lain, kesilapan,
tidak diketahui si perawi, ada tuduhan bahwa sanadnya munqathi (bahwa perawi itu mentadlis atau
mengirsal).

208
Diringkas dari Endang Soetari, op cit., h. 147-148
2. Hukum Mencela Para Perawi

Mencacat para perawi termasuk dalam jenis celaan yang dibolehkan apabila jelas ada suatu
kemuslihatan. Al-Ghazzaly dalam ihya’ Ulum ad-din dan An-Nawawy dalam riyadh ash-Shalihin dan lai-
lain berpendapat, mencela keadaan seseorang baik dia masih hidup ataupun sesudah dia meninggal
dibolehkan apabila karena ada sesuatu kepentingan agama.

Ada enam sebab yang membolehkan mencela seseorang yaitu :

a. Karena teraniaya, boleh bagi yanag teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah
dizalimi oleh seseorang.
b. Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan dengan
penguasa atau kepada pihak yang dapat menghilangkan kemungkaran seseorang yang telah
berbuat suatu kemungkaran untuk menegurnya.
c. Untuk meminta fatwa. Maka seorang mustafti boleh mengatakan kepada mufti (umpamanya)
bahwa seseorang yang telah berbuat zalim kepada dirinya dan memohon nasehat tentang
upaya untuk melepaskan diri dari kezaliman itu.
d. Untuk menghindarkan diri dari kejahatan. Termasuk kedalam hal ini, mencela diri saksi
(menyebut cacatan-cacatan pada diri saksi) dihadapan hakim, demikian pula pada perawi
hadist yang memang harus dicela. Tindakan ini, boleh hukumnya dengan ijma’ segala ulama,
bahkan wajib
e. .Orang yang dicacat itu adalah orang yang terang-terang berbuat bid’ah. Maka boleh disebut
secara terang-terang bid’ah yang dianut dan maksiyat yang dilakukan.
f. Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang dikenal dengan sesuatu
sifat yang menunjuk kepada suatu aib seperti si tuli, si pincang maka kita boleh mengatakan,
“... si A yang pincang...” dengan maksud menerangkan keadaan orang yang sebenarnya
dikehendaki, bukan dengan maksud menjelekkan-nya.
3. Tidak Boleh Mencela Lebih Dari Keperluan

Mencela seseorang merupakan suatu perbuatan yang sukar dan terkadang menimbulkan
kerenggangan batin antara manusia dan dibolehkan karena sesuatu darurat yang diperbolehkan syara’,
maka para ulama menetapkan bahwa mencela lebih dari kadar keperluan tidak dibolehkan, dan tidak
boleh kita sebut cacat-cacat yang disebutkan oleh seorang ulama, jika orang yang dicela itu dipuji oleh
orang lain. Dan tidak boleh kita mencela pribadi-pribadi ulama yang tidak ada sangkut pautnya dengan
periwayatan hadits.
Adz Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal berkata: “Saya tidak menyebutkan dalam kitab ini para
perawi yang nyata-nyata lemah, karena pegangan kita sekarang bukan lagi para perawi yang menjadi
sanad antara kita dengan tokoh-tokoh hadits yang dikenal keahlian mereka dan kebenaran mereka dalam
menyebut nama-nama orang yang sebelum mereka.

Maka celaan-celaan itu dilakukan terhadap orang-orang yang menjadi rentetan antara Nabi
dengan pendewaan hadits, bukan rentetan antara pendewaan hadits dengan kita. Dahulu hadits berpindah
secara lisan maka perlu diadakan penta’dilan dan pentajrihan untuk mengetahui mana hadits yang
diterima dan mana hadits yang ditolak. Sekarang ini kita hanya berpegang pada kitab-kitab yang
mendewakan hadits sehingga kita tidak perlu benar-benar meneliti siapa perawi-perawi antara kita dengan
kitab itu. Yang perlu hanyalah sekedar dari kitab yang disebutkan dan cukuplah sudah kalau dia seorang
yang tidak terang-terang berbuat ma’shiyat dan sesuatu yang merusakkan muruahnya.

4. Syarat Menerima Penta’dilan dan Pentajrihan

Disyaratkan kepada Mu’addil dan para Jarih, harus berilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’ashshub
dan mengetahui sebab-sebab jarah dan ta’dil. Orang yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat
diterima tazkiyah dan jarahnya.

Dalam kitab Thawatihurahmut syarah Musallamuts diterangkan bahawa Muzakki (orang yang
menyatakan keadilan seseorang) harus seorang yang adil lagi mengethaui sebab-sebab jarah dan ta’dil,
insyaf lagi jujur, bukan Muta’ashshib (‘ujub kepada diri sendiri) Orang yang Muta’ashshib tidak dengan
perkataannya.

5. Jarh dan Ta’dil yang Diterima dan yang Ditolak

Para ulama berbeda pendapat tentang penerimaan jarah dan ta’dil yang mubham (tidak
diterangkan sebab) yaitu :

a. Diterima ta’dil yang tidak disebut sebab.

Karena sebab ta’dil banyak, maka tidak perlu disebut satu per satu. Mengenai jarah tidak dapat
diterima, kecuali yang diterangkan sebabnya, karena jarah ini cukup disebut satu saja, dan karena ada
yang memberi nilai jarah, padahal bukan. Lantaran itu perlu diterangkan sebab supaya teranglah bahwa
sebab yang dikemukakan itu memang suatu jarah, atau bukan.

Banyak orang yang menjuluki Abu Hanifah dan ulama-ulama Kufah yang lain dengan Ash Habur
Ra’yi, yang maksudnya untuk meremehkan riwayat mereka. Ini adalah pengaruh ta’ashshub.

b. Kebalikan dari yang pertama.

Yaitu wajib diterangkan sebab-sebab keadilan tidak wajib diterangkan cacat karena orang banyak
berpura-pura shalih, maka perlu diterangkan keadaan yang sebenarnya.

c. Harus diterangkan sebab jarah dan sebab keadilan.


d. Tidak wajib diterangkan sebab-sebabnya.

Jika ada yang mencela dan memuji, orang yang mengetahui benar benar sebab pencelaan dan
sebab pujian itu.

Ibnu Shalah dalam Muqaddamahnya, berpegang kepada pendapat yang pertama, serta
menerangkan bahwa menurut Al-Khatib, itulah madzhab imam-imam hadits, seperti Al-Bukhari dan
Muslim. Lantaran itu Al-Bukhari berhujjah dengan orang-orang yang lebih dahulu sudah dicela oleh
orang lain seperti ‘Ikrimah, Ismail ibn Abu Uwais, ‘Ashim ibn Ali, dan Umar ibn Marzuq. Dan Muslim
berhujjah dengan Suwid ibn Sa’id. Dan golongan perawi yang dicela oleh yang lain. Demikian pula
tindakan oleh Abu Daud. Mereka semua tidak menerima jarah yang tidak diterangkan sebabnya.

Dan kalau kita menerima perkataan: “si anu itu lemah, atau hadits ini dla’if” maka bukanlah kita
memegangi perkataan itu sebagai dasar hukum, tetapi perkataan yang semacam itu menimbulkan
keraguan yang kuat dalam hati ini yang mengharuskan kita tawaqquf.

6. Jumlah Kesaksian dalam Jarh atas Ta’dil

Ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Iraqy berbeda pendapat tentang bolehkah kita
kepada pendapat seorang saja, baik dalam bersyahadah (kesaksian), maupun riwayat, berdasarkan
beberapa pendapat:

a. Tidak diterima dalam men-ta’dilkan seorang baik dalam syahadah maupun dalam bidang
riwayat, terkecuali perkataan dua orang. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah
dan lain-lain.
b. Mencukupkan dengan seorang saja dalam bidang syahadah dan riwayat. Ini pendapat yang
dipilih Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillany, karena tadzkiyah itu sama dengan membawa
khabar.
c. Membedakan antara kesaksian dan riwayat. Disyaratkan dua orang pada kesaksian dan cukup
seorang pada periwayat.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Fakhruddin dan Al-Amidyseta dinukilkan dari kebanyakan ulama
dan dinukilkan pula oleh Abu Amr ibn Shalahdan dipilih pendapat itu oleh Al- Khathib dan lain-lain,
bahwa dalam bidang riwayat cukup seorang karena bilangan tidak diperlukan dalam menerima khabar,
maka tidak pula diperlukan dalam mencacat perawi dan memujinya. Tadzkiyah itu diterima dari segala
orang yang adil demikian pula cacatnya.

7. Mendahulukan Jarh atas Ta’dil

Para ulama sebagai yang diterangkan oleh Al ‘Iraqy berbeda pendapat tentang bolehkah kita
berpegang kepada pendapat seorang saja, baik dalam bersyahadah, maupun riwayat, atas beberapa
pendapat.

a. Tidak diterima dalam menta’dilkan seseorang yang baik dalam syahadah maupun dalam
bidang riwayat, terkecuali perkataan dua orang. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqada
Madinah dan lain-lain.
b. Mencukupkan dengan seorang saja dalam bidang syahadah dan riwayat. Ini pendapat yang
dipilih Al-Qadli Abu Bakar Al-Baqillay, karena tazkiyah itu sama dengan membawa khabar.
c. Membedakan antara kesaksian dan riwayat. Disyaratkan dua orang pada kesaksian dan cukup
seorang pada periwayat.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Fakhruddin dan Al Amidy serta dinukilkannya dari kebanyakan
ulama dan dinukilkan pula oleh Aabu Amer Ibnush Shalah dan dipilih pendapat itu oleh Al Khathib dan
lain-lain, bahwa dalam bidang riwayat cukup seorang saja karena bilangan tidak diperlukan dalam
menerima khabar, maka tidak pula diperlukan dalam mencatat perawi dan memujinya. Tazkiyah itu
diterima dari segala orang yang adil, demikian pula cacatnya, baik dia lelaki maupun dia perempuan,
merdeka ataupun tidak.209

D. Pertentangan Jarh Wa Ta’dil

209
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, Pengantar Studi Hadits Praktis, (Malang : UIN Malang Press, 2008)
Apabila bertentangan jarah dan ta’dil terhadap seorang perawi, maka pendapat yang dipandang
shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain adalah arah itu didahulukan atas ta’dil secara
muthlaq walaupun yang mengadilkan itu lebih banyak jumlahnya. Demikian pula dinukilkan oleh Al
Khatib dari jumur ulama. Didahulukan jarah atas ta’dil adalah karena orang-orang yang mencacatnya
mempunyai pengetahuan yang tidak dipunyai oleh yang mengendalikan itu. Yang mencacat menerangkan
sesuatu hal yang tersembunyi dari yang mengendalikan.

Dihikayatkan oleh Al Khathib dalam kitab Al Kifayah dan oleh pengarang Al Mahsul bahwa jika
bilangan yang memandang adil lebih banyak, didahulukan ta’dil karena banyak jumlahnya menguatkan
pendapat dan mengharuskan kita menghargai pendapat mereka.

Kemudian Al Khathib berkata: “ini suatu kesilapan dari orang yang berpendapat demikian,
karena orang-orang yang mengadilkan itu walaupun berjumlah banyak, mereka tidak menolak apa-apa
yang dikhabarkan oleh orang yang mencelanya.”

Al iqrady dalam syarah Alfiyah dan As Sayuthy dalam kitab At Tadrib berkata: “jika
bertentangan jarh dan ta’dil, maka tiadalah menadi kuat salah satunya tanpa ada yang menguatkan”.
Menurut As Sayuthy pendapat yang lebih shahih ialah jarah itu di dahulukan atas ta’dil jika diterangkan
sebabnya, walaupun bilangan orang yang mengadilkan lebih banyak.

Berkata Al Khathi, “Apabila seorang alim mengatakan bahwa segala orang yang aku riwayatkan
haditsnya adalah kepercayaan, walaupun aku tidak menyebutkan namanya”. Kemudian ia meriwayatkan
dari orang yang tidak disebut namanya, maka dapatlah ia menganggap bahwa orang adil itu memandang
adil orang yang tidak disebut namanya. Namun demikian kita tidak dapat beramal dengan tazkiyahnya
dan tidak cukup untuk memandang adil seseorang menurut pendapat yang shahih, sebelum dia menyebut
nama orang itu, karena walaupun orang yang tak disebut namanya kepercayaan disisinya maka boleh jadi
kalau disebut namanya adalah orang yang majruh disisi orang lain. Dan jika yang mengatakan itu seorang
mujtahi, seperti Malik, Asy Syafi’iy maka cukuplah perkataannya itu terhadap pengikut-pengikutnya,
tidak terhadap orang lain. Dan inilah yang dipilih oleh Imamul Haramain.

Riwayat orang adil dari orang yang disebut namanya, tidaklah merupakan pengakuan bahwa
orang yang disebut namanya itu adil. Demikianlah pendapat kebanyakan ahli hadits, karena boleh jadi
orang adil itu meriwayatkan dari orang-orang yang tidak adil. Karena, riwayatnya tidak merupakan
perkataan adil terhadap orang yang disebut namanya itu. Sebagian sahabat Asy Syafi’iy memandang
yang demikian sebagai tanda, pernyataan keadilan orang itu.
Apabila seorang alim memberi fatwa sesuai dengan suatu hadits, maka tidaklah dipandang bahwa
orang alim itu memandang shahih hadits tersebut. Demikian pula apabila fatwanya menyalahi hadits,
tidaklah merupakan cacatnya terhadap hadits. Walhasil, Ijma’ yang terjadi atas sesuatu hukum, tidaklah
merupakan pernyataan shahnya hadits yang sesuai dengan hukum itu, karena boleh jadi yang dipegang
adalah hadits yang lain.210

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Ilmu Jarh Wa Ta’dil merupakan Ilmu
yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya.

Latar belakang terjadinya ilmu jarh wa ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, sebagai
usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan hadits sahih dan dhaif.

Banyak pembahasan mengenai Ilmu Jarh Wa Ta’dil diantaranya pembahasan mengenai macam-
macam kaidah jahr dan ta’dil, hukum mencela para perawi, tidak boleh mencela lebih dari keperluan,
syarat menerima penta’dilan dan pentajrihan, jarh dan ta’dil yang diterima dan yang ditolak, jumlah
kesaksian dalam jarh atas ta’dil, mendahulukan jarh atas ta’dil, jumlah kesaksian dalam jarh atas ta’dil,
mendahulukan jarh atas ta’dil,

210
Maksudnya memandang adil terhadap seorang perawi
Pertentangan jarh wa ta’dil terhadap seorang perawi, maka menimbulkan pendapat yang
dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar Razy, AL Amidy dan lain-lain adalah arah itu didahulukan atas
ta’dil secara muthlaq.

BAB XVI

FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

A. Fungsi Hadits/Sunnah Dalam Ajaran Islam

Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. diutus oleh Allah Swt ke muka bumi untuk
menjelaskan isi kandungan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Hal itu senada dengan firman Allah
dalam Qur’an surat An Nahl . 44

٤٤ ‫ِبٱۡل َبِّيَٰن ِت َو ٱلُّز ُبِۗر َو َأنَز ۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱلِّذ ۡك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلۡي ِهۡم َو َلَع َّلُهۡم َيَتَفَّك ُروَن‬
Artinya :dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.211

Dengan pemahaman ayat di atas, tegaslah kiranya bahwa hadist itu penjelasan, pensyarah,
pentaqyid, dan pen-takhsish ayat-ayat al-Qur’an.

Imam Ahmad berkata, “Mencari hukum dalam Al-Qur’an haruslah melalui hadits. Mencari
agama demikian pula, Jalan yang telah dibentang untuk mempelajari fiqh Islam an syariatnya ialah
hadist/sunnah. Mereka yang mencukpi dengan Al-Qur’an saja, tidak memerlukan hadist dalam
memahami ayat, dalam mengetahui syariatnya, sesatlah perjalanannyadan tidak akan sampai pada tujuan
yang dikehendaki.”212

Penjelasan-penjelasan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sangat beraneka ragam
bentuknya dan memiliki fungsi-fungsi tertentu. Penjelasan itu dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan
ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain).
Nabi Muhammad Saw. telah diberi oleh Allah Swt (melalui Al-Qur;an) hak dan wewenang tersebut.
Segala ketetapannya harus diikuti.213

Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw yang memberikan penegasan bahwa hadits
merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti.

1. Dalil Al-Qur’an

Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir”. (Ali Imran : 32)

٣٢ ‫ُقۡل َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو ٱلَّرُسوَۖل َفِإن َتَو َّلۡو ْا َفِإَّن ٱَهَّلل اَل ُيِح ُّب ٱۡل َٰك ِفِريَن‬
Artinya. Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir"

2. Hadis Rasulullah Saw

Artinya. Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. 214
211
Abdur Rahman Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,(Yogyakarta: LPPI, 1996) hal. 61-
62.
212
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis,(Jakarta: Amzah, 2012) hal: 18.
213
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hal. 9.
214
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis,(Jakarta: Amzah, 2012) hal: 19.
B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an secara umum adalah untuk menjelaskan makna kandungan Al-
Qur’an yang sanagat dalam dan global atau li al-bayan (menjelaskan) sebagaimana firman Allah Swt
dalam surah An-Nahl. 44.215

٤٤ ‫ِبٱۡل َبِّيَٰن ِت َو ٱلُّز ُبِۗر َو َأنَز ۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱلِّذ ۡك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلۡي ِهۡم َو َلَع َّلُهۡم َيَتَفَّك ُروَن‬
Artinya: "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (Q.S. An-Nahl: 44).

Namun kemudian para ulama hadits merincinya menjadi 4 fungsi hadits terhadap Al-Qur'an yang
intinya adalah sebagai penjabaran, dalam bahasa ilmu hadits disebut sebagai bayan, fungsi hadits terhadap
Al-Qur'an secara detail ada 4, yaitu:

1. Sebagai Bayanul Taqrir.

Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu memperkuat keterangan dari ayat-ayat
Al-Qur'an, dimana hadits menjelaskan secara rinci apa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an, seperti
hadits tentang shalat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat sholat, ayat zakat, ayat puasa
dan ayat haji yang tertulis dalam Al-Qur'an.216

Nabi Muhammad Saw besabda.

Artinya. “Sesungguhnya Allah Swt memanjangkan kesempatan kepada orang-orang zalim,


apa’bila Allah menghukumnya maka Allah tidak akan melepasnya”

Hadist tersebut cocok dengan firman Allah Swt.

١٠٢ ‫م َش ِد يٌد‬ٞ‫َو َك َٰذ ِلَك َأۡخ ُذ َر ِّبَك ِإَذ ٓا َأَخ َذ ٱۡل ُقَر ٰى َو ِهَي َٰظ ِلَم ٌۚة ِإَّن َأۡخ َذ ٓۥُه َأِلي‬
Artinya. Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang
berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. 217

2. Sebagai Bayanul Tafsir


215
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis,(Jakarta: Amzah, 2012) hal: 20.
216
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: Amzah, 2012)hal: 20-21.
217
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis,(Jakarta: Amzah, 2012)hal: 21.
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai tafsir Al-Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap Al-Qur'an
terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:

a. Sebagai Tafshilul Mujmal

Dalam hal ini hadits memberikan penjelasan terperinci terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat
umum, sering dikenal dengan istilah sebagai bayanul tafshil atau bayanul tafsir. Contoh: ayat-ayat Al-
Qur'an tentang shalat, zakat, puasa dan haji diterangkan secara garis besar saja, maka dalam hal ini hadits
merincikan tata cara mengamalkan shalat, zakat, puasa dan haji agat umat Muhammad dapat
melaksanakannya seperti yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. 218

b. Sebagai Takhshishul 'Amm

Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadits
sering dikenal dengan istilah bayanul takhshish. Seperti dalam Q. S. An-Nisa'. 11.

‫ُيوِص يُك ُم ٱُهَّلل ِفٓي َأۡو َٰل ِد ُك ۖۡم ِللَّذ َك ِر ِم ۡث ُل َح ِّظ ٱُأۡلنَثَيۡي ِۚن َفِإن ُك َّن ِنَس ٓاٗء َف ۡو َق ٱۡث َنَتۡي ِن َفَلُهَّن ُثُلَث ا َم ا‬
‫َتَر َۖك َو ِإن َك اَنۡت َٰو ِح َد ٗة َفَلَها ٱلِّنۡص ُۚف َو َأِلَبَو ۡي ِه ِلُك ِّل َٰو ِح ٖد ِّم ۡن ُهَم ا ٱلُّس ُد ُس ِمَّم ا َت َر َك ِإن َك اَن‬
‫ة َفُأِلِّم ِه ٱلُّس ُد ُۚس ِم ۢن‬ٞ ‫د َوَو ِرَث ٓۥُه َأَبَو اُه َفُأِلِّمِه ٱلُّثُلُۚث َفِإن َك اَن َل ٓۥُه ِإۡخ َو‬ٞ‫د َفِإن َّلۡم َيُك ن َّل ۥُه َو َل‬ٞۚ‫َل ۥُه َو َل‬
‫َبۡع ِد َو ِص َّيٖة ُيوِص ي ِبَهٓا َأۡو َد ۡي ٍۗن َء اَبٓاُؤ ُك ۡم َو َأۡب َنٓاُؤ ُك ۡم اَل َتۡد ُروَن َأُّيُهۡم َأۡق َر ُب َلُك ۡم َنۡف ٗع ۚا َفِريَض ٗة‬
١١ ‫ِّم َن ٱِۗهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ِليًم ا َح ِكيٗم ا‬
Artinya. Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
218
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis,(Jakarta: Amzam, 2012)hal: 22.
Allah berfirman tentang haq waris secara umum saja, maka di sisi lain hadits menjabarkan ayat
ini secara lebih khusus lagi tanpa mengurangi haq-haq waris yang telah bersifat umum dalam ayat
tersebut. Kemudian dikhususkan dengan hadits Nabi Muhammad Saw :

Artinya.“Kami kelompok para Nabi tidak meninggalkan harta waris, apa yang kamu tinggalkan
sebagai sedekah”.219

c. Sebagai Bayanul Muthlaq

Hukum yang ada dalam Al-Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini
hadits membatasi kemutlakan hukum dalam Al-Qur'an. Seperti dalam Q. S. Al-Maidah: 38.

٣٨ ‫م‬ٞ‫َو ٱلَّساِر ُق َو ٱلَّساِر َقُة َفٱۡق َطُع ٓو ْا َأۡي ِدَيُهَم ا َج َز ٓاَۢء ِبَم ا َك َسَبا َنَٰك اٗل ِّم َن ٱِۗهَّلل َو ٱُهَّلل َع ِز يٌز َحِكي‬

Artinya..Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana

Difirmankan Allah tentang hukuman bagi pencuri adalah potong tangan, tanpa membatasi batas
tangan yang harus dipotong, maka hadits memberi batasan batas tangan yang harus dipotong. 220

3. Sebagai Bayanul Naskhi

Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai pendelete (penghapus) hukum yang diterangkan dalam Al-
Qur'an. Seperti dalam Q. S. Al-Baqarah: 180.

‫ُك ِتَب َع َلۡي ُك ۡم ِإَذ ا َحَض َر َأَح َد ُك ُم ٱۡل َم ۡو ُت ِإن َتَر َك َخ ۡي ًرا ٱۡل َو ِص َّيُة ِلۡل َٰو ِل َد ۡي ِن َو ٱَأۡلۡق َر ِبيَن ِب ٱۡل َم ۡع ُروِۖف َح ًّق ا‬
١٨٠ ‫َع َلى ٱۡل ُم َّتِقيَن‬

Artinya: "Diwajibkan atas kam, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf,
kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa".

219
Mohammad Nor Ichwan,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,(Semarang: Rasail Media Group, 2013) hal. 90-91.
220
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.
17.
Allah mewajibkan kepada orang yang akan wafat memberi wasiat, kemudian ayat di atas di naskh
dengan hadits Nabi Muhammad Saw Artinya. “Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang
mempunyai hak dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris”.221

4. Sebagai Bayanul Tasyri'

Dalam hal ini hadits menciptakan hukum syari'at yang belum dijelaskan secara rinci dalam Al-
Qur'an. Contoh untuk bagian ini yaitu hadits Rasulullah Saw tentang zakat fitrah:

Artinya. “Bahwasannya Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada
bulan Ramadhan Saw satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-
laki atau perempuan”

Dengan demikian sesuai dengan Al-Qur’an, firman Allah Swt

١٠٣ ‫ ُخ ۡذ ِم ۡن َأۡم َٰو ِلِهۡم َص َد َقٗة ُتَطِّهُر ُهۡم َو ُتَز ِّك يِهم ِبَها َو َص ِّل َع َلۡي ِهۖۡم‬:

Artinya. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka … Q.S. Al-Taubah: 103)

Bahwasannya hadis-hadis Rasulullah Saw yang berupa tambahan terhadap Al-Qur’an, merupakan
kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya dan ini bukanlah
sikap mendahului Al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya. 222

C. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hdits Dalam Islam.

Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut, para ulama
berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut.223

1. Pendapat Ahl ar-Ra’yi .

Menurut pendapat Ulama Ahl ar-Ra’yi, penerangan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an terbagi
menjadi tiga yaitu::

221
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 18.
222
Muhaimin. dkk., Studi Islam dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2012), h.
135.
223
Abdur Rahman Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,(Yogyakarta: LPPI, 1996) hal. 66-
67.
a. Bayan Taqrir. Yakni keterangan yang didatangkan oleh as-Sunnah untuk menambah kokoh
apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an.
b. Bayan Tafsir.Yakni menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah diketahui pengertiannya
yaitu ayat-ayat yang mujmal dan mustarak fihi.
c. Bayan Tabdil, Bayan Nasakh.

Yakni mengganti sesuatu hukum atau menasakhkannya. Menasakhkan Al-Qur’an dengan Al


Qur’an menurut Ulama Ahl ar-Ra’yi, boleh. Menasakhan Al-Qur’an dengan as-Sunnah itu boleh jika as-
Sunnah itu mutawatir, masyhur, atau mustafidh.224

2. Pendapat Malik

Malik berpendirian bahwa bayan (penerangan) Al-Hadits itu terbagi menjadi lima yaitu:

a. Bayan at-Taqrir

Yakni metetapkan dan mengokohkan hukum-hukum al Qur’an, bukan mentaudhihkan, bukan


mentaqyidkan muthlaq dan bukan mentakhsihkan ‘aam.

b. Bayan at-Taudhih (Tafsir).

Yakni menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yng menerangkan maksud ayat
yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat.

c. Bayan at-Tafshil

Yakni menjelaskan mujmal Al-Qur’an, sebagai hadits yang men-tafshil-kan kemujmalan.

d. Bayan Tasyri’

Yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al Qur’an, seperti menghukum
dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila si mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi,
dan seperti ridha’ (persusuan) mengharamkan pernikahan antara keduanya.

3. Pendapat Imam Asy-Syafi’i

Asy-Syafi’i di antara Ulama Ahl al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan al-Hadits terhadap Al-Qur’an
dibagi terbagi lima, yaitu:

a. Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat yang mujmal yang sangat ringkas petunjuknya.
224
Muhaimin. dkk., Studi Islam dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 136
b. Bayan Takhsish, menentukan sesuatu dari umum ayat.
c. Bayan Ta’yin, menentukan nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin
dimaksudkan.
d. Bayan Tasyri’, menetapkan suatu hukum yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
e. Bayan Nasakh, menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-
ayat al Qur’an.
4. Pendapat Imam hambal :
a. Bayan Ta’kid yaitu Menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
b. Bayan Tafsir yaitu Menjelaskan sesuatu hukum dalam Al-Qur’an.
c. Bayan Tasyri’ yaitu Mendatangkan suatu hukum yang tidak ada hukumnya dalam Al-
Qur’an.
d. Bayan Takhsish dan Taqyid yaitu Mengkhususkan Al-Qur’an dan mentaqyidkannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka hadits merupakan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an. Umat
Islam harus mengikuti petunjuk hadis sebagaimana dituntut untuk mengikuti petunjuk Al-Qur'an. Allah
memerintahkan kita mengikuti Rasul sebagaimana mentaati Allah. Firman Allah.

٧ ‫َو َم ٓا َء اَتٰى ُك ُم ٱلَّرُسوُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َنَهٰى ُك ۡم َع ۡن ُه َفٱنَتُهوْۚا َو ٱَّتُقوْا ٱَۖهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َش ِد يُد ٱۡل ِع َقاِب‬

Artinya…. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya. (Q.S. al-Hasyr: 7)

١٣٢ ‫َو َأِط يُعوْا ٱَهَّلل َو ٱلَّرُسوَل َلَع َّلُك ۡم ُتۡر َحُم وَن‬

Artinya: ”Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q.S Ali Imran:132)

Mengikuti Rasulullah Saw, atau menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya adalah
mengikuti sunnahnya atau haditsnya yang berupa perkataan, perbuatan taqrir dan sebagainya.Wajib
mengikuti Rasulullah Saw merupakan kewajiban dan berlaku untuk semua umat untuk seluruh masa dan
tempat. Oleh karena itu semua hadis yang diakui sahih dan tidak berlawanan dengan suatu petunjuk Al
Qur'an sama sama wajib diikuti oleh semua umat.
Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan.

1. Al Qur'an dan Hadits adalah sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam,
antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al Qur’an
mempunyai empat 4 macam fungsi, yaitu:
a. Bayan al-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu
menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam Al-Qur’an.
b. Bayan al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-
ayat Al Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau
batasan (taqyid) ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan
(takhshish) ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum.
c. .Bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam Al-Qur’an atau dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
d. Bayan at-nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang
kemudian.
2. Kewajiban mengamalkan hadits disamping Al-Qur’an, bukan semata-mata karena
diperintakan oleh Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri, melainkan juga disebabkan kebutuhan
umat islam kepadanya sangat besar.
3. Kedudukan Al-Qur’an sebagai salah satu alat pengukur (instrument) bagi kebenaran makna
suatu Hadits, agaknya begitu penting dan karenanya perlu mendapat perhatian serius.
4. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam :
a. Menurut Pendapat Ahl ar-Ra’yi meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tabdil/bayan
nasakh.
b. Menurut Pendapat Malik meliputi bayan at-taqrir, bayan at taudlih, bayan tafshil, bayan
tasyri’.
c. Menurut Pendapat Asy-Syafi’y meliputi bayan Tafshil, bayan Takhsish, bayan Ta’yin,
bayan Tasyri’, bayan Nasakh.
d. Menurut Pendapat Imam Hambali meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’,
bayan takhsish dan taqyid
BAB XVII

TAHAMMUL WA AL-ADA’

A. Pengertian Tahammul wa al-Ada’

Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan
menggunakan beberapa metode penerimaan hadits. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi
dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits. Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan
sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.

Al-Ada’ adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits. Menurut Nuruddin ‘Itr adalah
menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan
dan meriwayatkan hadits.

B. Syarat Penerima Hadits dan Penyampaiannya


1. Kelayakan Tahammul.

Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil,
yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Sahabat,
tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti
Hasan, Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy,
Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan
sesudah baligh.

Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut Dr. Nuruddin ‘Itr menyimpulkan bahwa pokok
kecakapan dan keahlian menerima hadits menurut jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang
menjadikan seseorang dapat memahami dan hafal terhadap apa yang didengarnya.

Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil,
berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz dari anak kecil
itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan
keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras
untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:

Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini
adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku
masih ingat siraman Nabi Muhammad Saw dari timba ke mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima
tahun.”

Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang
dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya
merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz
dengan kehidupan di sekitar.

Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz.
Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan
absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan
dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadits tidak absah, meski usianya di
atas lima tahun.

Mengenai penerimaan hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama menganggap sah,
asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat.
Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya
sahabat yang mendengar sabda Rasulullah Saw sebelum mereka masuk Islam. Salah satu sahabat yang
mendengar sabda Rasululllah Saw sebelum masuk Islam adalah Zubair. Dia pernah mendengar Rsulullah
Saw membaca surat Ath-Thur pada waktu sholat maghrib ketika dia tiba di Madinah untuk
menyelesaikan urusan perang Badr. Pada saat itu, dia dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia massuk
Islam, bila penerimaan hadist oleh orang kafir yang disampaikannya setelah memeluk Islam dapat
diterima, maka sudah tentu penerimaan hadits oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertobat
dianggap sah.

2. Kelayakan Ada’

Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya
bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[9]

1. Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui agamanya
tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab
menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat
perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah Swt juga memerintahkan kita untuk mengecek berita
yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا ِإن َج ٓاَء ُك ۡم َفاِس ُۢق ِبَنَبٖإ َفَتَبَّيُن ٓو ْا َأن ُتِص يُبوْا َقۡو َۢم ا ِبَج َٰه َل ٖة َفُتۡص ِبُحوْا َع َلٰى َم ا َفَع ۡل ُتۡم‬
٦ ‫َٰن ِدِم يَن‬

Artunya. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat:
6)

Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa
orang kafir tentu kita harus menolaknya.

2. Baligh

Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak bisa
diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud.

Artinya. Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur
sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)

Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan
kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan
perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga
baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera
untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan
kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima
periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum
muslimin.

3. Sifat Adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa
bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa
besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri
sesuap makanan, serta menjauhi perkaraperkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan
di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam
berkelakar.

4. Dhabt

Dhabt adalah. “Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia
dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”

Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika
mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt
mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan
dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia
meriwayatkan dari tulisannya.

Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan
hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwavat
pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit
perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya
tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

C. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya.


1. As-Sima’, (‫السماع‬, mendengar), yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan
ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun
untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga
yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya
lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang
sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat
kepada kebenaran.

Menurut M.M.Azami metode as-sama’ ini ada beberapa bentuk:

a. Penyampaian hadist secara lisan oleh guru


b. Pembacaan dari kitab
c. Tanya-Jawab
d. Dikte

Cara as-sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan
riwayat. Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini. Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini
tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang
tertinggi adalah kemudian. Alasannya adalah kata menunjukkan kepastian periwayat mendengar
secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M)
kata disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada, karena kata bias berarti guru hadist,
tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu tadi.
Seangkan kata memberi petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan
riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan tersebut.

Kata Kana, Yakulu, Fa’la, Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau yang serupa dengannya
diperselisihkan dalam penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat cara-cara tersebut
menunjukkan periwayatan secara as-sima’. Sebagian lagi berpendapat kata-kata tersebut menunjukkan
cara as-sima’ bila di dalamnya tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) oleh periwayat yang
menggunakan kata-kata dimaksud, pendapat yang terakhir ini menyamakan cara tersebut dengan
penggunaan kata ‘an.

2. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh, membaca di hadapan guru).

Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya’
menyodorkan bacaan. Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia
menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di
hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru
memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari
naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa
orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang
yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila
pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak absah. ‘Ardh ini
merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad keduaMayoritas ulama memperbolehkan metode
ini. Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan menerimanya. Sandaran
ulama dalam memperbolehkan metode ini adalah hadits Dhammam ibn Tsa’labah, bahwa is berkata
kepada Rasulullah Saw :
“Apakah Allah memerintahkan kepadamu untuk melakukan sholat lima waktu?” Beliau menjawab :
“Benar.” Mereka mengatakan : Itu adalah bacaan di hadapan Nabi Muhammad Saw. Dhammam
membcakan khabar tentang hal itu kepada kaumnya, lalu mereka memperbolehkannya.

3. Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah al-Ijazah ( ‫األجازة‬, sertifiksi atau
rekomendasi)

Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab
kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya
atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan
dariku.

Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria dan syarat. Tetapi
mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan
diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-
benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga
tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini
dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil,
Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain. Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah
dan mmyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya
diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang
diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau kitab.

Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau
beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan
Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Inilah yang mereka sebut
dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula. Sebagian ulama
menyebutkan delapan jenis ijazah. Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis.

4. Al-Munawalah.

Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau
salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. M. ‘Ajaj al-Khatib memberikan defeni seorang guru
memberikan beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkannya
darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah
haditsku, atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau
aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini.
sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas
ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan “Al-Munawalah Al-
Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’. Namun yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-
Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah. Al-Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga
mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini. Tak seorang pun yang
diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah.

Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. Sedangkan yang
dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah Hujjah yang digunakan ulama dalam
memperbolehkan metode munawalah adalah hadits Rasulullah Saw bahwa beliau berkirim surat kepada
panglima perang, seraya bersabda : Jangan kamu baca kecuali setelah sampai di tempat ini. Dan ketika
sampai di tempat yang dimaksud, ia membacanya dan memberitahukan kepada orang-orang tentang apa
yang diperintahkan Nabi Muhamma Saw..

5. Al-Mukatabah

Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya
sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain
lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini
memiliki dua bagian

Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya
memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam
keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang digunakan.

Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan Ada sekelompok ulama yang melarang
meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih
oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhirin.

6. I’lam asy-Syeikh.

Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab
tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari
seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada
murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama
memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah
mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya.
Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku
mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya
untuk menerima dan meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqad-
dimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama muta’akhkhirin.

Menurut M. ‘Ajaj al-Khatib, ia tidak menemukan seorang pun yang menerima riwayat dengan
cara ini pada masa-masa terdahulu selain Ibn Juraij dan yang menerima dengan cara itu harus
menjelaskannya sewaktu menyampaikan. Misalnya mengatakan: Fi Ma A’lamani Syaikhi, atau ungkapan
lain yang senada.

7. AI- Washiyyah.

Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab
riwayatnya diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk
tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammnul
dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat.
Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-
kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang
jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.

Penyampaian riwayat yang diterima dengan cara wasiat menurut yang memperbolehkannya
adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampaikannya. Misalnya perawi mengatakan: Telah
mewasiatkan kepadaku Fulan, mengatakan telah memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat,
atau saya menemukan dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya begini-
begini. Ternyata kami tak menemukan seorang pun dari ulama mutaqaddimin yang meriwayatkan dengan
cara wasiat.

8. Al-Wijadah.penemuan

Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang
tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari
shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya,
seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya
itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin
bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa
dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui
sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin
melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk
menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa
mereka meriwayatkan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan
metode wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan
periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab. Bahkan sebagian besar ulama
salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan
mereka ungkapan: “Jangan kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari
mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah.”
Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab.

D. Periwayatan Hadits Antara bi al-Lafzh dan bi al-Ma’na

Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadist, hadist Nabi Muhammad Saw terlebih dahulu
telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadist atau al-riwayah, yang dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa
dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian
minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan
riwayat.

Sementara secara istilah ilmu hadist, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-
riwayah adalah: “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadist itu kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadist dari
seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadist itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat
disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadist. Sekiranya orang tersebut
menyampaiakan hadist yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadist itu tidak
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadist”.

Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan
hadist Nabi, yaitu: a. Orang yang melakukan periwayatan hadist yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy
(periwayat), b. Apa yang diriwayatkan (al-marwiy), c. Susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad),
d. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan. e. Egiatan yang
berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadist (at-tahamul wa ada al- Hadist).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa salah satu tugas perawi adalah menjelaskan bentuk
tahammul yang digunakan untuk menerima apa yang diriwayatkannya. Kita juga mengenal semangat dari
ulama hadits terhadap hal itu. Di samping bersemangat menjelaskan bentuk tahammul hadits sewaktu
menyampaikannya, ulama juga bersemangat untuk menyampaikan hadits persis seperti yang mereka
dengar tanpa penggantian dan perubahan sedikit pun. Sebagian ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul
bersikap ketat. Mereka mewajibkan periwayatan hadits dengan lafadz, dan tidak memperbolehkan peri-
wayatan dengan makna sama sekali. Mayoritas ulama cenderung berpendapat, bahwa seorang muhaddits
boleh meriwayatkan dengan makna, tidak dengan lafadz, bila ia memahami bahasa Arab dengan segala
seluk-beluknya dan mengerti makna-makna dan kandungan hadits serta memahami kata yang bisa
merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Bila demikian, ia diperbolehkan meriwayatkan dengan
makna. Karena dengan pemahamannya yang kuat, ia bisa menghindari perubahan makna dan pergeseran
hukum-hukum yang terkandurg didalamnya. Namun bila perawi tidak mengerti dan tidak memahami
kata-kata yang bisa merubah makna maka ia tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna.
Tidak ada silang pendapat, tentang kewajiban menyampaikannya riwayat dengan lafadz seperti yang
didengarnya.

Seperti sudah disinggung dalam pendahuluan dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk
periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi
terhadap keautentikan suatu hadits. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadits harus dengan
lafadz (teks) yang persis disampaikan Nabi Muhammad Saw ataukah cukup dengan maknanya saja,
menjadi isu penting dikalangan ulama hadits.

1. Periwayatan Hadits dengan Lafadz.

Periwayatan hadits dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadits dengan menggunakan
lafadz sebagaimana Rasulullah Saw tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun
walaupun hanya satu kata. Di antara ulama yang menekankan periwayatan hadist dengan lafaz dan
menolak periwayatan hadits dengan makna adalah Muhammad ibn Sirin, Abu Bakar al-Razy dan Raja’
ibn Hayuh. Mereka tidak membolehkan meriwayatkan hadist kecuali dengan lafadz dari Nabi, tidak boleh
ditambah atau dikurangi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa seorang rawi harus menyampaikan apa
yang didengarnya dari gurunya sekalipun gurunya itu salah atau keliru dalam ejaannya. Ibn Shalah
sebagaimana dikutip dalam Ibn Katsir menyebut mereka sebagai “Madzhab Pengikut Lafadz yang
Ekstrim”.
2. Periwayatan Hadist dengan Makna.

Sedangkan periwayatan dengan makna yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun
perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi
Muhammad Saw Dan periwayatan hadist bil al-makna yang diperselisihkan para ulama adalah hadits
qauly atau perkataan Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak
sebagaimana dilafalkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Adapaun yang membolehkan Periwayatan Hadist bi al-Makna memberikan persyaratan khusus,


yaitu: Pertama, Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga ian dapat
membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadist yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan
bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hamir sama dalalahnya. Kedua,
perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang
dikandungnya. Ketiga, lafazh hadist itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah,
tasyahud dasn lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-kalim) dan
Keempat, memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan
membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.

Disamping pendapat di atas ulama Mutaakhirin diantaranya Mahmud ibn Abu Rayyah yang
sebagaimana dikutip Ajaj al-Khatib dalam bukunya Adhawa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah,
berpendapat, bahwa; hadist-hadist Rasulullah Saw baru diriwayatkan oleh sebagian sahabat jauh setelah
Nabi wafat. Ia mengakui bahwa bahwa periwayatan hadits dengan makna tak dapat dihindari.
Menurutnya disebabkan karena perawi tak sanggup lagi mengungkapkan bunyi lafal yang asli sesuai
dengan ucapan Nabi Muhammad Saw.

Meskipun demikian, jumhur ulama sepakat tentang perlunya memelihara lafadz hadist dan nash-
nya yang asli seperti yang diucapkan oleh Nabi. Para ulama juga sepakat tentang tidak bolehnya
periwayatan hadits oleh perawi yang tidak mengetahui secara cermat akan lafadz dan dalalahnya, yang
tidak dapat mengungkapkan makna yang dikandungnya, dan yang tak teliti terhadap perbedaan-perbedaan
secara cermat dari lafadz-lafadz mutaridifat. Jadi mereka menginginkan periwayatan hadist dengan lafadz
asli dari Nabi. Mereka hanya membolehkan periwayatan dengan makna dengan persyaratan-persyaratan
yang ketat.

Dari sini, jelaslah bahwa orang yang mengerti betul kata-kata yang bisa merubah makna boleh
meriwayatkan hadits secara makna, bila ia tidak ingat kata-kata persisnya. Karena ia telah menerima kata
dan makna. Namun karena ia tidak mampu menyampaikan salah satunya, maka tidak ada halangan
meriwayatkannya secara makna selama ia aman dari keterpelesetan dan kekeliruan. Bahkan Imam al-
Mawardiy mewajibkan seseorang menyampaikan dengan makna bila ia telah lupa akan lafadznya. Karena
bila tidak, maka ia termasuk menyembunyikan hukum. Kemudian beliau berkata: Namun bila ia tidak
lupa akan lafadznya, maka tidak boleh baginya menyampaikan selainnya. Karena kalam Nabi
Muhammad Saw mengandung fashahah yang tidak dimiliki oleh kalam lainnya. Yang memperbolehkan
periwayatan dengan makna hanya memperbolehkannya bagi orang yang benar-benar mengerti, di
samping dengan syarat yang diriwayatkan bukan kata- kata yang merupakan bacaan ibadah atau
ungkapan ungkapan Nabi Muhammad Sawyang jami’ (padat makna). Sebenarnya kita juga telah
menyaksikan hal itu pada praktek sahabat, tabi’in dan ahli hadits sesudah mereka. Mereka tidak beralih
dari redaksi aslinya kecuali berkenaan dengan keterangan mengenai keadaan, peperangan ataupun
peristiwa tertentu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang sangat berhati-hati, dan seusai
meriwayatkan mereka mengatakan : “au kama qala” (atau seperti yang disabdakan Nabi), “au nahwa
hadza” atau ungkapan sejenis, atau “au syibhahu” (atau ungkapan yang serupa), seperti yang dipraktekkan
oleh Abdullah ibn Masud, Abu ad-Darda’, Anas ibn Malik dan lain-lain. Karena itu, seusai meriwayatkan
hadits harus mengatakan : “au kama qala” atau yang sejenis, sebagai sikap hati-hati bila yang
diriwayatkannya itu merupakan riwayat dengan makna.

Kesimpulan.

Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-
metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.

Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak
yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang
membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya,
pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.

Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam
tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-
Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.
BAB XVIII

NAMA-NAMA RAWI HADITS

A. Pengertian Sahabat
1. Sahabat.

Sahabat adalah orang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad Saw , dia beriman kepada beliau
dan mati dalam keadaan beriman. Namun ada sebagian ulama menambah definisi tersebut, yaitu:

a. Dia lama berkumpul dengan Nabi Muhammad Saw.


b. Dan dia pernah mengikuti peperangan dengan Nabi Muhammad Saw.
2. Dasar-dasar Keadilan Sahabat

Menurut Ahlul Sunnah wal Jamaah bahwa semua sahabat itu adalah adil baik sahabat dewasa
maupun sahabat kecil tanpa harus mempersoalkan mereka yang terlibat dalam peperangan seperti
peperangan Mu’awiyah dengan Ali ra. Hal ini didasarkan bahwa mereka itu semua orang-orang yang
senantiasa menjalankan perintah dan senantiasa menjauhi larangan Allah dan senantiasa menjalankan
shalat, puasa, zakat, dan lain-lain. Di samping itu juga berdasarkan beberapa ayat dan hadits Muhammad
Saw.

‫َو َك َٰذ ِلَك َجَع ۡل َٰن ُك ۡم ُأَّم ٗة َو َس ٗط ا ِّلَتُك وُنوْا ُش َهَدٓاَء َع َلى ٱلَّن اِس َو َيُك وَن ٱلَّرُس وُل َع َلۡي ُك ۡم َش ِهيٗد ۗا َو َم ا َجَع ۡل َن ا‬
‫ٱۡل ِقۡب َلَة ٱَّلِتي ُك نَت َع َلۡي َهٓا ِإاَّل ِلَنۡع َلَم َم ن َيَّتِبُع ٱلَّرُسوَل ِمَّم ن َينَقِلُب َع َلٰى َع ِقَبۡي ِۚه َو ِإن َكاَنۡت َلَك ِبيَر ًة ِإاَّل َع َلى‬
١٤٣ ‫م‬ٞ‫ف َّر ِح ي‬ٞ‫ٱَّلِذ يَن َهَدى ٱُۗهَّلل َو َم ا َك اَن ٱُهَّلل ِلُيِض يَع ِإيَٰم َنُك ۚۡم ِإَّن ٱَهَّلل ِبٱلَّناِس َلَر ُء و‬

Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad Saw) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasulullah Saw dan siapa yang
membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (QS. Al-Baqarah: 143).
‫ُك نُتۡم َخ ۡي َر ُأَّمٍة ُأۡخ ِر َج ۡت ِللَّناِس َتۡأ ُم ُروَن ِب ٱۡل َم ۡع ُروِف َو َتۡن َه ۡو َن َع ِن ٱۡل ُم نَك ِر َو ُتۡؤ ِم ُن وَن ِبٱِۗهَّلل َو َل ۡو َء اَم َن‬
١١٠ ‫َأۡه ُل ٱۡل ِكَٰت ِب َلَك اَن َخ ۡي ٗر ا َّلُهۚم ِّم ۡن ُهُم ٱۡل ُم ۡؤ ِم ُنوَن َو َأۡك َثُر ُهُم ٱۡل َٰف ِس ُقوَن‬

Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik”. (QS. Ali Imran: 110).

‫د َّرُسوُل ٱِۚهَّلل َو ٱَّلِذ يَن َم َع ٓۥُه َأِش َّد ٓاُء َع َلى ٱۡل ُك َّفاِر ُر َح َم ٓاُء َبۡي َنُهۖۡم َتَر ٰى ُهۡم ُر َّك ٗع ا ُسَّج ٗد ا َيۡب َتُغ وَن َفۡض اٗل ِّم َن‬ٞ ‫ُّمَحَّم‬
٢٩ ‫ٱِهَّلل َو ِرۡض َٰو ٗن ۖا ِس يَم اُهۡم ِفي ُو ُجوِهِهم ِّم ۡن َأَثِر ٱلُّسُج وِۚد‬
Artinya. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku´ dan
sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud. …”. (QS. Al-Fath: 29).

Sedangkan hadits Nabi Muhammad Saw. di antaranya:

Artinya: “Sebaik-baik masa adalah masaku dan orang-orang setelah aku”. (HR. Bukhari dari
Abdullah bin Mas’ud).

Artinya: “Allah itu senantiasa dalam melindungi sahabatku, maka janganlah kamu menjadikan
untuk kepentingan dunia sesudah aku nanti. Barang siapa mencintai mereka, maka dia sama dengan
mencintai aku, maka aku akan emncintai mereka. Barang siapa membenci mereka, maka dia sama saja
membenci aku, maka aku akan membenci dia. Dan barang siapa menyakiti mereka sama saja menyakiti
aku, dan barang siapa menyakiti aku maka Allah akan menyakiti dia. Dan barang siapa menyakiti Allah,
maka Allah akan menyiksa dia”. (HR. Imam Turmudzi, Ibnu Majah dari Abdullah bin Mughafal). 225

3. Cara Mengetahui apakah dia itu sahabat atau bukan. Para ahli hadits memberikan cara:
a. Berita itu sudah bersifat mutawatir, bahwa dia adalah seorang sahabat, seperti Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali, dan lain-lain.
b. Sahabat itu terkenal, seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Shomam bin Tsa’labah,
dan lain-lain.
c. Ada pengakuan dari sahabat itu sendiri.

225
Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 207
d. Adanya pengakuan dari tabi’in, bahwa memang dia itu adalah sahabat. Sedangkan tabi’in
ini dapat dipercaya.
4. Sahabat yang Banyak Memberikan Fatwa yaitu:
a. Ibnu Abas
b. Umar bin Khattab
c. Ali bin Abi Thalib
d. Ubai bin Ka’ab
e. Zaid bin Tsabit
f. Abu Darda’
g. Ibnu Mas’ud
h. Abdullah bin Mas’ud
5. Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits ialah :
a. Abu Hurairah, dia meriwayatkan hadits sejumlah 5.374 hadits dan 300 rawi yang
meriwayatkannya.
b. Ibnu Umar, meriwayatkan hadits 2.730 hadits
c. Anas bin Malik, meriwayatkan hadits 2.286 hadits
d. Siti A’isyah, meriwayatkan hadits 2.210 hadits
e. Ibnu Abbas, meriwayatkan hadits 1.660 hadits
f. Jabir bin Abdullah, meriwayatkan hadits 1.540 hadits

Para ahli hadits berpendapat jika terjadi pertentangan riwayat di antara para sahabat itu maka
yang dimenangkan adalah A’isyah, karena beliaulah yang lebih dekat kepada Nabi Saw. 226

Pengertian Tabi’in

Tabi’in adalah seorang yang pernah bertemu dengan sahabat dan beriman kepada Nabi
Muhammad Saw. dan mati dalam keadaan Islam.

B. Sahabat yang Mendapat Gelar Al-Muktsirun fi Ar-Riwayah


1. Abu Hurairah (21 SH – 59 H = 602 M – 679 M).

Abu Hurairah dilahirkan tahun 19 sebelum Hijriyah.Abu Hurairah adalah gelar atau nama kunyah
yang diberikan oleh Rasulullah Saw. karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing perliharaannya.
Sedang nama aslinya sebelum masuk Islam adalah ‘Abd Syams ibn Sakhr. Ketika beliau masuk Islam
226
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 119
Nabi Muhammad Saw. menggantinya dengan ‘Abdur Rahman ibn Sakhr Al-Dausi At-Tamimi (dari bani
Daus ibn Adnan) Al-Yamani. Beliau seorang sahabat yang digelari para ulama dengan Al-Imam/al-Faqih
al-Mujtahid dan Al-Hafidz. Beliau termasuk sahabat yang dido’akan Rasulullah Saw. mempunyai hafalan
yang kuat.

Abu Hurairah masuk Islam pada 7 Muharram (629 M) pada waktu kampange menentang
Khaibar. Sumber lain mengatakan beliau masuk Islam sebelum hijrah atas dorongan Thufail ibn ‘Amir.
Semenjak itu beliau selalu beserta Nabi Muhammad Saw. serta menjadi ketua Jama’ah Al-Shuffah.

Beliau dikenal sebagai sosok sahabat yang amat sederhana dalam kehidupan materi, wara’ dan
taqwa. Hidupnya diabadikan untuk senantiasa beribadah pada Allah Swt. Pernah diangkat sebagai
pegawai di Bahrain masa khalifah Umar ibn Khattab. Tapi karena kebiasaannya yang banyak
meriwayatkan hadits bertentangan dengan kebijakan khalifah, maka beliau dibebas tugaskan. Masa
khalifah Ali dan Abi Thalib beliau menolak diangkat sebagai pegawai, namun masa Mu’awiyah beliau
menerima jabatan gubernur di Madinah.227

Hadits yang diterimanya diriwayatkan oleh sekitar 800 orang dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Hadits yang diriwayatkan sebanyak 5374 buah hadits, dengan ini beliau adalah sahabat yang paling
banyak meriwayatkan hadits. Di samping menghafal, beliau juga mencatat hadits-hadits dari Rasulullah
Saw.

Karena banyaknya beliau meriwayatkan hadits, maka ada yang mendukung dan juga menggugat
keadalahan beliau, di antara gugatan-gugatan itu adalah:

a. Abu Hurairah Rakus. Rakus kalau makan hidangan berupa daging dan susu.
b. Syaikh Al-Madhirah
c. Masa bersama Nabi Muhammad Saw yang membingungkan, antara 3 tahun / 50 bulan.
d. Ikhsar hadits.

Masa yang singkat dalam meriwayatkan hadits. Polemik ini terus berkepanjangan yang menggugat dan
yang membela beliau. Namun ingat, Rasulullah Saw yang mendo’akan agar beliau diberi kekuatan
hafalan.

2. Abdullah ibn Umar (10 SH – 74 H = 618 – 694 M).

227
Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada
Media Group, 2011), hlm. 186.
Beliau lahir setelah peristiwa pengangkatan Muhammad sebagai Rasulullah Saw. biasa disebut
dengan “Ibn Umar” masuk Islam bersama ayahnya saat usia 10 tahun (sebagian pendapat berkata 13)
merupakan salah satu dari 4 sahabat yang bergelar “Abadillah”. Menurut Malik bin Anas, beliau adalah
sahabat yang mengetahui sepenuhnya berbagai urusan yang dihadapi Rasulullah Saw. dan para
sahabatnya.228

Menurut pandangan ulama dari sahabat dan tabi’in, pribadinya mencerminkan seorang ulama
yang menghadarpkan ridha Allah Swt. semata. Serta beliau tidak mau turut campur dengan fitnah yang
terjadi di masanya, di kalangan sahabat dikenal sebagai peneladan segala gerak gerik Rasulullah Saw.

Beliau menerima hadits langsung dari Rasulullah Saw. dan dari sahabat lainnya di kalangan
sahabat periwayatannya dalam hadits menduduki peringkat kedua yaitu 2630 buah hadits.

Di antara silsilah sanadnya yang paling tinggi nilainya yang sampai pada Abdullah bin Umar
melalui Malik bin Anas dari Nafi’, sedang yang paling lemah melalui Muhammad Abdullah ibn Al-
Qasim dari ayahnya dari kakeknya.

Di samping menghafal, beliau juga menulis hadits yang diterimanya dalam beberapa risalahnya
dan juga oleh para ulama yang menerima riwayat darinya.

3. Anas ibn Malik (10 SH – 93 H = 612 M – 912 M)

Nama lengkapnya Anas ibn Malik ibn An-Nadr dan Dam-dam ibn Zaid ibn Haram ibn Jundub
ibn Amir ibn Ganam ibn Addi ibn An-Najar Al-Anshari. Dikenal dengan sebutan “Abu Hamzah” dan
“Ibn Sulaim” (menurut Abu Hurairah) sahabat yang terakhir meninggal di Basrah.

Beliau hidup bersama Rasulullah Saw. sebagai pembantu yang dipersembahkan oleh ibunya
(Ummu Sulaim) di usia 10 tahun. Beliau menerima hadits secara langsung dari Rasulullah Saw dan dari
sahabat lainnya.

Beliau menempati peringkat ketiga dalam banyaknya periwayatan hadits, yaitu 2286 buah hadits,
dalam riwayat lain 2236 hadits, 2276 hadits.

Silsisalh sanad yang sampai padanya yang tertinggi nilainya melalui Malik ibn Anas dari ibn
Shihab Az-Zuhri. Sedang yang paling lemah melalui Daud ibn Al-Muhabbir dari ayahnya dari Abban ibn
Abi Yazid.

228
Abdul Majid Khan, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada
Media Group, 2011), hlm. 183.
4. Siti ‘Aisyah Al-Shiddiqiyah (9 SH – 58 H = – 668 M)

Beliau adalah istri Rasulullah Saw. putra Abu Bakar As-Shiddiq. Menurut ayah Hisyam tidak ada
sahabat yang sepandai ‘Aisyah dalam hal mengetahui diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an hal yang
diwajibkan dan disunnahkan, peristiwa-peristiwa penting dan yang lainnya. ‘Aisyah dalam
menyampaikan hadits kerap kali sebab Nabi Muhammad Saw mengeluarkan hadits dalam kontek maksud
dan tujuan yang ditentukan. Beliau meriwayatkan hadits sebanyak 2210 buah hadits menempati urutan
keempat.

Silsilah sanad yang paling tinggi nilainya yang sampai padanya melalui Yahya ibn Sa’id dari
Ubaidillah ibn ‘Amr ibn Hafidz dari Al-Qashim ibn Muhammad.

Hadits-hadits dan fatwa-fatwa yang diralat ‘Aisyah dibukukan setidaknya oleh:

a. Imam badruddin Al-Zarkasyi dalam kitab Al-Ijabat li Iradi Maistadrakatu ‘Aisyah “’Aka As-
Shahabah”.
b. Jalal Ad-Din As-Suyuthi aina Al-Ishabah fi Istidrak “’Aisyah ‘ala As-Shahabah”.
5. Abdullah ibn Abbad (3 SH – 68 H = 616 M – 687 M)

Beliau putra paman Rasulullah Saw. Al-Abbas ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn Manaf al-
Makki al-Madaniyati al-Tha’ifi sedang ibunya saudara Maimunah istri Rasulullah Saw. yaitu Ummu Al-
Fadhl Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyah beliau meninggal di Tha’if.

Beliau ahli dalam fiqh, tafsir Al-Qur’an, bahasa Arab, syair, ilmu hisab, dan ilmu waris.
Rasulullah Saw.

Meriwayatkan hadits sebanyak 1660 buah hadits, peringkat kelima. Silsilah hadits yang tinggi
nilainya melalui Ibn Shihab Az-Zuhri dari Ubaidillah ibn Abdullah ibn Utbah. Silsilah yang paling lemah
melalui Shalih.

6. Jabir ibn Abdillah (16 SH – 78 H = 604 M – 698 M)

Nama lengkapnya Jabir ibn Abdullah ibn Amar ibn Haram ibn Tsa’labah Al-Khazraji Al-Anshari
As-Salami. Beliau mendapat gelar Al-faqih Al-Imam dan mufti Madinah. Ke mana saja beliau pergi
selalu dikunjungi masyarakat yang ingin mengambil ilmu darinya dan meneladani ketakwaannya.

Dalam periwayatan hadits di jajaran sahabat beliau menduduki peringkat ke-6 dengan 1540 buah
hadits. Silsilah sanad yang paling tinggi nilainya melalui Sufyan ibn Uyainah dari Amr ibn Dinar.
Beliau meninggal di Madinah dan merupakan orang terakhir yang meninggal dari maqamat
sahabat.

7. Abu Sa’id Al-Khudry (8 SH – 74 H = 607 M – 693 M)

Nama aslinya adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan Al-Khudry Al-Khazraji Al-Anshari. Abu Said
Al-Khudry adalah gelar yang diberikan padanya.

Saat usia 13 tahun dia dibawa ayahnya pada Rasulullah Saw. untuk ikut perang Uhud namun ditolak
karena masih kecil. Beliau ikut perang 12 kali. Beliau menerima hadits langsung dari Nabi Saw. serta dari
sahabat lainnya dalam jajaran periwayatan hadits beliau ada di rangking ketujuh dengan 1170 hadits. 229

C. Sebagian Sahabat yang Ternama


1. Abdullah bin Ma’ud

Sahabat yang berhasil membunuh Abu Jahal, Rasulullah memberi kesaksian beliau akan masuk
surga kelak.

2. Abdullah bin Amr bin Al-Ash

Salah seorang dari Abdillah yang ahli fiqh. Masuk Islam sebelum ayahnya, hadits yang
diriwayatkannya 700 buah hadits.

3. Abu Dzar Al-Ghifari (281 hadits)

Nama aslinya Jumdab bin Junadah beliau seorang yang zuhud tidak pernah punya simpanan
makanan untuk hari esok.

4. Sa’ad bin Abi Waqqash

Mendapat julukan “Abu Isqaq”, sahabat yang mendapat kabar gembira akan masuk surga, watag
tahun 55 H

5. Mu’adz bin Jabal

Mendapat julukan “Abu Abdurrahman” ahli fiqh. Sabda Nabi: “dialah paling mengerti halal
haram”.

229
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 95.
6. Abu Darda’ (179 hadits)

Nama asli Uwainir bin Zaid bin Qais. Seorang sahabat dari suku Khazraj. Rasulullah
menyebutnya prajurit berkuda paling baik. Wafat pada tahun 32 H di Damaskus.230

D. Pentadwin dan Pentakhrij Hadits

Yaitu upaya pembukuan hadits dan serta penerapan suatu hadits shahih atau tidak. Di antara
pentadwin dan pentakhrij hadits secara sekilas biografinya:

1. Umar ibn Abdul Aziz (61 H – 101 H)

Beliau cucu sahabat Umar bin Khattab dari Ummu Ashim. Beliaulah penggagas tadwin. Beliau
menginstruksikan pada Abu Bakar ibn Muhammad ibn hazim, Gubernur Madinah, dan Muhammad ibn
Muhammad ibn Shihab Al-Zuhri. Namun hasilnya tadwinnya tidak sampai pada generasi berikutnya.

2. Abu Bakr ibn Muhammad ibn Hazm (17 H)

Kapan dilahirkan tidak jelas, sedang wafat antara 117 H dan 120 H. Beliau termasuk golongan
ulama tsiqah.

3. Ibnu Shihab Al-Zuhri (50 H – 125 H)

Beliau mendapat gelar Al-Hafidz Al-Madani, Al-Faqih, Alim Al-Hijaz wa Al-Syam, dan seorang
pemimpin dunia. Hasil karyayanya dalam tadwin lebih lengkap dari Abu Bakr ibn Muhammad ibn Hazm.

4. Al-Ramahurmuzi (265 H – 360 H)

Nama ini dinisbatkan tempat kelahirannya, terletak sebelah barat daya Iran. Beliaulah yang
pertama menyusun suatu ilmu hadits secara lengkap sebagai disiplin ilmu.

5. Imam Malik ibn Anas (93 H – 179 H)

Nenek moyangnya yaitu Abu Amir seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh peperangan di
zaman Nabi, kecuali perang Badar. Beliau mendapat gelar Amirul Mukminin fi Al-Hadits. Menurut suatu
riwayat, ia berada di rahim ibunya selama tiga tahun. Mendapat siksaan fisik karena fatwanya

230
Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada
Media Group, 2011), hlm. 179-180.
bertentangan dengan kebijakan Gubernur Madinah. Karya terkenalnya Al-Muwaththa’ (tempat berpijak)
dijadikan sebagai kitab undang-undang peraidilan oleh para qadhi.

6. Imam As-Syafi’i (150 H – 204 H)

Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad ibn Idris, lahir di Ghozzah tepi pantai Palestina
Selatan. Usia tujuh tahun sudah hafal Al-Qur’an murid dari Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.

Saat di Baghdad fatwanya disebut Qaul Qadim. Sedang di Mesir fatwanya disebut Qaul Jadid.
Mendapat gelar Nashir Al-Hadits (penolong memahamkan hadits) hingga Imam Ahmad mengatakan
“Andai kata tidak ada Imam Syafi’i sungguh aku dengan mengenal cara memahami hadits”.

7. Imam Ahmad ibn Hanbal (164 H – 241 H)

Ayahnya seorang mujtahid di Basrah. Selama hidupnya beliau menghafal lebih dari sejuta hadits.
Beliau merupakan pelopor penkombinasian fiqh dengan hadits. Murid setia dari Imam Syafi’i serta
mempunyai tulisan dua belas macam yang dikuasai di luar kepala. Beliau dituduh sebagai sumber dari
pendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Karya terbesarnya Musnad Al-Kabir.

8. Imam Bukhari (194 H – 256 H)

Beliau lahir di Bukhara, wilayah Uzbekistan, karya terbesarnya yaitu Shahih Bukhari.

9. Imam Muslim (204 H – 261 H)

Dilahirkan di Naisabur, wilayah Iran Timur Laut. Karya terbesarnya adalah Shahih Muslim.

10. Imam Abu Dawud (202 H – 275 H)

Dilahirkan di Sijistani, daerah antara Iran dan Afganistan. Karya terkenalnya Sunan Abu Dawud.

11. Imam At-Tirmidzi (200 H – 279 H)

Dilahirkan di Turmudz, daerah pinggir kota utara sungau Amuderiya sebelah utara Iran. Karya
terkenalnya Sunan At-Tirmidzi.

12. Imam Nasa’i (215 H – 303 H)

Dilahirkan di daerah Nasa’, wilayah Khurasan. Karya terkenalnya Sunan Al-Kubro atau Sunan
An-Nasa’i
13 .Imam Ibnu Majah (207 H – 273 H)

Dilahirkan di Qazwin, wilayah Iran. Karya terkenalnya adalah Sunan Ibnu Majah. 231

E. Istilah-istilah yang Digunakan Oleh Rawi di Akhir Hadits.

Para ahli hadits dalam akhir hadits menyebut di akhir sebuah hadits adalah sebagai berikut:

1. Marfu’, adalah hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw. baik berupa
perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi Nabi Muhammad Saw baik sanad itu bersambung
maupun tidak.

Marfu’ ini ada dua macam, yaitu::

a. Marfu’ Tasrih, yaitu rawi menjelaskan bahwa hadits melibatkan Nabi Muhammad Saw.,
seperti: Nabi bersabda, dari Nabi Muhammad Saw.
b. Marfu’ Hukmi, yaitu bahwa rawi itu tidak menjelaskan bahwa hadits melibatkan Nabi,
namun sahabat mengatakan: minnasunnahti kadha wa kada.
2. Maukuf, adalah hadits yang sanad hanya kepada sahabat Nabi Muhammad Saw. bisa jadi
berupa perkataan maupun perbuatan baik sanadnya itu bersambung maupun terputus. Seperti:
Ibnu Umar ra. berkata demikian……… Ibnu Umar berbuat demikian…… Sedangkan hukum
maukuf itu menurut Prof. Dr. Fatkhurrahman adalah kategori hadits dhaif.
3. Mursal, adalah hadits yang dikatakan oleh seorang tabi’in dari Nabi, seperti tabi’in berkata:
bersabda …………. Nabi melakukan demikian …………
4. Gharib, adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sanad sendirian.

Contoh hadits, yang artinya: “budak yang merdeka daging seperti nasab, maka tidak boleh dijual
dan dihibahkan. Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Dina dari ibnu Umar. Dia seorang diri.
Sedangkan hukum hadits adalah kadang-kadang shahih, hasan, dan dhaif.

5. Munkar dan Ma’ruf

Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang dhaif yang bertentangan dengan
rawi yang dhaif lebih rendah. Contoh. Artinya: “Barangsiapa menjalankan shalat, menunaikan zakat,

231
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), hlm 11.
menunaikan haji, menjalankan puasa dan menghormati tamu, maka dia akan masuk surga”. (HR. Ibnu
Majah).

Hadits ini dianggap munkar sebab Habib meriwayatkan hadits ini bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Abi Hatim yang dia lebih tsiqoh. Oleh karena itu hadits yang dari Habib disebut
hadits mungkar sedangkan hadits dari Abi Hatim dan sebagainya dengan hadits ma’ruf.

6. Mubham, adalah hadits yang dalam sanad atau matannya terdapat seorang yang disebutkan,
seperti seorang perempuan, seorang laki-laki.Hadits ini ada dua, yaitu:
a. Mubham fil Matni.
b. Mubham fil Sanad. Contoh hadits Mubham fil matni.

Artinya: “Bahwa Nabi Muhammad Saw. mlihat seorang laki-laki yang shalat di belakang shaf
sendirian, maka Nabi Muhammad Saw. memerintahkan orang itu untuk mengulangi shalatnya”.
(HR. Abu Dawud dari Waabishah bin Ma’bad ra.).

Contoh mubham fil sanad: seorang rawi berkata: “seorang laki-laki telah memberi khabar kepada
kami”.232

F. Cara-cara Penyusun Kitab Hadits Dalam Menyebutkan Rawi


1. Hadits itu diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam
Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.
2. Hadits itu diriwayatkan oleh enam orang rawi, yaitu tujuan orang tersebut, kecuali Imam
Ahmad.
3. Hadits itu diriwayatkan oleh enam tujuh rawi, dikurangi Imam Bukhari dan Muslim.
4. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam empat, yaitu Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu
Majah.
5. Hadits itu diriwayatkan oleh empat Sunan, ditambah Ahmad.
6. Hadits itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi, yaitu Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Nasa’i
(Ashaabusnan kecuali Ibnu Majah).
7. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
8. Hadits itu diriwayatkan oleh ahli hadits yang jumlahnya banyak.
9. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
10. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Dawud.
232
Sunusi, Masa Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013, hlm. 58-60.
11. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
12. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam tersebut di atas, ditambah An-Nasa’i.
13. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Imam Nasa’i.
14. Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muislim dan Imam Ahmad, dan jika
hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim disebut : ‫ومسلم البخارى أخرجه‬

Di samping itu juga terdapat istilah-istilah yang lain di antaranya:

a. Jika rawi-rawi sanad hadits terdapat dalam hadits Bukhari dan Imam Muslim itu dapat
dalam sanad hadits ahli lain.
b. Jika rawi-rawi sanad hadits Bukhari itu terdapat dalam hadits ahli lain.
c. Jika rawi-rawi sanad hadits Muslim itu terdapat dalam hadits ahli lain.
d. Jika terdapat beberapa hadits atau riwayat sah yang dhahirnya kelihatan bertentangan,
lalu mencari keterangan yang paling kuat.
e. Mengkompromikan dua hadits yang kelihatan bertentangan.
f. Dua hadits yang satu dengan yang lain bertentangan.
g. Hadits yang dimansukh/dihapus.233

BAB XIX

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara Etimologis kata “ilmu hadits” merupakan kata serapan dari bahasa arab, “Ilmu al-hadits”
yang terdiri atas dua kata, yaitu ”ilmu” dan “hadits”. Jika mengacu kepada pengertian hadits, berarti ilmu
pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik
berupaperkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya.
233
Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm.
123.
Apabila dilihat kepada garis besarnya, terbagi dalam dua bagian. Pertama , Ilmu Hadits Riwayat
(riwayah) kedua, Imu Hadits Dirayat ( dirayah).

Cabang-cabang Ilmu Hadits meliputi, Ilmu hadits Riwayah, . Ilmu Jarh Wa Ta’dil, ’Ilmu ‘Ilal Al-
Hadits, ‘Ilmu Ghorib Al-Hadits, Ilm Mukhtalif Al-Hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh, ‘Ilmu Fann Al-
Mubhamat, ‘Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits, Ilmu tashif wa Tahrif, Imu Mushalah Al-Hadits, Imu Tarikh
al-Ruwah.

B. Saran

Tiada gading yang tak retak n tiada sungai yang tak bermuara, tidak ada di dunia ini yang sempurna
kecuali Allah Swt. Karena itu, jika ada kekurangan dan kesalahan yang penyusun lakukan, kiranya
dengan segala kekurang dan kerendahan hati , penyusun memohon maaf, Kritik dan saran sangat
penyusun harapkan untuk mencapai kesempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu zahw, Muhammad. al-Hadits wa al-Muhadditsun: Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-
Nabawiyyah. Kairo: Mathba’ah Mishr Syurakah Sahimah Mishriyyah, Tanpa tahun.

Abdul Rauf, “Hadîth Literature: The Development of the Science of Hadîth”, dalam Arabic Literature to
the End of the Umayyad Period, A.F.L Beeston and Others (eds.). Cambridge: Cambridge University
Press, 1983.

Abd al-Qâdir ‘Ali Hasan. Nazhrah ‘Âmmah fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî. Kairo: ‘Ulûm Press, 1942.

Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980


Abdurrahman, Muhammad. Sumarna, elan. 2011. Metode Kritik Hadits. Remaja Rosdakarya : Bandung

Abdul Majid Khan.2013.Ulumul Hadis.Jakarta:Amzah

Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999

Asshidiqiey, M. Hasbi ,2015. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta : Bulan Bintang,

Asqalânî, Ahmad b. ‘Alî b. Hajar. Fath al-Bârî b Syarh Shahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Fikr, Tanpa
tahun.

Azami, M.M.. Studies in Early Hadith Literature. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1968.

Asqolani, Ibnu Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, juz. 1. Beirut: Daar Shadir, 1325.

Abi Dawud,Al-Azdiy, SunanAbiDawud, Juz 4.

Ahmad,Muhammad &Mudzakir,M., 2000, UlumulHadits, Bandung: PustakaSetia.

Al-HaqqAbadiy,Abi al-Thayyib Muhammad Syam, 1998,‘Awn al-Ma’budSyarhSunanAbiDawud, Beirut:


Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Khatib,Muhammad Ajaj, 1975, As-SunnahQabla At-Tadwin, Kairo:MaktabahWahba.

Al-MunawwirAhmad Warson, 1984, Al-Munawwir, Yogyakarta: PonpesKrapyak.

Al-Siba’I,Mustafa, 1966, al-SunnahwaMakanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Dar: al-Qawmiyah.

Ash-Siddieqy,1997, Hasbi, SejarahdanPengantarIlmuHadits, Semarang: PustakaRizki Putra.

As-Suyuthi, 1988, TadribAr-Rawi fi SyarhTaqrib An-Nawawi, Beirut: Dar Al-Fikr.

Al-Khatib, Ajjaj. 1981, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Mushthalahuh. Beriut: Dar Al-Fikr

Al-Siba’i, Mustafa. 1985. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al_tasyri’ al-Islami. Beirut : al-Maktab al-Islami.

Ali Fayyad, Mahmud. Manhaj Al-Muhadditsiin Fii Dhabth As-Sunnah. Terj. A.Zarkasyi Chumaidy.
Banfung: Pustaka Setia,1998.

Abdur rahman, Asjmuni, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI, 1996.

Al-Malik, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Ichwan, Muhammad Nor, membahas ilmu-ilmu hadis, Semarang: Rasail Media Group,2013.

Al Albani, M Nashiruddin. Ringkasan Shahih Bukhari (Jakarta: Gema Insani, 2003).

Al Maliki, M Alawi. Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Al Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi hadit (Bandung: Pustaka Setia, 2007).


‘Ajaj, Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits , Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001

Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993

Azami, M. M., 2003, Studies in Hadis Methodology and Literature, Jakarta: Lentera.

Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from
the Formative Period. Surrey: Curzon Press, 2000.

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama RI 2008).

Diposkan oleh Muhammad Sadri Nur di 16.49

Goldziher, Ignaz. Muslim Studies, trans. C.M. Barber and S.M. Stern, vol. 2. London: George Allen and
UNWIN LTD, 1971.

Guillaume, A. The Tradition of Islam. Oxord: Oxford Universty Press, 1942.

Husaynî ‘Abd al-Majîd Hâsyim. Ushûl al-Hadîts al-Nabawî: ‘Ulûmuh wa Maqâyisuh. Beirut: Dâr al-
Syurûq, 1986.

Hasbi, Muhammad ashiddiqiey. 2009. Sejarah dan Pengantar ilmu hadits. Pustaka Rizki Putra: Semarang

Halibah, Ibrohim Abd Fattah, Al-Qoul Badi’ fi Takhrij Ahadis Syafi’i. Kairo: Dar Arabiyah
Muhammadiyah, t.th.

Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku, Muhammad, Sejarah & Pengatar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki
Putar, 2011.

Hassan, Qadir Ilmu Musthalah Hadits. Bandung: Diponegoro, 2007.

Hasbi ash-Shiddieqy, Fuad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.

Idris, Study Hadis. Jakarta: kencana Prenada Media, 2010.

Itr,Nuruddin, 1994, Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits,Bandung: RemajaRosdaKarya.

IbnuManzhur,Muhammad IbnuMukaram, 1992, Lisan Al-Arab,Juz II.

Idri, Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.

Ibn, Al Hafidz Katsir, Al Baits al-Hatsits fi Ikhtishari ilm al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, tt Ismail,
M.Syhudi, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988

‘Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadits Terj, Mujiyo, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Khoiri,Imam,dkk.2011.Ilmu Hadis kelas XI program keagamaan.Yogyakarta:Tim MGMP MA


Yogyakarta
Kholis,Nur.2013.Kuliah Ulumul Hadis.Yogyakarta:Multipresindo

Khon. Dr. H. Abdul Majid, M. Ag. Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah. 2008

Khaeruman, Badri. Ulum Al Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009).

Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2012.

Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj. Al-Sunnah Qabl al-Tadwîn. Kairo: Maktabah Wahbah, 1963.

Khûlî, Muhammad ‘Abd al-‘Azîz. Miftâh al-Sunnah aw Târîkh Funûn al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmyyah, Tanpa tahun.

Khon,Abdul Majid, 2011, Pekikiran Modern dalamSunnahPendekatanIlmuHadis, Jakarta:


KencanaPernada Media Group

Macdonald, D.B. Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory. London:
George Routledge & Sous, 1903.

Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung: Pustaka Setia, 2005

Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999

Muhammad Hamîdullâh. “Aqdam Ta`lîf fî al-Hadîts al-Nabawî: Shahîfah Hammam b. Munabbih wa


Makânatuhâ fî Târîkh ‘Ilm al-Hadîts”, dalam Majallah al-Majma’ al-‘lmî al-‘Arabî (1953), 28, vol. 1
(1953).

Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 1999).

Muhaimin dkk. Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2012).

M.Agus Solahudin&Agus Suyadi.Ulumul Hadits.Bandung:Pustaka Setia,2011.

Munzier Suparta. Ilmu Hadis. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001.

Mudasir,2015, Ilmu Hadist : Bandung. Pustaka Setia,

Musahadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah. Aneka Ilmu : Semarang

Muhammad Abduh Tuasikal, Apakah Hadits Mursal Bisa Dijadikan Hujjah? ,https://rumaysho.com/1088-
apakah-hadits-mursal-bisa-dijadikan-hujjah.htmlJun 18, 2010.

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Nawawî, Abû Zakariyyâ Yahyâ b. Syaraf. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, vol. I. Mesir: al-
Mathba’at al-Mishriyyah, 1924.

Nasution,Harun, 1984, Pembaruandalam Islam: Sejarah, PemikirandanGerakan, Jakarta: BulanBintang.

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1998.


Nor Ichwan, Muhammad. 2013. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Rasail Media Group : Semarang

Qasthalânî. Irsyâd al-Sârî li Syarh al-Bukhârî, vol. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002

Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985

Qhair, Muhammad Abd Muhdi Abd, Turuq Takhrij Hadis Rasulullah SAW. Kairo: Darul I’tisom, t..th.

Ridwan Nasir, Ulumul Hadis dan Muslhalah Hadits, Jombang: Darul Hikmah, 2008.

Rahman, Drs. Fatchur. Ikhtishar. Yogyakarta: PT Alma’arif Bandung. 1970

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005.

Rahman,Fachtur, 1991, IkhtisarMutshalahHadis,Bandung: Alma’arif.

Ranuwijaya,Utang, 1996, IlmuHadits,Jakarta: Gaya media Pratama.

Rahman Fazlur, et. Al. Wacana Studi Hadits Konteporer, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997

Shalih, Subhi, Ulum al-hadis Wa Musthalahuh. (tt.tt.tt)

Soetari, Endang, Ilmu Hadist, Bandung: Amal Bakti Press, 1997

Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006

Saleh,Subhi, 1998, Ulum al-HadiswaMustalahuh, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin.

Shihab,Quraish, 1996, Membumikan al-Qur’an: FungsidanPeranWahyudalamKehidupanMasyarakat,


Bandung: Mizan.

Sholahudin,M. Agus&Suyadi,Agus, 2009, UlumulHadits, Bandung: PustakaSetia.

Soetari,Endang, 2005, IlmuHadits: KajianRiwayahdanDirayah,Bandung: MimbarPustaka.

Sunusi, 2013, MasaDepanHaditsdanIlmuHadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2.

Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sahrani, Sohari. 2011. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia

Solahudin, Agus dan Suyudi, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Smeer, Zeid. Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (UIN Malang Press, 2008).

Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. Bogor: Galia Indonesia, 2010.


Soebahar, Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulihan Hadits Nabi. Fak.Tarbiyah IAIN Walisongo :
Semarang

Sholahuddin, Agus. Suyadi, Agus. 2008. Ulumul hadits. Pustaka Setia : Bandung

Studies in Hadith Methodology and Literature. Indianapolis: Islamic teaching Center, 1977.

Soetari, Endang.2005.Ilmu Hadits.Mimbar Pustaka : Bandung

Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Raja Grafindo : Jakarta

Solahudin, M.Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Saifuddin, Tadwin Hadis, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)

Shiddiqiey,TM.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist.Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001

Solahuddin, Drs. M. agus .M.Ag. Agus suyadi, Lc., M.Ag. 2008. Ulumul Hadis. Cet. Ke-1 . Bandung. Cv.
Pustaka Setia

Shâlih, Shubhî. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1988.

Syirazi, Abu Ishaq, Tabaqat al-Fuqaha’. Baghdad: Maktabah Nu’man al-A’zhami, 1352.

Syuhudi, Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Tahhan, Mahmud, Usul At-Takhrij Wadirasatul Asrid. Kairo: Maktabah al-Ma’arif lin nasr wat tauzi
riadh, t.th.

TahhanMahmud, 1979, TaysirMustalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Qalam al-Karim.

Thahhân, Mahmûd. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. Beirût: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1985.

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadits, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2011.

Umar Hasyim, Ahmad, Qawaid Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-‘Arabi, 1984.

Ulumul Hadis,Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya,2001.http://en.wikipedia.org/wiki/Abd_al-


Aziz_ibn_Marwan.

Ushul al-Takhrîj wa Dirasat al-Asanid. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1991.

Wahid Ismail Abd dan Taufiq Ahmad Salim, Nazarat Fi Ilmi Takhrij. Beirut: t.p., 1988.

Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005.

Wensick, A.J, al-Mu’jam al-Mufahras. Leiden: Breil, 1962.

Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits. Jakarta: Mutiara Sumber Widiya, 2001.


Yuslem Nawir,2015. Ulumul Hadist : Jakarta.PT. Mutiara Sumber Widya,

Yuslem Nawir .2015.Ulumul Hadis, Bandung:CV. PustakaSetia.

Zainuddin dkk, Study Hadits. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2013.

Zunin,Muhammad,dkk.2015.Buku Siswa Hadis-Ilmu Hadis.Jakarta:Direktora pendidikan madrasah

Zarkasih. 2012. Pengantar Studi Hadits. Yogyakarta : Aswaja Pressindo

Zainimal, Ulumul Hadist, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Ramli Bin T. M. Saleh, lahir di Aceh Besar pada tanggal 05


Desember 1960, Ayah bernama T. M. Saleh Bin T.Ismail (Alm)
dan Ibu bernama Cut Safiah Binti T. M. Daud (Alm) kami delapan
bersaudara saya yang paling bungsu, Saya menikah dengan
Nurhayati Binti T. Mahmud pada tanggal 18 Agustus 1987
Dikaruninya Lima Orang Anak, Empat Cewek dan Satu Cowok.
Pendidikan yang sudah pernah dilalui , Sekolah Dasar Negeri
Tamat 1979, melanjutkan ke KPAN Tamat 1982 dan melanjutkan
ke KPAAN Tamat 1987, kemudian melanjutkan ke Perguruan
Tinggi yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Tgk. Chik Pante Kulu
Darussalam Tamat 1996 dan melanjutkan pada Pasca Sarjana
Universitas Syiah Kuala pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Tamat 2010.

Pada Tahun 1980 menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ditugakan pada SMP Negeri
Lambaro Angan Aceh Besar berdasarkan SK. Mendikbud No. 6170/C/1980 Tanggal 19
September 1980 dengan Pangkat Juru Muda Golongan I/a, pada Tahun 1989 mendapat
penyesuaian Ijazah KPAAN berdasarkan SK. Kakanwil Depdikbud Propinsi Aceh No.
414/I07.2b/C.4/1989 Tanggal 4 April 1989 dengan Pangkat Pengatur Muda Golongan II/a. Pada
Tahun 1993 berdasarkan Keputusan BAKN.No.13-01/01336/KEP/X/1993 Tanggal 25 Oktober
1993 dengan pangkat Pengatur Muda TK.I.Golongan II/b.bertugas pada SMP Negeri Lambaro
Angan. Pada Tahun 1999 Pindah Tugas ke Istitut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh berdasarkan SK. Menag No.B.II/II/8849/1999. Tanggal 8 September
1999 dengan pangkat Pengatur Muda TK.I. Golongan II/b ditugaskan sebagai Staf pada
Subbag. Umum Biro AUAK IAIN Ar-Raniry, pada Tahun 2001 Penyesuaian Ijazah S1
berdasarkan SK. Rektor IAIN Ar-Raniry No.IN/3/R/KP/003/1321/2001 Tanggal 28 Juli 2001
dengan Pangkat Penata Muda Golongan III/a ditusgaskan sebagai Staf pada Subbag. Umum
Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry.

Pada Tahun 2005 berdasarkan SK. Rektor IAIN Ar-Raniry No. IN/3/R/KP.07.1/441/2005
Tanggal 24 Juni 2005, dengan Pangkat Penata Muda TK.I. Golongan III/b ditugaskan sebagai
Staf pada Bagian Perencanaan Biro AUAK IAIN Ar-Raniry, Tahun 2005 berdasarkan SK.
Rektor IAIN Ar-Raniry No. IN/3/KP.07.1/782/2005 Tanggal 27 Oktober 2005 ditugaskan
sebagai Wakil Sekretaris Korpri Unit IAIN Ar-Raniry, Tahun 2009 berdasarkan SK. Rektor
IAIN Ar-Raniry No.IN/01/R/KP.07.1/350/2009. Tanggal 13 Maret 2009 dengan Pangkat Penata
Golongan III/c ditugaskan sebagai Staf pada Subbag. Mutasi Pegawai Biro AUAK IAIN Ar-
Raniry, Tahun 2010 Nota Tugas Rektor No.IN/1/R/KP.07.1/1693/2010 Tanggal 30 April 2010
ditugaskan sebagai Staf pada Subbag. Perlengkapan Biro AUAK IAIN Ar-Raniry, Tahun 2011
Nota Dinas Rektor IAIN Ar-Raniry No I01/R/KP.07.1/345/2011 Tanggal 23 Maret 2011
ditugaskan sebagai Staf pada Subbag TU P2M IAIN Ar-Raniry, Tahun 2013 berdasarkan SK.
Kementrian Agama RI No. B.II/3/02519 Tanggal 5 April 2013 dengan Pangkat Penata
TK.I.Golongan III/d ditugas sebagai Staf pada P2M IAIN Ar-Raniry, Tahun 2013 berdasarkan
SK. Rektor IAIN Ar-Raniry No.IN/1/R/ KP.07/479/2013 Tanggal 2 Juli 2013 diangkat menjadi
Dosen IAIN Ar-Raniry DPK pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nusantara Banda Aceh
dengan Pangkat Penata TK.I.III/d / Lektor, Tahun 2013 berdasarkan SK. Yayan Pendidikan dan
Pembangunan Nusantara (YPPN) Banda Aceh No.006/2013 Tanggal 5 Oktober 2013 diangkat
menjadi Pembantu Ketua I Bidang Akademik Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nusantara
Banda Aceh. Tahun 2014 berdasarkan SK. Yayasan Pendididkan dan Pembangunan Nusantara
( YPPN ) Banda Aceh Nomor : 023/2014 Tanggal 10 Januari 2014 diangkat menjadi Ketua
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nusantara Banda Aceh sampai dngan Tanggal 22 Februari
2016. Tahun 2016 berdasarkan SK.Yayasan Pembangunan Nusantara ( YPPN) Banda Aceh
Nomor: 032.06/2016. Tanggal 9 Maret 2016, diangkat menjadi Pembantu Ketua I Bidang
Akademik pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nusantara Banda Aceh sampai Tanggal 18
Januari 2018. Pada Tahun 2017 berdasarkan SK Rektor UIN Ar-Raniry No.
1060/Un/R/Kp.07.5/09/2017, tanggal 20 September 2017 dipindahkan dari Dosen DPK STIA
Nusantara Banda Aceh Ke Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Prodi PAI UIN Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh.

Anda mungkin juga menyukai