Anda di halaman 1dari 8

PERTEMUAN KE-14

PEMBAGIAN LAFAZ
DARI SEGI TERANG DAN SAMARNYA MAKNA

A. Zhahirud Dalalah

Yang dimaksud Zhahirud dalalah ialah suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang
dikehendaki oleh shigat (bentuk) lafadz itu sendiri. Artinya untuk memahami makna dari lafadz
tersebut tidak tergantung kepada suatu hal dari luar.

Zhahirud dalalah itu ada 4 tingkat:

1. Dzahir
Yang dimaksud dengan dzahir ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang
dikehendaki oleh lafadz shigat itu sendiri, tetapi bUkanlah makna itU yang dimaksud oleh Siyaqul
kalam dan lafadz itu sendiri masih dapat dita'wilkan, ditafsirkan dan dapat pula dinasakhkan
pada masa Rasulullah saw. Misalny4 firman Allah swt dalam surah al-Hasyar ayatT:

g : ;Lr ) \-#b e €e G');)ij5'J-')t3O rt


Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarang bagimu
makn tinggalkanlah. (al-Hasyr : 7)
adalah lafadz dzahir. Sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat dipahamkan dari
lafadz "fakhudzuhu" ialah kewajiban mentaati perintah Rasulullah saw dan da.i lafadz
"fantahu" ialah keharusan meninggalkan larangannya. Akan tetapi, kalau kita memperhatikan
siyaqul kalam dan mengaitkan hubunganny'a dengan ayat yang sebelumnya, tahulah kita
bahwa itu menerangkan bagian harta rumpasan perang yang telah diberikan oleh Rasulullah
kepada para pejuang agar diterimanya, sedang yang tidak dibagikan kepada mereka agar
ditinggalkanya.

2. Nash
lafadz nash ialah lafadz yang menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki baik oleh
lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam dan ia masih dapat dita'wilkan, ditafsirkan dan
dinasakh di masa Rasulullah saw misalnya firman Tuhan :
( 12 : er---Jl ; a3 "si A d; *',r ,- a
sesuai dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau se.sudah dibayar hutangnya....... (an-
Nisa: 12)
Lafadz "washiyatin" dan "dainin" dalam ayat tersebut adalah lafadz nash. Sebab makna
yang dikehendaki oleh shigat lafadz dan oleh siyaqul kalam adalah sama benar. Yaitu keharusan
mendahulukan wasiat dan pembayaran hutang daripada membagikan harta pusaka kepada para
ahli waris.
Dan firmanNyalagi:
1 3 : rt-;J\l LY):LGt &,frt'u E ,+\b v rrL*u
makn kcwinilah wanita-wanita yang ko*u ,unongi dua, tiga atau empat....(an-Nisa : 3)
Makna yang dikehendaki baik oleh lafadz itu sendiri maupun oleh siyaqul kalam secara
asli ialah perihal batasan seorang laki-laki dalam mengawini wanita hanya sampai empat orang
saja.
3. Mufassar
Mufassar ialahlafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh shigat
lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, tetapi ia tidak dapat dita'wilkan dan ditafsirkan selain oleh
syar'i sendiri dan dapat menerima nasakh pada zaman Rasulullah saw. Misalnya seperti firman
Tuhan
?,?. ,
1+ : ,-,.J\ ) ;iI; G,\;,1 oijrliU s

... maka deralah merekn delapan puluh kali (an-Nur : 4)

Lafadz "tsamanina" (delapan puluh) adalah lafadz mufassar. Karena arti yang dikehendaki
oleh shigat itu sendiri memang demikian dan itu pula yang dimaksud oleh siyaqul kalam'
Dengan demikian pengertian angka delapan puluh itu tidak dapat dirubah dengan mengurangi
atau menambah jumlahnya.
Demikian jugalafadz "kaffah" dalam firman Tuhan :

( 36 : !,,-.Jl ) irf ,g;e\ \ ;r.G':


..... dan pergilah orang-orang musyrik seluruhnya...... (at-Taubah : 36)
Adalah lafadz mufassar. Karena disamping maknanya, seluruhnya dikehendaki oleh shighat
lafadz itu sendiri dan siyaqul kalam, juga ia tidak dapat dita'wilkafl atau ditafsirkan kepada arti
yang lain dari itu.
Penunjukkan makna lafadz mufassar adakalanya sudah terperinci sebagaimana
dikehendaki oleh lafadz itu sendiri, hingga tidak perlu diartikan kepada makna yang lain yang
tidak ditunjuk oleh shigatnya, seperti lafadz mufassar dalam contoh-contoh di atas akan tetapi,
adakalanya penunjukannya itu secara mujmal, tidak diperinci atau dijelaskan, kemudian syar'i
memberi penjelasan atau penafsiran secara qath'i, sehingga hilanglah kemujmalannya dengan
tidak perlu dita'wilkan lagi. Misalnya firman Tuhan :
(77 : rL-Jl ; ;rS'lt trf,'titt:jt tta,\
Dirikanlah sembaltyang dan bayarkanlah zaknt. (an-Nisa : 77)

Dan firmanNya lagi :

Mengerjakan haji adalah kewajibart manusia terhadap Allah. (Ali Imran : 97)

Lafadz-lafadz shalat, zakat dan haji semuanya mujmal. Setiap lafadz mempunyai makna
syar'iyah yang belum diperinci oleh shigat ayat itu sendiri. Kemudian Rasulullah saw
menjelaskan secara terperinci makna yang dikehendaki oleh lafadz tersebut melalui perbuatan
dan ucapan beliau.
Pengertian dan caru'cara shalat dijelaskan oleh beliau dengan memperagakannya di
hadapan para sahabat dan selanjut-nya mereka diperintah untuk melakukannya persis seperti
yang telah beliau lakukannya. Katanya : g,,
otta?/,//.o1,
( r.S-,t Jt ol;; ) J-o\
,/,o
jfr-l , t^s \-/^,
sembahyanglah kamu sekalian seperti kamu melihat aku bersembahyang. (Hr Bukhari)

Demikianlah juga lafadz "hijjul baiti" (pergi haji ke Baitullah) dalam surat Ali 'Imran
tersebut di atas adalah lafadz mujmal. Karena peetunjuk cara-cara melakukan haji tidak dapat
diperoleh semata-mata dari memahami lafadz itu sendiri. Karena itu diperlukan suatu penjelasan
secara terperinci. Kemudian setelah Rasulullah mempraktekannya dan terus memerintahkan
kepada para sahabat untuk meniru apa yang telah beliau kerjakan dalam sabdanya :

( d*. or-:-, ) "SJ,C rV f ,i;

makahilang,,no,::'^':;':::';":":':::::;(HrMusrim)
Setiap lafadz mujmal di dalam al-Qur'an yang telah dijelaskan secara terperinci
(ditafshil) oleh Rasulullah saw menjadilah ialafadz mufassar. Penjelasan yang bersifat qath'i ini
dalam istilah Ushul Fiqhi disebut dengan "tafsir isyari" yang sama aftinya dengan penafsiran
otentik dalam istilah perundang-undangan. Dikatakan tafsir isyari karena penafsiran itu
datangnya dari pencipta syari'at (syar'i) sendiri, yang dalam ini ialah Rasulullah saw.

4. Muhkam
LafadzMuhkam ialahlafadz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki oleh
shigat lafadz itu dan siyaqul kalam, akan tetapi ia tidakdapat dita'wilkan, ditafsirkan dan
dinasakh pada saat Rasulullah saw masih hidup. Dengan demikian lafadz muhkam itu adalah
lafadzmufassar yang tidak dapat dinasakh. Ia seperti lafadz mufassar dari segi terangnya dalalah
(wadhihud dalalah) akan tetapi, dari segi dalalah maknanya adalah lebih kuat daripada dalalah
makna lafadz mufassar.
Lafadz muhkam tidak dapat dinasakh pada zaman Rasulullah saw dan apalagi sesudahnya.
lantaran ketentuan yang ditunjuk oleh lafadz muhkam itu adakalanya :
a. Mengenai hukum asasi yang sudah tidak dapat dirubah, seperti beriman kepada Allah,
rasu l-rasu lNya dan kitab-kitabNya.
b. Mengenai induk keutamaan yang tidak berbeda lantaran perbedaan suasana dan
keadaan. Misalnya berbuat bakti kepada kedua orang tua, berlaku adil dan bersifat jujur.
c. Mengenai hukum syar'i juz'i (hukum cabang) yang ditetapkan oleh Syar'i agar hukum
tersebut dilestarikan. Misalnya larangan untuk menerima persaksian orang yang menuduh zina
yang tidak sanggup mengemukakan 4 orang saksi, sebagaimana difirmankan Tuhan :

1 + : rr;Jt tll;i 1 r;W d \-# V:


... dan janganlah kamu terima kesaluian mereka buat selama-lamanya.... (an-Nur :4)

dan melakukan jihad, sebagaimana diutarakan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya :

( :1\: y\ ot1; ) irXill ',-*l'r\ Juj t( Jt lU' l) .!,1.' r",v ;G ita.'Jt


(->'
'

Jihad itu terus berjalan sejak Allah mengutus aku sampai dengan ummatku yang terakhir
membunuh daiial. (Hr Abu Dawud).

Larangan menerima persaksian penuduh zinatanpa saksi dan perintah berjihad termasuk
ketentuan .ubung (far'i) bukan ketentuan yang asasi. Biarpun demikian Syar'i sendiri telah
menetapkannya untuk dilestarikan. Sebagai dalil yang menunjuk kelestariannya ialah lafadz
"abadan" (selamanya) pada akhir surat an-Nur 4 dan kalimat "ila an yuqatila akhiru ummati ad-
Dajjala" pada akhir sabda Rasulullah tersebut di atas.

B. KHAF'IYUD DALALAH

1. Ta'rif
Yang dimaksud dengan khafilud dalalah ialahlafadz yang penunjukkannya kepada makna
yang dikehendaki bukan oleh shigat itu sendiri, akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu
dari luar. Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian
padalafadznya.
Kekaburan pengertian itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan
jalan ini disebut dengan lafadz
dtihad. Lafadz yang dapat dihilangkan kekaburannya dengan
khafy dan musykil. Sedang lafadz yang tidak dapat dihilangkan kekaburannya melainkand:ng1n
jalan mencari penafsirannya dari syar'i sendiri disebut lafadz mujmal. Dan apabila tidak ada
i alan lai n untuk men ghi langkan kekaburannya, disebu t lafadz mutasyab ih.

2. Tingkatan lafadz Kahfilud dalalah


Para ahli Ushul mengklasifikasi tingatan lafadz khafiyud dalalah kepada 4 macam.

a. Khafi

Lafadz khafi ialah lafadz yang penunjukannya kepada maknanya adalah jelas, akan tetapi
penerapan maknanya kepada sebagian satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan
ol"h tufud, itu sendiri. Misalnya keadaan sebagian satuannya mempunyai nama yang khas atau
mempunyai sifa yang berbeda dengan satuan yang lain sehingga menimbulkan keraguan untuk
dimasukkan kepada makna yang umum datiTafadz tersebut.
Sebagai contoh kekaburan makna sebagai satuannya yang disebabkan adanya nama khash
seperti lafadz "sariq" (pencuri) dalam firman Tuhan:

1 38 : ;xU.1 I \;i+:i \
;Ub itt;r, b;2r,
Pencuri taki-laki danperempuan potonglah tangan'keaorrryo...... (al-Maidah : 38)

Lafadz pencuri (sariq) menurut ayat tersebut diterapkan untuk mengambil harta milik
orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang wajar. Dalalah lafadz kepada
maknanya yang demikian itu adalah jelas. Akan tetapi dalam penerapan maknanya (yakni
pencuri) terhadap sebagian satuannya terdapat suatu kekaburan. Misalnya menerapkan makna
pencuri kepada "nasysyal" (pencopet), yakni rang yang mengambil milik orang lain tidak dengan
ia.u t".s"*bunyi (pemiliknya tidak dalam keadaan tidur). Lafadz nasysyal ini artinya berbeda
dengan arti mencuri karena adanya unsur yang berlainan yaitu keberanian.atau kenekadan. Oleh
karena lafadzini mempunyai unsur yang berlainan dengan mencuri, maka ia diberi nama khusus'
Demikian juga dengan lafadz "nubbasy", yakni orang yang membongkar lubang kubur untuk
mengambil kain kaffan atau barang yang ikut ditanam bersama orang yang meninggal, diberi
,u*u berbeda dengan mencuri lantaran kurang memenuhi unsur-unsur mencuri. Sebab
pembongkar kubur mengambil barang yang tiada dimiliki oleh seseorang dan barang itu sudah
iiduk di"intailagi oleh pemiliknya, serta tidak disimpan secara wajar sebagaimana menyimpan
harta milik.
Untuk menetapkan apakah kedua tindakan, mencopet (menggedor) dan membongkar
kubur itu dapat dimasukkan dalam kriteria mencuri, agar mereka dapat dilakukan hukuman
potong tangan sebagaimana yang berlaku dalam pencurian memerlukan pembahasan dan
peneliiian yang seksama. Para ulama telah sepakat bahwa mencopet (menggedor) itu dapat
dimaksudkan dalam pengertian mencuri, hingga ia harus dipotong tangar. Sebab mencopet
mempunyai unsur yang melebihi daripada mencuri, yaitu adanya kenekadan. Sedang bagi
pembongkar kubur untuk mengambil barang-barang si mayit, tidak dapat dimasukkan ke dalam
kriteria mencuri, karena unsur-unsur mencuri tidak lengkap. Oleh karena itu ia hanya dihukum
ta'zir (diasingkan).

b. Musykil
lalah lafadz yang shigatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki,
akan tetapi harus ada qarinah dari luaragar menjadi jelas apa yang dikehendakinya'
Perbedaan antara lafadz khafi dan musykil ialah bahwa pada lafadz khafi kekaburan
maknanya bukan disebabkan dari lafadz itu sendiri, akan tetapi disebabkan adanya keraguan
makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar. Adapun kekaburan makna pada lafadz
musykil berasal dailafadz itu sendiri, karena lafadiz itu diciptakan untuk beberapa makna.

Kemusykilan lafadz itu timbul disebabkan:

1) Karena lafadz itu musytarak. Yaitu lafadz yang diciptakan untuk beberapa afti, sedang
shigatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu. Oleh karena itu haruslah dicari qarinahnya
untuk menentukan makna manakah yang dimaksud. Misalnya lafadz "quru"' dalam firman
Tuhan :

( 228 : ;.d' ) ,i; ,A',4*;I,L ;;'; Lvil;r,


Wanita-wanita yang ditalai hendaktah munohrn diri (beriddah) tiga kali suci ....
(al-Baqarah :228)
Menurut bahasa lafadz "quru" itu diciptakan untuk dua arti, yaitu suci dan haid. Dengan
demikian timbulah kemusykilan untuk menetapkan apakah 'iddah wanita yang ditalak itu tiga
kali haid.
Ulama madzhab Hanafiyah menetapkan arti "quur" itu ialah haid, demikian juga imam
Ahmad. Karena sebagaimana diketahui bahwa syara' mengadakan syari'at iddah itu gunanya
adalah untuk mengetahui rahim isteri (tidak mengandung). Haidlah alat yang dapat menetapkan
apakah ia mengandung atau tidak. Disamping itu juga didapatkan hadis yang dapat menjelaskan
bahwa'iddah itu hendaknya dengan haid. Sabda Rasulullah saw :

( e*llt; rjl: 3;i o\11) ;)('4? GX') ;$; "Jlit 3W


Hak menjatuhkan talak kepada budakwanita itu adalah dua kali dan'iddahnya baginya
adslah dua kali haid. (Hr Abu Dawud dan at-Turmudzi)

Ulama Syaf iyah dan sebagian mujtahid mengartikan lafadz quru itu dengan suci, karena
dita'nitskannya (diberi tanda lafadz perempuan) kata bilangan (tsalasatu) T..ru.rjiST. bSlYu
sesuatu yang ditunjuk oleh kata bilangan (ma'dud) itu adalah mudzakkar (lafadz laki-laki). Yaitu
lafadz "thuh-run" (suci) bukan "haid" (lafadz mu'annats), jadi lafadz tsalasatu quru' itu artinya
tsalasatu athar" (tiga kali suci).

Z) Adanya dua lafadz yang saling berlawanan. Artinya kedua nash itu jelas dalalahnya,
tidak ad kesukaran sedikitpun. Akan tetapi kemusykilannya terletak dalam mentaufiqkan
(mengkompromiknanya) antirakedua nash yang saling berlawanan itu. Misalnya firman Tuhan :

79. eL-l\
Dengan firman Tuhan :

1 78 : eL--Jl ; kt Y ,l F"p
....... katakanlah, bahwa semuanya itu dari sisi Ailah...... (an-Nisa : 78)

Cara-cara untuk menghilangkan kemusykilan :

Caru-cwa untuk menghilangkan kemusykilan suatu lafadz ialah dengan cara berijtihad.
Oleh karena itu bila seorang mujtahid menemukan suatu lafadz nash yang musytarak, hendaklah
mencari qarinahnya untuk menghilangkan kemusykilannya, dalam hal ini menegaskan mana
diantara makna-makna itu yang dimaksud. Dan apabila ia menemukan dua buah nash yang
menurut lahimya berlawanan hendaklah mencari ta'wilnya, baik dari nash-nash yang lain.
qaidah-qaidah syari'at maupun dari hikmah tasyri'.

c. Mujmal
Mujmal ialahlafadz yang shigatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki
dan tidak pula didapati qarinah lafdziyah (tulisan) atauhaliyah (keadaan) yang menjelaskannya.
Jadi, setiap lafadz yang tidak dapat dipahamkan maksudnya dengan sendirinya, bila tidak
disertai qarinah yang dapat menyampaikan maksud tersebut dinamai mujmal.
Kekaburan makna lafadz mujmal lantaran lafadz sendiri, bukan dari luar disebabkan
adakalanya karena :
l) Lafadz itu musytarak yang sulit ditentukan artinya.
2) Makna lafadz-lafadz yang menurut makna lughawi (bahasa) itu dipindah oleh syar'i
kepada makna yang pantas untuk istilah syati'at. Misalnya lafadz shalat, zakat, shiyam
dan lain sebagainya adalah lafadz-lafadz yang dipindahkan oleh syar'i dari makna
menurut bahasa kepada makna yang khas dalam istilah syari'at.
3) Makna lafadz-lafadz yang menurut makna yang umum itu dipergunakan oleh syar'i
sendiri untuk suatu makna yang khusus. Misalnya firman al-Qariah dalam firman
Tuhan :
, o lo / , ) t t /o 4/o i /o t
.p-#\ _16, ,6i i'; , z4\ilr t1 3trii v'3 ,
,,*;\il\ G ,. ar\Ar
/\js
14-1 : a-crl*iJl I

Hari Qiyanrat. Apakah hari qiyamat itu? Tahukah kamu apakah hari qiyamat itu? Padc hari itu
manusia adalah seperti anai-anai yang berteburan' (al-Qari'ah 1-4)

Lafadz al-Qari'ah itu menurut bahasa berarti "pengetuk" tetapi oleh syar'i lafadz tersebut
diartikan dengan arti khusus yaitu hari qiyamat, sebagaimana ditafsirkan oleh Syar'i sendiri pada
rangkaian kalimat berikutnya.

d. Mutasyabih

Mutasyabih ialah lafadz yang shigatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang
dikehendaki dan tidak dapat didapati pula qarin-qarinah dari luar yang menjelaskannya. Oleh
karena syar'i sendiri memindang tidak perlu diketahui orang, maka tidak dijelaskannya.
Mutasyabih dengan artiyang demikian ini tidak didapati sedikitpun dalam nash-nash yang
berisiskan hukum-hukum. Oleh karena itu di dalam ayat-ayat atau hadits-hadits yang berisikan
hukum-hukum tidak terdapat lafadz mutasyabih yang tiada jalan lain untuk mengetahui
maksudnya. Akan tetapi, dalam nash-nash yang berisikan selain hukum-hukum didapati nash-
nash mutasyabih. Misalnya huruf hijaiyah yang dipergunakan sebagai pembukaau dalam
beberapa suratt al-Qur'an (mafatihus shuwar) seperti alif lam mim, ya dan sin dan lain
sebagainya. Dan ayat-ayat yang menurut lahirnya menetapkan bahwa Allah itu serupa dengan
makhluk, misalnya mempunyai tangan seperti firman Tuhan :
( 10 : C:4ll ) "ffii A'y ylt *
... tangan Allah di atas tangan mereka. (al-Fath : 10).

Mempunyai "mata" seperti termuat dalam surat Hud : 37 :

(37: :e ) \+ilqL:*itf0
Buatlah bahtera itu dengan pengawasan'do, prirniuk wahyu kami ...(Hud:37)

D an " mem butuh an te mpat", seba gai m an

\;g :r:Yy::: "?^:,:


^ _,
( 7 , i-t:r-*l ) c ;i ,*'r. it si vt
"r)i"o,
;\i \J')

.... dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia adalah bersama mereka dimanapun mereka berada.... (al-Mujadilah : 7).

Mengenai ayat mutasyabihat semacam itu para ulama ahli Kalam terbagi kepada dua
golongan.
1) Golongan salaf (terdahulu) mengi'tiqadkan bahwa Tuhan adalah suci dari sifat-sifat
yang tidak patut bagi-Nya. Oleh karena itu mereka menyerahkan bulat-bulat
pena'wilan ayat mutasyabihat kepada Allah.
2) bolongan khalaf (terkemudian) menakwilkan ayat-ayat tebut sesuai dengan pemakaian
bahasa. Setiap lafadz yang mustahil dapat dipergunakan mensifati Tuhan harus
dita'wilkan dan dialihkan dari makna lahirnya kepada makna yang lain, sekalipun
dengan menggunakan arti maiaznya.
atas dasar itulah lafadz"yadvn" dalam ayat tersebut di atas dita'wilkan dengan qudrah
(kekuasaan), lafadz 'a'lunina' dalam surat Hud : 37 harus dita'wilkan dengan bi
ii'ayatina (dengan pengawasan kami) dan lafadz'ma'ahum ainama kanu" dalam surat
al-Mujadilah : 7 harus dita'wilkan dengan arti bahwa ilmu Allah dan pengawasan
Nyalah yang bersama orang-orang yang berbisik itu.

PENDALAMAN MATERI

1. Zhahirud dalalah ialah ..........


Dan zhahirud dalalah itu terbagai kepada 4 tingkatan, yaitu ..........
2. FirmanAllah dalam surah al-Hasyar ayatT yangbrebunyi ...' adalah
lafazzhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera dapat difahamkan dari
Lafaz"fakhudzuhu" adalah kewajiban menaati perintah Rasul s.a.w. danlafaz "fantahu" ialah
keharusan meninggalkan larangannya.
3. Akan tetapi kalau kita memperhatikan siyaqul kalam (rangkaian ayat) di dalam ayatT surah
al-Hasyar tersebut yang berbunYi:

:,: 6Ls\ ,-tQ\ j"At ,Sl.'s Ji',!,'s * e'F, $f ;, l;, * frte\ei v


\#B e €A 6') )U'J r.')t Fr:\;,1j "& :V{t ,r isl OD.J U ) f*,-Jl
/t
. /,,r o z L ? t,
; J-9
doo '6-
'4lJl
:q\ i+"r ,iJ\ ol I,rfr\r
Apa saja hartarampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nyayang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-
orung miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu, Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
Ia berubah menjadi karena hal ini menyangkut hatta "fai"
(harta rampasan perang) yang diperoleh oleh kaum muslimin tanpa melalui peperangan yang
diberikan oleh Rasul kepada para pejuang agar diterimanya sedang yang tidak diberikan agar
ditringgalkannya.
4. Khafiyud dalalah adalah
Khafiyud dalalam ada empat tingkatan, yaitu ..........
5. Musykil adalah
Kem usyki la n lafaz disebabkan oleh:
a. Karena lafaz itu musytarak seperti lafaz "quru"' yang bisa berarti o'suci" atau "haid" yang
terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi

b. Karena adanya dlua ayat yang saling berlawanan. Kedua ayat itujelas dalalahnya, tidak
sulit difahami, tetapi jika dikompromikan akan menjadi musykil sebab kedua ayat itu
saling bertentangan-ruiu ,urnu lain. Contohnya, seperti yang terdapat dalam surah an-Nisa
ayat 79 yang berbunyi
bertentangan dengan surah an-Ni sa ay at 7 8 y ang berbunyi
Untuk menghilangkan kemusykilan tersebut diperlukan ijtihad.

Anda mungkin juga menyukai