Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PELAYANAN FARMASI KLINIK RUMAH SAKIT

Disusun Oleh :
Zahra Wulandari 1910070160001
Rahmat Khurniawan 1910070160004

Dosen Pengampu :
Tosi Rahmaddian, SKM, MARS.

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah manajemen
pelayanan farmasi rumah sakit dengan judul ”Pelayanan Farmasi Klinik Rumah
Sakit”
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada bapak
Tosi Rahmaddian, SKM, MARS sebagai dosen pengampu kami di mata kuliah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih.

Padang, April 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................
1.3 Tujuan..................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
2.1 Pendahuluan Pelayanan Farmasi Klinik...............................................................
2.2 Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik.....................................................
2.3 Asuhan Kefarmasian............................................................................................
2.4 Pengkajian Pelayanan Resep................................................................................
2.5 Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat.......................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian bertanggung jawab kepada pasien dalam sediaan farmasi.
Hal ini bertujuan mencapai hasil yang pasti dalam meningkatkan mutu kehidupan
pasien. Pelayanan kefarmasian memiliki pengaruh besar seperti data salah satu rumah
sakit daerah diperoleh 51% dari pendapatan perbekalan farmasi. Peningkatan mutu
pelayanan kefarmasian menjadi tuntutan masyarakat yang mengharuskan adanya
perluasan dari paradigma lama yang berorientasi produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) disebut filosofi
pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) (Republik Indonesia, 2009; Purwanto
dan Hidayat, 2015; Kemenkes, 2016).
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sumber daya (sumber daya
manusia, sarana-prasarana, sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan serta
administrasi) dan pelayanan farmasi klinik (penerimaan resep, peracikan obat,
penyerahan obat, informasi obat dan pencatatan atau penyimpanan resep) dalam
upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Pelayanan resep menjadi salah satu aspek
pelayanan kefarmasian klinik yang meliputi penerimaan resep, pengkajian
administratif resep, kesesuaian farmasetik, pertimbangan klinis, peracikan dan
pengemasan obat serta penyerahan obat kepada pasien. Proses pelayanan resep harus
memperhatikan kualitas pelayanan yang baik. Penentuan kualitas pelayanan dapat
dipengaruhi oleh waktu tunggu (Kemenkes, 2016; Laeliyah dkk, 2017).
Waktu tunggu adalah tenggang waktu pasien untuk mendapatkan pelayanan.
Waktu tunggu pelayanan resep dimulai dari penerimaan resep sampai dengan
penyerahan obat kepada pasien. Waktu tunggu berperan penting dalam peningkatan
mutu pelayanan dan kepuasan pasien dalam mendapatkan pelayanan sebagai
gambaran standar waktu tunggu pelayanan. Waktu tunggu pelayanan memiliki waktu
jeda dimana petugas terhenti atau belum melanjutkan pelayanan resep. Hal tersebut
dikarenakan pengerjaan resep sebelumnya atau kegiatan lain, proses compounding,
dan/atau total pasien yang banyak dibanding sumber daya kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pendahuluan Pelayanan Farmasi Klinik?
2. Bagaimana Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik?
3. Bagaimana Asuhan Kefarmasian?
4. Bagaimana Pengkajian Pelayanan Resep?
5. Bagaimana Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui manajemen risiko di pelayanan farmasi klinik.
2. Untuk mengetahui bagaimana asuhan kefarmasian.
3. Untuk mengetahui pengkajian pelayanan resep.
4. Untuk mengetahui pemantauan dan evaluasi penggunaan obat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendahuluan pelayanan farmasi klinik


Farmasi klinik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kefarmasian di rumah sakit yang berorientasi pada pelayanan pasien. Farmasi klinik
bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat.
Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit mengharuskan
adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug
oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented)
dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care).
Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang tidak
hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada pasien,
bekerjasama dan berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat dalam tim
pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Permenkes No.72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Farmasi
Rumah Sakit, pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan
pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi :
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
3. Rekonsiliasi Obat
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
5. Konseling
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
8. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)
2.2 Manajemen risiko pelayanan farmasi klinik
Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk terlibat secara
efektif dalam menghadapi uncertainty dengan risiko dan peluang yang berhubungan
dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai tambah. Menurut
COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8 komponen (tahap)
1. Internal environment (Lingkungan internal)
Komponen ini berkaitan dengan lingkungan dimana instansi Pemerintah
berada dan beroperasi. Cakupannya adalah risk-management philosophy
(kultur manajemen tentang risiko), integrity (integritas), risk-perspective
(perspektif terhadap risiko), risk-appetite (selera atau penerimaan terhadap
risiko), ethical values (nilai moral), struktur organisasi, dan pendelegasian
wewenang.
2. Objective setting (Penentuan tujuan)
Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi agar
dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengelola risiko. Objective dapat
diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective. Strategic
objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan pencapaian dan
peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan panjang, dan
merupakan implementasi dari visi dan misi instansi tersebut. Sementara itu,
activity objective dapat dipilah menjadi 3 kategori, yaitu (1) operations
objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance objectives. Risk
tolerance dapat diartikan sebagai variasi dalam pencapaian objectif yang
dapat diterima oleh manajemen.
3. Event identification (Identifikasi risiko)
Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang terjadi
di lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi
strategi atau pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian tersebut bisa
berdampak positif (opportunities), namun dapat pula sebaliknya atau negatif
(risks).
4. Risk assessment (Penilaian risiko)
Komponen ini menilai sejauhmana dampak dari events (kejadian atau
keadaan) dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya dampak
dapat diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat dianalisis dalam dua
perspektif, yaitu: likelihood (kecenderungan atau peluang) dan
impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko). Dengan demikian,
besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi merupakan perkalian antara
likelihood dan consequence. Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik,
yaitu: (1) qualitative techniques; dan (2) quantitative techniques. Qualitative
techniques menggunakan beberapa tools seperti self-assessment (low,
medium, high), questionnaires, dan internal audit reviews. Sementara itu,
quantitative techniques data berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti
probability based, non-probabilistic models (optimalkan hanya asumsi
consequence), dan benchmarking. Yang perlu dicermati adalah events
relationships atau hubungan antar kejadian/keadaan. Events yang terpisah
mungkin memiliki risiko kecil. Namun, bila digabungkan bisa menjadi
signifikan. Demikian pula, risiko yang mempengaruhi banyak business units
perlu dikelompokkan dalam common event categories, dan dinilai secara
aggregate.
5. Risk response (Sikap atas risiko)
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk response
dari organisasi dapat berupa:
1) avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau pelayanan yang
menyebabkan risiko;
2) reduction, yaitu mengambil langkah-langkah mengurangi likelihood atau
impact dari risiko;
3) sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama risiko atau
sebagian dari risiko dengan pihak lain;
4) acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko yang
kecil), dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan. Dalam memilih sikap
(response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh tiap
respon terhadap risk likelihood dan impact, respon yang optimal sehingga
bersinergi dengan pemenuhan risk appetite and tolerances, analis cost
versus benefits, dan kemungkinan peluang (opportunities) yang dapat
timbul dari setiap risk response.
6. Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian)
Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan (policies)
dan prosedur-prosedur untuk menjamin risk response terlaksana dengan
efektif. Aktifitas pengendalian memerlukan lingkungan pengendalian yang
meliputi: (1) integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan dan
praktik-praktik SDM; (4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya
kepemimpinan manajemen; (6) struktur organisasi; dan (7) wewenang dan
tanggung jawab. Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat
ditentukan jenis dan aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis
pengendalian, diantaranya adalah preventive, detective, corrective, dan
directive. Sementara aktifitas pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan
dan prosedur; (2) pengamanan kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang
dan pemisahan fungsi; dan (4) supervisi atasan. Aktifitas pengendalian
hendaknya terintegrasi dengan manajemen risiko sehingga pengalokasian
sumber daya yang dimiliki organisasi dapat menjadi optimal.
7. Information and communication (Informasi dan komunikasi)
Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan
kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan komunikasi
adalah kualitas informasi, arah komunikasi, dan alat komunikasi. Informasi
yang disajikan tergantung dari kualitas informasi yang ingin disampaikan, dan
kualitas informasi dapat dipilah menjadi: (1) appropriate; (2) timely; (3)
current; (4) accurate; dan (5) accessible. Arah komunikasi dapat bersifat
internal dan eksternal. Sedangkan alat komunikasi berupa diantaranya manual,
memo, buletin, dan pesan-pesan melalui media elektronis.
8. Monitoring Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (on
going) maupun terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing
tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya.
Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu (kasuistis).
Pada monitoring ini ditentukan scope tugas, frekuensi, proses evaluasi
metodologi, dokumentasi, dan action plan. Pada proses monitoring, perlu
dicermati adanya kendala seperti reporting deficiencies, yaitu pelaporan yang
tidak lengkap atau bahkan berlebihan (tidak relevan). Kendala ini timbul dari
berbagai faktor seperti sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang
disampaikan laporan, dan arahan bagi pelaporan.

2.3 Asuhan Kefarmasian


Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung
apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan
mencapai hasil yang ditetapkan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan
kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan tentang
penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi
obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan
terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (ASHP, 2008).
Menurut Bahfen (2006), dalam memberikan perlindungan terhadap pasien, pelayanan
kefarmasian berfungsi sebagai :
1. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya,
tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan
tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar
diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat, dan
menentukan metode penggunaan obat.
2. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat
3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan,
keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan.
4. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien.
5. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi
pasien penyakit kronis.
6. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat.
7. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat.
8. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan.
9. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan.

2.4 Pengkajian Pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
Kajian administratif meliputi:
1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan
3. tanggal penulisan Resep.

Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:


1. bentuk dan kekuatan sediaan;
2. stabilitas; dan
3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).

Pertimbangan klinis meliputi:


1. ketepatan indikasi dan dosis Obat;
2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
3. duplikasi dan/atau polifarmasi;
4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis
lain);
5. kontra indikasi; dan
6. interaksi.
Pelayanan resep adalah menjadi tanggung jawab pengelola apotek. penanggung
jawab apotek wajib melayani resep sesuai dengan tanggung dengan keahlian
profesinya dan dilandasi pada kepentingan masyarakat. Wajib memberi informasi
tentang penggunaan secara tepat, aman, rasional, kepada pasien atas permintaan
masyarakat (Anief, 2005).
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke
pasienyang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian
yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi
pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari
pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi,
monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan
terdokumentasi dengan baik. Farmasi harus memahami dan menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan.
Kesalahan terapi (medication error) sering terjadi di praktek umum maupun
rumah sakit. Kesalahan yang terjadi bisa karena peresepan yang salah, dan itu terjadi
karena kesalahan dalam proses pengambilan keputusan. Setiap langkah mulai
pengumpulan data pasien (anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang lainnya) berperan penting untuk pemilihan obat dan akhirnya penulisan
resep. Kesalahan pemilihan jenis obat,dosis, cara pemakaian, penulisan yang sulit
dibaca merupakan faktor yang bisa meningkatkan kesalahan terapi.

2.5 Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat


Pemantauan merupakan proses kegiatan untuk melakukan identifikasi masalah
dan pengukuran besarnya masalah, dan penilaian terhadap keberhasilan dalam
penggunaan obat rasional. Pemantauan merupakan metode yang digunakan untuk
keperluan pengawasan/ pengendalian serta bimbingan dan pembinaan. Melakukan
pemantauan penggunaan obat mempunyai dua komponen aktif, yaitu:
1. Pengawasan dan pengendalian terhadap mutu penggunaan obat, pencatatan, serta
pelaporannya.
2. Membina dan membimbing pelaksana pengobatan agar senantiasa meningkatkan
kemampuan dan keterampilan mereka dalam rangka pemakaian obat yang rasional,
serta membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi di lapangan.
Salah satu cara untuk melakukan evaluasi penerapan Penggunaan Obat
Rasional (POR) adalah dengan cara pemantauan dan evaluasi. Monitoring yang terus
menerus akan menghasilkan ketersediaan obat yang sesuai dengan kebutuhan
sehingga mencapai penggunaan obat yang rasional.
Pemantauan penggunaan obat dapat digunakan untuk melihat mutu pelayanan
kesehatan. Dengan pemantauan ini maka dapat dideteksi adanya kemungkinan
penggunaan obat yang berlebih (over prescribing), kurang under prescribing),
majemuk (multiple prescribing) maupun tidak tepat incorrect prescribing).
Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat secara teratur dapat mendukung
perencanaan obat sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai Penggunaan Obat
Rasional.
Pemantauan penggunaan obat dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.
1. Pemantauan Secara Langsung
Dilakukan dengan mengamati proses pengobatan mulai dari anamnesis,
pemeriksaan, peresepan, hingga penyerahan obat ke pasien. Pemantauan
dengan cara ini dapat dilakukan secara berkala pada waktu-waktu yang tidak
diberitahukan sebelumnya, sehingga diperoleh gambaran nyata mengenai
praktek pemakaian obat yang berlangsung pada saat itu.
Komponen Pemantauan Penggunaan Obat.
Pemantauan dilakukan terhadap:
a. Kecocokan antara gejala/tanda-tanda (symptoms/signs), diagnosis dan jenis
pengobatan yang diberikan.
b. Kesesuaian antara pengobatan yang diberikan dengan pedoman pengobatan
yang ada.
c. Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas (misalnya antibiotik untuk ISPA non
pneumonia).
d. Praktek polifarmasi untuk keadaan yang sebenarnya cukup hanya diberikan
satu atau 2 jenis obat.
e. Ketepatan indikasi.
f. Ketepatan jenis, jumlah, cara dan lama pemberian (didasarkan pada pedoman
pengobatan yang ada).
g. Kesesuaian obat dengan kondisi pasien (misalnya ditemukan pemberian
injeksi pada diare).
2. Pemantauan secara tidak langsung
Pemantauan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui:
Dari kartu status pasien:
Kecocokan dan ketepatan antara:
a. Gejala dan tanda yang ditemukan selama anamnesis dan pemeriksaan.
b. Diagnosis yang dibuat dalam kartu status penderita, serta.
c. Pengobatan (terapi) yang diberikan (termasuk jenis, jumlah, dan cara
pemberian obat).
Pemantauan dan evaluasi meliputi:
1. Pencatatan dan Pelaporan
Adapun cara pencatatan dan pelaporan yang baku adalah sebagai berikut.
Status pasien.
a. Kolom anamnesis/pemeriksaan:
Diisi keterangan yang bersifat patognomonik untuk kondisi yang dijumpai
(baik keluhan, gejala klinik, dan hasil pemeriksaan).
b. Kolom diagnosis:
Diisi dengan jelas diagnosisnya secara lengkap. Kalau ada 2 diagnosis,
tuliskan keduanya, misalnya bronkitis dengan diare.
c. Kolom terapi:
Diisi dengan obat yang diberikan. Kelengkapan dengan kesederhanaan ini
memungkinkan pemantauan terhadap kecocokan antara kolom anamnesis,
kolom diagnosis, dan kolom terapi.
2. Monitoring dan Evaluasi Indikator Peresepan
Empat indikator peresepan yang akan dinilai dalam pemantauan dan evaluasi
penggunaan obat yang rasional adalah:
a. Rata-rata jumlah obat per pasien.
b. Persentase penggunaan antibiotik.
c. Persentase penggunaan injeksi.
d. Persentase penggunaan obat generik.
3. Pengumpulan Data Peresepan
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit


mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada
produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien
(patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical
Care). Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang
tidak hanya berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas terapi obat. Berdasarkan Permenkes No.72 tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, pelayanan farmasi
klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien
dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient
safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
2. Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung
apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan
tujuan mencapai hasil yang ditetapkan untuk memperbaiki kualitas hidup
pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat,
pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan
terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien (ASHP, 2008).
Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya,
tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan
tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar
diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat, dan
menentukan metode penggunaan obat.
3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang
berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi
pengobatan.
Pemantauan merupakan proses kegiatan untuk melakukan identifikasi masalah
dan pengukuran besarnya masalah, dan penilaian terhadap keberhasilan dalam
penggunaan obat rasional. Membina dan membimbing pelaksana pengobatan
agar senantiasa meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka dalam
rangka pemakaian obat yang rasional, serta membantu memecahkan
permasalahan yang dihadapi di lapangan. Salah satu cara untuk melakukan
evaluasi penerapan Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah dengan cara
pemantauan dan evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai