Anda di halaman 1dari 21

RINGKASAN

TEORI TEORI MSDM (MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)

Dosen Pengampu : Dr.Yobert Kornelius,S.E.,M.Si,

Disusun Oleh :

Citra Lestari (C20422018)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS PSDKU UNTAD MOROWALI

UNIVERSITAS TADULAKO

2024
TEORI TEORI MSDM

1. Teori Motivasi Klasik


Dikemukakan oleh Frederik Winslow Taylor. Frederick
Winslow memandang bahwa memotivasi para karyawan
hanya dari sudut pemenuhan kebutuhan biologis saja.
Kebutuhan biologis tersebut dipenuhi melalui gaji atau upah
yang diberikan, baik uang ataupun barang, sebagai imbalan
dari prestasi yang telah diberikannya. (Hasibuan, 2018)
menyatakan bahwa : “Konsep dasar teori ini adalah orang
akan bekerja bilamana ia giat, bilamana ia mendapat imbalan
materi yang mempunyai kaitan dengan tugas-tugasnya,
manajer menentukan bagaimana tugas dikerjakan dengan
menggunakan sistem intensif untuk memotivasi para
pekerja, semakin banyak mereka berproduksi semakin besar
penghasilan mereka.” Sehingga dengan demikian karyawan
hanya dapat dimotivasi dengan memberikan imbalan materi
dan jika balas jasanya ditingkatkan maka dengan sendirinya
gairah bekerjanya meningkat. Dengan demikian teori ini
beranggapan bahwa jika gaji karyawan ditingkatkan maka
dengan sendirinya ia akan lebih bergairah bekerja.
Sumber : Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:93)
2. Maslow’s Need Hierarchy Theory (Teori Kebutuhan)
Teori ini dikemukakan oleh A.H.Maslow. Teori ini
dikemukakan oleh Abraham H. Maslow tahun 1943. Teori
ini juga merupakan kelanjutan dari Human Science Theory
Elton Mayo (1880-1949) yang menyatakan bahwa keperluan
dan kepuasaan seseorang yaitu keperluan biologi dan
psikologi yang berupa material dan nonmaterial. Dasar
Maslow’s Need Hierarchy Theory :
a. Manusia adalah makhluk sosial yang berkeinginan.
Ia selalu menginginkan lebih banyak. Keinginan ini
terus menerus, baru berhenti jika akhir hayatnya tiba.
b. Suatu keperluan yang telah dipuaskan tidak menjadi
alat motivasi bagi pelakunya, hanya kebutuhan yang
belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi.
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:93-95)
3. Herzberg’s Two Factor Theory (Teori Motivasi Dua
Faktor)
Dikemukakan oleh Frederick Herzberg. Menurut teori
ini motivasi yang ideal yang dapat merangsang usaha adalah
peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih memerlukan
keahlian dan peluang untuk mengembangkan kemampuan.
Ada 3 hal penting berdasarkan penelitian Herzberg yang
harus diperhatikan dalam motivasi bawahan yaitu:
a. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan
yang mendatang yang meliputi perasaan untuk
berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan dapat
menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya
pengakuan atas semuanya itu.
b. Hal-hal yang mengecewakan pekerja adalah
terutama faktor yang bersifat mudah saja pada
pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat,
sebutan jabatan, hak, gaji, dan lain- lain.
c. Karyawan kecewa, jika peluang untuk berprestasi
terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada
lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:95)
4. Mc. Clelland’s Need For Achievement Theory (Teori
Kebutuhan)
Teori ini dikemukakan oleh Mc. Lelland. Teori-teori
Prestasi menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda sesuai
dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Henry
Murray seorang ahli ilmu jiwa menyajikan daftar berikut
tentang kebutuhan-kebutuhan (manusia). Beliaulah orang
pertama yang menarik perhatian orang terhadap kebutuhan
untuk mencapai prestasi. Murray merumuskan kebutuhan
akan prestasi tersebut sebagai keinginan untuk :
“Melaksanakan tugas atau perkerjaan yang sulit. Menguasai,
memanipulasi atau mengorganisasi objek-objek fisikal.
Manusia atau ide-ide untuk melaksanakan hal-hal tersebut
secepat mungkin dan seindependent mungkin sesuai kondisi
yang berlaku. Mengatasi kendala- kendala, mencapai standar
tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri.
Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat
secara berhasil “ (Murray, 1938).
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:96)
5. Teori Existence, Relatedness and Growth (ERG)
Pada dasarnya Alderfer setuju dengan Maslow bahwa
kebutuhan manusia atau individu yang mendorong sesorang
untuk termotivasi dalam melakukan sesuatu bersifat
hierarkis atau memiliki tingkatan, namun Alderfer memiliki
perbedaan dengan Maslow. Perbedaannya adalah bahwa
Alderfer hanya membagi tingkatan kebutuhan manusia
menjadi kebutuhan Existence (kebutuhan mendasar manusia
untuk bertahan hidup), kebutuhan Relatedness (kebutuhan
untuk melakukan berinteraksi dengan sesama) dan
kebutuhan Growth (kebutuhan untuk menyalurkan
kreativitas dan bersikap pruduktif).
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:96)
6. Teori Motivasi Human Relations
Model Human Relation, diartikan sebagai model
hubungan manusiawi dengan penekanan pada kontak sosial
merupakan kebutuhan bagi manusia yang bekerja dalam
suatu organisasi. Model ini dicetuskan oleh Elton Mayo
sebagai akibat kejenuhan karyawan dalam melakukan
pekerjaan yang sama secara berulang. Elton Mayo
menekankan pada pentingnya pengakuan atau penghargaan
terhadap kebutuhan sosial pekerja.
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:96-97
7. Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu
dilahirkan dan bukan dibentuk” (Leaders are born and not
made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi
pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan
dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan
ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah
“memiliki potensi” termasuk “memiliki potensi atau bakat”
untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor
“dasar”. Dalam realitas, teori keturunan ini biasanya dapat
terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan raja-raja,
karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang
lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:108-109)

8. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang
menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan (Leaders
are made and not born). Penganut teori berkeyakinan bahwa
semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk
menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor
pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut
teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang
disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat
dididik, diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin. Intinya,
bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi
pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari
keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan
dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:109)

9. Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan
menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” telah
memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut
dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan
pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk
mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah
dimiliki. Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan
menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor
keturunan, bakat dan lungkungan yaitu faktor pendidikan,
latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan
bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.
Sumber: Nurul Qomariah dalam buku Manajemen Sumber
Daya Manusia (2020:109-110)

10. Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi


Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor
yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang
menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: (1) Bakat
kepemimpinan yang dimilikinya. (2) Pengalaman
pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah
diperolehnya, dan (3) Kegiatan sendiri untuk
mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut. Teori ini
disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu
yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika
memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya,
kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang
memungkinkan untuk menjadi pemimpin. Menurut (Tead,
2003) bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : (1)
Membentuk diri sendiri (self constituded leader, self
mademan, born leader) (2) Dipilih oleh golongan, artinya ia
menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena
kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap
organisasi. (3) Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi
pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak
atasannya.
11. Teori Keseimbangan Karir-Kehidupan (Work-Life Balance
Theory)
Pada teori ini menekankan pentingnya mencapai keseimbangan
antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kepuasan individu. Menurut model ini,
keseimbangan karir-kehidupan dapat dicapai melalui integrasi peran
kerja dan peran non-kerja, yang mencakup upaya individu dalam
mengatur waktu, energi, dan perhatian mereka secara efektif antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi. Pendekatan ini menyoroti
pentingnya fleksibilitas kerja, dukungan organisasi, dan kesadaran
individu terhadap prioritas hidup mereka.
Sumber: Jeffrey Greenhaus & Gary Powell's Model (2006).
12. Teori Keseimbangan Karir-Kehidupan (Work-Life Balance
Theory)
Pada teori ini menekankan pentingnya mencapai keseimbangan
antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kepuasan individu. Menurut model ini,
keseimbangan karir-kehidupan dapat dicapai melalui integrasi peran
kerja dan peran non-kerja, yang mencakup upaya individu dalam
mengatur waktu, energi, dan perhatian mereka secara efektif antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi. Pendekatan ini menyoroti
pentingnya fleksibilitas kerja, dukungan organisasi, dan kesadaran
individu terhadap prioritas hidup mereka.
Sumber: Jeffrey Greenhaus & Gary Powell's Model (2006).

13. Teori Komitmen Organisasi (Organizational Commitment


Theory)
Dalam teori ini menguraikan tiga komponen utama dari
komitmen individu terhadap organisasi:
a. Komitmen Afektif (Affective Commitment): Merujuk pada
perasaan positif individu terhadap organisasi, seperti rasa
keterikatan emosional dan identifikasi dengan nilai-nilai dan
tujuan organisasi
b. Komitmen Kontinu (Continuance Commitment): Berkaitan
dengan persepsi individu tentang biaya atau kerugian yang
akan mereka alami jika meninggalkan organisasi, seperti
investasi waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang telah
mereka curahkan.
c. omitmen Normatif (Normative Commitment): Melibatkan
perasaan individu tentang kewajiban moral atau etika untuk
tetap setia terhadap organisasi, terutama ketika mereka
merasa bahwa organisasi telah memberikan dukungan dan
kesempatan yang signifikan.
Sumber: Meyer dan Allen (1991) dalam buku berjudul Three-
Component Conceptualization of Organizational Commitment"

14. Teori Dukungan Sosial (Social Suport Theory)


Teori ini menyoroti pentingnya dukungan interpersonal
dalam mempengaruhi kesejahteraan dan kinerja individu di
lingkungan kerja. Model ini mengidentifikasi empat jenis
dukungan sosial:
a. Dukungan Emosional (Emotional Support): Berupa
dukungan afektif, perhatian, dan perasaan positif yang
diberikan oleh individu lain, seperti teman sekerja atau
atasan, untuk mengurangi stres dan meningkatkan
kesejahteraan psikologis.
b. Dukungan Instrumental (Instrumental Support):
Meliputi bantuan praktis, saran, atau bantuan materi
yang diberikan oleh individu lain untuk membantu
menyelesaikan tugas atau mengatasi masalah di tempat
kerja.
c. Dukungan Informasional (Informational Support):
Terkait dengan pengetahuan, informasi, atau saran yang
diberikan oleh individu lain untuk membantu individu
dalam memahami situasi atau mengatasi tantangan di
lingkungan kerja.
d. Dukungan Penilaian (Appraisal Support): Merujuk pada
umpan balik atau evaluasi positif yang diberikan oleh
individu lain, seperti atasan atau rekan kerja, untuk
membantu individu memperbaiki kinerja mereka dan
meningkatkan kepercayaan diri.
Sumber: Buku: "Social Support: Theory, Research, and
Intervention" oleh Irwin G. Sarason, Barbara R. Sarason,
dan Gregory R. Pierce (1990).

15. Teori Perilaku Kerja (Work Behavior Theory)


Dalam teori ini pentingnya memahami perilaku individu
di tempat kerja untuk meningkatkan kinerja dan
produktivitas organisasi. Model ini menguraikan beberapa
konsep kunci dalam perilaku kerja:
a. Motivasi (Motivation): Faktor-faktor internal dan
eksternal yang mendorong individu untuk bertindak
dan mencapai tujuan mereka di tempat kerja.
b. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction): Tingkat kepuasan
dan kepuasan individu terhadap pekerjaan mereka,
yang dapat mempengaruhi kinerja dan retensi
karyawan.
c. Komitmen Organisasi (Organizational
Commitment): Tingkat keterikatan individu terhadap
organisasi, yang mencerminkan loyalitas dan
dedikasi mereka terhadap mencapai tujuan
organisasi.
d. Stres Kerja (Job Stress): Tekanan fisik dan psikologis
yang dialami individu sebagai hasil dari tuntutan
pekerjaan yang tinggi atau ketidaksesuaian antara
kebutuhan individu dan lingkungan kerja.
e. Kepemimpinan (Leadership): Pengaruh individu atau
kelompok dalam mengarahkan, memotivasi, dan
mengarahkan perilaku anggota organisasi untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan.
f. Kepemimpinan Transaksional (Transactional
Leadership): Model kepemimpinan yang berfokus
pada pertukaran antara pemimpin dan pengikut, di
mana pengikut mengikuti arahan pemimpin untuk
imbalan atau penghargaan tertentu.
g. Kepemimpinan Transformasional (Transformational
Leadership): Model kepemimpinan yang
menciptakan perubahan dan inspirasi di antara
pengikut dengan mempengaruhi nilai-nilai,
keyakinan, dan visi organisasi.
16. Teori Manajemen Perubahan (Change Management
Theory)
Menurut kurg lewin manajemen perubahan adalah proses
yang terdiri dari tiga tahap: Melunakkan (Unfreezing),
Mengubah (Changing), dan Mempadatkan (Refreezing).
a. Melunakkan (Unfreezing): Tahap pertama adalah
mempersiapkan organisasi untuk perubahan dengan
mengganggu keadaan stabil atau status quo yang ada.
Ini melibatkan mengenali kebutuhan dan alasan di
balik perubahan, serta mengurangi resistensi
terhadap perubahan melalui komunikasi, pendidikan,
dan partisipasi karyawan.
b. Mengubah (Changing): Tahap kedua adalah
implementasi perubahan yang diinginkan. Ini
melibatkan pengembangan dan penerapan strategi,
kebijakan, dan prosedur baru, serta memberikan
dukungan dan sumber daya kepada karyawan untuk
beradaptasi dengan perubahan tersebut.
c. Mempadatkan (Refreezing): Tahap terakhir adalah
memperkuat dan mengkonsolidasikan perubahan
yang telah terjadi untuk mencegah kembali ke
keadaan awal. Ini melibatkan pembentukan
kebiasaan baru, memberikan umpan balik positif, dan
memperkuat budaya organisasi yang mendukung
perubahan.
17. Teori Penyusunan Gaji Kompensasi (Compensation
Theory)
Dikemukakan oleh Adams’Equity Theory yang
diajukan pada tahun 1963 , menyoroti pentingnya kesetaraan
atau keadilan dalam sistem gaji dan kompensasi organisasi.
Adams berargumen bahwa individu menilai keadilan
kompensasi mereka berdasarkan perbandingan antara
kontribusi mereka terhadap organisasi dan imbalan yang
mereka terima. Jika individu merasa bahwa perbandingan ini
tidak adil, mereka mungkin mengalami ketidakpuasan. Oleh
karena itu, untuk menciptakan lingkungan yang memotivasi,
penting untuk memastikan bahwa sistem kompensasi
mengakui dan menghargai kontribusi yang adil dari setiap
karyawan.
18. Teori Manajemen Bakat (Talent Management Theory)
Teori Manajemen Bakat, yang terinspirasi oleh
McKinsey's "War for Talent" pada tahun 1997, menekankan
pentingnya mengidentifikasi, mengembangkan, dan
mempertahankan individu berbakat dalam organisasi untuk
mencapai keunggulan kompetitif. Teori ini dapat di uraikan
sebagai berikut:
a. Identifikasi Bakat (Talent Identification): Proses
mengidentifikasi individu dengan potensi luar biasa
dan keterampilan khusus yang dapat membawa nilai
tambah bagi organisasi.
b. Pengembangan Bakat (Talent Development):
Memberikan pelatihan, pembinaan, dan
pengembangan yang diperlukan kepada individu
berbakat untuk membantu mereka mencapai potensi
maksimal mereka.
c. Pemantauan dan Retensi Bakat (Talent Monitoring
and Retention): Mengawasi kinerja dan
perkembangan individu berbakat serta menciptakan
lingkungan yang mendukung untuk mempertahankan
mereka di dalam organisasi.
d. Penggunaan Strategis Bakat (Strategic Utilization of
Talent): Menempatkan individu berbakat di posisi
dan proyek yang sesuai dengan keahlian dan minat
mereka, sehingga dapat memberikan kontribusi
maksimal terhadap tujuan organisasi.
19. Teori Pelatihan Dan Pengembangan (Training and
Development Theory)
Berikut ringkasan dari teori ini:
a. Tingkat Pertama: Reaksi (Reaction): Melibatkan
penilaian kepuasan dan reaksi peserta terhadap
program pelatihan. Ini mencakup evaluasi sejauh
mana peserta menyukai pelatihan, sejauh mana
materi pelatihan relevan, dan sebagainya.
b. Tingkat Kedua: Pembelajaran (Learning): Mengukur
seberapa banyak pengetahuan, keterampilan, atau
perilaku yang dipelajari peserta selama pelatihan. Ini
melibatkan penilaian sejauh mana peserta dapat
menguasai materi pelatihan dan menerapkan
keterampilan yang dipelajari.
c. Tingkat Ketiga: Perilaku (Behavior): Mengevaluasi
sejauh mana peserta menerapkan keterampilan atau
pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan dalam
situasi kerja nyata. Ini melibatkan pengamatan atau
penilaian langsung atas perubahan perilaku atau
kinerja peserta setelah pelatihan.
d. Tingkat Keempat: Hasil (Results): Mengukur
dampak langsung dari pelatihan terhadap tujuan
bisnis atau organisasi secara keseluruhan. Ini
melibatkan penilaian dampak pelatihan terhadap
produktivitas, kualitas, efisiensi, atau kepuasan
pelanggan.
20. Teori Retensi Karyawan (EmployeeRetention Theory)
Teori Retensi Karyawan, yang didasarkan pada Model
Talya Bauer & Berrin Erdogan yang diperkenalkan pada
tahun 2011, menyoroti faktor-faktor yang memengaruhi
keputusan karyawan untuk tetap tinggal atau meninggalkan
organisasi. Berikut adalah ringkasan dari teori ini:
a. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction): Tingkat kepuasan
dan kepuasan karyawan terhadap pekerjaan mereka
mempengaruhi keputusan mereka untuk bertahan di
organisasi. Faktor-faktor seperti keseimbangan
kerja-kehidupan, keadilan kompensasi, dan
lingkungan kerja yang mendukung dapat
memengaruhi tingkat kepuasan kerja.
b. Komitmen Organisasi (Organizational
Commitment): Tingkat keterikatan dan loyalitas
karyawan terhadap organisasi juga memainkan peran
penting dalam retensi. Komitmen organisasi dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti budaya
organisasi, peluang pengembangan karir, dan
hubungan interpersonal di tempat kerja.
c. Keterlibatan Karyawan (Employee Engagement):
Tingkat keterlibatan dan motivasi karyawan dalam
pekerjaan mereka dapat memengaruhi retensi.
Karyawan yang merasa terlibat cenderung lebih
termotivasi untuk tetap tinggal dan memberikan
kontribusi maksimal kepada organisasi.
d. Pengembangan dan Peningkatan Karir (Career
Development and Advancement): Peluang untuk
pengembangan karir dan kemajuan dalam organisasi
merupakan faktor penting dalam retensi karyawan.
Program pengembangan karyawan, pelatihan
lanjutan, dan kesempatan untuk promosi dapat
meningkatkan keterikatan karyawan terhadap
organisasi.
e. Keseimbangan Kerja-Kehidupan (Work-Life
Balance): Organisasi yang memperhatikan
keseimbangan kerja-kehidupan karyawan cenderung
memiliki tingkat retensi yang lebih tinggi. Fasilitas
seperti fleksibilitas waktu kerja, cuti yang adil, dan
dukungan untuk tanggung jawab keluarga dapat
membantu menjaga karyawan tetap tinggal.
21. Teori Pemilihan Karyawan (Employee Selection Theory)
Teori Pemilihan Karyawan, yang berdasarkan pada
Model Validity Generalization yang dikembangkan oleh
Schmidt & Hunter pada tahun 1970-an, menyoroti
pendekatan sistematis untuk memilih karyawan yang tepat
untuk posisi tertentu dalam organisasi. Berikut adalah
ringkasan dari teori ini:
a. Validitas Umum (Generalizability): Model ini
menekankan validitas umum dari alat-alat penilaian
dalam proses seleksi karyawan. Validitas umum
mengacu pada sejauh mana alat pengukuran (seperti
tes, wawancara, atau metode evaluasi lainnya) dapat
memprediksi kinerja kerja secara konsisten di
berbagai situasi dan konteks pekerjaan.
b. Pemilihan Metode Evaluasi yang Efektif (Effective
Assessment Methods): Teori ini mengidentifikasi
dan mengembangkan metode evaluasi yang paling
efektif dalam memprediksi kinerja kerja, seperti tes
kognitif, tes kepribadian, wawancara perilaku, dan
latihan simulasi.
c. Penekanan pada Objektivitas dan Konsistensi
(Objectivity and Consistency): Proses seleksi
karyawan harus objektif dan konsisten untuk
memastikan keadilan dan akurasi dalam
pengambilan keputusan. Hal ini dapat dicapai
melalui standar evaluasi yang jelas, pelatihan
evaluator, dan penggunaan alat-alat penilaian yang
terstandarisasi.
d. Penggunaan Data dan Bukti Empiris (Data-driven
and Empirical Evidence): Pendekatan seleksi
karyawan harus didasarkan pada data dan bukti
empiris yang mendukung efektivitas alat-alat
penilaian tertentu dalam memprediksi kinerja kerja.
Ini memungkinkan organisasi untuk membuat
keputusan seleksi yang lebih informasional dan
objektif.
22. Teori Kontrak Psikologis (Psychological Contract
Theory)
Teori Kontrak Psikologis, yang dikembangkan oleh
Rousseau pada tahun 1989, menyoroti hubungan psikologis
antara individu dan organisasi, yang mencakup harapan,
keyakinan, dan komitmen keduanya terhadap satu sama lain.
Berikut adalah ringkasan dari teori ini:
a. Harapan dan Komitmen: Teori ini menekankan
bahwa individu membawa harapan-harapan tertentu
terhadap organisasi, seperti kesempatan
pengembangan karir, pengakuan atas kontribusi, atau
keadilan dalam perlakuan. Di sisi lain, organisasi
juga memiliki harapan-harapan terhadap karyawan,
seperti kinerja yang tinggi, loyalitas, dan
keterlibatan.
b. Persepsi Keadilan: Kontrak psikologis dipengaruhi
oleh persepsi individu tentang keadilan dalam
hubungan mereka dengan organisasi. Jika individu
merasa bahwa organisasi tidak memenuhi janji atau
harapan yang dijanjikan, dapat terjadi pelanggaran
kontrak psikologis.
c. Keterlibatan dan Kinerja: Kontrak psikologis yang
positif dapat meningkatkan keterlibatan dan kinerja
karyawan. Ketika individu merasa bahwa organisasi
memenuhi janji dan harapan mereka, mereka
cenderung lebih terlibat dan termotivasi untuk
memberikan kontribusi yang maksimal.
d. Manajemen Kontrak Psikologis: Organisasi perlu
memahami, mengelola, dan memelihara kontrak
psikologis dengan karyawan mereka melalui
komunikasi terbuka, konsistensi dalam perilaku
organisasi, dan kesadaran terhadap kebutuhan
individu.
23. Teori Kepemimpinan Servant (Servant Leadership
Theory)
Teori Kepemimpinan Servant, yang dikembangkan
oleh Robert Greenleaf pada tahun 1970, menyoroti
pendekatan kepemimpinan yang berfokus pada
pelayanan kepada orang lain sebagai tujuan utama.
Berikut adalah ringkasan dari teori ini:
a. Pelayanan sebagai Prioritas Utama:
Kepemimpinan servant menempatkan pelayanan
kepada orang lain sebagai prioritas utama.
Seorang pemimpin servant berorientasi pada
kebutuhan dan kesejahteraan bawahan, berusaha
untuk membantu mereka berkembang dan
mencapai potensi mereka.
b. Empati dan Kesadaran: Seorang pemimpin
servant memahami dan peduli terhadap
kebutuhan, aspirasi, dan perasaan bawahannya.
Mereka berusaha untuk berempati dan
mengembangkan kesadaran yang mendalam
tentang kondisi dan kebutuhan orang lain.
c. Pembangunan dan Pemberdayaan:
Kepemimpinan servant bertujuan untuk
membangun dan memberdayakan bawahan,
bukan hanya untuk mencapai tujuan organisasi,
tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka secara keseluruhan. Mereka menciptakan
lingkungan yang mendukung pertumbuhan
pribadi dan profesional bawahan.
d. Kepercayaan dan Integritas: Seorang pemimpin
servant membangun hubungan yang didasarkan
pada kepercayaan dan integritas. Mereka
mengikuti prinsip-prinsip etika dan moral yang
tinggi dalam interaksi mereka dengan orang lain.
e. Pemusatan pada Hasil: Meskipun pelayanan
kepada orang lain menjadi prioritas, pemimpin
servant juga memiliki fokus yang kuat pada
mencapai hasil yang diinginkan. Mereka
menginspirasi dan membimbing bawahan
mereka untuk mencapai tujuan organisasi secara
efektif.
24. Teori Manajemen Kinerja (Performance Management
Theory)
Teori Manajemen Kinerja, yang didasarkan pada Model
Armstrong & Baron yang diperkenalkan pada tahun 1998,
menekankan pendekatan sistematis dalam mengelola kinerja
karyawan di dalam organisasi. Berikut adalah ringkasan teori
ini:
a. Penetapan Tujuan: Menetapkan tujuan yang jelas dan
terukur yang sesuai dengan tujuan organisasi serta
dapat diukur untuk setiap individu atau tim.
b. Pengukuran Kinerja: Mengumpulkan data dan
informasi relevan untuk menilai kinerja karyawan
berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan.
c. Umpan Balik: Memberikan umpan balik secara
teratur terkait kinerja karyawan, baik positif maupun
konstruktif, untuk membantu mereka memahami
kekuatan dan area pengembangan mereka.
d. Pengembangan Kinerja: Mengidentifikasi kebutuhan
pengembangan individu dan menyusun rencana
untuk meningkatkan kinerja mereka melalui
pelatihan, pembinaan, atau pengembangan
keterampilan.
e. Evaluasi Kinerja: Melakukan evaluasi formal
terhadap kinerja karyawan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan, seringkali dalam bentuk penilaian
tahunan atau siklus evaluasi lainnya.
f. Penghargaan dan Pengakuan: Memberikan
penghargaan dan pengakuan kepada karyawan yang
mencapai atau melebihi standar kinerja yang
ditetapkan untuk mendorong motivasi dan
pengakuan atas kontribusi mereka.
g. Manajemen Kinerja yang Berkelanjutan: Mendorong
budaya manajemen kinerja yang berkelanjutan
dengan melakukan evaluasi dan pembaruan terus-
menerus terhadap proses manajemen kinerja.
25. Teori Pengelolaan Stress (Stress Management Theory)
26. Teori Kinerja Pegawai
27. Jxjjxnxxn
28. Huu
29. Hjj

Sumber

Anda mungkin juga menyukai