Anda di halaman 1dari 43

HUBUNGAN PENERAPAN ERGONOMI DAN BEBAN KERJA DENGAN

MASALAH MUSKOLETHAL PERAWAT DI INSTALASI RAWAT INAP

DI RSUD KARAWANG

2024

Oleh:
M fadillah alfikri
433131420120134

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
HORIZON UNIVERSITY KARAWANG
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rumah sakit merupakan salah satu institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan
yang berkembang dan telah mengalami perubahan. Pada awal perkembangannya, rumah
sakit merupakan badan atau organisasi yang berfungsi sosial, akan tetapi saat ini dengan
adanya perkembangan rumah sakit sehingga hal ini akan menjadikan rumah sakit saat ini
lebih dari pelayanan Kesehatan. rumah sakit sebagai pusat pelayanan medis merupakan
institusi vital dalam suatu masayrakat. Kehadiran rumah sakit merupakan tuntutan
harapan di kala seseorang tertimpa kemalangan berupa penyakit. Pada rumah sakit,
masyarakat berharap agar musibah yang menimpanya dapat diobati.
(Fitriani S & Trisnawati R, 2015)

Ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan
pekerjaan mereka. Aspek ergonomi yang berkaitan dengan tata ruang termasuk kedalam
ruang lingkup ergonomi lingkungan fisik, (Tandraen S T & Ningtyas R, 2023)Menurut IEA
( INTERNATIONAL ERGONOMIC ASSOSIATION 2010) mendefinisikan ergonomi
merupakan studi anatomis, fisiologi,dan psikologi dari aspek manusia dalam bekerja di
lingkungannya. Konteks ini, memiliki kaitan dan efesiensi,Kesehatan , dan kenyamanan
dari orang-orang dan di tempat kerja, di rumah ,dan sejumlah permainan.Hal itu, secara
umum membutuhkan studi dari system fakta kebtuhan manusia ,mesin-mesin dan
lingkungan dan fasilitas yang saling berhubungan dengan tujuan penyesuaian. (DR.Wowo
kuswana, M.Pd.2014).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Leite (2021) didapatkan bahwa ada
hubungan antara sikap kerja dengan keluhan musculoskeletal disorders pada perawat di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 2013 dengan hasil sebanyak 85
responden dengan sikap kerja tidak ergonomis terdapat 52 responden mengalami
gangguan musculoskeletal disorders berat (61,2%) dan gangguan musculoskeletal
disorders ringan terdapat 33 responden (38,8%) sedangkan dari 25 responden dengan
sikap kerja ergonomis terdapat 2 responden mengalami gangguan musculoskeletal
disorders berat (8,0%) dan 23 responden mengalami gangguan musculoskeletal disorders
(92,0%) (Indah Sari & Niswati Utami, 2023).

Berdasarkan hasil penelitian risiko ergonomi akibat gangguan musculoskeletal pada


perawat poli dari 30 pertanyaan yang ada di kuesioner peneliti mengambil pada enam
titik yang berisiko mengalami cidera dan dapat menggangu aktivitas perawat yaitu
tengkuk dengan skore 1(56%), 2 (37%) dan 3(7%), leher dengan skore 1 (67%), 2 (27%),
3 (8%), bahu kiri dan kanan dengan skore 1 (67%), 2 (30%) dan 3 (3%), punggung
dengan skore 1 (54%), 2 (10%), 3 (33%), 4 (3%) dan pinggang dengan skore ( 1 (47%), 2
(23%), 3 (27%), 4 (3%), serta pangggul dengan skore 1 (77%), 2 (13%), 3 (7%), 4 (3%),
yang artinya tidak sakit (tidak merasakan gangguan pada bagian tertentu) dengan skor 1,
agak sakit (merasakan sedikit gangguan atau rasa nyeri pada bagian tertentu) dengan skor
2, sakit (merasakan ketidaknyamanan pada bagian tubuh tertentu) dengan skor 3, dan
sangat sakit (merasakan ketidaknyamanan pada bagian tertentu dengan skala yang tinggi)
dengan skor 4. (Dewi, 2020)

Perawat rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga
kesehatan yang ada di rumah sakit (Badri, 2020). Tenaga keperawatan di rumah sakit merupakan
ujung tombak dari pelayanan kesehatan karena tenaga keperawatan yang mendampingi pasien
selama 24 jam serta memonitor pasien secara terus menerus dan berkesinambungan untuk
memberikan asuhan keperawatan yang profesional dan komprehensif (Susanto et al., 2023) .
Perawat bertanggung jawab untuk membantu klien mencapai kesehatan yang optimal melalui
pelayanan keperawatan (Sumangando 2017). Perawat sering melakukan gerakan seperti
membungkuk, mengangkat dan memindahkan pasien dengan posisi tubuh yang tidak ergonomis
saat melakukan tugas perawatan (Nabilah, 2019). Pekerjaan yang memiliki risiko tinggi sakit
punggung adalah perawat. Perawat melakukan pekerjaannya melakukan banyak gerakan seperti
membungkuk, memutar badan dan mengangkat badan pasien. (Aditya B & Kasih T, 2023)
Menurut
Katuuk et al (2019) profesi perawat memiliki resiko dan prevalensi kejadian low back pain yang
tinggi pada perawat diakibatkan oleh salah satu faktor yaitu aktivitas fisik yang cukup berat,
seperti melakukan aktivitas fisik mengangkat pasien secara manual, memiliki jam kerja yang
berlebih ditambah aktivitas diluar jam dinas dan waktu senggang. Hal ini menyebabkan spasme
otot dan membuat saraf terhimpit yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada area punggung
bawah .Perawat memiliki resiko yang tinggi dan lebih rentan untuk terkena Nyeri punggung
bawah, studi penelitian yang dilakukan di Bangladesh menunjukan seorang perawat beresiko
tinggi terkena Nyeri punggung bawah dengan total sebanyak 72,9% dari 229 orang perawat
mengalami Nyeri punggung bawah (LOW BACK PAIN) (Sanjoy et al, 2017). Studi penelitian di
Slovenia menunjukan hasil sebanyak 85,9% dari 1744 perawat mengalami Nyeri punggung
bawah (Katuuk et al., 2019).

Pada beberapa penilitian Di Indonesia, kejadian ketidaknyamanan leher merupakan sampai 10%
dalam satu bulan dan 40% dalam satu tahun. Ketidaknyamanan leher mempengaruhi 6.67%
karyawan dan lebih sering terjadi pada wanita (Falah, 2019), dengan pekerja tekstil menyumbang
49% dari semua kasus (Wayan, 2015) dan nyeri leher atas dirasakan oleh perawat dengan
prevalensi sebesar 60% (Wuriani,2017). Tidak hanya postur kerja yang lama tetapi masa kerja
yang lama dapat menyebabkan myalgia upper trapezius. Myalgia upper trapezius ini dapat
menyebabkan pengurangan fungsi psikologis dan fisiologi yang dapat dihilangkan dengan upaya
pemulihan. Myalgia upper trapezius dapat terjadi pada saat bekerja, baik itu dalam waktu yang
singkat maupun dalam jangka waktu yang lama (Dewi Rusdiana A, 2023)

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan suatu upaya perlindungan kepada pekerja dan
dan orang luar yang mengujungi tempat kerja dari bahaya dan akibat kecelakaan kerja.6 Tujuan
K3 adalah mencegah, megurangi, bahkan meminimalisir resiko penyakit dan kecelakaan akibat
kerja (KAK) serta meningkatkan Tingkat kesehatan para pekerja sehingga produktivitas kerja
meningkat.7 Dalam UU RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, upaya kesehatan kerja
ditunjukkan untuk melindungi para pekerja agar hidup sehat dan terhindar dari gangguan
kesehatan serta hal yang dapat membahayakan pekerjaan yang disebabkan oleh pekerjaan
sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS melakukan penerapan K3 di RS.8 K3 termasuk
sebagai salah satu standar pelayanan yang dinilai di dalam akreditasi RS, disamping standar
pelayanan lainnya. (Ivana et al., 2014). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyatakan
bahwa jumlah kecelakaan kerja yang dilaporkan meningkat pada 2017 dengan jumlah kasus
123.041, sementara pada tahun 2018 mencapai 173.1052 . Sedangkan menurut data Kementrian
Tenaga Kerja pada tahun 2019 terdapat 114 ribu kasus kecelakaan kerja. Kemudian pada tahun
2020, terjadi peningkatan kasus kecelakaan kerja di bulan januari hingga oktober 2020, BPJS
Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177 ribu kasus kecelakaan kerja3 (Maulina R P et al., 2023) .
Data kecelakaan kerja di negara maju seperti USA ( United State Of America).. Kecelakaan yang
terjadi di tempat kerja umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu tindakan manusia yang tidak
memenuhi syarat keselamatan (unsafe action) dan keadaan lingkungan kerja yang tidak aman
(unsafe condition) (Suma’mur, 2018). Menurut Heinrich dalam penelitian yang dilakukannya,
didapatkan bahwa 88% kecelakaan yang terjadi di lingkungan kerja disebabkan oleh tindakan
tidak aman dari manusia (unsafe action), 10% disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja yang
tidak aman (unsafe condition) dan 2% lainnya disebabkan oleh takdir tuhan (Salim 2019).
International Labour Organization (ILO) juga mengemukakan bahwa kecelakaan akibat kerja
pada dasarnya disebabkan oleh tiga faktor diantaranya faktor manusia, faktor pekerjaannya dan
faktor lingkungan tempat kerja. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku tidak
aman merupakan penyebab terbesar terjadinya kecelakaan di tempat kerja (Abbasi et al., 2015)

Dan dalam melakukan pengukuran atau memperediksi masalah Kesehatan kerja bisa di lakukan
dengan menggunakan beberapa metode dengan media berupa kuesioner mengenai SELF
REPORT mengenai masalah dalam pekerjaan baik itu secara fisik atau pun mental seperti Nordic
Body Map (NBM) dari Tritayasa, et al (2003), yang bisa digunakan untuk mengetahui bagian
tubuh yang di keluhkan ada masalah. dan Adapun media SELF REPORT lainnya seperti dan
questioner REEBA yang menilai posisi seluruh badan pekerja secara ergonomic dan NASA TLX
(National Aeronautics and Space Administration – Task load index) yang di kembangkan oleh
hart dan staveland (HART 2006) dan sering digunakan untuk menilai beban mental :mental
demand, physical demand , temporal demand, effort, dan frustation. (Marhaendra, 2022)

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karawang merupakan rumah sakit milik Pemerintah
Daerah Tingkat II Kabupaten Karawang yang didirikan pada tanggal 29 Mei 1952, yang
digunakan untuk merawat dan mengobati penderita cacar (barak cacar). Pada tahun 1954 rumah
sakit ini menjadi rumah sakit umum yang dikepalai oleh seorang dokter umum yang bernama dr.
Rd. Poedjono yang berlokasi di jalan Dr. taruno dengan luas tanah 2,8 Ha. Pada tanggal 20 Maret
2015 terbitlah SK Bupati Kabupaten Karawang, kepada Dr.H.Asep Hidayat Lukman sebagai
Direktur RSUD Kabupaten Karawang, yang sebelumnya + 10 bulan sebegai Plt Direktur RSUD
Kabupaten Karawang merangkap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. Jumlah
karyawan RSUD Karawang secara keseluruhan pada tahun 2016 mengalami kenaikan sebesar
6,46 %, namun untuk PNSD mengalami penurunan sebesar 2,03% karena adanya tenaga PNS
yang Pensiun. Tenaga Kontrak mengalami kenaikan sebesar 11,47 %, karena untuk memenuhi
standar tenaga kesehatan yang harus dipenuhi, dengan penambahan tenaga bidan dan perawat.
dan perawat yang terdaftar di RSUD KARAWANG dengan kriteria Jenis Pendidikan sampai
Tahun 2016 yang terbanyak adalah D3 Keperawatan 310 ,dan di susul Kebidanan D3 86, Sarjana
keperawatan 55, Perawat SPK 7, Kebidanan S1 6, Perawat SPK 7, Perawat specialis gigi 4, dan
yang terrendah, tenaga Keperawatan SPK/C 1.

Dan setelah di lakukan studi pendahuluan pada hari Rabu 24 Januari 2024 yang dilakukan
ruangan Instalasi rawat inap tepatnya di ruangan Telukjambe dan Rengasdengklok Dimana di
temukan setelah di lakukan obsevasi mengenai jam kerja perawat yang di mulai dari pagi hari jam
7 pagi sampai jam 14 siang di shif pertama , dan di siang hari dari jam 14 sampai jam 21;30 di
shif kedua , dan di lanjut dengan shif malam dari jam 22 malam sampai jam 7 pagi dan hampir
semua perawat sudah bekerja selama 4 tahun lebih dan menangani 34 pasien di setiap ruangan,
setelah di lakukan beberapa observasi dan wawancara pada 10 orang perawat(7 laki laki,3
perempuan) mengatakan bahwa jam kerja terberat saat di shif pertama yaitu pagi hari yang
Dimana lebih banyak nya permintaan pasien lebih banyak di banding shif lain dan di tambah
pemeriksaan TTV, dan pemberian obat,penggantian balut/perban, mengganti infus yang habis dan
hampir dalam shif tersebut dilakukan secara berulang dan sedikitnya waktu duduk yang Dimana
di keluhkannya masih ada kurangnya tempat duduk di kantor perawat, setelahnya perawat perlu
merangkum semua data yng di peroleh atau Tindakan yang di berikan di rekam medis untuk
dokumentasi yang harus di lakukan untuk bisa di lanjutkan oleh shif selanjutnya, dan di temukan
bahwa dalam siklus kerja di rawat inap yang memiliki waktu respon yang relative normal tapi
beragam masing masing ruangan setuju bahwa Tindakan cukup membebani perawat di instalasi
rawat inap adalah ganti balutan pasien,mengganti linen Kasur,mengganti dan membetulkan infus
yang bermasalah, mengantar pasien dengan mendorong bed dari satu ruang ke ruang lain yang
membebani punggung dan pergelangan tangan dan leher dan setuju menjadi salah satu Tindakan
cukup membebani dan menimbulkan bebrapa keluhan Kesehatan yang paling sering diantaranya
adalah gangguan muskolethal terutama keluhan nyeri sendi dan punggung yang di rasa sering
timbul dari beberapa Tindakan di atas dan lebih condong di rasa oleh perawat laki laki karna
selalu di utamakan untuk mengambil tindakan lebih berat yang sulit di lakukan perawat
perempuan.
RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan penerapan ergonomis adalah
ilmu yang di gunakan untuk membuat pekerjaan antara pegawai dan peralatan menjadi aman dan
mengurangi resiko terjadinya kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja dengan Kesehatan
perawat instalasi rawat inap Rumah sakit umum karawang pada ruangan rawat inap yang
memiliki durasi bekerja yang cukup lama dan banyaknya pasien yang harus memikirkan tindakan
dan harus menentukan masalah kesehatan secara tepat Dan cepat yang membuat Perawat lebih
memikirkan pasien di banding kondisi dirinya yang sering melakukan tindakan di luar ergonomis
k3 pekerja secara berulang dan beresiko terjadinya masalah kesehatan seperti masalah kesehatan
yang beresiko terjadinya kecelakaan pekerja. dan apakah ada hubungan nya antara Penerapan
ergonomi dengan kesehtan perawat instalasi rawat inap ?

1.2 TUJUAN UMUM


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penerapan ergonomis dengan kesehatan
perawat Instalasi rawat inap RSUD Karawang

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan penerapan Ergonomi dengan kesehatan perawat
intstalasi rawat inap Rawat RSUD Karawang
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui penerapan ergonomi di Instalasi Rawat Inap RSUD Karawang
2. Untuk mengetahui beban kerja yang menimbulkan masalah muskuloskelethal
yang terjadi di Instalasi Rawat inap RSUD Karawang
3. Untuk mengetahui hubungan penerapan ergonomi dengan masalah
mukuloskelethal di unit instalasi Rawat Inap RSUD Karawang
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan bisa menjadi bahan masukan terkait mengenai penerapan ergonomi
demi Kesehatan dan keselamatan perawat di RSUD KARAWANG
1.4.2 Bagi Institusi Horizon University Indonesia
Dapat memberikan informasi kepada institusi dalam bidang kesehatan khususnya
manajemen keperawatan terkait dengan hubungan penerapan ergonomi dengan
kesehatan fisik pada perawat instalasi rawat inap RSUD KARAWANG
1.4.3 Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dan wawasan terkait manajemen keperawatan khususnya
terkait dengan hubungan penerapan ergonomi dengan Kesehatan fisik perawat
instalasi rawat inap RSUD KARAWANG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

2.1 Rumah sakit

I. Pengertian

Penyelengaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan


organisasi yang sangat kompleks. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang
dilakukan oleh tenaga medis professional yang terorganisir baik dari sarana dan
prasarana kedokteran yang permanen, pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan
yang berkesesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh
pasien. Oleh karena itu Rumah Sakit dituntut untuk dapat memeberi pelayanan yang
optimal bagi masyarakat. Tingginya tuntutan masyarakat terhadap pihak rumah sakit
dalam hal ini pemenuhan kepuasan pasien membuat pihak rumah sakit harus mampu
untuk mengembangkan manajemen mutu yang sebaik-baiknya.

II. Gambaran umum rumah sakit


kompleks. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang dilakukan oleh tenaga medis
professional yang terorganisir baik dari sarana dan prasarana kedokteran yang
permanen, pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesesinambungan,
diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Oleh karena itu
Rumah Sakit dituntut untuk dapat memeberi pelayanan yang optimal bagi
masyarakat. Tingginya tuntutan masyarakat terhadap pihak rumah sakit dalam hal ini
pemenuhan kepuasan pasien membuat pihak rumah sakit harus mampu untuk
mengembangkan manajemen mutu yang sebaik-baiknya. Sedangkan pengertian
rumah sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,
dinyatakan bahwa:
"Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang
sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta
memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan".
Dari beberapa pengertian di atas maka ada beberapa jenis pelayanan promotif,
preventif, kuratif. Rumah sakit melakukan beberapa jenis pelayanan diantaranya
pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, pelayanan perawatan, pelayanan
rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan kesehatan, sebagai tempat pendidikan dan
atau pelatihan medik dan para medik, sebagai tempat penelitian dan pengembangan
ilmu dan teknologi bidang kesehatan serta untuk menghindari risiko dan gangguan
kesehatan sebagaimana yang dimaksud, sehingga perlu adanya penyelenggaraan
kesehatan lingkungan rumah sakit sesuai dengan persyaratan Kesehatan. (MARS,
2018)

2.2 Ergonomi

I. Pengertian

Ergonomi

Ergonomi berasal dari kata Ergon yang brarti kerja, dan Nomos yang berarti hukum,
sehingga ergonomi merupakan hukum kerja atau aturan-aturan kerja, atau tata cara
untuk melakukan sebuah pekerjaan. secara pengertian bebas sesuai dengan
perkembangannya, yakni suatu aturan atau kaidah yang ditaati dalam lingkungan
pekerjaan. Ditinjau dari fakta historis, ergonomi telah menyatu dengan budaya
manusia sejak zaman megalitik, dalam proses perancangan dan pembuatan benda-
benda seperti alat kerja dan barang buatan sesuai dengan kebutuhan manusia pada
zamannya. Kita dapat mengobservasi benda-benda zaman megalitik,bagaimana m
benda tersebut memberikan informasi implisit mengenai eksistensinya makna fungsi
dan keindahan.

Pengertian ergonomi menurut beberapa ahli berbeda-beda, walaupun mempunyai


makna yang sama, seperti dijelaskan sebagai berikut:
1. Menurut Sajiyo (2008), ergonomi adalah keseimbangan interaksi komulatif
antara pekerja (man), alat kerja (machine), sistem kerja (system), dan
lingkungan kerja (environment) untuk menciptakan suasana kerja yang aman,
Nyaman, Sehat, dan Efisien (ANSE). Yang perlu diperhatikan dalam
menciptakan sistem kerja yang ergonomis adalah 4 (empat) komponen utama
ergonomi yaitu: Man, Machine, System, and Environment (MMSE).
2. Menurut Pulat (1992), ergonomi berasal dari kata Ergon yang berarti kerja, dan
Nomos yang berarti aturan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
ergonomiadalah aturan-aturan, untuk melakukan aktivias kerja
3. MarmaraN.Poulaskakis dan Papakostopulos V (1999), menuliskan Yunani Kuno.
ilmu ergonomi Banyak bukti tampaknya menunjukkan telah diletakkan bahwa
peradaban dalam konteks pada budaya abad ke-5 SM menggunakan prinsip
ergonomi yang tampak dalam desain alat-alat, cara melakukan pekerjaan dan
tempat kerja. Salah satu contoh, dapat ditemukan dalam deskripsi Hippocrates
mengenai bagaimana seorang dokter bedah harus melakukan pekerjaan, maka
perlu dirancang alat yang akan digunakan.
4. Cushman et al (1983), memberikan pengertian ergonomi yang menitikberatkan
pada bagaimana pekerjaan memengaruhi pekerja. Pekerja akan mengalami
perubahan fisiologia selama menghadapi panas, iluminasi, kebisingan, polusi
dan lain-lain. Ergonomi bertujuan untuk mengurangi kelelahan (fatigue), atau
ketidaknyamanan (discomfort). Oleh karena itu, perlu merancang tugas, tempat
kerja dan alat-alat kerja, sesuai dengan kapasitas.

istilah ergonomi digunakan untuk mewakili semua bidang spesialisasi;dinegara


lain, ergonomi mengacu terutama pada masalah fisik dan faktor manusia
merujuk terutama pada masalah kognitif dan
organisasi.TetapiIEAtermasuksemuabidang disiplin tersebut; untuk mewakili
inklusivitas ini (IEA, 2018). Secara umum terdapat tiga domain yang menjadi
kajian ergonomi sebagai berikut:
a. Ergonomi fisik, berkaitan dengan karakteristik anatomi, antropometrik,
fisiologis, dan biomekanik manusia yang berkaitan dengan aktivitas
fisik. Topik yang relevan meliputi postur kerja, penanganan bahan,
gerakan berulang, gangguan muskuloskeletalterkaitpekerjaan, tata letak
tempat kerja, keselamatan, dan kesehatan.Gangguan muskuloskeletal
terkait pekerjaan atau Work-Related Musculoskeletal Disorders
(WMSDs), yang juga dikenal sebagai Cummulative Trauma Disoders
(CTDs), Repetitive Strain Injuries (RSIs), Repetitive Motion Trauma
(RMT), atau occupational overuse syndrome. Pada tahun 1984, OSHA
(Occupational Safety and Health Administration) Amerika Serikat
menyatakan bahwa, prinsip-prinsip ergonomi sangat penting untuk
mencegah terjadinya Cummulative Trauma Disoders (CTDs). Nama lain
CTDs adalah overuse syndrome, Musculo Skeletal Disorders (MSDs)
atau Repetitive Strain Injuries (RSIs), Work-related Upper Extremity
Disorders (UEDs).

b. Ergonomi kognitif, berkaitan dengan proses mental, seperti persepsi,


memori, penalaran, dan respons motorik, karena mereka memengaruhi
interaksi antara manusia dan elemen lain dari suatu sistem. Topik yang
relevan termasuk beban kerja mental, pengambilan keputusan, kinerja
yang terampil, interaksi manusia-komputer (Human Computer
Interaction - HCI), keandalan manusia, stres kerja, dan pelatihan karena
ini mungkin berhubungan dengan desain sistem manusia.

c. Ergonomi organisasi, berkaitan dengan optimalisasi sistem sosial-teknis,


termasuk struktur, kebijakan, dan proses organisasi mereka. Topik yang
relevan meliputi komunikasi, manajemen sumber daya pekerja
(manusia), desain kerja, desain waktu kerja, kerja tim, desain
partisipatif, ergonomi masyarakat, kerja kooperativ, paradigma kerja
baru, budaya organisasi, organisasi virtual, telework, dan manajemen
kualitas. ergonomi biasanva bersifat sistemik;dengan demikian
ergonomi menggunak pendekatan sistem holistik untuk menerapkan
teori, prinsip, dan data dari banval disiplin ilmu yang relevan dengan
perancangan dan evaluasi tugas, pekerjaan produk, lingkungan, dan
sistem (IEA, 2020).

Ergonomi memperhitungkan faktor fisik, kognitif, sosioteknik,


organisasi, lingkungan, dan faktor terkait lainnya, serta interaksi
kompleks antara manusia dan manusia lain, lingkungan, alat, produk,
peralatan, dan teknologi (Bridger, 2018).

ERGONOMI

ERGONOMI FISIKAL ERGONOMI KOGNITIF ERGONOMI


ORGANISASI
Relevansi Topik: Relevansi Topik:
1. Sikap kerja 1. Beban kerja Relevansi Topik:
2. Penanganan mental 1. Komunikasi
material 2. Pengambilan 2. Manajemen
3. Gerak Repetitif keputusan SDM
4. WMSDs 3. Kinerja 3. Desain Kerja
5. Penataan keahlian 4. Desain waktu
tempat 4. Human kerja
6. kerja Computer 5. Kelompok
Keselamatan Interaction kerja
dan kesehatan (HCI) 6. Desain
5. Kehandalan Partisipatori
manusia 7. Masyarakat
6. Stress dan Ergonomi
pelatihan yang 8. Usaha
berkaitan bersama
9. Paradigma
kerja baru
10. Organisasi
maya
11. Telework
12. Manajemen
kualitas
II. Sejarah ergonomi

Ergonomi dipopulerkan pertama kali pada tahun 1949 sebagai judul buku yang
dikarang oleh Prof. Murrel. Istilah ergonomi digunakan secara luas di Eropa. Di
Amerika Serikat dikenal istilah human factoratau human engineering. Kedua istilah
tersebut (ergonomi dan human factor) hanya berbeda pada penekanannya. Intinya
kedua kata tersebut sama-sama menekankan pada performansi dan perilaku manusia.
Menurut Hawkins (1987), untuk mencapai tujuan praktisnya, keduanya dapat
digunakan sebagai referensi untuk teknologi yang sama. Ergonomi telah menjadi
bagian dari perkembangan budaya manusia sejak 4000 tahun yang lalu.
Perkembangan ilmu ergonomi dimulai saat manusia merancang benda-benda
sederhana, seperti batu untuk membantu tangan dalam melakukan pekerjaannya,
sampai dilakukannya perbaikan atau perubahan pada alat bantu tersebut untuk
memudahkan penggunanya. Pada awalnya perkembangan tersebut masih tidak
teratur dan tidak terarah, bahkan kadang-kadang terjadi secara kebetulan.
Perkembangan ergonomi modern dimulai kurang lebih seratus tahun yang lalu pada
saat Taylor (1880-an) dan Gilberth (1890-an) secara terpisah melakukan studi
tentang waktu dan gerakan. Penggunaan ergonomi secara nyata dimulai pada Perang
Dunia I untuk mengoptimasikan interaksi antara produk dengan manusia. Pada tahun
1924 sampai 1930 Hawthorne Works of Wertern Electric(Amerika) melakukan suatu
percobaan tentang ergonomi yang selanjutnya dikenal dengan “Hawthorne Effects”
(Efek Hawthorne). Hasil percobaan ini memberikan konsep baru tentang motivasi di
tempat kerja dan menunjukan hubungan fisik dan langsung antara manusia dan
mesin. Kemajuan ergonomi semakin terasa setelah Perang Dunia II dengan adanya
bukti nyata bahwa penggunaan peralatan yang sesuai dapat meningkatkan kemauan
manusia untuk bekerja lebih efektif. Hal tersebut banyak dilakukan pada perusahaan-
perusahaan senjata perang

III. Prinsip-Prinsip Ergonomi

Ergonomi dikenal dengan prinsip-prisipnya, yang memiliki ciri khas, yakni


mengutamakan faktor kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan produktivitas
manusianya. Manuaba (1992) mengemukakan bahwa dalam penerapan prinsip
prinsip ergonomi, tersebut tentu akan menjadi perhatian bagi para ergonom,
baik akademisi maupun praktisi. Salah satu di antaranya adalah seorang
praktisi ergonomi, Macleod (2008), yang mengemu-kakan dua belas prinsip
ergonomi, yang terdiri dari sepuluh prinsip kerja ergonomis, dan dua lainnya
berkaitan dengan organinasi kerja. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Bekerja dalam postur netral (alamiah atau normal),

2. Mengurangi kekuatan berlebihan,

3. Tempatkan segala sesuatu dalam jangkauan mudah,

4. Bekerja di ketinggian yang tepat,

5. Kurangi gerakan berlebihan,

6. Minimalkan kelelahan dan beban statis,

7. Minimalkan titik tekan,

8. Berikan ruang bebas bergerak,

9. Bergerak, berolahraga, dan peregangan,

10. Menjaga lingkungan yang nyaman,

11. Jadikan display dan kontrol dapat dimengerti,

12. Meningkatkan organisasi kerja.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, maka setiap pekerja harus


menyadari bahwa mereka adalah bagian dari suatu sistem kerja, dengan
"aturan main" yang harus ditaati untuk kepentingan bersama. Oleh sebab itu,
komunikasi dan kerja sama yang baik sebagai team work perlu dibina dan
dijaga bersama.

Demikian pula dengan pihak manajer perusahaan seharusnya menyadari


bahwa pekerja adalah aset dinamis dengan kelebihan dan keterbatasan sebagai
pekerja. Oleh sebab itu, sebagai manajer yang baik tentu berupaya
mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut dalam perusahaannya

IV. Masalah ergonomi kerja

dalam beberapa hal para ahli menemukan beberapa masalah-masalah dalam


ergonomic kerja sebagai berikut:

a. Energi (status nutrisi), nutrisi atau gizi yang cukup sebagai sumber
energi bagi pekerja mutlak diperlukan, sehingga pekerja mampu
menyelesaikan pekerjaannya selama waktu kerja yang telah
ditetapkan.

b. Aplikasi tenaga, pemanfaatan tenaga otot diupayakan secara optimal


dan efisien dengan mendesain pekerjaan dan pelatihan berhubungan
dengan pekerjaan, yang lebih baik bagi pekerja untuk mengurangi
"stress" pada tubuh pekerja seminimal mungkin.

c. Posisi tubuh (sikap kerja), yaitu sikap tubuh seperti posisi kepala,
tubuh, dan tungkai terhadap pekerjaan dalam ruang kerja yang buruk,
bila terlalu lama pada posisi ini, maka akan menyebabkan reaksi
muskuloskeletal dan menimbulkan efek negatif bagi kesehatan.

d. Kondisi lingkungan, antara lain: panas, cahaya, bising, getaran, dan


kelembaban perlu dikaji untuk mencegah "strain" mental dan fisik.
e. Kondisi yang berhubungan dengan waktu, berkaitan dengan waktu
kerja yang paling efektif lamanya dan distribusinya. Perlu dilakukan
studi mengenai waktu istirahat, hari libur, pola kerja malam dan
bergilir, untuk mengurangi kelelahan dan pengaruh negatif bagi
kesejahteraan pekerja.

f. Kondisi sosial, dengan memberikan perhatian kepada bagaimana satu


pekerjaan mendapatkan satu "reward", dan kualitas interaksi sosial
antar pekerja harus diatur dengan berubahnya teknologi yang semakin
canggih. Pekerja tetap memiliki rasa harga diri dan kepuasan kerja,
sehingga tidak menimbulkan "stress" psikologis dan masalah-masalah
kesehatan terkait.

g. Kondisi informasi, kualitas dan jumlah informasi yang tepat mutlak


diperlukan pekerja dalam tugasnya. "Strain" mental dan fisik akan
muncul bila informasi yang dibutuhkan melebihi kapasitasnya sebagai
pekerja.

h. Interaksi manusia-mesin, harus sudah dianalisis dengan tepat dan jelas,


yang mana tugas pekerja (manusia) dan yang mana tugas mesin.
Bagaimana pekerja mengatur mesin melalui kontrol, dan bagaimana
pekerja bereaksi terhadap operasi mesin. Ketidakserasian antara
keduanya jelas akan membawa banyak dampak bagi kesehatan
pekerja.

V. Maksud Dan Tujuan Penerapan Ergonomi

Mendapatkan suatu pengetahuan yang utuh tentang


permasalahanpermasalahan interaksi manusia dengan produk-produknya,
sehingga dimungkinkan adanya suatu rancangan sistem manusia-alat yang
optimal dan membuat keselamatan kerja menigkat.
VI. Ruang lingkup ergonomi

aktivitas kerja dalama jabatan, di tuntut sesuai kemampuan dan keterbatasan yang
dimiliki para pegawai . oleh karena itu para perancang system pelayanan melakukan
berbagai ananlisis terkait dengan jenis tugas. Gerakan tubuh yang di perlukan dan
batas kemampuan menrima beban. ditinjau dari kepentingan praktis, manejemen
sumber daya manusia di industri adalah sebagai berikut :

1. Menentukan prasyarat terkait dengan ketubuhan calon tenaga kerja.

2. Upaya peningkatan kapasitas ketubuhan pekerja selaras dengan tuntutan kompetensi


kerja, melalui pendidikan dan pelatihan tertentu.

3. Upaya perbaikan kinerja sesuai dengan hasil identifikasi dan penilaian pekerja.

4. Upaya peningkatan kesigapan dan kewaspadaan dalam melaksanakan keselamatan


dan kesehatan kerja.

5. Memelihara fisik dan mental, sebagai sumber dan tujuan kesejahteraan pekerja dalam
upaya pencapaian produktivitas.

Ditinjau dari kepentingan ilmiah yang dapat memberikan kontribusi pada


praksisindustri,melaluipenelitianmencakup hal-hal berikut ini:

1. Penelitian Interface

Interface (perangkat antara), yang mengidentifikasi, menganalisis dan mengkaji


mengenai informasi tentang suatu lingkungan serta mendeskripsikannya dengan
simbol-simbol, tanda-tanda, lambang, dan angka-angka, peta dan variabel
(waktu, jarak) serta konstanta lainnya.

2. Kekuatan Fisik Pekerja

Penelitian tentang aktivitas pelayanan sistem kerja, melalui pengukuran dan


menganalisis gerakan fisik, beban yang diterima dan peralatan yang digunakan
dalam objek pekerjaan. Data-data yang diperoleh, dijadikan bahan perancangan
peralatan kerja sesuai dengan rata-rata kemampuan fisik para pekerja.
3. Dimensi dan Bentuk Tempat Kerja

Penelitian mengenai dimensi dan bentuk ruang tempat kerja, dimensi ukuran
ketubuhan para pekerja, jenis pekerjaan, dan faktor-faktor yang memengaruhi
karakteristik aktivitas kerja.

4. Lingkungan Kerja\Penelitian mengenai kondisi lingkungan tempat kerja, seperti


pengaturan pencahayaan, pengaturan ventilasi udara, dan faktor yang
memengaruhi fisik pekerja, seperti kebisingan, getaran, temperatur dan limbah
cairan kimia.

Ditinjau dari kepentingan pendidikan, pelatihan vokasi dan kejuruan meliputi hal-hal
berikut ini.

1. Merekonstruksi kurikulum sistem pelatihan secara terpadu (kompetensi dan


praktis gerak ergonomi, pada lembaga pendidikan-pelatihan vokasi (kejuruan).

2. Mengembangkan sistem pembelajaran gerak sistemik untuk mempersiapkan


calon tenaga kerja teknik (teknisi, mekanik, dan operator).

3. Mengembangkan teknik gerak sistemik pada mata pelajaran yang menuntut


kemampuan keterampilan teknis dalam menghadapi keragaman jenis pekerjaan
di industri.

4. Mengembangkan dan mengaplikasikan pembiasaan dan budaya kerja


teknikyang sehat dan aman dalam lingkungan kerja.

Harapan praktis dari penerapan ergonomi, adalah sebagai berikut:

1. Tercapainya kesejahteraan fisik dan mental, melalui upaya pencegahan dari cedera
dan bentuk penyakit akibat kerja, secara sinergis, konsisten dan berkesinambungan
antara kebijakan serta aturan pemberi kerja dengan penerima pekerjaan.
2. Tercapainya kesejahteraan sosial dan martabat manusia pekerja, melalui
peningkatan kualitas interaksi sosial sejalan dengan fungsi-fungsi
manajemensumber daya manusia, selaras dengan komitmen dengan jaminan social
bagi pekerja berdasarkan kontinium masa kerja (waktu kerja produktif sampai
pensiun)

3. terciptanya keseimbangan antara tuntutan teknis, ekeonomis system kerja, budaya


kerja, lingkungan kerja dengan faktor keunggulan dan keterbatasan kemanusian
sehingga diperolehnya kualitas kehidupan kerja yang bermusara pada produktivitas
(kuswana, 2013)

IV. Sikap dan postur kerja seacara ergonomi

A. Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan
penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat petunjuk, cara-cara melayani mesin
(macam gerak, arah dan kekuatan.

B. Untuk normalisasi ukuran mesin dan alat-alat industri, harus diambil ukuran terbesar
sebagai dasar serta diatur dengan suatu cara, sehingga ukuran tersebut dapat diperkecil
dan dapat dilayani oleh tenaga kerja yang lebih kecil. Contoh-contoh: kursi dapat dinaik-
turunkan, tempat duduk yang dapat distel mundur atau maju dan lain-lain.

C. Ukuran antropometri terpenting seperti dasar-dasar ukuran dan penempatan alat-alat


industry:

 Berdiri:

a. tinggi badan berdiri

b. tinggi bahu
c. tinggi siku

d. tinggi pinggul

e. panjang lengan

 Duduk:

a. tinggi duduk

b. panjang lengan atas

c. panjang lengan bawah dan tangan

d. jarak lekuk lutut-garis punggung

e. jarak lekuk lutut -telapak

D. Ukuran-ukuran kerja

1. Pada pekerjaan tangan yang dilakukan berdiri, tinggi kerja sebaiknya 5-10 cm di
bawah tinggi siku

2). Apabila bekerja berdiri dengan pekerjaan di atas meja dan jika dataran tinggi siku
disebut 0 maka hendaknya dataran kerja:

a. untuk pekerjaan memerlukan ketelitian 0+(5-10) cm

b. untuk pekerjaan ringan 0-(5-10) cm

c. untuk bekerja berat, atau perlu mengangkat barang berat, yang memerlukan otot
punggung 0-(10-20) cm

d. Dari sudut otot, sikap duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk.
Sedangkan dari sudut tulang, dinasehatkan duduk tegak, agar punggung tidak
bungkuk dan otot perut tidak lemas. Maka dianjurkan pemilihan sikap duduk yang
tegak dan diselingi istirahat sedikit membungkuk.

e. Tempat duduk yang baik memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

 Tinggi dataran duduk yang dapat diatur dengan papan kaki yang sesuai
dengan tinggi lutut, sedangkan paha dalam keadaan datar.

 Papan tolak punggung yang dapat diukur dan menekan pada punggung.

 Lebar papan duduk tidak kurang dari 35 cm.

 Tinggi meja merupakan ukuran dasar sesuai 4c. g. Pekerjaan berdiri sedapat
mungkin dirubah menjadi pekerjaan duduk. Dalam hal tidak mungkin,
kepada pekerja diberi tempat dan kesempatan untuk duduk.

f. Arah penglihatan untuk pekerjaan berdiri adalah 23 –37° ke bawah, sedangkan


untuk pekerjaan duduk 32 – 44° ke bawah. Arah penglihatan ini sesuai dengan
sikap kepala yang istirahat.

g. Ruang gerak lengan ditentukan oleh punggung lengan seluruhnya dan lengan
bawah. Pegangan-pegangan harus diletakkan di daerah tersebut, lebih-lebih bila
sikap tubuh tidak berubah.

h. Macam gerakan yang kontinue dan berirama lebih diutamakan, sedangkan


gerakan yang sekonyong-konyong pada permulaan dan berhenti dengan paksa
sangat melelahkan. Gerakan ke atas harus dihindarkan. Berilah papan penyokong
pada sikap lengan yang melelahkan. Hindarkan getaran-getaran kuat pada kaki
dan lengan

i. Pembebanan sebaiknya dipilih yang optimum, yaitu beban yang dapat dikerjakan
dengan pengerahan tenaga paling efisien. Beban fisik maksimum telah ditentukan
oleh ILO sebesar 50 kg. Cara mengangkat dan menolak hendaknya
memperhatikan hukum-hukum ilmu gaya dan dihindarkan penggunaan tenaga
tidak perlu. Beban hendaknya menekan langsung pinggul yang mendukungnya.

j. Gerakan ritmis seperti mendayung, mengayuh pedal, memutar roda dan lainlain
memerlukan frekuensi yang paling optimum, yang menggunakan tenaga paling
sedikit. Misalnya pada frekuensi 60/menit, mengayuh pedal dirasakan mudah.

k. Apabila seorang pekerja (dengan atau tanpa beban) harus berjalan pada jalan
menanjak atau naik tangga, maka derajat tanjakan optimum adalah sebagai
berikut: 1). jalan menanjak l.k 10° 2). tangga rumah l.k 30° 3). tangga l.k 70°
(Dengan anak tangga bergerak antara 20 – 30 cm tergantung pada pembebanan).

l. Kemampuan seseorang bekerja seharinya adalah 8 – 10 jam, lebih dari itu


effisiensi dan kualitas kerja sangat menurun .

m. Waktu istirahat didasarkan kepada keperluan atas dasar pertimbangan ergonomi.


Harus dihindari istirahat-istirahat sekehendak tenaga kerja, istirahat oleh turunnya
kapasitas tubuh dan istirahat curian.

n. Beban tambahan akibat lingkungan sebaiknya ditekan menjadi sekecilkecilnya.

o. Daya penglihatan dipelihara sebaik-baiknya terutama dengan penerangan yang


baik.

p. Kondisi mental psikologis dipertahanakan dengan adanya premi perangsang,


motivasi, iklim kerja dan lain-lain.

q. Beban kerja dinilai dengan mengukur O2, frekuensi nadi, suhu badan, dan
lainlain.

r. Batas kesanggupan kerja sudah tercapai, apabila bilangan nadi kerja mencapai
angka 30/menit di atas bilangan nadi istirahat. Sedangkan nadi kerja tersebut tidak
terus menanjak dan sehabis kerja pulih kembali kepada nadi istirahat sesudah
lebih kurang 15 menit
VII. Faktor-faktor yang di perhatikan ergonomi

Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko ergonomi pada tempat
kerja. Beberapa di antaranya adalah:
 Suhu dan temperature.Kondisi lingkungan kerja, bisa terjadi dalam suatu kontinum
mulai dari suhu rendah sampai tertinggi, bergantung kebutuhan dan tujuan proses
produksi. Suhu ekstrem yang rendah bisa terjadi dan dibutuhkan dalam layanan kerja,
seperti di perusahaan pengelolaan ikan atau makanan tertentu. Apabilakondisi < dari
temperatur tubuh normal (37? s.d. 38?), maka akan terjadi pengeluaran panas dari
tubuh melalui penguapan dan ekspirasi sehingga tubuhmenjadi kedinginan.
 Ventilasi udara, seperti yang didefinisikan oleh American Society of Heating,
pendingin dan Air-Conditioning Engineers di ASHRAE Standard 62,1 dan ASHRAE
Handbook, adalah bahwa udara yang digunakan untuk menyediakan kualitas udara
dalam ruangan. Terdapat perbedaan antara ventilasi atau flues, yang berarti pipa atau
cerobong gas dan asap pada pemanas, seperti pemanas air, boiler, perapian, dan
kompor kayu. Ventilasi atau flues membawa produk pembakaran yang harus
dikeluarkan dari bangunan dengan cara yang tidak membahayakan penghuni
bangunan.
 Pencahayaan yang kurang memadai merupakan beban tambahan bagi pekerja
sehingga dapat menimbulkan gangguan performance (penampilan) kerja yang
akhirnya dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Hal
ini sangat erat kaitannya dan mutlak harus ada karena berhubungan dengan fungsi
indra penglihatan, yang dapat memengaruhi produktivitas tenaga kerja. Berdasarkan
baku mutu lingkungan kerja, standar pencahayaan untuk ruangan yang dipakai untuk
melakukan pekerjaan yang memerlukan ketelitian adalah 500-1000 Lux.
 Postur tubuh yang buruk. Bekerja dengan postur tubuh yang buruk dapat
menyebabkan tekanan pada tulang belakang dan otot. Hal ini dapat menyebabkan
sakit punggung dan gangguan pada tulang belakang.
 Ketinggian meja dan kursi yang tidak sesuai. Jika meja dan kursi tidak disesuaikan
dengan tinggi tubuh pekerja, maka pekerja akan merasa tidak nyaman dan
memaksakan tubuh mereka untuk menyesuaikan. Ini dapat menyebabkan gangguan
pada otot dan saraf.

 Gerakan yang berulang-ulang. Gerakan yang berulang-ulang, seperti mengangkat


benda berat atau menggunakan mouse secara terus menerus, dapat menyebabkan
kelelahan otot dan gangguan pada saraf

VIII. Cidera akibat tidak ergonomis

Secara umum terdapat 3 macam cidera yang dapat di sebabkan oleh faktor-faktor di
atas yang dapat berpotensi menimbulkan gangguan pada fisik pekerja yang bisa
menyebabkan kecelakaan kerja diantaranya:

o Cumulative Trauma Disorders (CTD)


Philip Harris, M.D.(2003), menuliskan Cumulative Trauma Disorders (CTD),
(Trauma Gangguan Kumulatif), atau dikenal sebagai Repetitive Strain Injury
(RSI), atau cedera regangan berulang, didefinisikan sebagai gangguan pada otot,
tendon, saraf, dan pembuluh darah yang disebabkan, atau diperparah oleh
pengerahan tenaga atau gerakan berulang.

o Repetitive Strain Injuries (RSI)


Van Tulder M, Malmivaara A, Koes B (2007), menuliskan bahwa Repetitive
Strain Injury (RSI) adalah istilah umum yang digunakan untuk merujuk
padabeberapa kondisi diskrit yang dapat dikaitkan dengan tugas yang berulang,
pengerahan kekuatan tenaga, getaran, kompresi mekanik yang berkelanjutan.
Contoh; kondisi yang dapat dikaitkan dengan penyebab tersebut termasuk edema,
tendinitis, carpal tunnel syndrome, cubital tunnel syndrome, de quervain
syndrome, thoracic outlet syndrome, intersection syndrome, golfer's elbow
(medial epicondylitis), tennis elbow (lateral epicondylitis), trigger finger, radial
tunnel syndrome, and focal dystonia.

o Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Gangguan muskuloskeletal (MSDs) adalah cedera pada otot, saraf, tendon,
ligamen, sendi, tulang rawan, atau cakram tulang belakang. MSDs biasanya hasil
dari setiap peristiwa sesaat atau akut (seperti slip, perjalanan, atau jatuh), selain
itu mencerminkan perkembangan yang lebih bertahap atau kronis.

IX. Pengukuran masalah ergonomic

Rapid Entire Body Assestment (REBA) adalah sebuah metode yang dikembangkan
dalam bidang ergonomic yang dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi
kerja atau postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan, dan kaki seorang
operator. Metode ini dikembangkan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn McAtamney
yang merupakan ergonom dari universitas Notingham. Pertama kali di dijelaskan
dalam bentuk jurnal ergonomi pada tahun 2000 (Hignett dan Mc Atamney, 2000).
Pada perhitungan nilai REBA dari postur kerja operator yang telah didapatkan maka
dapat diketahui level resiko dan kebutuhan akan tindakan yang perlu dilakukan untuk
perbaikan kerja. seperti :
pengukuran : REBA pada pekerja secara ergonomic

dari gambar diatas dapat diketahui bahwa posisi punggung dengan sudut 97O flexion,
sehingga dari tabel (1) termasuk dalam pergerakan > 60O flexion. Skor REBA untuk
pergerakan punggung ini adalah 4. Lalu posisi leher diketahui bahwa kepala dalam posisi
tegak terhadap sumbu tubuh dengan sudut 44O , sehingga termasuk dalam > 20O
extension. Skor REBA untuk pergerakan leher ini adalah 2. Selanjutnya posisi kaki
tertopang saat duduk atau bobot tubuh tersebar merata sehingga diberi skor 1. Lutut
membentuk sudut 73O sehingga skor +2. Skor REBA untuk posisi kaki ini sesuai tabel
(1) adalah 1+2=3. Berdasarkan hasil grup A maka tabel REBA Skor Grup A adalah
sebagai berikut:

berdasarkan gambar diatas metode REBA memiliki cara untuk mengukur dan menilai
resiko paa posisi ergonomic .metode REBA terhadap postur kerja operator binding berada
dalam keadaan beresiko tinggi dan perlu dilakukan tindakan perbaikan secepatnya. Hal
ini jika dibiarkan akan menimbulkan rasa sakit dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan terjadinya WRMD (Work-Related Musculoskeletas Disorders), yaitu
sekumpulan gangguan sistem musculoskeletal menyangkut otot, tendon dan syaraf yang
diakibatkan oleh pekerjaan penanganan material yang dilakukan berulang-ulang. Hal ini
perlu dilakukan tindakan perbaikan secepatnya karena dikhawatirkan pekerja akan
mengalami musculoskeletal disorder.

2.3 Beban kerja

I. Pengertian

Beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan
oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu
Sunarso (2010). Permendagri No. 12/2008 menyatakan bahwa beban kerja adalah
besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan
merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Jika kemampuan
pekerja lebih tinggi daripada tuntutan pekerjaan,akan muncul perasaan bosan.
Namun sebaliknya, jika kemampuan pekerja lebih rendah daripada tuntutan
pekerjaan,maka akan muncul kelelahan yang lebih. Beban kerja yang dibebankan
kepada karyawan dapat dikategorikan kedalam tiga kondisi, yaitu beban kerja
yang sesuai standar, beban kerja yang terlalu tinggi (over capacity) dan beban
kerja yang terlalu rendah (under capacity) . Dalam jurnal Hoonaker, dkk (2011)
juga dijelaskan bahwa beban kerja adalah sebuah konsep yang digunakan untuk
menjelaskan sejauh mana seorang operator telah menggunakan kemampuan fisik
dan mentalnya untuk menyelesaikan sebuah tugas. Beban kerja itu sendiri
dipengaruhi oleh tuntutan eksternal sebuah pekerjaan, lingkungan, faktor
organisasi dan psikologis, dan sebagainya.

Beban kerja sebagai konsep yang muncul akibat keterbatasan kapasitas


pemrosesan informasi. Ketika dihadapkan pada suatu tugas, individu diharapkan
dapat menyelesaikan tugas tersebut pada tingkat tertentu.Mengingat bahwa
pekerjaan manusia bersifat mental dan fisik, masing-masing memiliki ketegangan
yang berbeda.Oleh karena itu perlu diupayakan intensitas beban yang optimal
yaitu antara dua ekstrim tersebut dan tentunya bervariasi antara satu orang dengan
orang lainnya.Sebaliknya, untuk pekerja angkat dan angkut manual, intensitas
stres fisiknya tinggi dan intensitas stres mentalnya bisa sangat rendah.

II. Dimensi beban kerja


Dalam metode SWAT (subjective workload assesment technique) performa kerja
manusia terdiri dari tiga dimensi ukuran beban kerja yang dihubungkan dengan
performasi, yaitu :
1) Beban waktu (time load)
2) Beban usaa mental (mental effort load)
3) Beban tekanan psikologis (psychological stress load

Berdasarkan definisi-definisi di atas terlihat bahwa pengertian beban kerja terkait


dengan (empat) aspek yaitu:
1) Aspek tugas-tugas yang harus dikerjakan.
2) Aspek seorang atau sekelompok orang yang mengerjakan tugas-tugas tersebut.
3) Aspek waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut.
4) Aspek keadaan/kondisi normal pada saat tugas-tugas tersebut dikerjakan.

III. Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja:

1. Faktor eksternal Mengenai faktor eksternal yang memengaruhi beban kerja dan
kapasitas kerja, Mullins dan Christy (2016) menyatakan bahwa, peningkatan daya
saing bisnis, globalisasi, pergeseran pasar tenaga kerja, kemajuan teknologi yang
cepat, pergerakan menuju pasar yang lebih digerakkan oleh pelanggan, masyarakat,
dan tuntutan keseimbangan kerja/kehidupan telah menyebabkan periode perubahan
konstan dan kebutuhan akan fleksibilitas organisasi yang lebih besar. Kombinasi dari
pengaruh-pengaruh ini mengubah cara kita hidup dan bekerja. Hal ini jelas memiliki
implikasi signifikan bagi manajemen dan perilaku organisasi. Oleh karena itu,
penting dipahami bagaimana fungsi organisasi dan pengaruh luas terhadap perilaku
dan tindakan orang. (Marhaendra, 2022)

Beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti :


a) Tugas (Task). Meliputi tugas bersifat seperti, stasiun kerja, tata ruang tempat kerja,
kondisi ruang kerja, kondisi lingkungan kerja, sikap kerja, cara angkut, beban yang
diangkat. Sedangkan tugas yang bersifat mental meliputi, tanggung jawab,
kompleksitas pekerjaan, emosi pekerjaan dan sebagainya.
b) Organisasi kerja. Meliputi lamanya waktu kerja, waktu istirahat, shift kerja, sistem
kerja dan sebagainya.
c) Lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini dapat memberikan beban tambahan yang
meliputi, lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja miniawi,lingkungan kerja bioligis
dan lingkungan kerja psikologis.

2. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat
dari reaksi beban kerja eksternal yang berpotensi sebagai stresor, meliputi faktor
somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan, dan
sebagainya), dan faktor psiksi (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan,
dan
sebagainya).

IV. Beban kerja fisik

Beban kerja fisik secara umum dapat digambarkan sebagai kerja seluruh tubuh, dan
kerja bagian tubuh tertentu (setempat). Kerja seluruh tubuh berkenaan dengan beban
dinamis terhadap sebagian besar kelompok otot, hal ini akan menyebabkan
peningkatan kebutuhan asupan oksigen seseorang. Di sisi lain kerja bagian tubuh
tertentu (setempat), sering dikaitkan dengan beban rendah kontinu pada sekelompok
kecil otot tertentu yang membutuhkan kemampuan seseorang untuk mengembangkan
dan mempertahan ketegangan ototnya. Oleh karena itu, menurut Ahsberg (1998),
evaluasi kerja seluruh tubuh, yang kemudian dipadankan dengan sebagian tubuh
tertentu (setempat) kurang dapat diterima, meskipun hal tersebut diketahui akan
mengacu pada kelelahan substansif. Mekanisasi telah mengurangi tuntutan kerja pada
manusia, hal ini terjadi di berbagai negara di dunia. Meskipun, pekerjaan fisik yang
berat masih berlaku pada bagian pertanian dan kehutanan. Tuntutan tenaga kerja yang
tetap kebanyakan terjadi di pertambangan, penangkapan ikan di laut dalam, konstruksi
bangunan, dan di beberapa industri; itu bahkan ada dalam pekerjaan terbaru, misalnya,
dalam penanganan bagasi oleh personel maskapai penerbangan. Periode-periode
tuntutan berat dapat berganti-ganti dengan masa tugas yang singkat (Kroemer, 2017).

Tekanan darah, yang pada umumnya dikenal sebagai denyut nadi, berkaitan dengan
kemampuan jantung memompa darah untuk sirkulasi oksigen, yang dibutuhkan
untukmembakarkalorigunamenghasilkan energi. Mengenai kebutuhan kalori
berdasarkan beban kerja, di Indonesia telah ada ketentuannya, yakni berdasarkan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-51/MEN/1999,
tentang Nilai AmbangBatas Faktor Fisika di Tempat Kerja, telah menetapkan Nilai
Ambang Batas (NAB) Iklim Kerja berdasarkan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
yang diperkenankan. Kerja keras adalah aktivitas yang secara intens menggunakan
otot rangka. Ini dapat mengubah energi kimia menjadi kerja (energi fisik) dengan
menggerakkan segmen tubuhmelawan hambatan internal dan eksternal. Dari istirahat,
otot dapat meningkatkan generasi energinya hingga 50 kali lipat. Variasi yang sangat
besar dalam laju metabolisme tidak hanya membutuhkan adaptasi cepat pasokan
nutrisi dan oksigen ke otot, tetapi juga menghasilkan sejumlah besar produk limbah
internal, yang perlu dihilangkan. Aliran darah, ditenagai oleh jantung, menyediakan
sarana transportasi untuk suplai dan pengeluaran (Kroemer, 2017). Semakin besar
tenaga yang dikerahkan, semakin cepat kerja jantung memompa aliran darah ke
seluruh tubuh. Secara umum, pekerjaan berat ditandai dengan aktivitas otot yang luas
dalam aktivitas tugas yang sangat fisik (Bush, 2011). keputusan tersebut ditetapkan
pula kalori untuk tiap kategori beban kerja. Untuk beban kerja ringan 100 - 200
kalori/jam; beban kerja sedang 200 - 350 Kilo kalori/jam; dan beban kerja 350 - 500
Kilo kalori/jam.

Pengaturan waktu kerja setiap jam Ringan ISSB (0) Berat


Waktu Kerja Waktu Istirahat Beban
Kerja
Sedang
Bekerja 30,0 26,7 25,0
terus -menerus
(8
jamhari)
75% kerja 25% istirahat 30,6 28,0 25,9

kerja 50% istirahat 31,4 29,4 27,9

25% kerja 75% istirahat 32,2 31,1 30,0

SUMBER: SK. Menteri Tenaga Kerja RI. Nomor: KEP-51/MENI/1999

V. Beban Kerja Mental

Beban kerja mental yang berkaitan dengan ketegangan (stress) dan kelelahan secara
umum digambarkan dengan kelebihan beban (overload), dan kekurangan beban
(underload). Karena secara kualitatif dinyatakan dengan overload, maka mengacu
pada metode kompleks yang tidak dikenal sebelumnya, yakni keadaan bekerja terlalu
lama atau terlalu sering mengerjakan tugas tertentu. Sedangkan underload umumnya
mengacu pada kerja monoton atau selain dari itu adalah mengerjakan pekerjaan
repetitif (Frankenhaeuser dan Johansson, 1981).

Menurut Sluiter dalam (Anwar and Mutiara 2015) beban kerja mental adalah usaha
yang dilakukan oleh pikiran dalam melakukan suatu tugas yang memerlukan input-
input secara kognitif termasuk konsentrasi, ingatan, pengambilan keputusan ataupun
perhatian. Beban kerja mental yang tinggi dapat disebabkan oleh besarnya aktivitas
beban kerja mental seperti besarnya konsentrasi yang dibutuhkan dalam bekerja,
melakukan pekerjaan yang sama selama berjam-jam (tekanan waktu), serta tingkat
ketelitian yang tinggi. Menurut Henry R. Jex (1998) beban kerja mental yaitu selisih
antara tuntutan beban kerja dari suatu tugas dengan kapasitas maksimum beban
mental seseorang dalam kondisi termotivasi. Ada beberapa gejala yang merupakan
dampak dari kelebihan beban mental berlebih, seperti yang diterangkan oleh Hancock
dan Meshkati (1988), yaitu:
A. Gejala fisik Sakit kepala, sakit perut, mudah terkejut, gangguan pola tidur lesu,
kaku leher belakang sampai punggung, napsu makan menurun dan lain-lain.
B. Gejala mental Mudah lupa, sulit konsentrasi, cemas, was-was, mudah marah,
mudah tersinggung, gelisah, dan putus asa.
C. Gejala sosial atau perilaku Banyak merokok, minum alkohol, menarik diri, dan
menghindar.

Namun demikian, kapasitas mental berubah seiring bertambahnya usia (meningkat


maupun menurun, tergantung pada pelatihan dan faktor genetik),dankemampuan
kognitif manusia adalah kombinasi dari keterampilan, pengalaman, pengenalan pola,
perharian, ingatan, kemampuan untuk fokus, harapan, asosiasi, generalisasi, dan
kemampuan untuk mengurutkan informasi ke dalam kategori. Tentu saja,
kesejahteraan fisik dapat berdampak signifikan pada kemampuan ini. Jika melakukan
tugas-tugas kerja yang intensif secara mental ketika lelah, terlalu terstimulasi, stres,
secara emosional atau terpengaruh secara kimiawi, khawatir, tertekan atau lapar, otak
kita mungkin berpindah dari mode pemikiran berfungsi tinggi (perencanaan,
penalaran, evaluasi) ke mode survival (tindakan naluriah, cepat untuk menghindari
bahaya atau ketidaknyamanan), yang mungkin paling buruk menghasilkan efek
negatif mulai dari kesalahan kecil hingga kecelakaan fatal (Berlin dan Adams, 2017).

Suatu model ketegangan kerja yang telah dikenal baik adalah seperti disampaikan
oleh Karasek (1979), yang menyatakan bahwa ketegangan mental adalah hasil dari
adanya "tuntutan kerja" (work demand) dan "ketentuan kerja" (work decission
latitude). Dengan adanya tuntutan kerja yang telah ditentukan tersebut, menurut
Ahsberg (1998), akhirnya memberikan kemungkinan kepada pekerja untuk
memutuskan bagaimana caranya menghadapi tuntutan tersebut. Model lain yang juga
penting dikemukakan di sini adalah bahwa beban kerja mental berkaitan erat dengan
tiga faktor yaitu: waktu beban (lama terbeban), daya mental, dan stres psikologis
(Reid dan Nygren, 1988)
2.4 Masalah musculoskeletal

I. Pengertian system muskulosklethal

Sistem muskuloskeletal terdiri dari kata muskulo yang berarti otot dan kata skeletal yang
berarti tulang. Muskulo atau muskular adalah jaringan otototot tubuh. Ilmu yang mempelajari
tentang muskulo atau jaringan otot-otot tubuh adalah myologi. Skeletal atau osteo adalah
tulang kerangka tubuh, yang terdiri dari tulang dan sendi. Ilmu yang mempelajari tentang
skeletal atau osteo tubuh adalah osteologi. Muskulus (muscle) otot merupakan organ tubuh
yang mempunyai kemampuan mengubah energi kimia menjadi energi mekanik atau gerak
sehingga dapat berkontraksi untuk menggerakkan rangka, sebagai respons tubuh terhadap
perubahan lingkungan. Otot disebut alat gerak aktif karena mampu berkontraksi, sehingga
mampu menggerakkan tulang. semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk
berkontraksi. otot membentuk 40-50% berat badan, kira-kira sepertiganya merupakan protein
tubuh dan setengahnya tempat terjadinya aktivitas metabolik saat tubuh istirahat. Terdapat
lebih dari 600 buah otot pada tubuh manusia. Sebagian besar otot-otot tersebut dilekatkan
pada tulang-tulang kerangka tubuh, dan sebagian kecil ada yang melekat di bawah permukaan
kulit. Gabungan otot berbentuk kumparan dan terdiri dari :

1. fascia, adalah jaringan yang membungkus dan mengikat jaringan lunak. fungsi fascia
yaitu mengelilingi otot, menyedikan tempat tambahan otot, memungkinkan struktur
bergerak satu sama lain dan menyediakan tempat peredaran darah dan saraf;
2. ventrikel (empal), merupakan bagian tengah yang mengembung
3. tendon (urat otot), yaitu kedua ujung yang mengecil, tersusun dari jaringan ikat dan
bersifat liat.

II. Masalah Muskuloskelethal

Musculoskeletal disorder adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang disebabkan oleh
karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam jangka waktu
yang lama dan akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat
pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan panjang. Sebaliknya,
keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi otot hanya berkisar antar 15% –
20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 3 20%, maka
peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya
tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan
timbulnya rasa nyeri otot.

III. Keluhan muskuloskletal adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang disebabkan
oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam jangka
waktu yang lama dan akanmenyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen
dan tendon. Problematik keluhan muskuloskelsetal yang sering dijumpai adalah salah
satunya nyeri punggung bawah yang terjadi pada pekerja atau karyawan sebagai akibat
dari kelainan mekanika gerak atau postural yang berlangsung dalam jangka waktu yang
lama (Rizka, 2012). 31 Secara ilmiah nyeri otot adalah gangguan kesehatan yang kerap
membayangi profesi- profesi tertentu yang harus berdiri cukup lama atau profesi yang
mengharuskan seseorang duduk berlama–lama yang dilakukan secara berulang-ulang
selama bertahun-tahun. Ketegangan yang terjadi terutama pada otot leher selain
membuat seseorang tidak nyaman, juga berdampak pada produktifitas bekerja.

IV. Faktor yang mempengaruhi masalah mukuloskelethal


Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa ada beberap faktor yang menyebabkan terjadinya keluhan
otot skeletal:
1. peregangan otot yang belebihan (faktor beban berat) yaitu peregangan otot yang
berlebihan (over exertion) dimana aktivitas pekerjaan yang menuntut pengerahan
tenaga yang besar, seperti mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban
yang berat;
2. aktivitas berulang (faktor frekuensi) yaitu aktivitas yang yang dilakukan secara
berulang dengan sedikit variasi, dapat menimbulkan kelelahan dan ketegangan otot
dan tendon karena kurang istirahat (relaksasi);
3. sikap kerja tidak alamiah (faktor postur janggal) yaitu sikap kerja yang menyebabkan
posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya tangan terangkat,
punggung membungkuk, kepala terangkat keatas. Semakin jauh posisi bagian tubuh
dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot
skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan
tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
pekerja
4. faktor penyebab sekunder:
 4.1.) tekanan: terjadinya tekanan pada jaringan otot yang lunak. Contoh pada saat
tangan harus memegang alat, maka jaringan otot yang lunak akan menerima
tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat
menyebabkan rasa nyeri toto yang menetap
 4.2) getaran: getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi oto
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri toto
 4.3) mikroklimat: paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi
lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot

V. Penyebab masalah muskulosskelethal

Penyebab lain yang berperan muskuloskeletal disorders antara lain:


1. umur: keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu pada usia 25 –
65 tahun. Keluhan biasanya akan mulai dirasakan pada usia 35 tahun dan akan
semakin meningkat semakin bertambahnya usia. Hal ini terjadi karena pada usia
setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot akan meningkat (Dryastiti, 2013)
2. jenis kelamin: jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini
terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria
3. kebiasaan merokok: semakin lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok,
semakin tinggi pula keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok dapat
menurunkan kapasitas paru-paru sehingga kemampuan untuk mengkosumsi oksigen
menurun
4. kesegaran jasmani: tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko
terjadinya keluhan otot
5. kekuatan fisik: secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang
mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya
6. Ukuran tubuh (antrometri): keluhan muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran
tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam
menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan

VI. Macam macam masalah muskuloskelethal


Kelainan Pada Sistem Muskuloskeletal Beberapa gangguan kesehatan dan kelainan yang
terjadi sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut
1. Muskuloskeletal disorders (MSDs) Adalah gangguan pada sistem muskuloskeletal yang
disebabkan oleh pekerjaan dan performansi kerja seperti postur tubuh tidak alamiah, beban,
durasi dan frekuensi serta faktor individu : usia, masa kerja, dan jenis kelamin.
2. Fisura/retak tulang Fisura yaitu kelainan tulang yang menimbulkan keretakan pada tulang. 29
3. Gangguan yang terjadi pada tulang belakang Gangguan ini disebabkan karena kebiasaan
tubuh yang salah, kelainan ini antara lain seperti berikut :
a. Lordosis, yaitu keadaan tulang belakang yang melengkung ke depan.
b. Kifosis, adalah keadaan tulang belakang melengkung ke belakang, sehingga badan
terlihat bongkok.
c. Skoliosis, yaitu keadaan tulang belakang melengkung ke samping kiri atau kanan
4. Low Back Pain Low back pain (LBP) adalah nyeri di daerah punggung antara sudut bawah
kosta (tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor). Low Back Pain (LBP)
merupakan gangguan otot tulang rangka yang paling sering terjadi pada pekerja, baik pekerja
di sektor industri besar, menengah dan kecil maupun pekerja pekerja di sektor pembangunan
lainya.
5. Rakhitis Penyakit ini menyebabkan kondisi tulang seseorang yang lunak. Hal ini disebabkan
dalam tubuh seseorang kekurangan vitamin D. Vitamin ini berfungsi untuk mengabsorpsi
fosfor dan berperan dalam metabolisme kalsium. Penderita ini disarankan banyak
mengkonsumsi telur, susu, dan minyak hati ikan. Selain itu, pada pagi hari, penderita
disarankan berjemur di bawah sinar matahari karena sinar matahari pagi dapat membantu
pembentukan vitamin D dalam tubuh (Syaifuddin, 2012). 30
6. Kram Kram merupakan keadaan otot berada dalam keadaan kejang. Keadaan ini antara lain
disebabkan karena terlalu lamanya aktivitas otot secara terus menerus.
7. Hipertropi Suatu keadaan otot yang lebih besar dan lebih kuat. Hal ini disebabkan karena otot
sering dilatih bekerja dan berolahraga. Hipertrofi otot ini sering dimiliki oleh atlet
binaragawan.
8. Atrofi Keadaan otot yang lebih kecil dan lemah kontraksinya. Kelainan ini disebabkan karena
infeksi virus polio. Pemulihannya dengan pemberian latihan otot, pemberian stimulant listrik,
atau dipijat dengan teknik tertentu .

VII. Pengukuran masalah muskuloskelethal

Nordic Body Map (NBM) merupakan suatu metode pengukuran dalam mengidentifikasi
keluhan – keluhan otot skeletal yang menggunakan work sheet atau lembar kerja yang berupa
peta tubuh atau body maps yang mudah dipahami, sederhana, dan memerlukan waktu yang
singkat dalam penerapannya serta dapat membantu dalam pengukuran RULA. Berikut adalah
gambar body maps pada kuesioner NBM yang terdiri atas 28 titik otot bagian tubuh yang
ditunjukkan pada Gambar berikut :

gamar: lembar penilaian Nordic map


pengambilan data dalam metode ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan lembar
kuesioner maupun melakukan wawancara. Isi kuesioner berisi body maps yang menunjukan
bagian-bagian rasa sakit otot pada tubuh. Kuesioner NBM dikategorikan ke dalam 4 skala
likert, yaitu 1 (tidak sakit), 2 (agak sakit), 3 (sakit), dan 4 (sangat sakit). Total skor dijadikan
acuan dalam penentuan kategori tingkat risiko yang ditunjukkan pada Tabel 2 dibawah ini :

gambar:Score Tingkat resiko masalah muskuloskelethal

Pekerjaan yang tidak sesuai dengan kaidah ilmu ergonomi maka akan menimbulkan
risiko kecelakaan kerja maupun mengalami cedera dalam kegiatan bekerja. Langkah
dalam menghindari cedera adalah mengidentifikasi risiko yang dapat terjadi akibat cara
kerja yang salah, kemudian menghilangkan atau memperbaiki cara kerja yang salah

VIII. Hubungan ergonomi dengan masalah muskuloskekethal pada perawat


instalasi rawat inap

diantara beban kerja fisik maupun beban kerja mental dan berbagai hal yang dapat
diterima oleh perawat saat melakukan pekerjaanya yang bsia mempengaruhi seacara
psiko dan bio. Beban kerja fisik maupun beban kerja mental sangat erat kaitannya
dengan kajian ergonomi. Dari sudut pandang ergonomi, beban kerja fisik masuk dalam
dimensi ergonomi fisik sedangkan beban kerja mental masuk dalam dimensi ergonomi
kognitif. ergonomi berkenaan dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan
kenyamanan manusia di tempat kerja, ergonomi adalah ilmu yang mempelajari manusia
dalam hubungannya dengan pekerjaan, dengan segala aspek dan ruang lingkupnya.
Pekerjaan yang tidak ergonomis akan menyebabkan ketidaknyamanan, biaya tinggi,
penurunan performa, efisiensi, daya kerja dan kecelakaan. Dari sudut pandang ergonomi,
antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu seimbang sehingga dicapai
performansi kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas tidak boleh terlalu rendah
(underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload) karena keduanya
menyebabkan stres.dan meminimalisir terjadinya kecelakaan di tempat kerja terutama di
rumah sakit yang bisa berimbas tidak hanya pada perawat tapi juga pada pasien.

IX. Kerangka teori

Beban kerja masalah


muskuloskelethal
 Eksternal
 tugas kerja
 lama kerja
 lingkungan
kerja
ergonomic
 Internal  Sikap kerja
 jenis kelamin,  posisi kerja
 umur  Gerak Repetitif
 ukuran tubuh  beban kerja
 status gizi  kerja Keselamatan
 kondisi dan Kesehatan
 beban kerja
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

Kerangka konsep ini menjelaskan hubungan antara variabel satu dengan lainnya dalam desain
sistem kerja kemudian mengimplementasikannya secara langsung. Subjek penelitian adalah
Perawat instalasi rawat inap dengan kriteria: usia, jenis kelamin, , berat badan, pengalaman kerja,
pendidikan dan kesehatan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap desain sistem kerja
disini adalah suhu udara, kelembapan udara, kecepatan udara, pencahayaan dan kebisingan.
Sedangkan faktor fasilitas kerja yang mempengaruhi layout workshop dan perlengkapan
pelatihan. Faktor sistem kerja lain, seperti hubungan sosial, manajemen dan organisasi kerja .

Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel independent adalah penerapan ergonomic
dan yang menjadi variabel dependent yaitu masalah mukuloskelethal pada perawat
insatalasi rawat inap. Untuk melihat hubungan penerapan ergonomic dengan masalah
muskuloskelethal pada perawat di instalasi rawat inap rsud karawang maka disusunlah
kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut:

Skema
kerangka konsep

VARABEL INDEPENDENT VARIABEL DEPENDENT

PENERAPAN MASALAH
ERGONOMI MUKULOSKELETHAL
HIPOTESIS
Hipotesis merupakan harapan yang dinyatakan oleh peneliti mengenai hubungan antara variabel-
variabel didalam masalah penelitian. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian serta
tinjauan pustaka dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

1. ada hubungan penerapan ergonomic dengan masalah muskuloskelethal di instalasi


rawat inap RSUD Karawang
2. tidak ada hubungan penerapan ergonomic dengan masalah muskuloskelethal di
instalasi rawat inap RSUD Karawang

DEFINISI OPRASIONAL

Defenisi operasional adalah aspek penelitian yang memberikan informasi kepada kita tentang
bagaimana caranya kita mengukur variable:

a) Keluhan musculoskeletal disorders adalah resiko kerja mnengenai gangguan otot yang
disebabkan oleh kesalahan postur kerja dalam melakukan suatu aktivitas kerja yang
berhubungan dengan otot dan tulang berupa nyeri, kesemutan, mati rasa atau pegal.
Keluhankeluhan yang terjadi adalah keluhan bagian bagian otot skeletal yang dirasakan oleH
perawat mulai dari keluhan tidak sakit sampai sakit. Alat ukur :
penyebaran kuesioner Nordic Body Map Hasil ukur
1. Tidak sakit : apabila tidak ada rasa nyeri atau keluhan otot-otot skeletal pada bagian
tubuh tertentu.
2. Agak sakit : apabila timbul rasa nyeri atau keluhan otot-otot skeletal pada bagian tubuh
tertentu, tetapi gejala yang timbul tidak terlalu parah dan masih dapat menjalankan
pekerjaan.
3. Sakit : apabila mengalami rasa nyeri atau keluhan otot-otot skeletal pada bagian tubuh
tertentu dan terasa sakit untuk beraktivitas.
b. metode REBA (Bilondatu, 2018). Berikut cara menghitung kuesioner dengan metode REBA :
a. Penghimpunan data postur pekerja dengan memakai bantuan video atau foto. Guna
memperoleh cerminan sikap (postur) pekerja serta leher, punggung, lengan, pergelangan
tangan hingga kaki dengan rinci diadakan dengan merekam atau memotret postur tubuh
pekerja ketika bekerja.
b. Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja. Usai diadakan tahap pertama,
berikutnya dilaksanakan penghitungan besar sudut dari setiap segmen tubuh yang
mencakup punggung (batang tubuh), leher, lengan atas,lengan bawah, pergelangan
tangan, dan kaki. Dalam metode REBA bagian bagian tubuh itu digolongkan jadi dua
golongan, yakni grup A dan B. Grup A mencakup punggung (batang tubuh), leher, dan
kaki. Sedangkan grup B mencakup lengan atas, lengan bawah, serta pergelangan tangan.
Berdasarkan data sisi tubuh dalam setiap grup bisa di ketahui nilainya. Berikut kriteria
objektif kuesioner dengan metode REBA : Ergonomi : jika skor akhir REBA antara 1
hingga 4 Tidak ergonomi : jika skor akhir REBA > 4

Anda mungkin juga menyukai