Anda di halaman 1dari 31

HUBUNGAN PENERAPAN ERGONOMI DENGAN BEBAN KERJA YANG

MEMPERNGARUHI KESEHATAN FISIK PERAWAT KESEHAATAN PERAWAT

DI RSUD KARAWANG

2024

Oleh:
M fadillah alfikri
433131420120134

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
HORIZON UNIVERSITY KARAWANG
BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Rumah sakit merupakan salah satu institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan yang
berkembang dan telah mengalami perubahan. Pada awal perkembangannya, rumah sakit merupakan
badan atau organisasi yang berfungsi sosial, akan tetapi saat ini dengan adanya perkembangan rumah
sakit sehingga hal ini akan menjadikan rumah sakit saat ini lebih dari pelayanan Kesehatan. rumah sakit
sebagai pusat pelayanan medis merupakan institusi vital dalam suatu masayrakat. Kehadiran rumah sakit
merupakan tuntutan harapan di kala seseorang tertimpa kemalangan berupa penyakit. Pada rumah sakit,
masyarakat berharap agar musibah yang menimpanya dapat diobati. (Fitriani S & Trisnawati R, 2015)
Perawat rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga kesehatan
yang ada di rumah sakit (Badri, 2020). Tenaga keperawatan di rumah sakit merupakan ujung tombak dari
pelayanan kesehatan karena tenaga keperawatan yang mendampingi pasien selama 24 jam serta
memonitor pasien secara terus menerus dan berkesinambungan untuk memberikan asuhan keperawatan
yang profesional dan komprehensif (Susanto et al., 2023)

Tempat kerja, adalah Tempat tiap ruangan atau lapangan tertutup atau, bergerak ,atau terbuka, tetap dan
ruangan yang sering dimasuki karyawan (DR. dr. Asih Widowati. MARS, 2018)
lingkungan kerja juga memiliki peran yang sama pentingnya untuk meningkatkan kepuasan kinerja
karyawan melalui lingkungan fisik maupun non fisik yang baik, seperti menciptakan suasana yang
aman dan nyaman bagi para karyawan, diantaranya memberikan fasilitas dan alat bantu
keselamatan kerja, menjaga kebersihan tempat kerja, serta meningkatkan moral karyawan dalam
setiap aktivitas, sehingga kondisi fisik dan non fisik memadai maka produktivitas kerja akan
mengalami peningkatan , (MARDIKA H N & SUSANTI, 2021)
Beban kerja adalah Beban yang diberikan kepada karyawan harus seimbang dengan kemampuan dan
kompetensi dari karyawan itu sendiri, jika hal itu tidak seimbang dengan kemampuan yang dimilikinya
maka lambat laun akan menimbulkan sebuah masalah kepada karyawan tersebut salah satunya adalah
stress kerja yang dialami oleh karyawan ketika bekerja, (ROHMAN M A, 2021)
Ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan
mereka. Aspek ergonomi yang berkaitan dengan tata ruang termasuk kedalam ruang lingkup ergonomi
lingkungan fisik, (Tandraen S T & Ningtyas R, 2023)

Menurut IEA ( INTERNATIONAL ERGONOMIC ASSOSIATION 2010) mendefinisikan ergonomi


merupakan studi anatomis, fisiologi,dan psikologi dari aspek manusia dalam bekerja di lingkungannya.
Konteks ini, memiliki kaitan dan efesiensi,Kesehatan , dan kenyamanan dari orang-orang dan di tempat
kerja, di rumah ,dan sejumlah permainan.Hal itu, secara umum membutuhkan studi dari system fakta
kebtuhan manusia ,mesin-mesin dan lingkungan dan fasilitas yang saling berhubungan dengan tujuan
penyesuaian. (DR.Wowo kuswana, M.Pd.2014)

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan suatu upaya perlindungan kepada pekerja dan dan
orang luar yang mengujungi tempat kerja dari bahaya dan akibat kecelakaan kerja.6 Tujuan K3 adalah
mencegah, megurangi, bahkan meminimalisir resiko penyakit dan kecelakaan akibat kerja (KAK) serta
meningkatkan Tingkat kesehatan para pekerja sehingga produktivitas kerja meningkat.7 Dalam UU RI
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, upaya kesehatan kerja ditunjukkan untuk melindungi para
pekerja agar hidup sehat dan terhindar dari gangguan kesehatan serta hal yang dapat membahayakan
pekerjaan yang disebabkan oleh pekerjaan sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS melakukan
penerapan K3 di RS.8 K3 termasuk sebagai salah satu standar pelayanan yang dinilai di dalam akreditasi
RS, disamping standar pelayanan lainnya. (Ivana et al., 2014)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyatakan bahwa jumlah kecelakaan kerja yang
dilaporkan meningkat pada 2017 dengan jumlah kasus 123.041, sementara pada tahun 2018 mencapai
173.1052 . Sedangkan menurut data Kementrian Tenaga Kerja pada tahun 2019 terdapat 114 ribu kasus
kecelakaan kerja. Kemudian pada tahun 2020, terjadi peningkatan kasus kecelakaan kerja di bulan januari
hingga oktober 2020, BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177 ribu kasus kecelakaan kerja3
(Maulina R P et al., 2023)

Data kecelakaan kerja di negara maju seperti USA ( United State Of America). Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Levy (2011), bahwa tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja sebanyak 3,7 juta
orang dan yang meninggal sebanyak 5.214 orang. Berdasarkan data yang International Labour
Organization (ILO) pada tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan
kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. ILO mencatat angka kematian yang disebabkan
kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun (Amelita R, 2019)
Menurut penelitian Sri Astuti et al prevalensi perawat dengan nyeri punggung bawah di Indonesia adalah
61% pada tahun 2014, diikuti oleh 31% pada tahun 2018 dan 57% pada tahun 2019, terhitung terkena
nyeri punggung bawah. Jika dihitung rata-rata prevalensi rata-rata perawat di Indonesia yang terkena low
back pain adalah 49, 67%. Indonesia mencatat sebanyak 65% perawat di UGD Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta menderita nyeri punggung bawah. Prevalensi nyeri punggung bawah pada perawat di UGD RSUD
Tarakan yaitu 61.1% kemudian prevalensi di Ruang Rawat Tahanan RS Bhayangkara yaitu 31,8% dan
prevalensi di RSS yaitu 6,25% (Susanto H & Endarti T A, 2018)

Kecelakaan yang terjadi di tempat kerja umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu tindakan manusia yang
tidak memenuhi syarat keselamatan (unsafe action) dan keadaan lingkungan kerja yang tidak aman
(unsafe condition) (Suma’mur, 2018). Menurut Heinrich dalam penelitian yang dilakukannya, didapatkan
bahwa 88% kecelakaan yang terjadi di lingkungan kerja disebabkan oleh tindakan tidak aman dari
manusia (unsafe action), 10% disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja yang tidak aman (unsafe
condition) dan 2% lainnya disebabkan oleh takdir tuhan (Salim 2019). International Labour Organization
(ILO) juga mengemukakan bahwa kecelakaan akibat kerja pada dasarnya disebabkan oleh tiga faktor
diantaranya faktor manusia, faktor pekerjaannya dan faktor lingkungan tempat kerja. Berdasarkan hal
tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku tidak aman merupakan penyebab terbesar terjadinya kecelakaan
di tempat kerja (Abbasi et al., 2015)

Faktor-faktor terjadinya keluhan musculoskeletal menurut hasil penelitian Meilani yaitu pekerja sering
bekerja dengan posisi duduk membungkuk dan menunduk. Posisi duduk atau sikap kerja duduk tersebut
dapat menyebabkan cidera pada tulang belakang, otot, ligamen, tendon dan syaraf. Hubungan antara sikap
kerja dengan kejadian keluhan Musculoskeletal menyebabkan peredaran darah ke otot terhambat.
Kemudian secara otomatis memengaruhi suplai oksigen yang dibawa darah ke otot. Akibatnya yaitu
kekurangan suplai oksigen, sehingga dapat menghambat metabolisme karbohidrat dan terjadi penimbunan
asam laktat di otot. Penimbunan asam laktat dapat menyebabkan rasa nyeri/ keluhan pada otot
(Maulina R P et al., 2023)

Salah satu penyakit dampak kegiatan yang dikala ini jadi permasalahan kesehatan yang serng terjalin di
bumi serta mencuat nyaris pada seluruh populasi ialah Low Back Pain( LBP) ataupun yang diartikan
dengan perih punggung Low back pain atau nyeri punggung bawah, nyeri yang dirasakan di punggung
bagian bawah, bukan merupakan penyakit ataupun diagnosis untuk suatu penyakit namun merupakan
istilah untuk nyeri yang dirasakan di area anatomi yang terkena dengan berbagai variasi lama terjadinya
nyeri. Nyeri ini dapat berupa nyeri lokal, nyeri radikuler, ataupun keduanya. Nyeri ini terasa diantara
sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral, nyeri dapat
menjalar hingga ke arah tungkai dan kaki2 . (Andini, 2015)
Penyebab dari banyaknya kasus keluhan muskuloskeletal pada perawat umumnya dikarenakan
seringnya melakukan gerakan yang dipaksakan, postur tubuh yang tidak ergonomis, gerakan yang
berulang-ulang, termasuk mengangkan beban pasien yang berat, postur membungkuk, membengkok,
memutar, berdiri terlalu lama, dan menjaga posisi tubuh yang statis. Karakteristik tubuh pasien yang
asimetris, berat, dan bergerak tanpa koordinasi membuat penanganan pasien menjadi tidak mudah bagi
perawat (Wajdi & Kusmasari, 2015)

Perawat bertanggung jawab untuk membantu klien mencapai kesehatan yang optimal melalui pelayanan
keperawatan (Sumangando 2017). Perawat sering melakukan gerakan seperti membungkuk, mengangkat
dan memindahkan pasien dengan posisi tubuh yang tidak ergonomis saat melakukan tugas perawatan
(Nabilah, 2019). Penyakit yang disebabkan oleh peralatan kerja, proses, material dan lingkungan kerja
disebut sebagai penyakit akibat kerja. Salah satu penyakit akibat kerja adalah nyeri punggung bawah atau
Low Back Pain (LBP) (Astuti et al., 2019). Pekerjaan yang memiliki risiko tinggi sakit punggung adalah
perawat. Perawat melakukan pekerjaannya melakukan banyak gerakan seperti membungkuk, memutar
badan dan mengangkat badan pasien. (Aditya B & Kasih T, 2023)

Menurut Katuuk et al (2019) profesi perawat memiliki resiko dan prevalensi kejadian low back pain yang
tinggi pada perawat diakibatkan oleh salah satu faktor yaitu aktivitas fisik yang cukup berat, seperti
melakukan aktivitas fisik mengangkat pasien secara manual, memiliki jam kerja yang berlebih ditambah
aktivitas diluar jam dinas dan waktu senggang. Hal ini menyebabkan spasme otot dan membuat saraf
terhimpit yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada area punggung bawah .Perawat memiliki resiko
yang tinggi dan lebih rentan untuk terkena Nyeri punggung bawah, studi penelitian yang dilakukan di
Bangladesh menunjukan seorang perawat beresiko tinggi terkena Nyeri punggung bawah dengan total
sebanyak 72,9% dari 229 orang perawat mengalami Nyeri punggung bawah (Sanjoy et al, 2017). Studi
penelitian di Slovenia menunjukan hasil sebanyak 85,9% dari 1744 perawat mengalami Nyeri punggung
bawah (Katuuk et al., 2019)
Pencegahan terjadinya hal tersebut Pengetahuan ergonomi, sikap kerja, dan masa kerja mampu
memprediksi risiko keluhan gangguan muskuloskeletal pada perawat sebesar 41,07%. Jika pengetahuan
ergonomi, sikap kerja, dan masa kerja dikontrol dengan baik, maka risiko keluhan gangguan
muskuloskeletal dapat dikurangi. Pengetahuan, keyakinan, dan sikap berperan pada kecelakaan kerja .
Perawat harus mendapatkan pelatihan Teknik kerja yang baik dalam mengatasi stres dan tekanan
psikologis untuk mengurangi masalah atau cedera terkait pekerjaan

Dengan melakukan pengaplikasikan system ergonomi pada lingkungan kerja untuk memperendah resiko
terjadinya kecelakaan dan cidera yang terjadi pada pekerja dan klien dan kelancaran pekerjaan
diantaranya :

1. Posisi duduk
Ditinjau dari aspek kesehatan, bekerja dengan posisi duduk yang memerlukan waktu lama dapat
menimbulkan otot perut semakin elastis, tulang belakang melengkung, otot bagian mata
terkonsentrasi sehingga cepat merasa lelah. Seperti ketinggian dan posisi sandaran saat duduk
harus memiliki posisi yang rileks dan tidak membebani perawat
2. Posisi bekerja saat berdiri
Postur tubuh dalam pekerjaan berdiri merupakan suatu totalitas perilaku kesiagaan dalam
menjaga keseimbangan fisik dan mental. Adalah lama nya memperthankan posisi berdiri dan
tidak stabil yang membuat pemburukan postur tubuh .dan di anjurkan perlu adanya pergantian
antara untuk berdiri dan duduk yang terlalu lama karna akan beresiko terjadinya pembebanan
pada persendian dan otot tubuh dan mengalami kelelahan sacara cepat .
3. Manual material handling (MMH)
Manual material handling adalah aktivitas penanganan material yang meliputi kegiatan
mengangkat, menurunkan, mendorong, menarik, memutar, menahan dan membawa beban yang
dilakukan tanpa bantuan alat. Untuk mencegah masalah kesehatan maupun cidera akibat manual
material handling, beberapa pemindahan material. Seperti mengatur posisi saat ingin melakukan
pemindahan barang atau klien yang berguna agar tidak membebani tubuh , usahakan saat
memindahkan pasien saat mengguanakan bed atau blnkar atau tandu saat masih tersedia handle
atau pegangan ushakan untuk mengguanakan untuk bisa membuat pegangan dan pengguanaan
tenaga yang sia sia atau membebani tubuh dan dapat memindahkan pasien dengan sekuat tenaga .
( Rizqiyatul Laili 2020).
dan dalam melakukan pengukuran atau memperediksi masalah Kesehatan kerja bisa di lakukan
dengan menggunakan beberapa metode dengan media berupa kuesioner mengenai SELF
REPORT mengenai masalah dalam pekerjaan baik itu secara fisik atau pun mental seperti Nordic
Body Map (NBM) dari Tritayasa, et al (2003), yang bisa digunakan untuk mengetahui bagian
tubuh yang di keluhkan ada masalah. dan Adapun media SELF REPORT lainnya seperti NASA
TLX (National Aeronautics and Space Administration – Task load index) yang di kembangkan
oleh hart dan staveland (HART 2006) dan sering digunakan untuk menilai beban mental :mental
demand, physical demand , temporal demand, effort, dan frustation. (Marhaendra, 2022)

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Karawang merupakan rumah sakit milik Pemerintah
Daerah Tingkat II Kabupaten Karawang yang didirikan pada tanggal 29 Mei 1952, yang
digunakan untuk merawat dan mengobati penderita cacar (barak cacar). Pada tahun 1954 rumah
sakit ini menjadi rumah sakit umum yang dikepalai oleh seorang dokter umum yang bernama dr.
Rd. Poedjono yang berlokasi di jalan Dr. taruno dengan luas tanah 2,8 Ha. Pada tanggal 20 Maret
2015 terbitlah SK Bupati Kabupaten Karawang, kepada Dr.H.Asep Hidayat Lukman sebagai
Direktur RSUD Kabupaten Karawang, yang sebelumnya + 10 bulan sebegai Plt Direktur RSUD
Kabupaten Karawang merangkap Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. Jumlah
karyawan RSUD Karawang secara keseluruhan pada tahun 2016 mengalami kenaikan sebesar
6,46 %, namun untuk PNSD mengalami penurunan sebesar 2,03% karena adanya tenaga PNS
yang Pensiun. Tenaga Kontrak mengalami kenaikan sebesar 11,47 %, karena untuk memenuhi
standar tenaga kesehatan yang harus dipenuhi, dengan penambahan tenaga bidan dan perawat,
berdasarkan tabel di bawah :

Grafik Total: Ketenagaan RSUD Karawang


dan perawat yang terdaftar di RSUD KARAWANG dengan kriteria Jenis Pendidikan sampai
Tahun 2016 yang terbanyak adalah D3 Keperawatan 310 ,dan di susul Kebidanan D3 86, Sarjana
keperawatan 55, Perawat SPK 7, Kebidanan S1 6, Perawat SPK 7, Perawat specialis gigi 4, dan
yang terrendah, tenaga Keperawatan SPK/C 1.

sumber profil:RSUD KARAWANG

Dan setelah di lakukan studi pendahuluan pada hari Rabu 24 Januari 2024 yang dilakukan
ruangan Instalasi rawat inap tepatnya di ruangan Telukjambe dan Rengasdengklok Dimana di
temukan setelah di lakukan obsevasi mengenai jam kerja perawat yang di mulai dari pagi hari jam
7 pagi sampai jam 14 siang di shif pertama , dan di siang hari dari jam 14 sampai jam 21;30 di
shif kedua , dan di lanjut dengan shif malam dari jam 22 malam sampai jam 7 pagi , setelah di
lakukan beberapa observasi dan wawancara pada 10 orang perawat(7 laki laki,3 perempuan)
mengatakan bahwa jam kerja terberat saat di shif pertama yaitu pagi hari yang Dimana lebih
banyak nya permintaan pasien lebih banyak di banding shif lain dan di tambah pemeriksaan TTV,
dan pemberian obat,penggantian balut/perban, mengganti infus yang habis dan hampir dalam shif
tersebut dilakukan secara berulang dan sedikitnya waktu duduk yang Dimana di keluhkannya
masih ada kurangnya tempat duduk di kantor perawat, setelahnya perawat perlu merangkum
semua data yng di peroleh atau Tindakan yang di berikan di rekam medis untuk dokumentasi
yang harus di lakukan untuk bisa di lanjutkan oleh shif selanjutnya, dan di temukan bahwa dalam
siklus kerja di rawat inap yang memiliki waktu respon yang relative normal tapi beragam masing
masing ruangan setuju bahwa Tindakan cukup membebani perawat di instalasi rawat inap adalah
ganti balutan pasien,mengganti linen Kasur,mengganti dan membetulkan infus yang bermasalah,
mengantar pasien dengan mendorong bed dari satu ruang ke ruang lain yang di akui menjadi
salah satu Tindakan cukup membebani dan menumbulkan bebrapa keluhan Kesehatan yang
paling sering diantaranya adalah gangguan muskolethal terutama keluhan nyeri sendi dan
punggung yang di rasa sering timbul dari beberapa Tindakan di atas dan lebih condong di rasa
oleh perawat laki laki karna selalu di utamakan untuk mengambil tindakan lebih berat yang sulit
di lakukan perawat perempuan.

RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan penerapan ergonomis dan
beban kerja pada Kesehatan fisik perawat Rumah sakit umum karawang pada ruangan UGD yang
memiliki durasi bekerja yang cukup lama dan banyaknya pasien tanpa terduga yang harus
memikirkan tindakan dan harus menentukan masalah kesehatan secara cepat dan terkadang
seringnya pasien yang datang secara mendadak dan tanpa di prediksi yang membuat Perawat
lebih memikirkan pasien di banding kondisi dirinya yang sering melakukan tindakan di luar
ergonomis k3 pekerja secara berulang dan beresiko terjadinya masalah kesehatan seperti masalah
kesehatan yang beresiko terjadinya kecelakaan pekerja. dan apakah ada hubungan nya antara
Penerapan ergonomi dengan beban kerja yang mempeengaruhi kesehtan perawat ?

1.2 TUJUAN UMUM


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penerapan ergonomis dengan beban kerja
pada kesehatan perawat di rumah sakit umum karawang .

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan waktu tunggu dan kualitas pelayanan dengan
kepuasan pasien rawat jalan di Instalasi Rawat Jalan RSUD Karawang
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui penerapan ergonomi di Instalasi gawat darurat RSUD
Karawang
2. Untuk mengetahui beban kerja yang menimbulkan masalah fisik yang terjadi di
Instalasi Rawat Jalan RSUD Karawang
3. Untuk mengetahui hubungan penerapan ergonomi dengan unit instalasi gawat
darurat RSUD Karawang
4. Untuk mengetahui hubungan beban kerja dengan unit instalasi gawat darurat
RSUD Karawang

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan bisa menjadi bahan masukan terkait mengenai penerapan ergonomi
demi Kesehatan dan keselamatan perawat di RSUD KARAWANG
1.4.2 Bagi Institusi Horizon University Indonesia
Dapat memberikan informasi kepada institusi dalam bidang kesehatan khususnya
manajemen keperawatan terkait dengan hubungan penerapan ergonomi dengan
beban kerja pada perawat UGD
1.4.3 Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dan wawasan terkait manajemen keperawatan khususnya
terkait dengan hubungan penerapan ergonomi dengan beban kerja yang
memperngaruhi Kesehatan perawat UGD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori

2.1 Rumah sakit

I. Pengertian

Penyelengaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan


organisasi yang sangat kompleks. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang
dilakukan oleh tenaga medis professional yang terorganisir baik dari sarana dan
prasarana kedokteran yang permanen, pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan
yang berkesesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh
pasien. Oleh karena itu Rumah Sakit dituntut untuk dapat memeberi pelayanan yang
optimal bagi masyarakat. Tingginya tuntutan masyarakat terhadap pihak rumah sakit
dalam hal ini pemenuhan kepuasan pasien membuat pihak rumah sakit harus mampu
untuk mengembangkan manajemen mutu yang sebaik-baiknya.

II. Gambaran umum rumah sakit


kompleks. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang dilakukan oleh tenaga medis
professional yang terorganisir baik dari sarana dan prasarana kedokteran yang
permanen, pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesesinambungan,
diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Oleh karena itu
Rumah Sakit dituntut untuk dapat memeberi pelayanan yang optimal bagi
masyarakat. Tingginya tuntutan masyarakat terhadap pihak rumah sakit dalam hal ini
pemenuhan kepuasan pasien membuat pihak rumah sakit harus mampu untuk
mengembangkan manajemen mutu yang sebaik-baiknya. Sedangkan pengertian
rumah sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,
dinyatakan bahwa:

"Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang


sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta
memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan".
Dari beberapa pengertian di atas maka ada beberapa jenis pelayanan promotif,
preventif, kuratif. Rumah sakit melakukan beberapa jenis pelayanan diantaranya
pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, pelayanan perawatan, pelayanan
rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan kesehatan, sebagai tempat pendidikan dan
atau pelatihan medik dan para medik, sebagai tempat penelitian dan pengembangan
ilmu dan teknologi bidang kesehatan serta untuk menghindari risiko dan gangguan
kesehatan sebagaimana yang dimaksud, sehingga perlu adanya penyelenggaraan
kesehatan lingkungan rumah sakit sesuai dengan persyaratan Kesehatan. (MARS,
2018)

III. Tugas dan fungsi rumah sakit


berikut ini merupakan fungsi dari rumah sakit yaitu:

i. Membantu pendidikan tenaga medis umum,


ii. Melaksanakan medis,pelayanan medis, pelayanan penunjang
iii. Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial,
iv. Melaksanakan pelayanan medis khusus,
v. Melaksanakan medis pelayanan tambahan,medis tambahan, pelayanan penunjang
vi. Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan,
vii. 3.Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman
viii. 8.Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan,
ix. Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan rawat tinggal
(observasi),
x. Melaksanakan pelayanan rawat inap,
xi. Melaksanakan pelayanan administratif,
xii. Melaksanakan pendidikan bidan, perawat dan nakes lain,

xiii. Membantu pendidikan tenaga medis spesialis,


xiv. Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan,

IV. Aspek legal k3 RS


Rumah sakit merupakan tempat kerja dimana terdapat karyawan, orang sakit,
pengunjung, alat medis dan nonmedis. Rumah sakit dibangun dilengkapi dengan
peralatan yang dijalankan dan dipelihara untuk sedemikian rupa untuk menjaga dan
mencegah kebakaran serta persiapan dalam menghadapai bencana maupun
kebakaran.

Rumah sakit:

1. Padat modal.
2. Padat teknologi.
3. Padat karya.
4. Padat sistem.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja tenaga adalah kerja, kesehatanpekerjaan dankese-


dan lamatan yang berkaitan dengan tenaga kerja, pekerjaan dan lingkungan kerja,
yang meliputi segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi segala sakit dan
kecelakaan akibat kerja.

Dasar Hukum dan Pedoman:

1. UU No. 1 /1970 tentang keselamatan kerja.


2. UU No.23 /1992 tentang kesehatan.
3. Permenkes RI No. 986/92 tentang kesehatan lingkungan RS.
4. Permenkes RI No. 472 tahun 1996 tentang pengamanan bahan berbahaya
bagi kesehatan.
5. SK Menkes No.351 tahun 2003 tentang Komite K3 sektor Kesehatan.
6. Permenaker no.05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
7. Keputusan Dir.Jen. P2PLP nomor 1204 tahun 2004 tentang persyaratan
kesehatan lingkungan rumah sakit.
8. Pedoman K3 di rumah sakit tahun 2006 (BinKesja DepKes).
9. Pedoman teknis pengelolaan limbah klinisdandesinfeksi dan sterilisasi di
rumah sakit tahun 2002.

V. Sistem Manajemen K3-RS


Merupakan bagian dari sistem manajemen RS secara keseluruhan yang meliputi
struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan
sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, dan
pemeliharaan kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja dalam rangka pengendalian
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang
sehat, aman, efisien dan produktif. (MARS, 2018)

VI. TujuanSM-K3 Rumah Sakit


Menciptakan suatu sistem kesehatan dan keselamatan kerja dirumahsakitdengan
melibatkan unsur manajemen, karyawan,kondisidan lingkungan kerja yang
terintegrasidalam rangkamencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat
kerja.

Tahap Penerapan K3-RS

1. Tahap persiapan.
2. Tahap pelaksanaan.
3. Tahap pemantauan dan evaluasi.

 Tahap Persiapan

1. Komitmen manajemen: Kebijakan, penyediaan dana, sarana dan prasarana untuk mendukung
kegiatan K3 RS.
2. Membentuk Unit Organisasi K3 di RS yang terlihat dalam struktur organisasi RS.
Susunan/Organisasi K3-RS

 Susunan Unit K3-RS terdiri dari :


a) Bidang I : Bidang pengamanan peralatan medik, pengamanan radiasi dan limbah radioaktif.
b) Bidang II : Bidang pengamanan peralatan nonmedik, pengamanan dan keselamatan
bangunan.
c) Bidang III : Bidang pengembangan sanitasi sarana kesehatan.
d) Bidang IV : Bidang pelayanan kesehatan kerja dan pencegahan penyakit akibat kerja
e) Bidang V : Bidang pencegahan dan penanggulangan bencana.

 Tugas Unit Organisasi K3-RS


a. Memberi rekomendasi dan pertimbanagan kepada Direktur RS tentang masalah-masalah
yang berkaitan dengan K3-RS.
b. Membuat program K3-RS.
c. Melaksanakan program K3-RS.
d. Melakukan evaluasi program K3-RS.

 Tahap Pelaksanaan

Program K3-RS:
i. Pelaksanaan kesehatan kerja bagi karyawan (prakerja, berkala, khusus).
ii. Upaya pengamanan pasien, pengunjung dan petugas.
iii. Peningkatan kesehatan lingkungan.
iv. Sanitasi lingkungan RS.
v. Pengelolaan dan pengolahan limbah padat, cair, gas.
vi. Pencegahan dan penanggulangan bencana (Disaster program).
vii. Pengelolaan jasa, bahan dan barang berbahaya.
viii. Pendidikan dan pelatihan K3.
ix. Sertifikasi dan kalibrasi sarana, prasarana, dan peralatan RS.
x. Pengumpulan, pengolahan dan pelaporan K3.

 Tahap Pemantauan dan Evaluasi


1. Inspeksi dan audit program K3.

2. Perbaikan dan pengendalian K3 yang didasarkan atas hasil temuan dari audit dan
inspeksi.

3. Rekomendasi dan tindak lanjut hasil evaluasi program K3.

Indikator keberhasilan SM-K3RS

1. Terlaksanakannya program K3-RS.

2. Penurunan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Ruang lingkup K3 di Rumah Sakit

1. Sarana higene yang memantau pengaruh lingkungan kerja terhadap


tenaga kerja antara lain pencahayaan, bising, suhu/iklim kerja.

2. Sarana Keselamatan kerja yang meliputi pengamanan pada peralatan


kerja, pemakaian alat pelindung diri dan tanda/rambu-rambu peringatan
dan alat pemadam kebakaran.

3. Sarana Kesehatan Kerja yang meliputipemeriksaanawal, berkala dan


khusus, gizi kerja, kebersihan diri danlingkungan.

4. Ergonomi yaitu kesehatan antara alat kerja dengan tenaga kerja.

2.2 Ergonomi

I. Pengertian

Ergonomi

Ergonomi berasal dari kata Ergon yang brarti kerja, dan Nomos yang berarti hukum,
sehingga ergonomi merupakan hukum kerja atau aturan-aturan kerja, atau tata cara
untuk melakukan sebuah pekerjaan. secara pengertian bebas sesuai dengan
perkembangannya, yakni suatu aturan atau kaidah yang ditaati dalam lingkungan
pekerjaan. Ditinjau dari fakta historis, ergonomi telah menyatu dengan budaya
manusia sejak zaman megalitik, dalam proses perancangan dan pembuatan benda-
benda seperti alat kerja dan barang buatan sesuai dengan kebutuhan manusia pada
zamannya. Kita dapat mengobservasi benda-benda zaman megalitik,bagaimana m
benda tersebut memberikan informasi implisit mengenai eksistensinya makna fungsi
dan keindahan.

Pengertian ergonomi menurut beberapa ahli berbeda-beda, walaupun mempunyai


makna yang sama, seperti dijelaskan sebagai berikut:

1. Menurut Sajiyo (2008), ergonomi adalah keseimbangan interaksi komulatif


antara pekerja (man), alat kerja (machine), sistem kerja (system), dan
lingkungan kerja (environment) untuk menciptakan suasana kerja yang aman,
Nyaman, Sehat, dan Efisien (ANSE). Yang perlu diperhatikan dalam
menciptakan sistem kerja yang ergonomis adalah 4 (empat) komponen utama
ergonomi yaitu: Man, Machine, System, and Environment (MMSE).
2. Menurut Pulat (1992), ergonomi berasal dari kata Ergon yang berarti kerja, dan
Nomos yang berarti aturan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
ergonomiadalah aturan-aturan, untuk melakukan aktivias kerja
3. MarmaraN.Poulaskakis dan Papakostopulos V (1999), menuliskan Yunani Kuno.
ilmu ergonomi Banyak bukti tampaknya menunjukkan telah diletakkan bahwa
peradaban dalam konteks pada budaya abad ke-5 SM menggunakan prinsip
ergonomi yang tampak dalam desain alat-alat, cara melakukan pekerjaan dan
tempat kerja. Salah satu contoh, dapat ditemukan dalam deskripsi Hippocrates
mengenai bagaimana seorang dokter bedah harus melakukan pekerjaan, maka
perlu dirancang alat yang akan digunakan.
4. Cushman et al (1983), memberikan pengertian ergonomi yang menitikberatkan
pada bagaimana pekerjaan memengaruhi pekerja. Pekerja akan mengalami
perubahan fisiologia selama menghadapi panas, iluminasi, kebisingan, polusi
dan lain-lain. Ergonomi bertujuan untuk mengurangi kelelahan (fatigue), atau
ketidaknyamanan (discomfort). Oleh karena itu, perlu merancang tugas, tempat
kerja dan alat-alat kerja, sesuai dengan kapasitas.

II. Sejarah ergonomi


Ergonomi dipopulerkan pertama kali pada tahun 1949 sebagai judul buku yang
dikarang oleh Prof. Murrel. Istilah ergonomi digunakan secara luas di Eropa. Di
Amerika Serikat dikenal istilah human factoratau human engineering. Kedua istilah
tersebut (ergonomi dan human factor) hanya berbeda pada penekanannya. Intinya
kedua kata tersebut sama-sama menekankan pada performansi dan perilaku manusia.
Menurut Hawkins (1987), untuk mencapai tujuan praktisnya, keduanya dapat
digunakan sebagai referensi untuk teknologi yang sama. Ergonomi telah menjadi
bagian dari perkembangan budaya manusia sejak 4000 tahun yang lalu.
Perkembangan ilmu ergonomi dimulai saat manusia merancang benda-benda
sederhana, seperti batu untuk membantu tangan dalam melakukan pekerjaannya,
sampai dilakukannya perbaikan atau perubahan pada alat bantu tersebut untuk
memudahkan penggunanya. Pada awalnya perkembangan tersebut masih tidak
teratur dan tidak terarah, bahkan kadang-kadang terjadi secara kebetulan.
Perkembangan ergonomi modern dimulai kurang lebih seratus tahun yang lalu pada
saat Taylor (1880-an) dan Gilberth (1890-an) secara terpisah melakukan studi
tentang waktu dan gerakan. Penggunaan ergonomi secara nyata dimulai pada Perang
Dunia I untuk mengoptimasikan interaksi antara produk dengan manusia. Pada tahun
1924 sampai 1930 Hawthorne Works of Wertern Electric(Amerika) melakukan suatu
percobaan tentang ergonomi yang selanjutnya dikenal dengan “Hawthorne Effects”
(Efek Hawthorne). Hasil percobaan ini memberikan konsep baru tentang motivasi di
tempat kerja dan menunjukan hubungan fisik dan langsung antara manusia dan
mesin. Kemajuan ergonomi semakin terasa setelah Perang Dunia II dengan adanya
bukti nyata bahwa penggunaan peralatan yang sesuai dapat meningkatkan kemauan
manusia untuk bekerja lebih efektif. Hal tersebut banyak dilakukan pada perusahaan-
perusahaan senjata perang.

III. Ruang lingkup ergonomi

aktivitas kerja dalama jabatan, di tuntut sesuai kemampuan dan keterbatasan yang
dimiliki para pegawai . oleh karena itu para perancang system pelayanan melakukan
berbagai ananlisis terkait dengan jenis tugas. Gerakan tubuh yang di perlukan dan
batas kemampuan menrima beban. ditinjau dari kepentingan praktis, manejemen
sumber daya manusia di industri adalah sebagai berikut :
1. Menentukan prasyarat terkait dengan ketubuhan calon tenaga kerja.

2. Upaya peningkatan kapasitas ketubuhan pekerja selaras dengan tuntutan kompetensi


kerja, melalui pendidikan dan pelatihan tertentu.

3. Upaya perbaikan kinerja sesuai dengan hasil identifikasi dan penilaian pekerja.

4. Upaya peningkatan kesigapan dan kewaspadaan dalam melaksanakan keselamatan


dan kesehatan kerja.

5. Memelihara fisik dan mental, sebagai sumber dan tujuan kesejahteraan pekerja dalam
upaya pencapaian produktivitas.

Ditinjau dari kepentingan ilmiah yang dapat memberikan kontribusi pada


praksisindustri,melaluipenelitianmencakup hal-hal berikut ini:

1. Penelitian Interface

Interface (perangkat antara), yang mengidentifikasi, menganalisis dan mengkaji


mengenai informasi tentang suatu lingkungan serta mendeskripsikannya dengan
simbol-simbol, tanda-tanda, lambang, dan angka-angka, peta dan variabel
(waktu, jarak) serta konstanta lainnya.

2. Kekuatan Fisik Pekerja

Penelitian tentang aktivitas pelayanan sistem kerja, melalui pengukuran dan


menganalisis gerakan fisik, beban yang diterima dan peralatan yang digunakan
dalam objek pekerjaan. Data-data yang diperoleh, dijadikan bahan perancangan
peralatan kerja sesuai dengan rata-rata kemampuan fisik para pekerja.

3. Dimensi dan Bentuk Tempat Kerja

Penelitian mengenai dimensi dan bentuk ruang tempat kerja, dimensi ukuran
ketubuhan para pekerja, jenis pekerjaan, dan faktor-faktor yang memengaruhi
karakteristik aktivitas kerja.
4. Lingkungan Kerja\Penelitian mengenai kondisi lingkungan tempat kerja, seperti
pengaturan pencahayaan, pengaturan ventilasi udara, dan faktor yang
memengaruhi fisik pekerja, seperti kebisingan, getaran, temperatur dan limbah
cairan kimia.

Ditinjau dari kepentingan pendidikan, pelatihan vokasi dan kejuruan meliputi hal-hal
berikut ini.

1. Merekonstruksi kurikulum sistem pelatihan secara terpadu (kompetensi dan


praktis gerak ergonomi, pada lembaga pendidikan-pelatihan vokasi (kejuruan).

2. Mengembangkan sistem pembelajaran gerak sistemik untuk mempersiapkan


calon tenaga kerja teknik (teknisi, mekanik, dan operator).

3. Mengembangkan teknik gerak sistemik pada mata pelajaran yang menuntut


kemampuan keterampilan teknis dalam menghadapi keragaman jenis pekerjaan
di industri.

4. Mengembangkan dan mengaplikasikan pembiasaan dan budaya kerja


teknikyang sehat dan aman dalam lingkungan kerja.

5.

Harapan praktis dari penerapan ergonomi, adalah sebagai berikut:


1. Tercapainya kesejahteraan fisik dan mental, melalui upaya pencegahan dari cedera
dan bentuk penyakit akibat kerja, secara sinergis, konsisten dan berkesinambungan
antara kebijakan serta aturan pemberi kerja dengan penerima pekerjaan.

2. Tercapainya kesejahteraan sosial dan martabat manusia pekerja, melalui


peningkatan kualitas interaksi sosial sejalan dengan fungsi-fungsi
manajemensumber daya manusia, selaras dengan komitmen dengan jaminan social
bagi pekerja berdasarkan kontinium masa kerja (waktu kerja produktif sampai
pensiun)

3. terciptanya keseimbangan antara tuntutan teknis, ekeonomis system kerja, budaya


kerja, lingkungan kerja dengan faktor keunggulan dan keterbatasan kemanusian
sehingga diperolehnya kualitas kehidupan kerja yang bermusara pada produktivitas
(kuswana, 2013)

IV. Faktor-faktor risiko ergonomi

Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko ergonomi pada tempat
kerja. Beberapa di antaranya adalah:

 Postur tubuh yang buruk. Bekerja dengan postur tubuh yang buruk dapat
menyebabkan tekanan pada tulang belakang dan otot. Hal ini dapat
menyebabkan sakit punggung dan gangguan pada tulang belakang.
 Ketinggian meja dan kursi yang tidak sesuai. Jika meja dan kursi tidak
disesuaikan dengan tinggi tubuh pekerja, maka pekerja akan merasa tidak
nyaman dan memaksakan tubuh mereka untuk menyesuaikan. Ini dapat
menyebabkan gangguan pada otot dan saraf.

 Gerakan yang berulang-ulang. Gerakan yang berulang-ulang, seperti


mengangkat benda berat atau menggunakan mouse secara terus menerus,
dapat menyebabkan kelelahan otot dan gangguan pada saraf
Secara umum terdapat 3 macam cidera yang dapat di sebabkan oleh faktor-
faktor di atas yang dapat berpotensi menimbulkan gangguan pada fisik
pekerja yang bisa menyebabkan kecelakaan kerja diantaranya:

o Cumulative Trauma Disorders (CTD)


Philip Harris, M.D.(2003), menuliskan Cumulative Trauma
Disorders (CTD),(Trauma Gangguan Kumulatif), atau dikenal
sebagai Repetitive Strain Injury (RSI), atau cedera regangan
berulang, didefinisikan sebagai gangguan pada otot, tendon, saraf,
dan pembuluh darah yang disebabkan, atau diperparah oleh
pengerahan tenaga atau gerakan berulang.

o Repetitive Strain Injuries (RSI)


Van Tulder M, Malmivaara A, Koes B (2007), menuliskan bahwa
Repetitive Strain Injury (RSI) adalah istilah umum yang digunakan
untuk merujuk padabeberapa kondisi diskrit yang dapat dikaitkan
dengan tugas yang berulang, pengerahan kekuatan tenaga, getaran,
kompresi mekanik yang berkelanjutan. Contoh; kondisi yang dapat
dikaitkan dengan penyebab tersebut termasuk edema, tendinitis,
carpal tunnel syndrome, cubital tunnel syndrome, de quervain
syndrome, thoracic outlet syndrome, intersection syndrome, golfer's
elbow (medial epicondylitis), tennis elbow (lateral epicondylitis),
trigger finger, radial tunnel syndrome, and focal dystonia.

o Musculoskeletal Disorders (MSDs)


Gangguan muskuloskeletal (MSDs) adalah cedera pada otot, saraf,
tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, atau cakram tulang belakang.
MSDs biasanya hasil dari setiap peristiwa sesaat atau akut (seperti
slip, perjalanan, atau jatuh), selain itu mencerminkan perkembangan
yang lebih bertahap atau kronis.
V. Pengendalian Penyakit akibat kerja dan kecelakaan melalui penerapan
kesehatan dan keselamatan kerja

1. Pengendalian melalui undang-undang, antara lain:

 UU No. 14 tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok petugas kesehatan dan


non kesehatan.
 UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja.
 UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
 Peraturan menteri kesehatan tentang higiene dan sanitasi lingkungan.
 Peraturan penggunaan bahan-bahan berbahaya.
 Peraturan/persyaratan pembuangan limbah, dan lain-lain.

2. Pengendalian melalui administrasi/organisasi, antara lain:

 Persyaratan penerimaan tenaga medis, para medis, dan tenaga non medis yang
meliputi batas umur, jenis kelamin, syarat kesehatan.
 Pengaturan jam kerja, lembur dan shift.
 Menyususn prosedur kerja tetap (SPO) untuk masingmasing unit dan melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaannya.
 Melaksanakan prosedur keselamatan kerja terutama untukpengoperasian alat-alat
yang dapat menimbulkan kecelakaan, dan melakukan pengawasan agar posedur
tersebut dilaksanakan.
 Melaksanakan pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan
mengupayakan pencegahannya.

3, Pengendalian secara teknis, antara lain:


 Subsitusi dari bahan kimia, alat kerja atau proses kerja.
 Isolasi dari bahan-bahan kimia, alat kerja, proses kerja dan petugas kesehatan dan
non kesehatan (penggunaan APD).
 Perbaikan sistem ventilasi, dan lain-lain.

4. Pengendalian melalui jalur kesehatan

Yaitu upaya untuk menemukan gangguan sendiri mungkin dengan cara mengenal
kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada setiap jensi pekerjaan di
unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya gangguan yang sudah ada baik
terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang disekitarnya. Dengan deteksi dini,
maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan dan
mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas masyarakat pekerja. Disini
diperlukan sistem rujukan untuk menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja secara
cepat dan tepat. Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melaui pemeriksaan kesehatan
yang meliputi:

 Pemeriksaan kesehatan awal.


 Pemeriksaan berkala.
 Pemeriksaan khusus

2.3 Beban kerja

I. Pengertian

Beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan
oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu
Sunarso (2010). Permendagri No. 12/2008 menyatakan bahwa beban kerja adalah
besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan
merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Jika kemampuan
pekerja lebih tinggi daripada tuntutan pekerjaan,akan muncul perasaan bosan.
Namun sebaliknya, jika kemampuan pekerja lebih rendah daripada tuntutan
pekerjaan,maka akan muncul kelelahan yang lebih. Beban kerja yang dibebankan
kepada karyawan dapat dikategorikan kedalam tiga kondisi, yaitu beban kerja
yang sesuai standar, beban kerja yang terlalu tinggi (over capacity) dan beban
kerja yang terlalu rendah (under capacity) . Dalam jurnal Hoonaker, dkk (2011)
juga dijelaskan bahwa beban kerja adalah sebuah konsep yang digunakan untuk
menjelaskan sejauh mana seorang operator telah menggunakan kemampuan fisik
dan mentalnya untuk menyelesaikan sebuah tugas. Beban kerja itu sendiri
dipengaruhi oleh tuntutan eksternal sebuah pekerjaan, lingkungan, faktor
organisasi dan psikologis, dan sebagainya.

Beban kerja sebagai konsep yang muncul akibat keterbatasan kapasitas


pemrosesan informasi. Ketika dihadapkan pada suatu tugas, individu diharapkan
dapat menyelesaikan tugas tersebut pada tingkat tertentu.Mengingat bahwa
pekerjaan manusia bersifat mental dan fisik, masing-masing memiliki ketegangan
yang berbeda.Oleh karena itu perlu diupayakan intensitas beban yang optimal
yaitu antara dua ekstrim tersebut dan tentunya bervariasi antara satu orang dengan
orang lainnya.Sebaliknya, untuk pekerja angkat dan angkut manual, intensitas
stres fisiknya tinggi dan intensitas stres mentalnya bisa sangat rendah.

II. Dimensi beban kerja


Dalam metode SWAT (subjective workload assesment technique) performa kerja
manusia terdiri dari tiga dimensi ukuran beban kerja yang dihubungkan dengan
performasi, yaitu :
1) Beban waktu (time load)
2) Beban usaa mental (mental effort load)
3) Beban tekanan psikologis (psychological stress load
Berdasarkan definisi-definisi di atas terlihat bahwa pengertian beban kerja terkait
dengan (empat) aspek yaitu:
1) Aspek tugas-tugas yang harus dikerjakan.
2) Aspek seorang atau sekelompok orang yang mengerjakan tugas-tugas tersebut.
3) Aspek waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas tersebut.
4) Aspek keadaan/kondisi normal pada saat tugas-tugas tersebut dikerjakan.

III. Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja:

1. Faktor eksternal Mengenai faktor eksternal yang memengaruhi beban kerja dan
kapasitas kerja, Mullins dan Christy (2016) menyatakan bahwa, peningkatan daya
saing bisnis, globalisasi, pergeseran pasar tenaga kerja, kemajuan teknologi yang
cepat, pergerakan menuju pasar yang lebih digerakkan oleh pelanggan, masyarakat,
dan tuntutan keseimbangan kerja/kehidupan telah menyebabkan periode perubahan
konstan dan kebutuhan akan fleksibilitas organisasi yang lebih besar. Kombinasi dari
pengaruh-pengaruh ini mengubah cara kita hidup dan bekerja. Hal ini jelas memiliki
implikasi signifikan bagi manajemen dan perilaku organisasi. Oleh karena itu,
penting dipahami bagaimana fungsi organisasi dan pengaruh luas terhadap perilaku
dan tindakan orang. (Marhaendra, 2022)

Beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti :


a) Tugas (Task). Meliputi tugas bersifat seperti, stasiun kerja, tata ruang tempat kerja,
kondisi ruang kerja, kondisi lingkungan kerja, sikap kerja, cara angkut, beban yang
diangkat. Sedangkan tugas yang bersifat mental meliputi, tanggung jawab,
kompleksitas pekerjaan, emosi pekerjaan dan sebagainya.
b) Organisasi kerja. Meliputi lamanya waktu kerja, waktu istirahat, shift kerja, sistem
kerja dan sebagainya.
c) Lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini dapat memberikan beban tambahan yang
meliputi, lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja miniawi,lingkungan kerja bioligis
dan lingkungan kerja psikologis.
2. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat
dari reaksi beban kerja eksternal yang berpotensi sebagai stresor, meliputi faktor
somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan, dan
sebagainya), dan faktor psiksi (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan,
dan sebagainya).

IV. Beban kerja fisik


Beban kerja fisik secara umum dapat digambarkan sebagai kerja seluruh tubuh, dan kerja
bagian tubuh tertentu (setempat). Kerja seluruh tubuh berkenaan dengan beban dinamis
terhadap sebagian besar kelompok otot, hal ini akan menyebabkan peningkatan kebutuhan
asupan oksigen seseorang. Di sisi lain kerja bagian tubuh tertentu (setempat), sering dikaitkan
dengan beban rendah kontinu pada sekelompok kecil otot tertentu yang membutuhkan
kemampuan seseorang untuk mengembangkan dan mempertahan ketegangan ototnya. Oleh
karena itu, menurut Ahsberg (1998), evaluasi kerja seluruh tubuh, yang kemudian dipadankan
dengan sebagian tubuh tertentu (setempat) kurang dapat diterima, meskipun hal tersebut
diketahui akan mengacu pada kelelahan substansif. Mekanisasi telah mengurangi tuntutan
kerja pada manusia, hal ini terjadi di berbagai negara di dunia. Meskipun, pekerjaan fisik
yang berat masih berlaku pada bagian pertanian dan kehutanan. Tuntutan tenaga kerja yang
tetap kebanyakan terjadi di pertambangan, penangkapan ikan di laut dalam, konstruksi
bangunan, dan di beberapa industri; itu bahkan ada dalam pekerjaan terbaru, misalnya, dalam
penanganan bagasi oleh personel maskapai penerbangan. Periode-periode tuntutan berat
dapat berganti-ganti dengan masa tugas yang singkat (Kroemer, 2017).

Tekanan darah, yang pada umumnya dikenal sebagai denyut nadi, berkaitan dengan
kemampuan jantung memompa darah untuk sirkulasi oksigen, yang dibutuhkan
untukmembakarkalorigunamenghasilkan energi. Mengenai kebutuhan kalori berdasarkan
beban kerja, di Indonesia telah ada ketentuannya, yakni berdasarkan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-51/MEN/1999, tentang Nilai AmbangBatas
Faktor Fisika di Tempat Kerja, telah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) Iklim Kerja
berdasarkan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang diperkenankan. Kerja keras adalah
aktivitas yang secara intens menggunakan otot rangka. Ini dapat mengubah energi kimia
menjadi kerja (energi fisik) dengan menggerakkan segmen tubuhmelawan hambatan internal
dan eksternal. Dari istirahat, otot dapat meningkatkan generasi energinya hingga 50 kali lipat.
Variasi yang sangat besar dalam laju metabolisme tidak hanya membutuhkan adaptasi cepat
pasokan nutrisi dan oksigen ke otot, tetapi juga menghasilkan sejumlah besar produk limbah
internal, yang perlu dihilangkan. Aliran darah, ditenagai oleh jantung, menyediakan sarana
transportasi untuk suplai dan pengeluaran (Kroemer, 2017). Semakin besar tenaga yang
dikerahkan, semakin cepat kerja jantung memompa aliran darah ke seluruh tubuh. Secara
umum, pekerjaan berat ditandai dengan aktivitas otot yang luas dalam aktivitas tugas yang
sangat fisik (Bush, 2011). keputusan tersebut ditetapkan pula kalori untuk tiap kategori beban
kerja. Untuk beban kerja ringan 100 - 200 kalori/jam; beban kerja sedang 200 - 350 Kilo
kalori/jam; dan beban kerja 350 - 500 Kilo kalori/jam.

Pengaturan waktu kerja setiap jam ISSB (0)


Ringa Beban
Berat
Waktu Kerja Waktu Istirahat n Kerja
Sedang
Bekerja 30,0 26,7 25,0
terus -menerus
(8
jamhari)
75% kerja 25% istirahat 30,6 28,0 25,9

kerja 50% istirahat 31,4 29,4 27,9

25% kerja 75% istirahat 32,2 31,1 30,0

SUMBER: SK. Menteri Tenaga Kerja RI. Nomor: KEP-51/MENI/1999

V. Beban Kerja Mental


Beban kerja mental yang berkaitan dengan ketegangan (stress) dan kelelahan secara
umum digambarkan dengan kelebihan beban (overload), dan kekurangan beban
(underload). Karena secara kualitatif dinyatakan dengan overload, maka mengacu
pada metode kompleks yang tidak dikenal sebelumnya, yakni keadaan bekerja terlalu
lama atau terlalu sering mengerjakan tugas tertentu. Sedangkan underload umumnya
mengacu pada kerja monoton atau selain dari itu adalah mengerjakan pekerjaan
repetitif (Frankenhaeuser dan Johansson, 1981).

Menurut Sluiter dalam (Anwar and Mutiara 2015) beban kerja mental adalah usaha
yang dilakukan oleh pikiran dalam melakukan suatu tugas yang memerlukan input-
input secara kognitif termasuk konsentrasi, ingatan, pengambilan keputusan ataupun
perhatian. Beban kerja mental yang tinggi dapat disebabkan oleh besarnya aktivitas
beban kerja mental seperti besarnya konsentrasi yang dibutuhkan dalam bekerja,
melakukan pekerjaan yang sama selama berjam-jam (tekanan waktu), serta tingkat
ketelitian yang tinggi. Menurut Henry R. Jex (1998) beban kerja mental yaitu selisih
antara tuntutan beban kerja dari suatu tugas dengan kapasitas maksimum beban
mental seseorang dalam kondisi termotivasi. Ada beberapa gejala yang merupakan
dampak dari kelebihan beban mental berlebih, seperti yang diterangkan oleh Hancock
dan Meshkati (1988), yaitu:

A. Gejala fisik Sakit kepala, sakit perut, mudah terkejut, gangguan pola tidur lesu,
kaku leher belakang sampai punggung, napsu makan menurun dan lain-lain.
B. Gejala mental Mudah lupa, sulit konsentrasi, cemas, was-was, mudah marah,
mudah tersinggung, gelisah, dan putus asa.
C. Gejala sosial atau perilaku Banyak merokok, minum alkohol, menarik diri, dan
menghindar.

Namun demikian, kapasitas mental berubah seiring bertambahnya usia (meningkat


maupun menurun, tergantung pada pelatihan dan faktor genetik),dankemampuan
kognitif manusia adalah kombinasi dari keterampilan, pengalaman, pengenalan pola,
perharian, ingatan, kemampuan untuk fokus, harapan, asosiasi, generalisasi, dan
kemampuan untuk mengurutkan informasi ke dalam kategori. Tentu saja,
kesejahteraan fisik dapat berdampak signifikan pada kemampuan ini. Jika melakukan
tugas-tugas kerja yang intensif secara mental ketika lelah, terlalu terstimulasi, stres,
secara emosional atau terpengaruh secara kimiawi, khawatir, tertekan atau lapar, otak
kita mungkin berpindah dari mode pemikiran berfungsi tinggi (perencanaan,
penalaran, evaluasi) ke mode survival (tindakan naluriah, cepat untuk menghindari
bahaya atau ketidaknyamanan), yang mungkin paling buruk menghasilkan efek
negatif mulai dari kesalahan kecil hingga kecelakaan fatal (Berlin dan Adams, 2017).

Suatu model ketegangan kerja yang telah dikenal baik adalah seperti disampaikan
oleh Karasek (1979), yang menyatakan bahwa ketegangan mental adalah hasil dari
adanya "tuntutan kerja" (work demand) dan "ketentuan kerja" (work decission
latitude). Dengan adanya tuntutan kerja yang telah ditentukan tersebut, menurut
Ahsberg (1998), akhirnya memberikan kemungkinan kepada pekerja untuk
memutuskan bagaimana caranya menghadapi tuntutan tersebut. Model lain yang juga
penting dikemukakan di sini adalah bahwa beban kerja mental berkaitan erat dengan
tiga faktor yaitu: waktu beban (lama terbeban), daya mental, dan stres psikologis
(Reid dan Nygren, 1988).

VI. Hubungan ergonomi dan beban kerja yang memperngaruhi Kesehatan


perawat

diantara beban kerja fisik maupun beban kerja mental dan berbagai hal yang dapat diterima
oleh perawat saat melakukan pekerjaanya yang bsia mempengaruhi seacara psiko dan bio.
Beban kerja fisik maupun beban kerja mental sangat erat kaitannya dengan kajian ergonomi.
Dari sudut pandang ergonomi, beban kerja fisik masuk dalam dimensi ergonomi fisik
sedangkan beban kerja mental masuk dalam dimensi ergonomi kognitif. ergonomi berkenaan
dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan manusia di tempat kerja,
ergonomi adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan pekerjaan,
dengan segala aspek dan ruang lingkupnya. Pekerjaan yang tidak ergonomis akan
menyebabkan ketidaknyamanan, biaya tinggi, penurunan performa, efisiensi, daya kerja dan
kecelakaan. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus
selalu seimbang sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan
tugas tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload)
karena keduanya menyebabkan stres.dan meminimalisir terjadinya kecelakaan di tempat kerja
terutama di rumah sakit yang bisa berimbas tidak hanya pada perawat tapi juga pada pasien.

VII. Kerangka teori

a) system
kebijakan/SOP beban kerja :
Kesehatan
di ruangan  fisik perawat
b) penerapan  mental
ergonomi
c) karakteristik
demografi :
 usia
 jenis
 kelamin
 pengetahuan

Anda mungkin juga menyukai