Anda di halaman 1dari 173

BAB 2

MODEL PEMBELAJARAN

Afifah Wardah dan Annisa Akhwani Sofian

A. PENDAHULUAN

Perkembangan zaman menuntut berbagai kemajuan di semua bidang. Oleh karena itu, bidang

pendidikan pun harus ikut berbenah. Salah satu bagian di bidang pendidikan yang harus berbenah adalah

kelas. Kelas merupakan entitas kecil dalam bidang pendidikan yang justru menjadi ujung tombak. Namun,

proses transfer pengetahuan tersebut dapat terganggu jika model penyampaian yang digunakan tidak pas,

bahkan monoton. Model yang tidak pas dan monoton akan menyebabkan ilmu yang disampaikan tidak

dapat dipahami dengan baik. Bahkan, peserta didik akan merasa bosan di dalam kelas. Jika hal ini tidak

segera dicarikan jalan keluar, prestasi dan penyerapan ilmu peserta didik pun akan menurun. Keadaan ini

tentu bukan hal yang diharapkan oleh pendidik maupun para peserta didik. Oleh karena itu, upaya

perbaikan dalam pembelajaran bukan lagi sebuah keharusan, melainkan sebuah kebutuhan.

B. MACAM-MACAM MODEL PEMBELAJARAN

1. Model Bermain Peran (Role Playing)

Model bermain peran (role playing) dikembangkan oleh Fannie Shaftel dan George Shaftel. Bermain

peran merupakan suatu model pembelajaran, dimana peserta didik diminta untuk memainkan peran

tertentu, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Dalam pengertian yang sederhana,

bermain peran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan tindakan (action) (Sutikno,

2019) .

Tujuan model pembelajaran bermain peran atau “role playing” menurut Joyce & Weil (dalam Sutikno,

2019) adalah mendorong peserta didik untuk memiliki rasa ingin tahu mengenai nilai-nilai perseorangan

dan nila-nilai sosial dengan tingkah laku dan nilai-nilai mereka sendiri sebagai sumber rasa ingin tahu

mereka. Pengalaman belajar yang diperoleh dari model ini meliputi kemampuan kerjasama, komunikatif,

dan meng- interpretasikan suatu kejadian.

Inti bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat ke dalam suatu

situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Menurut Dahlan (dalam Sutikno, 2019) para peserta didik
diharapkan dapat: (a) Mengeksplorasi perasaan-perasaannya; (b) Memperoleh gambaran tentang

sikap-sikap, nilai-nilai, dan persepsi- persepsinya; (c) Mengembangkan keterampilan dan sikap-sikap

dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi; dan (d) Mengeksplorasi pokok persoalan, yakni yang

diperankan melalui berbagai cara. Menurut Sa’dyah (2018) bermain peran (Role Playing) dalam

pembelajaran dapat dilakukan dengan sembilan langkah berikut, yaitu:

a. Warming up atau pemanasan, yaitu peserta didik diperkenalkan dengan situasi atau kondisi peran

tertentu yang disertai dengan contoh, sehingga peserta didik tersebut mendapatkan gambaran

imajinasi.

b. Pemilihan pemeran, yaitu peserta didik diberi karakter tokoh yang akan dimainkan. Pada langkah

kedua ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Apabila peserta didik dalam kelas tersebut pasif, maka

pengajar dapat menentukan siapa berperan sebagai siapa atau apa. Tetapi, apabila peserta didik dalam

sebuah kelas telah mampu untuk menentukan perannya, maka pengajar memberikan kebebasan

kepada peserta didik untuk memilih dan memerankan peran masing-masing sesuai kesepakatan

mereka dengan anggota kelas yang lain.

c. Penataan panggung, yaitu panggung dapat ditata secara sederhana maupun kompleks. Konsep

kesederhanaan adalah cukup mempersiapkan naskah skenario, bahkan tanpa dialog. Sedangkan

penataan panggung yang kompleks cenderung memperhatikan kebutuhan pentas secara detail, seperti

kebutuhan kostum para pemeran.

d. Pemilihan pengamat, yaitu pengajar memilih beberapa peserta didik menjadi pengamat. Peserta didik

yang dijadikan sebagai pengamat juga tetap diberi peran dalam permainan.

e. Mulainya permainan peran yaitu permainan peran dilaksanakan. Awal permainan, akan ditemukan

kebingungan pada peserta didik dalam bermain. Apabila terjadi keluar jalur dari permainan, maka

pengajar dapat mengingatkan, bahkan menghentikan permainan.

f. Evaluasi yaitu pengajar dan peserta didik mendiskusikan kelebihan serta kekurangan dari permainan

peran yang sudah dilakukan, misalkan adanya peserta didik yang menginginkan berganti peran.

Apapun hasil dari evaluasi tidak menjadi problem.

g. Permainan peran ulang. yaitu peserta didik bermain kembali dan seharusnya sudah sesuai dengan

skenario yang ada.

h. Diskusi dan evaluasi, yaitu mengarah pada hal-hal yang realistis..

i. kesimpulan, yaitu peserta didik diarahkan untuk membuat kongklusi dari peran yang telah dimainkan.
Hal ini dilakukan untuk memberikan arahan sikap yang seharusnya dilakukan para pemeran dalam

dunia nyata dan menjadi pengalaman tersendiri bagi peserta didik.

2. Model Investigasi Kelompok (Group Investigation)

Model investigasi kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan John Dewey. Model ini mengambil

model yang berlaku di dalam masyarakat, terutama mengenai cara anggota masyarakat melakukan proses

mekanisme sosial melalui serangkaian kesepakatan sosial. Model ini menuntut para peserta didik untuk

memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan

proses kelompok (Sutikno, 2019)

Tujuan model investigasi kelompok adalah untuk mengembangkan kemampuan berpartisipasi dalam

proses sosial demokratis dengan mengkombinasikan perhatian-perhatian pada kemampuan antarpersonal

(kelompok) dan kemampuan rasa ingin tahu yang akademis. Aspek-aspek dari pengembangan diri

merupakan hasil perkembangan yang utama dari model ini. Model investigasi kelompok diasumsikan

bahwa suasana kelas merupakan analogi dari kehidupan masyarakat yang di dalamnya memiliki tata

tertib dan budaya kelas. Peserta didik berusaha untuk memelihara cara hidup yang berkembang di kelas,

yakni standar hidup dan pengharapan yang tumbuh dalam suasana kelas (Sutikno, 2019).

Langkah-langkah menerapkan model pembelajaran Group investigation ada 6 tahap yaitu: pembentukan

kelompok, menentukan tema yang akan di bahas, melakukan investigasi, membuat laporan tertulis,

presentasi kelompok, dan evaluasi atau penilaian.

3. Model VCT

Model VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan

menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses

menganalisis nilai yang sudah ada sebelumnya dan tertanam dalam diri siswa. Salah satu karakter VCT

sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui

proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan

nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan (Nurdyansyah dan Fahyuni, 2016).

Model pembelajaran VCT adalah teknik pengajaran untuk mencari dan menentukan nilai yang

dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses pengungkapan nilai yang sudah ada

pada diri peserta didik dan selanjutnya nilai yang dianggap baik tersebut akan ditanamkan pada diri
peserta didik. Sintaks model pembelajaran VCT terbagi atas tujuh tahapan yang dibagi dalam tiga tingkat,

yakni.

a. Kebebasan memilih, pada tingkatan ini terdapat tiga tahapan, yaitu: (1) memilih secara bebas, artinya

peserta didik diberi kesempatan untuk menentukan suatu masalah/kasus/ kejadian yang diambil dari buku

atau yang dibuat guru; (2) memilih dari beberapa solusi alternative pilihan secara bebas yang menurutnya

baik, nilai yang dipaksakan berdampak kurang baik bagi pembelajaran nilai itu sendiri; dan (3) memilih

setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.

b. Menghargai, tingkatan ini terdiri atas dua tahap pembelajaran, yaitu: (1) adanya perasaan senang dan

bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya sehingga nilai tersebut menjadi bagian dari dirinya; dan (2)

menegaskan nilai yang telah menjadi integral dalam dirinya di depan umum.

c. Berbuat, tingkatan ini terdiri atas dua tahap, yaitu: (1) kemauan dan kemampuan untuk mencoba

melaksanakannya; dan (2) mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi

pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-hari (Nurdyansyah dan Fahyuni, 2016).

4. Model Jingsaw

Model kooperatif Jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan

mengolah informasi yang didapar dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota

kelompok bertanggung jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang

dipelajari dan dapat menyampaikan informasi kepada kelompok lain. Lie (dalam Nurdyansyah dan

Fahyuni, 2016) menyatakan bahwa Jigsaw merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang

fleksibel. Model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang

terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian

materi belajar dan mampu mengerjakan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya

(Alkaromi, 2022).

Model pembelajaran kooperatif model Jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang

menitikberatkan pada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil. Menurut Rusman (dalam

Alkaromi, 2022) langkah - langkah / sintak dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yakni:

Membentuk kelompok heterogen yang beranggotakan 4 – 6 orang, tiap orang dalam kelompok diberi sub

topik yang berbeda, setiap kelompok membaca dan mendiskusikan sub topik masing-masing dan

menetapkan anggota ahli yang akan bergabung dalam kelompok ahli, anggota ahli dari masing- masing
kelompok berkumpul dan mengintegrasikan semua sub topik yang telah dibagikan sesuai dengan

banyaknya kelompok, kelompok ahli berdiskusi untuk membahas topik yang diberikan dan saling

membantu untuk menguasai topik tersebut, setelah memahami materi, kelompok ahli menyebar dan

kembali ke kelompok masing-masing, kemudian menjelaskan materi kepada rekan kelompoknya, tiap

kelompok memperesentasikan hasil diskusi, guru memberikan tes individual pada akhir pembelajaran

tentang, materi yang telah didiskusikan dan evaluasi.

5. Model Student Team Achievement Division (STAD)

STAD adalah salah satu dari tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan adanya kerjasama siswa

secara berkelompok dalam memecahkan suatu masalah untuk mencapai tujuan belajar. Pembelajaran

dengan model STAD mampu menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan

bagi siswa selama proses pembelajaran. Pembelajaran yang demikian akan mampu membangkitkan

semangat bagi siswa untuk belajar sehingga akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar siswa

yang optimal (Syamsu dkk., 2019). Menurut Nurdyansyah dan Fahyuni (2016) sintaks model Student Team

Achievement Division (STAD) yaitu sebagai berikut:

1. Penyampaian Tujuan dan Motivasi yaitu menyampaikan tujuan yang ingin dicapai pada pembelajaran

tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar.

2. Pembagian kelompok, yautu siswa dibagi dalam beberapa kelompok, di mana setiap kelompoknya

terdiri dari 4-5 siswa yang memprioritaskanheterogenitas (keragaman) kelas dalam prestasi akademik,

gender/jenis kelamin, rasa atau etnik.

3. Presentasi guru, yaitu guru menyampaikan materi pelajaran terlebih dahulu menjelaskan tujuan

pelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan tersebut serta pentingnya pokok bahasan tersebut dipelajari.

Guru memberi motivasi siswa agar dapat belajar dengan aktif dan kreatif. Pada proses pembelajaran guru

dibantu oleh media, demonstrasi, pertanyaan atau masalah nayta yang terjadi dalam kehidupan sehari-

hari.

4. Kegiatan Belajar dalam Tim (Kerja Tim) yaitu siswa belajar dalam kelompok yang telah dibentuk.

Guru menyiapkan lembaran kerja sebagai pedoman bagi kerja kelompok, sehingga semua anggota

menguasai dan masing-masing memberikan kontribusi. Selama tim bekerja, guru melakuakn pengamatan,

memberikan bimbingan, dorongan dan bantuan bila diperlukan. Kerja tim ini merupakan ciri terpenting

dari STAD.
5. Kuis (Evaluasi), yaitu guru mengevaluasi hasil belajar melalui pemberian kuis tentang materi yang

dipelajari dan juga melakukan penilaian terhadap presentasi hasil kerja masing-masing kelompok.

6. Penghargaan Prestasi Tiim, yautu setelah pelaksanaan kuis, guru memeriksa hasil kerja siswa dan

diberikan angka dengan rentang 0-100.

6. Model Discovery Learning

Discovery Learning adalah belajar yang terjadi sebagai hasil dari siswa memanipulasi, membuat

struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ia menemukan informasi baru

(Mukaramah, dkk. 2020). Discovery learning adalah proses mental di mana siswa mampu mengasimilasikan

konsep atau prinsip. Proses mental ini mencakup hal-hal seperti mengamati, mencerna, mengerti,

membedakan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya.

Menurut Darmawan dan Dinn (2018) discovery learning merupakan proses pembelajaran yang mampu

menempatkan peran kepada siswa sehingga ia lebih mampu menyelesaikan permasalahan yang ada sesuai

dengan materi yang dipelajarinya serta sesuai dengan kerangka pembelajaran yang disuguhkan oleh guru.

Sedangkan menurut Hanida,dkk (2019) discovery learning adalah model pembelajaran kognitif yang

menuntut guru untuk mampu menciptakan situasi belajar yang kreatif sehingga siswa menjadi belajar aktif

menemukan pengetahuan sendiri.

Discovery learning method adalah gaya belajar aktif dan langsung yang dikembangkan oleh Jerome

Bruner pada tahun 1960-an. Bruner menekankan bahwa belajar itu harus sambil melakukan atau learning

by doing (Khasinah.2021). Metode ini, peserta didik tidak hanya menerima pengetahuan secara pasif, tetapi

juga berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Discovery Learning adalah metode pendidikan

umum yang memungkinkan pengembangan pembelajaran konstruktivis dalam lingkungan belajar

berbasis sekolah. Bruner berpendapat bahwa, praktik menemukan sendiri mengajarkan seseorang untuk

memperoleh informasi dengan cara yang membuat informasi itu lebih siap digunakan dalam pemecahan

masalah.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery learning adalah model

untuk mengembangkan cara aktif untuk siswa belajar dengan menemukan sendiri dan menyelidiki sendiri.

Hasil dari proses ini akan melekat dan tidak dapat dilupakan oleh siswa, dan siswa akan belajar berpikir

analitik dan mencoba memecahkan masalah sendiri.

Karakteristik yang paling penting dari pembelajaran discovery learning adalah bahwa peserta didik
harus menghasilkan unit dan struktur pengetahuan abstrak (seperti konsep dan aturan) menggunakan

penalaran induktif mereka sendiri tentang materi pembelajaran non-abstrak. Berikut adalah karakteristik

model pembelajaran Discovery Learning (Pranoto.2021):

a. 1. Mengeksplorasi serta memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabung, serta untuk

membentuk suatu pemahaman atau pengetahuan

b. 2. Berpusat pada peserta didik

c. 3. Pada struktur kegiatannya bertujuan untuk menggabungkan pengetahuan yang sudah ada

dengan pengetahuan baru.

d. 4. Mampu mendorong peserta didik untuk lebih memiliki kemandirian dan juga punya inisiatif

sendiri untuk belajar

e. 5. Memberikan siswa kebebasan dalam hal menemukan namun tidak lari dengan topik materi

f. Mendorong minat siswa dalam keinginan mengetahui lebih banyak

g. Peserta didik dinilai melalui kinerja yang dia lakukan

Adapun tujuan model pembelajaran Discovery Learning menurut Nababan dkk., (2023):

1. Pada kegiatan penyelidikan ataupun penemuan siswa mempunyai kesempatan supaya terlibat dalam

proses pembelajaran.

2. Melalui penemuan yang telah dilakukan, peserta didik belajar menemukan pola dalam situasi konkret

dan juga abstrak.

3. Peserta didik belajar merumuskan strategi tanya jawab yang konkret dan mudah dipahami melalui

penggunaan metode tanya jawab untuk memperoleh pengetahuan baru.

4. Pembelajaran melalui penemuan mampu membantu peserta didik dalam membentuk cara bekerja sama

dengan efektif, saling memberi informasi, mampu mendengar pendapat orang lain.

5. Keterampilan-keterampilan, konsep, serta prinsip yang dipelajari akan lebih bermakna jika dilakukan
melalui penemuan-penemuan oleh peserta didik.

6. Keterampilan yang dipelajari mampu dilakonkan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Prihatin, (2019) macam-macam model pembelajaran Discovery Learning yaitu:

1. Discovery Learning Murni

Pada pembelajaran dengan dicovery learning murni pembelajaran terpusat pada siswa dan tidak

terpusat pada guru. Siswalah yang menentukan tujuan dan pengalaman belajar yang diinginkan, guru

hanya memberi masalah dan situasi belajar kepada siswa. Siswa mengkaji fakta atau relasi yang terdapat

pada masalah itu dan menarik kesimpulan (generalisasi) dari apa yang siswa temukan. Kegiatan
penemuan ini hampir tidak mendapatkan bimbingan guru.

2. Discovery Learning Terbimbing

Pada pengajaran dengan discovery learning terbimbing, guru mengarahkan tentang

materi pelajaran. Bentuk bimbingan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, arahan, pertanyaan atau

dialog, sehingga diharapkan siswa dapat menyimpulkan (menggeneralisasikan) sesuai dengan rancangan

guru. Generalisasi atau kesimpulan yang harus ditemukan oleh siswa harus dirancang

secara jelas oleh guru.

3. Discovery Learning Laboratory

Discovery Learning Laboratory adalah penemuan yang menggunakan objek langsung (media konkrit)

dengan cara mengkaji, menganalisis, dan menemukan secara induktif, merumuskan dan membuat

kesimpulan. Penemuan Laboratory dapat diberikan kepada siswa secara individual atau kelompok.

Penemuan Laboratory dapat meningkatkan keinginan belajar siswa, karena belajar melalui berbuat

menyenangkan bagi siswa yang masih berada pada usia senang bermain. Langkah-langkah atau sintaks

pada model pembelajaran Discovery Learning dijelaskan pada tabel 2.1 yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1 Langkah dan kegiatan pembelajaran metode Discovery Learning

No Sintaks Kegiatan Pembelajaran

1 Stimulation Pada tahap ini peserta didik diberikan

(Pemberian rangsangan) permasalahan yang belum ada solusinya

sehingga memotivasi mereka untuk

menyelidiki dan menyelesaikan masalah

tersebut. Pada tahap ini, guru memfasilitasi

mereka dengan memberikan pertanyaan,

arahan untuk membaca buku atau teks, dan

kegiatan belajar yang mengarah pada kegiatan

discovery sebagai persiapan identifikasi

masalah.

2 Problem statement Peserta didik diberikan kesempatan untuk

(Identifikasi masalah) mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah

yang berkaitan dengan bahan ajar, kemudian


salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam

bentuk hipotesis atau jawaban sementara

untuk masalah yang ditetapkan

3 Data collection Selanjutnya, peserta didik melakukan

(Pengumpulan Data) eksplorasi untuk mengumpulkan data atau

informasi yang relevan dengan cara membaca

literatur, mengamati objek, mewawancarai

nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan

lainnya. Peserta didik juga berusaha menjawab

pertanyaan atau membuktikan kebenaran

hipotesis.

4 Data Processing Peserta didik melakukan kegiatan mengolah

(Pengolahan Data) data atau informasi yang mereka peroleh pada

tahap sebelumnya lalu dianalisis dan

diinterpretasi. Semua informasi baik dari hasil

bacaan, wawancara, dan observasi, diolah,

diklasifikasi, ditabulasi, bahkan jika

dibutuhkan dapat dihitung dengan cara

tertentu serta ditafsirkan pada tingkat

kepercayaan tertentu.

5 Verification Peserta didik melakukan verifikasi secara

(Pembuktian) cermat untuk menguji hipotesis yang

ditetapkan dengan temuan alternatif,

dihubungkan dengan hasil data processing.

Tahapan ini bertujuan agar proses belajar

berjalan dengan baik dan peserta didik

menjadi aktif dan kreatif dalam memecahkan

masalah.

6 Generalization Tahap terakhir adalah proses menarik


(Menarik kesimpulan) kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip

umum dan berlaku untuk semua kejadian atau

masalah yang sama, dengan memperhatikan

hasil verifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi

maka dirumuskan prinsip-prinsip yang

mendasari generalisasi.

Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Discovery Learning tercantum pada tabel 2.2 yaitu sebagai
berikut:
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Discovery Learning
No Kelebihan Kekurangan
1 Membantu peserta didik untuk memperbaiki Bagi peserta didik yang pengetahauanya di
dan meningkatkan bawah rata-rata, akan mengalami kesulitan
keterampilan-keterampilan dan proses-proses berpikir atau mengungkapkan hubungan antara
kognitif. konsep-konsep yang tertulis atau lisan.
2 Pengetahuan yang diperoleh melalui model Model ini tidak efisien untuk mengajar jumlah
ini sangat pribadi dan ampuh karena peserta didik yang banyak, karena
menguatkan pengertian, ingatan, dan membutuhkan waktu yang lama untuk
transfer. membantu mereka menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya.
3 Menimbulkan rasa senang pada peserta didik, Model pembelajaran penemuan discovery learning

karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,

berhasil. sedangkan mengembangkan aspek konsep,

keterampilan dan emosi secara keseluruhan

kurang mendapat perhatian.

4 Berpusat pada peserta didik dan guru Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA

berperan sama-sama aktif mengeluarkan kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang

gagasan-gagasan. dikemukakan oleh para peserta didik.

5 Membantu dan mengembangkan ingatan dan Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan

transfer kepada situasi proses belajar yang untuk berpikir yang akan ditemukan oleh

baru. peserta didik karena telah dipilih terlebih dahulu

oleh guru.

6 Mendorong peserta didik berpikir dan

bekerja atas inisiatif sendiri.


7 Mendorong peserta didik berpikir intuisi dan

merumuskan hipotesis sendiri.

8 Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan

individu.

7. Model Inkuiri Terbimbing

Inkuiri Terbimbing merupakan suatu model yang menuntun siswa dalam mengembangkan

kemampuan berpikir dan menekankan sikap ilmiah. Inkuiri terbimbing memberikan bimbingan dan

pengarahan yang cukup luas. Bimbingan lebih banyak diberikan pada tahap awal dan sedikit demi sedikit

dikurangi sesuai dengan perkembangan pengalaman siswa. Inkuiri terbimbing berorientasi pada aktivitas

kelas yang berpusat pada siswa dan memungkinkan siswa belajar memanfaatkan berbagai sumber belajar

yang tidak hanya menjadikan guru sebagai sumber belajar (Nurdyansyah dan Fahyuni, 2016).

Siswa tidak hanya dituntut agar menguasai materi pelajaran, tetapi bagaimana siswa dapat

menggunakan kemampuan yang dimilikinya secara optimal. Siswa secara aktif akan terlibat dalam proses

mentalnya melalui kegiatan pengamatan, pengukuran, dan pengumpulan data untuk menarik suatu

kesimpulan. Dalam proses pembelajaran siswa secara aktif yaitu melalui dari perencanaan, pelaksanaan,

sampai proses evaluasi. Dengan menerapkan pembelajaran berbasis inkuiri akan memacu keingintahuan

siswa dalam menemukan hal-hal yang ingin diketahui siswa (Nurdyansyah dan Fahyuni, 2016). Menurut

Nurdyansyah dan Fahyuni (2016) sintaks model inkuiri terbimbing disajikan dalam tabel 2 yaitu sebagai

berikut:

Tabel 2.3 Sintaks Model Inkuiri Terbimbing

Fase Aktivitas Guru

Identifikasi masalah dan Guru menyajikan kejadian-kejadian atau fenomena dan siswa

melakukan pengamatan melakukan pengamatan yang memungkinkan siswa

menemukan masalah.

Mengajukan pertanyaan Guru membimbing siswa mengajukan pertanyaan berdasarkan

kejadian dan fenomena yang disajikan.

Merencanakan penyelidikan Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kecil

heterogen, membimbing siswa untuk merencanakan


penyelidikan, membantu menyiapkan alat dan bahan yang

diperlukan dan menyusun prosedur kerja yang tepat.

Mengumpulkan data dan Guru membimbing siswa melaksanakan penyelidikan dan

melaksanakan penyelidikan memfasilitasi penguumpulan data.

Menganalisis data Guru membantu siswa menganalisis data dengan berdiskusi

dalam kelompoknya.

Membuat kesimpulan Guru membantu siswa dalam membuat kesimpulan

berdasarkan hasil kegiatan penyelidikan.

Mengkomunikasikan hasil Guru membimbing siswa dalam mempresentasikan hasil

kegiatan penyelidikan yang telah dilakukan.

8. Model Inkuiri Bebas

Model inkuiri bebas merupakan pembelajaran yang beralih dari aktivitas terbimbing ke penyelidikan

yang lebih terbuka dan bebas serta tidak tertuntun. Model pembelajaran inkuiri bebas membuat dominasi

guru dalam pembelajaran menjadi berkurang, karena guru berperan sebagai fasilitator, mengarahkan dan

memotivasi siswa. Model inkuri bebas dapat meningkatkan pencapaian siswa tentang materi pembelajaran

dan mampu memperdalam pengetahuan tentang ide-ide pelajaran yang penting, meningkatkan

penyelidikan, refleksi, dan komunikasi antar siswa (Erikko, dkk. 2018).

Pembelajaran model inkuiri bebas, siswa difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi masalah dan

merancang proses penyelidikan. Siswa dimotivasi untuk mengemukakan gagasan dan merancang cara

untuk menguji gagasan tersebut. Untuk itu siswa diberi motivasi untuk melatih keterampilan berfikir kritis

mencari informasi, menganalisis argumen dan data, membangun dan mensistesis ide-ide baru,

memanfaatkan ide-ide awalnya untuk memecahkan masalah serta menggeneralisasikan data. Guru

berperan dalam mengarah siswa untuk membuat kesimpulan sementara yang menjadikan kegiatan belajar

lebih menyerupai kegiatan penelitian seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli (Erikko, dkk. 2018).

Menurut Mudalara (2012) sintaks model inkuiri bebas disajikan dalam tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.4 Sintaks Model Inkuiri Bebas

Aktivitas

Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa


Berhadapan 1. Guru mengemukakan 1. Siswa memperhatikan

Dengan Masalah kontek situasi masalah yang dan menyimak serta

dapat memotivasi siswa merumuskan masalah.

untuk menemukan

rumusan masalah.

Pengumpulan 1. Guru meminta siswa untuk 1. Siswa bertanya kepada

Data Pengujian berusaha mengumpulkan guru untuk menggali

informasi informasi terkait dengan

sebanyak-banyaknya sesuai permasalahan yang

dengan masalah yang dihadapi.

dihadapi. 2. Siswa melakukan diskusi

2. Guru menyiapkan kelompok untuk

informasi yang diperlukan merumuskan hipotesis.

siswa. 3. Siswa menyampaikan

3. Guru menjawab pertanyaan hipotesis.

siswa (terbatas pada

jawaban ya atau tidak)

4. Guru menetapkan hipotesis

dari jawaban siswa untuk

dikaji lebih lanjut.

Pengumpulan 1. Guru meminta siswa untuk 1. Siswa menyiapkan alat

Data Dalam Kegiatan menyiapkan alat/bahan dan bahan bersama

Eksperimen untuk eksperimen. kelompoknya.

2. Guru meminta siswa untuk 2. Siswa secara

merancang dan melakukan berkelompok melakukan

eksperimen yang dirancang eksperimen.

siswa sendiri. 3. Siswa bertanya tentang

3. Guru membimbing proses masalah dan proses

eksperimen yang sifatnya eksperimen yang


mengarahkan siswa untuk dilakukan.

sampai pada pengujian 4. Siswa menjawab

hipotesis. pertanyaan yang

disampaikan oleh guru.

Formulasi 1. Guru meminta siswa untuk 1. Siswa menganalisis data

Penjelasan mengemukakan simpulan untuk membuat

yang mereka peroleh. kesimpulan.

2. Guru meminta siswa untuk 2. Siswa memberikan

membandingkan hasil yang tanggapan terhadap sim

mereka peroleh dengan pulan kelompok lainnya.

hasil yang diperoleh oleh 3. Siswa menjawab

kelompok lain dan pertanyaan guru

memberi kan tanggapan berdasarkan data hasil

terhadap simpulan eksperimen.

kelompok lain. 4. Siswa menanyakan hal-

3. Guru mengarahkan diskusi hal yang dianggap belum

dengan cara jelas.

mengklarifikasi pada

simpulan yang salah atau

yang belum sempurna.

4. Guru memberikan

pertanyaan-pertanyaan

untuk membimbing siswa

pada pemecahan masalah.

Analisis proses 1. Guru meminta siswa 1. Siswa secara

inkuiri menganalisis pola-pola berkelompok

penemuan kelompok menganalisis

mereka, serta mengkaitkan penemuannya dan

dengan teori-teori yang ada mengkaitkannya dengan


untuk menganalisis teori yang ada untuk

kembali pertanyaan yang menganalisis kembali

telah disampaikan pada pertanyaan yang telah

fase berhadapan dengan disampaikan pada fase

masalah. berhadapan dengan

2. Guru memberikan tes masalah.

untuk mengetahui seberapa 2. Siswa mengerjakan tes

jauh pemahaman siswa yang diberikan oleh guru.

terhadap materi yang telah

dipelajarinya.

9. Model Inkuiri Modifikasi

Model Inkuiri Modifikasi (Modified Inquiry) merupakan salah satu model pembelajaran yang

menuntun siswa mengumpulkan data melalui pertanyaan. Pada model Modified Inquiry, guru akan

memberikan permasalahan kepada siswa, kemudian siswa akan mengajukan hipotesis sebagai jawaban

sementara atas permasalahan yang diajukan, merencanakan pemecahan masalah, melakukan eksperimen,

mengumpulkan data, menganalisis data, dan terakhir menarik kesimpulan. Guru berperan sebagai

pendorong, narasumber dan pemberi bantuan untuk menjamin kelancaran proses belajar siswa. Bantuan

yang diberikan berupa pertanyaan-pertanyaan, bukan berupa penjelasan. Kegiatan pembelajaran lebih

didominasi oleh siswa daripada guru. Hal ini melatih siswa untuk belajar secara aktif dan mandiri (Marsa

dkk., 2015).

Model pembelajaran modified inquiry mampu mendorong siswa untuk mencari dan menemukan

sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya dan memahami konsep-konsep yang

terkait dengan topik mereka, membantu mereka mengaitkan pembelajaran dengan aplikasi dunia nyata.

Pada pembelajaran dengan modified inquiry juga berhasil melatih siswa cara berfikir yang ilmiah. Selain itu,

pembelajaran modified inquiry yang menekankan pada keterampilan proses, sehingga membuat

pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa (Subagyo dkk., 2014). Menurut Subagyo dkk., (2014)

sintaks model inkuiri modifikasi disajikan dalam tabel 2.5 yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.5 Sintaks Model Inkuiri Modifikasi

Tahap Aktivitas

Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Penyajian Masalah Guru akan mengemukakan Siswa akan mencari solusi dari

masalah yang akan dicari masalah yang dikemukakan oleh

solusinya oleh siswa. Masalah guru.

yang dikemukan berupa

kejadian/fenomena alam yang

merangsang intelektual siswa.

Pengumpalan Data Guru mengarahkan siswa untuk Siswa mengemukakan hipotesis

Verfikasi mengemukakan hipotesis yang dibuat setelah

berdasarkan masalah yang mengumpulkan informasi untuk

ditemukan. menjawab permasalahan yang

diajukan guru.

Pengumpulan Data Guru memberikan lembar kerja Siswa melakukan percobaan

Eksperimentasi siswa dalam membuktikan untuk membuktikan hipotesisnya

hipotesisnya. sesuai dengan lembar kerja siswa

yang diberikan guru.

Organisasi Data Guru mendorong siswa untuk Siswa merumuskan kesimpulan

Formulasi Kesimpulan merumuskan kesimpulan dari data yang telah diperoleh

berdasarkan data selama selama percobaan.

percobaan.

Analisis Proses Inkuiri Guru meminta siswa Siswa mempresentasikan hasil

mempresentasikan hasil percobaannya ke depan kelas.

percobaan yang telah dilakukan.

10. Problem Based Learning (PBL)

Problem Based Learning adalah model pembelajaran berbasisi masalah dimana inti dari pembelajaran

berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang
dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk penyelidikan. Peran guru dalam PBL adalah mengajukan

masalah otentik, memfasilitasi penyelidikan siswa, dan mendukung pembelajaran siswa. Pembelajaran

PBL disusun berdasarkan situasi kehidupan nyata yang menghindari jawaban sederhana dan

mengundang persaingan solusi. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru

menyampaikan informasi dalam jumlah besar kepada siswa. Sebaliknya, pembelajaran berbasis masalah

dirancang untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, pemecahan masalah, dan

intelektual mereka, mempelajari peran orang dewasa dengan mengalaminya melalui situasi nyata atau

simulasi, dan menjadi pembelajar yang mandiri dan mandiri (Arends, 2012).

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah mengutamakan proses belajar dimana tugas guru harus

memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran

berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir lebih tinggi, dalam situasi berorientasi

pada masalah, termasuk bagaimana belajar (Haudi, 2021). Pembelajaran berbasis masalah memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:

1. Pembelajaran berbasis masalah mengatur pengajaran berdasarkan pertanyaan dan masalah yang

penting secara sosial dan bermakna secara pribadi bagi siswa. Mereka mengatasi situasi kehidupan nyata

yang menghindari jawaban sederhana dan di mana terdapat solusi yang bersaing.

2. Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan siswa untuk melaksanakan penyelidikan yang mencari

solusi nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,

mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi,

melakukan eksperimen (jika sesuai), membuat kesimpulan, dan menarik kesimpulan.

3. Pembelajaran berbasis masalah ditandai dengan siswa bekerja sama satu sama lain, paling sering

berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk keterlibatan

berkelanjutan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan peluang untuk penyelidikan dan dialog

bersama, dan untuk pengembangan keterampilan sosial (Arends, 2012). Sintaks dalam penerapan Problem

Based Learning (PBL) dijelaskan pada tabel 2.6 berikut:

Tabel 2.6 Sintaks Problem Based Learning (PBL)

Fase Pembelajaran Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Orientasi peserta 1. Guru membahas tujuan dari 1. Menyimak penjelasan

didik pada masalah pelajaran. yang disampaikan oleh


2. Menghubungkan materi guru.

yang akan dipelajari dengan 2. Membentuk kelompok

materi pada pertemuan secara heterogen.

sebelumnya. 3. Terlibat dalam kegiatan

3. Memunculkan apersepsi (menanya).

permasalahan terkait 4. Menganalisis

dengan topik materi tetapi permasalahan awal yang

dikaitkan dengan diberikan dengan

kehidupan siswa. menggunakan

4. Memotivasi siswa untuk pengalaman dalam

terlibat dalam aktivitas kehidupan (menalar).

pemecahan masalah.

5. Membantu siswa

membentuk kelompok

terdiri dari 4-5 siswa.

Perumusan Masalah 1. Membimbing siswa 1. Menyimak dan mencatat

menyusun rumusan masalah yang

masalah. dikemukakan oleh guru

2. Menjelaskan cara untuk (mengamati dan

melakukan kegiatan menanya).

penemuan solusi dari 2. Menyusun rumusan

masalah pada siswa. permasalahan.

Membimbing 1. Guru mendorong siswa 1. Peserta didik melakukan

penyelidikan untuk mengumpulkan penyelidikan (mencari

individu maupun informasi yang tepat, data, referensi, sumber)

kelompok melakukan eksperimen, dan untuk bahan diskusi


mencari penjelasan serta kelompok.

solusi. 2. Menuliskan hipotesis

2. Membimbing siswa atau dugaan sementara.

mengajukan dugaan

sementara berdasarkan

masalah yang disusun.

Mengembangkan 1. Guru membantu siswa 1. Peserta didik melakukan

dan menyajikan hasil dalam merencanakan dan diskusi dan

karya (pemecahan menyiapkan solusi terhadap menghasilkan solusi

masalah) pemecahan masalah. pemecahan masalah dan

2. Membantu mereka berbagi hasilnya akan

karyanya dengan orang lain. dipresentasikan dalam

bentuk karya (pemecahan

masalah).

Menganalisis dan 1. Guru membantu siswa 1. Membuat kesimpulan

mengevaluasi proses untuk merefleksikan solusi sesuai dengan masukan

pemecahan masalah. dan proses yang mereka yang diperoleh

gunakan dalam pemecahan dari kelompok lain, dan

masalah. menerima penguatan dari

2. Guru memandu presentasi guru.

dan mendorong kelompok

memberikan penghargaan

serta masukan kepada

kelompok lain. Guru

bersama peserta didik

menyimpulkan materi.
11. Project Based Learning (PJBL)

Project Based Learning adalah model pembelajaran yang menekankan pada keberpusatan siswa dalam

suatu proyek. Dimana dengan hal ini memungkinkan siswa untuk bekerja secara mandiri untuk

membangun pembelajarannya sendiri dan akan mencapai puncaknya dalam suatu hasil yang realistis,

seperti karya yang dihasilkan siswa sendiri. Model pembelajaran Project Based Learning adalah suatu model

pembelajaran yang mengaitkan pelajaran dengan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang

dibuktikan dengan proyek yang diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Model pembelajaran ini juga

dapat mengaktifkan proses pembelajaran dikelas karena pembelajaran berpusat pada siswa, siswa akan

lebih aktif dalam mencari informasi dan merangkai jadwal proyek untuk diselesaikan. Guru berfungsi

sebagai fasilitator pada model pembelajaran ini. Siswa dituntut lebih aktif untuk merancang sebuah

proyek yang telah ditentukan oleh kelompok kerja.

Project Based Learning Model yang selanjutnya disebut PjBL adalah suatu model pembelajaran yang

dalam pembelajarannya melibatkan siswa dalam suatu proyek pembelajaran tertentu secara mandiri

dalam periode tertentu yang berujung pada tugas berbentuk produk atau presentasi. Model pembelajaran

berbasis proyek ini digunakan karena memiliki keuntungan tertentu dalam proses pembelajaran yang

salah satu keuntungannya yaitu dapat melatih keterampilan siswa termasuk keterampilan berpikir,

keterampilan memecahkan masalah dan kreativitas sehingga efektif untuk memanajemen diri siswa dan

membangun rasa percaya diri siswa. Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

berbasis proyek adalah pembelajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa untuk dapat memahami

suatu konsep dengan melakukan investigasi mendalam tentang suatu masalah dan menemukan solusi

dengan pembuatan proyek.

Project Based Learning Model Guru bertindak sebagai fasilitator yang menugaskan siswa untuk

melakukan eksplorasi, penilaian dan interpretasi untuk menghasilkan produk hasil pembelajaran. Dimana

dalam hal ini siswa dibiarkan belajar secara mandiri alam periode tertentu. Pengumpulan dan

pengintegrasian pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dilakukan dengan permasalahan sebagai

langkah awal dalam memperoleh informasi atau data. Model PjBL merupakan model pembelajaran lama

yang terus mengalami perubahan. PjBL sering digunakan dalam proses pembelajaran karena dengan

model pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk menyelesaikan masalah dan bekerja sama secara

kolaboratif. Model PJBL ini menuntun siswa guna memiliki potensi untuk pengalaman belajar yang

menarik dan bermakna.


Model Pembelajaran Project Based Learning memiliki tujuan utama untuk memberikan pelatihan

kepada pelajar untuk lebih bisa berkolaborasi, gotong royong, dan empati dengan sesama. Tujuan Project

Based Learning, antara lain:

1. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah proyek.

2. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru dalam pembelajaran.

3. Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah proyek yang kompleks dengan hasil

produk nyata.

4. Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola bahan atau alat untuk

menyelesaikan tugas atau proyek.

5. Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PjBL yang bersifat kelompok.

Model pembelajaran project based learning mempunyai beberapa karakteristik yang membedakan dengan

model pembelajaran lain yaitu :

1. Terpusat, kerja proyek dalam model pembelajaran ini merupakan pusat dari kegiatan pembelajaran

bukan merupakan kegiatan tambahan;

2. Dikendalikan pertanyaan, kerja proyek berfokus pada pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk

berusaha memperoleh suatu konsep atau pengetahuan;

3. Investigasi konstruktif, penentuan jenis proyek harus bisa mendorong siswa untuk mengkonstruk

pemikirannya sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapi;

4. Otonomi, siswa dalam proses pembelajaran bebas menentukan pilihannya sendiri dengan suvervisi

yang minimal, bertanggungjawab;

5. Nyata, pembelajaran harus bersifat nyata atau ada dalam kehidupan sehari-harinya.

Langkah-langkah model pembelajaran Project Based Learning, antara lain:

Tahap 1: Penentuan Proyek Penyampaian topik dalam teori oleh pendidik kemudian disusul dengan

kegiatan pengajuan pertanyaan oleh siswa mengenai bagaimana memecahkan masalah. Selain mengajukan

pertanyaan siswa juga harus mencari langkah yang sesuai dengan dalam pemecahan masalahnya.

Tahap 2: Perencanaan Langkah-langkah Penyelesaian Proyek Pendidik melakukan pengelompokkan

terhadap siswa sesuai dengan prosedur pembuatan proyek. Pada kd menerapkan komunikasi efektif

kehumasan menunjukkan ketidaktuntasan pada ranah kognitif. Kemudian siswa melakukan pemecahan

masalah melalui kegiatan diskusi bahkan terjun langsung dalam lapangan.


Tahap 3: Penyusunan Jadwal Pelaksanaan Proyek Melakukan penetapan langkah- langkah serta jadwal

antara pendidik dan siswa dalam penyelesaian proyek tersebut. Setelah melakukan batas waktu maka

siswa dapat melakukan penyusunan langkah serta jadwal dalam realisasinya.

Tahap 4: Penyelesaian Proyek dengan Fasilitas dan Monitoring Guru Pemantauan yang dilakukan oleh

pendidik mengenai keaktifan siswa ketika menyelesaikan proyek serta realisasi yang dilakukan dalam

penyelesaian pemecahan masalah. Siswa melakukan realisasi sesuai dengan jadwal proyek yang telah

ditetapkan.

Tahap 5: Penyusunan Laporan dan Presentasi/Publikasi Hasil Proyek Pendidik melakukan discuss dalam

pemantauan realisasi yang dilakukan pada peserta didik. Pembahasan yang dilakukan dijadikan laporan

sebagai bahan untuk pemaparan terhadap orang lain.

Tahap 6: Evaluasi Proyek dan Proyek Hasil Proyek Pendidik melakukan pengarahan pada proses

pemaparan proyek tersebut, kemudian melakukan refleksi serta menyimpulkan secara garis besar apa

yang telah diperoleh melalui melalui lembar pengamatan dari pendidik (Anggraini dan Wulandari, 2021).

langkah- langkah Model Problem Based Learning tercantum pada tabel 2.7 sebagai berikut:

2.7 Langkah- langkah Model Problem Based Learning

LANGKAH KERJA AKTIVITAS GURU AKTIVITAS PESERTA

DIDIK

Pertanyaan Mendasar Guru menyampaikan topik Mengajukan pertanyaan

dan mengajukan pertanyaan mendasar apa yang harus

bagaimana cara memecahkan dilakukan peserta didik

masalah. terhadap topik/ pemecahan

masalah.

Mendesain Perencanaan Guru memastikan setiap Peserta didik berdiskusi

Produk peserta didik dalam kelompok menyusun rencana

memilih dan mengetahui pembuatan proyek

prosedur pembuatan pemecahan masalah meliputi

proyek/produk yang akan pembagian tugas, persiapan

dihasilkan. alat, bahan, media, sumber

yang dibutuhkan.
Menyusun Jadwal Pembuatan Guru dan peserta didik Peserta didik menyusun

membuat kesepakatan tentang jadwal penyelesaian proyek

jadwal pembuatan proyek dengan memperhatikan batas

(tahapan-tahapan dan waktuyang telah ditentukan

pengumpulan). bersama.

Memonitor Keaktifan dan Guru memantau keaktifan Peserta didik melakukan

Perkembangan Proyek peserta didik selama pembuatan proyek sesuai

melaksanakan proyek, jadwal, mencatat setiap

memantau realisasi tahapan, mendiskusikan

perkembangan dan masalah yang muncul selama

membimbing jika mengalami penyelesaian proyek dengan

kesulitan. guru.

Menguji Hasil Guru berdiskusi tentang Membahas kelayakan proyek

prototipe proyek, memantau yang telah dibuat dan

keterlibatan peserta didik, membuat laporan produk/

mengukur ketercapaian karya untuk dipaparkan

standar. kepada orang lain.

Evaluasi Pengalaman Belajar Guru membimbing proses Setiap peserta didik

pemaparan proyek, memaparkan laporan, peserta

menanggapi hasil, selanjutnya didik yang lain memberikan

guru dan peserta didik tanggapan, dan bersama guru

merefleksi/ kesimpulan. menyimpulkan hasil proyek.

Kelebihan menggunakan model pembelajaran project based learning, antara lain:

1. Mendorong peserta didik untuk dapat memecahkan masalah di kehidupan nyata

2. Peserta didik memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengembangkan pengetahuannya

dengan sendirinya melalui aktivitas belajar.

3. Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang

kompleks
4. Dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif dalam bekerja,

memotivasi untuk belajar, dapat mengembangkan kerjasama kelompok.

5. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi

6. Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber

7. Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang

berkembang sesuai dunia nyata

8. Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan

yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata

9. Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik

menikmati proses pembelajaran (Dewi, 2022).

Kelemahan menggunakan model pembelajaran Project Based Learning, antara lain:

1. PBL tidak bisa digunakan untuk setiap topik pelajaran, sampai batas tertentu, guru berperan aktif

menyampaikan materi.

2. PBL lebih tepat digunakan untuk proses pembelajaran yang membutuhkan ketrampilan

pemecahan masalah tertentu.

3. Membutuhkan banyak waktu juga biaya untuk menyelesaikan masalah dan menghasilkan produk

4. Membutuhkan fasilitas, peralatan, dan bahan yang memadai

5. Kesulitan melibatkan semua siswa dalam kerja kelompok

6. Pada kelas dengan tingkat keanekaragaman peserta didik yang tinggi, sulit untuk

mengelompokkan tugas yang sudah diberikan guru

7. Jika peserta didik tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk

dipecahkan, maka peserta didik merasa enggan untuk mencoba.

8. Perlu ditunjang oleh buku referensi yang dapat dijadikan pemahaman dalam kegiatan

pembelajaran (Dewi, 2022).


DAFTAR PUSTAKA

Alkaromi, A. (2022). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan

Kerjasama dan Prestasi Belajar Siswa. Diadik: Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan, 12(1), 75-84.

Anggraini, P. D., dan Wulandari, S. S. (2021). Analisis Penggunaan Model Pembelajaran Project Based

Learning dalam Peningkatan Keaktifan Siswa. Jurnal Pendidikan Administrasi Perkantoran (JPAP), 9(2),

292-299.

Arends, R. I. (2012). Learning to Teach. New York: The McGraw-Hill Companies.

Darmawan, D., dan Dinn, W. (2018). Model Pembelajaran di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Dewi, M. R. (2022). Kelebihan dan kekurangan project-based learning untuk Penguatan Profil Pelajar

Pancasila Kurikulum Merdeka. Inovasi Kurikulum, 19(2), 213-226.

Erikko, D., Qurbaniah, M., dan Kurniati, T. (2018). Komparasi Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

Dengan Inkuiri Bebas Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Materi Hukum Kekekalan

Massa Kelas X MIPA SMA Negeri 1 Pontianak. Ar-Razi Jurnal Ilmiah, 6(1), 20-29.

Hanida, Neviyarni., dan Farida, F. (2019). Peningkatan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Bahan Ajar

Tematik Terpadu Berbasis Model Discovery Learning di Kelas IV Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 3(2),

120-126.

Haudi. (2021). Strategi Pembelajaran. Solok: Penerbit Insan Cendekia Mandiri.

Khasinah, S. (2021). Discovery Learning: Definisi, Sintaksis, Keunggulan dan Kelemahan. Jurnal Media Kajian

Pendidikan Agama Islam. 11(3), 402-413

Mukaramah, M., Kustina, R., dan Rismawati. (2020). Menganalisis Kelebihan dan Kekurangan Model

Discovery Learning Berbasis Audiovisual dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal Ilmiah

Mahasiswa Pendidikan, 1(1), 50-57.

Marsa, P. B., Asrul, A., dan Gusnedi, G. (2015). Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Modified Inquiry

Berbantukan Lembar Kerja Siswa Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa di Kelas VIII SMPN 2 Pariaman.

PILLAR OF PHYSICS EDUCATION, 6(2), 193-200.

Mudalara, I. P. (2012). Pengaruh model pembelajaran inkuiri bebas terhadap hasil belajar kimia siswa kelas

XI IPA SMA Negeri 1 Gianyar ditinjau dari sikap ilmiah. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Ipa

Indonesia, 2(2).

Nababan,D., Bakara,A., dan Sihite,C,E,H. (2023). Penerapan Strategi Pembelajaran Discovery Learning

Dalam Meningkatkan Keaktifan Belajar Peserta Didik. Jurnal Pendidikan Sosial dan Humaniora, 2(2),
766-773.

Nurdyansyah., dan Fahyuni, E. F. (2016). Inovasi Model Pembelajaran. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.

Pranoto,E. (2021). Model Discovery Learning dan Problematika Hasil Belajar. Jurnal Pusat Pengembangan

Pendidikan dan Penelitian Indonesia, 2(2), 29-36

Prihatin,Y. (2019). Model Pembelajaran Inovatif: Teori Dan Aplikasi Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia.

Bandung : Manggu Makmur Tanjung Lestari.

Sanjaya Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Rawamangun-Jakarta:

Kencana Perdana Media Group.

Subagyo., Suyono., dan Tukiran. (2014). Penerapan Modified Iquiry Models Untuk Mencegah Miskonsepsi

Siswa Pada Konsep Kesetimbangan Kimia. Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,

3(2), 361-366.

Sutikno, S. M. (2019). Metode & Model-Model Pembelajaran. Lombok: Holistica.

Sya’diyah, H. 2018. Bermain Peran (Role Playing) Dalam Pembelajaran Maharah Al Kalam di PKPBA UIN

Maliki Malang. Jurnal Tarbiyatuna, 3(2), 1-29.

Syamsu, F. N., Rahmawati, I., & Suyitno, S. (2019). Keefektifan model pembelajaran stad terhadap hasil

belajar matematika materi bangun ruang. International Journal of Elementary Education, 3(3),

344-350.
BAB 3
PROGRAM SEMESTER DAN PROGRAM TAHUNAN DALAM
PEMBELAJARAN IPA

Artha Christina Sinaga dan Arvina Arafah Harahap

A. PENGERTIAN PROGRAM
Program merupakan pernyataan yang berisi kesimpulan dari beberapa harapan atau tujuan yang
saling bergantung dan saling terkait, untuk mencapai suatu sasaran yang sama. Program sering dikaitkan
dengan perencanaan, persiapan, dan desain atau rancanagan. Perencanaan adalah menyusun langkah‐
langkah yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan tersebut
dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan membuat
perencanaan. Namun, yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat dilakasanakan
dengan mudah dan tepat sasaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan yang dirumuskan
hendaklah terfokus pada tujuan yang hendak dicapai (Simanjuntak dkk., 2020). Pembelajaran IPA
dilaksanakan dengan beracuan pada program tahunan dan program semester. Penyusunan prota dan
promes harus mengacu pada kalender pendidikan tiap satuan pendidikan yang diterbitkan oleh Dinas
Pendidikan untuk menentukan banyaknya minggu efektif dalam setiap bulan. Kalender pendidikan
umumnya memuat hari-hari libur, jadwal ulangan tengah semester ganjil, jadwal ulangan semester ganjil
dan genap, jadwal ujian sekolah (tulis) dan UTS genap, jadwal ujian praktik dan perkiran ujian nasional.
Setelah mengkaji kalender pendidikan penyusun prota dan promes juga harus mengkaji struktur
kurikulum untuk menentukan jumlah jam mata pelajaran per minggu. Selain itu penyusun program juga
harus mempelajari kompetensi dasar dan silabus untuk memperkirakan jumlah jam pelajaran yang
diperlukan untuk pembelajaran masing-masing KD (Astuti, 2018).

B. FUNGSI PROGRAM BAGI GURU


Wujud perilaku guru berkaitan dengan kinerjanya adalah kegiatan guru dalam proses pembelajaran, yaitu
bagaimana seorang guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai
hasil belajar. Adapun fungsi atau kegunaan desain pemebelajaran adalah:
1. Sebagai acuan atau pedoman dalam pelaksanan pembelajaran. Semakin matang rencana yang
dipersiapkan maka akan semakin bagus pula usaha itu dilakasanakan karena rencana yang sudah
disusun akan menjadikan acuan ataupun patokan ketika pelakasanaan usaha tersebut.
2. Menjadikan guru lebih siap dan percaya diri dalam menjalankan tugas mengajar Percaya diri itu akan
sempurna jika seseorang itu memiliki kesiapan untuk melakukan sesuatu. Sebagai seorang guru
persiapan atau desain itu juga berfungsi menjadikan guru itu siap untuk melaksanakan tugasnya
sebagai pengajar karena desain yang disusun oleh guru adalah sebuah indikator jika guru tersebut
telah menguasai bahan yang akan disuguhkan dihadapan peserta didik.
3. Meningkatkan kemampuan guru. Adanya desain bagi seorang guru, akan meningkatkan kemampuan
guru dalam mengajar dan akhirnya akan menjadikan pembelajaran akan berkualitas dan bermakna bagi
peserta didik.
4. Adanya perencanaan maka pelaksanaan pengajaran menjadi baik dan efektif Melalui perencanaan dapat
dilakukan suatu perkiraan terhadap hal‐hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Perkiraan
dilakukan mengenai potensipotensi dan prospek‐prospek perkembangan tetapi juga mengenai
hambatan‐hambatan dan resiko‐resiko yang mungkin dihadapi. Perencanaan
mengusahakan upaya ketidakpastian dapat dibatasi sedini mungkin. Untuk mengembangkan suatu
rencana, seseorang harus mengacu kemasa depan (forecast). Setiap akan mengajar, ia perlu membuat
persiapan mengajar dalam rangka melaksanakan sebagian rencana bulanan dan rencana tahunan.
Perencanaan ini berfungsi sebagi rencana jangka panjang untuk sekolah (Simanjuntak dkk., 2020).

C. PROGRAM TAHUNAN
Program tahunan merupakan rencana penetapan alokasi waktu satu tahun untuk mencapai
tujuan (SK dan KD) yang telah ditetapkan. Penetapan alokasi waktu diperlukan agar seluruh kompetensi
dasar yang ada dalam kurikulum seluruhnya dapat dicapai oleh siswa (Ritonga, 2023). Prota disusun
sendiri oleh guru yang menjelaskan alokasi waktu yang digunakan untuk mencapai KI dan KD dalam satu
tahun berdasarkan kalender pendidikan dari pemerintah yang sudah diolah dan disesuaikan program
sekolah setelah itu baru dituangkan kedalam kalender pendidikan sekolah (Setiyoningsih, 2017). Dalam
menyusun Program Tahunan, komponen yang harus ada meliputi identitas (kelas, muatan pelajaran,
tahun pelajaran) dan format isi yang terdiri dari BAB materi, sub BAB materi, dan alokasi waktu (Bestary
dkk., 2018).

Fungsi program tahunan dalam kegiatan pendidikan/pembelajaran, diantaranya sebagai berikut :

1. Sebagai pedoman dalam menyusun program semester, program suatu pelajaran dan juga sebagai
persiapan dalam mengajar agar lebih rapi dan terorganisir secara lebih matang.

2. Sebagai acuan dalam rangka optimalisasi, efisiensi dan efektivitas penggunaan waktu belajar
efektif yang ada.

Program tahunan memuat penjabaran alokasi waktu tiap-tiap standar kompetensi/kompetensi inti dan
kompetensi dasar untuk tiap semester dan tiap kelas selama satu tahun pelajaran. Program tahunan
selanjutnya dijabarkan secara rinci pada program semester. Langkah‐langkah yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan program tahunan adalah sebagai berikut:

1. Menelaah jumlah KD atau tema dan sub tema pada suatu kelas.
2. Menelaah kalender pendidikan, dan ciri khas sekolah/madrasah berdasarkan kebutuhan tingkat
satuan pendidikan.
3. Menandai hari‐hari libur, permulaan tahun pelajaran, minggu belajar efektif (MBE), belajar,
waktu pembelajaran efektif (perminggu) dalam satu tahun. Hari‐hari libur meliputi jeda tengah
semester, jeda antar semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum
termasuk hari‐hari besar nasional, hari libur khusus.
4. Menghitung jumlah minggu efektif setiap bulan dan semester dalam satu tahun dan
memasukkan dalam format matrik yang tersedia.
5. Mendistribusikan alokasi waktu yang disediakan untuk suatu mata pelajaran, pada setiap KD
dan topik bahasannya pada minggu efektif, sesuai ruang lingkup cakupan materi, tingkat
kesulitan dan pentingnya materi tersebut, serta mempertimbangkan waktu untuk ulangan serta
review materi (Simanjuntak dkk., 2020).

D. KONSEP DASAR PROGRAM TAHUNAN


Sumber‐sumber yang dapat dijadikan bahan pengembangan program tahunan antara lain sebagai
berikut:

1. Daftar standar kompetensi sebagai konsensus nasional, yang dikembangkan dalam buku garis‐
garis besar program pengajaran (GBPP) setiap mata pelajaran yang akan dikembangkan.
2. Skope dan sekuensi setiap kompetensi. Untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan materi
pembelajaran. Materi pembelajaran tersebut disusun dalam pokok‐ pokok bahasan dan sub pokok
bahasan, yang mengandung ide‐ide pokok sesuai dengan kompetensi dan tujuan pembelajaran.
Pokok‐pokok bahasan dan subsub pokok bahasan tersebut harus jelas skope dan sekeuensinya.
Skope adalah ruang lingkup dan batasan‐batasan keluasan setiap pokok dan sub pokok bahasan,
sedangkan sekuensi adalah urutan logis dari setiap pokok dan sub pokok bahasan.

a. Sekuens kronologis. Untuk menyusunan bahan ajar yang mengandung urutan waktu, dapat
digunakan kronologis. Peristiwa‐peristiwa sejarah, perkembangan historis suatu instusi,
penemuan‐penemuan ilmiah dan sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens
kronologis.
b. Sekuens kausal. Sekuens kausal berhubungan dengan kronologis. Peserta didik dihadapkan
pada peristiwa‐peristiwa atau situasi yang menjadi sebab atau pendahulu daripada sesuatu
peristiwa atau situasi yang menjadi sebab atau pendahulu para peserta didik akan
menemukan akibatnya.
c. Sekuens struktural. Bagian‐bagian bahan ajar sesuatu bidang studi telah mempunyai
strukturnya. Dalam fisika tidak mungkin mengajarkan alat‐alat optik, tanpa terlebih dahulu
diajarkan pemantulan dan pembiasan cahaya. Masalah cahaya, pemantulan‐pembiasan, dan
alat‐alat optik tersusun secara struktural.
d. Sekuens logis dan psikologis. Bahan ajar juga dapat disusun berdasarkan urutan logis.
Menurut sekuens logis bahan ajar dimulai dari bagian kepada keseluruhan, dari yang
sederhana kepada yang kompleks, tetapi menurut sekuens psikologis sebaliknya dari
keseluruhan kepada bagian, dari yang kompleks kepada sederhana.
e. Sekuens spiral. Bahan ajar dipusatkan pada topik atau pokok bahasan tertentu. Dari topik
atau pokok bahasan tersebut bahan diperluas dan diperdalam. Topik atau pokok bahan
ajaran tersebut adalah sesuatu yang populer dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan
diperdalam dengan bahan yang lebih kompleks.
f. Sekuens berdasarkan hierakhi belajar. Model ini dikembangkan dengan prosedur tujuan
khusus utama dianalisis, dan dicari suatu hierakhi urutan bahan ajaran untuk mencapai
tujuan‐tujuan tersebut. Hierakhi tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula‐
mula harus dikuasai peserta didik, berturut‐turut sampai pokok‐pokok bahasan tertentu.
3. Kalender pendidikan, yaitu penyusun kalender pendidikan selama satu tahun.
4. Pelajaran mengacu pada efisien, efektifitas, dan hak‐hak peserta didik. Dalam kalender
pembelajaran, termasuk waktu libur, dan lain‐ lain. Dengan demikian, dalam menyusun
program tahunan perlu memperhatikan kalender pendidikan.

Hal‐hal yang terdapat pada kalender akademik adalah sebagi berikut:

1. Permulaan tahun pelajaran adalah waktu dimulainya kegiatan pembelajaran pada awal tahun
pelajaran pada setiap satuan pendidikan.
2. Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun
pelajaran pada setiap satuan pendidikan.
3. Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah jam pembelajaran setiap minggu, meliputi jumlah jam
pembelajaran untuk seluruh mata pelajaran termasuk muatanlokal, ditambah jumlah jam untuk
pengembangan diri.
4. Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan untuk tidak diadakan kegiatanpembelajaran
terjadwal pada satuan pendidikan yang dimaksud. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah
semester, jeda antar semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum
termasuk hari‐hari besar nasional, dan hari libur khusus (Jaya, 2019).

Alokasi waktu dalam kalander pendidikan:

No Kegiatan Alokasi Waktu Keterangan

1. Minggu efektif Minimum 34 Digunakan untuk kegiatan


belajar minggu dan pembelajaran efektif pada setiap
maksimum 38 satuan pendidikan.
minggu
2. Jeda tengah Maksimum 2 Satu minggu setiap semester
semester minggu

3. Jeda antar Maksimum 2 Antara semester I dan II


semester minggu

4. Libur akhir tahun Maksimum 3 Digunakan untuk penyiapan kegiatan


Pelajaran minggu dan administrasi akhir dan awal tahun
pelajaran
5. Hari libur 2 – 4 minggu Daerah khusus yang memerlukan libur
keagamaan keagamaan lebih panjang dapat
mengaturnya sendiri tanpa mengurangi
jumlah minggu efektif belajar dan waktu
pembelajaran efektif

6. Hari libur Maksimum 2 Disesuaikan dengan Peraturan


umum/nasional Minggu Pemerintah
7. Hari libur khusus Maksimum 1 Untuk satuan pendidikan sesuai
Minggu dengan ciri kekhususan
masingmasing
8. Kegiatan khusus Maksimum 3 Digunakan untuk kegiatan yang
sekolah/madrasah Minggu diprogramkan secara khusus oleh
sekolah/madrasah tanpa mengurangi
jumlah minggu efektif belajar dan waktu
pembelajaran efektif
Contoh format program tahunan:
SATUAN PENDIDIKAN : ......................................................
MATA PELAJARAN : ......................................................

KELAS/PROGRAM : ......................................................

TAHUN PELAJARAN : ......................................................

* KI KOMPETENSI KONSEP/SUB ** ***KET


Semester I DASAR (KD) KONSEP ALOKASI
(POKOK WAKTU
BAHASAN)

JUMLAH

SK KOMPETENSI KONSEP/SUB ** ***KET


Semester II DASAR (KD) KONSEP ALOKASI
(TOPIK WAKTU
BAHASAN)

JUMLAH

JUMLAH SEMESTER 1 DAN


II

.......,..........................

Mengetahui:
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

(....................................................) ( ................................................................. )
* Kompetensi Inti
** Jumlah Pertemuan dan Jumlah Jam Pelajaran (JP)
*** Jumlah Menit (Jumlah JP x Menit setiap JP)

E. PROGRAM SEMESTER
Program semester adalah rancangan kegiatan belajar mengajar secara garis besar yang dibuat
dalam jangka waktu satu semester dengan memperhatikan program tahunan dan alokasi waktu tiap
minggu. Dengan rancangan promes yang harus dicapai selama satu semester, selama periode ini
diharapkan para siswa menguasai pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai satu kesatuan utuh
(Nafiah dkk., 2022). Pada umumnya program semester adalah program pembelajaran yang berisikan
identitas (satuan pendidikan, mata pelajaran, kelas/semester, tahun pelajaran) dan format isian yang
terdiri dari BAB materi, sub BAB materi, pembelajaran ke alokasi waktu, dan bulan yang terinci per
minggu, dan keterangan yang diisi pelaksanaan pembelajaran berlangsung (Bestary dkk., 2018; Fadlillah,
2018).

Dalam program pendidikan semester dipakai satuan waktu terkecil, yaitu satuan semester untuk
menyatakan lamanya satu program pendidikan. Masing‐masing program semester sifatnya lengkap dan
merupakan satu kebulatan dan berdiri sendiri. Isi dari program semester adalah tentang bulan, pokok
bahasan yang hendak disampaikan, waktu yang direncanakan, dan keterangan‐ keterangan. Program
semester diarahkan untuk menjawab minggu keberapa ataukapan pembelajaran untuk mencapai
kompetensi dasar itu dilakukan. Pada umumnya program semester ini berisi tentang bulan, pokok
bahasan yang hendak disampaikan, waktu yang direncanakan, dan keterangan‐ keterangan.

Fungsi program pemester dalam kegiatan pendidikan/ pembelajaran, diantaranya sebagai berikut:

1. Menyederhanakan/ memudahkan tugas seorang guru dalam pembelajaran selama satu


semester.
2. Sebagai pedoman/ acuan arah kegiatan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang
diprogramkan.
3. Sebagai pola dasar dalam mengatur tugas dan wewenang bagi setiap unsur yang terlibat
dalam kegiatan pembelajaran.
4. Sebagai pedoman kerja bagi guru sekaligus bagi murid.
5. Sebagai parameter efektivitas dalam suatu proses pembelajara.
6. Sebagai bahan penyusunan data agar terjadi keseimbangan kerja.
7. Menghemat waktu, tenaga, alat-alat dan biaya karena berlangsungnya programkerja yang efektif
dan efisien serta terukur (Ritonga, 2023).
Langkah‐langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan program semester adalah sebagai
berikut:

1. Memasukkan kompetensi dasar, topik dan sub topik bahasan dalam format program semester.
2. Menentukan jumlah jam pada setiap kolom minggu dan jumlah tatap muka per minggu
untuk mata pelajaran.
3. Mengalokasikan waktu sesuai kebutuhan bahasan topik dan sub topik pada kolom minggu dan
bulan.
4. Membuat catatan atau keterangan untuk bagian‐bagian yang membutuhkan penjelasan
(Simanjuntak, dkk. 2020).
Contoh format program semester:

PROGRAM ALOKASI WAKTU PERSEMESTER

MATA PELAJARAN: ………………………………….. KELAS:……… SEMESTER: I TAHUN PELAJARAN: ..........................


No. KONSEP/MATERI Jumlah Diberikan pada bulan dan Pertemuan ke-...
KD POKOK/TOPIK Jam
BAHASAN (alokasi Juli Agustus September Oktober November Desember
DA waktu)
N SUB TOPIK 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
BAHASAN

9
MATA PELAJARAN: ………………………………….. KELAS: ……… SEMESTER: II ; TAHUN PELAJARAN: ........................

No. KONSEP/MATERI Jumlah Diberikan pada bulan dan Pertemuan ke-...


POKOK/TOPIK Jam
BAHASAN DAN (alokasi Januari Februari Maret April Mei Juni
SUB TOPIK waktu)
BAHASAN 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

Diisi menurut kalender pendidikan


..............., ....................................

Mengetahui

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

(....................................................) (. ............................................................... )

10
F. KESIMPULAN
Program merupakan pernyataan yang berisi kesimpulan dari beberapa harapan atau tujuan yang
saling bergantung dan saling terkait, untuk mencapai suatu sasaran yang sama. Program sering dikaitkan
dengan perencanaan, persiapan, dan desain atau rancanagan. Perencanaan adalah menyusun langkah‐
langkah yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan tersebut
dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan membuat
perencanaan. Program semester adalah rancangan kegiatan belajar mengajar secara garis besar yang
dibuat dalam jangka waktu satu semester dengan memperhatikan program tahunan dan alokasi waktu
tiap minggu. Dengan rancangan promes yang harus dicapai selama satu semester, selama periode ini
diharapkan para siswa menguasai pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai satu kesatuan utuh.
Program tahunan adalah rancangan kegiatan belajar mengajar secara garis besar dengan penentuan
alokasi waktu selama satu tahun untuk mencapai kompetensi- kompetensi dasar yang ada dalam
kurikulum.

11
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, D. S. (2018). Analisa Kesulitan Penyusunan Program Tahunan Dan Program Semester Bagi Calon
Guru Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. In Prosiding SNPS (Seminar Nasional
Pendidikan Sains), 58-62.

Bestary, R., Moroki, E. S. G., Yunadi, Y. Y., Priyono, S., dan Iswoyo, S. (2018). Manajemen Implementasi
Kurikulum 2013. Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.

Fadlillah, M. (2018). Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kurikulum 2013 di TK IT Qurrota A`yun Babadan
Ponorogo. Jurnal Pendidikan: Early Childhood, 2(1), 1-12.

Jaya, F. (2019). Perencanaan Pembelajaran. Medan: UIN Sumatera Utara.

Nafiah, Kurjum, H. M., dan Muslimin. (2022). Perencanaan Pembelajaran. Surabaya: Penerbit Pena
Cendekia.

Ritonga, M. S. (2023). Analisis Kemampuan Guru PAI dalam Merancang Program Tahunan dan Program
Semester. All Fields of Science Journal Liaison Academia and Sosiety, 3(1), 334-341.

Setiyoningsih, T. (2017). Pengelolaan Pembelajaran IPA Berbasis Lingkungan di SMPN 1 Gabus-


Grobongan. Jurnal Manaemen Pendidikan, 12(1), 1-9.

Simanjuntak, M. P., Sinaga, L., Hardinata, A., dan Simatupang, H. (2020). Pengembangan Program Dalam
Pembelajaran. Jakarta Utara: Pustaka Media Guru.

12
BAB 4
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
PROJECT BASED LEARNING (PJBL) DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN IPA

Elci Encana Br Perangin-angin dan Ifanta Fernando Tarigan

A. Pengertian Project based learning


Project Based Learning adalah model pembelajaran yang menekankan pada keberpusatan siswa

dalam suatu proyek. Dimana dengan hal ini memungkinkan siswa untuk bekerja secara mandiri

untuk membangun pembelajarannya sendiri dan akan mencapai puncaknya dalam suatu hasil yang

realistis, seperti karya yang dihasilkan siswa sendiri. Model pembelajaran project based learning

adalah suatu model pembelajaran yang mengaitkan pelajaran dengan masalah-masalah dalam

kehidupan sehari-hari yang dibuktikan dengan proyek yang diselesaikan dalam jangka waktu

tertentu. Model pembelajaran ini juga dapat mengaktifkan proses pembelajaran dikelas karena

pembelajaran berpusat pada siswa, siswa akan lebih aktif dalam mencari informasi dan merangkai

jadwal proyek untuk diselesaikan. Guru berfungsi sebagai fasilitator pada model pembelajaran ini.

Siswa dituntut lebih aktif untuk merancang sebuah proyek yang telah ditentukan oleh kelompok kerja

(kurniawan dkk, 2019).

Project Based Learning Model yang selanjutnya disebut PjBL adalah suatu model pembelajaran yang

dalam pembelajarannya melibatkan siswa dalam suatu proyek pembelajaran tertentu secara mandiri

dalam periode tertentu yang berujung pada tugas berbentuk produk atau presentasi. Model

pembelajaran berbasis proyek ini digunakan karena memiliki keuntungan tertentu dalam proses

pembelajaran yang salah satu keuntungannya yaitu dapat melatih keterampilan siswa termasuk

keterampilan berpikir, keterampilan memecahkan masalah dan kreativitas sehingga efektif untuk

memanajemen diri siswa dan membangun rasa percaya diri siswa. Berdasarkan teori tersebut dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran yang menitikberatkan pada

aktifitas siswa untuk dapat memahami suatu konsep dengan melakukan investigasi mendalam

tentang suatu masalah dan menemukan solusi dengan pembuatan proyek.

Dalam Project Based Learning Model Guru bertindak sebagai fasilitator yang menugaskan siswa

untuk melakukan eksplorasi, penilaian dan interpretasi untuk menghasilkan produk hasil

pembelajaran. Dimana dalam hal ini siswa dibiarkan belajar secara mandiri alam periode tertentu.

Pengumpulan dan pengintegrasian pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dilakukan dengan

permasalahan sebagai langkah awal dalam memperoleh informasi atau data. Model PjBL merupakan

1
model pembelajaran lama yang terus mengalami perubahan. PjBL sering digunakan dalam proses

pembelajaran karena dengan model pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk menyelesaikan

masalah dan bekerja sama secara kolaboratif. Model PJBL ini menuntun siswa guna memiliki potensi

untuk pengalaman belajar yang menarik dan bermakna.

B. TUJUAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING

Setiap model pembelajaran pasti memiliki tujuan dalam penerapannya. Project Based Learning ini

diprakarsai oleh hasil implikasi dari Surat Edaran Mendikbud No.4 Tahun 2020. Model Pembelajaran

Project Based Learning memiliki tujuan utama untuk memberikan pelatihan kepada pelajar untuk

lebih bisa berkolaborasi, gotong royong, dan empati dengan sesame (martati, 2022).

Tujuan project based learning, antara lain :

1. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah proyek.

2. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru dalam pembelajaran.

3. Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah proyek yang kompleks

dengan hasil produk nyata.

4. Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola bahan atau

alat untuk menyelesaikan tugas atau proyek.

5. Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PjBL yang bersifat kelompok.

ketika diambil secara garis besar tujuan dari penerapan metode ini yaitu untuk mengasah serta

memberikan kebiasaan kepada siswa dalam melakukan kegiatan berpikir kritis untk menyelesaikan

permasalahan yang diterima. Selain itu metode ini juga dapat dilakukan sebagai upaya untuk

mengembangkan wawasan siswa.

C. KARAKTERISTIK MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING

Project Based Learning Model dirancang untuk digunakan dalam permasalahan kompleks sehingga

dalam pelaksanaannya diperlukan pengamatan dan eksplorasi yang cukup yang merupakan

pembelajaran yang inovatif dan lebih menekankan pada belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan

yang kompleks.

Menurut kurniawan dkk, (2019) Model pembelajaran project based learning mempunyai beberapa

karakteristik yang membedakan dengan model pembelajaran lain yaitu :

2
1. terpusat, kerja proyek dalam model pembelajaran ini merupakan pusat dari kegiatan

pembelajaran bukan merupakan kegiatan tambahan;

2. dikendalikan pertanyaan, kerja proyek berfokus pada pertanyaan yang dapat mendorong

siswa untuk berusaha memperoleh suatu konsep atau pengetahuan;

3. investigasi konstruktif, penentuan jenis proyek harus bisa mendorong siswa untuk

mengkonstruk pemikirannya sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapi;

4. otonomi, siswa dalam proses pembelajaran bebas menentukan pilihannya sendiri dengan

suvervisi yang minimal, bertanggungjawab;

5. nyata, pembelajaran harus bersifat nyata atau ada dalam kehidupan sehari-harinya.

D. LANGKAH-LANGKAH MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED

LEARNING

Tahap 1: Penentuan Proyek Penyampaian topik dalam teori oleh pendidik kemudian disusul dengan

kegiatan pengajuan pertanyaan oleh siswa mengenai bagaimana memecahkan masalah. Selain

mengajukan pertanyaan siswa juga harus mencari langkah yang sesuai dengan dalam pemecahan

masalahnya.

Tahap 2: Perencanaan Langkah-langkah Penyelesaian Proyek Pendidik melakukan pengelompokkan

terhadap siswa sesuai dengan prosedur pembuatan proyek. Pada kd menerapkan komunikasi efektif

kehumasan menunjukkan ketidaktuntasan pada ranah kognitif. Kemudian siswa melakukan

pemecahan masalah melalui kegiatan diskusi bahkan terjun langsung dalam lapangan.

Tahap 3: Penyusunan Jadwal Pelaksanaan Proyek Melakukan penetapan langkah- langkah serta

jadwal antara pendidik dan siswa dalam penyelesaian proyek tersebut. Setelah melakukan batas

waktu maka siswa dapat melakukan penyusunan langkah serta jadwal dalam realisasinya.

Tahap 4: Penyelesaian Proyek dengan Fasilitas dan Monitoring Guru Pemantauan yang dilakukan

oleh pendidik mengenai keaktifan siswa ketika menyelesaikan proyek serta realisasi yang dilakukan

dalam penyelesaian pemecahan masalah. Siswa melakukan realisasi sesuai dengan jadwal proyek

yang telah ditetapkan.

Tahap 5: Penyusunan Laporan dan Presentasi/Publikasi Hasil Proyek Pendidik melakukan discuss

dalam pemantauan realisasi yang dilakukan pada peserta didik. Pembahasan yang dilakukan

dijadikan laporan sebagai bahan untuk pemaparan terhadap orang lain.

Tahap 6: Evaluasi Proyek dan Proyek Hasil Proyek Pendidik melakukan pengarahan pada proses

pemaparan proyek tersebut, kemudian melakukan refleksi serta menyimpulkan secara garis besar apa

3
yang telah diperoleh melalui melalui lembar pengamatan dari pendidik (Anggraini dan Wulandari,

2021).

Tabel langkah- langkah kerja/kegiatan dalam model pembelajaran problem based learning :

LANGKAH KERJA AKTIVITAS GURU AKTIVITAS PESERTA DIDIK

Pertanyaan Mendasar Guru menyampaikan topik dan Mengajukan pertanyaan

mengajukan pertanyaan mendasar apa yang harus

bagaimana cara memecahkan dilakukan peserta didik terhadap

masalah. topik/ pemecahan masalah.

Mendesain Perencanaan Produk Guru memastikan setiap peserta Peserta didik berdiskusi

didik dalam kelompok memilih menyusun rencana pembuatan

dan mengetahui prosedur proyek pemecahan masalah

pembuatan proyek/produk yang meliputi pembagian tugas,

akan dihasilkan. persiapan alat, bahan, media,

sumber yang dibutuhkan.

Menyusun Jadwal Pembuatan Guru dan peserta didik membuat Peserta didik menyusun jadwal

kesepakatan tentang jadwal penyelesaian proyek dengan

pembuatan proyek (tahapan- memperhatikan batas waktuyang

tahapan dan pengumpulan). telah ditentukan bersama.

Memonitor Keaktifan dan Guru memantau keaktifan peserta Peserta didik melakukan

Perkembangan Proyek didik selama melaksanakan pembuatan proyek sesuai jadwal,

proyek, memantau realisasi mencatat setiap tahapan,

perkembangan dan membimbing mendiskusikan masalah yang

jika mengalami kesulitan. muncul selama penyelesaian

proyek dengan guru.

Menguji Hasil Guru berdiskusi tentang prototipe Membahas kelayakan proyek

proyek, memantau keterlibatan yang telah dibuat dan membuat

peserta didik, mengukur laporan produk/ karya untuk

ketercapaian standar. dipaparkan kepada orang lain.

Evaluasi Pengalaman Belajar Guru membimbing proses Setiap peserta didik memaparkan

4
pemaparan proyek, menanggapi laporan, peserta didik yang lain

hasil, selanjutnya guru dan memberikan tanggapan, dan

peserta didik merefleksi/ bersama guru menyimpulkan

kesimpulan. hasil proyek.

E. KELEBIHAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT

BASED LEARNING

1. Mendorong peserta didik untuk dapat memecahkan masalah di kehidupan nyata

2. Peserta didik memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengembangkan

pengetahuannya dengan sendirinya melalui aktivitas belajar.

3. Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang

kompleks

4. Dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif dalam bekerja,

memotivasi untuk belajar, dapat mengembangkan kerjasama kelompok.

5. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan

komunikasi

6. Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber

7. Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan

dirancang berkembang sesuai dunia nyata

8. Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan

pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata

9. Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik

menikmati proses pembelajaran (Dewi, 2022).

F. KELEMAHAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT

BASED LEARNING

1. PBL tidak bisa digunakan untuk setiap topik pelajaran, sampai batas tertentu, guru berperan

aktif menyampaikan materi .

2. PBL lebih tepat digunakan untuk proses pembelajaran yang membutuhkan ketrampilan

pemecahan masalah tertentu.

5
3. Membutuhkan banyak waktu juga biaya untuk menyelesaikan masalah dan menghasilkan

produk

4. Membutuhkan fasilitas, peralatan, dan bahan yang memadai

5. Kesulitan melibatkan semua siswa dalam kerja kelompok

6. Pada kelas dengan tingkat keanekaragaman peserta didik yang tinggi, sulit untuk

mengelompokkan tugas yang sudah diberikan guru

7. Jika peserta didik tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk

dipecahkan, maka peserta didik merasa enggan untuk mencoba.

8. Perlu ditunjang oleh buku referensi yang dapat dijadikan pemahaman dalam kegiatan

pembelajaran (Dewi, 2022).

G. PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROJECT BASED LEARNING

DALAM PEMBELAJARAN IPA

IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-

gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta

menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya.. Sejalan dengan

peryataan diatas, pembelajaran IPA tidak dapat diajarkan semata dengan model ceramah.

Pembelajaran IPA sebaiknya pembelajaran dengan student centered, dimana siswa terlibat aktif dalam

percobaan ilmiah. Hal ini sejalan dengan model pembelajaran Project Based Learning (PJBL) dimana

model pembelajaran ini berpusat pada peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dan

dengan melibatkan kerja proyek berdasarkan permasalahan sebagai langkah awalnya. Kemudian

mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam

beraktivitas secara nyata dan merancang, memecahkan masalah, membuat keputusan, melakukan

kegiatan investigasi, dengan hasil akhir dari kerja proyek. Kerja proyek adalah suatu produk yang

berupa laporan tertulis atau lisan, presentasi atau rekomendasi (Afirianti, 2020).

Berikut ini adalah contoh penerapan project based learning dalam pembelajaran IPA pada materi

“rangkaian listrik” pada sub materi “rangkaian Seri” :

FASE PEMBELAJARAN KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA

Pertanyaan Mendasar 1. Guru menyampaikan 1. Siswa mengamati topik

6
topik (PPT) dari materi materi (PPT) yang

yang akan diajarkan pada ditampilkan oleh guru

pertemuan kali ini 2. Siswa Mengajukan

2. Guru membahas tujuan pertanyaan mendasar

dari materi apa yang harus

3. Guru mengajukan dilakukan peserta didik

pertanyaan bagaimana terhadap topik/

cara memecahkan pemecahan masalah.

masalah. 3. Peserta didik berdiskusi

4. Guru membagikan LKPD bersama guru dengan

kegiatan 1 menjawab pertanyaan.

5. Guru menjelaskan 4. Peserta didik dengan

langkah-langkah teman sebangkunya

menyelesaikan LKPD menganalisis informasi

kegiatan 1 berdasarkan struktur teks

eksplanasi ilmiah tentang

“Rangkaian Lampu di

Kelas ku” dan menjawab

pertanyaan pada LKPD

kegiatan 1.

Mendesain Perencanaan Produk 1. Guru membagikan LKPD 1. Peserta didik

2 tentang rangkaian mengerjakan LKPD 2

listrik seri 2. Peserta didik berdiskusi

2. Guru membagi peserta menyusun rencana

didik menjadi beberapa pembuatan proyek

kelompok. pemecahan masalah

3. Guru mengarahkan siswa meliputi pembagian

nya untuk menyusun dan tugas, persiapan alat,

membuat sebuah produk bahan, media, sumber

tentang materi rangkaian yang dibutuhkan.

listrik 3. Peserta didik mengamati

4. Guru memastikan setiap video tentang pembuatan

peserta didik dalam rangkaian listrik seri

7
kelompok memilih dan

mengetahui prosedur

pembuatan

proyek/produk yang

akan dihasilkan.

Menyusun Jadwal Pembuatan 1. Guru dan membuat 3. Peserta didik dipandu

kesepakatan tentang guru berdiskusi

jadwal pembuatan menyusun jadwal start

proyek (tahapan-tahapan dan finish tentang

dan pengumpulan). kegiatan proyek yang

2. Guru mengisi tabel pada akan dilaksanakan pada

Slide PPT yang berisi hari ini

pembagian waktu serta 4. Peserta didik menyusun

langkah – langkah jadwal penyelesaian

pengerjaan proyek. proyek dengan

memperhatikan batas

waktuyang telah

ditentukan bersama.

Memonitor Keaktifan dan 1. Guru memantau 3. Peserta didik berdiskusi

Perkembangan Proyek keaktifan peserta didik bersama kelompoknya

selama melaksanakan tentang kegiatan yang

proyek, berisi proyek membuat

2. Guru memantau realisasi rangkaian listrik seri

perkembangan dan 4. Peserta didik melakukan

membimbing jika siswa pembuatan proyek sesuai

mengalami kesulitan. jadwal, mencatat setiap

tahapan,

5. Peserta didik

mendiskusikan masalah

yang muncul selama

penyelesaian proyek

dengan guru.

Menguji Hasil 1. Guru berdiskusi tentang 4. Peserta didik Membahas

8
prototipe proyek, kelayakan proyek yang

memantau keterlibatan telah dibuat dan

peserta didik, mengukur membuat laporan

ketercapaian standar. produk/ karya untuk

2. Guru memberikan dipaparkan kepada orang

tanggapan atau umpan lain.

balik terhadap hasil 5. Peserta didik

presentasi kelompok mempresentasikan

3. Guru memberikan proyek yang sudah

kesempatan kepada dikerjakan

peserta didik untuk

bertanya dan melakukan

konfirmasi terkait materi.

Evaluasi Pengalaman Belajar 1. Guru membimbing 1. Setiap peserta didik

proses pemaparan memaparkan laporan,

proyek, menanggapi 2. peserta didik yang lain

hasil, selanjutnya guru memberikan tanggapan,

dan peserta didik 3. peserta didik

merefleksi/ kesimpulan. menyimpulkan hasil

proyek.

KESIMPULAN

Model pembelajaran project based learning sangat cocok diterapkan pada saat pembelajaran di kelas

untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Karena model pembelajaran project based

learning mempusatkan pembuatan proyek sebagai kegiatan utama pembelajaran, hal ini akan

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif karena siswa akan lebih bebas untuk berkreasi untuk

membuat atau merancang suatu proyek. Pengalaman belajar yang didapat siswa merupakan kondisi

yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kreatif. Terdapat enam sintaks, yaitu: membuka

pelajaran dengan menanya, merencanakan proyek, menyusun jadwal aktivitas, mengawasi jalannya

9
proyek, penilaian terhadap produk yang dihasilkan, evaluasi. Model pembelajaran tersebut dapat

mendorong siswa untuk lebih bisa berkolaborasi, gotong royong, dan empati dengan sesama.

Model pembelajaran Project base learning lemah dalam proses pembelajaran pemecahan masalah

tertentu, ada mahasiswa yang aktif dan tidak aktif, perlu ditunjang oleh buku referensi yang dapat

dijadikan pemahaman dalam kegiatan pembelajaran, juga dibutuhkan biaya yang besar dalam

pembuatan produk. Keunggulannya pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk

mengembangkan pengetahuan barunya dan dapat bertanggung jawab dalam pembelajaran yang

mereka lakukan, jugga dapat mendorong melakukan evaluasi diri baik terhadap hasil belajar

maupun proses belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, P. D., & Wulandari, S. S. (2021). Analisis penggunaan model pembelajaran project
based learning dalam peningkatan keaktifan siswa. Jurnal Pendidikan Administrasi Perkantoran
(JPAP), 9(2), 292-299.
Arifianti, U. (2020). Project Based Learning dalam Pembelajaran IPA. In Social, Humanities,
and Educational Studies (SHES): Conference Series (Vol. 3, No. 3, pp. 2079-2082).
Dewi, M. R. (2022). Kelebihan dan kekurangan project-based learning untuk penguatan profil
pelajar pancasila kurikulum merdeka. Inovasi Kurikulum, 19(2), 213-226.
Kurniawan, S., Suryaningsih, Y., & Gaffar, A. A. (2019, October). Penerapan Model
Pembelajaran Project Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. In
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan (Vol. 1, pp. 622-629).
Martati, B. (2022). Penerapan Project Based Learning Dalam Pembelajaran Di Sekolah Dasar.

10
Proceeding Umsurabaya, 1(1).

11
BAB 5

E-LEARNING, BLENDED LEARNING, DAN HYBRID LEARNING

Dewi Peronika Hutasoit dan Hotdiamjah Purba

A. E-LEARNING

E-Learning adalah pembelajaran yang memanfaatkan paket informasi berbasis teknologi informasi dan

komunikasi untuk kepentingan peserta didik yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja. E-Learning

adalah proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara sistematis

dengan mengintegrasikan semua komponen, termasuk interaksi lintas ruang dan waktu, dengan kualitas

yang terjamin.

E-Learning adalah proses pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang

dilaksanakan secara terencana dan sistematis dengan mengintegrasikan semua komponen peserta didik,

guru dan sumber daya lain yang dapat di akses kapan saja dan dimana saja dengan kualitas yang terjamin

dan unggul. Pembelajaran dengan e-Learning dilaksanakan melalui media aplikasi online yang disebut

Learning Management System (LMS) yang pada prinsipnya merupakan kelas yang berwujud maya (virtual

class) (Widagdo dkk., 2018).

1) Karakteristik Pembelajaran E-Learning

Menurut Dara, dkk. (2021), menjelaskan terdapat beberapa karakteristik dalam pembelajaran e-learning,

yaitu sebagai berikut:

1) Interactivity (interaktivitas): tersedianya jalur komunikasi yang lebih banyak, baik secara langsung

(synchronous), seperti chatting atau messenger atau tidak langsung (asynchronous) seperti forum, mailing

list atau buku tamu.

2) Independency (kemandirian): fleksibilitas dalam aspek penyediaan waktu, tempat, pengajar dan bahan

ajar. Hal ini menyebabkan pembelajaran menjadi lebih terpusat kepada siswa (student-centered learning)

3) Accessibility (aksesibilitas): sumber-sumber belajar menjadi lebih mudah di akses melalui

pendistribusian dijaringan internet dengan akses yang lebih luas dari pada pendistribusian sumber

belajar pada pembelajaran konvensional.

4) Enrichment (pengayaan): kegiatan pembelajaran, presentasi materi kuliah dan materi penelitian sebagai

pengayaan, memungkinkan penggunaan perangkat teknologi informasi seperti video streaming,

simulasi dan animasi.

Keempat karakteristik diatas merupakan hal yang membedakan E-learning dari kegiatan pembelajaran

secara konvensional. Dalam E-learning, daya tangkap siswa pada materi pembelajaran tidak lagi tergantung

pada instruktur/guru, karena siswa mengonstruksi sendiri ilmu pengetahuannya melalui bahan-bahan ajar

yang disampaikan melalui interface situs web. Dalam E-learning pula, sumber ilmu pengetahuan tersebar
dimana-mana serta dapat diakses dengan mudah oleh setiap orang. Hal ini dikarenakan sifat media internet

yang mengglobal dan bisa di akses oleh siapa pun.

2) Manfaat Pembelajaran e-Learning

Menurut Hartanto (2016), menjelaskan bahwa terdapat banyak manfaat dalam penerapan pembelajaran

e-learning. E-learning dapat membawa suasana baru dalam ragam pengembangan pembelajaran.

Pemanfaatan e-learning dengan baik dapat meningkatkan hasil pembelajaran dengan maksimal. Beberapa

manfaat dari e-learning diantaranya adalah:

1) Fleksibilitas tempat dan waktu, jika pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk

hadir di kelas pada jam-jam tertentu, maka e-learning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu

dan tempat untuk mengakses pelajaran.

2) Independent learning, e-learning memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk memegang kendali atas

kesuksesan belajar masing-masing. Artinya pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan

mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih

dulu. Jika ia mengalami kesulitan, ia bisa mengulang-ulang lagi sampai ia merasa mampu memahami.

Pembelajar juga bisa menghubungi instruktur, narasumber melalui email atau ikut dialog interaktif

pada waktu-waktu tertentu. Banyak orang yang merasa cara belajar independen seperti ini lebih efektif

daripada cara belajar lainnya yang memaksakannya untuk belajar dengan urutan yang telah ditetapkan.

3) Biaya, banyak biaya yang bisa dihemat dari cara pembelajaran dengan e-learning. Secara finansial, biaya

yang bisa dihemat, antara lain biaya transportasi ke tempat belajar dan akomodasi selama belajar, biaya

administrasi pengelolaan, penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar.

4) Fleksibilitas kecepatan pembelajaran, e-learning dapat disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-

masing siswa. Apabila siswa belum mengerti dan memahami modul tertentu, maka ia dapat

mengulanginya lagi sampai ia paham.

5) Standarisasi pengajaran, pembelajaran e-learning selalu memiliki kualitas sama setiap kali diakses dan

tidak tergantung suasana hati pengajar.

6) Efektifitas pengajaran, penyampaian pelajaran e-learning dapat berupa simulasi dan kasus-kasus,

menggunakan bentuk permainan dan menerapkan teknologi animasi canggih.

7) Kecepatan distribusi, e-learning dapat dengan cepat menjangkau ke seluruh penjuru, tim desain hanya

perlu mempersiapkan bahan pelajaran secepatnya dan menginstal hasilnya di server pusat e-learning.

8) Ketersediaan On-Demand, e-learning dapat diakses sewaktu-waktu.

9) Otomatisasi proses administrasi, e-learning menggunakan suatu Learning Management System (LMS)

yang berfungsi sebagai platform pelajaran-pelajaran e-learning. LMS berfungsi pula menyimpan data-

data pelajar, pelajaran, dan proses pembelajaran yang berlangsung.


3) Pendekatan Pembelajaran dalam e-Learning

Pendekatan pembelajaran dalam e-Learning secara umum dapat dikategorikan menjadi dua yaitu

sebagai berikut (Widagdo dkk., 2018).

a) Asynchronous

Asynchronous merupakan aktivitas yang menggunakan teknologi dalam bentuk blogs, wikis, email dan

discussion boards. Dalam bentuk ini peserta didik dapat mengembangkan ide atau saling bertukar ide

atau informasi tanpa keterkaitan antara siswa satu dengan lainnya pada waktu yang sama, sebagai

contoh penggunaan e-mail dimana pesan dapat dikirim atau diterima tanpa keduanya harus berada

pada waktu yang bersamaan.

b) Synchronous

Synchronous merupakan aktivitas yang menggunakan teknologi informasi yang mengharuskan peserta

didik menggunakan waktu yang bersamaan. Face to face discussion merupakan salah satu contoh bentuk

komunikasi synchronous. Aktivitas synchronous mempersyaratkan seluruh partisipan saling

berkomunikasi atau berhubungan antara satu dengan yang lain seperti sesi online atau virtual classroom.

Contohnya adalah penggunaan aplikasi zoom meeting dan google meet.

4) Contoh Penerapan Pembelajaran E-learning

Salah satu contoh penerapan pembelajaran e-learning adalah Learning Management System (LMS). LMS

berkembang pada tahun 2000, kemudian menjadi aplikasi e-learning berbasis web. LMS berbasis web ini

akhirnya digabungkan dengan situs-situs informasi majalah dan surat kabar. Adapun isi LMS ini adalah

perpaduan multimedia, video streaming dan penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data (Al-

Ihwanah, 2016).

Implementasi e-learning dalam dunia pendidikan memberikan sejumlah manfaat, yaitu sebagai berikut:

a) Manfaat bagi peserta didik

Peserta didik dapat memperoleh fleksibilitas belajar secara lebih optimal serta dapat melakukan

komunikasi dengan guru secara lebih intensif.

b) Manfaat bagi Pendidik

1) Pendidik akan lebih mudah melakukan update bahan-bahan pembelajaran sesuai dengan tuntutan

zaman.

2) Pendidik juga akan memiliki waktu luang yang lebih banyak sehingga bisa dimanfaatkan untuk

melakukan penelitian dan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya yang dapat meningkatkan

wawasan atau pengetahuannya

3) Pendidik dapat mengontrol kebiasaan belajar peserta didik.

4) Pendidik lebih mudah dalam melakukan kontrol terhadap peserta didik yang telah mengumpulkan

jawaban soal latihan atau yang belum mengumpulkan.

5) Pendidik dapat memeriksa jawaban peserta didik dan dapat menginformasikan hasilnya.
c) Manfaat bagi Instansi (sekolah atau perguruan tinggi)

1) Tersedianya bahan ajar atau materi pembelajaran yang telah divalidasi sesuai dengan bidangnya

2) Ada pengembangan materi pembelajaran sesuai pokok-pokok materi dan tujuan pembelajarannya

3) Sebagai pedoman praktis implementasi pembelajaran sesuai kondisi dan karakteristik

pembelajaran.

4) Memotivasi sikap kerja sama antara pendidik dengan pendidik dan antara pendidik dengan peserta

didik dalam memecahkan persoalan-persoalan terkait pelaksanaan pembelajaran.

Selain manfaat tersebut, e-learning juga memiliki sejumlah kelemahan. Adapun kelemahan e-learning

adalah sebagai berikut:

a) E-learning terkadang dapat membuat interaksi antara pendidik dan peserta didik menjadi berkurang.

Hal ini dapat memicu keterlambatan pembentukan nilai (value) dalam proses pembelajaran.

b) Cenderung menimbulkan aspek bisnis atau komersial dan mengesampingkan aspek aspek akademik

dan aspek-aspek sosial.

c) Proses pembelajaran cenderung pelatihan bukan pendidikan

d) Tidak semua tempat ada fasilitas internet

e) Kurangnya tenaga ahli IT.

B. BLENDED LEARNING

Pembelajaran campuran (Blended learning) merupakan program pendidikan formal yang

memungkinkan siswa belajar (paling tidak sebagian) melalui konten dan petunjuk yang disampaikan secara

daring (online) dengan kendali mandiri terhadap waktu, tempat, urutan, maupun kecepatan belajar.

Menurut Widiara (2018), menyatakan bahwa blended learning merupakan strategi belajar mengajar yang

bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan cara memadukan pembelajaran berbasis kelas/tatap

muka dengan pembelajaran berbasis teknologi dan informasi yang dilakukan secara daring (online).

Terdapat lima kunci untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan blended learning, yaitu sebagai

berikut:

1) Live Event

Pembelajaran langsung atau tatap muka (instructor-led instruction) secara sinkronous dalam waktu dan

tempat yang sama (classroom) ataupun waktu sama tapi tempat berbeda (virtual classroom). Bagi beberapa

orang tertentu, pola pembelajaran langsung seperti ini masih menjadi pola utama. Namun demikian,

pola pembelajaran langsung inipun perlu didesain sedemikian rupa untuk mencapai tujuan sesuai

kebutuhan. Pola ini juga bisa saja mengkombinasikan teori behavorisme, kognitivisme dan

konstructivisme sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna.

2) Self-Paced Learning

Yaitu mengombinasikan dengan pembelajaran mandiri (self-paced learning) yang memungkinkan peserta

belajar kapan saja, dimana saja dengan menggunakan berbagai konten (bahan belajar) yang dirancang

khusus untuk belajar mandiri baik yang bersifat text-based maupun multimedia-based (video, animasi,
simulasi, gambar, audio, atau kombinasi kesemuanya). Bahan belajar tersebut, dalam konteks saat ini

dapat disampaikan secara online (melalui web maupun melalui mobile device dalam bentuk: streaming

audio, streaming video, dan e-book) maupun offline (dalam bentuk CD dan cetak).

3) Collaboration

Mengombinasikan baik pendidik maupun peserta didik yang kedua-duanya bisa lintas

sekolah/kampus. Dengan demikian, perancang blended learning harus meramu bentuk-bentuk

kolaborasi, baik kolaborasi antar teman sejawat ataupun kolaborasi antar peserta didik dan pendidik

melalui tool-tool komunikasi yang memungkinkan seperti chatroom, forum diskusi, email,

website/webblog, dan mobile phone. Tentu saja kolaborasi diarahkan untuk terjadinya konstruksi

pengetahuan dan keterampilan melalui proses sosial atau interaksi sosial dengan orang lain, bisa untuk

pendalaman materi, problem solving dan project-based learning.

4) Assessment

Dalam blended learning, perancang harus mampu meramu kombinasi jenis penilaian baik yang bersifat

tes maupun non-tes, atau tes yang lebih bersifat otentik (authentic assesment/portofolio). Disamping itu,

juga perlu mempertimbangkan ramuan antara bentuk-bentuk assessment online dan assessment offline.

Sehingga memberikan kemudahan fleksibilitas peserta belajar mengikuti atau melakukan penelitian

tersebut.

5) Performance Support Materials

Jika kita ingin mengkombinasikan antara pembelajaran tatap muka dalam kelas dan tatap muka virtual,

perhatikan sumber daya untuk mendukung hal tersebut siap atau tidak, ada atau tidak. Bahan belajar

yang disiapkan dalam bentuk digital, apakah bahan belajar tersebut dapat diakses oleh peserta didik

secara offline (dalam bentuk CD, MP3, dan DVD) maupun secara online. Jika pembelajaran dibantu

dengan suatu Learning/Content Management System (LCMS), pastikan juga bahwa aplikasi sistem ini telah

terinstal dengan baik dan mudah diakses.

1) Karakteristik Pembelajaran Blended Learning

Menurut Dewi, dkk. (2018), menjelaskan bahwa terdapat beberapa karakteristik dari blended learning

adalah sebagai berikut:

1) Blanded learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan-pelatihan

tentang materi keguruan baik substansi materi pelajaran maupun ilmu pendidikan secara online.

2) Blended learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara

konvensional (model belajar konvensional, kajian terdapat buku teks, CD-ROM dan pelatihan berbasis

komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi.

3) Blended learning tidak berarti menggantikan model pembelajaran konvensional di dalam kelas, tetapi

memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan konten dan pengembangan

teknologi pendidikan.
4) Kapasitas pendidik amat bervariasi bergantung pada bentuk isi dan penyampaiannya. Makin baik

keselarasan antara konten dan alat penyampaian dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas

siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.

5) Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Pendidik dan siswa, sesama siswa atau pendidik dan sesama

pendidik dapat berkomunikasi dengan relatif mudah dengan tanpa dibatasi oleh hal-hal

yang protokoler.

6) Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan komputer networks).

7) Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehingga dapat

diakses oleh pendidik dan siswa tanpa terkendala waktu dan tempat.

8) Memanfaatkan jadwal pelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan

administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.

2) Penerapan Blended Learning

Ada 6 tahapan dalam mengimplementasikan blended learning dalam proses pembelajaran agar hasilnya

optimal, diantaranya adalah (Dewi dkk., 2018):

a. Menetapkan macam dan materi bahan ajar. Pendidik harus paham betul bahan ajar yang seperti apa

yang relevan diterapkan yang sebagian dilakukan secara face to face dan secara online atau web based

Learning.

b. Tetapkan rancangan dari blended learning yang digunakan. Rancangan pembelajaran harus benar-

benar dirancang dengan baik dan serius. Hal ini bertujuan agar rancangan pembelajaran yang dibuat

benar-benar relevan dan memudahkan sistem pembelajaran face to face atau online. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam rancangan pembelajaran adalah:

(1) Bagaimana bahan ajar disajikan,

(2) Bahan ajar mana yang bersifat wajib dan mana yang sifatnya memperkaya pengetahuan,

(3) Bagaimana siswa bisa mengakses pembelajaran tersebut,

(4) Faktor pendukung yang diperlukan, misalnya software, apakah diperlukan kerja kelompok atau

individu saja.

d) Tetapkan format online learning. Apakah bahan ajar tersedia dalam format PDF, video, juga perlu adanya

pemberitahuan hosting apa yang dipakai oleh guru, apakah Yahoo, Google, Facebook, dan lainnya.

e) Melakukan uji terhadap rancangan yang dibuat. Uji ini dilakukan agar mengetahui apakah sistem

pembelajaran ini sudah berjalan dengan baik atau belum. Mulai dari efektivitas dan efisiensi sangat

diperhatikan, apakah justru mempersulit siswa dan guru atau bahkan benar-benar mempermudah

pembelajaran.

f) menyelenggarakan blended learning dengan baik. Sebelumnya sudah ada sosialisasi dari guru mengenai

sistem ini. Mulai dari pengenalan tugas masing-masing komponen pendidikan, cara akses terhadap

bahan ajar, dan lain-lain.


g) Menyiapkan kriteria untuk melakukan evaluasi. Contoh evaluasi yang dilakukan adalah dengan a) Ease

to navigate, b) content/substance, c) Layout/format/appearance, d) interst, e) Applicability, f) Cost-

effectiveness/value.

C. HYBRID LEARNING

Hybrid learning adalah metode pembelajaran campuran, antara pembelajaran tatap muka dengan

pembelajaran dalam jaringan. Model pembelajaran Hybrid learning merupakan suatu model pembelajaran

yang didalamnya terdapat penggabungan pembelajaran secara tatap muka dikelas dan ditambah dengan

pembelajaran dengan menggunakan komputer secara offline dan online. Hybrid learning adalah model

pembelajaran yang mengintegrasikan inovasi dan kemajuan teknologi melalui sistem online learning dengan

interaksi dan partisipasi dari model pembelajaran tradisional model pembelajaran hibrid ini, sekolah

mendesain kelas pembelajaran tatap muka secara terbatas dengan pembelajaran online secara langsung

dengan bantuan zoom, peserta didik yang ada di sekolah belajar secara langsung dan peserta didik yang

belajar di rumah menggunakan perangkat laptop/handphone masing-masing (Hidayat, 2022).

Menurut Hariadi dkk., (2018), Menjelaskan bahwa model Hybrid Learning adalah pembelajaran untuk

menyediakan isi model pembelajaran dalam berbagai media (termasuk, namun tidak terbatas pada

tradisional, berbasis web, berbasis komputer, dan video teletraining) untuk mengikuti dengan kebutuhan

belajar saat ini. Penerapan Hybrid Learning ini dapat meningkatkan hasil belajar literasi dan keterampilan

berpikir tingkat tinggi, namun masih perlu penyempurnaan dengan mengintegrasikan aplikasi yang dapat

menyiapkan mahasiswa bersaing di era revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan Internet of Things (IoTs)

dan Big Data. Untuk melengkapi kelemahan pada implementasi model Hybrid Learning maka sangat perlu

dikembangkan model pembelajaran inovatif yang dapat meningkat kemampuan literasi data dan

keterampilan berpikir kritis peserta didik. Fakta di atas menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan di

Indonesia.

1) Jenis Pembelajaran Hybrid Learning

Pembelajaran model hybrid merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang bersifat metodologi

dikembangkan oleh Guillermo dan kawan – kawan pada tahun 1999 di Universitas Tecnica Federico Santa

Maria Valpariso Chili. Pembelajaran ini menggabungkan beberapa metode pembelajaran. Pembelajaran

model hybrid dibagi menjadi tiga tipe yaitu:

• Traditional Classes – Real Workshop (TC – RW).

• Traditional Classes – Virtual Workshop (TC – VW).

• Traditional Classes – Real Workshop – Virtual Workshop (TC – RW – VW).

Sehingga dapat dikatakan bahwa model pembelajaran hybrid adalah gabungan dari beberapa

metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep (Abdullah dan Luhriyani, 2017).
2) Tujuan Pembelajaran Hybrid Learning

Menurut Hariadi (2018), menjelaskan bahwa terdapat beberapa tujuan dari pembelajaran hybrid learning,

yaitu sebagai berikut:

1) Memberikan kemudahan kepada pengajar dan peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas

maupun di luar kelas.

2) Memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk lebih kreatif dalam kegiatan pembelajaran dengan

menggunakan Komputer dan IT

3) Memberi kesempatan kepada peserta didik belajar baik secara mandiri, maupun secara kelompok.

4) Memberi kemudahan pengajar dalam memberikan materi pelajaran karena semua bahan ajar sudah siap

dalam server computer.

5) Memberi kemudahan kepada pengajar dalam memberikan tugas kinerja kepada peserta didik, karena

semua LK disiapkan.

6) Memberikan penilaian yang objektif kepada peserta didik karena setiap tugas yang diberikan dapat

dilihat nilainya.

3) Keunggulan Pembelajaran Hybrid Learning

Menurut Hariadi (2018), menjelaskan bahwa model pembelajaran Hybrid learning memiliki keunggulan,

yaitu sebagai berikut:

1) Hybrid learning memiliki penyampaian informasi, komunikasi, tentang substansi materi pelajaran

maupun ilmu pengetahuan secara online.

2) Hybrid learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional

(model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan latihan berbasis komputer)

sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi.

3) Hybrid learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi

memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi

pendidikan.

4) Kapasitas serta kemampuan pengajar amat bervariasi bergantung pada bentuk isi dan cara

penyampaiannya di dalam pembelajaran yang dapat memberi hasil yang lebih baik.

5) Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan komputer networks).

6) Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehingga dapat

diakses oleh pengajar dan peserta didik kapan saja dan di mana saja bila yang bersangkutan

memerlukannya.

7) Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan

dengan administrasi dapat dilihat setiap saat di komputer.


KESIMPULAN

E-Learning, sebagai bentuk pembelajaran sepenuhnya berbasis online, memungkinkan siswa untuk

mengakses materi pembelajaran kapan saja dan di mana saja dengan bantuan perangkat elektronik seperti

komputer, tablet, atau ponsel pintar. Teknologi ini memanfaatkan berbagai media, seperti video, audio, dan

teks interaktif, untuk menyampaikan materi dengan cara yang lebih menarik dan menggerakkan partisipasi

aktif siswa.

Blended Learning mengintegrasikan pembelajaran konvensional di kelas dengan komponen

pembelajaran online. Pendekatan ini memungkinkan kombinasi antara interaksi sosial dan bimbingan

langsung dari guru dengan fleksibilitas dan aksesibilitas E-Learning. Melalui Blended Learning, siswa dapat

mengalami pembelajaran yang lebih personal dan disesuaikan dengan kecepatan mereka sendiri.

Hybrid Learning merupakan penggabungan antara pembelajaran tatap muka dan pembelajaran

online dalam satu kurikulum. Siswa memiliki kesempatan untuk memilih apakah mereka ingin menghadiri

kelas fisik atau memanfaatkan sumber daya pembelajaran online. Pendekatan ini memungkinkan siswa

untuk mendapatkan pengalaman belajar yang lebih beragam dan menyesuaikan dengan preferensi dan

kebutuhan individu mereka.

Dalam konteks pembelajaran IPA, penggunaan E-Learning, Blended Learning, dan Hybrid Learning

menawarkan manfaat yang signifikan. Materi-materi kompleks dapat disajikan dengan cara yang lebih

menarik dan interaktif, sementara siswa memiliki fleksibilitas untuk menjelajahi konten secara mendalam

sesuai dengan minat dan kemampuan mereka sendiri. Dengan memanfaatkan teknologi dan strategi

pembelajaran inovatif ini, diharapkan dapat meningkatkan minat, pemahaman, dan prestasi siswa dalam

bidang IPA.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah dan Luhriyani, S. (2017). Model Pembelajaran Hybrid E- Learning. Makassar: Badan Penerbit
Universitas Negeri Makassar.

Al-Ihwanah, A. I. (2016). Implementasi E-Learning Dalam Kegiatan Pembelajaran Pgmi lain Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 11(1), 76-91.

Dara, S. D., Oktrifianty, E., & Magdalena, I. (2021). Efektivitas E-Learning sebagai Media Pembelajaran
IPA pada Siswa Kelas IV SDN Karang Tengah 2. Jurnal EDISI, 3(3), 460-471.

Dewi, K. C., Ciptayani, P. I., Surjono, H. D., & Priyanto, P. (2019). Blended Learning: Konsep dan
Implementasi pada Pendidikan Tinggi Vokasi. Bali: Swasta Nulus.

Hariadi, B., Jatmiko, B., Sunarto, D., Prahani, B, K., Sagirani, T. (2018). Buku Model Scientific Hybrid
Learning (Shl) Menggunakan Aplikasi Brilian. Surabaya: Ristekdikti Press.

Hartanto, W. (2016). Penggunaan e-learning sebagai Media Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Ekonomi:
Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi dan Ilmu Sosial, 10(1), 1-15.

Hidayat. (2022). Pengembangan Hybrid Learning Model Pada Pembelajaran IPA di Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusif. Jurnal Guru Dikmen dan Diksus. 5(2), 267-284.

Widagdo, W., Karmawati, I.A., Jauhari, A., Siregar, R.B.P., Supartini, Y., Krisanty, P., Sudiarto., Amelia,
R., Fauzi, M.M., Palestin, B., Haryani, W., Astuti, A.B., Winarko., Sutomo, O., Khair, A., Mas'odah,
S., Pramono, J.S., Firdaus, R., Soep., Ikob, R., Gasma, A., Tarjuman., Fikri, E., Ekomulyo,
G.P., Husni, A., Kadarusno, A.H., & Lestari, S. (2018). Pedoman Penyelenggaraan Pembelajaran Dengan
E-Learning Pada Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan. Jakarta: Pusat Pendidikan SDM
Kesehatan.

Widiara, I. K. (2018). Blended Learning Sebagai Alternatif Pembelajaran Di Era Digital. Purwadita: Jurnal
Agama dan Budaya, 2(2), 50-56.
BAB 6

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR

Emmy Florensyah Sinaga & Jeremia O.S Parhusip

A. Pengantar

Perubahan kurikulum berbasis keunggulan lokal tersebut bukan berarti kurikulum yang menolak

keberadaan kemajuan Iptek yang berkembang pesat saat ini, akan tetapi kurikulum tersebut terus

mengalami perubahan secara dinamis dan akomodatif terhadap tuntutan perkembangan zaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, dipersyaratkan bahwa guru diharapkan mampu

mengembangkan materi pembelajaran sendiri3 yang dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan

belajar peserta didik. Hal ini dipertegas malalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

(Permendiknas) nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses, yang antara lain mengatur tentang

perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk

mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).4 Salah satu elemen dalam RPP adalah

sumber belajar. Menurut pengertian sumber belajar dari Association for Educational Communications

and Technology (AECT) dan Banks dinyatakan bahwa salah satu komponen sumber belajar adalah

bahan/materi ajar. 5 Bahan merupakan perangkat lunak (software) yang mengandung pesan-pesan

belajar, yang biasanya disajikan menggunakan peralatan tertentu. Contoh bahan ajar tersebut misalnya

buku teks (handbooks), modul, film, overhead transparancy (OHT) atau overhead projector (OHP),

program kaset audio, dan program video.

Secara harfiah dalam bahasa Inggris istilah bahan berarti material. Begitu pula materi dalam bahasa

Inggris juga berarti material. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bahan ajar atau materi

pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan

sikap, yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah

ditentukan. Dalam Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 dinyatakan materi ajar memuat fakta, konsep,

prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan

indikator pencapaian kompentensi.6 Jadi, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar atau materi ajar maupun

bahan pembelajaran merupakan bagian dari sumber belajar dimana terdiri dari pengetahuan,

keterampilan, dan sikap atau perangkat lunak yang mengandung pesan pembelajaran yang disajikan

menggunakan peralatan tertentu dalam proses pembelajaran(Supardi, 2020).

B. Hakikat Bahan Ajar

Bahan ajar memiliki beragam interpretasi dari para pakar pendidikan terutama pakar teknologi

pembelajaran. Di antaranya ada yang menjelaskan bahwa bahan ajar adalah bahan atau materi pelajaran

yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru atau pendidik dan peserta didik dalam proses

pembelajaran. Sugiarto menjelaskan bahwa buku ajar merupakan buku yang disusun untuk

1
kepentingan proses pembelajaran baik yang bersumber dari hasil-hasil penelitian atau hasil dari sebuah

pemikiran tentang sesuatu atau kajian bidang tertentu yang kemudian dirumuskan menjadi bahan

pembelajaran Bahan ajar bersifat sistematis artinya disusun secara urut sehingga memudahkan peserta

didik belajar. Selain itu bahan ajar juga bersifat unik dan spesifik. Unik maksudnya bahan ajar hanya

digunakan untuk sasaran tertentu dan dalam proses pembelajaran tertentu, dan spesifik artinya isi

bahan ajar dirancang sedemikian rupa hanya untuk mencapai kompetensi tertentu dari sasaran tertentu.

Bahan ajar itu juga bersifat sangat unik dan spesifik. Unik, artinya bahan ajar tersebut hanya dapat

digunakan untuk audiens tertentu dalam suatu proses pembelajaran tertentu. Sebagai contoh, bahan

ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas V (lima) SD/MI hanya akan cocok digunakan pada anak

sekolah dasar (SD) atau Madarasah Ibtidaiyah (MI) kelas V saja dan bukan peruntukan untuk kelas

dibawah maupun di atasnya, demikian juga dengan bahan ajar lainnya. Spesifik artinya isi bahan ajar

tersebut dirancang sedemikian rupa hanya untuk mencapai tujuan tertentu dari audiens

tertentu(Supardi, 2020).

C. Jenis Bahan Ajar

Bahan ajar memiliki beragam jenis, ada yang cetak maupun noncetak. Bahan ajar cetak yang sering

dijumpai antara lain berupa handout, buku, modul, brosur, dan lembar kerja siswa. Handout adalah

“segala sesuatu” yang diberikan kepada peserta didik ketika mengikuti kegiatan pembelajaran. Jadi,

handout dibuat dengan tujuan untuk memperlancar dan memberikan bantuan informasi atau materi

pembelajaran sebagai pegangan bagi peserta didik. Kemudian, ada juga yang mengartikan handout

sebagai bahan tertulis yang disiapkan untuk memperkaya pengetahuan peserta didik. Guru dapat

membuat handout dari beberapa literatur yang memiliki relevansi dengan kompetensi dasar yang akan

dicapai oleh siswa. Saat ini handout dapat diperoleh melalui download internet atau menyadur dari

berbagai buku dan sumber lainya.

Secara umum, buku dibedakan menjadi empat jenis (Prastowo, 2011:79) yaitu sebagai berikut. 1. Buku

sumber, yaitu buku yang dapat dijadikan rujukan, referensi, dan sumber untuk kajian ilmu tertentu,

biasanya berisi suatu kajian ilmu yang lengkap.

2. Buku bacaan, yaitu buku yang hanya berfungsi untuk bahan bacaan saja, misalnya cerita, legenda,

novel, dan lain sebagainya.

3. Buku pegangan, yaitu buku yang bisa dijadikan pegangan guru atau pengajar dalam melaksanakan

proses pengajaran.

4. Buku bahan ajar, yaitu buku yang disusun untuk proses pembelajaran dan berisi bahan-bahan atau

materi pembelajaran yang akan diajarkan.

2
Modul merupakan bahan ajar yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa

atau dengan bimbingan guru, oleh karena itu, modul harus berisi tentang petunjuk belajar, kompetensi

yang akan dicapai, isi materi pelajaran, informasi pendukung, latihan soal, petunjuk kerja. Dengan

pemberian modul, siswa dapat belajar mandiri tanpa harus dibantu oleh guru. Siswa yang memiliki

kecepatan belajar yang rendah dapat berkali-kali mempelajari setiap kegiatan belajar tanpa terbatas oleh

waktu, sedangkan siswa yang kecepatan belajarnya tinggi akan lebih cepat mempelajari suatu

kompetensi dasar. Pada intinya, modul sangat mewadahi kecepatan belajar siswa yang berbeda-beda.

Lembar kerja siswa (LKS) adalah materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga siswa

diharapkan dapat materi ajar tersebut secara mandiri. Dalam LKS, siswa akan mendapatkan materi,

ringkasan, dan tugas yang berkaitan dengan materi. Selain itu, siswa juga dapat menemukan arahan

yang terstruktur untuk memahami materi yang diberikan dan pada saat yang bersamaan siswa

diberikan materi serta tugas yang berkaitan dengan materi tersebut (Prastowo, 2011:204). Sedangkan

bahan ajar noncetak meliputi bahan ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, peringan hitam, dan

compact disc audio. Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disc dan film.

Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti CAI (Computer assisted

instruction), compact disk (CD) multimedia pembelajaran interaktif, dan bahan ajar berbasis web (web

based learning materials)(Yuberti, 2018).

D. Fungsi Bahan Ajar

Secara garis besar, fungsi bahan ajar bagi guru adalah untuk mengarahkan semua aktivitasnya dalam

proses pembelajaran sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada

siswa. Sedangkan bagi siswa akan menjadi pedoman dalam proses pembelajaran dan merupakan

substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari. Bahan ajar juga berfungsi sebagai alat evaluasi

pencapaian hasil pembelajaran. Bahan ajar yang baik sekurang-kurangnya mencakup petunjuk belajar,

kompetensi yang akan dicapai, isi pelajaran, informasi pendukung, latihan-latihan, petunjuk kerja,

evaluasi, dan respon terhadap hasil evaluasi.

Ketika sebuah bahan ajar telah dibuat dengan kaidah yang tepat, guru akan dengan mudah

mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, didalamnya akan ada beberapa

kompetansi yang harus diajarkan/dilatihkan kepada siswa. Selain itu, dari segi siswa, dengan adanya

bahan ajar akan lebih tahu kompetensi apa saja yang harus dikuasai selama program pembelajaran

sedang berlangsung. Siswa jadi memiliki gambaran skenario pembelajaran lewat bahan ajar.

Karakteristik siswa yang berbeda berbagai latar belakangnya akan sangat terbantu dengan adanya

kehadiran bahan ajar, karena dapat dipelajari sesuai dengan kemampuan yang dimiliki sekaligus

sebagai alat evaluasi penguasaan hasil belajar karena setiap kegiatan belajar dalam bahan ajar akan

selalu dilengkapi dengan sebuah evaluasi guna mengukur penguasaan kompetensi pertujuan

3
pembelajaran. Ketika siswa telah memperoleh nilai yang baik untuk satu kegiatan belajar maka dapat

berlanjut ke kegiatan belajar berikutnya.

1. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran klasikal, antara lain:

a. Sebagai satu-satunya sumber informasi serta pengawas dan pengendalian proses

pembelajaran (dalam hal ini, siswa bersifat pasif dan belajar sesuai kecepatan siswa dalam

belajar).

b. Sebagai bahan pendukung proses pembelajaran yang diselenggarakan.

2. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran individual, antara lain:

a) Sebagai media utama dalam proses pembelajaran.

b) Sebagai alat yang digunakan untuk menyusun dan mengawasi proses peserta didik dalam

memperoleh informasi.

c) Sebagai penunjang media pembelajaran individual lainnya.

3. Fungsi bahan ajar dalam pembelajaran kelompok, antara lain:

a) Sebagai bahan yang terintegrasi dengan proses belajar kelompok, dengan cara memberikan

informasi tentang latar belakang materi, informasi tentang peran orang-orang yang terlibat

dalam belajar kelompok, serta petunjuk tentang proses pembelajaran kelompok sendiri.

b) Sebagai bahan pendukung bahan ajar utama, dan apabila dirancang sedemikian rupa, maka

dapat meningkatkan motivasi belajar siswa(Yuberti, 2018).

E. Karakteristik Bahan Ajar

Sesuai dengan pedoman penulisan modul yang di keluarkan oleh Direktorat Guruan Menengah

Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Dapertemen Pendidikan Nasional

Tahun 2003, bahan ajar memiliki beberapa karakteristik, yaitu self intructional, self contained, stand alone,

adaptive, dan user friendly.

Pertama, self instructional yaitu bahan ajar dapat membuat siswa maupun membelajarkan diri sendiri

dengan bahan ajar yang di kembangkan. Untuk memenuhi karakter self instuctional, maka di dalam

bahan ajar harus terdapat tujuan yang di rumuskan dengan jelas, baik tujuan akhir maupun tujuan

antara. Selain itu, dengan bahan ajar akan memudahkan siswa belajar secara tuntas dengan

memberiakan materi pembelajaran yang di kemas ke dalam unit-unit atau kegiatan yang lebih spesifik.

Kedua, self cintained yaitu seluruh materi pelajaran dari satu unit kompetensi atau subkompetensi yang

dipelajari terdapat di dalam satu bahan ajar secara utuh

Ketiga, stand alone (berdiri sendiri) yaitu bahan ajar yang di kembangkan tidak tergantung pada bahan

ajar lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain (Widodo & Jasmadi, 2008:50)

Keempat, adaptive yaitu bahan ajar hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap

perkembangan ilmu dan teknologi (Widodo & Jasmadi, 2008:50)

4
Kelima, user friendly yaitu setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan

bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakaian dalam merespons dan mengakses

sesuai dengan keinginan (Widodo & Jasmadi, 2008:50).

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan bahan ajar yang mampu membuat siswa untuk

belajar mandiri dan memperoleh ketuntasan dalam proses pembelajaran sebagai berikut.

1. Memberikan contoh-contoh dan ilustrasi yang menarik dalam rangka mendukung

pemaparan materi pembelajaran.

2. Memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memberikan umpan balik atau mengukur

penguasaannya terhadap materi yang diberikan dengan memberikan soal-soal latihan,

tugas, dan sejenisnya.

3. Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana atau konteks tugas dan

lingkungan siswa.

4. Bahan yang digunakan cukup sederhana karena siswa hanya berhadapan dengan bahan

ajar ketika belajar secara mandiri.

Dengan bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi secara runtut dan

sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu

pula. Sebuah bahan ajar yang baik harus mencakup:

1. Petunjuk belajar (petunjuk guru dan siswa).

2. Kompetensi yang akan di capai.

3. Informasi pendukung.

4. Latihan-latihan.

5. Petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja (LK).

6. Evaluasi

F. Asas Pengembangan Bahan Ajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa asas adalah dasar atau hukum dasar. Secara

umum, asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang dalam mengambil

keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya. Sedangkan pengembangan berasal dari kata

dasar “kembang” yang berarti bertambah sempurna. Kemudian mendapat imbuhan “pe” dan “an”

sehingga menjadi “pengembangan yang berarti proses mengembangkan. Jadi, pengembangan ini

maksudnya adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan agar lebih

sempurna dari sebelumnya.

Pengembangan bahan ajar adalah prinsip dasar yang dilakukan secara bertahap dalam menciptakan

bahan-bahan atau alat yang digunakan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agar tujuan

yang diinginkan lebih sempurna dari sebelumnya. Dalam kegiatan mengembangkan bahan ajar, guru

5
atau pendidik haruslah memperhatikan landasan atau asas-asas penyusunannya. Hal ini penting

dilakukan agar bahan ajar yang dihasilkan dapat menjadi bahan rujukan yang sesuai dengan situasi

dan kondisi siswa yang menggunakannya.

a. Asas Filosofis (Asas Falsafi)

Asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara. Perbedaan

filsafat negara menimbulkan implikasi yang berbeda di dalam merumuskan tujuan pendidikan,

menentukan bahan ajar, dan tata cara belajar serta menentukan cara-cara mengevaluasi hasil belajar

b. Asas Psikologi

Peserta didik atau siswa merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Karena siswa

adalah sasaran pencapaian tujuan pembelajaran. Para ahli pada umumnya sepakat bahwa motivasi

siswa merupakan faktor penting dalam mencapai keberhasilan proses pembelajaran, semakin tinggi

motivasi yang dimiliki oleh seorang siswa maka semakin tinggi pula keberhasilannya dalam

mencapai keberhasilan, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, dalam mengembangkan bahan ajar

haruslah memperhatikan aspek-aspek psikologis siswa agar dapat meningkatkan motivasinya

untuk belajar. Hal-hal psiologis yang harus diperhatikan dalam pengembangan bahan ajar adalah

sebagai berikut :

1) Bahan ajar atau buku ajar hendaknya sesuai dengan kemampuan intektual siswa.

2) Memperhatikan perbedaan individu antar siswa

3) Mampu merangsang daya pikir siswa sehingga dapat membantu proses

pembelajaran

4) Materinya disesuaikan dengan tingkat persiapan dan kemampuan siswa.

5) Materinya mampu memotivasi siswa.

6) Adanya penyesuaian antara buku pegangan siswa, pegangan guru dan yang lainnya

7) Mengenal kecenderungan peserta didik

8) Memperhatikan faktor usia

9) Pemakaian bahasa harus disesuaikan dengan kondisi

10) Antar bahan ajar salin berkaitan

11) Bahan ajar mampu menjadi peran penting dalam pembentukan karakter dan norma

bagi peserta didik.

c. Asas Kebahasaan

Dari sisi kebahasaan, bahan ajar perlu didasari kepada beberapa hal :

1) Materi ajar dibuat dalam bentuk bahasa standar

2) Pemilihan kosa kata didasari dari apa yang banyak dipakai

6
3) Memanfaatkan hasil kajian kebahasaan yang ditemukan pakar bahasa

4) Memperhatikan dengan seksama kebenaran pemakaian bahasa

5) Bahasa yang digunakan adalah bahasa alami yang tidak dibuat-buat

6) Dibuat atas dasar pemahaman yang jelas

7) Unsur bunyi tidak disepelekan pada awal pembelajaran

8) Menganalisis kata dan struktur kalimat

9) Materi dimulai dari kata, kalimat, paragraf

10) Memperhatikan karakter bunyi

11) Memperhatikan isytiqaq

12) Menghindari penggunaan tata bahasa yang membingungkan peserta didik.

13) Melakukan latihan terhadap struktur yang ingin dipelajari.

G. Keunggulan dan Keterbatasan Bahan Ajar

Menurut Mulyasa (2006:46-47), ada beberapa keunggulan dari bahan ajar. Diantaranya adalah sebagai

berikut.

a) Berfokus pada kemampuan individual siswa, karena pada hakikatnya siswa memiliki kemampuan

untuk bekerja sendiri dan lebih bertanggung jawab atas tindakan- tindakannya.

b) Adanya kontrol terhadap hasil belajar mengenai penggunaan standar kompetensi dalam setiap

bahan ajar yang harus dicapai oleh siswa.

c) Relevansi kurikulum ditunjukkan dengan adanya tujuan dan cara pencapaiannya, sehingga siswa

dapat mengetahui keterkaitan antara pembelajaran dan hasil yang akan diperoleh.

Sedangkan keterbatasan dari penggunaan bahan ajar antara lain:

a) Penyusunan bahan ajar yang baik membutuhkan keahlian tertentu. Sukses atau gagalnya bahan ajar

tergantung pada penyusunannya. Bahan ajar mungkin saja memuat tujuan dan alat ukur berarti, akan

tetapi pengalaman belajar yang termuat di dalamnya tidak tertulis dengan baik atau tidak lengkap.

Bahan ajar yang demikian kemungkinan besar akan di tolak oleh siswa, atau lebih parah lagi siswa harus

berkonsultasi dengan fasilitator. Hal ini tentu saja menyimpang dari karakteristik utama sistem belajar.

b) Sulit menentukan pros penjadwalan dan kelulusan, serta membutuhkan manajemen pendidikan yang

sangat berbeda dari pembelajaran konvensional, karena setiap siswa menyelesaikan bahan ajar dalam

waktu yang berbeda-beda, bergantung pada kecepatan dan kemampuan masing-masing.

c) Dukungan pembelajaran berupa sumber belajar, pada umumnya cukup mahal, karena setiap siswa

harus mencarinya sendiri. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, sumber belajar seperti alat

peraga dapat digunakan bersama-sama dalam pembelajaran. (Mulyasa, 2006:46-47).

7
H. Aspek – Aspek Penulisan Bahan Ajar

Secara umum dapat dikemukakan pada bagian ini bahwa dalam penulisan bahan ajar paling tidak ada lima

aspek penting yang harus diperhatikan oleh penulis bahan ajar, di antaranya sebagai berikut;

a. Aspek isi

Diketahui bahwa bahan ajar mengandung 3 (tiga) isi yang substansinya meliputi tiga jenis, yaitu:

1) pengetahuan yang terdiri dari konsep, fakta, prosedur, dan prinsip, 2) keterampilan, dan 3) sikap atau

nilai. Berikut penjelasan tentang 3 (tiga) isi dari bahan ajar.

(1) Pengetahuan: Isi dari bahan ajar yang pertama yaitu pengetahuan. Pengetahuan itu dapat meliputi

konsep, fakta, prosedur, dan prinsip. Konsep dalam bahan ajar adalah segala hal yang wujudnya berupa

pengertian - pengertian yang dapat muncul sebagai hasil dari pemikiran yang meliputi pengertian, definisi,

ciri khusus, inti atau isi, hakikat, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, Hukum ialah peraturan yang wajib

ditaati atau dipatuhi, pelaku dari pelanggaran hukum tersebut akan dikenai sanksi perdata atau pidana.

Fakta dalam bahan ajar yakni segala hal yang berwujud kebenaran dan kenyataan, meliputi nama-nama

objek, lambang, peristiwa sejarah, nama orang, nama tempat, nama bagian atau komponen suatu benda, dan

sebagainya. Sebagai cantoh dari fakta adalah; Gunung Rinjani berada di Pulau Lombok Nusa Tenggara

Barat, Ibu kota negara Indonesia yaitu Jakarta, dalam satu pekan ada tujuh hari, Indonesia merdeka pada

tanggal 17 Agustus tahun 1945. Prosedur yaitu langkah-langkah yang sistematis atau urut dalam

mengerjakan suatu aktivitas tertentu dan kronologi dari suatu sistem. Sebagai contoh seperti langkah-

langkah dalam mengoprasikan LCD Proyektor yakni; (1) Hubungkan proyektor dengan listrik mengunakan

kabel power, apabila lampu indikator power menyala orange, berarti proyektor siap dipakai, (2) Buka tutup

lensa, (3) Tekan tombol power sekitar 2 detik (di panel proyektor atau remote), tunggu sampai indikator

berwarna hijau dan display tampil penuh selama 10 - 30 detik, (4) Nyalakan semua peralatan yang menjadi

input (CPU, Notebook, video player, laptop, dll), dan (5) tekan source (input) untuk memilih input yang

akan didisplaykan atau automaticsource dalam kondisi "On", silahkan menunggu 5-10 detik untuk

pencarian input terdekat. Prinsip yaitu hal-hal pokok, utama, dan mempunyai posisi yang paling penting,

meliputi rumus, dalil, postulat, teori, serta hubungan antar konsep yang menggambarkan dampak sebab

akibat. Contoh dari prinsip yaitu berupa air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.

Maka dari itu, jika kita membuat selokan pembuangan air harus menurun dan tidak boleh datar(Benny,

2019).

(2) Keterampilan: Isi dari bahan ajar yang harus ada kedua yaitu keterampilan. Keterampilan adalah materi

atau bahan yang ada hubungannya dengan kemampuan mengembangkan ide, memilih bahan,

menggunakan bahan, menggunakan peralatan, dan teknik kerja.

b. Aspek metode pembelajaran

8
Aspek ini merupakan pemilihan metode pembelajaran yang tepat dilihat dari segi pengembangan materi isi

bahan ajar. Metode pembelajaran terkait dengan metode belajar dalam arti bahwa dalam memilih metode

pembelajaran, penyusunan buku teks pelajaran perlu mengetahui teori belajar yang sesuai:

a) Penyusunan bahan ajar menyajikan bahan atau contoh nyata/konkrit kemudian mengarah ke yang

abstrak.

b) Memberikan kesempatan kepada siswa dalam melakukan pengamatan, praktek serta diskusi terhadap

apa yang ditemukan mereka (kemenarikan minat dan perhatian siswa),

c) Memberikan kesempatan kepada siswa berperan serta dalam proses pembelajaran secara aktif, kreatif,

inovatif dan menyenangkan (PAKEM).

d) Mempertimbangkan penggunaan media dan sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran yang relevan

dengan prinsip-prinsip pengunaannya.

Metode pengembangan bahan ajar perlu mengacu pada enam komponen utama yakni;

a) Tujuan pembelajaran

b) Karakteristik peserta didik

c) Karakter bahan ajar

d) Lingkungan belajar

e) Sumber belajar yang tersedia

f) Alokasi waktu

c. Aspek bahasa

Dalam mengembangkan bahan ajar, penggunaan bahasa menjadi salah satu faktor yang penting.

Penggunaan bahasa, yang meliputi pemilihan ragam bahasa, pemilihan kata, penggunaan kalimat efektif,

dan penyusunan paragraf yang bermakna, sangat berpengaruh terhadap manfaat bahan ajar. Walaupun isi

bahan ajar yang disusun sudah cermat, menggunakan format yang konsisten, serta dikemas dengan

menarik, namun jika bahasa yang digunakan tidak dimengerti oleh peserta didik, maka bahan ajar tersebut

tidak akan bermakna apa-apa.

Ragam Bahasa mengacu pada ragam bahasa baku atau formal dan ragam bahasa nonformal atau

komunikatif. Ragam bahasa baku banyak digunakan dalam laporan penelitian, karya ilmiah, surat-surat

resmi, buku teks, siaran pers, dan lain-lain. Bahasa baku dapat dimengerti dengan baik oleh pembacanya,

karena sama sekali tidak dipengaruhi oleh dialek bahasa sehari-hari maupun dialek bahasa daerah. Namun

demikian, tulisan yang menggunakan ragam bahasa baku terkesan sangat kaku, formal dan cenderung

9
membosankan. Oleh karena itu, ragam bahasa baku jarang digunakan dalam pengembangan bahan

ajar(Supardi, 2020).

I. Aspek – Aspek Pengembangan Bahan Ajar

Pengembangan bahan ajar memiliki peran penting dalam dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai acuan

yang digunakan oleh peserta didik maupun oleh pendidik. Bagi peserta didik bahan ajar menjadi acuan

yang diserap isinya sehingga dapat menjadi pengetahuan dan bagi pendidik bahan ajar ini menjadi acuan

dalam menyampaikan keilmuannya.

Pengembangan bahan ajar oleh pendidik membutuhkan kreativitas untuk membuat sesuatu yang lain, unik,

juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan sekitarnya agar bahan ajar yang dikembangkan sesuai

dengan ketersediaan bahan/materi di sekitarnya. Di samping itu pendidik juga harus memiliki pengetahuan

tentang beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan bahan ajar seperti kecermatan

isi, ketepatan cakupan, ketercernaan, penggunaan bahasa, ilustrasi, perwajahan/pengemasan serta

kelengkapan komponen bahan ajar. Kualitas bahan ajar sangat tergantung pada ketepatan dalam

memperhitungkan faktor-faktor tersebut dalam pengembangan bahan ajar.

a. Kecermatan Isi Kecermatan isi adalah validitas/kesahihan isi atau kebenaran ini secara keilmuan,

dan keselarasan isi. Atau kebenaran isi berdasarkan sistem nilai yang dianut oleh suatu

komunitas atau masyarakat atau bangsa. Validitas isi menunjukkan bahwa isi bahan ajar tidak

dikembangkan secara asal-asalan. Isi bahan ajar dikembangkan berdasarkan konsep dan teori

yang berlaku dalam bidang ilmu serta sesuai dengan kemutakhiran perkembangan bidangf ilmu

dan hasil penelitian empiris yang dilakukan dalam bidang ilmu tersebut. Dengan demikian isi

bahan ajar dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, benar dari segi keilmuan.

Validitas isi sangat penting untuk diperhatikan sehingga bahan ajar tidak menyebarkan

kesalahan-kesalahan konsep, atau “miskonsepsi” kepada masyarakat luas. Untuk dapat

menjaga validitas isi dalam pengembangan bahan ajar diharus selalu menggunakan buku acuan

atau bahan pustaka yang berisi hasilhasil penelitian empiris, teori dan konsep yang berlaku

dalam suatu bidang ilmu, serta perkembangan mutakhir suatu bidang ilmu. Teori dan konsep

yang berlaku dalam suatu bidang ilmu dapat diperoleh di berbagai sumber di antaranya hasil

riset, jurnal hasil penelitian, ensiklopedi, handbooks, ataupun buku teks bidang ilmu(Muttaqin,

2017).

Keselerasan isi berarti kesesuaian isi bahan ajar dengan sistem nilai dan falsafah hidup yang

berlaku dalam negara dan masyarakat. Ada sistem nilai masyarakat yang perlu diakomodasikan

10
dalam bahan ajar. Bahkan bahan ajar menjadi sarana untuk penyampaian sistem nilai tersebut

dan pembelajaran merupakan upaya pelestarian sistem nilai tersebut.

b. Ketepatan Cakupan

Kecermatan isi berfokus pada kebenaran isi secara keilmuan dan sistem nilai yang berlaku di

masyarakat. Maka ketepatan cakupan berhubungan dengan isi bahan ajar dari sisi keluasan dan

kedalaman isi atau materi serta keutuhan konsep berdasarkan bidang ilmu.

Keluasan dan kedalaman isi bahan ajar sangat berhubungan dengan keutuhan konsep

berdasarkan bidang ilmu. Dalam hal ini seberapa banyak atau luas suatu topik akan disajikan

kepada peserta didik? Seberapa dalam suatu topik akan dibahas? Bagaimana keutuhan konsep

yang disajikan? Banyak pertimbangan yang perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan -

pertanyaan tersebut antara lain, yang paling utama adalah tujuan pembelajaran. Setiap pendidik

pasti mempunyai tujuan pembelajaran dari materi yang diajarkannya. Kemudian berlandaskan

pada tujuan tersebut dapat menentukan seberapa luas, dalam, dan utuh topik yang akan

disajikan kepada peserta didiknya yang selanjutnya baru dikembangkan bahan ajar terkait

dengan materi pokok dan komponennya berdasarkan pada materi yang telah ditentukan

tersebut. Tentunya, tujuan pembelajaran untuk topik tertentu di sekolah menengah pertama

(SMP/MTs.) akan berbeda dengan tujuan pembelajaran topik yang sama di sekolah menengah

atas (SMA/MA/SMK). Dalam hal ini keluasan maupun kedalamannya akan berbeda sehingga

bahan ajarnya pun memiliki keluasan dan kedalaman yang berbeda.

c. Ketercernaan/Keterbacaan Bahan Ajar

Bahan ajar, menggunakan media apapun, harus memiliki tingkat ketercernaan yang tinggi oleh

para pembacanya. Artinya bahan ajar dapat dipahami dan isinya dapat dimengerti oleh peserta

dengan mudah.

Muslich menyatakan bahwa keterbacaan adalah tingkat kemudahan suatu tulisan untuk dipahami

maksudnya.106 Menurutnya, keterbacaan berkaitan dengan pemahaman. Bacaan yang memenuhi

kesesuaian keterbacaan ialah bacaan yang dapat dipahami oleh pembaca. Bacaan yang tidak bisa

atau sulit dipahami pembaca merupakan bacaan yang tidak memenuhi kesesuaian keterbacan.

Bacaan yang terlalu mudah dipahami pembaca juga merupakan bacaan yang tidak memenuhi

kesesuaian keterbacan.

Tampubolon menyatakan bahwa keterbacaan ialah sesuai atau tidaknya suatu bacaan bagi

pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. Dikatakan sesuai jika bacaannya tidak

terlalu sukar dan tidak terlalu mudah atau sedang. Dikatakan tidak sesuai jika bacaannya sukar

atau mudah. Jika bacaan terlalu sukar, pembaca terpaksa membaca dengan lambat, bahkan

berulangulang untuk memahami bacaan yang dibaca. Ia akan tidak sabar, malas, bahkan frustasi

11
sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Sebaliknya, bacaan yang terlalu

mudah akan membuat pembaca bosan atau meremehkan karena tidak ada(Supardi, 2020).

Beberapa pendapat di atas mempunyai perbedaan dan persamaan. Perbedaannya Tampubolon

memandang keterbacaan dari unsur bentuk dan isi, sedangkan Muslich dari unsur isi. Bacaan

merupakan wujud dari bahasa yang berbentuk tulis yang mempunyai dua unsur, yaitu bentuk

dan isi. Unsur bentuk berupa struktur bahasa yang digunakan dalam bacaan, sedangkan unsur isi

berupa makna atau maksud yang terkandung dalam struktur bahasa. Persamaan keduanya

adalah keterbacaan merupakan kajian mengenai tingkat kesesuaian bacaan dan pembaca(Asrul et

al., 2014).

Faktor yang dipertimbangkan dalam mengukur keterbacaan antara lain struktur bahasa (kata,

frasa, klausa, kalimat, dan wacana), jenis isi bacaan, tipografi, dan minat pembaca. Cara yang

umumnya dipakai untuk mengukur keterbacaan adalah dari segi struktur bahasa dan jenis isi

bacaan. Struktur bahasa dengan formula keterbacaan, sedangkan jenis isi bacaan dengan tes klos

atau tes rumpang.

Secara praktis, kaidah-ibu-jari (rule-of-thumb) dapat dipergunakan untuk menentukan

keterbacaan sebuah teks. Menurut kaidah ini, secara umum keterbacaan dapat diketahui dari

jawaban atas tiga pertanyaan yang diajukan. Ketiga pertanyaan tersebut adalah apakah kata-kata

dalam bacaan mudah atau sukar, apakah kalimatkalimat dalam bacaan sederhana atau kompleks,

apakah isi bacaan menarik hati pembaca atau tidak. Jika jawaban pembaca sukar, kompleks, dan

tidak, secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat keterbacaan bacaan tinggi karena bacaan sulit

dibaca. Jika jawabannya mudah, sederhana, dan ya, secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat

keterbacaan bacaan rendah karena bacaan mudah dibaca.

Isi bahan ajar dalam bentuk/media apapun harus memiliki tingkat ketercernaan yang tinggi.

Dalam hal ini, artinya bahan ajar dapat dipahami dan isinya dapat dimengerti oleh peserta didik

dengan mudah. Ada 6 hal yang mendukung tingkat ketercernaan bahan ajar sebagai berikut: 1)

Pemaparan yang logis 2) Penyajian materi yang sistematis 3) Contoh dan ilustrasi yang

memudahkan pemahaman 4) Alat bantu yang memudahkan untuk mempelajari bahan ajar 5)

Format yang tertib dan konsisten 6) Adanya penjelasan tentang relevansi anar toik dan manfaat

bahan ajar. Untuk lebih jelasnya terkait dengan dukungan ketercernaan bahan ajar di atas, berikut

dideskripsikan secara rinci satu persatu(Supardi, 2020).

12
Daftar Pustaka

2019, B. (2019). Pengertian dan Prinsip-prinsip Pengembangan Bahan Ajar. Pengembangan Bahan Ajar,

1–45.

Asrul, Ananda, R., & Rosinta. (2014). Evaluasi Pembajalaran. In Ciptapustaka Media.

Muttaqin. (2017). Langkah Langkah Pembuatan Penyusunan Bahan Ajar.

Supardi. (2020). Landasan Pengembangan Bahan Ajar (Sanabil (ed.)).

https://books.google.co.id/books?id=orQPEAAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=BAHAN+AJA

R&hl=jv&sa=X&ved=2ahUKEwie783e8azwAhWWaCsKHZ51AikQ6AEwAXoECAAQAg#v=one

page&q=BAHAN AJAR&f=false

Yuberti, D. (2018). Teori Pembelajaran dan Pengembangan Bahan Ajar dalam Pendidikan. In Psikologi

Pendidikan (Vol. 1).

13
BAB 7
KONSEP PENILAIAN
Fayza Dwi Ega Leonida , Laila Sapni, dan Mita Ramadhani

A. Pengertian
Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil
belajar peserta didik. Pengumpulan informasi tersebut ditempuh melalui berbagai teknik penilaian,
menggunakan berbagai instrumen, dan berasal dari berbagai sumber. Penilaian harus dilakukan secara
efektif. Oleh karena itu, meskipun informasi dikumpulkan sebanyak-banyaknya dengan berbagai upaya,
kumpulan informasi tersebut tidak hanya lengkap dalam memberikan gambaran, tetapi juga harus akurat
untuk menghasilkan keputusan.

Pengumpulan informasi pencapaian hasil belajar peserta didik memerlukan metode dan instrumen
penilaian, serta prosedur analisis sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Kurikulum 2013
merupakan kurikulum berbasis kompetensi dengan KD sebagai kompetensi minimal yang harus dicapai
oleh peserta didik.

Penilaian Harian (PH) adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi hasil belajar peserta
didik yang digunakan untuk menetapkan program perbaikan atau pengayaan berdasarkan tingkat
penguasaan kompetensi dan memperbaiki proses pembelajaran (assessment as dan for learning), dan
mengetahui tingkat penguasaan kompetensi serta menetapkan ketuntasan penguasaan kompetensi
(assessment of learning).

Penilaian Tengah Semester (PTS) adalah penilaian yang dilaksanakan pada minggu ke-8 atau ke-9
dalam satu semester. Adapun materi PTS meliputi semua KD yang sudah dipelajari sampai dengan
minggu ke-7 atau ke-8

Penilaian Akhir Semester (PAS) adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir semester gasal
dengan materi semua KD pada
semester tersebut.

Penilaian Akhir Tahun (PAT) adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir semester genap dengan
materi semua KD pada semester genap.

Ujian Sekolah (US) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik terhadap
Standar Kompetensi Lulusan untuk mata pelajaran yang tidak diujikan dalam Ujian Sekolah Berstandar
Nasional (USBN) dan dilakukan satuan pendidikan. Ujian Sekolah Berstandar Nasional adalah kegiatan
pengukuran capaian kompetensi peserta didik yang dilakukan satuan pendidikan untuk mata pelajaran

1
tertentu dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi
belajar. Naskah USBN disiapkan oleh pemerintah bersama Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

Untuk mengetahui ketercapaian KD, pendidik harus merumuskan sejumlah indikator sebagai acuan
penilaian. Pendidik atau sekolah juga harus menentukan kriteria untuk memutuskan apakah seorang
peserta didik sudah mencapai KKM atau belum. Penilaian tidak hanya difokuskan pada hasil belajar
tetapi juga pada proses belajar. Peserta didik dilibatkan dalam proses penilaian terhadap dirinya sendiri
dan penilaian antarteman sebagai sarana untuk berlatih melakukan penilaian. Di bawah ini diuraikan
secara singkat berbagai pendekatan penilaian, prinsip penilaian, serta penilaian dalam Kurikulum 2013.

B. Fungsi Penilaian
Penilaian selama ini cenderung dilakukan untuk mengukur hasil belajar peserta didik. Dalam konteks
ini, penilaian diposisikan seolah-olah sebagai kegiatan yang terpisah dari proses pembelajaran.
Pemanfaatan penilaian bukan sekadar untuk mengetahui pencapaian hasil belajar, justru yang lebih
penting adalah bagaimana penilaian mampu meningkatkan kemampuan peserta didik dalam proses
belajar. Penilaian seharusnya dilaksanakan melalui tiga pendekatan, yaitu assessment of learning
(penilaian akhir pembelajaran), assessment for learning (penilaian untuk pembelajaran), dan assessment
as learning (penilaian sebagai pembelajaran)

Assessment of learning merupakan penilaian yang dilaksanakan setelahproses pembelajaran selesai.


Proses pembelajaran selesai tidak selalu terjadi di akhir tahun atau di akhir peserta didik menyelesaikan
pendidikan pada jenjang tertentu. Setiap pendidik melakukan penilaian yang dimaksudkan untuk
memberikan pengakuan terhadap pencapaian hasil belajar setelah proses pembelajaran selesai, yang
berarti pendidik tersebut melakukan assessment of learning. Ujian Nasional, ujian sekolah/madrasah, dan
berbagaibentuk penilaian sumatif merupakan assessment of learning (penilaian hasil belajar).

Assessment for learning dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan biasanya digunakan
sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses belajar mengajar. Pada assessment for learning pendidik
memberikan umpan balik terhadap proses belajar peserta didik, memantau kemajuan, dan menentukan
kemajuan belajarnya. Assessment for learning juga dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk
meningkatkan performa peserta didik. Penugasan, presentasi, proyek, termasuk kuis merupakan contoh-
contoh bentuk assessment for learning (penilaian untuk proses belajar).

Assessment as learning mempunyai fungsi yang mirip dengan assessment for learning, yaitu
berfungsi formatif dan dilaksanakan selamaproses pembelajaran berlangsung maupun berdasarkan hasil
penilaian. Perbedaannya, assessment as learning melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan
penilaian tersebut. Peserta didik diberi pengalaman untuk belajar menjadi penilai bagi dirinya sendiri.
Penilaian diri (self assessment) dan penilaian antarteman merupakan contoh assessment as learning.
Dalam assessment as learning peserta didik sebaiknya dilibatkan dalam merumuskan prosedur penilaian,
kriteria, maupun rubrik/pedoman penilaian sehingga mereka mengetahui dengan pasti apa yang harus
dilakukan agar memperoleh capaian belajar yang maksimal.

2
Selama ini assessment of learning paling dominan dilakukan oleh pendidik dibandingkan assessment
for learning dan assessment as learning. Penilaian pencapaian hasil belajar seharusnya lebih
mengutamakan assessment as learning dan assessment for learning dibandingkan assessment of learning,
sebagaimana ditunjukkan gambar di bawah ini

Gambar 2.1. Proporsi assessment as, for, dan of learning

c. Prinsip penilaian
Penilaian harus memberikan hasil yang dapat diterima oleh semua pihak, baik yang dinilai, yang
menilai, maupun pihak lain yang akan menggunakan hasil penilaian tersebut. Hasil penilaian akan akurat
bila instrumen yang digunakan untuk menilai, proses penilaian, analisis hasil penilaian, dan objektivitas
penilai dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu perlu dirumuskan prinsipprinsip penilaian yang dapat
menjaga agar orientasi penilaian tetap pada framework atau rel yang telah ditetapkan.

Penilaian harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut.


1. Sahih
Penilaian harus dilakukan berdasar pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur. Untuk
memperoleh data yang dapat mencerminkan kemampuan yang diukur harus digunakan instrumen yang
sahih, yaitu instrumen yang mengukur apa yang seharusnya diukur.
2. Objektif
Penilaian tidak dipengaruhi oleh subjektivitas penilai. Karena itu perlu dirumuskan pedoman penilaian
(rubrik) sehingga dapat menyamakan persepsi penilai dan meminimalisir subjektivitas, apalagi dalam
penilaian kinerja yang cakupan, otentisitas, dan kriteria penilaiannya sangat kompleks. Untuk penilai
lebih dari satu perlu dilihat reliabilitas atau konsistensi antar penilai (interrater reliability) untuk
menjamin objektivitas setiap penilai
3. Adil
Penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena perbedaan latar belakang agama,
suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, gender, dan hal-hal lain. Perbedaan hasil penilaian
semata-mata harus disebabkan oleh berbedanya capaian belajar peserta didik pada kompetensi yang
dinilai.
4. Terpadu
Penilaian merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Penilaian
merupakan proses untuk mengetahui apakah suatu kompetensi telah tercapai. Kompetensi tersebut
dicapai melalui serangkaian aktivitas pembelajaran. Karena itu penilaian tidak boleh terlepas apalagi
melenceng dari pembelajaran. Penilaian harus mengacu pada proses pembelajaran yang dilakukan

3
5. Terbuka
Prosedur penilaian dan kriteria penilaian harus jelas dan dapat diketahui oleh siapapun. Pihak yang
dinilai (peserta didik) dan pengguna hasil penilaian berhak tahu proses dan acuan yang digunakan dalam
penilaian, sehingga hasil penilaian dapat diterima oleh siapa pun
6. Menyeluruh dan Berkesinambungan
Penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik. Instrumen penilaian
yang digunakan, secara konstruk harus merepresentasikan aspek yang dinilai secara utuh. Penilaian
dilakukan dengan berbagai teknik dan instrumen, diselenggarakan sepanjang proses pembelajaran, dan
menggunakan pendekatan assessment as learning, for learning, dan of learning secara proporsional.
7. Sistematis
Penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku. Penilaian
sebaiknya diawali dengan pemetaan. Dilakukan identifikasi dan analisis KD, dan indikator ketercapaian
KD. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis tersebut dipetakan teknik penilaian, bentuk instrumen, dan
waktu penilaian yang sesuai.
8. Beracuan Kriteria
Penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi menggunakan acuan kriteria. Penentuan seorang peserta
didik telah kompeten atau belum bukan dibandingkan terhadap capaian teman-teman atau kelompoknya,
melainkan dibandingkan terhadap kriteria minimal yang ditetapkan. Peserta didik yang sudah mencapai
kriteria minimal disebut tuntas, dapat melanjutkan pembelajaran untuk mencapai kompetensi berikutnya,
sedangkan peserta didik yang belum mencapai kriteria minimal wajib menempuh remedial.
9. Akuntabel
Penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya. Akuntabilitas
penilaian dapat dipenuhi bila penilaian dilakukan secara sahih, objektif, adil, dan terbuka, sebagaimana
telah diuraikan di atas. Bahkan perlu dipikirkan konsep meaningful assessment. Selain dipertanggung
jawabkan teknik, prosedur, dan hasilnya, penilaian juga harus dipertanggungjawabkan kebermaknaannya
bagi peserta didik dan proses belajarnya.

4
PENILAIAN OLEH PENDIDIK
A. Penilaian sikap
1. Pengertian penilaian sikap
Penilaian sikap merupakan kegiatan untuk mengetahui perilaku spiritual dan sosial peserta didik
yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kelas sebagai hasil
pendidikan. Penilaian sikap ditujukan untuk mengetahui capaian/perkembangan sikap peserta didik dan
memfasilitasi tumbuhnya perilaku peserta didik sesuai butir-butir nilai sikap dari KI-1, KI-2, dan nilai-
nilai lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.
Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri (self
assessment), penilaian “teman sejawat” (peer assessment), dan jurnal. Sikap bermula dari perasaan (suka
atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu. Sikap juga
sebagai ekspresi dari nilai‐nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Penilaian sikap yang
dapat dilakukan oleh para guru dengan menilai perilaku sehingga penilaian sikap dilakukan dengan cara
observasi perilaku.
Menurut Kunandar, penilaian kompetensi sikap adalah penilaian yang dilakukan guru untuk
mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik yang meliputi aspek menerima atau
memperhatikan (receiving atau attending), merespon atau menanggapi (responding), menilai atau
menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelola (organization), menilai atau menghargai
(characterization).

2. Teknik Penilaian
Penilaian sikap dilakukan dengan teknik observasi atau teknik lainnya yang relevan, Teknik
penilaian observasi dapat menggunakan instrumen berupa lembar observasi, atau buku jurnal (yang
selanjutnya disebut jurnal). Teknik penilaian lain yang dapat digunakan adalah penilaian diri dan
penilaian antarteman. Penilaian diri dan penilaian antarteman dapat dilakukan dalam rangka pembinaan
dan pembentukan karakter peserta didik, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu data
konfirmasi dari hasil penilaian sikap oleh pendidik. Skema penilaian sikap dapat dilihat pada Gambar 3.1
berikut.

5
Gambar 3.1. Skema Penilaian Sikap

a. Observasi
Penerapan teknik observasi dapat dilakukan menggunakan lembar observasi. Lembar observasi
merupakan instrumen yang dapat digunakan oleh pendidik untuk memudahkan dalam membuat laporan
hasil pengamatan terhadap perilaku peserta didik yang berkaitan dengan sikap spiritual dan sikap sosial.
Sikap yang diamati adalah sikap yang tercantum dalam indikator pencapaian kompetensi pada KD untuk
mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PABP) dan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Pada mata pelajaran selain PABP dan PPKn, sikap yang diamati tercantum
pada KI-1 dan KI-2.

Lembar observasi yang digunakan untuk mengamati sikap dapat berupa lembar observasi tertutup dan
lembar observasi terbuka.

1) Lembar observasi tertutup


Ketika menggunakan lembar observasi tertutup, pendidik menentukan secara sistematis butir-butir
perilaku yang akan diobservasi beserta indikator-indikatornya. Tabel 3.1 berikut adalah contoh lembar
observasi tertutup.

Tabel 3.1. Contoh Lembar Observasi Tertutup


Nama : .............................................................................................................
Kelas : .............................................................................................................
Semester : .............................................................................................................
Petunjuk: Berilah tanda centang (√) pada kolom “Ya” atau “Tidak” sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Berdoa sebelum melakukan aktivitas.
2. Beribadah tepat waktu.

6
3. Tidak mengganggu teman yang bergama lain.
4. Berdoa sesuai agamanya.
5. Berani mengakui kesalahan sendiri.
6. Menyelesaikan tugas-tugas tepat waktu
7. Berani menerima risiko atas tindakan yang dilakukan.
8. Mengembalikan barang yang dipinjam.
9. Meminta maaf jika melakukan kesalahan.
10. Melakukan praktikum sesuai dengan langkah yang
ditetapkan.
11. Datang ke sekolah tepat waktu

Keterangan: Pernyataan dapat diubah atau ditambah sesuai dengan butirbutir sikap yang dinilai.

2) Lembar observasi terbuka


Ketika menggunakan lembar observasi terbuka, pendidik tidak mempersiapkan secara sistematis tentang
apa yang akan diobservasi karena pendidik tidak memfokuskan observasi pada butirbutir perilaku
tertentu. Dalam melakukan observasi pendidik tidak menggunakan instrumen baku melainkan hanya
ramburambu observasi. Tabel 3.2 berikut adalah contoh lembar observasi terbuka, yang dapat juga
disebut sebagai jurnal.

No. Tanggal Nama Peserta Catatan Butir Sikap Tindak Lanjut


Didik Perilaku
1.
2.
3.

Jurnal biasanya digunakan untuk mencatat perilaku peserta didik yang “ekstrem.” Jurnal tidak
hanya didasarkan pada apa yang dilihat langsung oleh pendidik, wali kelas, dan guru BK, tetapi juga
informasi lain yang relevan dan valid yang diterima dari berbagai sumber.

Perilaku yang dicatat di jurnal adalah perilaku peserta didik yang muncul secara alami selama
satu semester. Perilaku peserta didik yang dicatat di dalam jurnal pada dasarnya adalah perilaku yang
sangat baik dan/atau kurang baik yang berkaitan dengan butir sikap yang terdapat dalam aspek sikap
spiritual dan sikap sosial. Setiap catatan memuat deskripsi perilaku yang dilengkapi dengan waktu
teramatinya perilaku tersebut, serta perlu dicantumkan tanda tangan peserta didik.

Apabila seorang peserta didik pernah memiliki catatan sikap yang kurang baik, dan jika pada
kesempatan lain peserta didik tersebut telah menunjukkan perkembangan sikap (menuju atau konsisten)
baik pada aspek atau indikator sikap yang dimaksud, maka di dalam jurnal harus ditulis bahwa sikap
peserta didik tersebut telah (menuju atau konsisten) baik atau bahkan sangat baik. Dengan demikian,
yang dicatat dalam jurnal tidak terbatas pada sikap kurang baik dan sangat baik, tetapi juga setiap
perkembangan menuju sikap yang diharapkan. Berdasarkan jurnal tersebut pendidik membuat deskripsi
penilaian sikap peserta didik dalam kurun waktu satu semester.

7
Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan penilaian (mengikuti
perkembangan) sikap dengan teknik observasi:
1. Jurnal penilaian (perkembangan) sikap ditulis oleh wali kelas, guru mata pelajaran, dan guru BK selama
periode satu semester.
2. Bagi wali kelas, 1 (satu) jurnal digunakan untuk satu kelas yang menjadi tanggungjawabnya.
3. Bagi guru mata pelajaran, 1 (satu) jurnal digunakan untuk setiap kelas yang diajarnya.
4. Bagi guru BK, 1 (satu) jurnal digunakan untuk setiap kelas di bawah bimbingannya.
5. Perkembangan sikap spiritual dan sikap sosial peserta didik dapat dicatat dalam 1 (satu) jurnal atau
dalam 2 (dua) jurnal yang terpisah.
6. Peserta didik yang dicatat dalam jurnal pada dasarnya adalah mereka yang menunjukkan perilaku yang
sangat baik atau kurang baik secara alami (peserta didik yang menunjukkan sikap baik tidak harus dicatat
dalam jurnal).
7. Perilaku sangat baik atau kurang baik yang dicatat dalam jurnal tersebut tidak terbatas pada butir-butir
nilai sikap (perilaku) yang hendak ditanamkan melalui pembelajaran yang saat itu sedang berlangsung
sebagaimana dirancang dalam RPP, tetapi juga butir-butir nilai sikap lainnya yang ditumbuhkan dalam
semester itu selama sikap tersebut ditunjukkan oleh peserta didik melalui perilakunya secara alami.
8. Wali kelas, guru mata pelajaran, dan guru BK mencatat (perkembangan) sikap peserta didik segera setelah
mereka menyaksikan dan/atau memperoleh informasi terpercaya mengenai perilaku peserta didik sangat
baik/ kurang baik yang ditunjukkan peserta didik secara alami.
9. Apabila peserta didik tertentu PERNAH menunjukkan sikap kurang baik, ketika yang bersangkutan telah
(mulai) menunjukkan sikap yang baik (sesuai harapan), sikap yang (mulai) baik tersebut harus dicatat
dalamjurnal.
10. Pada akhir semester guru mata pelajaran dan guru BK meringkas perkembangan sikap spiritual dan sikap
sosial setiap peserta didik dan menyerahkan ringkasan tersebut kepada wali kelas untuk diolah lebih
lanjut.

Tabel 3.3. dan Tabel 3.4. berturut-turut menyajikan contoh jurnal penilaian (perkembangan) sikap
spiritual dan sikap sosial oleh wali kelas dan guru BK.

Tabel 3.3. Contoh Jurnal Perkembangan Sikap Spiritual oleh Wali Kelas dan Guru BK
No. Waktu Nama Peserta Catatan Perilaku Butir TTD Tindak
Didik Sikap Lanjut
1. 15/11/23 Hilman Sianturi Mengganggu Ketaqwaan Pembinaan
teman yang
sedang berdoa
sebelum makan
siang di kantin.
2.
3.
4.
5.
6.

Keterangan :
Butir sikap: - ketaqwaan dan toleransi beragama

8
Tabel 3.4. Contoh Jurnal Perkembangan Sikap Sosial oleh Wali Kelas & Guru BK
Nama Sekolah : SMP Jaya Bangsaku
Kelas/Semester : VII/Semester I
Tahun pelajaran : 2016/2017
No. Waktu Nama Peserta Catatan Perilaku Butir TTD Tindak
Didik Sikap Lanjut
1. 15/11/23 Ryant Valiant Berbohong ketika Kejujuran Pembinaan
ditanya alasan
tidak masuk
sekolah di ruang
guru.
2.
3.
4.
5.
6.
Keterangan :
Butir Sikap :
- Kepedulian
- Kejujuran
- Tanggung jawab
- Kedisiplinan
- Tanggung jawab
- Kebersihan
- Kepedulian
-
Apabila catatan perkembangan sikap spiritual dan sikap sosial dijadikan satu, perlu ditambahkan satu
kolom KETERANGAN di sebelah kanan kolom butir sikap untuk menuliskan apakah perilaku tersebut
sikap SPIRITUAL atau sikap SOSIAL. Lihat Tabel 3.5 untuk contoh.

Tabel 3.5. Contoh Jurnal Sikap Spiritual dan Sosial oleh Wali Kelas dan Guru BK

Nama Sekolah : SMP Jaya Bangsaku


Kelas/Semester : VII/Semester I
Tahun pelajaran : 2016/2017

No. Waktu Nama Peserta Catatan Perilaku Butir TTD Tindak


Didik Sikap Lanjut
1. 15/11/23 Indah Putri Aulia Menolong orang Kepedulian Teruskan
lanjut usia untuk
menyeberang
jalan di depan

9
sekolah.
2.
3.
4.
5.
6.

Tabel 3.6. Contoh Jurnal Sikap Spiritual dan Sosial oleh Pendidik

Nama Sekolah : SMP Jaya Makmur


Kelas/Semester : VII/Semester I
Tahun pelajaran : 2016/2017

No. Waktu Nama Peserta Catatan Perilaku Butir TTD Tindak Lanjut
Didik Sikap
1. 15/11/23 Haliza Harahap Meninggalkan Tanggung Diberi
laboratorium Jawab pembinaan
tanpa dan dipanggil
membersihkan untuk
meja, alat, dan membersihkan
bahan yang meja, alat, dan
sudah dipakai bahan yang
sudah dipakai
2.
3.
4.
5.
6.

b. Penilaian Diri
Penilaian diri dalam penilaian sikap merupakan teknik penilaian terhadap diri sendiri (peserta didik)
dengan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan sikapnya dalam berperilaku. Hasil penilaian diri
peserta didik dapat digunakan sebagai data konfirmasi perkembangan sikap peserta didik. Selain itu
penilaian diri peserta didik juga dapat digunakan untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dan
meningkatkan kemampuan refleksi atau mawas diri. Instrumen penilaian diri dapat berupa lembar
penilaian diri yang berisi BUTIR-BUTIR PERNYATAAN SIKAP POSITIF YANG DIHARAPKAN dengan
kolom YA dan TIDAK atau dengan Likert Scale. Satu lembar penilaian diri dapat digunakan untuk
penilaian sikap spiritual dan sikap sosial sekaligus. Tabel 3.7 dan Tabel 3.8 menyajikan contoh lembar
penilaian diri tersebut.

Tabel 3.7. Contoh Lembar Penilaian Diri Peserta didik dengan Dua Jawaban

10
Nama : .............................................................................................................
Kelas : .............................................................................................................
Semester : .............................................................................................................
Petunjuk: Berilah tanda centang (√) pada kolom “Ya” atau “Tidak” sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.

No. Pernyataan Ya. Tidak


1. Saya selalu berdoa sebelum melakukan aktivitas.
2. Saya beribadah tepat waktu.
3. Saya tidak mengganggu teman saya yang bergama
lain berdoa sesuai agamanya.
4. Saya berani mengakui kesalahan saya.
5. Saya menyelesaikan tugas-tugas tepat waktu.
6. Saya berani menerima resiko atas tindakan yang
saya lakukan.
7. Saya mengembalikan barang yang saya pinjam.
8. Saya meminta maaf jika saya melakukan
kesalahan.
9. Saya melakukan praktikum sesuai dengan
langkah yang ditetapkan.
10. Saya datang ke sekolah tepat waktu.

Keterangan: Pernyataan dapat diubah atau ditambah sesuai dengan butirbutir sikap yang dinilai.

Tabel 3.8. Contoh Lembar Penilaian Diri Peserta didik dengan Empat Jawaban
Nama : .............................................................................................................
Kelas : .............................................................................................................
Semester : .............................................................................................................
Petunjuk: Berilah tanda centang (√) pada kolom 1 (tidak pernah), 2 (kadangkadang), 3 (sering), atau 4
(selalu) sesuai keadaan kalian yang sebenarnya.

No. Pernyataan 1 2 3 4
1. Saya berdoa sebelum melakukan aktivitas.
2. Saya beribadah tepat waktu.
3. Saya tidak mengganggu teman saya yang beragama
lain berdoa sesuai agamanya.
4. Saya berani mengakui kesalahan saya.

11
5. Saya menyelesaikan tugas-tugas tepat waktu.
6. Saya berani menerima resiko atas tindakan yang saya
lakukan.
7. Saya mengembalikan barang yang saya pinjam.
8. Saya meminta maaf jika saya melakukan kesalahan.
9. Saya melakukan praktikum sesuai dengan langkah
yang ditetapkan.
10. Saya datang ke sekolah tepat waktu.

Hasil penilaian diri perlu ditindak lanjuti oleh pendidik dengan melakukan fasilitasi terhadap peserta
didik yang belum menunjukkan sikap yang diharapkan.

c. Penilaian Antarteman
Penilaian antarteman merupakan teknik penilaian yang dilakukan oleh seorang peserta didik
(penilai) terhadap peserta didik yang lain terkait dengan sikap/perilaku peserta didik yang dinilai.
Sebagaimana penilaian diri, hasil penilaian antarteman dapat digunakan sebagai data konfirmasi. Selain
itu penilaian antarteman juga dapat digunakan untuk menumbuhkan beberapa nilai seperti kejujuran,
tenggang rasa, dan saling menghargai.

Instrumen penilaian diri dapat berupa lembar penilaian diri yang berisi BUTIR-BUTIR
PERNYATAAN SIKAP POSITIF YANG DIHARAPKAN dengan kolom YA dan TIDAK atau dengan
Likert Scale. Satu lembar penilaian diri dapat digunakan untuk penilaian sikap spiritual dan sikap sosial
sekaligus. Tabel 3.9 dan Tabel 3.10 menyajikan contoh lembar penilaian antarteman tersebut.

Tabel 3.9. Contoh Format Penilaian Antarteman

Nama Teman yang Dinilai : ...................................................................................


Nama Penilai : ...................................................................................
Kelas : ...................................................................................
Semester : ...................................................................................
Petunjuk: Berilah tanda centang (√) pada kolom “Ya” atau “Tidak” sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
No. Pernyataan Ya Tidak
1. Teman saya berdoa sebelum melakukan aktivitas.

2. Teman saya beribadah tepat waktu.

3. Teman saya tidak mengganggu teman saya yang beragama lain


berdoa sesuai agamanya.
4. Teman saya tidak menyontek dalam mengerjakan ujian/
ulangan.
5. Teman saya tidak melakukan plagiat (mengambil/ menyalin
karya orang lain tanpa menyebutkan sumber) dalam
mengerjakan setiap tugas.
6. Teman saya mengemukakan perasaan terhadap sesuatu apa
adanya.

12
7. Teman saya melaporkan data atau informasi apa adanya.
……

Jumlah

Keterangan: Pernyataan dapat diubah atau ditambah sesuai dengan butirbutir sikap yang dinilai.

Tabel 3.10. Contoh Format Penilaian Antarteman


Nama : .............................................................................................................
Kelas : .............................................................................................................
Semester : .............................................................................................................
Petunjuk: Berilah tanda centang (√) pada kolom 1 (tidak pernah), 2 (kadangkadang), 3 (sering), atau 4
(selalu) sesuai keadaan kalian yang sebenarnya.

No. Pernyataan 1 2 3 4
1. Teman saya berdoa sebelum melakukan
aktivitas.
2. Teman saya beribadah tepat waktu.

3. Teman saya tidak mengganggu teman saya yang


beragama lain berdoa sesuai agamanya.
4. Teman saya tidak menyontek dalam
mengerjakan ujian/ ulangan.
5. Teman saya tidak melakukan plagiat
(mengambil/ menyalin karya orang lain tanpa
menyebutkan sumber) dalam mengerjakan
setiap tugas.
6. Teman saya mengemukakan perasaan terhadap
sesuatu apa adanya.
7. Teman saya melaporkan data atau informasi apa
adanya.
……

Jumlah
Hasil penilaian antarteman perlu ditindak lanjuti oleh pendidik dengan memberikan bantuan fasilitasi
terhadap peserta didik yang belum menunjukkan sikap yang diharapkan.

3. Perencanaan Penilaian
a. Mata pelajaran selain Pendidikan Agama Budi Pekerti dan PPKn
Penilaian sikap pada mata pelajaran selain Pendidikan Agama Budi Pekerti (PABP) dan PPKn tetap harus
melalui perencanaan. Perencanaan diawali dengan mengidentifikasi sikap yang ada pada KI-1 dan KI-2
serta sikap yang diharapkan oleh sekolah yang tercantum dalam KTSP. Sikap yang dinilai oleh guru mata
pelajaran selain PABP dan PPKn adalah sikap spiritual dan sikap sosial yang muncul secara alami selama
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas.

Berikut ini contoh sikap spiritual yang dapat digunakan dan dinilai pada semua mata pelajaran:
a) berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan;

13
b) menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya;
c) memberi salam pada saat awal dan akhir kegiatan;
d) bersyukur atas nikmat dan karunia tuhan yang maha esa;
e) mensyukuri kemampuan manusia dalam mengendalikan diri;
f ) bersyukur ketika berhasil mengerjakan sesuatu;
g) berserah diri (tawakal) kepada tuhan setelah berikhtiar atau berusaha;
h) memelihara hubungan baik sesama umat ciptaan tuhan yang maha esa;
i) bersyukur kepada tuhan yang maha esa sebagai bangsa indonesia;
j) menghormati orang lain yang menjalankan ibadah sesuai agamanya.

Berikut adalah contoh indikator sikap sosial untuk semua mata pelajaran:
a) Jujur, yaitu perilaku dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, danpekerjaan, misalnya:
 tidak menyontek dalam mengerjakan ujian/ulangan;
 tidak menjadi plagiat (mengambil/menyalin karya orang lain tanpa menyebutkan sumber);
 mengungkapkan perasaan apa adanya;
 menyerahkan barang yang ditemukan kepada yang berwenang;
 membuat laporan berdasarkan data atau informasi apa adanya;
 mengakui kesalahan atau kekurangan yang dimiliki.
b) Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan, misalnya:
 datang tepat waktu;
 patuh pada tata tertib atau aturan bersama/sekolah;
 mengerjakan/mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan, mengikuti kaidah
berbahasa tulis yang baik dan benar.
c) Tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara
dan Tuhan Yang Maha Esa, misalnya:
 melaksanakan tugas individu dengan baik;
 menerima resiko dari tindakan yang dilakukan;
 tidak menyalahkan/menuduh orang lain tanpa bukti yang akurat;
 mengembalikan barang yang dipinjam;
 mengakui dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan;
 menepati janji;
 tidak menyalahkan orang lain untuk kesalahan karena tindakan dirinya sendiri;
 melaksanakan apa yang pernah dikatakan tanpa disuruh/ diminta.
d) Santun, yaitu sikap baik dalam pergaulan baik dalam berbahasa maupun bertingkah laku. Norma
kesantunan bersifat relatif, artinya yang dianggap baik/santun pada tempat dan waktu tertentu bisa
berbeda pada tempat dan waktu yang lain, misalnya:
 menghormati orang yang lebih tua;
 tidak berkata-kata kotor, kasar, dan takabur;
 tidak meludah di sembarang tempat;
 tidak menyela pembicaraan pada waktu yang tidak tepat;
 mengucapkan terima kasih setelah menerima bantuan orang lain;
 bersikap 3S (salam, senyum, sapa);
 meminta ijin ketika akan memasuki ruangan orang lain atau menggu-nakan barang milik orang
lain;
 memperlakukan orang lain seperti diri sendiri ingin diperlakukan

14
e) Percaya diri, yaitu suatu keyakinan atas kemampuannya sendiriuntukmelakukan kegiatan atau tindakan,
misalnya:
 berpendapat atau melakukan kegiatan tanpa ragu-ragu;
 mampu membuat keputusan dengan cepat;
 tidak mudah putus asa;
 tidak canggung dalam bertindak;
 berani presentasi di depan kelas;
 berani berpendapat, bertanya, atau menjawab pertanyaan.
f) Peduli, adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan
kerusakan (manusia, alam, dan tatanan), misalnya:
 membantu orang yang memerlukan
 tidak melakukan aktivitas yang mengganggu dan merugikan orang lain
 melakukan aktivitas sosial untuk membantu orang-orang yang memerlukan
 memelihara lingkungan sekolah
 membuang sampah pada tempatnya
 mematikan kran air yang mengucurkan air
 mematikan lampu yang tidak digunakan
 tidak merusak tanaman di lingkungan sekolah

Indikator untuk setiap butir sikap dapat dikembangkan sesuai keperluan satuan pendidikan. Indikator-
indikator tersebut dapat berlaku untuk semua mata pelajaran. Guru mata pelajaran selain PABP dan PPKn
dapat memilih teknik penilaian observasi, tetapi juga dapat memilih teknik penilaian diri maupun
penilaian antarteman.

Penggunaan penilaian diri dan penilaian antarteman dapat digunakan minimal satu kali dalam satu
semester. Penentuan teknik penilaian sikap harus diikuti dengan penentuan instrumen penilaian.
Pendidik dapat memilih jurnal sebagai instrumen penilaian atau instrumen lain yang relevan.

4. Pelaksanaan Penilaian

Penilaian sikap dilakukan oleh guru mata pelajaran (selama proses pembelajaran pada jam
pelajaran) dan/atau di luar jam pembelajaran, guru bimbingan konseling (BK), dan wali kelas (selama
peserta didik di luar jam pelajaran). Penilaian sikap spiritual dan sosial dilakukan secara terus-menerus
selama satu semester.
Penilaian sikap spiritual dan sosial di dalam kelas maupun diluar jam pembelajaran dilakukan
oleh guru mata pelajaran, wali kelas dan guru BK. Guru mata pelajaran, guru BK, dan wali kelas
mengikuti perkembangan sikap spiritual dan sosial, serta mencatat perilaku peserta didik yang sangat
baik atau kurang baik dalam jurnal segera setelah perilaku tersebut teramati atau menerima laporan
tentang perilaku peserta didik.
Sebagaimana disebutkan pada uraian terdahulu, apabila seorang peserta didik pernah memiliki
catatan sikap yang kurang baik, jika pada kesempatan lain peserta didik tersebut telah menunjukkan
perkembangan sikap (menuju atau konsisten) baik pada aspek atau indikator sikap yang dimaksud, maka
di dalam jurnal harus ditulis bahwa sikap peserta didik tersebut telah (menuju atau konsisten) baik atau
bahkan sangat baik. Dengan demikian, untuk peserta didik yang punya catatan kurang baik, yang dicatat
dalam jurnal tidak terbatas pada sikap kurang baik dan sangat baik saja, tetapi juga setiap perkembangan
sikap menuju sikap yang diharapkan.

Sikap dan perilaku peserta didik yang teramati oleh pendidik ini dan tercacat dalam jurnal, akan lebih

15
baik jika dikomunikasikan kepada peserta didik yang bersangkutan dan kepadanya diminta untuk paraf
di jurnal, sebagai bentuk “pengakuan” sekaligus merupakan upaya agar peserta didik yang bersangkutan
segera menyadari sikap dan perilakunya serta berusaha untuk menjadi lebih baik.

5. Pengolahan Hasil Penilaian

Langkah-langkah untuk membuat deskripsi nilai/perkembangan sikap selama satu semester:


a. Guru mata pelajaran, wali kelas dan guru BK masing-masing mengelompokkan (menandai) catatan-
catatan sikap pada jurnal yang dibuatnya kedalam sikap spiritual dan sikap sosial (apabila pada jurnal
belum ada kolom butir nilai).
b. Guru mata pelajaran, wali kelas dan guru BK masing-masing membuat rumusan deskripsi singkat sikap
spiritual dan sikap sosial berdasarkan catatan-catatan jurnal untuk setiap peserta didik.
c. Wali kelas mengumpulkan deskripsi singkat sikap dari guru mata pelajaran dan guru BK. Dengan
memperhatikan deskripsi singkat sikap spiritual dan sosial dari guru mata pelajaran, guru BK, dan wali
kelas yang bersangkutan, wali kelas menyimpulkan (merumuskan deskripsi) capaian sikap spiritual dan
sosial setiap peserta didik.
d. Pelaporan hasil penilaian sikap dalam bentuk predikat dan deskripsi.

Berikut adalah rambu-rambu rumusan predikat dan deskripsi perkembangan sikap selama satu semester:
a. Deskripsi sikap menggunakan kalimat yang bersifat memotivasi dengan pilihan kata/frasa yang bernada
positif. Hindari frasa yang bermakna kon-tras, misalnya: ... tetapi masih perlu peningkatan dalam atau ...
namun masih perlu bimbingan dalam hal ...
b. Deskripsi sikap menyebutkan perkembangan sikap/perilaku peserta didik yang sangat baik dan/atau baik
dan yang mulai/ sedang berkembang.
c. Deskripsi sikap spiritual “dijiwai” oleh deskripsi pada mata pelajaran PABP, sedangkan deskripsi mata
pelajaran lainnya menjadi penguat.
d. Deskripsi sikap sosial “dijiwai” oleh deskripsi pada mata pelajaran PPKn, sedangkan deskripsi mata
pelajaran lainnya menjadi penguat.
e. Predikat dalam penilaian sikap bersifat kualitatif, yakni: Sangat Baik, Baik, Cukup, dan Kurang.
f. Predikat tersebut ditentukan berdasarkan judgement isi deskripsi oleh pendidik.
g. Apabila peserta didik memiliki kecenderungan sikap sangat baik pada sebagian besar mata pelajaran,
maka dapat diasumsikan predikat peserta didik tersebut SANGAT BAIK.
h. Apabila peserta didik tidak ada catatan apapun dalam jurnal, sikap peserta didik tersebut dapat
diasumsikan BAIK.
i. Dengan ketentuan bahwa sikap dikembangkan selama satu semester, deskripsi nilai/perkembangan sikap
peserta didik didasarkan pada sikap peserta didik pada masa akhir semester. Oleh karena itu, sebelum
deskripsi sikap akhir semester dirumuskan, guru mata pelajaran, guru BK, dan wali kelas harus
memeriksa jurnal secara keseluruhan hingga akhir. semester untuk melihat apakah telah ada catatan yang
menunjukkan bahwa sikap peserta didik tersebut telah menjadi sangat baik, baik, atau mulai berkembang.
j. Apabila peserta didik memiliki catatan sikap KURANG baik dalam jurnal dan peserta didik tersebut
belum menunjukkan adanya perkembangan positif, deskripsi sikap peserta didik tersebut dirapatkan
dalam rapat dewan guru pada akhir semester. Rapat dewan guru menentukan kesepakatan tentang
predikat dan deskripsi sikap KURANG yang harus dituliskan, dan juga kesepakatan tindak lanjut
pembinaan peserta didik tersebut. Tindak lanjut pembinaan sikap KURANG pada peserta didik sangat
bergantung pada kondisi sekolah, guru dan keterlibatan orang tua/wali murid.

Berikut adalah contoh rumusan deskripsi capaian sikap spiritual dan sosial.

Sikap Spiritual:

16
Predikat Deskripsi
Sangat baik Selalu bersyukur, selalu berdoa sebelum melakukan kegiatan,
dan toleran pada pemeluk agama yang berbeda; ketaatan
beribadah sudah berkembang.

Sikap sosial:
Predikat Deskripsi
Baik Santun, peduli, dan percaya diri; kejujuran, kedisiplinan, dan
tanggungjawab meningkat.

Sikap sosial:
Predikat Deskripsi
Cukup Santun, cukup peduli, percaya diri, kejujuran meningkat,
kedisiplinan mulai berkembang, dan tanggungjawab mulai
meningkat.

6. Pemanfaatan dan Tindak Lanjut Hasil

Penilaian Perilaku sikap spiritual dan sosial yang teramati dan tercatat dalam jurnal guru, wali
kelas maupun guru BK harus menjadi dasar untuk tindak lanjut oleh pihak sekolah. Bila perilaku sikap
yang kurang termasuk dalam sikap spiritual maupun sikap sosial, tindak lanjut berupa pembinaan
terhadap peserta didik dapat dilakukan oleh semua pendidik di sekolah.
Hasil penilaian sikap sebaiknya segera ditindak lanjuti, baik saat pembelajaran maupun setelah
pembelajaran. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi bentuk penguatan bagi peserta didik yang telah
menunjukkan sikap baik, dan dapat memotivasi peserta didik untuk memperbaiki sikap yang kurang
baik. Guru BK secara terprogram dapat mengembangkan layanan konseling dan pendampingan pada
peserta didik yang memiliki kekurangan pada perilaku sikap spiritual maupun sikap sosial. Pembinaan
terhadap perilaku sikap yang tergolong kurang, sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah perilaku
diamati.

17
PENILAIAN PENGETAHUAN

1. Pengertian Penilaian Pengetahuan


Penilaian pengetahuan biasa disebut juga dengan penilaian kognitif. Istilah “Cognitive” berasal
menurut Gagne berasal dari kata cognition yang memiliki arti pengertian, mengerti. Kognitif merupakan
proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir.
Penilaian kognitif merupakan penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian atau
penguasaan siswa pada aspek pengetahuan. Selain itu kognitif adalah aspek yang memfokuskan pada
peningkatan kemampuan dan keterampilan intelektual. Indikator kognitif proses merupakan perilaku
(behavior) siswa yang diharapkan muncul setelah melakukan serangkaian kegiatan untuk mencapai
kompetensi yang diharapkan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa aspek kognitif berkenaan dengan
penilaian pengetahuan yang dimulai dari tingkatan mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta. Penilaian pengetahuan atau aspek kognitif sangat penting dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan peserta didik terhadap materi yang sudah diajarkan dan sebagai
dasar untuk menentukan tindak lanjut dalam proses belajar selanjutnya. Penailaian pengetahuan atau
kognitif biasanya menggunakan penilaian berupa tes tulis dan lisan. Instrumen tes tulis umumnya
menggunakan soal pilihan ganda, soal uraian, isian, jawaban singkat, benar‐salah, dan menjodohkan.
Pada tes lisan menggunakan instrumen berupa daftar pertanyaan. Dan penugasan berupa Pekerjaan
rumah dan/atau tugas yang dikerjakan secara individu atau kelompok sesuai dengan karakteristik tugas.

A. Ciri-ciri Penilaian Pengetahuan (Kognitif)


Menurut Piaget, terdapat tiga prinsip utama dalam pembelajaran kognitif, yaitu yang pertama
belajar aktif, dimana menuntut peserta didik untuk dapat belajar dan menemukan solusi dari suatu
permasalahan. Yang kedua, yaitu belajar melalui kegiatan interaksi sosial seperti kegiatan belajar
Bersama, yang dapat mengembangkan kemampuan kognitif peserta didik, karena dalam belajar Bersama
akan menemukan sudut pandang yang berbeda-beda dalam menyelesaikan suatu masalah. Yang ketiga,
yaitu belajar lewat pengalaman sendiri, pengetahuan yang diperoleh peserta didik akan lebih bermakna
dan dimengerti apabila diperoleh dari penglaman yang mereka rasakan sendiri.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual
yang lebih sederhana seperti mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut
siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang
dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah sub-taksonomi
yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat mengingat sampai ke
tingkat yang paling tinggi yaitu mengkreasi.

B. Tingkatan Berpikir Ranah Kognitif


Tingkatan berpikir ranah kognitif mempunyai enam aspek yang berbeda-beda, yaitu mengingat
(remembering), memahami (understanding), meng-aplikasikan (applying), menganalisis (analyzing),
mengevaluasi (evaluating), dan mengkreasi (creating), hal ini dikemukakan oleh Bloom dan telah
mengalami beberapa kali revisi. Hal ini lah yang menjadi acuan dalam merumuskan tujuan belajar yang
dikenal sebagai C1 sampai dengan C6.

18
a. Mengingat (C1)
Mengingat merupakan menentukan pengetahuan yang relevan dari ingatan dalam jangka waktu
yang panjang. Kategori mengingat ini merupakan kategori terendah dalam tingkatannya, karena tidak
membutuhkan terlalu banyak energi untuk berpikir. Adapun Kata Kerja Operasional (KKO) pada
tingkatan mengingat (C1) sebagai berikut :

Tingkatan Kognitif Kata Kerja Operasional


Mengingat (C1) Mengenal
Mengetahui ... Mengingat
misalnya : istilah, fakta, Menceritakan
aturan, urutan Menyebutkan
Menyatakan
Menuliskan
Menghubungkan

b. Memahami (C2)
Memahami merupakan mengkonstruksikan makna dari suatu proses pembe;ajaran yang didasarkan
pada pengetahuan awal yang dimiliki, mengaitkan pengetahuan yang diketahui dengan informasi
terbaru, atau mengintegrasikan pengetahuan baru ke dalam skema yang ada dalam pemikiran siswa yang
di dalamnya termasuk komunikasi lisan, tertulis, dan materi yang disampaikan. Adapun Kata Kerja
Operasional (KKO) yang digunakan dalam tingkatan memahami (C2) sebagai berikut :

Tingkatan Kognitif Kata Kerja


Operasional
Memahami (C2) Mengartikan
Menerjemahkan, Menjelaskan
menafsirkan, menentukan… Membedakan
Misalnya : prinsip, konsep, Memprediksi
kaitan antara fakta dan isi Menyatakan Kembali
pokok Membandingkan

c. Menerapkan (C3)
Menerapkan atau mengaplikasikan merupakan melakukan prosedur untuk memecahkan masalah
atau hanya sekedar melakukan latihan yang erat hubungannya dengan pengetahuan procedural, dimana
terdiri dari dua macam proses kognitif, yaitu mengeksekusi tugas yang biasa dan mengimplementasi
tugas yang tidak biasa. Adapun Kata Kerja Operasional (KKO) yang digunakan dalam tingkatan
menerapkan (C3) sebagai berikut :

Tingkatan Kognitif Kata Kerja Operasional


Menerapkan (C3) Menghitung
Membuat
Memecahkan masalah,

19
membuat grafik Melengkapi
menggunakan.. Menguji
Misalnya : prosedur, konsep, Membuktikan
prinsip Menentukan

d. Menganalisis (C4)
Menganalisis merupakan keterampilan dalam mengolah suatu data untuk memahami dan
menentukan suatu hubungan. Kategori menganalisis meliputi menguraikan suatu permasalahan ke dalam
unsur-unsur penyusunnya dan menentukan bagaimana keterkaitan antara unsur-unsur penyusun
tersebut dengan struktur inti atau besarnya. Menganalisis merupakan proses berpikir yang setingkat lebih
tinggi dari penerapan atau aplikasi. Menganalisis ini juga dapat diartikan sebagai menentukan bagian-
bagian dari suatu masalah dan penyelesaiannya serta menunjukkan hubungan antara setiap bagin-bagian
tersebut. Adapun Kata Kerja Operasional (KKO) yang digunakan dalam tingkatan menganalisis (C4)
sebagai berikut :
Tingkatan Kognitif Kata Kerja Operasional
Menganalisis (C4) Membandingkan
Mengenali permasalahan… Menyelidiki
Misalnya : struktur, menelaah
hubungan

e. Mengevaluasi (C5)
Mengevaluasi merupakan mengambil keputusan berdasarkan kriteria atau standar. Kriteria yang
sering digunakan diantaranya yaitu kualitas, konsistensi, efektifitas, dan efisiensi. Mengevaluasi dapat
berbentuk kuantitatif, serta termasuk kognitif dalam kategori memeriksa atau mengkritisi. Adapun Kata
Kerja Operasional (KKO) yang digunakan dalam tingkatan mengevaluasi (C5) sebagai berikut :
Tingkatan Kognitif Kata Kerja Operasional
Menilai berdasarkan.. Mengkritik
Misalnya : karangan, mutu, Menilai
hasil karya Menafsirkan

f. Mengkreasi (C6)
Mengkreasi merupakan memadukan suatu bagian untuk membentuk satu kesatuan yang utuh dan
fungsional, yaitu : reorganisasi unsur ke dalam sebuah pola atau struktur yang baru. Merumuskan,
merencanakan, dan memproduksi juga termasuk ke dalam mengkreasi. Adapun Kata Kerja Operasional
(KKO) yang digunakan dalam tingkatan mengkreasi (C6) sebagai berikut :

Tingkatan Kognitif Kata Kerja Operasional


Mengkreasi (C6) Memproduksi
Menghasilkan… Merancang
Misalnya : karangan, teori Menciptakan
Menyusun… Membuat
Misalnya : laporan, proposal Menghasilkan

20
C. Teknik dan Instrumen Penilaian Pengetahuan (Kognitif)
Terdapat beberapa Teknik dan instrumen dalam penilaian pengetahuan yang dapat dilakukan
oleh seorang guru, diantaranya yaitu : tes secara tertulis, tes lisan dan penugasan dengan lembar kerja.

a. Tes Tertulis

Tes tertulis merupakan tes yang terdiri dari serangkaian soal, pertanyaan, atau tugas secara tertulis
dan jawaban yang diberikan secara tertulis juga. Dalam menjawab tes tertulis ini, tidak selalu dijawab
dengan menulis jawaban, tapi bisa juga dengan bentuk lain seperti menggambar, memberi tanda dan
mewarnai. Tes tertulis dapat mengukur kemampuan siswa dalam jumlah yang besar dalam tempat dan
waktu yang terpisah. Secara umum, tes tertulis dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
1. Tes Objektif
Tes objektif merupakan tes tertulis yang menuntut siswa untuk memilih jawaban yang telah
disediakan atau memberikan jawaban singkat, pemeriksaannya dilakukan dengan objektif kepada semua
siswa. Beberapa contoh tes objektif yaitu : pilihan ganda, menjodohkan, benar salah, dam isian singkat.
a. Pilihan Ganda
Pilihan ganda merupakan bentuk tes yang objektif, dimana disajikan soal dan beberapa pilihan jawaban
dengan satu jawaban yang benar. Tes pilihan ganda dapat dinilai dengan mudah, cepat, dan memiliki
objektifitas yang tinggi untuk mengukur tingkat pemahaman peserta didik. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam Menyusun tes pilihan ganda, diantaranya yaitu : kesesuaian antara soal dan jawaban,
kejelasan dalam penyusunan dari tiap kalimat, Bahasa yang digunakan mudah dipahami, dan setiap soal
mengandung satu masalah.
b. Pilihan Benar Salah
Pilihan benar salah merupakan suatu bentuk tes tertulis dimana soalnya berupa pernyataan yang
mengandung dua kemungkinan yaitu benar atau salah. Bentuk soal benar salah ini banyak digunakan
untuk mengukur kemampuan dalam mengidentifikasi informasi berdasarkan hubungan yang sederhana.
Cara menyelesaikan soal ini cukup dengan memberi tanda jawaban yang dianggap benar.
c. Tes Menjodohkan
Tes menjodohkan merupakan bentuk tes yang terdiri atas kumpulan soal dan kumpulan jawaban yang
keduanya dikumpulkan dalam dua kolom yang berbeda, yaitu kolom pertanyaan di sebelah kiri dan
kolom jawaban di sebelah kanan. Menjodohkan ini dapat berupa peristiwa dengan orang, peristiwa
dengan hari, peristiwa dengan tempat, istilah dengan definisi, atau alat dengan penggunaan. Tes
menjodohkan ini digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi
informasi berdasarkan hubungan yang sederhana dan kemampuan menghubungkan antara dua hal.
d. Isian Singkat
Tes isian singkat disebut juga dengan tes menyempurnakan atau melengkapi. Tes isian singkat ini terdiri
dari kalimat-kalimat yang bagiannya dihilangkan. Bagian yang dihilangkan ini adalah pengertian yang
harus diisi oleh peserta didik. Ada juga yang tidak berbentuk kalimat pendek, tetapi berupa kalimat
berangkai yang memuat banyak isian.

21
2. Tes Subjektif

Tes subjektif atau yang biasa disebut tes uraian merupakan tes yang pertanyaannya membutuhkan
jawaban peserta didik untuk menguraikan, mengorganisasikan, dan menjawab dengan kata-katanya
sendiri dalam bentuk, gaya, dan teknik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tes ini dapat
digunakan untuk menilai peserta didik dalam mengemukakan pendapat, berpikir kritis, dan kreatif dalam
menyelesaikan suatu masalah. Bentuk-bentuk dari tes subjektif adalah sebagai berikut :
a. Uraian bebas
Uraian bebas atau terbuka adalah butir soal yang ditanyakan hanya menyangkut masalah utama
utama yang dibicarakan, tanpa memberikan arahan tertentu dalam menjawabnya. Dengan demikian,
peserta didik dapat mengembangkan pikirannya sendiri dalam menjawab pertanyaan.
b. Uraian terbatas
Uraian terbatas atau tertutup adalah butir soal yang ditanyakan sudah mengarah ke dalam masalah
tertentu, sehingga peserta didik harus menjawab sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh soal, dan
dijawab secara terstruktur.
3. Tes lisan
Tes lisan merupakan tes yang dilakukan dengan melakukan tanya jawab kepada siswa secara
langsung, baik secara perorangan, berpasangan, ataupun berkelompok. Aspek-aspek yang dapat dinilai
dari tes lisan ini yaitu : proses berpikir peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah, dan
penguasaan Bahasa dan materi pembelajaran.
4. Penugasan dengan lembar kerja
Instrumen penugasan berupa proyek yang dikerjakan secara individu ataupun berkelompok,
yang disesuaikan dengan karakteristik tugas. Penilaian ini bertujuan untuk pendalaman materi
kompetensi pengetahuan yang yang telah dipelajari dan dikuasai.

22
PENILAIAN KETERAMPILAN

1. Pengertian Penilaian Keterampilan


Penilaian keterampilan adalah penilaian yang dilakukan untuk mengukur kemampuan peserta
didik dalam menerapkan pengetahuan dalam melakukan tugas tertentu di berbagai macam konteks
sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi. Penilaian keterampilan tersebut meliputi ranah berpikir
dan bertindak. Keterampilan ranah berpikir meliputi antara lain keterampilan membaca, menulis,
menghitung, dan mengarang. Keterampilan dalam ranah bertindak meliputi antara lain menggunakan,
mengurai, merangkai, modifikasi, dan membuat.
Penilaian keterampilan dapat dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain penilaian praktik,
penilaian produk, penilaian proyek, penilaian portofolio, dan teknik lain misalnya tes tertulis. Teknik
penilaian keterampilan yang digunakan dipilih sesuai dengan karakteristik KD pada KI-4.

2. Teknik Penilaian
Teknik penilaian keterampilan dapat digambarkan pada skema berikut.

Berikut ini adalah uraian singkat mengenai teknik-teknik penilaian keterampilan tersebut.
a. Penilaian Praktik
Penilaian praktik adalah penilaian yang menuntut respon berupa keterampilan melakukan suatu
aktivitas sesuai dengan tuntutan kompetensi. Dengan demikian, aspek yang dinilai dalam penilaian
praktik adalah kualitas proses mengerjakan/melakukan suatu tugas.
Penilaian praktik bertujuan untuk dapat menilai kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan
keterampilannya dalam melakukan suatu kegiatan. Penilaian praktik lebih otentik daripada penilaian
paper and pencil karena bentuk-bentuk tugasnya lebih mencerminkan kemampuan yang diperlukan
dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Contoh penilaian praktik adalah membaca karya sastra, membacakan pidato (reading aloud dalam
mata pelajaran bahasa Inggris), menggunakan peralatan laboratorium sesuai keperluan, memainkan alat
musik, bermain bola, bermain tenis, berenang, menyanyi, menari, dan sebagainya.

23
b. Penilaian Produk
Penilaian produk adalah penilaian terhadap keterampilan peserta didik dalam mengaplikasikan
pengetahuan yang dimiliki ke dalam wujud produk dalam waktu tertentu sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan baik dari segi proses maupun hasil akhir.
Penilaian produk dilakukan terhadap kualitas suatu produk yang DihasilkanPenilaian produk
bertujuan untuk
1) menilai keterampilan siswa dalam membuat produk tertentu sehubungan dengan pencapaian
tujuan pembelajaran
2) menilai penguasaan keterampilan sebagai syarat untuk mempelajari keterampilan berikutnya; dan
3) menilai kemampuan siswa dalam bereksplorasi dan mengembangkan gagasan dalam mendesain
dan menunjukkan inovasi dan kreasi
Contoh aktivitas untuk penilaian produk antara lain membuat kerajinan, membuat karya sastra,
membuat laporan percobaan, menciptakan tarian, membuat lukisan, mengaransemen musik, membuat
naskah drama, dan sebagainya.

c. Penilaian Proyek
Penilaian proyek adalah suatu kegiatan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
mengaplikasikan pengetahuannya melalui penyelesaian suatu instrumen proyek dalam periode/waktu
tertentu. Penilaian proyek dapat dilakukan untuk mengukur satu atau beberapa KD dalam satu atau
beberapa mata pelajaran.
Penilaian proyek meliputi rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pengumpulan data,
pengorganisasian data, pengolahan dan penyajian data, serta pelaporan. Penilaian proyek bertujuan
untuk mengembangkan dan memonitor keterampilan siswa dalam merencanakan, melaksanakan
perencanaan yang disusun dan melaporkan hasil proyek. Dalam konteks ini siswa dapat menunjukkan
pengalaman dan pengetahuan mereka tentang suatu topik, memformulasikan pertanyaan dan
menyelidiki topik tersebut melalui bacaan, wisata dan wawancara. Untuk manilai laporan hasil proyek
dapat dilakukan dengan presentasi hasil melalui visual display atau laporan tertulis.
Contoh penilaian proyek adalah melakukan investigasi terhadap jenis keanekaragaman hayati
Indonesia, membuat makanan dan minuman dari buah segar, membuat video percakapan, mencipta
rangkaian gerak senam berirama, dan sebagainya.

d. Penilaian Portofolio
Portofolio adalah penilaian berkelanjutan berdasarkan kumpulan informasi yang bersifat
reflektif-integratif yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode
tertentu.
Tujuan utama dilakukannya portofolio adalah untuk menentukan hasil karya dan proses
bagaimana hasil karya tersebut diperoleh sebagai salah satu bukti yang dapat menunjukkan pencapaian
belajar siswa, yaitu mencapai kompetensi dasar dan indikator yang telah ditetapkan. Selain berfungsi
sebagai tempat penyimpanan hasil pekerjaan siswa, portofolio juga berfungsi untuk mengetahui
perkembangan kompetensi siswa.
Terdapat beberapa tipe portofolio yaitu portofolio dokumentasi, portofolio proses, dan portofolio
pameran. Pendidik dapat memilih tipe portofolio sesuai dengan karakteristik kompetensi dasar dan/atau
konteks mata pelajaran.
Pada akhir suatu periode, hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh pendidik bersama
peserta didik. Berdasarkan hasil penilaian tersebut, pendidik dan peserta didik dapat menilai
perkembangan kemampuan peserta didik dan terus melakukan perbaikan. Dengan demikian portofolio

24
dapat memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar peserta didik melalui karyanya.Portofolio peserta
didik disimpan dalam suatu folder dan diberi tanggal pembuatan sehingga perkembangan kualitasnya
dapat dilihat dari waktu ke waktu. Portofolio dapat digunakan sebagai salah satu bahan penilaian.
Hasil penilaian portofolio bersama dengan penilaian lainnya dipertimbangkan untuk pengisian
rapor/laporan penilaian kompetensi peserta didik. Portofolio merupakan bagian dari penilaian autentik,
yang secara langsung dapat merepresentasikan sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik.
Penilaian portofolio dilakukan untuk menilai karya-karya peserta didik secara bertahap dan pada
akhir suatu periode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dipilih bersama oleh guru dan peserta didik.
Karya-karya terbaik menurut pendidik dan peserta didik disimpan dalam folder dokumen portofolio.
Pendidik dan peserta didik harus mempunyai alasan yang sama mengapa karya-karya tersebut disimpan
di dalam dokumen portofolio. Setiap karya pada dokumen portofolio harus memiliki makna atau
kegunaan bagi peserta didik, pendidik, dan orang tua peserta didik. Selain itu, diperlukan komentar dan
refleksi dari pendidik, dan orangtua peserta didik.
Karya peserta didik yang dapat disimpan sebagai dokumen portofolio antara lain: karangan,
puisi, gambar/lukisan,surat penghargaan/piagam, foto-foto prestasi, dan sejenisnya. Dokumen portofolio
dapat menumbuhkan rasa bangga bagi peserta didik sehingga dapat mendorong untuk mencapai hasil
belajar yang lebih baik. Pendidik dapat memanfaatkan portofolio untuk mendorong peserta didik
mencapai sukses dan membangun kebanggaan diri. Secara tidak langsung, hal ini berdampak pada
peningkatan upaya peserta didik untuk mencapai tujuan individualnya. Di samping itu pendidik merasa
lebih mantap dalam mengambil keputusan penilaian karena didukung oleh bukti-bukti autentik yang
telah dicapai dan dikumpulkan peserta didik.
Agar penilaian portofolio menjadi efektif, pendidik dan peserta didik perlu menentukan ruang
lingkup penggunaan portofolio antara lain sebagai berikut:
 Setiap peserta didik memiliki dokumen portofolio sendiri yang memuat hasil belajar pada setiap
mata pelajaran atau setiap kompetensi.
 Menentukan jenis hasil kerja/karya yang perlu dikumpulkan/disimpan.
 Pendidik memberi catatan (umpan balik) berisi komentar dan masukan untuk ditindaklanjuti
peserta didik.
 Peserta didik harus membaca catatan pendidik dengan kesadaran sendiri dan menindaklanjuti
masukan pendidik untuk memperbaiki hasil karyanya.
 Catatan pendidik dan perbaikan hasil kerja yang dilakukan peserta didik diberi tanggal, sehingga
dapat dilihat perkembangan kemajuan belajar peserta didik

e. Teknik lain
Untuk mengukur keterampilan dalam ranah berpikir abstrak (membaca, menulis, menyimak, dan
menghitung) dapat digunakan teknik lain seperti tes tertulis. Dalam mata pelajaran matematika atau IPA,
misalnya siswa menyelesaikan masalah yang terkait dengan konsep-konsep dalam kedua mata pelajaran
tersebut. Dalam mata pelajaran rumpun bahasa, siswa menyusun berbagai jenis teks.

3. Perencanaan Penilaian
Perencanaan penilaian meliputi penyusunan kisi-kisi, penyusunan instrumen, dan penyusunan
rubrik penilaian. Penyusunan kisi-kisi meliputi menentukan kompetensi yang penting untuk dinilai,
dalam hal ini adalah KD dari KI 4 dan menyusun indikator
berdasarkan kompetensi yang akan dinilai.
Instrumen yang disusun mengarah kepada pencapaian indikator hasil belajar, dapat dikerjakan
oleh siswa, sesuai dengan taraf perkembangan siswa, memuat materi yang sesuai dengan cakupan
kurikulum, bersifat adil (tidak bias gender dan latar belakang sosial ekonomi); danmenetapkan batas

25
waktu penyelesaian. Hal lain yang perlu disiapkan adalah rubrik penilaian.

Rubrik penilaian hendaknya memuat seperangkat indikator untuk menilai kompetensi tertentu,
1. memiliki indikator yang diurutkan berdasarkan
2. urutan langkah kerjapada instrumen atau sistematika pada hasil kerja siswa,
3. dapat mengukur kemampuan yang diukur (valid),
4. dapat digunakan untuk menilai kemampuan siswa,
5. dapat memetakan kemampuan siswa, dan
6. disertai dengan penskoran yang jelas

a. Contoh perencanaan penilaian praktik

Berikut adalah contoh instrumen penilaian praktik untuk mata pelajaran IPA

26
Contoh instrumen penilaian produk untuk Mata Pelajaran Prakarya dengan Aspek Pengolahan

4. Pelaksanaan penilaian
Pelaksanaan penilaian adalah eksekusi dari perencanaan penilaian yang telah dilakukan. Adapun
teknis pelaksanaan penilaian praktik, produk, dan projek meliputi:
a. pemberian tugas secara rinci;
b. penjelasan aspek dan rubrik penilaian;
c. pelaksanaan penilaian sebelum, selama, dan setelah siswa melakukan pembelajaran; dan
d. pendokumentasian hasil penilain.

5. Pengolahan Hasil Penilaian


Nilai keterampilan diperoleh dari hasil penilaian setiap KD. Hasil penilaian pada satu KD yang
dilakukan lebih dari satu kali dengan teknik yang sama, maka nilai pada KD tersebut adalah yang
tertinggi. Satu KD yang dinilai dengan lebih dari satu Teknik maka nilai KD tersebut merupakan nilai
rata-ratanya. Penulisan capaian keterampilan pada rapor menggunakan angka pada skala 0 – 100,
predikat dan deskripsi.

27
Penilaian keterampilan dalam satu semester dapat digambarkan dengan skema berikut

Penilaian dalam satu semester yang dilakukan sebagaimana disajikan pada Gambar 3.4 di atas
dapat menghasilkan skor seperti dituangkan dalam Tabel 3.27.

Catatan:

1. Penilaian KD 4.2 pada materi yang sama dilakukan 2 (dua) kali dengan teknik yang sama, yaitu praktik.
Oleh karena itu skor akhir KD 4.2 adalah skor optimum.
2. KD 4.3 dan KD 4.4 dinilai bersama-sama melalui penilaian proyek. Nilai yang diperoleh untuk kedua KD
yang secara bersama-sama dinilai dengan proyek tersebut adalah sama (dalam contoh di atas 87).
3. Selain dinilai dengan proyek, KD 4.4 dinilai dengan produk. Dengan demikian KD 4.4 dinilai 2 (dua) kali,
yaitu dengan produk dan proyek. Dengan asumsi bobot pada penilaian produk dan proyek sama, maka
skor akhir KD 4.4 adalah rata-rata dari skor yang diperoleh melalui kedua teknik yang berbeda tersebut.
4. Nilai akhir semester adalah rata-rata skor akhir keseluruhan KD keterampilan yang dibulatkan ke
bilangan bulat terdekat.

Portofolio (yang dalam contoh ini) dikumpulkan dari penilaian dengan teknik produk dan
proyek digunakan sebagai sebagian data perumusan deskripsi pencapaian keterampilan. Di samping nilai
dalam bentuk angka dan predikat, dalam rapor dituliskan deskripsi capaian keterampilan untuk setiap
mata pelajaran.
Berikut adalah rambu-rambu rumusan deskripsi capaian keterampilan.
1) Deskripsi keterampilan menggunakan kalimat yang bersifat memotivasi dengan pilihan kata/frasa yang
bernada positif. Menghindari frasa yang bermakna kontras. Misalnya: ... tetapi masih perlu peningkatan

28
dalam ... atau ... namun masih perlu peningkatan dalam hal ....
2) Deskripsi berisi beberapa keterampilan yang sangat baik dan/atau baik dikuasai oleh siswa dan yang
penguasaannya mulai meningkat.
3) Deskripsi capaian keterampilan didasarkan pada bukti-bukti karya siswa yang didokumentasikan dalam
portofolio keterampilan. Apabila KD tertentu tidak memiliki karya yang imasukkan ke dalam portofolio,
deskripsi KD tersebut didasarkan pada skor angka yang dicapai. Portofolio tidak dinilai (lagi) dalam
bentuk angka.

6. Pemanfaatan dan Tindak Lanjut Hasil Penilaian

Hasil penilaian keterampilan dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan dan


perkembangan peserta didik dalam menerapkan pengetahuan dalam tugas tertentu. Di samping itu hasil
penilaian dapat juga memberi gambaran tingkat keberhasilan pendidikan pada satuan pendidikan.
Berdasarkan analisis hasil penilaian, dapat ditentukan dengan langkah atau upaya yang harus
dilakukan pendidik dan peserta didik dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Oleh sebab
itu hasil penilaian yang diperoleh harus diinformasikan langsung kepada peserta didik sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan peserta didik (assessment as learning), pendidik (assessment for
learning), dan satuan pendidikan selama proses pembelajaran berlangsung (melalui PH/pengamatan
harian) maupun setelah beberapa kali program pembelajaran (PTS), atau setelah selesai program
pembelajaran selama satu semester.

29
DAFTAR PUSTAKA

Anderson L., dan Krathwohl D.R. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen Revisi
Taksonomi Pendidikan Bloom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Prosedur
Operasional Standar Ujian Sekolah Berstandar Nasionapada Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun Pelajaran
2016/2017. Jakarta: Kemdikbud.

Flavell, J.H. 1976. Metacognition and Cognitive Monitoring: A New Area of Cognitive – developmentally. American
Psychology, 34.906-911.

Kemendikbud. 2014. Pendidikan kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.

Kemendikbud. 2015. Pedoman Penilaian Kelas oleh Pendidik. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, Badan
Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kurniawan, A.A.A., Febrianti,T., Hardinata, I., Ichsan, D., Desy, R., Risan, D.M.M., Sari, J.W., Sitopu, R.S., Dewi, D.,
Sianipar, L.A., Fitriyah, Z., Zulkarnain, N.M., Jalal, H,. Hasriani, Dan Hasyim, F. (2022). Evaluasi
Pembelajaran. Sumatera Barat: Pt. Global Eksekutif Teknologi

Nurmawati. (2020). Teknik Penilaian Sikap. Medan : CV. Pusdikra Mitra Jaya.

Simanjuntak, P. M., Sinaga, L., Hardinata, A., dan Simatupang, H. (2020).


Pengembangan Program dalam Pembelajaran. Jakarta Utara : PT. Mediaguru Digital Indonesia.

Sole, B. F dan Anggraini, D. M. (2017). Pengembangan Instumen Penilaian Sikap Ilmiah Sains Siswa Sekolah Dasar
(SD) Berbasis Pendidikan Karakter. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA (JPPIPA), 3(2). 99-105.

Pranomo, S. (2014). Panduan Evaluasi Kegiatan Belajar Mengajar. Jogjakarta: Diva Press.

30
BAB 8

KURIKULUM

Nadia Amelia, Siti Agustin, Dan Berliana Nandya Z

RENTJANA PEMBELAJARAN 1947

Di dalam sistem pendidikan aspek terpentingnya ialah kurikulum. Kurikulum berperan sebagai

pedoman dalam pelaksanaan pendidikan yang berupa aturan, tujuan, isi, dan bahan pelajaran juga metode

yang digunakan dalam proses pembelajaran. Di Indonesia sendiri kurikulum terus mengalami perubahan,

hal inilah yang kita sebut sebagai perkembangan kurikulum. Mulai dari tahun 1947, 1952, 1964, 1975, 1984,

1994, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan kurikulum yang terjadi merupakan suatu bentuk penyesuaian

sistem pendidikan dengan perubahan yang terus terjadi baik perubahan dibidang politik, ekonomi, sosial,

dan juga teknologi. Pembangunan negara baru membutuhkan aspek pendidikan yang maju. Didalam

pendidikan terdapat kurikulum sebagai pedoman jalannya pembelajaran. Pentingnya mengenal

kurikulum bagi bangsa Indonesia antara lain karena kurikulum memiliki dua alasan penting. Pertama,

kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena itu kurikulum mutlak harus ada.

Kedua, kurikulum pada hakikatnya merupakan ilmu tentang proses mencerdaskan anak bangsa agar ia

bermakna bagi kehidupannya, baik sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat maupun

sebagai warga negara bangsanya. Kurikulum memiliki berbagai dimensi untuk menyusun konsep

kurikulum itu sendiri. kurikulum terdiri dari enak dimensi, antara lain:

1. Kurikulum sebagai suatu ide

Ide atau konsep akan selalu berkembang kearah perubahan disesuaikan dengan perkembangan

jaman dengan segala aspek didalamnya. Seperti perkembangan teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan,

serta minat dari peseta didik itu sendiri. Akan selalu muncul ide-ide baru didalam kurikulum yang akan

menentukan rancangan pembelajaran agar selalu berjalan seiringan dengan kemajuan jaman. Kreatifitas,

efesiensi, dan efektifitas menjadikan ide-ide kurikulum baru yang sesuai dengan ideologi suatu negara.

Mengandung visi dan misi untuk memajukan berbagai sumber daya yang dimiliki negara.

2. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis

Ide yang telah dirumuskan kemudian dituliskan dan dibentuk sebagai suatu rencana

pembelajaran kedepan bagi kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam lembaga pendidikan.

Aspek yang dibahas antara lain tujuan, cara, dan struktur kurikulum seperti kegiatan belajar, organisasi,

evaluasi, dan manajemen kurikulum.

3. Kurikulum sebagai suatu kegiatan


Ketika kurikulum telah dirancang maka kurikulum merupakan produk pendidikan yang

berfungsi sebagai pedoman atau panduan untuk kegiatan dilapangan. Lapangan disini berarti ranah

pendidikan dan prakteknya didalam lingkungan sekolah. Kegiatan pembelajaran disekolah merupakan

hasil panduan dari kurikulum yang berlaku.

4. Kurikulum sebagai hasil belajar

Hasil belajar yang diperoleh merupakan nilai evaluasi untuk kurikulum itu sendiri. Untuk

mengetahui sejauh mana kurikulum mampu memberikan pengaruh baik pada jalannya pembelajaran.

Berfungsi sebagai indikator keberhasilan dari kurikulum yang berlaku.

5. Kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu

Kurikulum mengandung konsep, prinsip, proses, asumsi, dan teori yang kemudian dapat

dianalisis. Aspek inilah yang membuat kurikulum dapat dikatakan sebagai suatu ilmu. Penganalisisan

dilakukan utnuk terus memperbaiki isi dari kurikulum itu sendiri.

6. Kurikulum sebagai suatu sistem

Dimulai dari ide, kemudian dirancang secara tertulis dan menjadi suatu kegiatan dan

menghasilkan nilai dalam proses pembelajaran sebagai bentuk evaluasi dan menjadikannya sebagai

suatu disiplin ilmu akrena dapat dianalisis. Semuanya merupakan aspek yang saling berkaitan yang

membuat kurikulum sebagai sistem yang harus berjalan secara beriringan dan harmonis.Sejak Indonesia

merdeka pada tahun 1945, segala aspek yang menunjang sistem-sistem pemerintahan terusmenerus

diperbaiki. Pembangunan dilakukan secara serentak dan bersifat progresif. Termasuk diantaranya

adalah memperbaiki sistem pendidikan yang telah ada untuk disempurnakan lagi bagi keberlangsungan

praktek pendidikan di Indonesia. Pendidikan merupakan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya

sebagaimana telah dicantumkan didalam Pembukaan UUD 1945 yang bertujuan untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa. Artinya adalah pemerintah harus memberikan peluang sebesar-besarnya bagi rakyat

untuk mendapatkan pendidikan karena pendidikan adalah hak setiap warrga negara. Jika dilihat dari

sejarahnya, sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang, pendidikan yang sudah terbentuk dan

dijalankan adalah pendidikan yang berdasarkan kepada motif kolonialisme. Walaupun memberikan

kesempatan yang sangat terbatas bagi kaum pribumi, namun Belanda dan Jepang tetap memberikan

peran dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Belanda dengan pelaksanaan politik etiknya dalam

aspek pendidikan membentuk sekolah rakyat 3 Tahun (Volks School) dengan pendidikan dasar cukup

untuk mampu 3R (Baca, Tulis, dan Hitung). Sayangnya, Belanda tetap saja licik dalam melaksanakan

politik etiknya karena mereka menganggap bahwa akan berbahaya jika pribumi mampu mendapatkan

pendidikan dan menjadi cerdas maka itu akan membuat kesadaran dalam diri mereka dan akan

melakukan perlawanan terhadap Belanda.


Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, pendidikan lebih berbasis kepada militer. Hal ini yang

membuat dirombaknya sistem pendidikan yang telah dibuat oleh Belanda. Jepang menerapkan asas

menjunjung tingga rasa pengabdian terhadap negara dan juga kepada pimpinan yang dalam hal ini

adalah Kaisar Jepang. Dalam pemerintahan Jepang, semua penggunaan kata yang berasal dari bahasa

negara-negara barat dihapuskan dan diganti oleh penggunaan bahasa yang lebih “Indonesia” sehingga

semasa penjajahan Jepang, Pendidikannya bersifat lebih terbuka untuk pribumi. Hingga akhirnya pada

tanggal 17 Agustus 1945 telah diproklamirkan kemerdekaan yang sesungguhnya untuk bangsa Indonesia

yang berarti tidak adanya pihak asing yang mengatur bangsanya. Kemerdekaan ini menjadi momen

penting bagi Indonesia dalam aspek pendidikan untuk mulai kehidupan bangsa yang baru. Maka

pergerakan perubahan dimulai bulan Desember 1945 pada saat BP-KNIP mengusulkan kepada

Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk sekelas mungkin mengadakan perubahan

pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar Negara Republik Indonesia yang baru lahir itu.2

Dalam surat BP-KNPI tersebut diberikan beberapa pedoman dalam penyusunan kurikulum,

diantaranya:

1. Agar disusun jenis-jenis persekolahan dan rencana pembelajaran yang sesuai dengan dasar negara

Republik Indonesia

2. Disusun satu macam sekolah untuk semua rakyat tanpa membeda-bedakan sehingga sesuai dengan

keadilan sosial

3. Metodik yang digunakan ialah metodik sekolah kerja

4. Pengajaran agama diperhatikan tanpa mengurangi hak bagi warga negara yang mempunyai

keyakinan yang berbeda

5. Wajib belajar 6 tahun agar dilaksanakan secara berangsur-angsur dalam waktu 10 tahun

6. Di sekolah rendah tidak dipungut biaya

Dengan keluarnya surat tersebut maka pendidikan Indonesia mulai dibenahi dengan asas yang

berlandaskan Pancasila. Namun setelahnya terdapat perbedaan pendapat antara beberapa golongan

kelompok pendidikan yang kemudian membuat kebijakan yang sudah ada dirubah dan dikembangkan

lagi agar sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, yang pada akhirnya menghasilkan kurikulum

pendidikan nasional Rentjana Pembelajaran 1947.

Konteks Historis Rentjana Pembelajaran 1947

Perkembangan pendidikan Indonesia sangat terhambat akibat penjajahan yang sangat lama,

untuk memperbaiki hal tersebut maka setelah merdeka Indonesia membuat perencanaan pendidikan yang

bebas dari pengaruh politis kolonial Belanda yaitu Rentjana Pembelajaran 1947.Rentjana Pembelajaran

1947 dibuat berdasarkan asas-asas Pancasila sehingga bebas dari kepentingan politis kolonial

Belanda.Tetapi Rentjana Pembelajaran 1947 baru bisa diterapkan pada tahun 1950 karena situasi di
Indonesia saat itu masih belum stabil untuk menjalankan sistem pendidikan yang layak. Pendidikan

selayaknya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan pada masa itu, akan tetapi pendidikan belum sepenuhnya

bebas dari kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Seperti halnya pada masa penjajahan

Belanda dimana sistem pendidikan yang saat itu digunakan sangat kental dengan kolonialisme dan sikap

deskriminatif. Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan dapat dikategorikan ke dalam dua jenis,

pendidikan bagi kaum kolonialis dan pendidikan bagi kaum yang dijajah atau kaum pribumi.3 Salah satu

contoh sikap deskriminatif yang kental dalam pendidikan pada masu itu bisa dilihat dari kebijakan elit

yang berkaitan dengan pendidikan pada masa itu, diantaranya:

a. Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk

bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-

sekolah.

b. Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Tidak hanya dari segi kebijakan, dari bentuk pendidikan pada masa itu juga sangat erat

dengan sikap deskriminatif. Seperti didirikannya sekolah dasar kelas satu dan sekolah dasar kelas dua

dimana sekolah dasar kelas satu diperuntukkan kepada anak-anak para tokoh dan orang-orang terhormat

bumiputera sedangkan sekolah dasar kelas dua diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera pada

umumnya. Yang membedakan sekolah dasar kelas satu dan dua salah satunya adalah kurikulum yang

diterapkan di kedua sekolah tersebut, dimana kurikulum sekolah dasar kelas satu menggunakan

kurikulum yang lebih kompleks dan cenderung lebih baik dibandingkan dengan kurikulum yang

diterapkan di sekolah dasar kelas dua. Selain kurikulum sekolah dasar kelas satu dan kelas dua, terdapat

pula kurikulum kelas desa, kurikulum Inlandse School (HIS), Kurikulum Algemene Middelbare School (AMS)

dan Kurikulum Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool). Kemudian dalam masa penjajahan Jepang,

Indonesia mengalami kemajuan dalam hal pendidikan dimana pada saat itu Jepang memperbolehkan

semua lapisan masyarakat pribumi untuk mendapatkan pendidikan.Jepang kemudian juga

menghapuskan sistem pendidikan pasca kolonialisme belanda yang deskriminatif dan penuh dengan

kepentingan politis.Dengan hal tersebut Jepang mendapatkan keuntungan yaitu pertama, mereka tidak

perlu meneruskan sistem pendidikan masa kolonial Belanda yang rumit serta memerlukan kontrol yang

ketat terhadap pelaksanaanya.Kedua, dihapuskannya dualisme pendidikan mendukung propaganda

Jepang dalam rangka mengambil simpati masyarakat pribumi saat itu.5 Sistem pendidikan yang berjalan

pada masa penjajahan Jepang kurang lebih sama dengan sistem pendidikan yang berjalan saat ini jika

dilihat dari tingkatan sekolahnya dimana pendidikan dasar/sekolah rakyat selama 6 tahun, pendidikan

lanjutan/sekolah menengah pertama selama 3 tahun dan sekolah menengah tinggi selama 3 tahun,

pendidikan kejuruan, dan pendidikan tinggi.

Dalam prosesnya terdapat perubahan-perubahan penting yang terjadi dalam sistem

pendidikan pada masa penjajahan Jepang dimana dihapuskannya sistem pendidikan kolonial belanda
yang dahulu hanya sampai sekolah dasar, diubahnya sekolah desa menjadi sekolah pertama yang

implikasinya pada susunan tingkat sekolah yang semakin baik, dan ditetapkannya bahasa Indonesia

sebagai bahasa pengantar bagi semua jenis sekolah. Akan tetapi pada masa ini pendidikan belum bisa

lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, pada masa sini pendidikan disisipkan misi oleh Jepang

untuk mendapatkan tenaga kerja paksa yang bisa dilihat dari pemberian latihan fisik, kemiliteran, dan

indoktrinasi. Selain itu kualitas pendidikan pada masa ini cenderung menurun dibandingkan masa

kolonial belanda karena rendahnya kualitas guru dan siswa pada masa itu. Lalu pada masa kemerdekaan,

sistem pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan perkembangan bangsa

kedepannya. Akan tetapi pada masa ini pun tidak berjalan dengan mudah karena penjajah pada masa ini

masih berusaha merebut kembali Indonesia yang saat itu telah merdeka. Pada masa ini pendidikan yang

berjalan didasari dengan asas pancasila yang bertujuan untuk mendidik warga yang siap untuk

menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk Indonesia serta penanaman semangat patriotisme. Berikut

adalah usaha yang dilakukan Indonesia terkait pendidikan dalam masa kemerdekaan:

1. Dalam panitia persiapan kemerdekaan pada zaman Jepang, didalamnya telah terdapat sub panitia

pendidikan dan pengajaran yang bertugas merumuskan rencana dan cita-cita serta usaha-usaha

pendidikan dan pengajaran seperti yang telah dikemukakan.

2. Setelah proklamasi kemerdekaan, di dalam UUD 1945 dicantumkan pula pasal tentang pendidikan,

yakni pasal 31 yang diuraikan lebih lanjut dalam UndangUndang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP)

No. 4 Tahun 1950.

3. Tahun 1946, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan membentuk Panitia Penyelidik

Pendidikan Pengajaran yang bertugas meninjau kembali dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha

pendidikan dan pengajaran.

4. Tahun 1947 diadakan kongres pendidikan Indonesia di Solo.

5. Tahun 1948,Menteri PP dan K Ali Sastroamidjojo membentuk panitia pembentukan rencana UUPP

yang bertugas menyusun rencana UUPP.

6. Tahun 1949 kongres pendidikan di Yogyakarta dengan tugas merumuskan dasar-dasar pendidikan

dan lain-lain.

7. Tahun 1950 rencana UUPP diterima oleh BPKNIP dengan suara terbanyak. Setelah disahkan oleh

Acting Presiden dan Menteri PP dan K maka RUU itu diresmikan menjadi Undang-undang No 4

Tahun 1950 dengan nama undangundang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah.

Tabel 1.1 Fase Pendidikan di Awal Kemerdekaan

Tahun Fase Pendidikan di Awal Kemerdekaan

1945 Indonesia berhasil merdeka tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945

1945-1965 Periode perjuang melepaskan diri secara penuh dari jerat kolonial.
1947-1964 Masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana

19445-1961 Terdapat masa di mana kompromi yang dilakukan oleh para

pimpinan republik menimbulkan ketidakpuasan pada golongan

radikal

Sebelum 1951 Masa pergolakan fisik, yang memberikan pelajaran-pelajaran

penting kepada rakyat.

Menjelang 1965 Polarisasi politik melahirkan dua kubu dalam .pergerakan

1952-1965 Garis anti imperialisme yang lebih tegas.

Rentjana Pembelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Bentuknya memuat dua hal

pokok yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya serta garis-garis besar pengajaran (GBP).

Konteks Sosial Rentjana Pembelajaran 1947

Konteks sosial dari Rentjana Pembelajaran 1947 meliputi sifat-sifat kemanusiaan dan

kewarganegaraan sebagai dasar pengajaran dan pendidikan di negara Indonesia, penanganan buta huruf

melalui pendidikan, dan partispiasi masyarakat terhadap pendidikan pada saat Rentjana Pembelajaran

1947 ini berlaku. Sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan merupakan salah satu dasar pendidikan

Rentjana Pembelajaran 1947, hal tersebut dikaitkan dengan pancasila yang juga merupakan dasar-dasar

pendidikan yang dianut oleh Indonesia. Contoh sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan yang terkait

dengan pancasila seperti cinta kepada tuhan YME, cinta kepada alam, cinta pada keluarga, nasionalisme,

patriotisme, keadilan, saling menghormati, kegotong-royongan, serta kejujuran.

Dalam penangan buta huruf di Indonesia, saat itu tingkat buta huruf di Indonesia sangat tinggi

karena efek dari pengaruh kolonialisasi khususnya dalam pendidikan. Rentjana Pembelajaran 1947 mulai

diterapkan tahun 1950 karena masih terdapat banyak masalah salah satunya seperti tingginya angka buta

huruf. Berikut adalah data persentase penduduk Indonesia yang mengalami buta huruf menurut sensus

tahun 1930 :

Tabel 1.2 Data Sensus Penduduk Buta Huruf di Indonesia Tahun 1947

DAERAH % KOTA BESAR %

Manado 21,9 Makassar 12,7

Maluku 14,5 Banjarmasin 10,0

Borneo Selatan 5,3 Medan 23,5

Tomur Timor 5,1 Padang 28,9

Borneo Barat 5,0 Palembang 13,2


Sulawesi 4,2 Batavia 11,9

Bali Lombok 3,2 Semarang 12,1

Sumatera 10,7 Surabaya 12,2

Jawa Madura 5,5 Bandunng 23,6

Pulau Lainnya 8,7

Indonesia (Hindia- 6,4

Belanda)

Melihat tingginya angka buta aksara, pemerintah mulai mencanangkan program pendidikan

untuk memberantas masalah yang dialami oleh masyarakat Indonesia tersebut. Berdasarkan pasal 30

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menyatakan bahwa tiap warga negara Indonesia berhak

memperoleh pendidikan dan tidak ada pembatasan kecuali pengawasan. Pemerintah membangun sekolah

dasar dengan harapan pendidikan dasar terbuka untuk setiap orang tanpa memandang kedudukan.

Kebijakan pemerintah ini di sambut baik oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 1945 sejak awal

kemerdekaan pun pemberantasan buta huruf sudah mulai dilaksanakan yang dikenal dengan kursus ABC.

Saat itu pemerintah menangani melalui bagian pendidikan masyarakat, kementerian pendidikan,

pengajaran dan kebudayaan. Namun pada tahun 1949, Bagian Pendidikan Masyarakat berubah menjadi

jawatan pendidikan masyarakat. Kemudian selanjutnya pada tahun 1951 direncanakan sebuah program

sepuluh tahun pemberantasan buta huruf.

Program ini bertujuan agar masyarakat Indonesia yang mengalami buta huruf dapat terselesaikan

dalam jangka waktu 10 tahun. Pada tahun 1960, sekitar 40 persen masih terdapat orang dewasa yang buta

huruf. Presiden memberikan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai tahun 1964, dan pada

akhirnya pada 31 Desember 1964 penduduk Indonesia usia 13-45 tahun dinyatakan telah terbebas dari

buta huruf. Namun, karena tidak ada pembinaan lanjutan dan langkanya bahan bacaan, di samping

banyak aksarawan baru menjadi buta huruf kembali, juga ditambah anak usia SD (usia 6-12 tahun) yang

tidak sekolah, dan putus SD kelas I, II, III yang diasumsikan rawan buta huruf, maka buta aksara kembali

muncul. Tahun 1966-1970 Dikembangan PBH fungsional. Pemberantasan buta huruf saat itu dibagi dalam

tiga tahapan yaitu PBH permulaan, PBH lanjutan I dan PBH lanjutan II. Dalam PBH permulaan sebagai

bahan belajarnya digunakan buku kecil (36 hal) “Petani Belajar Membaca” yang diselesaikan sekitar 20-30

hari. Partisipasi masyarakat di dalam pendidikan khususnya pada Rentjana Pembelajaran 1947. Partisipasi

dalam pendidikan meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi dimana hal

tersebut pun masih berjalan hingga sekarang. Indonesia sering kali berganti kurikulum mulai dari

Rentjana Pembelajaran 1947 hingga Kurikulum 2013, hal ini dilakukan karena kurikulum dianggap tidak

sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Kekurangan Rentjana Pembelajaran 1947 adalah

tidak adanya orientasi kongitif serta psikomotorik karena didominasi ranah afektif.
Konteks Politik Rentjana Pembelajaran 1947

Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 secara langsung berdampak pada sistem

pendidikan dimana seluruh bentuk sistem pendidikan yang berkaitan dengan penjajah dihapuskan dan

diganti dengan sistem pendidikan yang berasaskan pancasila sebagai dasar Negara. Buruknya pendidikan

pada masa sebelum kemerdekaan pun membuat pemerintah beberapa kali melakukan pergantian menteri

pendidikan, akan tetapi faktor buruknya pendidikan Indonesia pada satu itu bukan hanya dari segi

pengajar dan siswanya saja melainkan karena Indonesia pada masa itu berfokus pada merebut

kemerdekaan dari penjajah. Pada masa itu pendidikan Indonesia membawa semangat karakter dan

kebangsaan dimana anak-anak disekolahkan tanpa membayar sepeserpun dan guru diberi pendidikan

guru yang layak. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya Indonesia untuk mengejar ketertinggalan terhadap

bangsa-bangsa lain khususnya dalam bidang pendidikan.

Konteks Ekonomi Rentjana Pembelajaran 1947

Buruknya kondisi perekonomian di Indonesia pada masa kemerdekaan menghambat pelaksanaan

Rentjana Pembelajaran 1947 sehingga membuat Rentjana Pembelajaran 1947 baru bisa dilaksanakan pada

tahun 1950. Buruknya kondisi perekonomian di Indonesia pada masa itu pun tidak luput dari pengaruh

penjajah yang pada saat itu berusaha mempertahankan statusquo nya di Indonesia.

Struktur dan Isi Kurikulum Rentjana Pembelajaran 1947

Kurikulum yang dipakai di Indonesia pasca kemerdekaan dipengaruhi oleh tatanan sosial politik

Indonesia saat itu. Negara-negara penjajah yang mendiami wilayah Indonesia ikut juga mempengaruhi

sistem pendidikan Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, setidaknya ada dua sistem pendidikan dan

pengajaran yang berkembang, yaitu sistem pendidikan Islam (pesantren dan sistem pendidikan belanda.

Susunan Rentjana Pembelajaran 1947 sangat sederhana, lebih mengutamakan pendidikan watak,

kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Buku-buku pelajaran yang

digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia yang

sudah dirintis sejak jaman Jepang (Somarsono Moestoko, 1986:17). Adapun sistem pendidikan yang

berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah sebagai berikut:

a. Sekolah Rakyat (SR)

Selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat

yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan

Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946 NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana

tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran

seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk
kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di

seluruh Indonesia.

b. Pendidikan Guru:

a. Sekolah Guru B (SGB) Pelajaran yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan

pendidikan keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan

sekolah SMP, SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan

diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekurangan guru tetap.

b. Sekolah Guru C (SGC)

c. Sekolah Guru A (SGA) pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Dapat pula diterima pelajar-pelajar

dari lulusan kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata

pelajaran yang diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.

c. Sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).

Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana

pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka

diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A

diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti.Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa Sekolah

Menengah Tinggi (SMT) (1) memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa

Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan

oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah berlaku

ujian negara tersebut.

d. Pendidikan Kejuruan

Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan:

1. Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah dagang

yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan

untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan

sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.

2. Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan dimana pemerintah membuka Sekolah

Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama

pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.

e. Pendidikan Teknik

Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini waktu belajarnya satu tahun lamanya dan

merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan:

kayu, besi, anyaman, perabot rumah, las dan batu.


Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai

dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan:

kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah

dan cor.

Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua

tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusanjurusan: bangunan gedung, bangunan air dan

jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.

Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik

menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan:

bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik,

bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.

Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: bertujuan untuk memenuhi keperluan guru-guru

sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan:

• Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan:

bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.

• Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam

jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-gedung dan mesin.

• Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil,

bangunan gedung, mesin dan listrik.

f. Pendidikan Tinggi Periode 1945-1950

Pendidikan ini membuka peluang bagi warga negara tanpa syarat untuk meneruskan studi pendidikan

nya. Lembaga ini pun berkembang sangat baik namun dengan ada nya perjuangan membela negara waktu

perkuliahan pun terhambat.

g. Pendidikan Tinggi Republik

Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak

juga dapat dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu

kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta, berdiri sekolah

tinggi kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan November 1946 dibuka pula

sekolah tinggi hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan

tinggi terakhir in di tutup oleh Belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian

pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan pendidikan

tingkat tinggi pendudukan Belanda. Namun perkuliahan masih dilanjutkan di rumah dosen sehingga
merupakan semacam kuliah privat. Sebelum agresi militer I di Malang terdapat pula lembaga pendidikan

tinggi republik.

h. Pendidikan Tinggi di Daerah Pendudukan Belanda

Mr. Soewandi selaku Menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan pada saat itu, sebagai

upaya terpentingnya dalam mengembangkan pendidikan nasional yaitu mengubah sistem pendidikan dan

pengajaran dan pengajaran sehingga lebih sesuai dengan keinginan dan cita-cita bangsa Indonesia yang

baru merdeka. Pembentukan panitia penyelidikan pengajaran sebagaimana diuraikan di atas adalah dalam

rangka mengubah sistem pendidikan kolonial ke dalam pendidikan nasional. Sebagai konsekuensi

perubahan sistem, kurikulum pada semua tingkat pendidikan mengalami perubahan pula. Kurikulum

yang semula diorientasikan pada kepentingan kolonial kini diubah selaras dengan kebutuhan bangsa yang

merdeka. Salah satu hasil panitia tersebut yang menyangkut kurikulum adalah bahwa setiap rencana

pelajaran pada setiap jenjang pendidikan sekolah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

1. Mengurangi pendidikan pikiran, karena kebutuhan terhadap semangat patriotisme dan pendidikan

zaman penjajah dimana kemampuan ditujukan untuk kebutuhan penjajah.

2. Menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Dengan menghubungkan membuat apa

yang dipelajari biasa langsung dipraktekan karena keterbatasan sumber belajar. Yaitu buku teks dan

perangkat pembelajaran lainnya.

3. Meningkatkan pendidikan watak. Kemampuan afektif dan psikomotorik sebagaimana tujuan

pembangunan dan mempersiapkan sumber daya manusia demi kebutuhan bangsa. Didasari oleh

pembentukan watak patriotisme terhadap tanah air karena ancaman penjajah selalu membayang –

bayangi dan dengan kecintaan terhadap negara membuat semangat bela negara tertanam kuat dalam

diri pelajar.

4. Meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Wujud kongkret adalah terciptannya

kesadaran bernegara yaitu sikap bela Negara, patriotisme dan kepekaan sosial dalam masyarakat.

Sistematika pendidikan pada masa berlakunya Kurikulum 1947 tidak dijelaskan secara rinci

implementasinya dilaksanakan pada 1950. Evaluasi terhadap pencapaian hasil pendidikan lebih diarahkan

pada ketentuan mengenai kelulusan seseorang dari suatu unit atau lembaga pendidikan tertentu. Kualitas

yang harus dikuasai oleh peserta didik tidak didasarkan pada tujuan pendidikan nasional. Setelah

Kurikulum 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952

ini diberi nama Rentjana Pembelajaran Terurai 1952, kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem

pendidikan nasional, yang paling menonjol sekaligus menjadi cirri kurikulum 1952 ini bahawa setiap

rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran dengan merinci silabus setiap mata pelajaran.

Model Pembelajaran Rentjana Pembelajaran 1947


Rentjana Pembelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama yang ditetapkan di Indonesia

setelah Indonesia merdeka. Kurikulum ini lebih dikenal dengan istilah leer plan yang dalam Bahasa

Belanda berarti rencana pelajaran. Kurikulum ini masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda

dan Jepang sehingga dapat dikatakan bahwa Rentjana Pembelajaran 1947 sebagai pengganti sistem

pendidikan kolonial Belanda. Rentjana Pembelajaran 1947 menekankan pada pembentukan karakter

manusia yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain. Hal ini dikarenakan saat itu Indonesia masih

dalam semangat juang merebut kemerdekaan. Kisi-kisi pendidikan disini yaitu beralih dari orientasi

pendidikan Belanda ke kepentingan nasional yang berpegang pada asas Pancasila. Rentjana Pembelajaran

1947 sering kali disebut kurikulum 1950 karena baru dilaksanakan di setiap sekolah pada tahun 1950.

Bentuk dari Rencana pelajaran ini memuat dua hal pokok saja, yakni daftar mata pelajaran dan jam

pengajarannya, serta garis besar pengajaran. Dalam penerapannya, Rentjana Pembelajaran 1947 lebih

mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materinya pelajarannya pun

dikaitkan dengan kehidupan konkret sehari-hari serta perhatian terhadap kesenian dan pendidikan

jasmani. Dalam dunia pendidikan zaman dulu menyebut setiap sekolah dengan sebutan Sekolah Rakyat.

Mata pelajaran pendidikan agama awalnya diberikan pada kelas IV, namun sejak 1951 pendidikan agama

juga diajarkan dikelas I. RentjanaPembelajaran 1947 menekankan pengajaran pada cara mengajar guru dan

cara murid mempelajarinya. Pada mata pelajaran bahasa misalnya, mengajarkan bagaimana proses

kejadian sehari-hari, bagaimana membaca buku, bercakapcakap, dan menulis. Selain itu pada mata

pelajaran Ilmu Alam mengajarkan bagaimana proses kehidupan sehari-hari seperti siang dan malam.

Pada mata pelajaran ilmu hayat pun juga begitu, ilmu yang mencakup ilmu tumbuh-

tumbuhan, ilmu hewan, dan manusia. Metode yang digunakan dalam Rentjana Pembelajaran 1947 yaitu

menggunakan metode ceramah, dimana guru lebih banyak berperan menjelaskan materi setiap mata

pelajaran yang dipelajari. Dalam hal ini, Rentjana Pembelajaran 1947 memiliki point penting dimana setiap

isi pelajarannya itu dikaitkan dengan kehidupan konkret sehari-hari. Jika dianalisis, hal tersebut sesuai

dengan strategi pembelajaran CTL (Contextual Teaching Leaning), yaitu merupakan suatu strategi

pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat

menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga

mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar dalam

kehidupan sehari-hari.

Rentjana Pembelajaran 1947 membedakan tiga macam struktur program, yaitu:

1. Untuk sekolah yang mempergunakan pengantar bahasa Daerah (Jawa, Sunda, Madura) pada kelas-

kelas yang lebih rendah

2. Untuk sekolah yang berbahasa pengantar Bahasa Indonesia mulai kelas 1

3. Untuk sekolah yang diselenggarakan sore hari karena terpaksa oleh keadaan (terbatas sampai kelas

IV, sedangkan kelas V dan VI harus diselenggrakan pagi hari).


Materi pembelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, situasi perpolitikan dengan

gejolak perang revolusi, mengakibatkan buku-buku bacaan yang digunakan pada saat itu hanya berpusat

terhadap kesenian dan pendidikan jasmani saja. Ada pula yang lainnya seperti memakai buku bahasa

indonesia, buku daerah, buku berhitung, buku ilmu alam, hayati, buku ilmu bumi, buku sejarah,

menggambar, seni suara, menulis, pekerjaan tangan, keputrian dll semua buku itu menyesuaikan pada

masa itu. Karena masa itu masih situasi politik yang bergejolak maka peserta didik banyak mempelajari

kebersihan dan kesehatan, didikan budi pekerti dan pendidikan agama agar peserta didik memiliki akhlak

yang mulia. Dengan demikian, susunan program pengajaran dalam Rentjana Pembelajaran 1947 terdiri

dari 16 mata pelajaran, dan tiga catatan diantaranya adalah:

1. Bahasa Daerah (Jawa, Sunda, dan Madura) bagi murid di daerah yang bersangkutan

2. Pekerjaan Keputrian bagi anak-anak perempuan

3. Pendidikan Agama bagi anak-anak pemeluk agama bersangkutan

Sistem penilaian pada Rentjana Pembelajaran 1947 belum terdapat sistem penskoran melalui butir soal

dikarenakan pada masa itu masih mengikuti kurikulum Belanda. Sistem penilaian yang di pakai pada

tahun tersebut hanya dilihat dari materi pelajaran yang dihubungkan dengan kejadian dan kehidupan

sehari-hari.

Peran Guru dalam Rentjana Pembelajaran 1947

Di dalam setiap kurikulum tidak terlepas dari peran guru didalamnya, begitu juga dengan

Rentjana Pembelajaran 1947. Rentjana Pembelajaran 1947, merupakan rencana pembelajaran yang pertama

setelah Indonesia merdeka. Rencana pembelajaran ini dibuat karena tidak ingin lagi berasaskan dengan

kurikulum kolonial Belanda. Dalam Rentjana Pembelajaran 1947 lebih menitikberatkan pada pendidikan

watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat karena baru masa pemulihan dari masa penjajahan,

sehingga peran guru dalam Rentjana Pembelajaran 1947 ini adalah untuk membangun watak, kesadaran

bernegara dan bermasyarakat. Dalam Rentjana Pembelajaran 1947 pemerintah lebih mengupayakan

metode ceramah, sehingga guru sangat berperan penting dalam menjelaskan setiap mata pelajaran yang

dipelajarinya. Dalam model pembelajaran kontekstual atau yang biasa disebut dengan Contextual Teaching

Learning (CTL) merupakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta

didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan

situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuan yang

diperoleh dari proses belajar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam model pembelajaran

CTL ini guru berperan agar materi pembelajaran tersebut berasal dari pengalaman murid itu sendiri.

Selain itu, guru dapat mendorong murid untuk dapat menemukan hubungan antara materi pelajaran

dengan kehidupan nyatanya, dan dapat mendorong murid untuk mampu mengimplementasikan dalam

kehidupan nyata. Dengan demikian, Rentjana Pembelajaran1947 menitik beratkan pada gurukarena
berada pada masa transisi sehingga guru sangat berperan aktif dalam proses pembelajaran di sekolah.

Selain itu, dalam Rentjana Pembelajaran 1947 guru jugamempunyai peran sebagi fasilitator, motivator, dan

guider12. Dimana guru harus memfasilitasi setiap siswa agar mendapat pengajaran yang baik dan sesuai.

Guru juga harus memotivasi setiap siswa agar pembelajaran yang didapat bisa dipraktikan dalam

kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, guru juga harus memandu proses pembelajaran agar berjala dengan

semestinya.
RENTJANA PEMBELAJARAN 1964

Pendahuluan

Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan peserta didik.

Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan aspek-aspek

lainnya. Agar masyarakat itu bisa melanjutkan esistensinya, maka kepada anggota mudanya harus

diteruskan nilai-nilai pengetahuan, keterampilan, dan kelakuan lainnya yang diharapkan akan dimiliki

oleh setiap anggota. Berbicara tentang pendidikan maka kita tidak akan terlepas dengan kajian tentang

kurikulum. Hal ini dikarenakan kurikulum adalah bagian penunjang dalam proses pendidikan.

Kurikulum adalah program pendidikan yang meliputi berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang

harus diperlajari peserta didik dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT) yang sudah

ada sejak ada sistem persekolahan. Di indonesia sendiri kurikulum selalu diperbarui dari masa ke masa.

Salah satunya adalah Kurikulum Rentjana Pembelajaran 1964.

Rentjana Pembelajaran 1964 ini berlaku setelah kurikulum 1947. Kurikulum ini merupakan

kurikulum akhir yang dikeluarkan oleh Orde Lama. Inti pokok dari kurikulum ini adalah membentuk

manusia pancasila dan manipol/usdek yang bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat adil dan

makmur, materil dan spritual.

Kurikulum yang berlaku sendiri biasanya sesuai dengan keadaan sosial, ekonomi dan politik

yang terjadi pada saat itu. Hal inilah yang mendorong pentingnya mengkaji tentang kurikulum dari

berbagai disiplin ilmu, termasuk sosiologi. Begitupun kurikulum yang berlaku pada tahun 1964. Pada

tahun 1964, direktorat pendidikan dasar prasekolah, Departemen PP dan K menerbitkan suatu buku yang

dinamakan Rentjana Pembelajaran kanak-kanak dan sekolah dasar. Pada kurikulum tingkat sekolah dasar,

sistem pendidikannya dinamakan dengan sistem panca wardana atau sistem lima aspek perkembangan,

yaitu perkembangan moral, Perkembangan Intelegensi, perkembangan emosional artistic (rasa keharuan),

perkembangan keprigelen (pertanian), dan perkembangan jasmaniah. Adapun system dari rentjana

pembelajaran taman kanak-kanak dan dasar saat itu yang menitik beratkan pada pengembangan daya

cipta, rasa, karsa, dan karya, dan moral yang kemudian dikenal dengan istilah panca wardhana. Ciri khas

kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapatkan pengetahuan

akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada sistem tersebut.

Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia pancasila yang sosialis Indonesia dengan sifat-

sifat seperti pada ketetapan MPRS No. II Tahun 1960.

Perubahan yang sangat menonjol dalam kurikulum adalah adanya mata pelajaran civics yang

diarahkan untuk pembentukan warganegara yang bercirikan ManipolUSDEK. Liberalisme dan

individualisme menjadi musuh dan harus dibersihkan dalam pelajaran civics karena bertentangan dengan

jiwa dan semangat manipol USDEK. Civics menjadi mata pelajaran yang mengemban pendidikan ideologi
bangsa dan ini merupakan awal dari pendidikan ideologi dalam kurikulum. Mata pelajaran ini adalah

mata pelajaran yang berisikan materi pelajaran yang sangat ditentukan oleh ideologi dan politik. Model

yang digunakan adalah berbasis separated curriculum atau rencana pembelajaran terpisah. Rencana

pembelajarannya dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, antar mata pelajaran tidak memiliki

keterkaitan. Pembelajaran bentuk rencana pembelajaran ini cenderung kurang memperhatikan aktivitas

siswa, karena yang dianggap penting adalah penyampaian sejumlah informasi sebagai bahan pelajaran

dapat diterima dan dihafal oleh siswa. Sistem pendidikan pada Kurikulum 1964 ini bersifat sentralistik.

Artinya, kegiatannya memusatkan pada seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang

berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sebenarnya banyak hal yang menarik yang sangat

penting untuk di kaji mengenai Rentjana Pembelajaran 1964. Karena kurikulum ini terbentuk dari

pengaruh semua bidang kehidupan bangsa. Tulisan ini ingin menjelaskan lebih rinci mengenai kurikulum

1964, baik itu struktur dan isinya maupun peran pemerintah dan pendidik.

Konteks Sosial Politik dan Ekonomi Kurikulum

Ada empat definisi mengenai politik pendidikan. Pertama, politik pendidikan adalah metode

mempengaruhi pihak lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Kedua, politik pendidikan lebih

berorientasi pada bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai. Ketiga, politik pendidikan berbicara

mengenai metode untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya anggaran pendidikan, kebijakan

pemerintah, partisipasi masyarakat, dan sebagainya. Keempat, politik pendidikan berbicara mengenai

sejauh mana pencapaian pendidikan sebagai pembentuk manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga

ekonomi nasional, pembentuk bangsa yang berkarakter. Sebagai contoh tahun 1945-1961 dikeluarkan

kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, ditetapkan kurikulum 1952.

Kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah kurikulum 1964, perubahan kurikulum 1964

merupakan politik untuk meniadakan MANIPOL-USDEK. Selanjutnya muncul kurikulum 1975 digunakan

untuk tujuan politik pemerintah memasukkan pendidikan moral pancasila, dimana pendidikan harus

memberikan doktrin-doktrin moral pancasila dan semua elemen bangsa tidak boleh memberikan kritik

apaun karena akan dibenturkan dengan istilah melanggar pancasila.

Periode 1959-1966, diwarnai oleh Manipol USDEK, pendidikan bertujuan melahirkan warga

negara sosialis Indonesia yang susila. Pendidikan nasional pada era Orde Lama yang berlangsung sejak

1945 hingga 1966, tetap berlandaskan Pancasila. Meskipun selama periode ini Indonesia menggunakan tiga

UUD. Pasca dekrit presiden 5 Juli 1959, presiden Soekarno dalam peringatan 14 tahun kemerdekaan

menyampaikan sebuah pidato yang diberi nama “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato inilah yang

kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol), dimana didalamnya diuraikan lima intisari yaitu:

(1) Kembali ke UUD 1945; (2) Sosialisme Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin; (5)

Kepribadian Indonesia. Manipol beserta dengan lima kebijaksanaan itu kemudian dikenal dengan
Manipol-USDEK (Pranarka, 1985:174). Perubahan kurikulum digunakan untuk tujuan politik misal dengan

cara memasukkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sehingga memunculkan

jiwa patriotism yang mana siap membela bangsa jika ia dijajah oleh para penjajah. Perubahan kurikulum

ini memberikan doktrin-doktrin kepada siswa tentang pentingnya sejarah perjuangan bangsa yang semua

kemasanya tidak terbuka untuk dikritisi namun lebih pada mengedepankan tujuan tertentu agar siswa

mendukung hegemoni kekuasaan pemerintah.

Tahun 1966-1998 Indonesia diperintah oleh Soeharto (Orde Baru). Peralihan dari Orde Baru

membawa konsekuensi perubahan politik pendidikan nasional. Hasil sidang MPRS tgl 7-12 Maret 1967

telah menghasilkan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 yang memutuskan untuk mencabut seluruh

kekuasaan Presiden Soekarno yang sebelumnya telah berkuasa. Menyadari akan kondisi politik

sebelumnya, maka perubahan yang bersifat mengoreksi terhadap kondisi-kondisi perpolitikan di

Indonesia menjadi sesuatu yang harus segera dilakukan di awal pemerintahan Orde Baru yang lebih

utama adalah pelaksanaan Pancasila. Melihat alasan yang menyatakan telah terjadi penyimpangan

terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebelumnya, maka diperlukan sebuah upaya untuk

merevitalisasi nilai-nilai Pancasila di babak pemerintahan yang baru, yang bisa menempatkan nilai-nilai

Pancasila kedalam cita-cita bangsa untuk mencapai tujuan bangsa.

Pada era Orde baru, perubahan kurikulum sangat tampak ada sebuah pergesekan doktrin

politik, seiring pergantian politik pada era reformasi pada perkembangannya tidak jauh berbeda dengan

orde sebelumnya dalam politisasi pendidikan, hanya saja pada era reformasi doktrin tersebut tidak

nampak secara “blak-blakan” karena dalam praktek pemerintahan terdapat adanya kritik dari luar. Jika

kurikulum dimaknai sebagai jantung atau ruhnya pendidikan, maka perubahan kurikulum semata-mata

karena pendidikan harus merespon situasi perkembangan. Idealnya perkembangan selalu menuju

perbaikan bukan sebaliknya. Perubahan kurikulum tidak hanya mengulang lembaran lama yang sudah

usang dan sekedar mengarah pada tujuan politik pemerintah semata. Sebuah kekuasaan apabila ingin

berhasil menjalankan masa kekuasaannya dalam waktu lama harus mengendalikan pendidikan melalui

kurikulum. Dalam teori kekuasaan, pendidikan menjadi tolak ukur bagaimana perjalanan bangsa

diarahkan dan dijalankan. Kurikulum dalam konteks ini menjadi hal utama yang dapat dirangkul dengan

kuat. Menurut pendapat M. Sirozi, pendidikan yang secara terus-menerus berada dalam tekanan penguasa

merupakan bentuk kepentingan penguasa. Sementara Roger Dale berpendapat bahwa kontrol negara

dilakukan melalui empat bentuk. Pertama, sistem pendidikan dibentuk secara resmi, tapi tetap berdasar

pada kepentingan politik penguasa. Setidaknya, penguasa dapat mengendalikan bangsa atas tujuannya.

Kedua, sistem pendidikan dijalankan secara birokrat yang menekankan ketaatan dan objektivitas sehingga

bila dicermati secara lebih serius, pendidikan harus mendukung kepentingan penguasa dalam segala

aspek. Ketiga, penerapan wajib pendidikan. Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung

di sekolah terjadi atas dasar konteks politik tertentu. Ketika kurikulum mampu dikuasai sedemikian rupa
oleh penguasa, akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa pendidikan mampu dijalankan demi upaya

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Adanya berbagai jenis kurikulum yang diciptakan penguasa sejak

Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi sebenarnya merupakan rangkaian agenda yang ditujukan supaya

tujuan pendidikan bisa disebangunkan dengan kepentingan politik.

Pada persoalan lainnya perkembangan penduduk yang berlangsung cepat menimbulkan

implikasi bertambah banjirnya anak-anak usia sekolah, yang selanjutnya menjadi suatu faktor

meningkatnya kebutuhan kesempatan belajar dan semakin luasnya pelayanan yang perlu diberikan oleh

kurikulum, baik formal maupun informal. Selain dari itu, peledakan penduduk berarti meningkatnya

jumlah tenaga kerja yang perlu mendapat penyaluran dan penempatan. Sebagian besar dari tenaga kerja

tersebut dapat digolongkan sebagai tenaga yang masih berpendidikan rendah/kurang memiliki

keterampilan yang jumlahnya lebih banyak, dan sekaligus berebutan untuk memperoleh lapangan kerja,

yang relatif terbatas jumlahnya. Jika tidak mendapat penempatan, maka berarti terjadi pengangguran yang

mengakibatkan beban bagi masyarakat. Hal ini dapat diatasi, antara lain memberikan pendidikan dan

latihan yang sesuai dengan kebutuhan/tuntutan lapangan kerja yang ada/tersedia, dan di pihak lain

memperluas kesempatan kerja. Kedua kemungkinan tersebut, dalam batas-batas tertentu sebenarnya

merupakan bagian daripada masalah kurikulum. Masalah peledakan penduduk dan berbagai

implikasinya tampaknya akan berlangsung terus kendatipun Program Keluarga Berencana digembor-

gemborkan pemerintah untuk menekan jumlah penduduk. Serta permasalahan pembangunan yang tidak

merata, dimana pembangunan berkembang pesat dijajaran tanah Jawa ketimbang daerah timur Indonesia

yang sangat memprihatinkan. Masalah ketimpangan ini memberikan implikasi yang sangat luas terhadap

tingkat kehidupan masyarakat. Ketakseimbangan antara peledakan penduduk, pembangunan ekonomi -

sektor kesempatan kerja, dan program pendidikan yang tak serasi pada posisinya menimbulkan masalah

kemelaratan bagi sebagian masyarakat kita. Ternyata “garis kemelaratan” masyarakat kita ternyata masih

berada pada tingkat yang masih belum teratasi, dan pada persoalan ini menjadi sebuah tantangan bagi

dunia ekonomi, kependudukan dan pendidikan, yang bermuara pada pengembangan kurikulum.

Pemerintah memiliki peran dalam menyediakan pendanaan berkenaan dengan dunia pendidikan

karenanya ini merupakan salah satu tugas dari pemerintah dalam merancang anggaran negara.

Pengalokasian Dana Pendidikan berdasarkan Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003:

1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN).

3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam

bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.


4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),

ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab terhadap pendanaan

pendidikan dalam hal menyediakan sumber pendanaan pendidikan dengan prinsip keadilan, kecukupan,

dan keberlanjutan serta pengarahannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

pengelolaan dana pendidikan, dan pengalokasian dana pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN, 20 %

APBD dan hibah yang dialokasikan untuk dana penyelenggaraan pendidikan. Namun persoalannya

adalah pemerintah tidak dapat merealisasikan anggaran pendidikan secara langsung sebesar 20% namun

tahap demi tahap, disamping itu pendapatan ekonomi yang berbeda-beda setiap wilayah menyebabkan

melambatnya realisasi kebijakan pemerintah. Sebetulnya penyediaan anggaran pendidikan bukan satu-

satunya persoalan sebab tidak meratanya pendidikan atau tidak banyaknya yang mampu mengenyam

pendidikan karena persoalan biaya. Akan tetapi kenaikan biaya pendidikan juga tak dapat dilepaskan

keterkaitannya dengan semakin meningkatnya aspirasi masyarakat dalam bidang pendidikan. Kesadaran

bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah suatu human investment, dan merupakan suatu faktor yang

dianggap menentukan masa depan hidup dan kehidupan baik secara perorangan maupun secara

kelompok/keluarga, sehingga terjadi perlombaan untuk memasukkan anak ke sekolah dan melanjutkan ke

perguruan tinggi. Pendidikan juga sudah merambah pada politik ekonomi dimana pendidikan tidak lagi

mengutamakan pemerataan dan kesempaan tapi lebih kepada budaya kapitalis yang berdampak pada

materi. Hal ini pun berkaitan dengan kurikulum pendidikan yang setiap pergantian rezim mengalami

perubahan untuk menyesuaikan dengan kepentingan eranya, idealnya pengembangan kurikulum

mengacu pada empat konsepsi kurikulum:

1) Konsepsi kurikulum humanistik yaitu konsep kurikulum yang mengutamakan perkembangan

kesadaran pribadi untuk pencapaian aktualisasi diri

2) Konsepsi kurikulum rekonstruksi sosial yaitu konsep kurikulum yang berorientasi pada penyiapan

peserta didik agar dapat menghadapi berbagai perubahan asyarakat pada masa yang akan datang

dan dapat menyesuaikannya

3) Konsepsi kurikulum teknologi yaitu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan hasil

pendidikan yang dapat ditiru

4) Konsepsi kurikulum subjek akademik yaitu konsep kurikulum yang bertujuan untuk

mengembangkan pola pikir pesera didik (Sukmadinata, 2009: 81).

Jika kurikulum ditata secara demikian dengan mengutamakan peserta didik dan pembiayaan

pendidikan yang dimaksimalkan dan diupayakan pemerintah untuk menyentuh seleruh elemen

masyarakat, maka berhasilah tugas pemerintah berkenaan dengan pendidikan. Sesuai dengan Pasal 31
Undang-Undang Dasar 1945 dan amandemen tertulis yang tercantum bahwa “Setiap warga negara

berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib membiayainya”.

Struktur dan Isi Rentjana Pembelajaran (Kurikulum) 1964

Sejak tahun 1952 – 1964. Sejak saat itu pendidikan di Indonesia mulai mengalami perbaikan

serta penyempurnaan. Yang menjadi tujuan pendidikan dan pengajaran Republik Indonesia. Seperti yang

tercantum dalam Undang-Undang no 4 tahun 1950 yuncto no. 12 tahun 1954 pasal 3 Bab II yang berbunyi:

“Tujuan Pendidikan dan pengajaran ialah untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.Rentjana

pembelajaran (kurikulum) 1964 melahirkan kurikulum 1964, dimana kurikulum ini merupakan perbaikan

dari kurikulum yang sebelumnyakurikulum 1952. Direktorat Pendidikan Dasar/Prasekolah, Departemen

PP dan K, pada tahun 1964 menerbitkan suatu buku pedoman kurikulum baru yang diberi nama

“Rentjana Pembelajaran Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar”. Tujuan dalam kegiatan pendidikan

pada saat itu adalah membentuk manusia Pancasila dan Manipol/Usdek yang bertanggung jawab antara

lain atas terselenggaranya masyarakat adil dan makmur, materil dan spiritual. Adapun sistem dari

Rencana

Pembelajaran Sekolah Dasar saat itu yang menitik beratkan pada pengembangan daya cipta,

rasa, karsa, karya, dan moral yang kemudian dikenal dengan istilah Panca Wardhana. Disebut Panca

Wardhana karena 5 aspek bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan,

emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Dan dari kelima Panca Wardhana itu

diuraikan menjadi beberapa bahan pelajaran, yaitu: Pokok-pokok pikiran yang terdapat pada kurikulum

(rencana pembelajaran) 1964 yang menjadi ciri khas adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar

rakyat mendapatkan pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran

dipusatkan pada program Panca Wardhana. Dan pada tingkat pendidikan dasar lebih menekankan pada

pengetahuan dan kegiatan fungsionalpraktis yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Cara belajar

dijalankan dengan metode yang disebut dengan gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah juga

menerapkan hari sabtu sebagai hari “Krida” (berlatih). Yang dimaksud dengan hari krida ialah, pada hari

sabtu siswa diberi kebebasan untuk berlatih kegiatan di bidang kebudayaan, kesenian, olahraga, dan

permainan yang sesuai dengan minat siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia

pancasilais yang sosialis Indonesia dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan MPRS No. II tahun1960, yaitu:

1. Pendidikan sebagai pembina manusia Indonesia baru yang berakhlak tinggi.

2. Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan.

3. Pendidikan sebagai lembaga pengembangan kebudayaan nasional.

4. Pendidikan sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan, teknik dan fisik/mental.

5. Pendidikan sebagai lembaga penggerak seluruh kekuatan rakyat.


Penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi kelas I

dan II yang asalnya berupa skor 10-100 menjadi huruf A, B, C dan D. Sedangkan bagi kelas II hingga VI

tetap menggunakan skor 10-100. Kurikulum 1964 bersifat separate subject curriculum yang memisahkan

mata pelajaran berdasarkan lima kelompok bidang studi (Panca Wardhana) seperti yang dijelaskan di atas.

Dengan adanya kebijakan pendidikan yang dirumuskan dalam Panca Wardhana terjadi perubahan

kurikulum. Sehingga pada tahun 1962 kurikulum diubah.

Perubahan tersebut terjadi dalam struktur kurikulum, mengikuti struktur yang disebutkan

dalam Panca Wardhana untuk Sekolah Dasar (nama baru untuk Sekolah Rakyat). Untuk Sekolah

Menengah Pertama (SMP) terjadi perubahan struktur kurikulum, yang dinamakan dengan kurikulum

SMP gaya baru dan dinyatakan berlaku mulai tahun ajaran 1962/1963 yang dimulai pada tanggal 1

Agustus (Depdikbud, 1996: 128). Berbeda dari kurikulum SD, kurikulum SMP 1962 ini terdiri atas

Kelompok Dasar, Kelompok Cipta, Kelompok Rasa/Karsa dan Krida. Kelompok Dasar adalah kelompok

mata pelajaran yang diberi tugas untuk mengembangkan manusia Manipol-USDEK dan dalam kelompok

ini terdapat mata pelajaran Civics, Bahasa Indonesia, Sejarah Kebangsaan, Ilmu Bumi Indonesia,

Pendidikan Agama, dan Pendidikan Jasmani. Sedangkan kelompok Cipta terdiri atas mata pelajaran

keilmuwan dimana terdapat antara lain mata pelajaran sejarah dunia dan ilmu bumi dunia serta ilmu

administrasi. Perubahan lain yang terjadi pada kurikulum SMP adalah dengan adanya penghapusan

pembagian/jalur studi pada kelas A dan B. Sejak saat ini SMP menjadi pendidikan umum (general

education) yang diperuntukkan bagi semua orang. Kesadaran bahwa pembagian atas kelas A dan B terlalu

muda bagi peserta didik usia ini adalah suatu pemikiran yang berkelanjutan sampai pada masa sekarang.

Selain itu, kurikulum SMP adalah persiapan bagi mereka yang akan memasuki ke dalam dunia kerja.

Dengan demikian, maka kurikulum SMP memiliki orientasi dunia kerja walaupun secara proporsional

tidak sebanyak dibandingkan dengan sekolah-sekolah kejuruan (SMEP, ST, SKKP).

Perubahan ini berlanjut pada masa kemudian. Ketika pemerintah Indonesia

mengumumkan program wajib belajar 9 tahun, pendidikan SMP merupaka bagian dari pendidikan dasar

tersebut. Artinya, posisi pendidikan SMP sebagai bagian dari pendidikan umum bagi seluruh bangsa

Indonesia semakin kokoh. Di Sekolah Menengah Atas (SMA) juga terjadi perubahan dalam penjurusan.

Sebelum 1961 SMA terdiri dari SMA-A, SMA-B, dan SMA-C dimana SMA-A adalah jurusan Sastra, SMA-B

adalah jurusan Ilmu Pasti dan Alam, sedangkan SMA-C adalah untuk jurusan Ekonomi. Sebuah SMA

ditentukan sebagai SMA-A, SMA-B, atau SMA-C sehingga seorang tamatan SMP memilih SMA mana yang

ingin dimasukinya ketika ia mendaftar ke sekolah tersebut. Sejak tahun 1961, pembagian tersebut baru

dilakukan setelah seseorang masuk ke SMA dan pada akhir tahun akademik kelas I yang bersangkutan

dinyatakan naik ke kelas II jurusan A, B atau C.

Oleh karena itu suatu gedung SMA itu tidak lagi secara khusus diperuntukkan bagi SMA-

A, SMA-B, atau SMA-C sebagaimana yang ada pada sebelumnya, akan tetapi pada satu gedung SMA
terdapat lebih dari satu jurusan. Dalam kurikulum 1961 ini pun nama jurusan A, B, dan C diganti dengan

istilah Budaya, Sosial, serta Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam. Kurikulum yang dikembangkan untuk

SMA adalah kurikulum akademik yang mempersiapkan tamatannya ke perguruan tinggi walaupun tetap

memperhatikan mereka yang akan memasuki dunia kerja. Posisi kurikulum SMA sebagai kurikulum yang

mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan studi ke pendidikan tinggi masih tetap sama dengan

yang sebelumnya. Pengaruh politik yang kental terhadap kurikulum tidak mengubah posisi tersebut. Apa

yang terjadi pada kurikulum SMP tidak terjadi terhadap kurikulum SMA. Sebagaimana halnya dengan

tingkat pendidikan SMP, untuk mereka yang berminat atau ingin memasuki dunia kerja maka pemerintah

menyediakan sekolah kejuruan seperti SMEA, SKKA, STM, SGA, dan SMOA. Sebagaimana dengan

kurikulum SMA, kurikulum kejuruan harus juga mengajarkan ideologi negara melalui mata pelajaran

Civics. Kehidupan kebangsaan di bidang politik semakin didominasi oleh ideologi Manipol-USDEK yang

dianggap sebagai manifestasi dari Pancasila.

Pancasila juga kemudian diperas menjadi trisakti dan kemudian diperas lagi menjadi

gotong-royong. Nasakom (Nasional, Agama dan Komunisme) menjadi jargon baru bersama-sama dengan

revolusi yang tak pernah selesai. Pendidikan semakin dianggap penting untuk menanamkan jiwa

revolusioner dan Nasakom. Kurikulum harus berubah untuk lebih menghasilkan generasi revolusioner

yang berjiwa Nasakom. Pada tahun 1964 terjadi perubahan kurikulum. Pendidikan ideologi yang

difokuskan pada Manipol-USDEK, Nasakom dan semangat revolusi. Mata pelajaran Kewarganegaraan

yang meliputi materi sejarah, ilmu bumi, dan kewargaan negara (nama baru civics) menjadi penting untuk

mengembangkan pendidikan ideologi dan dimasukkan dalam struktur kurikulum dengan nama

Perkembangan Moral.

Mulai saat ini pengaruh politik terhadap pendidikan dalam bentuk pendidikan ideologi

berlanjut terus sampai masa pemerintahan Orde Baru berakhir (1998). Mata pelajaran Civics yang

kemudian mengalami perubahan label beberapa kali tetap mengemban tugas sebagai pendidikan ideologi.

Pendidikan tidak lagi untuk memanusiakan manusia, pembentukan karakter, pewarisan kecemerlangan

masa lalu, pendidikan disiplin ilmu, persiapan tenaga kerja tetapi juga menjadi alat politik untuk

mengembangkan manusia yang diyakini memiliki ideologi yang diinginkan.

Pendidikan ideologi menjadi sedemikian menonjol sehingga menjadi indikator

keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan program pembelajaran di suatu satuan pendidikan tertentu.

Pada masa ini ujian akhir yang bersifat nasional menjadi semakin penting untuk memberikan keyakinan

kepada para pengambil kebijakan bahwa para lulusan telah menjadi insan yang memiliki ideologi yang

telah ditentukan negara. Manusia terdidik adalah manusia yang memiliki ideologi negara. Mereka yang

tidak setuju dengan ideologi negara tidak memenuhi kriteria kelulusan dan bahkan dianggap sebagai

musuh bangsa. Kurikulum menjadi alat penanaman pendidikan ideologi yang sangat ampuh dan bersifat
indoktrinatif. Penanaman ideologi tidak hanya dilakukan melalui kurikulum jalur sekolah atau jalur

formal tetapi juga melalui jalur pendidikan non formal.

Konsekuensi Panca Wardhana dalam dunia pendidikan sangat jelas. Kurikulum harus

diarahkan untuk mengembangkan kualitas yang dinyatakan dalam Panca Wardhana dalam semangat

Manipol-USDEK. Tujuan pendidikan berubah dari menghasilkan manusia yang susila dan demokratis

menjadi manusia susila yang sosialis dan pelopor dalam membela Manipol-USDEK. Perubahan yang

sangat menonjol dalam kurikulum adalah adanya mata pelajaran Civics yang diarahkan untuk

pembentukan warganegara yang bercirikan Manipol-USDEK. Liberalisme dan individualisme menjadi

musuh dan harus dibersihkan dalam pelajaran Civics karena bertentangan dengan jiwa dan semangat

Manipol-USDEK. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang berisikan materi pelajaran yang sangat

ditentukan oleh ideologi dan politik. Kurikulum SD dapat digolongkan ke dalam jenis Kurikulum Corelated

Curriculum, karena beberapa pelajaran tertentu yang erat hubungannya digolongkan dalam satu kelompok

kegiatan. Mata-mata pelajaran sudah tidak diajarkan secara terpisah-pisah lagi. Contoh: Mata pelajaran

Sejarah dan Ilmu Bumi disatukan menjadi Pendidikan Kemasyarakatan. Mata pelajaran Ilmu Alam dan

Ilmu Hayat ditentukan menjadi pengetahuan Alamiah. Dengan adanya Kurikulum SD 1964, sedikit demi

sedikit pada Sekolah Dasar mulai dibimbing ke arah perubahan dari sekolah dasar menuju sekolah kerja.

Fungsi kurikulum ditinjau dari tiga segi:

1. Fungsi bagi sekolah yang bersangkutan; terdiri dari dua macam fungsi kurikulum bagi sekolah yang

bersangkutan

 Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan

Dijadikan pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di

sekolah.

2. Fungsi bagi sekolah tingkat atas;

Kurikulum dapat berfungsi sebagai pengontrol atau pemelihara keseimbangan proses pendidikan.

Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu, maka kurikulum pada tingkat di

atasnya dapat mengadakan penyesuaian. Misalnya; jika suatu bidang studi telah diberikan pada

kurikulum sekolah di tingkat bawah, harus dipertimbangkan lagi pemilihannya pada kurikulum di

tingkat atas terutama dalam hal pemilihan bahan pengajaran. Penyesuaian bahan pengajaran tersebut

dimaksudkan untuk menghindari keterulangan penyampaian yang bisa berakibat pemborosan waktu

dan lebih penting lagi adalah untuk menjaga kesinambungan bahan pengajaran itu.

3. Fungsi bagi masyarakat

Pada umumnya sekolah mempersiapkan siswa untuk terjun di masyarakat atau tugasnya untuk

bekerja dengan keterampilan profesi yang dimilikinya. Oleh karena itu, kurikulum yang ada di

sekolah harus mengetahui atau mencerminkan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat. Untuk
itu diperlukan kerja sama antara pihak sekolah dengan pihak luar dalam hal pembenahan kurikulum

yang diharapkan.

Kurikulum resmi sebenarnya merupakan sesuatu yang diidentifikasikan atau dicitacitakan, karena itu

kurikulum memiliki fungsi sebagaimana yang diungkapkan oleh Alexander Inglish, sebagai berikut:

1. The ajustive of adaptive (fungsi penyesuaian)

2. The integrating function (fungsi pengintegrasian)

3. The differentiating function (fungsi diferensial)

4. The prepaedetic function (fungsi persiapan)

5. The selective function (fungsi pemilihan)

6. The diagnostic function (fungsi diagnostik)

Komponen-Komponen dalam Rencana Pembelajaran (Kurikulum), memiliki lima komponen utama, yaitu:

1. Tujuan

2. Materi

3. Strategi pembelajaran

4. Organisasi kurikulum dan

5. Evaluasi

Model Rentjana Pembelajaran 1964

Dari setiap Rencana Pembelajaran pasti terdapat suatu model pembelajaran didalamnya untuk

dapat mencapai suatu tujuan pembelajaran. Yang dimaksud dengan Model pembelajaran sendiri dapat

diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai

tujuan belajar. Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

Jadi,sebenarnya model pembelajaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan, strategi atau metode

pembelajaran. Model Pembelajaran itu sendiri dalam Permendikbud nomor 103 tahun 2014, diartikan

sebagai: “Kerangka konseptual dan operasional pembelajaran yang memiliki nama, cirri, urutan logis,

sistematis, pengaturan, serta kultur tersendiri.” Model pembelajaran yang efektif akan sangat membantu

dalam proses pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran akan lebih mudah tercapai. Selain itu, model

pembelajaran juga dapat memberikan informasi yang berguna bagi siswa di dalam proses pembelajaran.

Namun pada saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, mulai dari yang

sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam

penerapannya.
Model pengembangan rencana pembelajaran pada tahun 1960 merupakan model

pengembangan rencana pelajaran ini berbasis separated curriculume atau rencana pelajaran terpisah.

Rencana pembelajaran ini dipahami sebagai rencana pembelajaran dari mata pelajaran yang terpisah satu

sama lainnya. Rencana pembelajaran dari mata pelajaran terpisah berarti rencana pelajarannya dalam

bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang kurang mempunyai keterkaitan dengan mata pelajaran

lainnya. Pembelajaran bentuk rencana pembelajaran ini cenderung kurang memperhatikan aktivitas siswa,

karena yang dianggap penting adalah penyampaian sejumlah informasi sebagai bahan pelajaran dapat

diterima dan dihafal oleh siswa. Maka dari itu, model pembelajaran pada tahun tersebut bisa disebut

dengan Model Fragmented. Pada model fragmented antar pelajaran tidak memiliki hubungan atau

dikaitkan satu sama lain. Setiap mata pelajaran diajarkan oleh guru yang berbeda dan mungkin pula ruang

yang berbeda. Setiap mata pelajaran tampak sebagai suatu kesatuan dalam bidang studi itu sendiri,

memiliki ranahnya masing-masing, dan tidak ada usaha untuk menyatukannya. Dalam standar

kurikulum, wilayah-wilayah subjek (bidang kajian) diajarkan secara terpisah dengan tidak ada upaya

untuk menghubungkan atau mengintegrasikan bidang kajian tersebut. Setiap bidang kajian dipandang

sebagai entitas murni, berdiri sendiri, dan memiliki standar konten terpisah dan berbeda. Meskipun

terdapat tumpang tindih antara fisika dan kimia, hubungan antara keduanya secara implisit, tidak eksplisit

dan hubungan kajian tersebut tidak didekati melalui kurikulum.

Pengorganisasian rencana pelajaran ini telah dilaksanakan sejak lama hingga sekarang

masih dipertahankan mulai dari SD sampai PT. Setiap mata pelajaran disusun secara terpisah satu sama

lain dengan waktu yang dibatasi dan dipegang oleh guru baik oleh bidang studi maupun guru kelas. Di

dalam Model Fragmanted mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan yang diperoleh dalam

pelaksanaan rencana pelajaran model fragmented adalah esensi dari masingmasing ilmu dapat

disampaikan secara murni. Selain itu, guru dapat menyiapkan bahan ajar sesuai dengan bidang

keahliannya. Oleh karenanya, guru mudah menentukan ruang lingkup bahasan yang diprioritaskan dalam

setiap pengajaran. Selain kelebihan di atas, rencana pelajaran model fragmented atau separated juga

memiliki kelebihan-kelebihan yang lainnya diantara lain adalah sebagai berikut:

1. Guru/instruktur dapat mempersiapkan diri sebagai ahli di bidang tertentu dan memiliki kebebasan

menggali ke dalam mata pelajaran mereka dengan baik, luas, dan mendalam.

2. Bahan pelajaran dapat disajikan secara logis dan sistematis. Tiap mata pelajaran mengandung

sistematik tertentu.

3. Model Fragmanted bertujuan untuk menyampaikan sejumlah pengetahuan, pengertian, dan

kecakapan-kecakapan tertentu yang mudah dinilai dengan ujian, dan tes.

4. Model Fragmanted juga bertujuan menjaga agar suatu mata pelajaran terjaga keaslian dan

kemurniannya tidak mencampuri dengan mata pelajaran yang lainnya.


Selain memiliki kelebihan-kelebihan yang menonjol, dalam model fragmanted juga memiliki

kekurangan-kekurangan di dalamnya. Kekurangan yang sangat menonjol dalam model fragmented tidak

adanya penjelasan dalam keterkaitan konsep antar mata pelajaran karena masing-masing mata pelajaran

seolah-olah terpisah satu sama lain. Selain itu, menyisakan beban kepada peserta didik untuk

mengerahkan sumber dayanya sendiri dalam hal membuat koneksi dan mengintegrasikan konsep serupa.

Selain memiliki kelebihan kurikulum model fragmented memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Model fragmented memberikan mata pelajaran yang terpisah (tidak berhubungan satu sama lain).

Hal ini bertentangan dengan situasi kehidupan nyata yang saling berhubungan satu sama lain.

2. Model fragmented menyampaikan pengalaman umat manusia yang lampau dalam bentuk yang

sistematis dan logis. Tujuan kurikulum fragmented terlampau terbatas.

3. Model fragmented kurang mengembangkan kemampuan berpikir karena mengutamakan

penguasaan pengetahuan dengan jalan ulangan dan hafalan, serta kurang mengajak peserta didik

untuk berpikir sendiri.

4. Model fragmented cenderung menjadi statis dan ketinggalan zaman. Bahan pelajaran dalam

kurikulum ini terutama didasarkan pada pengetahuan yang tercantum dalam buku. Adakalanya

buku yang digunakan dari tahun ketahun tidak ada perubahan.

5. Adanya ketumpang tindihan konsep, keterampilan, dan sikap yang tidak jelas bagi pelajar.

Selanjutnya, dalam rencana pembelajaran pada tahun 1960, bisa dikatakan sebagai pendekatan

ekspositori. Yang dimaksud dengan pendekatan ekspositori adalah pendekatan pembelajaran yang

memandang atau mempersepsikan bahwa proses pembelajaran akan lebih efektif dan memberikan hasil

yang optimal, jika guru diposisikan sebagai fokus kegiatan pembelajaran (teacher centered approaches),

dimana aktivitas kegiatan pembelajaran berada pada guru. Disebut demikian, karena dalam rencana

pembelajaran pada tahun tersebut peran guru berdasarkan konsep pendekatan pembelajaran ini hanya

mengekspos materi pelajaran kepada siswa. Aktivitas kegiatan pembelajaran berlangsung sepihak, yaitu

berada pada guru, sementara siswa hanya diposisikan sebagai penerima materi pelajaran saja, tanpa

melakukan aktivitas dan kreativitas. Strategi pembelajaran ekspositori adalah salah satu starategi

pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru

kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.

Selain itu, pendekatan ekspositori yang dimana konsep pembelajarannya itu menekankan pada proses

penyajian atau penyampaian materi pelajaran secara langsung dari guru kepada siswa, hal tersebut

didasarkan pada asumsi bahwa dengan penyajian materi pembelajaran secara langsung, proses

pembelajaran menjadi lebih cepat, proses pembelajaran sepenuhnya berada di bawah kontrol guru, dan

diharapkan siswa dapat menerima serta menguasai materi pelajaran secara optimal.Pendekatan

pembelajaran ekspositori juga memiliki beberapa karakteristik utama yang dapat membedakannya

pendekatan pembelajaran yang lain. Pertama, aktivitas proses pembelajaran bertumpu pada guru, karena
guru menyajikan secara langsung materi pelajaran kepada siswa secara verbal. Kedua, siswa diposisikan

sebagai penerima materi pelajaran yang pasif, dimana aktivitasnya sebatas melihat, mendengar, mencatat,

dan menghafal materi pelajaran yang disajikan oleh guru. Ketiga, tujuan utama pembelajaran adalah

sebatas penguasaan materi pelajaran, jadi pada pendekatan ekspositori tidak ada pengembangan

psikomotorik pada siswa. Keempat, materi pelajaran yang disajikan merupakan materi pelajaran yang

sudah siap saji, sehingga siswa tidak perlu melakukan kegiatan eksplorasi ataupun elaborasi materi

pelajaran. Kelima, pendekatan pembelajaran ekspositori lebih cenderung hanya pada pembentukkan

kemampuan kognitif, berupa peningkatan kecerdasan intelektual.

Dengan demikian, Rentjana Pembelajaran tahun 1959 – 1968 pembelajarannya cenderung

monoton dan kurang efektif. Karena dalam pendekatan ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh

guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu. Materi pelajaran seakan – akan sudah jadi. Oleh

karena itu pendekatan ekspositori lebih menekankan kepada proses bertutur, maka sering juga dinamakan

istilah “chalk and talk”. Proses belajar mengajar yang menggunakan metode ekspositori tidak menekankan

penonjolan aktivitas fisik siswa tetapi yang diutamakan adalah aktivitas mental siswa.

Peran Guru dalam Rentjana Pembelajaran 1964

Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru

sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya

secara optimal. Di dalam kelas guru malaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan mengajar dan

kegiatan mengelola kelas. Di kelas juga segala aspek pendidikan pengajaran bertemu dan berproses. Guru

dengan segala kemampuannya, siswa dengan segala latar belakang dan sifat-sifat individualnya,

kurikulum dengan segala komponennya, dan materi serta sumber pelajaran dengan segala pokok

bahasanya bertemu dan berpadu dan berinteraksi di kelas. Guru harus memiliki, memahami dan terampil

dalam menggunakan macammacam pendekatan dalam manajemen kelas, meskipun tidak semua

pendekatan yang dipahami dan dimilikinya dipergunakan bersamaan atau sekaligus. Dalam hal ini, guru

dituntut untuk terampil memilih atau bahkan memadukan pendekatan yang menyakinkan untuk

menangani kasus manajemen kelas yang tepat dengan masalah yang dihadapi. Sebagai aktor, guru harus

mampu membuat para siswa bisa menikmati penampilannya serta memahami pesan yang disampaikan,

diperlukan persiapan, baik pikiran, perasaan maupun latihan fisik. Sebagai emansipator, guru telah

melaksanakan fungsinya ketika peserta didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tak

berharga, merasa dicampakkan orang lain atau selalu diuji dengan berbagai kesulitan sehingga hampir

putus asa, dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri. Ketika peserta didik hampir putus asa,

diperlukan ketelatenan, keuletan dan seni memotivasi agar timbul kembali kesadaran, dan bangkit

kembali harapannya. Dan sebagai evaluator, guru harus mampu melakukan suatu penilaian atau evaluasi

bagi peserta didik karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar, atau proses

untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran oleh peserta didik.


Peran guru dalam kurikulum sendiri juga jika dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan

kurikulum dapat di bedakan yang bersifat sentralisasi, desentralisasi dan sentral desentral. Pembagian

kategori ini tentu saja akan memberikan pengaruh signifikan terhadap pengembangan kurikulum. Tujuan

utama pengembangan kurikulum adalah untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa serta

memberikan standar penguasaan yang sama bagi seluruh wilayah. Di sini, guru sebagai salah satu oknum

yang menerapkan kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan yang telah dirancang oleh pemerintah

haruslah mampu untuk menyampaikan kurikulum dan perubahannya kepada peserta didik dan juga

dituntut untuk mampu ikut serta dalam perubahan kurikulum tersebut. Pada tahun 1960 pendidikan dasar

lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan

perkembangan anak.

Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu pemerintah

menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi kebebasan berlatih

kegitan di bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat siswa. Kurikulum 1964

adalah alat untuk membentuk manusia pancasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada

ketetapan MPRS No II tahun 1960. Hal yang perlu dipahami adalah sampai dengan tahun 1960-an tujuan

pendidikan nasional seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 Undang-Undang

No. 12 Tahun 1954, dan pada era Demokrasi Terpimpin dalam penetapan Presiden. Dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1954 tujuan pendidikan nasional adalah “membentuk manusia Indonesia yang

susila dan cakap serta bertanggung jawab”. Sistem pendidikan pada kurikulum 1964 ini bersifat

sentralistik. Artinya, sentralistik ini adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer

atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi.Sentralisasi banyak digunakan pada

pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Pada kurikulum 1964 terlihat bahwa

sistem pendidikannya ini diatur oleh pemerintah yaitu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954

sebagai tujuan pendidikan nasional. Perubahan kurikulum 1964 yang disempurnakan dari kurikulum

sebelumnya yang bertujuan untuk memperbaiki sistem kurikulum Indonesia sendiri, diberi nama dengan

Rentjana Pendidikan 1964.

Pada kurikulum ini, konsep pembelajarannya bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep

pembelajarannya mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan

persoalan (problem solving). Kurikulum 1964 juga ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan,

sehingga yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran dipusatkan pada program Panca Wardhana

yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, keprigelan (keterampilan) dan jasmani. Konsekuensi

Panca Wardhana dalam dunia pendidikan sangat jelas. Pada kurikulum ini, perubahan yang sangat

menonjol adalah adanya mata pelajaran Civics yang diarahkan untuk pembentukan warga negara yang

bercirikan Manipol USDEK. Civics menjadi mata pelajaran yang mengemban pendidikan ideologi bangsa

dan ini merupakan awal dari pendidikan ideologi dalam kurikulum. Mata pelajaran ini adalah mata
pelajaran yang berisikan materi pelajaran yang sangat ditentukan oleh ideologi dan politik. Pada saat itu

pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan

dengan perkembangan anak. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini

adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk

pembekalan pada jenjang sekolah dasar.

Peran guru dalam proses kegiatan pembelajaran yaitu dengan menggunakan pendekatan

ekspositori yang memandang atau mempersepsikan bahwa proses pembelajaran akan lebih efektif dan

memberiakan hasil yang optimal jika guru sebagai focus kegiatan pembelajaran. jadi pembelajaran

berpusat pada guru karena di sini guru yang lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran di kelas.

Guru akan menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang

sesuai dengan kebutuhan, dan menyusun alat evaluasi yang memudahkan guru dalam implementasinya.

Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan

oleh orangorang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan

sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing

pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan

kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.


KURIKULUM 1968

Pendahuluan

Pendidikan di Indonesia diatur berdasarkan undang - undang dasar 1945 salah satunya

pada pasal 31 ayat 1 isinya setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan undang – undang

dasar 1945 pasal 31 ayat 3 yang isi mengenai pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu

sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang– undang. Pendidikan sebagai

proses yang terus berkembang dalam masyarakat. Awalnya proses pendidikan dilakukan dalam ruang

lingkup kecil yaitu peran keluarga. Keluarga memberikan pemahaman pendidikan sampai sudah dewasa.

Dalam masyarakat pendidikan meneruskan pengetahuan yang dimiliki bagi kehidupan bangsa yang

sudah diperoleh dalam keluarga. Masa ke masa masyarakat terus berkembang dan menuju kearah yang

lebih baik. Perkembangan zaman banyaknya hal baru seperti ilmu pengetahuan, semuanya tidak diajarkan

dalam pendidikan dalam keluarga. Kemudian adanya lembaga pendidikan disebut sebagai sekolah

digunakan sebagai tempat mendapatkan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Tidak hanya ilmu

pengetahuan, pendidikan juga sebagai mengembangkan potensi dalam diri yang nantinya dapat berguna

bagi masyarakat dan bangsa. Sekolah menjadi pencetak generasi masa kini dan masa yang akan datang

dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Sekolah lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat suatu sistem yang mengatur dan

menetapkan sesuatu yang diperlukan pendidikan. Keberhasilan sekolah dalam mencapai sasaran

melahirkan generasi berguna bagi bangsa maka, perlunya mengetahui tujuan dari pendidikan.

Pelaksanaan tujuan pendidikan tersusun di kurikulum. Disusunnya kurikulum untuk pengendalian

pendidikan di Indonesia yang selalu berkembang agar setiap daerah di Indonesia mempunyai kesetaraan

masyarakat yang berkualitas bagi bangsa dan negara. Kurikulum merupakan unsur terpenting dalam

proses pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kurikulum ialah perangkat mata

pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan. Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan

mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.

Pentingnya kurikulum, tanpa adanya kurikulum akan sulit mecapai tujuan pembelajaran

dan sasaran pendidikan yang dinginkan. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan,

sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum mencerminkan falsafah hidup

bangsa, kearah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu kelak akan ditentukan oleh kurikulum yang

digunakan oleh bangsa tersebut sekarang. Menurut Muhaimin (2003: 182) pengertian kurikulum dalam

arti yang sempit merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta

cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pengertian

ini mengeris bawahi adanya 4 (empat) komponen pokok dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi atau bahan,
organisasi dan strategi. Sedangkan pengertian kurikulum secara luas, kurikulum merupakan segala

kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk disajikan kepada peserta didik guna mencapai

tujuan pendidikan (institusional, kurikuler, dan intruksional). Kurikulum sebagai bentuk rencana

pembelajaran, harus sejalan antara tujuan pendidikan, isi, proses penyampaian dan

penilaian.Perkembangan kurikulum sejalan dengan perkembangan pendidikan, khususnya di tanah air,

sedangkan perkembangan pendidikan pada dasarnya berkenaan dengan perkembangan bangsa, negara

dan perkembangan nasional yang secara menyeluruh.17 Perubahan zaman membuat kurikulum

mengikuti perubahan menuju kearah yang lebih baik dan menjawab tuntutan kebutuhan– kebutuhan yang

diperlukan oleh masyarakat. Perubahan kurikulum membawa pengaruh peserta didik ke perubahan–

perubahan yang dinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri

siswa. Perubahan kurikulum menyangkut berbagai faktor, baik orang-orang yang terlibat dalam

pendidikan dan faktor-faktor penunjang dalam pelaksanaan pendidikan. Perubahan kurikulum juga akan

mengakibatkan perubahan dalam operasionalisasi kurikulum tersebut, baik rang yang terlibat dalam

pendidikan maupun faktor-faktor penunjang dalam pelaksanaan kurikulum.

Menurut Soetopo dan Soemanto, pengertian perubahan kurikulum agak sukar untuk

dirumuskan dalam suatu definisi. Suatu kurikulum disebut mengalami perubahan apabila terdapat

adanya perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum antara dua periode tertentu, yang

disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja. Nilai sosial, kebutuhan dan tuntutan masyarakat

cenderung atau selalu mengalami perubahan antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan dan

teknologi. Kurikulum harus dapat mengantisipasi perubahan tersebut, sebab pendidikan adalah cara yang

dianggap paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.

Kurikulum dapat paling tidak sedikit) meramalkan hasil pendidikan atau pengajaran yang diharapkan

karena ia menunjukkan apa yang harus dipelajari dan kegiatan apa yang harus dialami oleh peserta didik.

Pembaharuan kurikulum perlu dilakukan sebab tidak ada satu kurikulum yang sesuai dengan

sepanjang masa, kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang senantiasa

cenderung berubah. Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian pada komponen tertentu, tetapi dapat

pula bersifat keseluruhan yang menyangkut semua komponen kurikulum. Pembaharuan kurikulum

biasanya dimulai dari perubahan konsepsional yang fundamental yang diikuti oleh perubahan struktural.

Indonesia pernah mengalami sejarah kelam pada tahun 1965 dimana terjadi suatu gerakan pemberontakan

yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia

atau PKI pada tanggal 30 September 1965, atau lebih dikenal sebagai G30SPKI memberikan dampak yang

luar biasa bagi Indonesia pada saat itu. Adanya G30SPKI menimbulkan kecemasan sertakondisi kehidupan

sosial dan politik yang tidak stabil.

Adanya pemberontakan G30SPKI dan peralihan Orde Lama menjadi Orde Baru tak anya

memberikan dampak pada aspek ekonomi dan politik juga. Tapi juga memberikan dampak pada sistem
pendidikan di Indonesia. Pasca pemberontakan G30SPKI dan peralihan Orde Lama menjadi Orde Baru,

sistem pendidikan diIndonesia mengalami penataan ulang. Hal itu dilakukan demi menunjang upaya

pembangunan yang akan dilakukan pada rezim Soeharto pada saat itu. Penataan kembali sistem

pendidikan di Indonesia bersifat makro dan mengarah pada sistem pendidikan secara nasional dan lebih

fundamental. Sebagai dampak dari peristiwa G30SPKI, pada tahun 1966 sampai 1971 terdapat gejala

penurunan jumlah sekolah yang disebabkan oleh penutupan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah PKI

dan organisasi di bawahnya. Oleh sebab itu, untuk meluruskan tujuan pendidikan nasional yang

sebenarnya, pemerintah mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXVII tahun 1966 bahwa keputusan Presiden

No 145 Tahun 1965 mengenai tujuan pendidikan nasional yang mengarahkan untuk menciptakan warga

negara yang Sosialis tidak lagi berlaku.26 Dalam ketetaan MPRS No. XXVII, Tujuan Nasional Pendidikan

tercantum dalam Bab I, pasal 3 yang menetapkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia

Pancasila sejati berdasarkan ketentuan.

Untuk mewujudukan tujuan utama dari sistem pendidikan nasional maka dibentuklah suatu

kurikulum yang disebut sebagai kurikulum 1968. Kurikulum 1968 merupakan suatu bentuk pembaharuan

dari Kurikulum 1964 dimana terdapat perubahan struktur kurikulum pendidikan Panchawardhana

menjadi pembinaan jiwa pancasila. Tujuan utama dari sistem pendidikan pada saat itu adalah untuk

membentuk manusia yang memiliki jiwa Pancasila. Hal itu dilakukan untuk mengubah mental masyarakat

yang sudah banyak mendapat indoktrinasi Manipol-Usdek pada masa Orde Lama . Selain itu, tujuan dari

kurikulum 1968 adalah bahwa pendidikan ditekankan untuk embentuk manusia Pancasila sejati, kuat dan

sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti dan keyakinan

beragama.

Sementara itu, isi pendidikan di arahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan

keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Intinya, kurikulum 1968 ingin melepaskan

jeratan paham sosialis yang sudah merasuk ke dalam jiwa masyarakat Indoenesia dan merubahnya

menjadi masyarakat dengan jiwa pancasila.

Struktur dan Isi Kurikulum 1968

Kurikulum Sekolah Dasar 1968 masih menggunakan dua macam struktur program yaitu

struktur program pengantar bahasa daerah sampai kelas III, dan program untuk sekolah yang

menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia mulai dari kelas I. Susunan program pengajaran

berdasarkan kurikulum tahun 1968 adalah sebagai berikut:

1. Program pengajaran tiap bidang studi diawali dengan tujuan – tujuan kurikuler bidang studi yang

bersangkutan, didaktik – metodik bidang studi termasuk kriteria pemilihan bahan – bahan yang

akan diajarkan

2. Bahan tiap bidang studi dibagi tiap kelas, dan


3. Susunan bahan tiap kelas, yaitu tujuan – tujuan instruksional yang akan dicapai tiap kelas dengan

jumlah berkisar atau kemampuan yang akan dicapai oleh kelas tertentu dan kegiatan – kegiatan

belajar yang disarankan

• Struktur program Rencana Pembelajaran dan Pelajaran SMA 1968

Adapun isi pendidikan atau struktur program kurikulum SMA 1968 terdiri dari tiga

kelompok, yaitu kelompok pembinaan jiwa pancasila, kelompok pembinaan pengetahuan dasar, dan

kelompok pembinaan kecakapan khusus. Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila adalah kelompok rata

pelajaran yang menitikberatkan pada pembinaan mental budi pekerti Pancasila dan memperkuat

keyakinan beragama. Kelompok pembinaan pengetahuan dasar adalah kelompok mata pelajaran yang

menitikberatkan pada penguasaan dasar-dasar ilmu pengetahuan beserta segi kegiatan mata pelajaran

masing-masing. Sedangkan kelompok pembinaan kecakapan khusus adalah untuk membina ketrampilan-

ketrampilan tertentu sebagai bekal hidupnya kelak, antara lain berupa mata pelajaran pendidikan

kesejahteraan keluarga dan prakarya pilihan. Dalam Kurikulum SMA 1964 struktur program mata

pelajaran (struktur program kurikulum) terbagi dalam empat kelompok atau program, yaitu Kelompok

Dasar, Khusus, Penyerta, dan Krida & Prakarya. Sedangkan pada Kurikulum SMA 1968 kelompok mata

pelajaran terdiri dari tiga kelompok, yaitu kelompok pembinaan jiwa pancasila, pembinaan pengetahuan

dasar, dan pembinaan kecakapan khusus.

Perbedaan tersebut bukan hanya pada nama kelompok, tetapi juga pada komposisi mata

pelajaran yang masuk ke dalam tiap-tiap kelompok. Dan ada perbedaan yangada pada Kurikulum SMA

pada tahun 1968 yang bilamana dibandingkan dengan Kurikulum SMA pada tahun 1964 yang antara lain

terdapat pembedanya pada struktur jurusan. Dalam Kurikulum SMA tahun 1964 itu terdapat empat

jurusan seperti (Budaya, Sosial, Ilmu Pasti, dan Ilmu Pengetahuan Alam), sedangkan dalam Kurikulum

SMA tahun 1968 lebih disederhanakan lagi menjadi dua jurusan atau kelompok seperti (Ilmu Pasti dan

Ilmu Pengetahuan Alam). Dengan penyederhanaan jurusan atau kelompok tersebut dari empat menjadi

dua, dianggap telah mempunyai banyak keuntungan, adapun keuntungan yang di dapatkan yaitu seperti

dapat menghemat ruang dan waktu, menghemat energi, menghemat biaya, menghemat frustasi murid

tersebut.

• Isi Kurikulum 1968

Dalam dunia pendidikan, keberadaan kurikulum merupakan sebuah keniscayaan karena

menentukan arah, tujuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum merupakan inti (core) dari

sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan kepada publiknya, dengan dukungan SDM

guru berkualitas serta sarana sumber belajar lainnya yang memadai. Perubahan Kurikulum tersebut tentu

disertai dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada suatu

tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional kita.32 Dalam Kurikulum harus
mencerminkan jiwa mukadimah UUD 45 dan isi UUD 45. Dengan demikian kurikulum harus menjadi

pelaksanaan UUD 1945 dibidang dan melalui pendidikan. Kurikulum harus di integrasikan dalam Nation

dan Character Building, khususnya sebagai alat pembinaan manusia Pancasila dan tenaga pembangunan.

Kurikulum harus memberikan kemungkinan perkembangan maksimal daripada cipta, rasa, karsa, dan

karya anak yang sedang menjadi manusia yang bermental moral budi pekerti luhur dan kuat keyakinan

agamanya yang tinggi kecerdasan dan tampil dalam pembangunan dan yang memiliki fisik yang sehat

dan kuat. Kurikulum juga harus mempersiapkan setiap anak didik untuk dapat berdiri sendiri dalam

masyarakat sebagai manusia pancasila. Kurikulum harus memadukan teori dan praktek. Segala

pengetahuan yang diajarkan disekolah hendaknya dihubungkan dengan kehidupan konkrit di dalam

masyarakat dan kerja produktif sesuai dengan lingkungan sekolah yang bersangkutan. Isi kurikulum

harus diselaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kurikulum harus

disusun sedemikian rupa, sehingga memungkinkan adanya integrasi antara lembaga-lembaga pendidikan

dan lembagalembaga masyarakat lainnya. Kurikulum harus disusun sedemikian rupa, hingga

memungkinkan diadakannya kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan oleh lembaga - lembaga

pendidikan lainnya seperti pramuka dan organisasi pendidikan lainnya. Kurikulum harus merupakan

rangkaian yang harmonis yang memungkinkan adanya kontinuitas antara lembaga-lembaga pendidikan

yang satu dan yang lainnya. Dan kurikulum haruslah fleksibel untuk dapat disesuaikan dengan kondisi –

kondisi setempat.

Model Pembelajaran Kurikulum 1968

Pengertian model dalam kamus lengkap bahasa Indonesia yaitu contoh, pola acuan ragam

dan tiruan yang tepat untuk ditiru. Model pembelajaran bisa dikatakan sebagai model yang digunakan

oleh guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang didalamnya sendiri memuat kegiatan-

kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa dengan memperhatikan lingkungan dan sarana prasarana di

dalam kelas sebagai penunjang proses pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran merupakan sudut pandang, atau gagasan yang menjadi dasar atau

titik tolak penerapan strategi, model, dan metode pembelajaran dalam proses pembelajaran yang

dilakukan.34 Berdasarkan pada karakteristik dalam aktivitas yang dilakukan masing-masing pendekatan

dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu pendekatan ekspositori dan pendekatan inquiri. Dalam konteks ini

yang dimaksud dengan pendekatan ekspositori yaitu pendekatan pembelajaran yang mempresepsikan

atau memandang proses pembelajaran akan lebih efektif dan memberikan hasil yang optimal jika guru

tersebut diposisikan sebagai fokus kegiatan pembelajaran (teacher centered approaches), dalam pendekatan

ini penyusunan strategi yang digunakan lebih kearah strategi pembelajaran langsung (directi instruction).

Peran guru dalam pendekatan pembelajaran ini hanya mengekspos materi pembelajaran kepada siswa

sehingga dalam aktivitas pembelajarannya hanya berlangsung sepihak. Pendekatan ini juga hanya

menekankan pada proses penyajian atau penyampaian materi secara langsung antara guru dan siswa.
Karakteristik dari pendekatan ini yaitu aktivitas proses pembelajaran bertumpuh pada guru;

siswa sebagai penerima materi yang pasif; bertujuan hanya sebatas siswa menguasai materi yang

diberikan; materi pembelajaran merupakan materi yang siap saji, dan hanya cenderung pembentukan

kemampuan kognitif.

Selanjutnya adalah pendekatan inquiri, pendekatan ini memandang atau mempersepsikan

pembelajaran akan lebih efektif jika proses pembelajaran berpusat pada siswa (student centered approaches),

dalam pendekatan ini lebih menurunkan strategi pembelajaran tidak langsung (indirect instruction) karena

dalam penyampaian materi yang diberikan tidak secara langsung disampaikan guru kepada siswa,

melainkan guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksploitasi dan mengelaborasikannya

sendiri. Pengeksploitasian dan pengeleborasian dilakukan dalam kegiatan pembelajaran yang di motivasi

dan di fasilitator (memberikan bimbingan, dan menyediakan sumber-sumber belajar serta media

pembelajaran) oleh guru sebagai agen pembelajaran. Karakteristik dari pendekatan inquiri yaitu proses

pembelajaran mengutamankan aktivitas siswa karena siswa diposisikan sebagai subjek belajar; bertujuan

untuk mengembangkan sikap, tanggung jawab, disiplin, mandiri, dan kemampuan berpikir sistematis dan

logis; aktivitas yang ada diarahkan pada upaya siswa dalam mencari, menemukan dan memahami.

Kurikulum 1968 sendiri merupakan pembaruan dari Rencana Pembelajaran 1964 yang

merupakan bagian dari produk orde lama. Jika pada Rencana Pembelajaran 1964 bertujuan untuk

menciptakan masyarakat sosialis Indonesia dihapuskan maka dalam Kurikulum 1968 menekankan pada

pendekatan manusia pancasila sejati. Yaitu dengan melakukan program-program pembinaan yang

tertuang dalam pengelompokan mata pembelajaran (kelompok pembinaan jiwa Pancasila, Pembinaan

pengetahuan dasar, dan pembinaan kecakapan khusus). Kurikulum 1968 bersifat correlated subject, yaitu

materi pembelajaran pada tingkat bawah memiliki korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan bermuatan

pembelajaran pokok yang bersifat teoritis. Selain itu pembelajaran pada masa kurikulum 1968 tidak

memberikan kaitan dengan permasalahan faktual yang terjadi di lapangan, dan hanya menitik beratkan

pada materi apa saja yang sesuai atau tepat diberikan kepada siswa dalam setiap jenjang pendidikan.

Ketentuan-ketentuan dalam kurikulum 1968 adalah:

1. Bersifat correlated subject curriculum

2. Jumlah mata pelajaran untuk SD 10 bidang studi, SMP 18 bidang studi (bahasa Indonesia

dibedakan bahasa Indonesia I dan II, SMA jurusan A 18 bidang studi, SMA jurusan B 20 bidang

studi, jurusan SMA C 19 bidang studi

3. Penjurusan SMA dilakukan dikelas II

Dalam kurikulum 1968 dapat dilihat penggunaan model pendekatan pembelajaran yang

digunakan melalui ketentuan-ketentuan dan penjelasannya yaitu model pendekatan pembelajaran

ekspositori, karena dalam ketentuannya kurikulum 1968 memiliki sifat muatan materi yang teoritis, dan
tidak adanya kaitan dengan permasalahan faktual di lapangan. Selain itu dalam kurikulum 1968 menitik

beratkan pada materi apa saja yang diberikan pada siswa dalam setiap jenjang pendidikan. Dengan

memiliki sifat muatan materi yang teoritis, maka dalam aktivitasnya guru berperan sebagai pusat

pembelajaran dan proses pembelajaran hanya ditujukan kepada penguasaan materi yang bersifat kognitif

saja.

Peran Guru dalam Kurikulum 1968

Guru mempunyai peran penting dalam mengambil keputusan, apa yang akan diajarkan,

bagaimana cara mengajarkannya dan memilki pengaruh besar terhadap keberhasilan pembelajaran

disekolah. Guru juga dituntut menciptakan hasil belajar yang diinginkan dan selalu dituntut untuk

meningkatkan kemampuannya sesuai dengan perkembangan kurikulum, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan masyarakat. Kurikulum sebagai alat pedoman bagi guru

dalam melaksanakan program pembelajaran dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan di mana

guru itu mengajar. Guru sebagai pekerja profesional dituntut untuk mampu merancang, melaksanakan

dan mengevaluasi hasil usahanya sendiri dengan sebaik-baiknya. Dalam perkembangan peserta didik

seperti minat, bakat, kemampuan, dan potensi – potensi yang dimiliki guru ikut membantu dalam

perkembangannya. Dilihat dari segi pengelolaannya, menurut Nana Syaodih Sukmadinata,

pengembangan kurikulum dapat dibedakan, yaitu yang besifat sentralisasi, desentralisasi, dan sentral

desentral.

Tugas guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi adalah untuk

menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai

dengan kebutuhan, bakat, minat, dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media

pembelajaran yang bervariasi, serta menyusun program dan alat evaluasi yang tepat. Walaupun

kurikulum sudah tersusun rapi, tetapi guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan

dan penyesuaian-penyesuaian. Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah atau kelompok sekolah

tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau

lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan atas karakteristik,

kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah atausekolah-sekolah tersebut. Dalam

kurikulum yang dikelola secara desentralisasi danjuga yang sentral-desentral, peranan guru dalam

pengembangan kurikulum ini jauhlebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara sentralisasi.

Guru-guru jugaturut berpartisipasi, bukan hanya menjabarkan kurikulum induk ke dalam

programtahunan, program semester, catur wulan maupun ke dalam satuan pelajaran, tetapijuga di dalam

menyusun kurikulum secara keseluruhan untuk sekolahnya. Guru-gurujuga ikut andil dalam

merumuskan setiap komponen dan unsur dari kurikulum itusendiri sehingga mereka mempunyai

perasaan turut memiliki kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan kemampuan dan
pengetahuannya dalampengembangan kurikulum.39 Penguasaan kurikulum menjadi suatu hal yang

wajibbagi setiap guru.

Dalam mengajar, guru lebih menenkakan pada pendekatan pembelajaranekspositori.

Pendekatan pembelajaran yang memandang atau mempersepsikanbahwa proses pembelajaran akan lebih

efektif dan memberikan hasil yang optimal,jika guru diposisikan sebagai fokus kegiatan pembelajaran

(teacher centerapproach) dimana aktifitas kegiatan pembelajaran berada pada guru.40 Posisi

gurudijadikan sebagai subjek belajar, sementara siswa menjadi objek belajar. Pada masaorde baru,

penanaman nilai pancasila begitu digencarkan oleh pemerintah. Hal inilah yang mendorong pemerintah

untuk mengeluarkan sebuah kebijakan terkait dengan penanaman nilai-nilai pancasila yaitu Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan tersebut disosialisasikan pada seluruh komponen

bangsa sampai level bawah termasuk penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan

Sekolah menengah Atas (SMA), perguruan tinggi hingga wilayah kerja. Dalam hal ini, guru juga memiliki

peran serta dalam menanamkan nilai-nilai pancasila kepada siswa di sekolah. Guru dapat dikatakan

sebagai agen pemerintah dalam mensosialisasikan nilai-nilai pancasila kepada siswa di lingkungan

sekolah.
KURIKULUM 1973

Pada tahun 1973 Pemerintah mengadakan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) di

seluruh IKIP Negeri di Indonesia, sebagai sekolah laboratorium. Dengan adanya PPSP, seluruh kebijakan

di bidang pendidikan didesiminasikan secara nasional, terlebih dulu diterapkan atau dirintis secara

terbatas (pilot project) di sekolah-sekolah laboratorium, kemudian dikembangkan kurikulum PPSP 1973.

Rasionalnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, proses belajar-mengajar perlu menerapkan

sistem belajar tuntas dan maju berkelanjutan melalui sistem belajar tuntas dan maju berkelanjutan melalui

sistem modul. Hasil dari rintisan ini sangat menggembirakan, namun oleh pengambil kebijakan pada

waktu itu, dianggap terlalu mahal biayanya, sehingga tidak layak untuk didesiminasikan secara rasional.

Menurut Aziz etal., 2022 Kurikulum 1973 merupakan kurikulum yang digunakan setelah

penerapan kurikulum 1968, dalam kurikulum ini menerapkan prinsip-prinsip, yaitu :

a. Berdasar pada tujuan yang ditentukan. Tujuan tersebut perlu dimiliki oleh peserta didik atau

yang disebut dengan istilah hirarki tujuan pendidikan, telah di rencanakan pemerintah yang

mencakup tujuan institusional, pendidikan nasional, kurikuler, instruksional khusus, dan

instruksional secara umum.

b. Menerapkan pendekatan secara integratif, dimaksudkan bahwa dalam setiap pembelajaran

mempunyai peran dan arti yakni meningkatkan atau menunjang pada terwujudnya cita-cita dan

tujuan yanglebih baik lagi.


KURIKULUM 1975

Pada tanggal 17 Januari tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

nomor 008‐D/U/1975, Pemerintah menetapkan kurikulum baru untuk SMP dan dinamakan Kurikulum

1975, sesuai dengan tahun penetapan berlakunya kurikulum tersebut. Dapat dikatakan bahwa Kurikulum

1975 memberikan landasan baru bagi kebijakan pengembangan kurikulum di Indonesia. Kurikulum 1975

merupakan kurikulum pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan teori, model, dan desain

kurikulum modern. Pikiran teoretik tentang peserta didik, proses pembelajaran, penilaian hasil belajar

dijadikan dasar‐asar utama dalam pemikiran pengembangan kurikulum. Model pembelajaran yang

dikenal dengan nama Perencanaan Sistem Instruksional menjadi model baru dalam dunia pendidikan

Indonesia.

Dalam kurikulum tahun 1975 dinyatakan bahwa IPS adalah paduan sejumlah mata pelajaran Ilmu

sosial. Untuk IPS pada jenjang pendidikan dasar disebutkan bahwa materi pelajaran IPS ditunjang

Geografi dan Kependudukan, Sejarah dan Ekonomi Koperasi, sedangkan untuk menengah IPS mencakup

Geografi dan Kependudukan, Sejarah, Antropologi Budaya, Ekonomi dan Koperasi, Tata Buku, dan

Hitung Dagang. Jadi, orientasi pendidikan intinya mata pelajaran IPS masuk ke Kurikulum 1975 masuk ke

dalam SD/MI SMP/MTS, namun IPS sebagai pendidikan akademis mempunyai misi menyampaikan nilai‐

nilai berdasarkan filsafat pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, mata pelajaran IPS pun berfungsi

dan mendukung tercapainya tujuan PMP Kurikulum 1975 adalah kurikulum pertama di Indonesia yang

dikembangkan berdasarkan proses dan prosedur yang didasarkan pada teori pengembangan kurikulum.

Upaya memasukkan materi ilmu‐ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia

disajikan mata pelajaran dan bidang studi atau jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara resmi pada

kurikulum 1975. Kurikulum tahun 1975 merupakan perwujudan dari perubahan sosial pada pelaksanaan

UUD 1945 secara mnurni dan konsekuen, bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya

membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan

jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Prinsip‐prinsip kurikulum 1975 adalah sebagai

berikut (Simatupang etal., 2019 :50-51):

1. Berorientasi pada tujuan. Pemerintah merumuskan tujuan‐tujuan yang harus dikuasai oleh siswa

yang lebih dikenal dengan hierarki tujuan pendidikan

2. Menganut pendekatan integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang

menunjang kepada tercapainya tujuan‐tujuan yang lebih integratif.

3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.

4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem

Instruksional (PPSI).
5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respons (rangsang‐ jawab)

dan latihan (Drill). Pembelajaran lebih banyak menggunaan teori Behaviorisme, yakni memandang

keberhasilan dalam belajar ditentukan oleh lingkungan dengan stimulus dari luar, dalam hal ini

sekolah dan guru.


KURIKULUM 1973

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 0461/U/1983 tanggal 22 Oktober

1983 yang menyatakan perlunya perbaikan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum 1984 sering pula disebut sebagai “kurikulum 1975

yang disempurnakan”. Melalui penyusunan kurikulum 1975 yang disempurnakan ini masalah masalah

materi kurikulum yang tumpang tindih, pengulangan, dan terlalu padat dibenahi pada masing-masing

bidang studi. Disamping itu, kurikulum ini memperkenalkan bidang studi baru pada semua jenis dan

jenjang pendidikan, yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang pada dasarnya materi PSPB

tersebut tumpang tindih dengan mata pelajaran lain seperti PMP dan IPS. Menurut Hidayat etal., 2017:69

menyatakan bahwa materi bidang studi yang tumpang tindih yang terdapat pada kurikulum 1975 dan

kemudian dilakukan perbaikan di dalam kurikulum 1984 dapat digambarkan dalam bentuk skema seperti

di bawah ini :

4.1 Skema Kurikulum 1975 4.2 Skema Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses,

tapi faktor tujuan tetap penting. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,

mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)

atau Student Active Learning (SAL). Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari

oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat

terbatas di sekolah harus benar‐benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau

menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan,

mendiskusikan, hingga melaporkan.

Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu

belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar‐benar fungsional dan efektif, oleh karena itu, sebelum

memilih atau menentukan bahan ajar. Yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus

dicapai siswa. Kurikulum 1984 memiliki ciri‐ciri sebagai berikut.


a. Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman

belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar‐benar

fungsional dan efektif.

b. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA

adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat

secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman

belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.

c. Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang

digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.

d. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Untuk menunjang pengertian

alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

e. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran

berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus

melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan

pendekatan induktif dari contoh‐contoh ke kesimpulan.

Sistem penilaian dalam kurikulum 1975 dilakukan setiap akhir pelajaran atau pada akhir

satuan pembelajaran. Hal ini yang membedakan antara sistem penilaian pada kurikulum 1975 dan

kurikulum sebelumnya. Sistem penilaian kurikulum ini dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran

yang digunkaan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dengan sendirinya guru-guru dituntut

melakukan penilaian pada setiap akhir satuan pembelajaran.


KURIKULUM 1994

Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum‐kurikulum sebelumnya,

terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sebagai

imbasnya, banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari

muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah

masing‐masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain‐lain. Berbagai

kepentingan kelompok kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam

kurikulum. Akhirnya,Kurikulum 1994 menjadi kurikulum yang super padat dan hasilnya juga

kurang bagus.

Kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no.2 tahun 1989

tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran,

yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan (Iramsan dan Manurung,

2019). Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap

diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup

banyak. Tujuan pengajaran kurikulum ini yaitu lebih berorientasi pada materi pelajaran dan

keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Terdapat karakterisitik menonjol dari kurikulum 1994 menurut Imron (2018:21), diantaranya

sebagai berikut:

a. Menggunakan sistem caturwulan.

b. Materi pelajaran cukup padat.

c. Menerapkan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh indonesia.

d. Dominannya pelajaran matematika serta bahasa ( Indonesia dan inggris), minimnya

pelajaran seni serta materi.

e. PMP (Pendidikan Moral Pancasila) diubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan).
KURIKULUM 2004

PENDAHULUAN

Dalam meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya melakukan

berbagai perubahan dalam bidang pendidikan dalam meningkatkan mutu pendidikan diperlukan

kurikulum yang sesuai dalam keadaan masyarakat saat itu untuk memperbaiki kurikulum 1994 muncul

undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah

dan wawasan demokrasi dalam penyelengaraan pendidikan.Hal ini juga diikuti dengan perubahan

pengelolaan pendidikan dan bersifat santralistik ke desentralistik.112 Perubahan Undang-Undang Sistem

Pendididikan Nasional juga menuntut adanya perubahan pengaturan dan pemgembangan dan

implementasi kurikulum di lapangan selajutnya tuntutan globalisasi dalam bidang pendidikan juga perlu

dipertimbangkan agar hasil pendidikan nasional dapat bersaing dengan hasil pendidikan negara-negara

maju. Alasan diberlakukannya salah satunya Dr. H. Ch. Soeprapto bahwa lahirnya Kurikulum 2004 pada

dasarnya telah ditopang dengan sejumlah argumentasi kuat, baik dikaitkan dengan faktor internal

maupun eksternal. Faktor internal misalnya dapat dikaitkan dengan adanya beberapa pendapat tentang

kurikulum 1994, antara lain:

a. Masih cukup padat materi dan terlalu banyak jam pelajarannya.

b. Kurang memberi peluang bagi guru dan siswa untuk lebih kreatif dan inovatif karena bersifat

instruktif dalam bingkai sentralisasi (monolitic design) dan kurang memberikan peluang

berkembangnya potensi dan kebutuhan daerah.

c. Kurang menyentuh pendidikan anak seutuhnya, karena lebih berorientasi pada aspek

kognitifakademis (subject matter oriented dan belum mengembangkan life skills).

d. Bersifat kurang luwes karena Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang terpusat dan seragam.

e. Pembelajaran masih bersifat klasikal dan belum memberikan makna yang dialogis dan menyenangkan

bagi anak.

Sementara yang berkenaan dengan faktor eksternal bahwa pengaruh perubahan global,

perkembangan ilmu pengetahuan-teknologi, dan seni-budaya berdampak terhadap sistem pendidikan

nasional termasuk perlunya penyempurnaan kurikulum. Argumentasi yang dikemukakan tersebut

sangatlah common-sense, hanya saja akan lebih mantap jika didukung oleh sejumlah penelitian yang

handal, sehingga perbaikan yang dilakukan lebih terarah dan benar-benar memenuhi kebutuhan

lapangan. Demikian juga halnya bahwa perubahan kurikulum tidak hanya ditekankan pada upaya

menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan jaman dan dunia, melainkan juga perlu

dikaitkan dengan pemenuhan keunikan individuyang memang jauh lebih penting dalam menciptakan

proses pendidikan yang efektif. Kurikulum 2004 diharapkan dapat memberikan jawaban untuk memenuhi

keragaman individu, yang sebelumnya kurikulum 1994 nuansanya lebih bersifat generik seragam. Dengan
kata lain bahwa kurikulum dikembangkan perlu disesuaikan dengan minat peserta didik, di samping

perubahan sosial yang ada. Munculnya kurikulum 2004 tidak lepas juga didasari oleh kondisi politik,

ekonomi dan sosial.

Kondisi Politik

Perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak reformasi 1998 tidak

sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk tidak dikatakan telah jatuh ke tangan

kelompok ideologis lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal yang memasukkan ide-

ide liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi, lebih dominan.Jika pun terjadi sirkulasi

kepemimpinan elit politik di negeri ini dan Dimana pada saat itu pula sistem perpolitikan di Indonesia

mengarah kepada sistem demokrasi terlihat dengan terselenggaranya pemilihan umum secara langsung

untuk pertama kalinya dalam sejarah indonesia dan mengalami konsep pemerintahan yanga tadinya

menerapkan konsep sentralisasi dimana semua urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab pemerintah

pusat namun disaaat itu berubah menjadi konsep desentralisasi terwujud dengan adanya otonomi daerah.

Kondisi Ekonomi

Kondisi perekonomian yang memburuk pasca reformasi menyebabkan sistem pendidikan tidak

berjalan dengan baik dan pada saat itu pula indoesia mulai bangkit dari krisis yang terjadi di tahun 1997

yang menyebabkan melemahnya mata uang rupiah sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan

1997, ekonomi Indonesia mengalami keterpurukan. Indonesia mengalami kondisi yang cukup terpuruk

dengan terjadinya inflasi. Terlihat dari nilai rupiah yang masih bertahan di kisaran Rp 8.000 – Rp 9.000 per

dollar AS. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Banyak

investor asing yang lari keluar negeri dengan alasan tidak ada jaminan keamanan di Indonesia dan

Indonesia dinilai bukan lagi tempat investasi yang menarik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi

sangat terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak tahun 1997.

Kondisi Politik

Tabel 7.1 Timeline peristiwa yang melingkupi Kurikulum 2004

Zaman Orde baru Pasca Rformasi (1999) Kurikulum 2004

1. Pemerintahan 1. Adanya Suplemen 1. Penerapan Desentralisasi

bersifat Kurikulum 1999. melaui “Otonomi Daerah”

“sentralistik 2. Mulai Dicanangkannya 2. Kurikulum Berbasis

2. Kurikulum 1994. pemerintahan Kompetensi

Desentralistik. 3. Adanya pemilihan umum


secara langsung yang pertama.

Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami

perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 1999, 2004 dan 2006. Perubahan

tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi,

dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana

pembelajaran perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di

masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan

UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam

merealisasikannya. Peristiwa pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke pemerintahan Reformasi

merupakan suatu tonggak baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia modern. Bangsa Indonesia

modern yang keberadaannya dapat ditandai oleh semangat kebersamaan yang awalnya dicanangkan

dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 menjadi suatu kenyataan politik, sosial, budaya, ekonomi, geografis

dan historis ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam

kurun waktu yang relatif singkat bangsa yang relatif muda ini mengalami berbagai dinamika: pergolakan

dan ancaman terhadap keutuhan bangsa terus berlangsung bahkan setelah pengakuan kedaulatan oleh

Belanda.

Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong

para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan

itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1999. Alasan mengapa perlu adanya suplemen kurikulum 1999

adalah terkait dengan Permasalahan konten yang terjadi sebagai akibat review kurikulum yang berkenaan

dengan fakta dan penafsiran sejarah. Pokok-pokok bahasan yang berkenaan dengan sejarah politik

Indonesia masa kini dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat serta dianggap penuh bias untuk

kepentingan tertentu diberikan suplemen materi.

Pokok-pokok bahasan tersebut adalah:

SD : G.30.S/PKI dan Integrasi Timor Timur;

SLTP : Serangan Umum 1 Maret, G.30.S/PKI, Orde Baru, dan Integrasi Timor Timur;

SLTA : Serangan Umum 1 Maret, G.30.S/PKI, Orde Baru, dan Integrasi Timor Timur.
Peran Guru dalam Kurikulum 2004

Di dalam setiap kurikulum tidak terlepas dari peran guru di dalamnya, begitu juga dengan

kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pembelajaran berbasis kompetensi

merupakan program pembelajaran yang dirancang untuk menggali potensi dan pengalaman belajar siswa

agar mampu memenuhi pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan. Pada kurikulum 2004, merupakan

kurikulum yang muncul setelah adanya beberapa revisi dari yang sebelumsebelumnya. Sekolah dan guru

berperan dalam mengembangkan kurikulum yang berlaku menjadi silabus yang bisa digunakan sebagai

acuan dalam alur kegiatan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu silabus harus terbentuk secara sistematis

untuk mencapai target pencapaian kompetensi. Keberhasilan pelaksanaan KBK dan sistem pembinaan

professional di daerah-daerah ditentukan oleh peran para guru, kepala sekolah, penilik, dan para pembina

lainnya, orang tua siswa serta masyarakat. Peran para pelaksana pendidikan di lapangan sangat penting

dalam merencanakan dan melaksakan program seperti: pembahasan masalah-masalah yang dihadapi;

pengembangan dan penyebaran gagasan-gagasan baru serta pengembangan bahan-bahan pengajaran dan

alat bantu belajar mengajar serta pemanfaatan sumber-sumber yang berlangsung di tingkat sekolah, KKG

(Kelompok Kerja Guru), PKG (Pusat Kegiatan Guru), dan wadah-wadah pembinaan lainnya.

Dalam KBK ini guru juga berperan untuk membimbing agar belajar siswa dapat dikaitkan dengan

kegiatan aktif siswa. Maksudnya adalah bahwa dalam pembelajaran guru tidak hanya menyampaian

materi yang ada di bahan ajar saja, tapi juga melakukan inovasi kepada siswa agar menuntut siswa untuk

secara aktif mengeksplorasi materi pelajaran. Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk menunjang

tujuan ini adalah memberi peluang bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan sendiri

pengetahuan dibawah bimbingan guru. Dalam artian bahwa guru berfungsi sebagai fasilitator yang

menemani dan membimbing siswa dalam pembelajaran. Guru juga harus bisa memberikan wadah bagi

siswa untuk mengembangkan keterampilan dasar mata pelajaran bagi siswa yang bersangkutan.

Contohnya adalah dengan mewadahi siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengamati

kejadian di sekitar mereka guna memperdalam ilmu yang telah didapat di sekolah. Guru juga harus

memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual siswa seperti bakat, kemampuan, minat, latar

belakang keluarga, sosialekonomi dan budaya, serta masalah khusus yang dialami siswa yang

bersangkutan. Agar siswa belajar secara aktif, guru perlu menciptakan strategi yang tepat guna,

sedemikian rupa, sehingga siswa mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Motivasi yang seperti ini

akan dapat tercipta kalau guru dapat meyakinkan siswa akan kegunaan materi pelajaran bagi kehidupan

nyata siswa. Demikian juga, guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pelajaran selalu

tampak menarik, tidak membosankan. Guru harus memiliki sensitifitas yang tinggi untuk segera

mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa. Jika hal ini terjadi, guru harus

segera mencari metodologi pembelajaran baru yang lebih tepat guna.Adapun peran guru yang dituntut

dalam KBK adalah yang pertama melakukan apersepsi pada awal pembelajaran. Yaitu menggali
pengetahuan/ingatan siswa pada materi pembelajaran yang dianggap sudah disampaikan kepada siswa.

Kegiatan yang dilakukan adalah dengan metode tanya jawab dari guru kepada siswa. Kegiatan

selanjutnya adalah melakukan explorasi, yaitu tahap memperoleh atau mencari informasi baru. Pada tahap

ini guru mulai masuk kepada materi pelajaran yang baru disampaikan kepada siswa di kelas. Selanjutnya

adalah melakukan konsolidasi pembelajaran, yaitu proses dimana siswa diarahkan untuk aktif dalam

menafsirkan dan memahami materi pelajaran baru. Pada bagian ini guru harus bisa memancing siswa

untuk memperdalam materi pelajaran yang baru disampaikan. Setelah ini tahapan yang selanjutnya

adalah pembentukan sikap dan perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan apa yang sudah

guru sampaikan dalam materi pelajaran. Dan yang terakhir yang dapat guru lakukan dalam proses

pembelajaran di kelas berdasarkan KBK yaitu melakukan penilaian formatif sebagai alat untuk mengukur

pemahaman siswa akan materi pelajaran yang disampaikan guru.

Penutup

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam dunia

pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yang mulai

menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Dalam kurikulum 2004 ini, para murid

dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTEK tanpa meninggalkan kerja sama

dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak

sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam

kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya.

mulai di berlakukan pula wajib pramuka sebagai nilai tambah ekstrakulikuler.


KURIKULUM 2006

Pendahuluan

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam

penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan yang dahulunya bersifat sentralistik berubah menjadi

pengelolaan yang bersifat desentralistik. Dari pemberlakuan UU no.32 thn.2004 tersebut pendidikan pun

bersifat desentralistik, dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulum.

Sekolah diberikan wewenang untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan,

seperti dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum di sekolah. Pengembangan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk

menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Prinsip pengembangan yang dilakukan pada KTSP

yaitu mengacu pada Standar Isi (SI) dan Strandar Kompetensi (SKL). Kurikulum yang dikembangkan

harus berdasarkan pada prinsip bahwa peserta didik memiliki potensi sentral untuk mengembangkan

kompetensi agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam KTSP ini juga

memperhatikan keragaman peserta didik yang dengan tidak membedakan agama, suku, ras, adat, status

sosial, ekonomi dan gender. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, pengembangan

yang dilakukan oleh KTSP yaitu dengan tanggap terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sehingga

peserta didik dapat mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan tersebut. Pendidikan yang

disajikan pun relevan dengan kebutuhan kehidupan sehingga dapat berguna bagi kehidupan sehari-hari.

dan yang terpenting yaitu dalam KTSP ini memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional dan

kepentingan daerah.

Konteks Sosial, Politik, dan Ekonomi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum di Indonesia yang

disarankan untuk dijadikan rujukan oleh para pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan. KTSP

merupakan kurikulum berorientasi pada pencapaian kompetensi, oleh sebab itu kurikulum ini merupakan

penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum 2004. Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) ini lahir dari semangat otonomi daerah, di mana urusan pendidikan tidak

semuanya tanggungjawab pusat, akan tetapi sebagian menjadi tanggungjawab daerah, oleh sebab itu

dilihat dari pola atau model pengembangannya KTSP merupakan salah satu model kurikulum yang

bersifat desentralistik. Pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari persoalan dana dan biaya. Dengan

anggaran yang memadai diharapkan bisa berkorelasi dengan mutu pendidikan, serta tidak terlalu banyak

membebani masyarakat. Dari sini, lahir kebijakan BOS Pendidikan, Program Bidikmisi dan berbagai

bantuan pendanaan dan finansial lainnya, baik yang ditujukan kepada orang-perorang maupun institusi

pendidikan.Dengan lahirnya PP No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen,
Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, maka kepastian hukum

tentang pemberian tunjangan profesi bagi guru menjadi jelas, yang pada waktu itu sempat beredar isu

bahwa pemberian tunjangan profesi akan dihentikan. SBY berusaha memantapkan politik luar negeri

Indonesia dengan cara meningkatkan kerjasama internasional dan meningkatkan kualitas diplomasi

Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Baru-baru ini Indonesia berani

mengambil sikap sebagai satu-satunya negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang bersikap

abstain ketika semua negara lainnya memberikan dukungan untuk memberi sanksi pada Iran. SBY telah

berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama

dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan

global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY

diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal

tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yanKonteks

Sosial sedang bermasalah.

KTSP 2006

Tujuan utama reformasi pemerintahan daerah menurut UU ini adalah untuk mempercepat

kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat;

meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi pemerintahan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususannya; meningkatkan efisiensi dan efektivitas dengan memperhatikan

hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintah daerah, potensi daerah dan globalisasi.

Menurut Bhenyamin Hoessein UU Nomor 32 Tahun 2004 berusaha mempertemukan semangat lokal

democracy model dengan efficiency model. Presiden SBY berhasil meredam berbagai konflik di Ambon,

Sampit dan juga di Aceh. Meski konflik di beberapa daerah telah diredam, namun kembali muncul

berbagai konflik lagi seperti di Makassar. Bahkan baru-baru ini terjadi tawuran antarSMA di Jakarta yang

membawa korban para pejuang jurnalistik. Namun, pada masa pemerintahan ini kehidupan masyarakat

mulai menuju kepada kehidupan individualis yang mengutamakan kepentingan individu. Hal ini dapat

dilihat dengan kurangnya sosialisasi antarwarga di perkotaan. Arus urbanisasi juga semakin marak,

namun pemerintah tidak lagi mencanangkan transmigrasi.

Konteks Politik KTSP 2006

Politik di zaman pemerintahan SBY dapat terlihat dalam hal otonomi daerah dan desentralisasi

yang sudah digadang-gadang sejak awal pemerintahan era reformasi. Tujuan utama reformasi

pemerintahan daerah lewat kebijakan desentralisasi tahun 1999 adalah disatu pihak membebaskan

pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga lebih

mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis dan memahami

berbagai kecenderungan global yang sangat dinamis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan
pemerintah kepada daerah, kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga

kapabilitas daerah dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Agar pemerintah

daerah melaksanakan kewenangannya dengan bertanggung jawab, pemerintah pusat melakukan

supervisi, mengawasi, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.KTSP lahir

dari semangat otonomi daerah, di mana urusan pendidikan tidak semuanya tanggung jawab pusat, akan

tetapi menjadi tanggung jawab daerah. Oleh sebab itu, dari pola atau model pengembangannya KTSP

merupakan salah satu model kurikulum yang bersifat desentralistik.

Konteks Ekonomi KTSP 2006

Kondisi perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang

sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi

dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009. Stabilitas makro ekonomi dapat terjaga

dengan baik dengan kurs rupiah yang cenderung menguat, sehingga inflasi dapat terus ditekan dan suku

bunga perbankan diturunkan.142 Hal ini mengartikan bahwa sudah adanya perkembangan perekonomian

di Indonesia. Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan

pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara. Perkembangan

yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia

mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan

makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun

Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki

pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Hubungannya dengan KTSP adalah adanya desentralisasi pendidikan dalam kurikulum yaitu kurikulum

ditentukan oleh otonomi daerah masing - masing bukan lagi dari pusat. Sehingga dana pendidikan dari

pemerintah pun langsung disalurkan ke APBD daerah masing - masing sehingga pemakaian dana akan

semakin optimal karena kebutuhan dana pendidikan berbeda disetiap daerah. Kurikulum 2006 (KTSP)

merupakan kurikulum produk Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang lahir di era reformasi

dalam kebijakannya di bidang pendidikan. Kurikulum ini merupakan penyempurnaan kurikulum 2004

(KBK) yang nyatanya prematur, sebab KBK hanya berjalan 2 tahun saja (2004-2006) dan gagap

pelaksanaannya di satuan pendidikan.

KTSP Sebagai Paradigma Baru

Dalam rangka mempersiapkan lulusan pendidikan memasuki era globalisasi yang penuh dengan

tantangan dan ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata di

lapangan.Untuk kepentingan tersebut, pemerintah memprogramkan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) sebagai tindak lanjut dari pembaruan Kurikulum Berbasis Kompetensi.Kurikulum ini
diberlakukan mulai tahun 2006/2007. Dalam kurikulum ini pemerintah hanya sebagai pengembang

kompetensi standar isi dan kelulusan, selanjutnya sekolah bebas menyusun kurikulum sesuai dengan

keadaan sekolah dan siswa didik. Dalam KTSP. pendekatan belajar berbasis materi, jam belajar dan

struktur program. . KTSP ini merupakan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk

mengembangkan berbagai ranah pendidikan (kognitif, afektif dan psikomotorik). KTSP merupakan

strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif dan berprestasi.

KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum yang memberikan otonomi luas pada setiap

satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan belajarmengajar di sekolah. ya

sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pemberdayaan sekolah dan

satuan pendidikan dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap

tanggap pemerintah terhadap masyarakat juga merupakan sarana peningkatan kualitas, efisiensi dan

pemerataan pendidikan.Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah,

serta komite sekolah dan dewan pendidikan.

Ujian Nasional (UN)

Dalam KTSP, lahirlah suatu fase penting yang menjadi pro dan kontra serta menjadi momok

menakutkan bagi peserta didik, yaitu diberlakukannya Ujian Nasional (UN) sebagai standar kelulusan

siswa untuk naik di jenjang berikutnya.Ujian Nasional ini merupakan produk dari kurikulum KTSP yang

masih berlaku hingga sekarang yang standarnya sudah mulai longgar. Adanya UN menandakan bahwa

kurikulum 2006 ini lebih mengarahkan siswa untuk lebih cerdas dalam aspek kognitif, karena lebih

menekankan kepada substansi pengetahuan, isi dan materi pelajaran daripada afektif dan psikomotorik.

Sebelum tahun 1970 ujian negara. Kelulusan dikontrol secara ketat pihak pemerintah, sehingga ada kesan

ujian negara tak sejalan dengan rasa keadilan. Tahun 1970 – 1982 ujian sekolah. Penentu kelulusan pihak

sekolah, yang berdampak pada jor-joran nilai. Tahun 1983 Tahun 1983 – 2002; ebtanas ebtanas sebagai

kombinasi ujian negara sebagai kombinasi ujian negara dengan ujian sekolah, dengan menggunakan

rumus NA=(P+Q+R)/3. Sistem ini tak bisa dipakai menentukan kualitas hasil belajar anak dan seperti

macan ompong. Tahun 2003 – sekarang (UN), dengan salah satu fungsinya sebagai penentu kelulusan.

Sruktur dan Muatan Kurikulum Tahun 2006

Struktur KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam Standar Isi, yang

dikembangkan dari kelompok (1) mata pelajaran agama dan akhlak mulia, ruang lingkup kelompok mata

pelajaran ini dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan yang maha Esa serta berakhlak mulia. (2) Kewarganegaraan dan kepribadian, ruang

lingkup kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan peserta

didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. jemukan bangsa dan sikap serta perilaku anti korupsi,
kolusi dan nepotisme. (3) Ilmu pengetahuan dan teknologi, ruang lingkup mata pelajaran ini dimaksudkan

untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan

kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatiff, dan mandiri. (4) Estetika, ruang lingkup

mata pelajaran ini dimasudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan

kemampuan mengapresiasikan keindahan dan harmoni. (5) Jasmani, olahraga dan kesehatan, mata

pelajaran ini dimasudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran

hidup sehat.

Adapun muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang cakupan dan kedalamannya

merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dengan memisahkan antropologi dan

sosiologi Pada satuan pendidikan SMA, dan materi muatan lokal dihidupkan kembali yang pada awalnya

di Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) hanya sampai SMP pada Kurikulum ini di lanjutkan hingga

pada satuan pendidikan SMA dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum. Struktur

kurikulum SD/MI ada 8 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Pada struktur kurikulum

SMP/MTs memiliki 10 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Pada struktur Kurikulum

satuan pendidikan SMA/MA untuk kelas X memiliki 16 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan

diri. Namun ketika memasuki kelas XI dan XII terdapat penjurusan program IPA, IPS, dan bahasa dan

untuk Madrasa Aliyah (MA) terdapat program keagamaan. Semua penjurusan itu dapat dipilih sesuai

dengan minat siswa, namun tetap memperhatikan nilai akhir, terutama pada program IPA yang

mengharuskan memiliki nilai akhir yang tinggi.

Model Pembelajaran

Model pembelajaran yang digunakan pada kurikulum 2006 (KTSP), KTSP adalah kurikulum yang

berorientasi pada pengembangan individu. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip pembelajaran dalam

KTSP yang menekankan pada aktivits siswa untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran

melalui berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan misalnya melalui CTL

(Contextual Teaching and Learning). Model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)

merupakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik secara

penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan nya dengan dengan situasi

kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari

proses belajar dalam kehidupan sehari-hari. Model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)

mampu memposisikan peserta didik sebagai subjek belajar, sehingga peserta didik berperan aktif dalam

proses pembelajaran. Pembelajaran contextual teaching and learning CTL (Contextual Teaching and

Learning) dapat melatih peserta didik belajar melalui kegiatan kelompok, berdiskusi dan lain-lainnya,

serta memanfaatkan berbagai sumber dalam proses pembelajaran.

Pelaksanaan Pembelajaran KTSP 2006


1. Pra Tes (tes awal). Fungsi pre tes antara lain untuk menyiapkan peserta didik dalam proses belajar,

untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik, untuk mengetahui kemampuan awal yang telah

dimiliki peserta didik serta untuk mengetahui darimana seharusnya proses pembelajaran dimulai.

2. Pembentukan kompetensi merupakan kegiatan dari pelaksanaan proses pembelajaran, yakni

bagaimana kompetensi dibentuk peserta didik, dan bagaimana tujuan-tujuan pembelajaran

direalisasikan.

3. Post Test Pada umumnya pembelajaran diakhiri dengan post tes. Fungsi post tes antara lain untuk

mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik secara

individu maupun kelompok, untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai

peserta didik serta kompetensi dan tujuan-tujan yang belum dikuasainya, untuk mengetahui peserta

didik yang perlu mengikuti kegiatan remedial, dan yang perlu melakukan pengayaan serta untuk

mengetahui tingkat kesulitan belajar yang dihadapi siswa, sebagai bahan acuan untuk melakukan

perbaikan terhadap kegiatan pembelajaran dan pembentukan kompetensi yang dilaksanakan baik

terhadap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluas

Evaluasi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006

1. Penilaian kelas, dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir.Penilaian kelas

dilakukan oleh guru untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiaknosa

kesulitan belajar, memberikan umpan balik untuk perbaikan prosespembelajaran, dan

menentukan kenaikan kelas.

2. Tes kemampuan dasar dilakukan untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan

berhitung yang diberlakukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran (program

remedial).

Peran Guru dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006

KTSP 2006 menuntut agar tenaga pendidikan memiliki kemandirian dalam implementasi

kurikulum di sekolah-sekolah. Jika kita melihat dari implementasi guru sendiri disekolah dalam

pengajaran di kelas guru lebih bertindak sebagai pelaksana teknis. Hal ini memberikan peluang bagi guru

untuk dapat mengoptimalkan efektivitas pembelajaran dikelas dalam rangka meningkatkan kualitas

pendidikan melalui kompetensi guru serta optimalisasi guru dalam proses belajar mengajar. Terdapat

empat kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu kompetensi pedagogik,

kepribadian, sosial, profesional. Pertama, kompetensi pedagogik. Guru dalam KTSP 2006 dituntut untuk

memiliki kemandirian, ini dijadikan pedoman dalam implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan

untuk mencapai prestasi dalam implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan. Implementasi KTSP

menuntut kemandirian guru untuk memahami karakteristik peserta didik.

Penutup
Sekolah, kurikulum, dan masyarakat merupakan tiga komponen penting dan tidak dapat

dipisahkan. Sekolah merupakan institusi penting dalam pendidikan, sementara itu kurikulum merupakan

jalan keberlangsungan institusi sekolah. KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebuah

kurikulum oprasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan

di Indonesia. diserakan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendir. KTSP terdiri

dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan

pendidikan, kalender pendidikan, silabus. Pengembangan implementasi KTSP pada prinsipnya dilakukan

pada setiap satuan pendidikan (sekolah). Pengembangan KTSP harus mengacu pada standar isi dan

satandar kompetensi lulusan dengan berpedoman kepada panduan penyusunan kurikulum yang disusun

oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/dewan pendidikan.


KURIKULUM 2013

Pendahuluan

Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum, kurikulum pertama Indonesia

adalah Rencana Pelajaran 1947 ini dirubah menjadi Rencana Pelajaran 1950. Selanjutnya diganti dengan

Rencana Pelajaran 1958. Rencana pelajaran ini kemudian direvisi menjadi Rencana Pelajaran 1964. Setelah

itu rencana pelajaran ini diganti menjadi Kurikulum 1968. Kemudian, kurikulum ini diubah lagi menjadi

Kurikulum 1975. Selanjutnya, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan terakhir Kurikulum 2013. Kurikulum

memang harus dikembangkan dan berubah. Perubahan kurikulum selalu mengarah pada perbaikan

sistem pendidikan. Perubahan tersebut dilakukan karena dianggap belum sesuai dengan harapan yang

diinginkan sehingga perlu adanya revitalisasi kurikulum. Perkembangan kurikulum ini mendidik generasi

yang akan hidup di zaman yang berbeda dengan sebelumnya, dan seiring berjalanya kurikulum ini supaya

bisa mendewasakan generasi selanjutnya melalui pendidikan yang tidak usang. Dalam suatu sistem

pendidikan, kurikulum itu sifatnya dinamis serta harus selalu dilakukan perubahan dan pengembangan

agar dapat mengikuti perkembangan dan tantangan zaman. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak

generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk

mengantisipasi perkembangan masa depan. Titik beratnya, bertujuan untuk mendorong peserta didik atau

siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan

(mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi

pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan

kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan itu

diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka

akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi

berbagai persoalan dan tantangan di zamannya, dan memasuki masa depan yang lebih baik.

Konteks Sosial Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 merupakan hasil penyempurnaan dan pembedahan dari semua aspek kurikulum

yang ada. Maka dari kekurangan kurikulum 2004 dan 2006 dirapikan, digabungkan dan ditambahkan ke

dalam kurikulum 2013. Dalam kurikulum 2013 tidak berfokus pada kompetensi akademis saja, tetapi

mencangkup pula aspek karakter bangsa dan keterampilan siswa. Pengembangan Kurikulum 2013 sudah

sesuai dengan prinsip pengembangan kurikulum, meliputi prinsip relevansi, fleksibilitas, kontinuitas,

efektifitas serta efisiensi. Kurikulum 2013 diharapkan mampu memperbaiki akhlak serta mencetak Sumber

Daya Manusia (SDM) yang mampu berkompetisi dan berkompetensi mengikuti arus perkembangan

globalisasi guna mempertahankan kelangsungan hidupnya. Upaya perbaikan tersebut akan berlangsung

dengan baik apabila calon pendidik juga memahami maksud perubahan kurikulum KTSP menjadi
kurikulum 2013. Pemahaman implementasi kurikulum 2013 adalah bagian dari pemenuhan kompetensi

pedagogik serta kompetensi profesional dari calon pendidik.

Konteks Politik Kurikulum 2013

Pengembangan Kurikulum 2013 tidak lepas dari perubahan politik. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tentang Standar Nasional Pendidikan melibatkan banyak pihak, mulai dari Wakil Presiden, para birokrat

Kementrian Pendidikan, dan Kebudayaan serta kementrian lain yang terkait, akademisi, budayawan,

agamawan, ilmuan, pengembangan kurikulum dan guru. Dengan demikian banyak yang menaruh

harapan dengan kehadiran kurikulum 2013 memang selayaknya ada sebagai tuntutan zaman dan

perubahan – perubahan yang memang perlu dilakukan. Kurikulum 2013 sebagai kebijakan menempatkan

pada proses formulasi, melibatkan masyarakat untuk melakukan uji publik, dimana pemerintah tidak

langsung begitu saja menerapkan kebijakan baru, tetapi sebelum dilaksanakan melibatkan seluruh

komponen yang relevan turut serta memberi masukan dan penyempurnaan. Dalam pengembangannya

Kurikulum 2013 mengalami beberapa fase penting, seperti perencanaan pembuatan Kurikulum 2013 di

tahun 2012 yang menggantikan kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum 2006 atau KTSP. Dan jika dilihat

dari segi politik adanya pergantian Menteri Pendidikan, Pergantian Kabinet dari Kabinet yang dipimpin

oleh SBY menjadi Kabinet yang dipimpin Jokowi. Tak hanya itu dalam perjalanannya Kurikulum 2013

mengalami pembekuan dikarenakan banyaknya sekolah ataupun pendidik yang belum siap untuk

menerapkan Kurikulum 2013 dalam pembelajarannya. Setelah beberapa bulan pembekuan, Kurikulum

2013 ini diterapkan kembali tetapi hanya di sekolah-sekolah yang sudah siap dari segala aspek, seperti dari

aspek pendidik maupun peserta didiknya. Sehingga dalam penerapannya Kurikulum 2013 banyak

mengalami ketidakstabilan. Fase-fase perkembangan tersebut dapat dilihat dalam diagram garis dibawah

ini.

Konteks Ekonomi Kurikulum 2013

Dalam Kurikulum 2013 generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur, dan

mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

Pergantian Kurikulum 2013 disebabkan bukan hanya karena semangat zaman yang berubah, melainkan

kepemimpinan politik yang kemudian acuannya adalah kepentingan ekonomi global. Perubahan

kurikulum dilakukan untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah agar peserta didik mampu

bersaing di masa depan. Implementasi kurikulum 2013 ini merupakan persiapan sumber daya manusia

indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Dalam Kurikulum 2013 orientasi

kurikulum tidak lagi membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial

yang diperlukan semua warga negara untuk berperan serta dalam membangun negara pada masa

mendatang dan untuk bersaing pada negara lain yang mamasuki Indonesia dengan adanya pasar bebas.
Struktur dan Isi Kurikulum

Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata

pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, dostribusi konten/mata pelajaran dalam

semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa.

Struktur kurikulum adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar

dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran. Lebih lanjut, struktur kurikulum

menggambarkan posisi belajar seorang siswa yaitu apakah mereka harus menyelesaikan seluruh mata

pelajaran yang tercantum dalam struktur ataukah kurikulum memberi kesempatan kepada siswa untuk

menentukan berbagai pilihan.

Isi Kurikulum SMA/MA terdiri atas:

1. Kelompok mata pelajaran wajib yaitu kelompok A dan kelompok B. Kelompok A adalah mata

pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih kepada aspek kognitif dan afektif sedangkan

kelompok B adalah mata pelajaran yang lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor.

2. Kelompok Mata Pelajaran Peminatan terdiri atas 3 (tiga) kelompok yaitu Peminatan Matematika dan

Sains, Peminatan Sosial, dan Peminatan Bahasa.

3. Mata Pelajaran Pilihan Lintas Minat yaitu mata pelajaran yang dapat diambil oleh peserta didik di luar

Kelompok Mata Pelajaran Peminatan yang dipilihnya tetapi masih dalam Kelompok Peminatan

lainnya. Misalnya bagi peserta didik yang memilih Kelompok Peminatan Bahasa dapat memilih mata

pelajaran dari Kelompok Peminatan Sosial dan/atau Kelompok Peminatan Matematika dan Sains.

4. Mata Pelajaran Pendalaman dimaksudkan untuk mempelajari salah satu mata pelajaran dalam

kelompok Peminatan untuk persiapan ke perguruan tinggi.

5. Mata Pelajaran Pilihan Lintas Minat dan Mata Pelajaran Pendalaman bersifat opsional, dapat dipilih

keduanya atau salah satu.

Kelompok Mata Pelajaran

Wajib Kelompok Mata Pelajaran Wajib merupakan bagian dari kurikulum pendidikan menengah

yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang bangsa, bahasa, sikap sebagai bangsa, dan

kemampuan penting untuk mengembangkan logika dan kehidupan pribadi peserta didik, masyarakat dan

bangsa, pengenalan lingkungan fisik dan alam, kebugaran jasmani, serta seni budaya daerah dan nasional.

Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013

Dalam kurikulum dijelaskan tentang model pembelajaran, dalam kurikulum 2013 model

kurikulum harus berbasis kompetensi artinya seperangkat pengaturan tentang kompetensi dan hasil

belajar yang harus yang harus dicapai siswa, prosedur penilaian, kegiatan belajar dan pembelajaran, serta

pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada pencapaian hasil yang dirumuskan dalam
bentuk kompetensi. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 103

tahun 2014 menteri pendidikan dan kebudayaan menyarankan tentang Pembelajaran pada pendidikan

dasar dan menengah disebutkan bahwa pada implementasi Kurikulum 2013 sangat disarankan

menggunakan pendekatan saintifik dengan model-model pembelajaran Inquiry Based Learning, Discovery

Learning, Project Based Learning dan Problem Based Learning.

Proses Pembelajaran

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi artinya didalamnya

dirumuskan komponen yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah mengikuti pembelajaran, mulai dari

kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam implementasi kurikulum 2013 format RPP

mengalami dua kali perubahan, format pertama berlandaskan pada Permendikbud RI No.87A Tahun 2013

sedangkan format terbaru berlandaskan pada Permendikbud No. 57 Tahun 2014. Pada Permendikbud No.

57 Tahun 2014 ada beberapa bagian yang dihapus yaitu tujuan pembelajaran, model, dan metode

pembelajaran. Selain itu penulisan kompetensi dasar dan indikator kembali ditulis terpisah.

Perubahanperubahan ini sesungguhnya untuk mempermudah dan memperbaiki apa yang ada dan

diharapkan dengan perubahan ini dapat membuat proses pembelajaran berlangsung dengan lebih efisien

dan diharapkan dapat mewujudan standar kelulusan yang baik juga. Dalam kurikulum 2013 guru

berperan sebagai fasilitator dan murid-murid yang mengembangkan kemampuannya sendiri dan

diarahkan oleh guru. Dalam kurikulum 2013 juga ada rasional penambahan jam pelajaran hal ini

dimaksudkan agar siswa lebih aktif dan diharapkan dapat membuat output siswa lebih cerdas hal ini

dikerenakan Indonesia memiliki jam pelajaran relatif lebih singkat dibandingkan pembelajaran di Firlandia

yang negara tingkat pendidikannya berada pada tingkat satu dunia.

Standar Kompetensi Kelulusan

Orientasi kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetisi

sikap (attitide), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge).Ruang Lingkup Standar Kompetensi

Lulusan terdiri atas kriteria kualifikasi kemampuan peserta didik yang diharapkan dapat dicapai setelah

menyelesaikan masa belajarnya di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Untuk mengetahui ketercapaian dan kesesuaian antara Standar Kompetensi Lulusan dan lulusan dari

masing-masing satuan pendidikan dan kurikulum yang digunakan pada satuan pendidikan tertentu perlu

dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan dalam setiap periode. Hasil yang

diperoleh dari monitoring dan evaluasi digunakan sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan Standar

Kompetensi Lulusan di masa yang akan datang.

Peran Guru dalam Kurikulum


Peran guru-guru dalam proses pembelajaran kurikulum yang pertama adalah guru sebagai

fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses

pembelajaran. Agar dapat melaksanakan peran sebagai falititator, ada beberapa hal yang harus dipahami

guru, pertama, guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-

masing media tersebut. Kedua, guru perlu mempunyai ketrampilan dalam merancang suatu media.

Kemampuan merancang media merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang guru

profesional agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Ketiga, guru dituntut untuk mampu

mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan sebagai sumber belajar, termasuk

memanfaatkan teknologi informasi. Keempat, sebagai fasilitator guru dituntut agar mempunyai

kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Hal ini sangat penting, kemampuan

berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan

motivasi belajar mereka.

Guru dalam Pelaksanaan Pendidikan Karakter,pertama, guru sebagai pendidik atau educator

mengajarkan sikap disiplin dengan cara datang tepat waktu, mengucapkan salam untuk menanamkan

sikap religius, santun dan peduli, mengajak siswa berdo’a, mengajarkan sikap religius dan peduli dengan

cara mendo’akan peserta didik yang tidak hadir. Kedua, guru sebagai administrator dan manager

mengajarkan sikap disiplin dan rajin dengan cara mengecek kehadiran siswa lewat absen. Ketiga, sebagai

manager memastikan bahwa setiap siswa datang tepat waktu, menegur peserta didik yang datang

terlambat dengan bahasa yang santun, dan menjelaskan tujuan dan kompetensi yang hendak dicapai dan

menyampaikan cakupan materi beserta menjelaskannya. Keempat, guru sebagai pelatih menanampakan

sikap berfikir kritis dengan cara mengajukan pertanyaan yang mengaitkan materi sebelumnya dengan

materi yang akan diajarkan. Tugas utama guru ialah mengajar dan mendidik siswa di lingkungan sekolah

agar semakin menjadi mandiri.

Penutup

Struktur kurikulum merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar

dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran. Dari kurikulum sebelumnya yaitu KTSP,

ternyata memiliki perbedaan dengan kurikulum 2013. Salah satunya yaitu, jika KTSP guru bukan satu-

satunya sumber belajar tetapi sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, sedangkan

kurikulum 2013 guru hanya mengarahkan lalu pembelajaran berpusat pada siswa dengan

memberdayakan sifat ingin tahu yang dimiliki siswa.

KURIKULUM MERDEKA BELAJAR

Dalam gambaran penerapan kurikulum merdeka, bentuk struktur kurikulum Merdeka terdiri

dari atas kegiatan intrakurikuler, projek penguatan profil pelajar Pancasila, dan ekstrakurikuler.

Dimana, alokasi jam pelajaran pada struktur kurikulum dituliskan secara total dalam satu tahun dan
dilengkapi dengan saran alokasi jam pelajaran jika disampaikan secara reguler atau mingguan.Secara

umum, sebagaimana dikutip laman Kemendikbudristek, tidak ada perubahan pada total jam

pelajaran. Kegiatan pembelajaran, yaitu pembelajaranintrakurikuler dan projek penguatan profil pelajar

Pancasila.

Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana

konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan

menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga

pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Projek untuk

menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang

ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran

tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran.

Penerapan kurikulum Merdeka Belajar yaitu pentingnya perumusan kurikulum yang maksimal

karena melibatkan mitra untuk mencapai hasil pembelajaran di satuan Pendidikan (SMP). Dengan

menerapkan kurikulum merdekaakan lebih relevan dan interaktif dimana pembelajaran berbasis proyek

akan memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk secara aktif menggali isu-isu yang factual.

Sekolah diberi kebebasan untuk memilih tiga pilihan dalam mengimplementasikan kurikulum merdeka .

Pertama, menerapkan sebagian serta prinsip kurikulum merdeka dengan tidak mengganti kurikulum

sekolah yang digunakan. Kedua, menggunakan kurikulum merdeka dengan memakai sarana

pembelajaran yang sudah disiapkan. Ketiga, menggunakan kurikulum merdeka dengan mengembangkan

sendiri perangkat ajar. Keunggulan dari adanya kurikulum merdeka pertama, lebih sederhana dan

mendalam. Karena fokus pada materi yang penting dan pengembangan kompetensi peserta didik pada

fase perkembangannya.

Keberadaan sarana dan prasarana juga sangat menunjang terhadap keberhasilan implementasi

penerapan kurikulummerdeka di sekolah penggerak. Sarana dan prasarana yang lengkap sangat

menunjang terhadap pelaksanaan kurikulum merdeka di sekolah penggerak terutama dalam

ketersediaan alat – alat IT. Sekolah penggerak mendapatkan bantuan dana untuk melengkapi ketersediaan

sarana prasarana yang menunjang pembelajaran selama mengikuti program sekolah penggerak. Untuk

buku-buku dalam kurikulum merdeka sudah disiapkan oleh kemendikbud guru tinggal

mengembangkannya.

Komponen Merdeka Belajar

Komponen Kurikulum diibaratkan sebagai anggota tubuh yang ditidak dapat dipisahkan serta akan

selalu berkaitan. Komponen dasar kurikulum adalah tujuan yang menjadi sasaran utama perlu atau

tidaknya sebuah proses pendidikan. Fungsinya menjadi acuan bagi komponen yang lain. Menurut Standar

Nasional Pendidikan, tujuan kurikulum dinamakan Standar Kompetensi Lulus. Komponen kurikulum
selanjutnya adalah isi atau materi yang berfungsi untuk mewujudkan tujuan kurikulum. Pada standar

nasional pendidikan, isi atau materi ini dinamakan Standar isi .

Komponen selanjutnya yang termasuk komponen kurikulum merdeka adalah proses atau pengalaman

yang mana ini merupakan tindakan untuk mencapai tujuan. Proses atau pengalaman memunculkan

konsep software dan hardware. Pada standar nasional pendidikan, proses atau pengalaman diatur dengan

standar proses. Komponen selanjutnya adalah evaluasi, sederhananya evaluasi berfungsi untuk mengukur

ketercapaian tujuan serta efektivitas proses pendidikan.

Model Pengembangan Kurikulum Merdeka Belajar

Model pengembangan kurikulum adalah model yang digunakan untuk mrngembangkan suatu

kurikulum, dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan

kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau

sekolah. Nadler (1988) menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang dapat menolong pengguna

untuk mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh. Manfaat model adalah

model dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia, model dapat mengintegrasikan

pengetahuan hasil observasi dan penelitian,) model dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat

kompleks, dan model dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan.

Pemilihan model pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara menyesuaikan sistem

pendidikan yang dianut dan model konsep yang digunakan. Terdapat banyak model pengembangan

kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli. Salah satunya model tyler yang merupakan model paling

dikenal bagi perkembangan kurikulum dengan perhatian khusus pada fase perencanaan, dalam bukunya

basic principles of curriculum and instruction. The Tyler Rationale, suatu proses pemilihan tujuan

pendidikan, dikenal luas dan dipraktekkan dalam lingkungan kurikulum. Selanjutnya adalah model

pengembangan Taba,model pengembangan kurikulum Taba ini bukan hanya untu mengembangkan

kebutuhan dari peserta didik semata, melainkan juga mempertimbangkan bahwa sekolah sebagai

organisasi pengalaman belajar. Selain itu hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum

menurut Taba adalah tujuan yang hendak dicapai karena nantinya akan berkaitan dengan proses dan

bentuk evaluasi yang digunakan.


DAFTAR PUSTAKA

Simatupang.H., M.P.Simantutak, L.Sinaga, dan A.Hardinata. Telaah Kurikulum SMP di Indonesia. Surabaya :

Pustaka Media Guru.

Hidayat.,R, A.Siswanto, dan B.N.Bangun.(2017). Dinamika Perkembangan Kurikulum di ndonesia Rentjana

Pembelajaran 1947 Hingga Kurikulum 2013. Jakarata: Labsos

Hamalik, O. (2007). Dasar- Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hasan,B. (2017). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Yogyakarta : Pustaka Nurja

Imron, M. (2018). Pengembangan Kurikulum 1994. INTAJUNA: Jurnal Hasil Pemikiran, Penelitian, Produk

Bidang Pendidikan Bahasa Arab,2 (1), 18-24.

Iramdan., dan L.Manurung. (2019). Sejarah kurikulum Indonesia. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 5(2):88-

95.

Mudlofir, A. (2012). Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dan Bahan Ajar Dalam

Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sanjaya.W. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT.Prenada Group


BAB 9

LKPD BERBASIS SIMULASI KOMPUTER

Elfira Nasution dan Kharisty Afriani

1. PENDAHULUAN
Beberapa materi dalam mata pelajaran IPA umumnya menggunakan istilah-istilah ilmiah yang jarang

diketahui oleh siswa sehingga sulit dipahami oleh siswa. Permasalahan ini berdampak pada penurunan nilai

siswa. Penggunaan bahasa yang susah dihafal serta keterbatasan dari alokasi waktu membuat siswa kesulitan

memahaminya. Bahasa dan istilah tersebut seharusnya sudah dikenalkan pada siswa sejak SMP dengan

menggunakan bahasa maupun suatu istilah yang mudah dipahami oleh siswa. Salah satu contoh nya adalah

penamaan bahasa latin dari suatu hewan seperti (Dendrobium sp.) yang biasa digunakan untuk menunjukkan

nama jenis anggrek ber spesies dendro. Selain itu kesulitan memahami dari diri sendiri dan lingkungan yang

kurang mendukung kondisi siswa, juga merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala kesulitan belajar

istilah tersebut. Selain itu permasalahan tersebut juga berdampak besar kepada siswa yang menjadikan mereka

mengalami penurunan dalam pembelajaran.

Saat ini siswa juga mengalami penurunan keaktifan dalam kegiatan pembelajaran. Hal itu disebabkan oleh

metode pembelajaran yang hanya menggunakan guru dalam urusan keaktifan dalam kegiatan pembelajaran.

Metode pembelajaran ini membuat siswa hanya mendengarkan penjelasan guru didepan dan memicu ketidak

aktifan siswa dalam proses pembelajaran. Padahal, kegiatan pembelajaran akan lebih efektif apabila siswa ikut

berperan dalam berpendapat mengenai materi yang dibahas dalam proses pembelajaran. Selain faktor keaktifan

guru juga dituntut untuk memahami siswa dalam membimbing dan menjadikan siswa sebagai subjek bukan

objek dari pembelajaran.

Terdapat empat keterampilan pada pembelajaran IPA abad 21 dimana guru dituntut harus mampu

menyampaikan serta mengimplementasikannya. Empat keterampilan tersebut terdiri dari kreatifitas, kolaborasi,

komunikasi dan berpikir secara kritis. Sesuai dengan pembelajaran tersebut, siswa ditekankan pada

keterampilan yang tidak hanya mengandalkan keterampilan soft skill tetapi juga hard skill. Selain skill, siswa

juga dituntut untuk memiliki peran diera globalisasi. Pembelajaran pada abad 21 tersebut juga menjadikan guru

serta siswa untuk memiliki kecakapan dalam hal bersosialisasi dimana komunikasi berperan besar pada abad ini.

Pemikiran kritis juga diperlukan untuk melakukan problem solving yang dimana siswa dituntut untuk bisa

memecahkan suatu masalah dan membuat mereka bisa menghadapi permasalahan global maupun masalah

yang akan mendatang. Kolaborasi juga berdampak pada siswa ataupun masa depan yang dapat menguntungkan

siswa seperti pertukaran pelajar di dalam maupun luar negri. Kemudian ditunjang dengan kreativitas untuk

menemukan keunikan pada suatu karya sehingga pengembangan karya tersebut menjadi lebih menarik dan

tidak sekedar karya biasa. Sehingga kemampuan tersebut harus dimiliki oleh siswa sedangkan guru menjadi

pendamping untuk pengarah serta membuat motivasi kepada siswa untuk semangat dalam belajar (Pratama,

2021).
Pada dasarnya kemampuan berpikir kritis siswa sangatlah rendah karena adanya distorsi atau kesalahan

dalam pengonsepan suatu ilmu (Yulianti dkk., 2021). Hal ini menjadikan guru untuk melakukan pembelajaran

secara terbimbing dengan pendekatan inkuiri kepada siswa menggunakan aplikasi PhET. Aplikasi ini sempat

menjadi salah satu penunjang praktikum mahasiswa seperti magnet pada saat pembelajaran daring pada tahun

2020 akibat covid-19. Aplikasi ini memiliki grafis yang cukup baik dan dapat digunakan sebagai penunjang

praktikum di SMA atau SMP yang memiliki keterbatasan alat praktikum.

2. Pembahasan LKPD

2.1 Pengertian LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik)


IPA atau Sains membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada

hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia Hakikat dari pembelajaran IPA ada empat yaitu

produk, proses, sikap dan teknologi. Sehingga dalam proses belajar IPA, tidak mungkin peserta didik hanya

memperoleh pengetahuan saja (produk) melainkan peserta didik harus terlibat aktif dalam pembelajaran seperti

menemukan sesuatu pengetahuan, membuktikan pengetahuan tersebut melalui suatu praktikum atau percobaan

dan menyimpulkannya. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan literatur review (study

literatur) tentang pentingnya mengembangkan Lembar Kerja Peserta Didik berorientasi lingkungan dalam mata

pelajaran IPA dikarenakan kebanyakan guru enggan atau tidak membuat Lembar Kerja Peserta Didik. Guru

hanya memanfaatkan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) yang ada dalam buku (text book). Padahal Lembar

Kerja Peserta Didik (LKPD) sangat penting bagi guru agar membuat peserta didik lebih aktif dalam proses

pembelajaran, meningkatkan kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif serta mampu bekerja secara

kolaborasi sesuai dengan tuntutan abad 21. Selain itu Lembar Kerja Peserta Didik yang berorientasi lingkungan

sekitar sekolah sangat diperlukan dalam proses belajar agar peserta didik lebih mudah dalam memahami materi

pembelajaran. Oleh sebab perlu adanya kemauan dan kreativitas dari guru untuk mengembangkan Lembar

Kerja Peserta Didik (LKPD) dalam proses pembelajaran.

Lembar Kerja Peserta Didik adalah bahan ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa sehingga peserta didik

diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut secara mandiri. LKPD berupa lembaran yang bertujuan

untuk memacu dan membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar dalam rangka menguasai pemahaman,

keterampilan, dan atau sikap (Diniaty dan Atun, 2015). LKPD juga merupakan media pembelajaran karena dapat

digunakan secara bersamaan dengan sumber belajar atau media pembelajaran yang lainnya. Menurut Rofiah

(2014) LKPD merupakan panduan bagi peserta didik untuk mengerjakan pekerjaan tertentu yang dapat

meningkatkan dan memperkuat hasil belajar. Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa

Lembar Kerja Pesera Didik adalah suatu perangkat pembelajaran baik itu media pembelajaran ataupun sumber

belajar yang di dalamnya berisi suatu panduan atau materi ajar yang dapat digunakan secara mandiri oleh

peserta didik untuk meningkatkan pemahaman, keterampilan dan sikap peserta didik.

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis komputer adalah alat pembelajaran atau instrumen yang

digunakan dalam proses pembelajaran, tetapi diakses atau diisi melalui perangkat komputer atau perangkat

digital lainnya. Ini berbeda dari lembar kerja tradisional yang dicetak dan diisi dengan tangan.
Ciri-ciri LKPD berbasis komputer melibatkan penggunaan teknologi, seperti platform pembelajaran daring,

aplikasi pembelajaran, atau perangkat lunak khusus. LKPD ini dapat mencakup berbagai jenis tugas, latihan,

atau aktivitas yang mendukung proses pembelajaran peserta didik.

Keuntungan dari LKPD berbasis komputer termasuk interaktivitas yang lebih besar, kemungkinan

personalisasi pembelajaran, dan fleksibilitas akses. Peserta didik dapat bekerja pada tugas-tugas ini secara

mandiri atau bersama-sama dalam lingkungan digital.

Namun, implementasi LKPD berbasis komputer juga harus mempertimbangkan tantangan seperti

aksesibilitas teknologi, keamanan data, dan pelatihan bagi guru dan peserta didik. Tujuannya adalah untuk

meningkatkan efektivitas pembelajaran melalui integrasi teknologi dengan metode pembelajaran yang sudah

ada.

2.1.1 Fungsi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)


Berdasarkan pengertian dan penjelasan mengenai LKPD yang telah disinggung, fungsi LKPD sebagai

berikut (Pratowo dalam Lestari, 2018):

a. Sebagai bahan ajar yang bisa memiliki peran pendidik, namun lebih mengaktifkan peserta didik.

b. Sebagai bahan ajar yang mempermudah peserta didik untuk memahami materi yang diberikan.

c. Sebagai bahan ajar yang ringkas dan kaya tugas untuk berlatih.

d. Serta mempermudah pelaksanaan pengajar kepada peserta didik.

2.1.2 Kegunaan LKPD


Menurut Deri dan Diana (2015) menyebutkan bahwa mengajar dengan menggunakan LKPD dalam proses

belajar mengajar memberikan manfaat, antara lain memudahkan guru dalam mengelola proses belajar mengajar,

misalnya dalam mengubah kondisi belajar yang semula berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat

pada peserta didik (student centered). Pada proses pembelajaran yang berpusat pada guru akan terjadi interaksi

satu arah dimana guru menerangkan, mendikte, dan memerintahkan, sedangkan peserta didik hanya akan

mendengar, mencatat dan mematuhi semua perintah guru. Pada proses pembelajaran yang berpusat pada

peserta didik akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan guru, dan antar peserta didik karena dalam pola

ini peserta didik memperoleh informasi dari berbagai sumber, misalnya dari perpustakaan, luar sekolah atau

pengamatannya sendiri. Manfaat LKPD lainnya adalah dapat membantu guru dalam mengarahkan peserta didik

untuk dapat menemukan konsepkonsep melalui aktivitasnya sendiri atau dalam kelompok kerja. Selain itu,

LKPD juga dapat digunakan untuk mengembangkan ketrampilan proses, mengembangkan sikap ilmiah serta

membangkitkan minat peserta didik terhadap alam sekitarnya. Pada akhirnya LKPD juga memudahkan guru

untuk melihat keberhasilan peserta didik dalam mencapai sasaran belajar.


2.1.3 Tujuan Penyusunan LKPD
a. Menyajikan bahan ajar yang memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan materi yang diberikan.

b. Menyajian tugas-tugas yang meningkatkan penguasaan peserta didik terhadap materi yang diberikan.

c. Melatih kemandirian belajar peserta didik.

d. Memudahkan pendidik dalam memberikan tugas kepada pesrta didik.

2.1.4 Macam-macam Bentuk LKPD


a. LKPD yang membantu peserta didik menemukan suatu konsep. LKPD jenis ini memuat apa yang (harus)

dilakukan peserta didik.

b. LKPD yang membantu peserta didik menerapkan dan mengintegrasikan berbagai konsep yang telah ditemukan.

c. LKPD yang berfungsi sebagai penuntun belajar.

d. LKPD yang berfungsi sebagai penguatan

e. LKPD berfungsi sebagai petunjuk pratikum.

2.2 LKPD Berbasis Simulasi Komputer


Simulasi komputer dapat memberikan kesempatan kepada siswa tidak hanya untuk mengembangkan

pemahaman siswa dan penguatan konsep, tapi juga mengembangkan kemampuan mereka dalam investigasi

ilmiah dan penyelidikan. Selain itu, simulasi komputer juga mampu meningkatkan keterampilan berpikir kritis

serta berpikir kreatif siswa. Pembelajaran menggunakan simulasi komputer dapat membantu siswa untuk

memahami fenomena yang sulit diamati di dunia nyata. Akibatnya, siswa dapat belajar tentang suatu

permasalahan yang relevan melalui proses pendidikan yang melibatkan eksplorasi dan suatu eksperimen

percobaan, dan dengan demikian memperoleh pemahaman serta informasi yang lebih mendalam. Hal ini juga

didukung oleh Simanjuntak dan Ramadhani (2018) yang menyatakan bahwa dengan pembelajaran dengan

menggunakan LKPD berbasis masalah berbantuan simulasi membuat siswa lebih aktif, bersifat lebih ingin tahu,

lebih kreatif dan dan kristis sehingga menumbuhkan pemahaman lebih mendalam yang mempengaruhi hasil

belajarnya.

Physics Education Technology (PhET) merupakan simulasi yang dikembangkan oleh University of Colorado

dan menyediakan simulasi pembelajaran untuk fisika, biologi, dan kimia, baik untuk pembelajaran kelompok

maupun pembelajaran individu. Media PhET berbentuk simulasi interaktif tentang fenomena-fenomena fisika

yang didasarkan pada riset dan mendukung pendekatan interaktif dan konstruktivis dalam pembelajaran.

Melalui fitur interaktifnya, PhET memberikan umpan balik kepada pengguna dan menyampaikan pesan-pesan

serta informasi yang relevan dalam konteks pembelajaran fisika (Saputra, 2020).

Penggunaan simulasi PhET diharapkan menjadi sarana efektif bagi peserta didik dalam memperoleh

pemahaman materi secara visual, sehingga konsep-konsep yang diajarkan menjadi lebih nyata dan mudah

dipahami (Hidayat, 2019). Berbagai penelitian sebelumnya telah menguji penggunaan media simulasi PhET

sebagai alat pembelajaran, dan hasilnya menunjukkan keberhasilan yang signifikan (Nurhayati, 2014). Rizki
(2023) juga menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa penggunaan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis

PhET Simulation terbukti valid dan sesuai digunakan dalam pembelajaran. Selain itu, LKPD ini mendapatkan

respon yang sangat positif dari peserta didik dan mampu meningkatkan hasil belajar kognitif mereka dalam

kelas eksperimen.

Pada dasarnya dampak yang dikembangkan dari pemikiran kritis yang dituntut oleh kurikulum 2013 adalah

untuk memaksimalkan potensi dimana siswa bisa menjadi paham akan suatu pembelajaran, tidak hanya terletak

pada suatu dasar teori tetapi juga aspek-aspek yang detail dan mendalam. Selain itu siswa juga dapat memiliki

kemampuan analisis yang tinggi dan juga dapat menciptakan rasa ingin tahu akan ilmu secara lebih mendalam

(Vincinzo & Astriani, 2022). Guru juga dituntut untuk membimbing siswa supaya dapat meluruskan suatu

konsep pembelajaran yang akan disampaikan. Hal itu karena, arahan dari guru adalah kunci utama yang harus

ada dalam menciptakan proses berpikir siswa untuk berpikir kritis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ilma dan Lutfi (2020) dilakukan praktikum oleh peserta didik

yang diarahkan dalam mempraktekkan PhET dan melakukan eksperimen dengan media aplikasi PhET pada

materi struktur atom dan sistem periodik. Penelitian tersebut mendapatkan hasil berupa aspek peserta didik

yang telah diamati, diantaranya aktivitas yang relevan dan aktivitas yang tidak relevan. Hasil penelitian tersebut

mengatakan bahwa aktivitas yang relevan memiliki persentase tinggi dengan nilai sebesar 92,59%. Adapun

aktivitas yang tidak relevan memperoleh persentase yang rendah yaitu hanya sebesar 7,41%. Persentase kedua

aspek peserta didik yang telah diamati tersebut menunjukkan bahwa jumlah peserta didik yang relevan lebih

tinggi dibanding peserta didik yang tidak relevan. Peserta didik yang relevan adalah peserta didik yang

digolongkan sebagai peserta yang aktif selama proses pembelajaran. Hal itu menunjukkan bahwa antusias

peserta didik dalam proses pembelajaran menggunakan aplikasi PhET sangat tinggi, didukung dengan fakta

bahwa anak dapat menyimpulkan materi diakhir proses pembelajaran secara tepat dan benar. Pemahaman siswa

akan materi menggunakan aplikasi PhET juga didukung dengan penyampaian pendidik yang baik dan runtut

sehingga peserta didik dapat membantu pemahaman peserta didik pada materi. Penelitian tersebut

menempatkan aplikasi PhET sebagai media pembelajaran visual bagi peserta didik dibantu dengan lembar kerja

peserta didik sebagai media pembelajaran verbal.

2.3 Kelebihan dan Kekurangan LKPD berbasis Komputer


Menurut Hidayanti (2014) Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis elektronik merujuk pada

penggunaan teknologi elektronik untuk menyusun dan melibatkan peserta didik dalam aktivitas pembelajaran.

Ini dapat mencakup penggunaan platform digital, aplikasi, atau alat pembelajaran online yang memungkinkan

peserta didik berinteraksi dengan materi pembelajaran secara elektronik.

a. Kelebihan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis Komputer


1. Interaktifitas : Memungkinkan pengalaman pembelajaran yang lebih interaktif dengan penggunaan multimedia,

simulasi, dan aktivitas online.

2. Akses Fleksibel : Peserta didik dapat mengakses LKPD berbasis komputer dari mana saja dan kapan saja dengan

bantuan perangkat komputer atau perangkat mobile.

3. Umpan Balik Cepat : Guru dapat memberikan umpan balik langsung melalui platform digital, memungkinkan

peserta didik untuk mengoreksi atau meningkatkan pemahaman mereka.

4. Personalisasi Pembelajaran : Mempungkinkan adopsi model pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan

kebutuhan dan kemampuan individu peserta didik.

5. Pemantauan Progres: Memudahkan pemantauan progres peserta didik dan membantu guru dalam

mengidentifikasi area di mana bantuan lebih diperlukan.

b. Kekurangan Lembar Kerja Peserta Didik Berbasis Komputer

1. Ketergantungan pada Teknologi : Keberhasilan implementasi bergantung pada ketersediaan dan kehandalan

teknologi, yang dapat menjadi kendala di beberapa lingkungan atau sekolah.

2. Kesenjangan Akses : Peserta didik yang tidak memiliki akses ke perangkat komputer atau koneksi internet

mungkin mengalami kesenjangan dalam aksesibilitas.

3. Ketidakamanan Data : Risiko terkait keamanan data, seperti potensi pencurian data atau pelanggaran privasi,

harus diatasi dengan langkah-langkah keamanan yang tepat.

4. Kurangnya Interaksi Manusia : Terlalu banyak fokus pada teknologi dapat mengurangi interaksi manusia yang

penting dalam pembelajaran.

5. Pelatihan Guru: Diperlukan pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk guru agar dapat memaksimalkan

potensi LKPD berbasis komputer.

Penting untuk merancang dan menerapkan LKPD berbasis komputer dengan mempertimbangkan kebutuhan

dan kondisi di lingkungan pendidikan, serta memastikan adopsi yang berkelanjutan dan inklusif.
KESIMPULAN

Lembar kerja peserta didik berbasis komputer dapat memberikan keuntungan dalam hal efisiensi,

aksesibilitas, dan pelacakan kemajuan. Ini memungkinkan pengajar untuk secara lebih cepat menilai dan

memberikan umpan balik kepada siswa, sementara juga memberikan fleksibilitas dalam penyampaian materi

pembelajaran. Namun, penting untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi tersebut tidak mengorbankan

interaksi sosial dan pengembangan keterampilan interpersonal siswa. Serta penerapan lembar kerja peserta didik

berbasis komputer memiliki potensi besar dalam meningkatkan efisiensi pembelajaran, pemantauan kemajuan,

dan umpan balik. Ini juga dapat meningkatkan aksesibilitas terhadap materi pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Deri, dan Diana O. (2015). Pengembangan Lembar Kerja Siswa Pembelajaran Learning Cycle 5E Materi Pengelolaan
Lingkungan di SMP 11 Semarang. Semarang: Fakultas MIPA.
Diniaty A., dan Atun S. (2015). Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (Lkpd) Industri Ke Kecil Kimia
Berorientasi Kewirausahaan Untuk Smk. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA. 1 (1). 41-50.
Hidayat, R., Hakim, L., dan Lia, L. (2019). Pengaruh Model Guided Discovery Learning Be Berbantuan Media
Simulasi PhET Terhadap Pemahaman Konsep Fisika Peserta didik. Berkala Ilmiah Pendidikan Fisika. 7 (2).
97-102.
Ilma, K., dan Lutfi, A. (2020). Penerapan PhET Sebagai Media Pembelajaran Struktur Atom Dan Sistem
Periodik Di Smk Nahdlatul Ulama Sugio Lamongan. UNESA Journal of Chemical Education. 9 (3). 309–
316.
Nurhayati, F. S. (2014). Penerapan Metode Demonatrasi Berbantu Media Animasi Software PhET Terhadap Hasil
Belajar Siswa Dalam Materi Listrik Dinamis Kelas X Madrasah Aliyah Negeri Pontianak. Jurnal Pendidikan
Fisika Dan Aplikasinya. 3 (2). 1-7.
Pratama, A. P. (2021). Pengaruh Pembelajaran Daring Terhadap Motivasi Belajar Siswa. Mahaguru: jurnal
pendidikan guru sekolah dasar. 2 (1). 88–95.
Pratowo A., dan Lestari E. (2018). Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik Berbasis Eksperimen IPA Kelas
V SD. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Lampung : URIL PRESS.
Rizki, M. P., Sakdiah, H., dan Ginting, F. W. G. (2023). Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis
Guided Discovery Learning Menggunakan Simulasi Physics Education Technology (PhET) Pada Materi Listrik
Dinamis Kelas XII. Relativitas: Jurnal Riset Inovasi Pembelajaran Fisika. 6 (1). 31-40.
Rofiah N. H. (2014). Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) Berbasis KIT Untuk Meningkatkan
Keterampilan Proses Dasar IPA di SD/MI. Jurnal Al-Bidayah. (6) 2. 123- 131.
Saputra, R. S. D. (2020). Pengaruh Penggunaan Media Simulasi PhET Terhadap Hasil Belajar Fisika. J. Pijar MIPA.
15 (2). 110-115.
Simanjuntak, M.P. dan Ramadhani, D. (2018). Pengaruh Model Problem Based Learning Be Berbantuan Simulasi
Komputer dalam Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kreatif Siswa. Jurnal Inovasi Pembelajaran Fisika
(INPAFI). 6 (3). 1-8.
Vincinzo, V. R. P., dan Astriani, D. (2022). Pemanfaatan Media E-Learning Edlink Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Sistem Pencernaan Manusia. Pensa. E-Jurnal Pendidikan
Sains. 10 (2). 2-7.

Anda mungkin juga menyukai