Anda di halaman 1dari 33

Laporan Penelitian Kolaborasi Antar Perguruan Tinggi

MODERASI BERAGAMA DAN IMPLEMENTASINYA DI


PONDOK PESANTREN
(Langkah Strategis Pondok Pesantren di Kalimantan Timur,
Indonesia)

Proposal Program Bantuan Penelitian Berbasis Standar Biaya Keluaran


Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Tahun Anggaran 2021

Diajukan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi


Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia

Penyusun

Dr. Hj. Sitti Sagirah, M.Ag (UINSI Samarinda) sebagai ketua tim
Dr. H. Abdul Waris, M.H (IAI As’adiyah Sengkang) sebagai anggota tim

I
2023
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPU ....................................................................................................... I
DAFTAR ISI ................................................................................................................... II
ABSTRAK ..................................................................................................................... III

BAB I:
PENDAHULUAN ............................................................................................................ I
A. Latar belakang Masalah ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 3
D. Kajian Pustaka ......................................................................................................... 4
E. Sistematika Pembahasan .......................................................................................... 5
F. Waktu Pelaksanaan Penelitian ................................................................................. 6
G. Organisasi Pelaksanaan Penelitian ........................................................................... 7
BAB II:
KONSEP MODERASI BERAGAMA: KAJIAN TEORETIS...................................... 8

BAB III:
METODE PENELITIAN .............................................................................................. 11
A. Jenis Penelitian ...................................................................................................... 11
B. Teknik Penumpulan Data ....................................................................................... 13
C. Data dan Sumber Data ........................................................................................... 13
BAB IV:
Langkah Strategis Pondok Pesantren di Kalimantan Timur
Dalam Mengimplementasikan Moderasi Beragama........................................ 14

A. Pondok Pesantren al-Ihsan, Senaken ........................................................... 14


B. Pondok Pesantren an-Nur, Samarinda ......................................................... 18
C. Pondok Pesantren al-Mujahidin, Samarinda ............................................... 22

BAB V:
PENUTUP ...................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 28

II
ABSTRAK
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkuat pemahaman keagamaan yang
moderat dalam masyarakat Indonesia yang multikultural adalah dengan
memperkuat implementasi moderasi beragama di lembaga-lembaga pendidikan
Islam, termasuk pesantren. Namun, penjelasan mengenai hal ini masih jarang.
Penelitian ini mencoba menjelaskan langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh
pesantren, khususnya di Kalimantan Timur, dalam mengimplementasikan moderasi
beragama. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode kualitatif
fenomenologis. Data diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data
wawancara diperoleh dari informan, yaitu pimpinan pesantren, ustadz atau
ustadzah, dan warga pesantren lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
langkah strategis pesantren di Kalimantan Timur dalam mengimplementasikan
moderasi beragama berupa pengarahan dari pimpinan pesantren pada masa ta'aruf
santri baru, doktrinisasi pada masa wisuda santri yang telah lulus, internalisasi
moderasi beragama pada pembelajaran kitab kuning, dan pola rekrutmen
ustadz/ustadzah, dan karyawan.
Kata kunci: Moderasi beragama; implementasi moderasi beragama; pesantren;
Kalimantan Timur

ABSTRACT
One of the efforts made to strengthen moderate religious understanding in
multicultural Indonesian society is to strengthen the implementation of religious
moderation in Islamic educational institutions, including pesantren. However,
explanations regarding this matter are still rare. This study attempts to explain the
strategic steps taken by Islamic boarding schools in East Kalimantan in
implementing religious moderation. This type of research is qualitative research
with a phenomenological qualitative method. Data were obtained from interviews,
observations, and documentation. Interview data were obtained from informants,
namely pesantren leaders, ustadz or ustadzah, and other pesantren residents. The
results showed that the strategic steps of pesantren in East Kalimantan in
implementing religious moderation were in the form of direction from the pesantren
leadership during the ta'aruf period of new santri, doctrinalization during the
graduation period of santri who had graduated, internalization of religious
moderation in yellow classical book learning, and recruitment patterns of
ustadz/ustadzah, and employees.
Keywords: Religious moderation; implementation of religious moderation;
pesantren; East Kalimantan

III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu isu terpenting dalam kehidupan beragama yang dihadapi oleh
banyak negara di dunia termasuk Indonesia adalah radikalisme dan ekstrimisme
yang mengatasnamakan paham keagamaan. Selain akan mengancam keharmonisan
hubungan dalam kehidupan masyarakat, juga akan mengancam eksistensi
kebangsaan. Kelompok radikal memiliki kecenderungan militan-reaksioner dalam
melakukan aksi tuntutannya di lapangan. Kelompok ini mengkhawatirkan
keberlangsungan kehidupan yang berdasarkan pada tatanan sosial masyarakat yang
harmonis.
Radikalisme adalah bagian dari taṭarruf dinī (ekstrim/sikap berlebihan dalam
beragama). Di antara konsekuensi sikap taṭarruf adalah lebih dekat pada kebinasaan
dan bahaya, serta lebih jauh dari keamanan dan kedamaian. Nash-nash syari’at
menyebut sikap ekstrem (al-Tatharruf) dengan istilah ghuluww.1 Kelompok radikal
tidak segan melakukan aksi teror. Seperti aksi bom bunuh diri, sebagaimana yang
terjadi di Gereja Katedral Makassar (28/03/2021) dan serangan terhadap Mabes
Polri oleh perempuan berinisial ZA (31/03/2021).2
Islam melarang kerusakan dan melampaui batas dan mengajak ke jalan tengah
dalam segala hal, baik dalam hal konsep, akidah, ibadah, akhlak, hubungan dengan
sesama manusia dan dalam perundang-undangan. Sikap tawassuth (moderat)
merupakan salah satu ciri khas Islam. Ia merupakan salah satu tonggak-tonggak
utamanya, yang dengannya Allah swt. membedakan umatnya dari yang lain.
“Demikianlah Kami jadikan kamu umat tengahan supaya kamu menjadi saksi atas
manusia” (QS. al-Baqarah [2]: 143). Yaitu umat yang adil, dan lurus, yang akan
menjadi saksi di dunia dan akhirat atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan
atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.3 Meskipun demikian, fenomena
ektrimisme dalam beragama masih sering terjadi dalam lintasan sejarah kehidupan
umat Islam.
Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di
tengah-tengah, begitu pula dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan
agama ataupun mazhab. Islam moderat selalu mengedepankan sikap toleransi,
saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing

1
Yusuf Qardhawi, Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan Dalam Beragama
(Mizan Pustaka, 2020), 21.
2
Agnes Setyowati, “Radikalisme, Bom Waktu yang Mengancam Masa Depan Bangsa,” 4
Maret 2021, https://nasional.kompas.com/read/2021/04/03/18070321/radikalisme-bom-waktu-
yang-mengancam-masa-depan-bangsa?
3
Qardhawi, Islam Jalan Tengah, 22.

1
agama dan mazhab. Sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala
dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi anarkis.
Pandangan yang sering muncul mengenai moderasi beragama dikesankan
masih terjebak pada pandangan liberal. Kondisi ini karena di dalam pemaknaan
moderasi tersebut mengandung prinsip toleransi, sehingga dalam konteks moderasi
beragama yang serba tanpa batas norma atau tidak didasarkan pada nilai-nilai etika
tersebut bukan termasuk dari moderasi beragama. Pemahaman tersebut lebih tepat
dikatakan sebagai paham kebebasan atau liberalism.4 Moderasi beragama yang
sebenarnya adalah memiliki karakteristik yang dapat memahami realitas, fikih
prioritas, menghindari fanatisme berlebihan, mengedepankan prinsip kemudahan
dalam beragama, memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif, terbuka
dalam menyikapi perbedaan, dan komitmen dalam kebenaran dan keadilan.5
Upaya untuk menguatkan pemahaman beragama yang moderat di tengah
masyarakat Indonesia yang multi kultural, Kementrian Agama melakukan strategi
melalui beberapa lini formula moderasi beragama, di antaranya penguatan
implementasi moderasi beragama di lembaga pendidikan Islam termasuk di pondok
pesantren. Karena pondok pesantren dianggap memiliki peran penting dalam
menjawab problematika yang terjadi di masyarakat. Selain menjadi pusat studi
ilmu-ilmu keislaman, pesantren juga memiliki tanggung jawab untuk menjembatani
munculnya berbagai persoalan sosial yang terjadi di masyarakat, terutama yang
terkait dengan nuansa paham keagamaan. Di tengah-tengah status sosial
kemasyarakatan yang beragam latar belakang, pondok pesantren masih dihadapkan
dengan munculnya sentimental paham keagamaan yang dipicu oleh perbedaan cara
pandang dalam memahami agama. Pada saat tertentu, nuansa paham keagamaan
akan mengarah pada konflik horizontal yang meluas ketika institusi keagamaan
tidak mampu menjembatani berbagai paham keagamaan yang terjadi, terutama
pada sebagian kelompok masyarakat yang cenderung kurang memahami realitas
perbedaan dan sempit wawasan pemahaman keagamaannya.6
Pondok pesantren memiliki tradisi transformasi keilmuan agama yang
spesifik, di samping pelaksanaan pendidikan formal yang biasanya dilaksanakan di
ruang kelas, juga melaksanakan pendidikan secara non formal dengan model ngaji
(halaqah) sebagai bentuk pembelajaran kepada santri dengan menggunakan kitab-
kitab kuning (turats) yang biasanya dijadwalkan secara rutin setiap selesai
melaksanakan shalat fardu secara berjamaah. Sistem pendidikan di pondok

4
Kementerian Agama RI, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam,
Pendis Press (Jakarta: Pokja Implementasi Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam
bekerjasama Lembaga Daulat Bangsa, 2021), 1,
https://pendispress.kemenag.go.id/index.php/ppress/catalog/book/5.
5
Tim Penyusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Moderasi Islam (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2017), 43–73.
6
RI, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam, 1.

2
pesantren masih dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang moderat
dengan kegiatan pengajian kitab turats. Sistem pembelajaran pondok pesantren
berbasis kitab-kitab klassik tanpa kesudahan dengan penjelasan sesuai konteks yang
terjadi dalam masyarakat, termasuk moderasi dalam beragama.7
Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang pondok pesantren,
menyatakan bahwa dalam upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta
akhlak mulia, pondok pesantren yang tumbuh berkembang di masyarakat dengan
kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan
lil’alamin dengan melahirkan insan yang beriman, berkarakter, cinta tanah air dan
berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan
perjuangan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang cukup banyak
peminat dan sekaligus menjadi sumber tumbuhnya generasi-generasi bangsa, perlu
mengokohkan peran institusi pendidikan Islam, pondok pesantren sebagai benteng
menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sejalan dengan yang
dicanangkan oleh Kementerian agama untuk mencegah kekerasan dan radikalisme
di pesantren, pihak Kementerian Agama (Kemenag) sudah meluncurkan moderasi
agama sebagai panduan pembelajaran di pesantren.
Di Kalimantan Timur ada sejumlah pondok pesantren yang memiliki ciri khas
yang telah mengakar, dan berkembang menyelenggarakan jenjang pendidikan dari
Raudatul Atfal, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA) dengan jumlah santri yang signifikan lebih dari lima ratus
orang. Sampai sekarang tetap eksis di tengah masyarakat dalam menjalankan fungsi
pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Menurut hemat
peneliti punya daya tarik tersendiri untuk diteliti dalam konteks moderasi beragama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep moderasi beragama?
2. Bagaimana langkah-langkah strategis pondok pesantren di Kalimantan Timur
dalam mengimplementasikan moderasi beragama melalui instrument yang
ada?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan konsep moderasi beragama.
2. Untuk menjelaskan langkah-langkah strategis pondok pesantren di Kaltim
dalam mengimplementasikan moderasi beragama melalui instrument yang
ada.

7
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: Lkis
Pelangi Aksara, 2001), 4.

3
D. Kajian Pustaka
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa terdapat sejumlah penelitian terkait
dengan moderasi beragama yang telah dihasilkan oleh peneliti terdahulu. Misalnya,
Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia, Religious Moderation in
Indonesia’s diversity, oleh Agus Akhmadi Balai Diklat Keagamaan Surabaya.
Penelitian ini membahas keragaman budaya bangsa Indonesia, moderasi beragama
dalam keragaman dan peran penyuluh agama dalam mewujudkan kedamaian
bangsa Indonesia. Kajian ini menyimpulkan bahwa dalam kehidupan multikultural
diperlukan pemahaman dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan,
kemajemukan dan kemauan berinteraksi dengan siapapun secara adil. Diperlukan
sikap moderasi beragama berupa pengakuan atas keberadaan pihak lainnya,
memiliki sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat dan tidak
memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Diperlukan peran pemerintah,
tokoh masyarakat, dan para penyuluh agama untuk mensosialisasikan,
menumbuhkembangkan moderasi beragama kepada masyarakat demi terwujudnya
keharmonisan dan kedamaian.8 Dalam penelitian tersebut masih bersifat umum dan
teoritis, belum menguraikan bagaimana implementasi moderasi beragama di
lembaga pendidikan, misalnya di pondok pesantren.
Mohammad Fahri dan Ahmad Zainuri juga menulis Moderasi Beragama di
Indonesia, dalam kajian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa radikalisme atas
nama agama dapat diberantas melalui pendidikan Islam yang moderat dan inklusif.
Moderasi beragama dapat ditunjukkan melalui sikap tawazun (berkeseimbangan),
i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), syura
(musyawarah), ishlah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas),
tathawur wa ibtikar (dinamis dan inovatif).9 Namun dalam penelitian tersebut
belum menyebutkan secara detail bagaimana implementasi moderasi beragama di
pondok pesantren.
Internalisasi Moderasi Beragama dalam Kurikulum Pesantren, oleh Husnul
Khotimah peneliti menguraikan bahwa, keragaman Indonesia menjadi kekayaan
sekaligus berkah bagi bangsa Indonesia. Kemajemukan ini terlihat dari beragamnya
agama yang dianut penduduknya. Salah satu agama yang diakui Pemerintah
Republik Indonesia secara resmi, yaitu Islam. Agama menjadi hal yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, apalagi di era industri ini agama menjadi
kebutuhan yang vital. Seiring dengan eksistensinya, banyak masyarakat yang
terlalu fanatik dengan agamanya sendiri sehingga muncul istilah ekstremisme,

8
Agus Akhmadi, “Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia,” Inovasi-Jurnal Diklat
Keagamaan 13, no. 2 (23 April 2019): 45.
9
Mohamad Fahri dan Ahmad Zainuri, “Moderasi Beragama di Indonesia,” Intizar 25, no. 2
(2019): 95, https://doi.org/10.19109/intizar.v25i2.5640.

4
radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), yang berakibat retaknya hubungan
antar umat beragama. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mulai
terindikasi kemungkinan munculnya paham-paham radikal (mendasar). Untuk itu,
dalam membentuk santri yang moderat terhadap agamanya perlu memasukkan
moderasi beragama dalam kurikulum pesantren demi meminimalisir adanya paham
yang radikal. Sehingga, para santri mampu membentengi dengan upaya yang
dilakukan pesantren untuk menanamkan karakter atau prinsip-prinsip cara
beragama yang moderat. Maka, dengan internalisasi moderasi beragama pada
kurikulum pesantren mampu menjawab kebutuhan yang menjadi problematika
masa kini yaitu ekstrimisme dan radikalisme.10
Penelitian tersebut hanya terfokus pada kurikulumnya, dan belum
menguraikan secara detail langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai moderasi beragama melaui instrument-instrumen yang ada
di pondok pesantren, misalnya melalui pembelajaran di kelas, pengajian kitab, tata
tertib asrama, rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan, masa ta’aruf santri
baru, dan kegiatan- kegiatan lainnya yang menjadi rutinitas di pesantren. Penelitian
ini bertujuan merespon kekurangan tersebut dengan berupaya menjelaskan
langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh pondok pesantren—dalam hal ini di
Kalimantan Timur—dalam mengimplementasikan moderasi beragama.

E. Sistematika Pembahasan
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kajian Pustaka
E. Sistematika Pembahasan
F. Waktu Pelaksanaan Penelitian
G. Organisasi Pelaksanaan Penelitian
BAB II: KONSEP MODERASI BERAGAMA: KAJIAN TEORETIS
BAB III: METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Teknik Penumpulan Data
C. Data dan Sumber Data
BAB IV: Langkah Strategis Pondok Pesantren di Kalimantan Timur Dalam
Mengimplementasikan Moderasi Beragama
A. Pondok Pesantren al-Ihsan, Senaken
B. Pondok Pesantren an-Nur, Samarinda

10
Husnul Khotimah, “Internalisasi Moderasi Beragama Dalam Kurikulum Pesantren,”
Rabbani: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 1 (27 Januari 2020): 7,
https://doi.org/10.19105/rjpai.v1i1.3008.

5
C. Pondok Pesantren al-Mujahidin, Samarinda
BAB V: PENUTUP

F. Waktu Pelaksanaan Penelitian


Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 5 (lima) bulan dimulai
pada bulan Juni sampai dengan oktober 2022, jadwal dapat dilihat sebagaimana
berikut ini;

No Kegiatan Juni Juli Agustus September Oktober


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan dan
Penyempurnaan
1.
Pedoman
Wawancara

2. Penelitian

3. Pengolahan Data

Finalisasi
4.
Penelitian

Seminar Hasil
5. Penelitian (jika
ada)

6.
Pengganndaan

7. Laporan Akhir
Penelitian

6
G. Organisasi Pelaksana Penelitian: Tim Pengusul
1. Ketua:
Nama Lengkap : Dr.Hj.Sitti Sagirah,M.Ag
NIY : 0809012020054
NIDN : 2131126404
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Tancung Wajo, 31 Desember 1967
Asal Perguruan Tinggi : STIT Ibnu Rusyd Tanah Grogot, Paser,
Kalimantan Timur
Fakultas :
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Bidang Keilmuan : Dirasah Islamiyah/ Hadis

2. Anggota :
Nama Lengkap : Dr. H. Abdul Waris, S.HI, M.HI
NIP :
NIDK : 8998520021
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Sinjai, !5 Maret 1979
Asal Perguruan Tinggi : IAI As’adiyah Sengkang, Wajo, Sul-Sel
Fakultas : Syari’ah
Program Studi : Hukum Syari’ah
Bidang Keilmuan : Dirasah Islamiyah/ Fikih

7
BAB II

KONSEP MODERASI BERAGAMA:


KAJIAN TEORETIS
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedangan
(tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Moderasi beragama adalah adil dan
berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktekkan semua konsep yang
berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak
memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/tidak sewenang-
wenang.11 Jadi, moderasi beragama adalah meyakini secara absolut ajaran agama
yang kita yakini dan memberikan ruang terhadap agama yang diyakini oleh orang
lain.
Yusuf Qardhawi menyebut moderasi beragama dengan istilah wasathiyyah
dan tawazun, yaitu sikap pertengahan dan sikap seimbang antara dua kutub yang
berlawanan dan bertentangan, salah satunya tidak berpengaruh bila terpisah dengan
membuang kutub lawannya, dan yang salah satu dari kedua kutub itu tidak diambil
lebih dari yang semestinya (haknya) dan melanggar serta mendzhalimi kutub
lawannya. Beliau memberi Contoh kutub-kutub yang berlawanan dan bertentangan
itu adalah rabbaniyah dan insaniyah, spiritualisme dan materialism, keakhiratan
dan keduniaan, wahyu dan akal, proyeksi ke masa lampau dan prospeksi ke masa
depan, individualism dan sosialism, realism dan idealism, keteguhan pada prinsip
dan perubahan.12
Di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan misi agama
Islam, karakteristik ajaran Islam, dan karakteristik umat Islam. Misi agama ini
adalah sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan li al-‘alamin), QS. al-Anbiyā’
[21]: 107. Adapun karakteristik ajaran Islam adalah agama yang sesuai dengan
kemanusiaan (fitrah), QS. ar-Rūm [30]: 30, sedangkan karakteristik umat Islam
adalah umat yang moderat (ummatan wasathan), QS. al-Baqarah [2]: 143. Di
samping itu, terdapat pula ayat yang memerintahkan agar umat Islam berpihak
kepada kebenaran (hanīf), QS. ar-Rūm [30]: 30, serta menegakkan keadilan (QS.
al-Mā’idah [5]: 8) dan kebaikan agar menjadi umat terbaik (khair ummah), QS. Ali
‘Imrān [3]: 110. Ayat-ayat tersebut memperkuat perlunya beragama dengan sikap
moderat (tawassuth) yang digambarkan sebagai umatan wasathan, sehingga pada
saat ini banyak ulama mempromosikan konsep moderasi Islam (wasathiyyah al-
Islam).

11
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2021), 15–19.
12
Yusuf Qardhawi, Pengantar Kajian Islam: Studi Analistik Komprehensif Tentang Pilar-
Pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan Dan Sumber Acuan Islam (Jakarta: Pustaka Al Kauthar,
1997), 197.

8
Hadis memiliki kedudukan yang paling utama sebagai sumber hukum Islam.
Di samping itu, hadis juga sebagai pedoman hidup umat Islam.13 Secara
epistimologis, hadis dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran
Islam ke dua setelah al-Qur’an, sebab ia merupakan bayān (penjelasan) terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘am (umum) dan mutlaq (tanpa
batas). Bahkan secara mandiri, hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir)
suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an.14 Namun demikian, untuk
memahami maksud suatu hadis secara baik, terkadang tidak mudah. Terutama
ketika kita menemukan hadis-hadis yang secara tekstual tidak sejalan dengan
perkembangan zaman. Dengan demikian dengan menggunakan paradigma
metodologi pemahaman hadis, maka pesan moral suatu hadis dapat dipahami secara
fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain dalam al-Qur’an, maka dalam hadis juga terdapat beberapa petunjuk
Rasulullah saw. yang mengandung nilai-nilai moderasi dalam beragama. Hal ini
dapat dilihat dalam beberapa bab pembahasan kitab-kitab hadis. Misalnya, dalam
Kitab Riyadh al-Shalihin yang merupakan salah satu kitab hadis rujukan bahkan
menjadi materi kajian hadis di pesantren, ditemukan bab al-Iqtis}ad fi al-ibadah
(bab tentang tidak berlebihan dalam ibadah), bab ta’z{im hurumat al-Muslimin wa
bayani huquqihim wa asy-syafaqati ‘alaihim wa rahmatihim (menjunjung tinggi
kehormatan kaum muslimin dan hak-hak mereka serta kasih sayang kepada
mereka), bab al-is{lah baina an-Nas (mengadakan perdamaian di antara
manusia),15 dan sebagainya.
Terdapat tiga syarat agar dapat mewujudkan moderasi beragama menurut
Quraish Sihab. Pertama, untuk berada di tengah-tengah, seseorang harus memiliki
pengetahuan atas semua pihak. Kedua, untuk menjadi moderat, seseorang harus
mampu mengendalikan emosi agar tidak melewati batas. Ketiga, harus selalu
berhati-hati dalam berpikir, berkata, dan berperilaku.16 Dalam hadis Rasulullah
saw. terdapat banyak riwayat yang menunjukkan model moderasi beragama.

13
Muhamad Ali dan Didik Himmawan, “The Role of Hadis as Religion Doctrine
Resource,evidence Proof of Hadis and Hadis Function to Alquran (Peran Hadits Sebagai Sumber
Ajaran Agama, Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Dan Fungsi Hadits Terhadap Alquran),” Risalah,
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 5, no. 1, March (15 Maret 2019): 125,
https://doi.org/10.31943/jurnal_risalah.v5i1.100.
14
Sitti Sagirah, “Studi Ma’ani al-Hadis Terhadap Hadis-Hadis Prediktif dan
Implementasinya dalam Konteks Kekinian” (Disertasi, Makassar, UIN Alauddin, 2019), 25; Sitti
Sagirah, “The Study of Ma‘Ani Al-Hadis Towards Predictive Hadiths of Authoritarianism and the
Moral Crisis,” Borneo International Journal of Islamic Studies (BIJIS), 26 Mei 2019, 91–105,
https://doi.org/10.21093/bijis.v1i2.1522.
15
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin Min Kalam al-Mursalin
(Surabaya: Dar al-Ilmi, t.t.), 656–57.
16
Dera Nugraha, “The Implementation of Religious Moderation Values in Islamic Education
Learning at Cendekia Islamic Junior High School, Cianjur Regency, Indonesia,” KURIOSITAS:
Media Komunikasi Sosial dan Keagamaan 13, no. 2 (27 Desember 2020): 234.

9
Antara lain: (a) Tidak berlebihan dalam ketaatan atau beribadah. 17 (b) Larangan
berbuat zhalim, dan perintah mengembalikan hak orang yang dizhalimi.18 (c)
Menjunjung tinggi kehormatan dan hak-hak kaum muslimin, serta kasih sayang
kepada mereka.19 (d) Mengadakan perdamaian di antara manusia.20
Moderasi beragama berbasis pesantren dipahami sebagai suatu upaya yang
dilakukan oleh pesantren dalam menanamkan nilai-nilai Islam moderat pada santri
dan masyarakat, yaitu pemahaman yang memiliki keseimbangan nalar dan berpikir
realistik, serta merujuk pada berbagai sumber yang komprehensif dan konsisten
moderasi dalam beragama di pondok pesantren ditanamkan melalui lembaga
pendidikan formal dan non formal. Pondok pesantren mengembangkan nilai-nilai
multi kultural yang adaptif dengan model pendidikan tanpa dikotomik dan pondok
pesantren mengembangkan ajaran Islam yang moderat di Indonesia yang memiliki
karakter toleran yang tinggi, menghormati tradisi lama yang masih relevan,
progresif, dan membebaskan untuk mengembangkan budaya yang tidak
bertentangan dengan Islam. Pesantren melahirkan karakter muslim yang memiliki
basis moderat dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah.21

17
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz. I (Beirut: Dar
Tuq an-Najah, 2001), 17.
18
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2001).
19
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
20
al-Bukhari.
21
Ali Nurdin dan Maulidatus Syahrotin Naqqiyah, “Model Moderasi Beragama Berbasis
Pesantren Salaf,” Islamica: Jurnal Studi Keislaman 14, no. 1 (1 September 2019): 99,
https://doi.org/10.15642/islamica.2019.14.1.82-102.

10
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kulitatif, menggunakan metode deskriptif


kualitatif fenomenologis. Penelitian kualitatif menekankan bahwa kenyataan itu
berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang
diinterpretasikan oleh individu-individu. Penelitian kualitatif ditujukan untuk
memahami fenomena-fenomena sosial dari perspektif partisipan.22 Dan
menggunakan metode grounded research, yaitu suatu metode penelitian yang
mengkaji secara mendalam dunia empiric dengan menggunakan data sebagai
teori.23 Dasar pemikiran metode ini adalah mencari kesimpulan secara induktif, dan
menjadikan data sebagai sumber teori.
Penelitian dengan metode ini tidak bermaksud untuk melakukan pembuktian
atas teori yang sudah pernah ada, tetapi menghimpun data untuk membangun
proposisi, konsep, dan sekaligus teori. Proses pelaksanaannya akan dilakukan
secara bertahap. Pertama-tama dilakukan penelusuran data lapangan, membuat
kategori-kategori, dan selanjutnya menghubungkannya satu sama lain, serta
melakukan interpretasi terhadap data. Kemudian dari sini muncul uraian-uraian
berdasarkan data dan analisis menjadi konsep dan hipotesis berdasarkan data. Hasil
analisis dan hipotesis dihubungkan dengan teori yang terkait dengan menerangkan
data. Pengumpulan data dilakukan tidak bersifat kaku, tetapi selalu disesuaikan
dengan keadaan lapangan.24
Demikian pula hubungan antara peneliti dengan yang diteliti bersifat
interaktif dan tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, dipandang dari sudut
pendekatan dan proses penelitiannya, penelitian kualitatif memiliki karakteristik
khusus, antara lain: berdasarkan keadaan alamiah, peneliti sebagai instrument,
bersikap deskriptif, metode kualitatif, lebih mementingkan proses dari pada hasil,
mengutamakan data langsung, data yang purposif, menggunakan perspektif emic,
menonjolkan rincian kontekstual, mengadakan analisis sejak dari awal penelitian,
dan analisis data secara induktif.25 Pondok pesantren yang menjadi objek penelitian
tim pengusul adalah pesantren yang ada di Kalimantan Timur yang memiliki santri

22
Sandu Siyoto dan Muhammad Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta:
Literasi Media Publishing, 2015).
23
Stuart A. Schlegel, Grounded Research Di Dalam Ilmu-Ilmu Sosial (Banda Aceh: Pusat
Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Aceh, 1981), 4.
24
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan
(Jakarta: Prenada Media, 2015), 15.
25
M.S Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005),
19.

11
500 orang atau lebih, menyelenggarakan pendidikan jenjang Madrasah Ibtidaiyyah,
Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, masa berdirinya minimal lima tahun,
dan terindikasi menerapkan nilai-nilai moderasi beragama. Berdasarkan
penelusuran pengusul, maka ditetapkanlah tiga tempat penilitian, yakni Pondok
Pesantren al-Ihsan Tanah Grogot Kabupaten Paser, Pondok Pesantren al-Mujahidin
Samarinda Kalimantan Timur, dan Pondok Pesantren an-Nur Samarinda.

Gambar.1 Pondok Pesantren al-Ihsan, Paser.

Gambar 2. Pondok Pesantren al-Mujahidin, Samarinda.

12
Gambar 3. Pondok Pesantren an-Nur, Samarinda.
B. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan pengamatan. Analisis data
dilakukan dengan pengelempokan dan memilah data sesuai dengan jenis dan
kategorinya (reduksi data), kemudian didisplay sesuai dengan kategori yang dipilih
(display data), untuk kemudian diambil kesimpulan dan dilakukan verifikasi
kembali untuk menemukan temuan yang valid.26
C. Data dan Sumber Data
Pada umumnya dalam penelitian deskriptif kualitatif, data diperoleh dari dua
sumber, hasil wawancara dan data kepustakaan. Data hasil wawancara diperoleh
dari para informan yang diwawancarai oleh tim pengusul, yaitu pimpinan
pesantren, ustadz atau ustadzah, santri dan warga pesantren yang memahami
langkah-langkah strategis yang dilakukan pondok pesantren dalam
mengimplementasikan moderasi beragama baik di lingkungan pesantren maupun
kepada masyarakat umum. Sedangkan data kepustakaan berupa literatur, artikel
yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti, baik terkait dengan daerah lokasi
penelitian, ataupun literatur yang terkait dengan moderasi beragama.

26
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-metode Baru (UI Press, 2009), 92.

13
BAB IV

LANGKAH STRATEGIS PONDOK PESANTREN DI KALIMANTAN


TIMUR DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN MODERASI BERAGAMA

A. Pondok Pesantren al-Ihsan, Senaken


Pondok pesantren al-Ihsan Senaken Tanah Grogot Kabupaten Paser didirikan
pada tahun 1982 oleh tokoh agama yang terhimpun dalam organisasi Majelis
Dakwah Islamiyah (MDI) Kabupaten Paser yang dipelopori oleh KH. Abd. Gani
HN sekaligus memimpin pondok pesantren al-Ihsan sampai akhir hidupnya, sekitar
14 tahun lamanya. Beliau adalah alumni Pondok Pesantren As’adiyah Pusat
Sengkang yang merupakan pesantren tertua di Sulawesi Selatan yang melahirkan
banyak ulama moderat yang tersebar di pelosok Indonesia termasuk di Kabupaten
Paser. Selama memimpin Pondok Pesantren al-Ihsan beliau banyak menanamkan
nilai-nilai ajaran Islam yang moderat kepada santrinya. Setelah KH. Abd. Gani HN
wafat pada tahun 1996, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh DR. KH.
Badaruddin HD, S.Ag. sampai sekarang. Demikian hasil wawancara dengan DR.
KH. Badaruddin HD.
Selanjutnya, beliau menjelaskan latar belakang pendirian Pondok Pesantren
al-Ihsan merupakan suatu langkah strategis untuk mengimplementasikan nilai-nilai
ajaran Islm yang rahmatan lil ‘ālamīn. Para tokoh agama prihatin melihat kondisi
dan perkembangan zaman pada saat itu, adanya kerusakan moral, dan
keterbelakangan di bidang pendidikan dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat
Kabupaten Paser terutama yang ada di pedesaan. Dengan berdirinya Pondok
Pesantren al-Ihsan, anak-anak dhu’afa, fakir miskin, dan yatim piatu yang ada di
pedesaan mendapatkan kesempatan untuk menuntut ilmu dan pendidikan yang
layak. Selain itu, kehadiran pondok pesantren tersebut ikut mengambil andil dalam
mencerdaskan kehidupan anak bangsa dan melahirkan generasi penerus yang
mengamalkan nilai-nilai Islam yang moderat sebagaimana yang mereka terima dan
praktikkan selama di pesantren.
Menurut KH. Badaruddin, dalam rangka menanamkan ajaran Islam yang
moderat di Pondok Pesantren al-Ihsan, banyak kebijakan yang langsung dilakukan
oleh beliau selaku pimpinan Pesantren. Misalnya, pada saat penyambutan santri
baru yang dikenal dengan istilah masa ta’aruf (perkenalan) beliau memberikan
arahan kepada santri tentang pengamalan ajaran agama yang tidak berlebihan,
keterbukaan menerima perbedaan, tidak mengumbar kebencian. Bahkan, beliau
menekankan agar para santri berpakaian seperti yang biasa dipakai oleh
kebanyakan orang, misalnya tidak memakai celana cingkrang bagi santri putra, dan
cadar bagi santri putri. Apabila ditemukan santri yang dianggap ada kecenderungan
mengarah kepada paham-paham radikal yang dibawa masuk ke pesantren, beliau

14
memanggil bersama dengan walinya secara pribadi kemudian diberikan
pengarahan tentang bagaimana peraktek ajaran Islam yang moderat. Setelah itu,
apabila santri dan walinya belum berubah, maka oleh beliau mengambil tindakan
tegas dengan meminta santri tersebut mencari pesantren lain untuk menghindari
terjadinya pengaruh negatif kepada santri lainnya.
Demikian pula, pada saat pelepasan santri yang lulus, sebagaimana tradisi di
pesantren ketika para santri yang lulus akan meninggalkan pondok dan mengambil
semua barang-barangnya, sebelum itu mereka sowan (pamit) kepada pimpinan
pondok pesantren. Maka, momen itu beliau manfaatkan untuk memberikan pesn-
pesan kepada para santri supaya tetap teguh mengamalkan nilai-nilai ajaran agama
Islam yang diperaktekkan selama menempuh pendidikan di pondok dan tidak
mudah terpengaruh oleh kelompok-kelompok yang mengajarkan pemahaman
agama yang suka menyalahkan orang lain, bahkan mengumbar kebencian kepada
orang tertentu terutama kepada ulama yang berbeda pemahaman dan praktek
keagamaannya dengan mereka.
Selanjutnya, untuk menjaga eksistensi Pondok Pesantren al-Ihsan sebagai
pesantren yang mengimplementasikan nilai-nilai Islam yang moderat, kebijakan
lain KH. Badaruddin selaku pimpinan pondok pesantren adalah pengangkatan
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan (ustadz dan ustadzah) pada setiap jenjang
pendidikan yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Al-Ihsan mulai dari
tingkat RA, MTs, dan MA. Calon yang paling diperioritaskan adalah mereka yang
memiliki paham keagamaan yang moderat. Sekalipun syarat tersebut tidak secara
tertulis, namun dengan kemampuan yang beliau miliki, calon tenaga yang tidak
memenuhi kreteria dapat terdeteksi.
Kiyai sebagai pimpinan merupakan salah satu unsur terpenting dalam
pesantren. Ia merupakan sosok paling berperan dalam pesantren. Dalam diri
seorang kiyai terdapat beberapa kemampuan, di antaranya ia sebagai perancang
(arsitektur), pendiri dan pengembang (developer), dan sekaligus sebagai seorang
pemimpin dan pengelola (leader dan manager).27 Menurut hasil pengamatan
peneliti, peran seperti itulah yang dijalankan KH. Badaruddin dalam
kepemimpinannya. Keberadaannya sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari segi
fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan yang unik, karena ia
sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekedar bertugas
menyusun kurikulum, membuat peraturan tata tertib, merancang sistem evaluasi,
sekaligus melaksanakan proses belajar mengajar berkaitan dengan ilmu agama
yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya, melainkan
bertugas juga sebagai pembina dan pendidik umat dan menjadi pemimpin

27
Mardiyah, Kepemimpinan Kiyai Dalam Memelihara Budaya Organisasi (Malang: Aditya
Media Publishing, 2013), 55.

15
masyarakat.
Kurikulum yang digunakan oleh pesantren al-Ihsan merupakan rangkaian
rumusan kebutuhan pesantren yang telah diintegrasikan dengan moderasi
beragama, sehingga kurikulum tersebut bersifat fleksibel dan moderat.
Sebagaimana pesantren lainnya di Indonesia, metode pembelajaran halaqah, Baḥṡu
al-Masāil, Qiraat al-Kutub, Muḥādarah, dan tahfiz menjadi metode yang sangat
khas yang digunakan di dalam proses pendidikan di lingkungan pondok.
Pelaksanaan kurikulum di pesantren ini tidak terlepas dari kitab-kitab kuning yang
menjadi referensi pembelajaran.
Adapun kitab-kitab yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah Bulūg
al-Marām, Taklīn al-Muta’allim, Fatḥ al-Qarīb, Safīnah al-Najā, ‘Imrīṭī, Riyāḍu
al-Sāliḥīn, KHulāṣah Nūru al-Yaqīn, Waraqāt, Durratu al-Nāṣiḥīn, dan beberapa
kitab lainnya.
Ustaz Ulul Azmi dan Ustaz Abdul Hamid memaparkan:
“Kitab yang menjadi referensi dikaji terlebih dahulu, sebelum diajarkan, agar
terhindar dari faham-faham yang melenceng dari Akidah Islam Ahlussunah
wal Jama’ah,28 selain ditentukan oleh pimpinan pondok, pengajar pun
diminta mencari kitab referensi lainnya.”29
Dalam proses pembelajaran, Pondok Pesantren al-Ihsan secara tidak
langsung menerapkan sistem pembelajaran inklusif yang mendukung terciptanya
lingkungan belajar Islam yang moderat. Implikasi dari lingkungan belajar moderat
akan memberikan kesempatan kepada santri untuk terbiasa menerima perbedaan
dalam konteks kehidupan masyarakat. Hasil pengamatan peneliti terhadap
dokumen jadwal pembelajaran dipahami bahwa literatur yang digunakan adalah
kitab-kitab turats yang meliputi disiplin ilmu tafsir, hadits, fikhi, akhlak, nahwu dan
sharaf. Misalnya, dalam kitab Sullam al-Taufiq, khususnya pada bab tentang
perbedaan fikhi, terdapat pembahasan tentang perbedaan pemikiran mazhab dan
pilihan kondisi dalam pengambilan keputusan hukum.
Ini menunjukkan bahwa identifikasi dan pembiasaan dalam perbedaan adalah
sesuatu yang diajarkan melalui kitab kuning, dan dalam kitab–kitab tersebut tidak
ditemukan yang mengindikasikan adanya nilai-nilai intoleransi dan eksklusivitas
paham keagamaan. Dalam pembelajaran Tafsir dan hadis oleh Ustadz Ulul Azmi,
ketika beliau menjelaskan pemahaman ayat tertentu dan syarah hadis tertentu, tidak
selamanya memahami secara tekstual, tetapi terkadang beliau di samping
menggunakan metode tekstual, juga menggunakan metode kontekstual, sebagai
upaya untuk menghidari pemahaman yang mengarah terjadinya radikalisme.
Untuk menanamkan sikap nasionalisme, dilakukan melalui kegiatan

28
Ulul Azmi, Sekretaris Pondok Pesantren al-Ihsan, Wawancara, 8 Februari 2023.
29
Abdul Hamid, Koordinator Pendidikan Pondok Pesantren al-Ihsan, Wawancara, 8 Februari
2023.

16
extrakurikeler yang terjadwal misalnya pramuka, upacara bendera setiap hari senin.
Demikian juga kegiatan berkala, misalnya peringatan Hari Santri dan peringatan
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dilaksanakan setiap tanggal 17 Agustus.
Pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila pun diterapkan di dalam lingkungan
pesantren dengan baik.
Ustadz Ulul Azmi menjelaskan:
“Pondok pesantren Al Ihsan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
nasionalisme. Maka, selalu berupaya menanamkan rasa cinta kepada tanah
air, cinta kepada para ulama serta mensyukuri nikmat kemerdekaan dengan
merawat kebersamaan dan saling menghargai antar sesama anak bangsa,
menjaga ukhuah islamiah, dan ukhuah basyariah.”30
Uztadzah Hj. Sri Lestari mengungkapkan hal serupa:
“Untuk membangun komitmen kebangsaan dan nasionalisme di lingkungan
Pondok Pesantren Al-Ihsan, kami mengajarkan dengan cara saling menjaga
dan menghormati perbedaan. Mengamalkan Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari. Seperti upacara bendera, memperingati hari besar nasional, dan
lain sebagainya.”31
Sikap toleransi ditanamkan pada setiap kegiatan pesantren, misalnya dalam
kehidupan berasrama para santri dapat hidup rukun, saling berbagi, saling
membantu dan saling menghargai, sekalipun mereka berasal dari latar belakang
suku, bahasa, dan budaya yang berbeda. Secara tidak langsung, Pondok Pesantren
al-Ihsan pun menggunakan hidden curriculum sebagai upaya lain untuk
membentuk karakter santri, namun tidak lepas dari sikap moderat. Uztadz Ulul
Azmi menjelaskan bahwa para santri diajarkan tentang kegiatan-kegaiatan
keislaman yang toleran, tidak mudah memvonis dan menganggap sesat orang lain
yang berbeda pendapat dengan kita. Berdasarkan wawancara dengan beberapa
responden, secara umum Pondok Pesantren al-Ihsan membangun sikap toleransi
dan anti-radikalisme melalui berbagai kegiatan. Misalnya, apel massa pada hari
Ahad sebelum kerja bakti serentak, pelaksanaan LDKS, pengajian kitab, libur pada
hari raya agama lain, dan beberapa kegiatan lainnya yang menjunjung tinggi
kebersamaan dan menghormati orang lain.
Keseharian di pondok pesantren juga tidak terlepas dari kemampuan para
unsur di dalamnya untuk mampu bersikap akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
Sikap akomodatif ini menjadi bagian penting pula dalam membangun jiwa dan
prilaku moderat di pesantren. Pondok Pesantren al-Ihsan membangun sikap
akomodatif tersebut dengan cara menjadi bagian dari kegiatan barzanji, salawatan
secara berjemaah, tahlilan, dan lokalitas lainnya yang tumbuh di Kalimantan

30
Azmi, Sekretaris Pondok Pesantren al-Ihsan, Wawancara, 8 Februari 2023.
31
Sri Lestari, Pengajar Pondok Pesantren al-Ihsan, Wawancara, 8 Februari 2023.

17
Timur. Bahkan, pontren Al-Ihsan secara terbuka terlibat dengan kegiatan serupa
yang dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah setempat.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa langkah strategis
Pondok Pesantren al-Ihsan dalam mengimplementasikan moderasi beragama
adalah melalui kebijakan pimpinan pondok dalam menanamkan pemahaman
keagamaan yang moderat sejak dini yaitu pada awal santri masuk asrama,
doktrinisasi santri, pola rekrutmen tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
(ustadz/ustdzah) yang selektif dan ketat, serta internalisasi moderasi beragama
dalam kurikulum pembelajaran pondok pesantren baik yang diselenggarakan
secara formal di kelas, maupun yang diselenggarakan dalam pengajian/halaqah
kitab kuning dan kegiatan ekstrakuriler lainnya. Implementasi moderasi beragama
di lingkungan Pondok Pesantren al-Ihsan mendapat dukungan yang sangat baik dari
para unsur pesantren, yang didukung dengan pemahaman yang baik tentang
moderasi beragama.

B. Pondok Pesantren an-Nur, Samarinda


Banyaknya kasus intoleran dan radikal menuntut pondok pesantren untuk
semakin menguatkan pendidikan moderasi beragama. Pendidikan moderasi
beragama menjadi salah satu kebutuhan utama para santri di pesantren, termasuk
di Pondok Pesantren an-Nur. Olehnya itu, agar bisa membangun pendidikan yang
moderat di lingkungan pesantren, maka pesantren tersebut haruslah terlebih dahulu
menyusun langkah-langkah strategis dalam mengiplementasikan moderasi
beragama, di antaranya menentukan kebijakan implementasi. Proses implementasi
itu baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan sebelumnya.32
Berdasarkan pengamatan dan wawancara, implementasi moderasi beragama pada
Pondok Pesantren an-Nur sudah berjalan baik, membentengi diri dari
perkembangan radikalisme dan ekstrimisme. Moderasi beragama dipandang
sebagai jalan untuk menumbuhkan sikap jiwa sosial dalam masyarakat majemuk
dan saling menghargai.
Kebijakan untuk mengimplementasikan moderasi beragama dimulai dengan
upaya untuk tetap berada pada ajaran ahlusunah waljamaah dan islam raḥmatan lil
ālamīn dan menguatkan pemahaman tentang bahaya radikalisme dan ekstrimisme.
Akhmad Hamidi, selaku ketua yayasan, memandang bahwa moderasi beragama
sama dengan bahasa lain dari tasāmuh, sehingga bisa diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sikap dan pandangan demikian
menunjukkan keterbukaan dan wawasan luas yang dimiliki oleh pimpinan pondok.
Hal tersebut menjadi salah satu modal utama atau factor pendukung yang sifatnya
positif bagi pesantren untuk menjalankan pendidikan yang berbasis moderasi

32
RI, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam, 150.

18
beragama. Kebijakan lainnya adalah Pondok Pesantren an-Nur juga
mengedepankan keharmonisan dan kepercayaan terhadap sesama santri, tanpa
membeda-bedakan. Kemajemukan dalam lingkungan pesantren memang
merupakan celah tersendiri lahirnya sikap ekstrim di antara sesama santri.
Untuk mengimplementasikan pendidikan moderasi beragama, Ustadz
Suriansyah memberikan pemahaman tentang nasionalisme, integrasi sosial,
tenggang rasa, saling menghormati antar pemeluk agama sebagaimana diajarkan
Rasulullah. Hal senada diungkapkan pula oleh Ustadz Adi Saputra bahwa langkah
yang ditempuh oleh pondok pesantren dalam mengimplementasikan moderasi
beragama adalah dengan menerapkan sikap toleransi yang baik antara santri, saling
menghargai dan menghormati dalam perbedaan.
Langkah urgen lainnya yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren an-Nur
untuk mencetak ulama moderat adalah dengan cara mengintegrasikan moderasi
beragama ke dalam kurikulum pesantren. Moderasi beragama yang terintegrasi ke
dalam kurikulum pesantren merupakan hasil musyawarah seluruh guru dan
pimpinan pondok, sehingga tercapai rumusan yang ideal dan tepat untuk kebutuhan
pesantren.33 Pondok Pesantren An-Nur telah mewujudkan prinsip integrasi sebagai
salah satu prinsip moderasi kurikulum.
Ustadz Akhmad Hamidi selaku ketua yayasan menjelaskan:
“Pengintegrasian moderasi beragama dengan kurikulum pesantren dilakukan
dengan cara memasukkan materi tentang moderasi beragama pada setiap
pembelajaran pondok. Para asatidz dan asatidzah diingatkan agar senantiasa
menyelipkan materi tentang moderasi beragama dalam setiap pembelajaran
serta Islam sebagai raḥmatan lil ālamīn.”34
Untuk mendukung dan memaksimalkan pelaksanaan kurikulum pesantren,
Pondok Pesantren an-Nur menggunakan kitab-kitab yang sesuai dengan yang telah
ditentukan oleh muasis.35 Kitab-kitab yang menjadi referensi pembelajaran iani
merupakan rujukan dari kiyai atau pimpinan pondok yang dimusyawarahkan
dengan dewan guru agar sesuai dengan rujukan pemahaman yang diinginkan atau
sesuai dengan kebutuhan pesantren.36 Secara umum, menurut Suriansyah (pengajar
di pondok), penentuan kitab-kitab pembelajaran di Pondok Pesantren an-Nur
mengikuti kitab rujukan pondok pesantren Nahdatul Ulama.
Adapun kitab-kitab yang menjadi referensi pembelajarannya adalah Nahwu
Ṣaraf, Riyadu al-Ṣaliḥīn, Fiqih Tangga ibadah, Safīnatu al-Najā, Lubābu al-Ḥadīṡ,
Fatḥu al-Qarīb, Fatḥu al-Mu’īn, Tauhid Aqidatul Awam, Tasawuf Bidayatu al-
Hidāyah, Mukhtāru al-Aḥādīṡ al-Nabawiyah, tangga ibadah (fikih), Akhlaqu al-

33
Adi Saputra, Pengajar di Pondok Pesantren an-Nur, Wawancara, 8 Februari 2023.
34
Akhmad Hamidi, Ketua Yayasan Pondok Pesantren an-Nur, Wawancara, 8 Februari 2023.
35
Akhmad Hamidi, Ketua Yayasan Pondok Pesantren an-Nur, Wawancara, 8 Februari 2023.
36
Adi Saputra, Pengajar di Pondok Pesantren an-Nur, Wawancara, 8 Februari 2023.

19
Banīn, Minhatu al-Mugīṡ, dan lainnya. Sedangkan, metode pembelajaran yang
digunakan dalam pola pendidikan di Pondok Pesantren an-Nur pada hakikatnya
sama dengan pesantren lainnya. Menurut Ustadz Akhmad Hamidi, para santri
mengikuti metode pembelajaran halaqah, pembelajaran secara klasikal, dan belajar
berkelompok. Selain itu, ada pula proses pembelajaran yang sangat khas di
kalangan pesantren di bawah naungan Nahdatul Ulama, yakni baḥṡu al-Masāil.
Penerapan hidden curriculum juga tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari
santri. Hidden curriculum secara umum mengajarkan para santri tentang kebiasaan-
kebiasaan positif yang mengandung nilai, tata krama, sikap, kepercayaan ataupun
aturan-aturan yang menjadi kesepakatan bersama di dalam pondok. Namun,
kebiasaan positif dan praktik baik tersebut mampu mereka terapkan pula saat
mereka berada di luar pondok, sehingga terbentuk alumni pesantren yang
berkualitas dan berkarakter baik atau berakhlakul karimah. Hidden curriculum
pesantren di antaranya mencakup idiom, metafora, dan nilai-nilai khusus yang
dipelajari melalui pengamatan perilaku ibadah dan perilaku keseharian kyai atau
isyarat halus kyai, termasuk bahasa tubuh. Misalnya, bagaimana cara berjalan, cara
berbicara, cara makan, cara berinteraksi, cara berbusana, cara berkeyakinan, cara
beribadah yang benar, cara belajar, cara memanfaatkan ilmu, dan sebagainya. Hal
itu semua diajarkan di pesantren melalui hidden curriculum.37 Di antara hidden
curriculum yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren an-Nur adalah bersalaman
selesai salat, mencium tangan guru atau orang yang lebih tua, melakukan doa
bersama untuk santri yang berduka, memberlakukan system poin untuk mengontrol
prilaku santri, dan lain sebagainya.
Pendidikan budi pekerti dalam hidden curriculum ini memegang peranan
penting dalam pembelajaran moderasi beragama. Karena di dalamnya ada unsur
saling menghormati dan menghargai. Hal tersebut juga dilakukan oleh para tenaga
pengajar, di mana tugas mereka bersama unsur pimpinan memberikan keteladanan.
Dalam hal ini, para tenaga pengajar di pesantren telah menjalankan tugasnya
sebagai transformator, yakni perilaku yang ditunjukan oleh seorang ustadz yang
merupakan cerminan sistem yang telah diterjemahkan kepada santri. Peran ini
nampak dalam performance (penampilan) baik dalam dunia pendidikan maupun di
masyarakat.38 Tampak jelas dari pengamatan peneliti bahwa hidden curriculum di
Pondok Pesantren an-Nur merupakan kolaborasi yang sangat optimal yang
dibentuk oleh semua unsur pesantren, tidak hanya oleh para santri, tetapi juga oleh
tenaga pengajar dan unsur pimpinan.

37
Ahmad Halid, “Hidden Curriculum Pesantren: Urgensi, Keberadaan Dan Capaiannya,”
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 12, no. 2 (15 Agustus 2019): 141,
https://doi.org/10.36835/tarbiyatuna.v12i2.398.
38
M. Redha Anshari dkk., Moderasi Beragama Di Pondok Pesantren (Yogyakarta: K-Media,
2021), 9.

20
Pondok pesantren sebagai salah satu sumber peradaban Islam memang tidak
terlepas dari polemik keagamaan, utamanya terkait kajian-kajian mendalam
tentang agama. Maka, tidak heran jika banyak yang menilai bahwa sumber
ekstrimisme dan radikalisme berasal dari pesantren. Pesantren memiliki tugas dan
tanggung jawab yang besar untuk bisa menangkal kecurigaan dan tuduhan dari
pihak luar terkait extrimisme dan radikalisme tersebut. Untuk mengembalikan citra
Islam yang sebenarnya, maka diperlukan moderasi agar penganut lain dapat
merasakan kebenaran ajaran Islam yang Raḥmatan lil Ālamīn.39
Dalam hal ini, Pondok Pesantren an-Nur membangun sikap toleransi dan
anti-radikalisme dengan sangat baik. Berdasarkan pengamatan peneliti, pesantren
ini telah menumbuhkan integrasi sosial dan pemahaman tentang kebhinekaan yang
berdasarkan sunatullah, mengajarkan tentang sikap saling menghargai sesama anak
bangsa walaupun berbeda suku atau agama, melalui berbagai kegiatan. Di
antaranya adalah kegiatan seminar cinta tanah air dan kebangsaan, optimalisasi
kegiatan kepramukaan, Palang Merah Remaja, dan berbagai kegiatan
ekstrakurikuler lainnya.
Sikap toleransi dan anti radikalisme mulai diterapkan pada masa ta’aruf santri
baru di pesantren. Ustadz Akhmad Hamidi menilai bahwa penanaman nilai Islam
sebagai raḥmatan lil ālamīn merupakan jalan untuk mengajarkan kedua sikap
tersebut di atas. Penanaman nilai Islam ini pun dilaksanakan pada masa ta’aruf
santri baru dan kemudian dilanjutkan pada proses pembelajaran dan kajian kitab.
Sedangkan untuk membangun komitmen kebangsaan dan nasionalisme,
Pondok Pesantren an-Nur secara rutin melaksanakan upacara bendera setiap hari
Senin, aktif memeriahkan perayaan hari besar nasional seperti Hari Santri dan HUT
RI, dan pelatihan tentang wawasan kebangsaan dan nasionalisme. Pembiasaan
dalam bentuk kegiatan seperti ini akan mendorong siswa untuk memupuk rasa cinta
tanah air di dalam dirinya.
Indikator lainnya yang berkaitan dengan implementasi moderasi beragama di
dalam lingkungan pondok pesantren adalah sikap akomodatif pesantren terhadap
budaya lokal. Pondok Pesantren an-Nur mampu melibatkan unsur pesantren dan
membaur dengan masyarakat sekitar.
Ustadz Akhmad Hamidi menerangkan:
“Sikap akomodatif terhadap budaya lokal merupakan amalan atau kegiatan
sehari-hari di pondok, selalu memenuhi undangan warga tahlilan, sholawat,
selamatan, dan lain sebagainya. Paham aliran/amaliah pondok sama dengan
paham/aliran di masyarakat sekitar pondok, sehingga hal tersebut menjadi
faktor yang sangat mendukung pesantren untuk mengimplementasikan

39
Abdullah Munir, Literasi Moderasi Beragama Di Indonesia (Bengkulu: CV. Zigie Utama,
2020), 161.

21
moderasi beragama.”
Ustadz Adi Saputra memaparkan:
“Salah satu amalan pondok pesantren dan sangat dibutuhkan masyarakat
yakni melaksanakan tahlillan, do'a bersama, memperingati hari-hari besar
Islam dengan bersholawat bersama dan lain-lain.40 Pesantren mendukung
setiap budaya lokal yang bisa membentuk sikap integritas social.”41
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi moderasi
beragama di dalam lingkungan Pondok Pesantren an-Nur sudah cukup baik.
Langkah-langkah strategies dan berbagai kebijakan pun dijalankan untuk
mewujudkan sikap, prilaku, dan cara pikir yang moderat di kalangan santri dan
unsur pesantren lainnya. Langkah dan kebijakan tersebut di antaranya penanaman
nilai Islam yang dimulai pada masa ta’aruf santri baru. Lalu, mengintegrasikan
nilai-nilai moderasi beragama ke dalam kurikulum pesantren yang berdasarkan atau
sesuai dengan kebutuhan pesantren. Selain itu, proses pembelajaran menggunakan
kitab-kitab yang sesuai dengan referensi dan kajian moderat. Kebijakan lainnya,
Pesantren an-Nur membangun kolaborasi yang baik dengan masyarakat sebagai
bentuk akomodatif terhadap budaya lokal. Pembentukan sikap anti-radikal, toleran,
dan cinta tanah air dilakukan melalui pengembangan berbagai kegiatan
ekstrakurikuler sekolah.

C. Pondok Pesantren al-Mujahidin, Samarinda


Dengan mengusung visi “Terwujudnya peserta didik yang unggul, berprestasi
dalam bidang Sains, Teknologi, memiliki keterampilan yang kompeten sebagai
bekal dalam kehidupan bermasyarakat serta berwawasan kecendikiaan, keislaman
dan kebangsaan”, Pondok Pesantren al-Mujahidin berdiri strategis di Kota
Samarinda. Untuk mewujudkan visi ini, Pondok Pesantren al-Mujahidin
menjalankan salah satu misinya dengan melaksanakan pembelajaran bermutu yang
berbasiskan ahlusunah waljamaah. Misi tersebut menunjukkan bahwa lembaga
pendidikan Islam ini merupakan lembaga yang mengedepankan nilai-nilai moderasi
beragama.
Moderasi beragama, yang sejak dahulu didengung-dengungkan dengan nama
toleransi beragama, pada hakikatnya telah banyak dijalankan oleh lembaga-
lembaga pesantren. Pesantren mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memang
mendorong terlaksananya moderasi beragama di dalam lingkungan pesantren
tersebut, hal yang sama dilakukan oleh pimpinan Pondok Pesantren al-Mujahidin.
Pimpinan Pondok Pesantren al-Mujahidin, Ustadz Nirhamna Hanif Fadillah
mengungkapkan bahwa pesantren binaannya tersebut membangun kolaborasi dan

40
Adi Saputra, Pengajar di Pondok Pesantren an-Nur, Wawancara, 8 Februari 2023.
41
Suriansyah, Pengajar Pondok Pesantren an-Nur, Wawancara, 8 Februari 2023.

22
sinergi dengan masyarakat dalam mengintegrasikan moderasi beragama ke dalam
kurikulum pesantren. Sedangkan, Ustadz Ahmad Yazid HM selaku pembina
mewujudkan integrasi moderasi ke dalam pembelajaran dengan menjalin rasa
memiliki antar teman saling menghargai dan menghormati, tenggang rasa dan
rukun dalam kebersamaan. Lebih jauh, salah seorang dewan pengasuh, Ustadz H.
Tajuddin Buhema Malliungan, salah satu bentuk pengintegrasiannya adalah dengan
melakukan studi banding dengan pondok pesantren lainnya. Studi banding ini
bertujuan untuk membuka cakrawala dan wawasan para santri untuk bersikap lebih
moderat dan berpikiran terbuka untuk menerima hal-hal yang ada dan terjadi di luar
pondok mereka secara moderat.
Metode pembelajaran pun sangat mempengaruhi proses pembelajaran yang
mengarahkan para santri untuk membangun pola pikir yang moderat. Misalnya,
metode halaqah, dalam metode ini terbangun interaksi yang cukup kuat antara
ustadz/ustadzah dan santri di mana santri tidak dibiarkan begitu saja menelan
mentah-mentah, namun ustadz/ustadzah memberikan interpretasi dan penjelasan
yang mengarahkan santri ke pemahaman yang lebih baik. Banyak hal atau
peristriwa yang merupakan bagian dari ekstrimisme ataupun radikalisme yang lahir
sebagai dampak dari interpretasi ayat atau hadis yang tidak tepat dan tidak sesuai
kaidah tafsir. Untuk menghindari lahirnya tafsir yang bersifat ekstrim, Pondok
pesantren al-Mujahidin mengambil kebijakan yang tepat, yakni menerapkan
metode pembelajaran halaqah, sehingga para santri mendapatkan penjelasan
langsung dari setiap tema yang dikaji. Menurut M. Quraish Shihab, langkah utama
untuk mewujudkan moderasi itu adalah pemahaman yang benar terhadap teks-teks
terperinci al-Qur’an dan sunnah dengan memperhatikan Maqāṣid asy-Syarī’ah.42
Selain itu, Pondok pesantren al-Mujahidin juga menggunakan metode Baḥṡu al-
Masāil, Muḥāḍrah, dan metode lainnya yang memang bertujuan untuk melibatkan
para santri dalam belajar, diskusi, dan berbagi pengetahuan. Metode ini mampu
mengajarkan para santri untuk bersikap terbuka dan menghargai setiap pengetahuan
yang mereka dengar dari orang lain.
Untuk mendukung proses pembelajarannya, Pesantren al-Mujahidin
menggunakan kitab-kitab yang menjadi referensi pembelajarannya dengan
menggabungkan kitab-kitab salafi dan modern. Dalam hal ini, Pondok Pesantren
al-Mujahidin menerapkan prinsip keseimbangan dalam pengembangan
kurikulumnya. Kurikulum moderat dikonstruksi melalui keseimbangan antara
rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas.
Ustadz H. Tajuddin Buhema Malliungan mengatakan:

42
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Jakarta:
Lentera Hati Group, 2019), 181.

23
“Untuk menentukan kitab-kitab referensi pembelajaran di pesantren, tetap
dimusyawarahkan yang terlibat dalam pengembangan pendidikan
berpedoman pada kitab yang telah diajarkan oleh seorang Kyai dari Nahdlatul
Ulama.”43
Adapun kitan-kitab yang digunakan dalam lingkungan pondok adalah Hadis budi
Luhur, al-Arbaīn li al-Nawawī, Ḥujjah Ahlussunah Wal Jamā’ah, Mabādi’ Fiqih, Risālatu
al-Mahid, Fatḥu Qarīb, ‘Aqīdatu al-Awām, Zādu al-Mubtadi’, Jawāhiru al-Kalāmiyah ‘alā
Taisīri Khalāq, Ta'līm, dan lainnya.
Untuk menguatkan proses penerapan moderasi beragama, Pondok Pesantren
al-Mujahidin mengajarkan nilai-nilai, kaidah, tata krama, sikap, dan hal lainnya
yang berkaitan dengan pembentukan karakter santri dan unsur pesantren lainnya.
Bentuk-bentuk pengajaran itu tertuang dalam berbagai kegiatan yang menjadi
pembiasaan-pembiasaan, baik di kelas maupun di luar kelas. Misalnya, melakukan
doa bersama, apel pagi, mencium tangan para ustadz/ustadzah, hidup dalam
kesederhanaan, dan gotong-royong. Pondok Pesantren al-Mujahidin menggunakan
hidden curriculum untuk mengubah tingkah laku santri sehingga mampu
melakukan transformasi nilai-nilai, sebagai pondasi dari berpikiran moderat. Pada
dasarnya, hidden curriculum memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya
kepada setiap santri untuk memperdalam ngaji nilai, karakter, sikap, dan tindak kyai
yang sehari-hari mereka lihat untuk mereka praktikkan ketika para santri kembali
ke halaman rumahnya masing-masing.44
Persoalan komitmen kebangsaan dan nasionalisme saat ini sangat penting
untuk diperhatikan terutama ketika dikaitkan dengan kemunculan paham-paham
baru keagamaan yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai dan budaya yang sudah
lama terpatri sebagai identitas kebangsaan yang luhur. 45 Membangun komitmen
kebangsaan dan nasionalisme di kalangan santri juga menjadi perhatian pimpinan
Pondok Pesantren al-Mujahidin. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk
membangun komitmen itu adalah partisipasi aktif pada setiap perayaan hari
nasional, upacara bendera di sekolah yang dilaksanakan secara berkala,
ekstrakurikuler sekolah yang berimbang antara umum dan khusus pesantren.
Pembentukan karakter disiplin juga tidak terlepas dari upaya membangun semangat
kebangsaannya.
Ustadz Ahmad Yazid HM mengatakan:
“Dengan upaya penanaman pemahaman adanya relasi agama, bangsa dan
negara. Bentuk kegiatannya berupa upacara formal senin pagi, peringatan
hari-hari nasional seperti Hari Pahlawan 10 November, Hari Sumpah

43
Tajuddin Buhema Malliungan, Tenaga Pengasuh Pondok Pesantren al-Mujahidin,
Wawancara, 8 Februari 2023.
44
Halid, “Hidden Curriculum Pesantren,” 140.
45
RI, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam, 17.

24
Pemuda, Hari Merdeka 17 Agustus, dan lainnya.”46
Untuk mencetak santri yang memiliki toleransi tinggi, Pondok Pesantren al-
Mujahidin memaksimalkan upaya pembelajaran dengan jalan bekerja sama dengan
masyarakat dalam pembinaan dan keteladanan, mengoptimalkan sikap saling
menghargai pendapat yang lainnya, dan penguatan pemahaman keislaman.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam memang dituntut mampu
memberikan makna Islam secara dinamis, bukan hanya dari sisi ritual, namun juga
aspek sosial, sehingga makna Islam sebagai rahmat universal bisa terwujud dan
dirasakan semua orang.47 Penguatan dan pembekalan pemahaman keislaman secara
kaffah di kalangan santri di Pesantren al-Mujahidin dilakukan dengan cara yang
menarik bagi santri, di antaranya adanya pelajaran tambahan berupa Aswaja.
Ustadz Yazid menambahkan lebih jauh bahwa pembentukan toleransi dan anti-
radikal juga diperoleh santri melalui penayangan film-film pendukung, lalu
didukung dengan kegiatan halaqah dan diskusi.
Pondok pesantren al-Mujahidin tidak menafikan eksistensi kebudayaan lokal
di Kalimantan Timur, seperti membaca doa bersama, salawat berjemaah, atau
barzanji. Dalam hal ini, pimpinan pondok menunjukkan jalan tengah kepada santri
dan masyarakat bahwa Islam bersifat dinamis dan fleksibel, dengan mengutamakan
fikih sebagai media untuk melerai ketegangan antara ajaran keagamaan dengan
kebudayan lokal di Kalimantan Timur. Menurut Ustadz Tajuddin, pesantren ini
malah mengadakan pembinaan khusus terkait kebudayaan lokal tersebut karena
sama sekali tidak menyimpang dari segi agama. Ustadz Yazid menambahkan
bahwa pesantren rutin melaksanakan pembacaan Surah Yasin, tahlil dan doa
bersama, istighatsah, dan pembacaan salawat Ṣumtu al-Durar.
Adapun faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan moderasi
beragama di pesantren, Ustadz Yasid mengungkapkan:
“Pendukung: Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang
disetarakan dengan pendidikan formal yang lain, sehingga memudahkan
untuk memberikan ruang dalam mengimplementasikan moderasi beragama
di tengah-tegah santri yang heterogen. Penghambat: belum semuanya ustadz-
dzah memahami tentang moderasi beragama, kepentingannya dan fungsi dari
pada moderasi beragama, masih adanya pemikiran ustadz-dzah yang masih
dipengaruhi oleh pendapat-pendapat Ulama Salaf dan keengganannya
ustadz-dzah untuk membuka diri dengan belajar lebih banyak bergaul dengan

46
Ahmad Yazid, Pembina Santri Pondok Pesantren al-Mujahidin, Wawancara, 8 Februari
2023.
47
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Gramedia pustaka utama, 2019),
445.

25
berbagai latar belakang ummat manusia yang berbeda-beda.”48
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan bahwa langkah
yang ditempuh oleh pimpinan Pondok Pesantren al-Mujahidin adalah penguatan
pembelajaran moderasi beragama yang terintegrasi ke dalam kurikulum formal
pesantren dan juga hidden curriculum pesantren. Penguatan pemahaman Islam
yang dinamis dan moderat dilakukan melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan
intrakurikuler, metode pembelajaran yang mengutamakan pendampingan para
ustadz/ustadzah, dan penentuan kitab referensi yang berdasarkan hasil
musyawarah.

48
Ahmad Yazid, Pembina Santri Pondok Pesantren al-Mujahidin, Wawancara, 8 Februari
2023.

26
BAB V

PENUTUP
Moderasi beragama merupakan sebuah cara untuk membangun
keseimbangan keagamaan di tengah masyarakat, menjunjung tinggi toleransi di
antara sesama dengan mengamalkan ajaran agama tanpa sikap dan pandangan yang
ekstrim. Cara pandang ini menghindarkan siapapun dari perilaku yang radikal dan
keekstriman dalam praktik keagamaan. Pesantren berperan penting dalam
membangun sikap dan pola pikir moderat untuk dikembangkan dan
diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, langkah strategis
yang ditempuh oleh pondok dalam pengimplementasian moderasi beragama sangat
menentukan output.
Implementasi moderasi beragama di lingkungan Pondok Pesantren Al-Ihsan,
Pondok Pesantren An-Nur, dan Pondok Pesantren Al-Mujahidin di Kalimantan
Timur sudah dimulai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan dari pimpinan pondok
pesantren yang mendukung terciptanya sikap dan cara pandang moderat di
lingkungan pesantren. Adapun kebijakan dalam menanamkan pemahaman
keagamaan yang moderat adalah pembekalan pada masa ta’aruf santri dan diakhiri
dengan doktrinisasi pada saat pelepasan santri yang lulus, perekrutan tenaga
pengajar yang ketat dan selektif, pengelolaan kurikulum satuan pesantren yang
mengintegrasikan moderasi beragama, penentuan kitab referensi pembelajaran
yang sesuai dengan ahlusunah waljamaah, dan penguatan pendidikan nilai dan
kaidah melalui hidden curriculum dan kegiatan berbasis moderasi beragama
lainnya.

27
DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi, Agus. “Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia.” Inovasi-
Jurnal Diklat Keagamaan 13, no. 2 (23 April 2019): 45–55.
Ali, Muhamad, dan Didik Himmawan. “The Role of Hadis as Religion Doctrine
Resource,evidence Proof of Hadis and Hadis Function to Alquran (Peran
Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama, Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Dan
Fungsi Hadits Terhadap Alquran).” Risalah, Jurnal Pendidikan dan Studi
Islam 5, no. 1, March (15 Maret 2019): 125–32.
https://doi.org/10.31943/jurnal_risalah.v5i1.100.
Anshari, M. Redha, Surawan Surawan, Muhammad Iqbal Purnama Adi, dan Asmail
Azmy. Moderasi Beragama Di Pondok Pesantren. Yogyakarta: K-Media,
2021.
Azmi, Ulul. Sekretaris Pondok Pesantren al-Ihsan. Wawancara, 8 Februari 2023.
Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar
Tuq an-Najah, 2001.
Fahri, Mohamad, dan Ahmad Zainuri. “Moderasi Beragama di Indonesia.” Intizar
25, no. 2 (2019). https://doi.org/10.19109/intizar.v25i2.5640.
Halid, Ahmad. “Hidden Curriculum Pesantren: Urgensi, Keberadaan Dan
Capaiannya.” Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 12, no. 2 (15 Agustus
2019): 140–50. https://doi.org/10.36835/tarbiyatuna.v12i2.398.
Hamid, Abdul. Koordinator Pendidikan Pondok Pesantren al-Ihsan. Wawancara, 8
Februari 2023.
Hamidi, Akhmad. Ketua Yayasan Pondok Pesantren an-Nur. Wawancara, 8
Februari 2023.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah,
2001.
Kaelan, M.S. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma, 2005.
Khotimah, Husnul. “Internalisasi Moderasi Beragama Dalam Kurikulum
Pesantren.” Rabbani: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 1 (27 Januari
2020): 62. https://doi.org/10.19105/rjpai.v1i1.3008.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tim Penyusun. Moderasi Islam. Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2017.
Lestari, Sri. Pengajar Pondok Pesantren al-Ihsan. Wawancara, 8 Februari 2023.
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Gramedia
pustaka utama, 2019.
Malliungan, Tajuddin Buhema. Tenaga Pengasuh Pondok Pesantren al-Mujahidin.
Wawancara, 8 Februari 2023.
Mardiyah. Kepemimpinan Kiyai Dalam Memelihara Budaya Organisasi. Malang:
Aditya Media Publishing, 2013.
Miles, Matthew B., dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku
Sumber Tentang Metode-metode Baru. UI Press, 2009.
Munir, Abdullah. Literasi Moderasi Beragama Di Indonesia. Bengkulu: CV. Zigie
Utama, 2020.

28
Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya an-. Riyadh as-Shalihin Min Kalam al-
Mursalin. Surabaya: Dar al-Ilmi, t.t.
Nugraha, Dera. “The Implementation of Religious Moderation Values in Islamic
Education Learning at Cendekia Islamic Junior High School, Cianjur
Regency, Indonesia.” KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial dan
Keagamaan 13, no. 2 (27 Desember 2020): 219–35.
Nurdin, Ali, dan Maulidatus Syahrotin Naqqiyah. “Model Moderasi Beragama
Berbasis Pesantren Salaf.” Islamica: Jurnal Studi Keislaman 14, no. 1 (1
September 2019): 82–102. https://doi.org/10.15642/islamica.2019.14.1.82-
102.
Qardhawi, Yusuf. Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan Dalam
Beragama. Mizan Pustaka, 2020.
———. Pengantar Kajian Islam: Studi Analistik Komprehensif Tentang Pilar-
Pilar Substansi, Karakteristik, Tujuan Dan Sumber Acuan Islam. Jakarta:
Pustaka Al Kauthar, 1997.
RI, Kementerian Agama. Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan
Islam. Pendis Press. Jakarta: Pokja Implementasi Moderasi Beragama
dalam Pendidikan Islam bekerjasama Lembaga Daulat Bangsa, 2021.
https://pendispress.kemenag.go.id/index.php/ppress/catalog/book/5.
———. Moderasi Beragama. Pendis Press. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2021.
Sagirah, Sitti. “Studi Ma’ani al-Hadis Terhadap Hadis-Hadis Prediktif dan
Implementasinya dalam Konteks Kekinian.” Disertasi, UIN Alauddin,
2019.
———. “The Study of Ma‘Ani Al-Hadis Towards Predictive Hadiths of
Authoritarianism and the Moral Crisis.” Borneo International Journal of
Islamic Studies (BIJIS), 26 Mei 2019, 91–105.
https://doi.org/10.21093/bijis.v1i2.1522.
Saputra, Adi. Pengajar di Pondok Pesantren an-Nur. Wawancara, 8 Februari 2023.
Schlegel, Stuart A. Grounded Research Di Dalam Ilmu-Ilmu Sosial. Banda Aceh:
Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Aceh, 1981.
Setyowati, Agnes. “Radikalisme, Bom Waktu yang Mengancam Masa Depan
Bangsa,” 4 Maret 2021.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/03/18070321/radikalisme-bom-
waktu-yang-mengancam-masa-depan-bangsa?
Shihab, M. Quraish. Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama.
Jakarta: Lentera Hati Group, 2019.
Siyoto, Sandu, dan Muhammad Ali Sodik. Dasar Metodologi Penelitian.
Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015.
Suriansyah. Pengajar Pondok Pesantren an-Nur. Wawancara, 8 Februari 2023.
Suyanto, Bagong, dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Prenada Media, 2015.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta:
Lkis Pelangi Aksara, 2001.
Yazid, Ahmad. Pembina Santri Pondok Pesantren al-Mujahidin. Wawancara, 8
Februari 2023.

29
30

Anda mungkin juga menyukai