Opini Darurat Jurnalisme Konflik Hamas-Israel
Opini Darurat Jurnalisme Konflik Hamas-Israel
Kabar soal serangan Hamas (Ḥarakat al-Muqāwamah al-Islāmiyyah) ke bagian wilayah yang
dianeksasi Israel mulai menyebar secara cepat. Tak hanya membuat publik heboh melainkan
efek domino di mana masyarakat mulai tergiring opini untuk dapat melihat titik konflik dari sudut
pandang yang digiring oleh media. Darurat jurnalisme meliputi beredarnya pemberitaan yang
bersifat propaganda, hoax dan minimnya minat baca di masyarakat dalam hal ini memberikan
efek yang luar biasa. Lantas apa yang salah dari penerapan jurnalisme di tengah konflik
Hamas-Israel?
Pada dasarnya, berita soal Hamas dalam beberapa hari berisi narasi panjang soal kekacauan
di wilayah Israel, kabar terbaru menyebutkan adanya pembunuhan yang mengincar anak-anak
dan kaum perempuan, bahkan kabar soal pemakaian bonus Fosfor putih sudah dirilis sehari
lalu. Selama memperhatikan sosial media seperti X (Twitter) dan Facebook, banyak masyarakat
Indonesia yang aktif bersosial media mengarahkan suara mereka ke topik selain soal konflik,
seperti soal sejarah Zionisme dan isu bahwa konflik sebenarnya sengaja dibuat di masa krisis
yang menyinggung Netanyahu. Tak sedikit yang mengaitkan pemberitaan yang beredar dengan
ramalan soal akhir zaman.
Melihat antusiasme masyarakat, hal ini bukan tanpa sebab. Sebenarnya, peran media di
Indonesia begitu masif dengan strategi terus menyajikan berita soal konflik tersebut, dimulai
dari foto ilustrasi yang mengunggah perasaan dan judul berita yang clickbait. Maka hal tersebut
menjadi sebuah makanan yang nantinya dimakan masyarakat. Tentu, efek akan timbul layaknya
krisis yang memiliki sebab. Hal ini di dalam lingkup Jurnalisme disebut sebagai nilai berita yang
Consequence diartikan sebagai dampak yang ditimbulkan akibat berita yang memang tersaji di
masyarakat, walaupun belum tentu hal tersebut memang sebuah fakta atau bukan.
Penggunaan Jurnalisme Perang sebenarnya dapat dikenali dari tulisan yang dibuat oleh jurnalis
itu sendiri, penggunaan kata "serangan balasan"," pembantaian", "Penghancuran", walaupun
gamang, hal ini bisa saja memberikan nilai bagi pembaca bahwa media tersebut sebenarnya
berpihak ke mana. Contoh di dalam negeri soal konflik antara OPM dan Pemerintah RI
akhir-akhir ini yang syarat menggunakan kata "Pembakaran, penembakan dan pembantaian".
Dalam situasi konflik, Jurnalisme sebenarnya memiliki tugas yang berisiko dan memang
terdapat kepentingan baik bagi media itu sendiri atau golongan tertentu. Contohnya pusat
pemberitaan Reuters, sekelas media CNN atau Fox, jika diperhatikan sejak pecahnya konflik
antara Hamas dan Israel, traffic sumber berita sebenarnya beredar dari dalam negeri Israel itu
sendiri, kesamaan ciri antar berita adalah penggunaan kata dan istilah yang mengganggu
seperti "penyanderaan", "pembunuhan". Apakah memang hal ini menjadi sebuah fenomena
yang normal di dunia jurnalisme?
Jurnalisme perang secara halus memang memanfaatkan berita dari sebagian pihak untuk
kepentingan tertentu. Alhasil bukan perdamaian dan berita sesungguhnya yang diperoleh oleh
penonton sebagai sebuah imbas yang pasti terjadi. Hal ini sering disebut dengan istilah
propaganda. Fakta yang terjadi, banyak media di Indonesia khususnya portal media online yang
asal saja meniru pemberitaan di lingkup internasional yang beredar tanpa menelisik kembali
kebenaran yang ada. Maraknya judul clickbait dan berita hoax dan hilangnya budaya
"klarifikasi" memicu kehidupan Jurnalisme yang sakit. Sekelas kampanye politik dan perang
dapat menjadi sebuah tayangan yang adiktif layaknya sebuah TV Show. Berita lebih
berorientasi pada kekerasan, elit dan kemenangan sehingga tidak menekankan pada proses
pencapaian perdamaian.
Padahal, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2004), mengungkapkan soal elemen jurnalisme yang
seharusnya dipahami insan pers, bukan saja soal kebenaran yang hakiki yang harus disajikan
melainkan intisari jurnalisme sebagai sebuah disiplin dan verifikasi bagi masyarakat.
Pertanyaan pun muncul ketika konflik pecah di suatu wilayah, apakah objektivitas seperti para
wartawan atau jurnalis harus didahulukan dibandingkan hati nurani yang dimiliki setiap insan?
Hal ini memicu rasa galau, ketika hati dan tulisan yang dibuat terkadang tidak memiliki
kesamaan akibat kekhawatiran soal subjektivitas.
Lantas, jika berpedoman pada pendapat Kovach dan Rosentiel ini, kegiatan jurnalistik
seharusnya menimbulkan nilai yang positif baik bagi insan pers dan masyarakat itu sendiri. Soal
jurnalisme yang tidak timpang memang membenarkan untuk selalu menyebarkan kabar yang
sesungguhnya seperti soal memberitakan kekejaman akibat perang. Tetapi yang jarang
dilakukan adalah soal verifikasi informasi yang relevan disebarkan ke masyarakat. Terlebih,
praktik Jurnalisme perang seharusnya juga dibarengi dengan praktik Jurnalisme damai yang
adil, bukan saja mementingkan arus peredaran informasi dan pendapatan media. Meskipun
demikian, proses produksi berita ini tidak bisa lepas dari proses yang panjang meliputi
organisasi, tempat bekerjanya jurnalis tersebut.
Pers dapat menjalankan perannya sebagai provokator tetapi bukan sebagai provakotor eskalasi
konflik, diartikan bahwa pers yang memiliki pengaruh besar dapat menggiring opini ke
masyarakat secara langsung. Penilaian terhadap sebuah konflik seperti pada Hamas-Israel
diharapkan dapat menjadi bahan untuk mencapai solusi perdamaian di kedua belah pihak.
Seprti hal nya dalam proses konstruksi sebuah berita khususnya yang berkaitan dengan
kemanusiaan termasuk soal konflik-perang, faktor yang berperan besar adalah individual level
(tingkat individual), media routines level (level rutinitas media) dan organizational level (tingkat
organisasi) berdasarkan tulisan hoemaker dan Reese. Pada tingkat invidual level, soal
kepercayaan sang jurnalis atau wartawan yang turun ke lapangan juga perlu diperhatikan
karena rawan disalahartikan dan berujung terhadap nilai subjektivitas yang tinggi.
Walaupun perang memang menjadi sebuah momen yang tak diharapkan, merujuk terhadap
pendapat Loeffelholz, perang sebenarnya merupakan produk dari proses-proses sosial yang
sangat terpengaruh oleh berbagai macam kondisi, sarana dan efek komunikasi. Konflik-konflik
disebabkan tidak hanya oleh perbedaan kepentingan, namun juga oleh kesalahan komunikasi
dan kesalahpahaman diantara berbagai bagian masyarakat ( Loeffelholz, 2002). Kesalahan dan
kesalahpahaman ini tidak terlepas dari peran jurnalis atau wartawan dalam membuat berita.
Demi meminimalisir hal tersebut, idealisme kembali menjadi jawaban utama. Jurnalis
memegang peran penting dalam membuat berita yaitu sebagai interpreter yang
menginterpretasikan fakta yang ia lihat dan ia dengar menjadi sebuah berita. Fakta dalam
pendekatan konstruksionis dianggap sebagai realitas yang dikonstruksikan. Dalam hal ini
manusia secara aktif memberi definisi dan memberikan makna terhadap suatu peristiwa.
Dengan demikian jika saja lingkup Jurnalisme yang sehat dilakukan, maka seharusnya
Indonesia tidak lagi darurat berita hoax dan krisis moral jurnalis.