Anda di halaman 1dari 55

CRITICAL BOOK REVIEW

DASAR NEGARA PANCASILA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Pendidikan Pancasila
Jurusan Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan

Dosen Pengampu : Drs. Halking, M.Si

Disusun Oleh :

KELOMPOK 2 TIM 1 KELAS C PPKn 2022

1. Fahrysyah Aulya ( 3221111013 )


2. Mira Cahya (3222411005 )

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Kata Pengantar

Puji syukur penuis ucapkan kehadirat Tuhan yang Masa Esa, karena Atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Critical Book Review
ini sesuai waktu yang telah di tetapkan oleh dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Politik.
Penulis juga mengucapakn terima kasih kepada bapak Drs. Halking, M.Si.
sebagai dosen yang telah membimbing penulis, mengajari penulis mengenai
Pembelajaran Pendidikan Pancasila, selain itu dosen juga memberikan informasi
kepada penulis bagaimana cara membuat tugas Laporan Critical Book Review yang
baik.
Penulis menyadari bahwasannya Laporan Critical Book Review ini belum
lengkap dan jauh dari kata sempurna sesuai dengan yang di tetapkan, untuk itu
penulis sangat berharap masukan dan kritik yang membangun dari pembaca.
Terima Kasih.

27 Maret 2024

Tim 1 Kelompok 2

i
Daftar Isi

Kata Pengantar.............................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR........................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan CBR....................................................................................1
1.3 Manfaat Penulisan CBR..................................................................................1
1.4 Identitas Buku...................................................................................................1
BAB II RINGKASAN ISI BUKU.........................................................................................3
BAB III KEUNGGULAN BUKU........................................................................................46
3.1 Keterkaitan Antar Bab..................................................................................46
3.2 Kemutakhiran Isi Buku.................................................................................46
3.3 Keterkaitan Isi Buku dengan Bidang Ilmu..................................................47
BAB IV KEKURANGAN ISI BUKU.................................................................................48
4.1 Keterkaitan Antar Bab..................................................................................48
4.2 Kemutakhiran Isi Buku.................................................................................48
4.3 Keterkaitan Antara Isi Buku Dengan Bidang Ilmu....................................48
BAB V HASIL ANALISIS...................................................................................................49
BAB VI PENUTUP..............................................................................................................51
6.1 Kesimpulan......................................................................................................51
6.2 Saran................................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................52

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR
Dalam penyusunan makalah ini Critical Book Review ini penulis
menggunakan tiga buku, dimana salah satu buku tersebut adalah buku utama, buku
pembanding 1 dan buku pembanding 2 yang akan dibandingkan isinya dengan buku
utama.
Keterampilan membuat Critical Book Review pada penulis dapat menguji
kemampuan dalam meringkas dan menganalis sebuah buku serta membandingkan
buku yang dianalisis dengan buku yang lain, mengenal dan memberi nilai serta
mengkritik sebuah karya tulis yang dianalisis
1.2 Tujuan Penulisan CBR
Laporan Critical Book Review ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila, dan juga untuk menambah wawasan serta
pemahaman dalam memahami Pendidikan Pancasila terkhususnya mengenai materi
“ Dasar Negara Pancasila “
1.3 Manfaat Penulisan CBR
1.3.1 Untuk memahami lebih dalam lagi mengenai materi kuliah Pendidikan
Pancasil.
1.3.2 Untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku.
1.3.3 Untuk mengembangkan budaya membaca dan berpikir kritis.
1.4 Identitas Buku
1.4.1 Buku Utama
Judul Buku : Dasar Negara Pancasila
Penulis : Bambang Suteng Sulasmono
Tahun : 2015
Jumlah Halaman : 230
Penerbit : Pt. Kanisius
ISBN : 978-979-21-4622-6

1
1.4.2 Buku Pembanding 1
Judul Buku : Pendidikan Pancasila Berbasis Nilai-Nilai
Penulis : Dr. Sarbaini, M.Pd Reja Fahlevi S.Pd M.Pd
Tahun : 2018
Jumlah Halaman : 282 halaman
Penerbit : Penerbit Aswaja Pressindo
ISBN : 978-602-6733-49-8

1.4.3 Buku Pembanding 2


Judul Buku : Pancasila Yuridis Kenegaraan
Pemulis : Dra. Hj. Siti Afiyah, S.H., M.H.
Tahun : 2015
Jumlah Halaman : 228
Penerbit : R.A.De.Rozarie
(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia)
ISBN : -

2
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU
2.1. Buku Utama
BAB II Dinamika Perumusan dan Perjalanan Hidup Pancasila
1. PENDAHULUAN
Walaupun Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara sejak tahun 1945,
namun dimensi kesejarahan Pancasila sendiri tetap relevan untuk diperbincangkan.
Sudah tentu ada banyak persoalan yang dapat dibahas bila kita membicarakan sejarah
Pancasila. Sekadar menyebut beberapa contoh, pembahasan dapat kita lakukan mulai
dari persoalan asal-usul nilai Pancasila, peng- gali Pancasila, bagaimana sila-sila
Pancasila digali dan dirumuskan, sampai ke persoalan bagaimana dinamika
perjalanan hidup Pancasila selama ini.
Tentang asal-usul nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila cukup kiranya
kalau dikatakan bahwa Pancasila bersumber dari khazanah budaya Indonesia, yang
diterangi oleh ide-ide besar dunia. Pernyataan itu menunjukkan bahwa nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila ada yang bersumber dari kultur bangsa Indonesia
sendiri, namun ada pula yang berasal dari budaya luar Indonesia.

2. DINAMIKA PERUMUSAN DASAR NEGARA


Proses perumusan dasar negara Pancasila berlangsung dalam sidang-sidang
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha- usaha Persiapan
Kemerdekaan, selanjutnya disebut BPUPK) yang dilanjutkan dalam sidang-sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, (selanjutnya disebut PPKI).Walaupun
BPUPK bukan lembaga perwakilan partai-partai politik, namun karena pikiran-
pikiran tentang persoalan dasar hidup bernegara yang kemudian dijawab melalui
Pancasila telah lama berkembang di kalangan partai politik yang ada pada masa
penjajahan Belanda. Maka dari itu, untuk memahami dinamika perumusan dasar
negara Pancasila kita perlu memperhatikan aliran- aliran politik yang berkembang
selama masa pergerakan nasional, ketika persoalan prinsip-prinsip kehidupan
bernegara di alam Indonesia merdeka mulai diperbincangkan.
Secara ideologis dan corak aspirasi politik (bukan atas dasar agama yang
dipeluk anggotanya), partai politik yang berkembang pada masa pergerakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu golongan Marxis/Komunis, golongan Nasionalis,
dan golongan Islam. Golongan Marxis/Komunis memperjuangkan terwujudnya
negara Komunis, golongan Islam ingin mewujudkan negara kebangsaan. Dalam
3
proses pergumulan persoalan-persoalan dasar kehi- dupan menegara, partai-pIslam
cenderung menonjolkan dimensi vertikal berdasarkan agama Islam, sedangkan kaum
kebangsaan mengajukan gagasan persatuan, kebangsaan, kekeluargaan, kolektivisme,
dan gotong royong. Di dalam tubuh golongan nasionalis ini terdapat pula para
penganut ideologi-ideologi modern yang mulai berkembang di dunia Barat tetapi
menyebar luas dengan cepat di seluruh Asia (Jepang, Tiongkok, dan India pada waktu
itu), serta menyumbangkan gagasan kerakyatan dan hak hak dasar dan sosialisme.

3. DINAMIKA IMPLEMENTASI PANCASILA


Gagasan dasar tentang hidup bernegara itu mendapat "tantangan" baik dari
penggagasnya sendiri maupun dari ideologi pesaing. Belum genap dua bulan usia
Pancasila, Presiden Soekarno justru melontarkan gagasan untuk membentuk satu
partai tunggal (sistem mono party), yang notabene bertentangan dengan prinsip sila
keempat Pancasila. Walau keinginan itu bisa dipahami dari sudut kebutuhan praktis
dalam rangka menggalang persatuan bangsa menghadapi Belanda, namun hal itu
tidak dapat dibenarkan oleh dasar negara Pancasila. Untunglah yang kemudian lahir
justru Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang berisi anjur- an agar
rakyat membentuk partai-partai politik.
Salah satu partai politik yang kemudian muncul adalah Partai Komunis
Indonesia (PKI). Kelahiran partai pendukung idelogi komunisme ini menandai telah
terkonsolidasikannya kekuatan pendukung ideologi pesaing Pancasila itu. Namun
pada tahun 1948 PKI mengadakan pemberontakan yang dikenal dengan
Pemberontakan PKI Madiun, sehingga partai ini dibubarkan oleh pemerintah. Selain
harus bersaing dengan Komunisme, Pancasila ternyata juga masih harus bersaing
dengan ideologi Islam. Walaupun pem- batalan rumusan sila pertama dalam Piagam
Jakarta dilakukan atas persetujuan beberapa tokoh Islam, namun sejarah
menunjukkan bahwa upaya mendirikan negara Islam masih terus berlangsung.
BAB III Kedudukan Dan Peran Pancasila
1. PENDAHULUAN
Istilah kedudukan dan peran (status and role) dipergunakan dalam sosiologi
untuk menjelaskan lapisan masyarakat (Soekanto, 1990). Kedudukan adalah tempat
seseorang dalam suatu pola ter- tentu. Di dalam masyarakat, seseorang biasanya
memiliki beberapa kedudukan sekaligus, walaupun biasanya hanya satu kedudukan
yang menonjol yaitu kedudukan yang utama. Contohnya, seorang lelaki dapat saja
mempunyai kedudukan sebagai suami bagi istrinya, kepala rumah tangga bagi
4
keluarganya, ayah dari anak- anaknya, ketua partai politik atau ormas tertentu,
anggota LSM tertentu, dan juga sebagai pejabat pemerintahan.
Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan, yaitu berupa pelaksanaan dari
hak dan kewajiban seseorang sesuai keduduk- annya. Seorang presiden misalnya
harus memainkan peran sebagai pemimpin/kepala negara, antara lain mewakili
negara dalam ber- hubungan dengan negara lain, menerima duta dan konsul, me-
resmikan pembangunan/fasilitas umum yang dibuat negara, dan sebagainya. Selain
itu presiden juga harus memainkan peran sebagai kepala pemerintahan seperti
memimpin sidang kabinet, memberi arahan pada menteri, dll. Kedudukan dan peran
memang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak ada peranan
tanpa kedudukan, dan juga tidak ada kedudukan tanpa peran.
Kedudukan dan peran dapat juga diberikan oleh manusia kepada benda mati.
Orang bisa memberi kedudukan tinggi pada "segulung kecil kain putih" atau "seuntai
kalung" karena percaya benda-benda itu bertuah, sebagai jimat dalam hidupnya. Kain
atau kalung itu kemudian diberi peran sebagai pelindung hidupnya. Orang tersebut
menjadi lebih percaya diri karena percaya jimat itu benar-benar dapat
berfungsi/berperan sebagai pelindung.
Bangsa Indonesia juga memberi kedudukan dan peran ter- tentu kepada ajaran
filsafat kenegaraan yang bernama Pancasila. Pemberian kedudukan dan peran kepada
Pancasila itu berkembang sesuai dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Dengan pengantar di atas kiranya dapat dipahami bahwa pembicaraan tentang
kedudukan dan peran Pancasila berarti pem- bicaraan tentang kedudukan dan peran
yang diberikan bangsa Indonesia kepada Pancasila. Memahami bahwa kehidupan
bangsa Indonesia bersifat dinamis, maka dapat dimaklumi pula apabila
penonjolan/pengutamaan kedudukan dan peran yang diberikan oleh bangsa Indonesia
terhadap Pancasila juga dinamis sesuai dengan tahapan perkembangan hidup bangsa
Indonesia.

2. KEDUDUKAN DAN PERAN HAKIKI PANCASILA


Dari sejarah pembentukannya kita mengetahui bahwa ke- dudukan Pancasila
yang pertama-tama dan terutama adalah sebagai dasar negara. Namun dalam
perkembangannya, terutama selama pemerintahan Orde Baru, Pancasila ditonjolkan
kedudukannya se- bagai pandangan hidup bangsa dan ideologi nasional (satu-satu-
nya asas).
Pengukuhan kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dilakukan
melalui Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
5
Pengamalan Pancasila (P4). Sementara itu, pengukuhan Pancasila sebagai ideologi
nasional dilakukan melalui Ketetapan MPR No.III/MPR/1983 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara yang kemudian ditindaklanjuti dengan Undang- undang No. 3
Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Melalui dua produk hukum
ini Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi semua organisasi sosial politik.
Kini ketika rezim Orde Baru berlalu timbul pertanyaan apa- kah kedudukan
dan peran Pancasila juga mengalami perubahan. Setelah MPR RI melalui Ketetapan
MPR No.XVII/MPR/1998 men- cabut Ketetapan MPR No.II/MPR tahun 1978
tentang P4, dan me- negaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara serta tetap
menjadi ideologi nasional, timbul pertanyaan masihkah Pancasila ber-kedudukan
sebagai pandangan hidup bangsa?

3. PANCASILA DAN PAHAM-PAHAM KENEGARAAN


Sejak awal perumusannya Pancasila sesungguhnya sudah berhadap-hadapan
atau bersinggungan dengan paham kenegaraan lain. Dalam uraian terdahulu tampak
bahwa pada saat perumusannya sebagai paham kebangsaan Pancasila harus bersaing
dengan paham kenegaraan lain yaitu Islam. Dalam perjalanan hidupnya paling tidak
sampai akhir tahun 1980 an boleh dikatakan Pancasila juga selalu bersaing dengan
dua paham kenegaraan, yaitu Islam dan Komunis, serta selama Orde Baru ditambah
dengan paham integralistik.
Jika secara internal Pancasila harus bersaing dengan ketiga paham di atas
maka secara eksternal Pancasila juga sering dipertentangkan dengan paham
liberalisme yang berakar pada individualisme, dan paham sosialisme. Uraian berikut
ini akan mengulas sedikit kedudukan Pancasila dihadapan berbagai paham
kenegaraan tersebut.

BAB IV NEGARA YANG BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

1. PENDAHULUAN
Dari uraian tentang sejarah Pancasila kita memahami bahwa sila-sila
Pancasila dirumuskan untuk menjawab lima persoalan dasar dalam hidup bernegara.
Kelima masalah pokok itu adalah
(a) bagaimana hubungan antara negara dan agama,
(b) bagaimana hubungan antarbangsa,
(c) apakah hakikat negara yang hendak didirikan itu,
6
(d) siapakah pemilik kedaulatan dalam negara, dan
(e) apakah tujuan dari negara yang hendak didirikan itu.

Dari sejarah pula kita memahami bahwa persoalan bagaimana sebaiknya


hubungan antara negara dengan agama/agama-agama di negara Indonesia Merdeka
merupakan persoalan yang paling dinamis dalam perumusannya. Uraian dalam bab
ini tidak akan mengulang pembahasan tentang dinamika perumusan sila
pertama Pancasila.

2. SEKILAS TENTANG HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA


Negara adalah organisasi yang dibentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan
bersama. Untuk itu negara diberi kewenangan mengatur dan menegakkan aturan demi
ketertiban dan kesejah- teraan warga negaranya. Negara bahkan diberi monopoli
untuk menerapkan sanksi hidup atau mati terhadap pelanggar hukum. Penerapan
sanksi itu sudah tentu harus dilandaskan pada aturan hukum yang berlaku
Agama adalah segala perwujudan dan bentuk hubungan- hubungan manusia
dengan Yang Suci. Dapat juga dikatakan bahwa agama adalah "respons manusia
terhadap kenyataan yang dianggap ilahi, yang diwujudkan dalam pembentukan
perserikatan orang percaya, upacara-upacara, perumusan isi kepercayaan,
pengembangan cara hidup pribadi dan kegiatan sosial yang dianggap layak di
hadapan yang ilahi itu." Menurut Suyitno & Gultom (1981) ada dua dimensi dalam
agama, yaitu dimensi lahiriah dan dimensi batiniah. Dimensi lahiriah agama
mencakup lima hal, yaitu ikatan orang percaya, ru- musan kepercayaan dan ajaran,
upacara-upacara, cara hidup, serta kegiatan-kegiatan agamawi, sedangkan dimensi
batiniah agama adalah kesadaran religius yang ada di hati masing-masing individu
manusia.
Mengenai negara dan agama ini, Wiryotenoyo (2001) antara lain menyatakan bahwa:
"Agama dan negara adalah dua bentuk kehidupan bersama manusia dengan
karakteristiknya masing-masing yang saling berbeda sehingga, oleh karena itu kita
dapat mengatakan bahwa masing-masing termasuk dalam Negara
Berketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi, pada satu sisi-baik negara maupun agama-keduanya merupakan lembaga
yang berwatak atau bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia. Walaupun wilayah
berlakunya aturan agama/ agama-agama bersifat universal, menembus batas-batas
wilayah negara, sementara aturan negara hanya berlaku di wilayah negara yang

7
bersangkutan, namun dapat dipahami bahwa pada titik ter- tentu subjek dari kedua
aturan tersebut sama yaitu warga suatu negara tertentu.
Dalam keadaan semacam itu timbul persoalan apakah aturan negara akan
disatukan (didasarkan) pada aturan agama, atau justru kedua aturan itu dipisahkan
satu sama lain. Penyatuan aturan negara dengan aturan agama akan menimbulkan
negara agama, sedangkan pemisahan antara aturan negara dengan aturan
agama/agama-agama menimbulkan persoalan mendasar tentang bagaimana hubungan
antara negara dengan agama/agama- agama.

3. PANDANGAN PANCASILA TENTANG HUBUNGAN NEGARA DAN


AGAMA
Pancasila memberikan prinsip hubungan antara negara dan agama di negara
Indonesia melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna utama dari sila ini adalah
bahwa negara Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara atheis.
Hubungan negara Indonesia dan agama/agama-agama yang hidup di negeri ini adalah
hubungan pembedaan fungsi dalam semangat kerja-sama.
Walaupun tidak didasarkan pada satu agama tertentu, tidak berarti negara
Indonesia tidak peduli terhadap ketuhanan dan agama. Sebagai negara yang memiliki
filsafat kenegaraan yang di- bangun atas ide dasar kesamaderajatan dan kemerdekaan
manusia, negara Indonesia sangat memperhatikan soal-soal keagamaan.
Jadi di satu pihak memang ada pemisahan yang tegas antara negara dan
agama sehingga tidak ada pencampuradukan satu dengan lainnya dan tidak terdapat
campur tangan satu terhadap yang lain. Namun di lain pihak, karena agama
menyangkut ke- sejahteraan warga negara, negara sangat berkepentingan dengan
keanekaragaman agama yang dianut warganya, dan oleh karena itu sangat
memperhatikan agama dan soal ketuhanan.
Dengan kata lain negara wajib memedulikan masalah-masa- lah ketuhanan
dan agama. Jadi di satu sisi memang ada pemi- sahan yang tegas antara negara dan
agama sehingga tidak ada pencampuradukan satu dengan lainnya dan tidak terdapat
cam- pur tangan satu terhadap yang lain. Namun demikian, di sisi lain negara sangat
berkepentingan dengan keberanekaragaman agama yang dianut warganya, dan oleh
karena itu sangat me- merhatikan agama dan soal ketuhanan, karena agama
menyangkut kesejahteraan warga negara. Hal-hal di atas dapat menjelaskan mengapa
negara Indonesia wajib memperhatikan dan membantu kehidupan keagamaan,
sebagaimana tersirat dari prinsip Ketuhan- an Yang Maha Esa.

8
Dalam kaitannya dengan sila-sila Pancasila yang lain, pe- nolakan terhadap
negara agama dan atheisme serta pemilihan pola pembedaan fungsi dan kerja sama
negara-agama itu dapat dipahami sebagai berikut. Bila negara memaksakan dianutnya
satu agama tertentu kepada warga-negaranya atau melarang warga ne- garanya
menganut agama tertentu, maka itu bertentangan dengan kemanusiaan manusia.
Dalam rangka menghormati kemanusiaan manusia itulah negara memberi kebebasan
bagi warganya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Pemihakan negara kepada salah satu agama saja juga ber- tentangan dengan
semangat persatuan bangsa yang hendak di- pelihara melalui prinsip Persatuan
Indonesia. Perumusan dasar negara yang mewajibkan pemeluk salah satu
agama saja sudah bernuansa diskriminatif dan merusak persatuan bangsa, apalagi bila
negara menyatukan dirinya dengan salah satu agama. Seba- gaimana terungkap dalam
pernyataan Hatta di hadapan sidang PPKI, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
itu justru dipilih guna memelihara persatuan bangsa Indonesia.
Mendasarkan negara pada satu agama saja juga bertentangan dengan sila keempat
Pancasila. Dalam masyarakat majemuk yang tidak semua warga menganut satu jenis
agama yang sama, maka penyatuan negara dengan agama tertentu juga bertentangan
de- ngan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan penyatuan itu negara mengelompokkan
warga-negaranya menjadi warga negara kelas satu dan kelas dua. Masing-masing
kelompok itu berbeda hak dan kewajibannya di hadapan negara. Keadaan semacam
itu tentu bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan kedudukan di hadapan
hukum dan pemerintahan yang dikehendaki oleh paham demokrasi.
Pada akhirnya seperti sudah diuraikan di atas, pilihan pola pembedaan fungsi
dan kerja sama antara negara dan agama sejalan dengan sila kelima Pancasila.
Kehidupan beragama adalah jalan bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan
religius, sedangkan kebahagiaan religius itu pada hakikatnya merupakan salah satu
segi kesejahteraan manusia. Kesejahteraan manusia warga negara adalah tujuan
negara Indonesia. Dengan kata lain pilihan pola pembedaan fungsi dan kerja sama
antara negara dengan agama itu justru dilakukan demi mewujudkan kesejahteraan
seluruh warga bangsa Indonesia.

BAB V NEGARA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

1. PENDAHULUAN
Persoalan dasar kedua dalam hidup bernegara yang hendak diberi prinsip
dasarnya oleh Pancasila adalah masalah hubungan antarmanusia dan hubungan
9
antarbangsa di alam Indonesia Merdeka. Pancasila dirumuskan pada saat bangsa
Indonesia berada dalam kungkungan penjajahan Jepang. Setelah ratusan tahun dijajah
Belanda ternyata bangsa Indonesia belum lepas dari penjajah karena kepergian
Belanda disusul dengan kedatangan Jepang yang juga menjajah bangsa Indonesia.
Kesengsaraan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh penjajahan bangsa
lain, mendorong para perumus dasar negara untuk menetapkan prinsip perhubungan
antarbangsa yang harus dianut/dijalankan di alam Indonesia mer- deka. Prinsip itu di
muat dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Uraian dalam bab ini akan difokuskan pada persoalan hu- bungan
antarmanusia dan hubungan antarbangsa sebagai satuan dari manusia yang menegara.
Uraian akan mencakup pokok- pokok persoalan (a) sekilas tentang hubungan
antarmanusia dan hubungan antarbangsa, (b) pandangan Pancasila terhadap hu-
bungan antarmanusia dan hubungan antarbangsa, (c) instrumen implementasi sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan (d) beberapa persoalan yang relevan
dengan implementasi sila Ke- manusiaan yang Adil dan Beradab.

2. SEKILAS TENTANG HUBUNGAN ANTAR MANUSIA


Secara historis terdapat tiga pola hubungan utama yang berkembang
antarmanusia yaitu hubungan perbudakan, keter- gantungan dan hubungan yang sama
derajat. Walaupun kecen- derungan peradaban manusia dewasa ini telah mengarah
pada dominannya hubungan antarmanusia yang sama sederajat, namun pola
hubungan perbudakan dan ketergantungan antarmanusia masih terdapat
di muka bumi ini.
Evans (Budiman, 1998) menjelaskan bahwa di negara-negara dunia ketiga
umumnya terjadi persekutuan tiga unsur, yaitu antara modal asing, pemerintah, dan
borjuasi lokal. Persekutuan itu diwujudkan dalam bentuk modal atau pengusaha asing
me- lakukan investasi di negara-negara Dunia Ketiga. Bersamaan dengan masuknya
modal asing, masuk juga akses kepada tek- nologi dan pasar internasional. Karena
itulah modal asing sangat dibutuhkan oleh pemerintah di negara-negara dunia ketiga.
Tetapi, pemerintah negara-negara dunia ketiga juga tidak bisa mengabaikan
kepentingan borjuasi (pemilik modal) lokal. Apabila diabaikan, kaum borjuasi lokal
akan menuduh pemerintah hanya bekerja untuk kepentingan asing dan pemerintah
akan kehilangan legitimasinya. Karena itu, pemerintah di negara-negara dunia ke-
tiga harus menunjukkan nasionalismenya agar tetap dapat berkuasa.
Dengan demikian, terjadilah apa yang disebut Evans sebagai Triple Alliance
atau Persekutuan Segitiga di mana pemerintah di negara-negara dunia ketiga bekerja
10
sama dengan modal asing demi untuk kepentingan pembangunan ekonomi, sementara
demi alasan politis dan ekonomis pemerintah juga harus bekerja sama dengan
borjuasi lokal.
Pemodal asing tidak keberatan pemerintah bersikap "nasio- nalistis", karena
mereka tahu tanpa sikap seperti ini mereka akan menghadapi berbagai macam
kesulitan politis di negeri tersebut. Pemodal asing juga tidak keberatan kalau mereka
"dipaksa" be- kerja sama dan berbagi keuntungan dengan kaum borjuasi lokal untuk
alasan yang sama. Begitulah Evans menjelaskan sifat-sifat negara di dunia ke- tiga
ketika mereka sedang melangkah ke pembangunan industri berorientasi ekspor.
Negara memang makin otoriter (terutama terhadap kelas buruh), tetapi bersamaan
dengan itu negara juga menjadi sangat nasionalistis-setidaknya dalam slogan-sambil
terus bekerja sama dengan modal asing.
Dalam batas-batas tertentu pola hubungan ini dekat dengan neokolonialisme.
Neokolonialisme adalah usaha menguasai per- ekonomian, kebudayaan, ideologi atau
kemiliteran negara/kawasan Negara Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

3. HUBUNGAN PANCASILA TENTANG HUBUNGAN ANTAR BANGSA/


MANUSIA
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan prinsip tentang
bagaimana seharusnya hubungan ideal antarbangsa atau antarnegara di dunia ini.
Pada intinya prinsip itu menggarisbawahi bahwa perhubungan antarbangsa harus
dilandaskan pada harga bangsa itu sebagai manusia, harga yang sama pada semua dan
tiap-tiap manusia yang hidup membangsa itu.
Hubungan antarbangsa pada hakikatnya adalah hubungan antarmanusia,
karena hakikat bangsa adalah manusia. Pihak yang mengadakan hubungan
antarbangsa atau antarnegara adalah juga manusia warga bangsa tersebut. Manusia,
dalam Pancasila, diyakini sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki
kemerdekaan dan kesamaderajatan asasi. Dibanding ciptaan Tuhan lainnya, manusia
adalah makhluk yang luhur kedudukannya karena mempunyai akal budi
dan hati nurani.
Kemanusiaan adalah "tentang manusia atau keadaan sifat manusia." Sifat manusia
bisa baik dan bisa buruk, tetapi sifat ma- nusia yang harus menjadi dasar
perhubungan antarmanusia ang- gota bangsa itu adalah sifat yang adil dan beradab,
yaitu tidak berat sebelah dan patut, sejalan dengan kebaikan budi yang mencerminkan
kemajuan peradaban manusia. Berdasarkan pe- mahaman tentang manusia dan
kemanusiaannya itu maka per- hubungan antarbangsa harus dilandasi penghargaan
11
atas kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki kemerdekaan dan
kesamaderajatan asasi.
Dengan demikian perhubungan antarmanusia tersebut harus- lah diwarnai
suasana penghormatan atas kodrat manusia. Di bawah prinsip saling menghormati itu
maka semua manusia yang terpisah-pisah oleh ikatan kenegaraan maupun kebangsaan
itu dipandang sebagai kesatuan umat manusia yang sama derajat. Dengan demikian
negara Indonesia dapat dicandra sebagai negara kemanusiaan, negara yang bersikap
terhadap bangsa/negara lain berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Dengan prinsip semacam itu maka nasionalisme yang dianjur- kan oleh sila
ketiga Pancasila tidak jatuh ke paham Chauvinism. Namun di lain pihak gagasan
untuk menjalin persahabatan dengan semua bangsa di dunia juga tidak akan jatuh ke
paham kosmopolitisme. Jika sila kedua menghendaki penghormatan hak
kesamadera- jatan dan kemerdekaan warga bangsa lain, maka penghormatan itu pun
harus dilakukan kepada sesama warga bangsa sendiri. Sila kedua Pancasila juga
mengandung prinsip penghormatan terhadap sesama dalam perhubungan
antarmanusia di negeri ini. Dengan perkataan lain sila di atas mengandung prinsip
penghormatan hak-hak asasi manusia termasuk manusia yang menjadi warga- negara
Indonesia.
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia ber- dasarkan
martabatnya sebagai manusia. Hak tersebut bukan di- berikan oleh masyarakat atau
oleh hukum kepada manusia. Hak asasi tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak
berlaku oleh negara. Suseno (1994) membedakan adanya empat jenis hak asasi
manusia, yaitu hak asasi liberal, hak asasi demokratis, hak asasi positif, dan hak-hak
asasi sosial.
Hak asasi liberal adalah hak asasi yang bersumber pada kebebasan manusia.
Hak-hak ini didasarkan pada keyakinan atas kebebasan manusia serta hak individu
untuk mengurus diri sendiri. Hak ini diperjuangkan oleh kaum liberal dengan tujuan
untuk melindungi kehidupan manusia dari campur tangan negara dan kekuatan-
kekuatan sosial lainnya demi keutuhan manusia. Hak yang termasuk dalam hak ini
adalah hak hidup, hak atas keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, kebebasan
memilih jodoh, hak perlindungan atas hak milik, dan sebagainya.
Hak asasi demokratis adalah hak untuk berperan serta dalam menentukan arah
perkembangan masyarakat dan/atau negaranya. Hak ini didasarkan pada keyakinan
atas kedaulatan rakyat atau hak rakyat untuk memerintah diri sendiri. Hak-hak ini
diperjuangkan oleh kaum liberal dan kaum republiken berdasar prinsip bahwa semua
orang sama derajatnya. Contoh hak-hak asasi demokratis adalah hak untuk memilih
12
dalam pemilihan umum, hak kebebasan menyatakan pendapat, hak atas kebebasan
pers, hak kebebasan berserikat, dan hak berkumpul.
Hak asasi positif adalah hak atas prestasi-prestasi tertentu dari negara. Dasar
anggapannya adalah bahwa negara merupakan lembaga yang diciptakan dan
dipelihara oleh masyarakat untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu. Oleh
karena itu warga- negara berhak atas layanan tertentu dari negara c.q. pemerintah.
Contoh hak-hak asasi positif adalah hak-hak atas kewarganegaraan, hak perlindungan
oleh hukum, hak perlakuan yang sama di depan hukum, dan sejenisnya.

BAB VI NEGARA PERSATUAN INDONESIA

1. PENDAHULUAN
Seperti sudah disebut di bagian terdahulu, rumusan sila Per- satuan Indonesia
secara sadar dipilih oleh para pendiri negara untuk menjawab kekhawatiran terhadap
niat beberapa aliran di kalangan pemerintah Jepang yang hendak memecah Indonesia
menjadi tiga atau empat negara merdeka. Kesadaran kebangsaan yang tertanam kuat
di benak para pendiri negara tampaknya mendorong mereka untuk merumuskan sila
ketiga Pancasila ini menjadi Persatuan Indonesia, bukan peri kebangsaan
sebagaimana diusulkan oleh Soekarno.
Bangsa menurut Benedict Anderson (1991) adalah komuni- tas poliitik yang
terbayangkan (imagined communities) dengan wi- layah hidup yang terbatas. Disebut
"yang terbayangkan" karena walaupun masing-masing anggota suatu bangsa-yang
paling sedikit anggotanya tidak pernah bertemu, berbicara, dan saling mengenal-toh
di dalam pikiran masing-masing warga bangsa itu hidup keyakinan bahwa mereka
adalah satu bangsa.
Satuan itu terbatas, karena ada wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat hidupnya bangsa itu. Tidak ada satu bangsa pun yang membayangkan bahwa
anggota bangsa itu men- cakup semua manusia di dunia. Oleh karena itu setiap
bangsa punya wilayah hidup yang tertentu batas-batasnya.
Dengan pengertian seperti itu dapat kita pahami bahwa tumbuh, berkembang,
atau hancurnya sebuah bangsa sangat bergantung pada kuat atau lemahnya kesadaran
kolektif bangsa tersebut, yaitu kesadaran warga satu komunitas bahwa mereka adalah
satu bangsa. Dalam konteks seperti inilah kita dapat me- mahami mengapa kesadaran
berbangsa dan bernegara selalu ditumbuh-kembangkan oleh setiap bangsa di dunia.
Kesadaran semacam itu bisa dipelihara agar tetap kuat melalui dua jalur, yaitu
jalur mental/spiritual dan jalur struktural. Secara spiritual/mental kesadaran sebagai
13
satu bangsa akan terpelihara apabila selalu dipupuk melalui proses pendidikan.
Namun pen- didikan semacam itu akan kurang berpengaruh bila realitas kehidupan
yang dialami warga bangsa bertolak belakang dengan kesadaran yang ditanamkan.
Oleh karena itu struktur kehidupan masyarakat harus ditata sedemikian rupa agar
menopang kesa- daran berbangsa tersebut.
Dapat dipahami pula bahwa heterogenitas anggota dan wi- layah tempat tinggal
sangat berpengaruh pada berat-ringannya tantangan yang dihadapi dalam upaya
memelihara persatuan bangsa. Semakin heterogen suatu bangsa semakin berat pula
tan- tangan yang dihadapi dalam upaya menjaga keutuhan bangsa.

2. SEKILAS TENTANG NEGARA DENGAN MASYARAKAT MAJEMUK


Masyarakat majemuk menurut Furnival (2010) dapat di- definisikan sebagai
suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih tertib sosial, komunitas atau
kelompok yang secara kultural dan ekonomis terpisah dari yang lain. Sementara itu
Smith (1974) menyatakan bahwa dalam masyarakat majemuk masing- masing
komunitas atau kelompok sosial itu memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu
sama lain. Jika dikaitkan dengan kehidupan politik maka masyarakat majemuk
menurut Rabushka dan Shepsle (2008) adalah masyarakat yang memiliki keragaman
kultural, namun terorganisasi (dipersatukan) secara politik, yang mengatasi satuan-
satuan etnik yang ada.
Masyarakat Indonesia di masa penjajahan Belanda dapat di- masukkan dalam
kategori masyarakat majemuk menurut Fur- nival, karena pada waktu terdapat 3
(tiga) komunitas yaitu ma- syarakat Barat, Timur asing dan masyarakat Pribumi
dengan tertib sosialnya masing-masing. Kini, walau masyarakat Indonesia sudah
tidak memenuhi kategori Furnival, namun masih masuk kategori masyarakat
majemuk menurut Rabushka dan Shepsle.
Berdasarkan ukuran kondisi sosial-kultural masing-masing, masyarakat
majemuk yang terwadahi dalam sebuah negara dapat dibedakan ke dalam empat
macam. Keempat jenis tersebut adalah masyarakat majemuk dengan kompetisi
seimbang, masyarakat ma- jemuk dengan mayoritas dominan, masyarakat majemuk
dengan minoritas dominan, dan masyarakat majemuk terfragmentasi. a) Masyarakat
majemuk dengan kompetisi seimbang adalah masyarakat majemuk yang terdiri atas
sejumlah etnik yang kurang-lebih seimbang sehingga koalisi lintas etnik sangat
diperlukan bagi pembentukan pemerintahan yang stabil. Negara yang masyarakatnya
merupakan masyarakat ma- jemuk dengan kompetisi seimbang antara lain Malaysia,
Guyana, Belgia, dan Trinidad.
14
3. PANDANGAN PANCASILA TENTANG PENGELOLAAN
KEMAJEMUKAN BANGSA DALAM WADAH NEGARA INDONESIA
Kesadaran akan kuatnya kecenderungan disintegrasi di ka- langan bangsa
yang bermasyarakat majemuk juga berkembang di benak para pendiri negara kita.
Dengan tepat mereka merumuskan dasar negara yang dapat mengantisipasi persoalan
semacam itu. Prinsip untuk mengantisipasi persoalan itu dikembangkan dengan
mengemukakan satu persoalan dasar yaitu apa hakikat negara In- donesia itu?
Kesadaran akan realitas sosial sebagai masyarakat majemuk. pengalaman
kesejarahan bersama sebagai sesama manusia/bangsa terjajah, serta sulit dan kerasnya
perjuangan mempersatukan diri melawan penjajah, mendorong para pendiri negara
merumuskan Dasar Negara Pancasila
Negara diyakini sebagai persekutuan hidup yang terdiri dari manusia-manusia
merdeka yang berkehendak untuk bersama- sama merealisasikan diri, yang sebagai
keseluruhan kesatuan ke- bersamaan yang merupakan satu bangsa. Dengan kata lain
negara Indonesia dapat kita pahami sebagai negara kebangsaan, negara yang terdiri
dari aneka macam suku bangsa yang kemudian mengikatkan diri sebagai satu
kesatuan bangsa. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yaitu kesatuan bangsa
Indonesia. Tak mengherankan bahwa dalam usulan Soekarno sila yang menjawab
persoalan di atas dirumuskan sebagai kebangsaan Indonesia, yang kemudian berubah
menjadi Persatuan Indonesia (Pokja UKSW, 1980).
Makna terdalam dari sila Persatuan Indonesia adalah penga- kuan bahwa
negara Indonesia terbentuk melalui proses pe- nyatuan berbagai unsur (suku bangsa
dengan kondisi eksistensi- al/keberadaan masing-masing) menjadi satu kesatuan
bangsa yang sepakat hidup dalam wadah satu negara. Petunjuk kuat bahwa negara
Indonesia terbentuk melalui proses penyatuan bangsa adalah kejadian-kejadian segera
sesudah kemerdekaan diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Salah satu peristiwa
penting yang menunjukkan hal itu adalah perubahan rumusan sila pertama Piagam
Jakarta, dan beberapa pasal dalam Rancangan UUD yang kemudian menjadi UUD
1945.
Seperti telah disebut terdahulu, segera sesudah kemerdekaan diproklamasikan
terdapat keberatan dari rakyat Indonesia bagian timur terhadap rancangan dasar
negara sebagaimana terdapat dalam Piagam Jakarta. Ada dua pilihan bagi para
pemimpin bangsa kita waktu itu, yaitu mempertahankan rumusan sila per- tama
Piagam Jakarta yang berarti mengabaikan aspirasi sebagi- an warga bangsa Indonesia,

15
atau memperhatikan aspirasi ter- sebut yang berarti mengubah rumusan sila
pertama Piagam Jakarta.

BAB VII NEGARA KERAKYATAN

1. PENDAHULUAN
Salah satu problem mendasar dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana
kedudukan rakyat dalam proses menegara tersebut. Pada dasarnya ada dua alternatif
jawaban atas per- soalan tersebut. Alternatif pertama adalah menempatkan rakyat ke
dalam kedudukan yang paling tinggi atau sebagai pihak yang berdaulat (demokrasi),
dan alternatif kedua adalah menem- patkan seseorang atau sebagian kecil warga
dalam kedudukan tertinggi atau sebagai pihak yang berdaulat (otokrasi/oligarkhi/
kediktatoran). Menempatkan rakyat dalam kedudukan tertinggi berarti meletakkan
kedaulatan kepada seluruh rakyat. Sedang me- nempatkan seseorang atau sebagian
kecil rakyat dalam keduduk- an tertinggi berarti menempatkan kedaulatan ke tangan
seseorang atau segelintir elit. Pendek kata ada dua pilihan pokok dalam mengelola
kehidupan bernegara yaitu cara demokratis atau cara otoriter.
Sila keempat Pancasila ditetapkan untuk menjawab persoalan pengelolaan
kekuasaan negara dalam negara Indonesia. Oleh karena itu uraian berikut ini akan
mengulas model-model peme- rintahan negara, pandangan Pancasila tentang
pemerintahan ne- gara, instrumen implementasi sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta persoalan yang
relevan,

2. SEKILAS TENTANG MODEL-MODEL PEMERINTAHAN


Pada dasarnya terdapat dua model pemerintahan negara yaitu (a)
otokrasi/kedikatoran dan (b) demokrasi. Namun studi- studi yang lebih mutakhir
menampilkan adanya satu model pe- merintahan yang ketiga yaitu anokrasi
(anocracy) satu terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan satu model
pemerintahan campuran, yaitu campuran antara demokrasi dengan kedikatoran.
Uraian berikut akan menyajikan terlebih dahulu paparan singkat tentang kedikatoran
dan demokrasi sebelum akhirnya menyajikan uraian tentang anokrasi.
16
3. PANDANGAN PANCASILA TENTANG PEMERINTAHAN NEGARA
Sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hik- mat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengan- dung tiga prinsip
pokok, yaitu paham kedaulatan rakyat, sistem perwakilan, dan permusyawaratan
dalam lembaga perwakilan rakyat.
Dengan prinsip kedaulatan rakyat berarti diakui bahwa pemegang kekuasaan
tertinggi di negara Indonesia adalah rak- yat Indonesia. Oleh karena itu segala
peraturan perundangan yang akan ada harus merupakan aspirasi seluruh rakyat
Indonesia.
Prinsip perwakilan adalah prinsip di mana sekelompok kecil orang dipandang
sah mewakili kelompok orang yang lebih besar jumlahnya. Dipergunakannya kata
perwakilan sebagai kualifikasi atau sifat kerakyatan/kedaulatan rakyat dalam rumusan
sila ke- empat menunjukkan bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulat- an tidak
terlibat langsung dalam proses bermusyawarah me- nyelenggarakan kedaulatan.
Rakyat melakukan hal itu melalui perwakilan. Rakyat menggunakan kedaulatannya
untuk mengatur kehidupan bernegara melalui wakil-wakil mereka. Oleh karena itu
diperlukan lembaga atau lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai wadah wakil
rakyat pelaksana kedaulatan atas nama rakyat. Atau arti tegasnya diperlukan lembaga-
lembaga perwakilan rakyat.
Permusyawaratan berarti perundingan. Permusyawaratan me- nunjuk pada
keadaan di mana berlangsung proses bermusya- warah atau berunding. Musyawarah
sendiri dapat kita lihat sebagai kegiatan pembicaraan bersama dalam rangka
mencapai kesepakatan bersama. Dalam permusyawaratan terjadi proses pe- maduan
kepentingan-kepentingan dari berbagai kelompok ma- syarakat Indonesia yang
beragam aspirasinya.
Pentingnya mufakat mencapai kata sepakat secara berulang kali ditegaskan
Soekarno dalam pidatonya, namun itu tidak berarti bahwa di dalam masyarakat tidak
akan terdapat perbedaan paham, perjuangan kepentingan, sebab Soekarno sendiri
menyatakan bahwa "di dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya.

4. INSTRUMEN IMPLEMENTASI SILA KEEMPAT PANCASILA


Salah satu instrumen terpenting bagi perwujudan prinsip pemerintahan
demokrasi adalah pemilihan umum. Pemilihan umum adalah proses atau kegiatan di
mana rakyat dalam suatu negara secara langsung atau tidak langsung memilih
orang/atau orang-orang yang akan menduduki jabatan publik. Jabatan publik adalah
17
jabatan-jabatan yang ada dalam struktur pemerintahan negara, seperti anggota
parlemen (DPR/MPR, DPD, dan DPRD di Indonesia) Senator, Presiden, Kepala
Daerah (Gubernur, Bupati atau Wali Kota atau bahkan Kepala Desa di Indonesia)
Hakim Agung, Jaksa Agung, dan sejenisnya. Dengan demikian pemilu bukan sekadar
proses pemilihan wakil rakyat, sebagaimana ter- kesan dari praktik pemilu di
Indonesia selama ini.
Di samping pemilu ada kegiatan memilih lain yang dilakukan oleh rakyat
yaitu referendum. Referendum adalah proses atau kegiatan di mana rakyat dalam
suatu negara secara langsung menentukan sikap terhadap alternatif kebijakan yang
diajukan penguasa. Alternatif kebijakan itu dapat berupa:
a) Setuju atau tidak setuju terhadap rencana untuk mengubah bagian tertentu dari
Undang-undang Dasar.
b) Setuju atau tidak setuju terhadap rencana undang-undang ter- tentu, misalnya yang
mengatur soal aborsi, euthanasia, bahasa nasional, dan sejenisnya.
Dengan demikian baik dalam pemilu maupun dalam refe- rendum, rakyat
sama-sama melakukan tindakan memilih, hanya saja yang dipilih berbeda.
BAB VIII NEGARA KESEJAHTERAAN

1. PENDAHULUAN
Cita-cita tentang kesejahteraan rakyat selalu berkembang dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Banyak prasasti yang menun- jukkan bahwa kerajaan-kerajaan
Hindu, Budha, maupun Islam di Nusantara masa lampau mencita-citakan adanya
kemakmuran hidup bersama dalam satu wadah negara. Mitos tentang Ratu Adil pun
selalu berkembang dari masa ke masa, hidup di hati sanubari rakyat yang pada
hakikatnya mengungkapkan harapan tentang kehidupan adil dan sejahtera. Dalam
suasana penindasan, mitos Ratu Adil bahkan sering menjadi penggerak utama
gerakan- gerakan rakyat dalam melawan penguasa yang menindas.
Lahirnya organisasi pergerakan di kalangan bangsa Indonesia pada masa
pergerakan nasional secara implisit juga menyiratkan aspirasi tentang kesejahteraan
rakyat. Pada mulanya konsep ke- satuan bangsa belum mengkristal, namun
perjuangan kaum per- gerakan itu pada akhirnya bermuara pada aspirasi kuat untuk
membentuk satu negara nasional, merdeka, lepas dari penjajahan, yang mencakup
seluruh bangsa Indonesia.

2. SEKILAS TENTANG TEORI TUJUAN NEGARA

18
Pada dasarnya hanya ada dua teori besar tentang tujuan ne- gara, yaitu Teori
Kekuasaan Negara yang dikemukakan oleh filsuf terkenal Tiongkok, Shang Yang,
dan Teori Kesejahteraan Rakyat yang umum dianut oleh pakar politik saat ini.

3. PANDANGAN PANCASILA TENTANG TUJUAN NEGARA


Masalah pokok kenegaraan yang hendak dijawab melalui sila kelima
Pancasila adalah untuk apa sesungguhnya negara In- donesia didirikan. Dengan kata
lain sila kelima menggariskan prinsip tentang apa tujuan pembentukan negara
Indonesia mer- deka. Tujuan tersebut adalah mewujudkan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia, atau yang dalam usulan Soekarno di- sebut sebagai
mewujudkan kesejahteraan sosial.
Penggunaan istilah keadilan sosial untuk mengungkap ga- gasan tentang
kesejahteraan sosial menunjukkan penekanan bah- wa di dalam hal kesejahteraan
maka tiap-tiap orang diperlakukan sebagai manusia dengan harkat yang sama.
Dengan demikian harus dihindari keadaan adanya kesejahteraan seseorang atas
pengorbanan orang lain. Oleh karena itu di dalam rumusan sila kelima Pancasila
terdapat penegasan bahwa keadilan sosial harus berlaku bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Secara normatif negara Indonesia dapat kita sebut sebagai negara
kesejahteraan. Dalam negara seperti ini maka kegiatan negara harus bermanfaat bagi
kesejahteraan warga negara. Jika ada tindakan pemerintah yang bertentangan dengan
kesejahteraan warga negara, maka tindakan itu tidak dapat dibenarkan, karena ukuran
benar-salahnya tindakan negara adalah kesejahteraan warga negaranya
Kesejahteraan sosial sebagai tujuan negara dapat kita pahami sebagai keadaan
yang di dalamnya tiap-tiap orang dapat menikmati kemanusiaannya, keadaan di mana
tiap-tiap orang dapat hidup layak sebagai manusia. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state), yaitu negara
yang bertujuan untuk membuat semua dan tiap-tiap orang dapat hidup layak sebagai
manusia.

4. INSTRUMEN IMPLEMENTASI SILA KELIMA PANCASILA


Untuk instrumen inplementasi sila kelima Pancasila, dapat kita perhatikan
catatan Kuntowijoyo mengenai negara rasional berikut ini. Menyinggung dimensi
fungsi kesejahteraan negara. Dengan prinsip keadilan sosial negara berkewajiban
untuk mengatur tatanan masyarakat supaya semakin seimbang dan ter- atur dengan
baik. Tatanan itu harus mampu memberi kesempatan kepada semua anggota atau
19
lapisan masyarakat untuk membangun kehidupan yang layak. Negara dalam hal ini
berkewajiban untuk menciptakan prasarana-prasarana yang memungkinkan setiap
warga negara dapat menikmati kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan dengan
seadil-adilnya. Kesempatan yang diberikan oleh negara tentu saja bukan hanya
kesempatan formal melainkan harus benar-benar nyata, dalam arti harus benar-benar
dapat di- nikmati oleh seluruh anggota masyarakat.
.

2.2. Buku Pembanding 1


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan Pancasila
Pancasila adalah Pandangan Hidup Bangsa tidaklah lahir secara tiba-tiba,
namun telah lama ada di Indonesia, dan melalui refleksi pemikiran yang cerdas dan
perenungan mendalam serta adu argumentasi bijaksana oleh para pendiri bangsa dan
negara Indonesia, dilahirkan Pancasila sebagai Dasar Negara, acuan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam perjalanan sejarah Pancasila
menghadapi berbagai cobaan termasuk ingin mencabut Pancasila pada diri bangsa.
Bahkan terjadi multitafsir terhadap Pancasila sehingga penyimpangan dalam
pelaksanaannya, pemahaman yang mendalam terhadap Pancasila amat dibutuhkan,
sehingga dalam pelaksanaannya tidak mengalami penyimpangan-penyimpangan.

B. Landasan Pendidikan Pancasila


1. Landasan Historis
Setiap bangsa selalu mempunyai landasan sejarah bagi keberadaan
falsafah sebagai acuan bagi pandangan hidupnya dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis adalah ketentuan perundangundangan yang menjadi
landasan tentang dilaksanakannya matakuliah Pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi.
3. Landasan Ideologis
Ideologi adalah ilmu pengetahuan mempelajari tentang ide, keyakinan
atau gagasan. Ideologi adalah sesuatu yang netral, idea atau gagasan yang
merupakan pemikiran seseorang yang dianggap baik (nilai, moral dan norma
dasar)
4. Landasan Sosiologis
20
Landasan sosiologis merupakan landasan yang mengemukakan bahwa di
dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam interaksi antara sesama
manusia nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi acuan dan tetapi mewujud
menjadi perilaku manusia-manusia dalam kehidupan bermasyarakat, baik
dalam sistem, struktur dan pranata sosial.

5. Landasan Kultural (Kebudayaan)


Kultural atau kebudayaan bukan hanya merupakan suatu tata-nilai atau
suprastruktur yang merupakan cerminan dari infrastruktur, tetapi suatu
totalitas dari objek (kebudayaan ’material’)
6. Landasan Filosofis
Landasan filosofis berarti memberikan landasan untuk membahas
Pancasila dengan menggunakan metode secara kritis-rasional dan reflektif
terhadap muatan nilai dan pemikiran yang berasal dari warisan leluhur
maupun kenyataan budaya bangsa, serta nilai-nilai luhur Pancasila.
C. Visi, Misi, Kompetensi dan Tujuan Pendidikan Pancasila
1. Visi Pendidikan Pancasila
Visi Pendidikan Pancasila adalah menjadi sumber nilai dan pedoman bagi
penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan
kepribadiannya selaku warganegara yang Pancasilais.
2. Misi Pendidikan Pancasila
Membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nlainilai dasar Pancasila
serta kesadaran berbangsa, bernegara.
3. Kompetensi Pendidikan Pancasila
Kompetensi lulusan mata kuliah Pendidikan Pancasila terdiri dari kompetensi
sikap, keterampilan umum, keterampilan khusus, dan pengetahuan.
4. Tujuan Pendidikan Pancasila
Surat Keputusan Dirjen Dikti No.467/DIKTI/Kep/1989 mengemukakan
bahwa tujuan Pendidikan Pancasila adalah mengarahkan perhatian pada moral yang
diharapkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.

D. Rambu-Rambu Substansi Kajian Pendidikan Pancasila


1. Latar belakang dan Tujuan Pendidikan Pancasila
21
2. Pancasila Dalam Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia
3. Proses Perumusan & Pengesahan Pancasila Dasar NKRI
4. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
5. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup dan Ideologi
6. Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan RI
7. Pancasila Sebagai Etika Politik
8. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
9. Aktualisasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan Bangsa
Indonesia Di Lingkungan Kampus
E. Pengertian Pancasila
Pancasila telah menjadi dasar negara dan ideologi negara bagi bangsa Indonesia,
dan menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB II
PANCASILA DALAM SEJARAH PERJUANGAN
BANGSA INDONESIA
A. Era Masyarakat Prasejarah
1. Unsur sila Ketuhanan umumnya dalam hati nurani percaya kepada Tuhan
sesuai dengan fitrah sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
2. Unsur Sila Kemanusiaan
unsur kemanusiaan yang bersifat terbuka terhadap sesama manusia, tidak
mengenal diskriminasi ras, dan menganggap semua ras sederajat.
3. Unsur Sila Persatuan
Unsur sila Persatuan berakar sebagai akar dari Nasionalisme Indonesia tumbuh
dari persekutuan hidup manusia Indonesia dalam pancang perjalanan sejarahnya yang
berakar dan bermula dari inti keluarga dan desa, kemudian menjadi kerajaan setelah
masuknya peradaban Hindu
4. Unsur Kerakyatan
Unsur kerakyatan pada dasarnya bersumber pada pandangan hidup asli Indonesia
yang terdapat dalam peribahasa, pepatah dan pantun serta keputusan-keputusan adat
bangsa Indonesia
5. Unsur Keadilan
Unsur keadilan sebagai cita-cita dan harapan bangsa Indonesia pada dasar dapat
digali dalam khasanah kebudayaan asli Indonesia, baik dari bukti di zaman prasejarah
maupun dalam prasasti.

22
B. Era Kejayaan Nasional
1. Kerajaan Kutai
kerajaan Kutai merupakan jenis kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat
kewibawaan raja, yakni raja menghormati kaum agamawan.
2. Kerajaan Sriwijaya
kerajaan Sriwijaya telah menjadi kekuatan dagang dan budaya yang
mengagumkan. Walaupun bahasa Sansekerta digunakan kerajaan ini, namun bahasa
yang umum dipakai secara luas adalah bahasa Melayu.

C. Era Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah


1. Perjuangan Berbasis Kedaerahan
2. Kebangkitan Nasional
3. Penjajahan Jepang

D. Perumusan Rancangan Dasar Negara dan Undang Undang Dasar


1. BPUPK
Dalam rapat Panitia Perancang UUD tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil
Perancang UUD menyerahkan Rancangan UUD RI. Untuk memperbaiki redaksi
rancangan UUD dibentuk Tim Penghalus Bahasa, terdiri dari Djajadiningrat, Agus
Salim, dan Soepomo. Setelah dibahas dari tanggal 14,15 dan 16 Juli 1945 dalam
rapat-rapat BPUPK, maka tanggal 16 Juli 1945 Rancangan UUD diterima seluruhnya
oleh BPUPK.
2. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Setelah menyelesaikan tugasnya, BPUPK dibubarkan, dan dibentuklah PPKI atau
Dokuritzu Zyunbi Iinkai pada tanggal 9 Agustus 1945, sekembalinya Soekarno dan
M.Hatta dari Saigon memenuhi panggilan Jenderal Terauchi. Para anggota PPKI
adalah pemimpin rakyat terkenal, yang mewakili daerah-daerah dari kepulauan
Indonesia, golongan dan aliran dalam masyarakat.

E. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945


Proklamasi kemerdekaan dilaksanakan ketika terjadi kekosongan kekuasaan
pemerintahan ( vacum of power) di Indonesia. Proklamasi kemerdekaan yang
dinyatakan oleh bangsa Indonesia memiliki beberapa arti dasar (Darmodiharjo, 1983,
Jarmanto, 1982), yakni : Merupakan titik kulminasi dari perjuangan bangsa Indonesia

dalam membebaskan dirinya untuk mencapai kemerdekaan negara


23
BAB III
PROSES PERUMUSAN DAN PENGESAHAN PANCASILA DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
A. Pengusulan dan Pembahasan Dasar Negara
Sebagai realisasi pertama sejak sehari setelah melantikan seluruh anggota
Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan (BPUPK) langsung mengadakan pertemuan
pada tanggal 29 Mei 1945 yang popular dengan istilah sidang BPUPK Pertama yang
pembahasanya membahas mengenai Dasar Negara. Sidang BPUPK
Pertamadilaksanakan selama empat hari beturut – turut. Sebernarnya selama empat
hari pelaksanaan sidang itu banyak tokoh – tokoh nasional yang merupakan anggota
BPUPKI berkempatan untuk menyampaikan buah pikir atau usul mengenai dasar
negara.
B. Perumusan Rancangan Dasar Negara
Sidang BPUPK kedua
Panita Sembilan mengadakan rapat pada tanggal 22 Juni 1945 digedung Jawa
Hookokai. Rapat tersebut menghasilkan “Rancangan Dasar Piagam Jakarta atau
Mukaddimah masih mengundang perdebatan di sidang-sidang BPUPK. Dua kekuatan
pergerakan yakni kelompok pro “pemisahan antara agama dan negara” (separation of
church and state) dengan kelompok yang menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar
negara terlibat adu argumentasi yang kadang-kadang memanas. Kelompok
“nasionalis Islam” sendiri terpecah. Para tokoh pergerakan dari partai Islam
cenderung setuju dengan Piagam Jakarta. Sedangkan para tokoh yang mewakili
organisasi massa Islam cenderung pada pendapat untuk membentuk negara
berdasarkan agama Islam. Bahkan kelompok Kristen dan Katholik sendiri berbeda
pandangangya mengenai Piagam Jakarta tersebut. Ada tokoh yang setuju dan ada
yang sebaliknya. (Somantri, 2006:6). Negara” atau mukaddimah yang dikenal juga
sebagai “Piagam Jakarta” (Jakarta Charter).
C. Proklamasi
Penyelenggaraan Proklamasi Kemerdekaan ini disiapkan oleh sebuah panitia
yakni Panitia Persiakan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dikenal dalam istilah
Jepangnya yakni Dokuritsu Junbi Iinkai. Untuk mempersiapkan Proklamasi tersebut
maka pada tengah malam, Soekarno-Hatta pergi ke rumah Laksamana Maeda di
Oranye Nassau Bouleverd (sekarang Jl Imam Bonjol) di mana telah berkumpul di
sana beberapa tokoh-tokoh pergerakan diantaranya B.M Diah, Bakri, Sayuti Melik
dkk, untuk menegaskan bahwa pemerintah Jepang tidak campur tangan tentang
24
proklamasi. Setelah diperoleh kepastian maka Soekarno-Hatta mengadakan
pertemuan pada larut malam untuk merumuskan redaksi naskah Proklamasi.
Kemudian pagi harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pengangsaan Timur
56 Jakarta, tepat pada hari Jumat, jam 10 pagi dan pada bulan Ramadhan (puasa),
Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta membacakan naskah proklamasi dengan
Khidmat yang sangat dikenang sampai sekarang.

D. Pengesahan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila Dasar Negara Republik


Indonesia.
Sehari setelah diproklamirkan kemerdekaaan bangsa Indonesia, pada tanggal 18
Agustus 1945 diberlakukan UndangUndang Dasar 1945 untuk seluruh tumpah darah
Indonesia secara yuridis meliputi wilayah negara republic Indonesia dari Sabang
sampai Marauke. Dalam uraian pada Bab sebelumnya telah dikatakan bahwa
Pancasila itu terdapat dalam hukum dasar negara kita yang tertinggi, yaitu
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, akan tetapi asal mulanya lebih tua. Kedua-
duanya mempunyai sejarah. Untuk pertama kalinya Pembukaan direncanakan pada
tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Akan
tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan sebagai dasar negara Indonesia yaitu
pada tanggal 1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha persiapan
Kemerdekaan.
E. Pancasila sebagai Dasar Negara.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan bagian yang lama dari kedudukan
Pancasila dalam sistem kenegaraan Indonesia. Dasar negara Indonesia adalah
Pancasila sejak tahun 1945, sesuai dengan kesepakatan bangsa Indonesia.Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia, atau dengan kata
lain sebagai sumber tertib hukum Indonesia yang tercantum dalam ketentuan tertib
hukum tertinggi, yaitu pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan lebih lanjut
dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945.
F. Perkembangan Pancasila sebagai Dasar Negara
Pada masa awal Soeharto berkuasa, pandangan umum mengenai Pancasila
adalah sebagai dasar negara dalam satu rangkaian integratif dengan UUD 1945. Pada
masa Orde Baru mulai menjejaki masa keemasanya di tahun 1980-an, Pancasila
selain ditekankan kembali sebagai dasar negara, juga mendapat penekanan ideologis
Di era reformasi, Pancasila hanya berfungsi sebagai dasar negara, yang diingat hanya
saat-saat upacara formal, ketika sila-silanya dibacakan, setelah itu hilang tanpa makna
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
25
BAB IV PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Filsafat Pancasila
Filsafat dapat diartikan sebagai hasrat atau keingintahuan yang sungguh-sungguh
akan sesuatu kebenaran yang sesungguhnya.
(a) sistem filsafat harus bersifat koheren, artinya berhubungan satu sama lain
secara runtut, tidak mengandung pernyataan yang saling bertentangan, meskipun
berbeda, bahkan saling melengkapi, dan tiap bagian mempunyai fungsi dan
kedudukan
tersendiri.
(b) sistem filsafat harus bersifat menyeluruh, artinya mencakup segala hal dan
gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai filsafat hidup
bangsa merupakan suatu pola yang dapat mewadahi semua kehidupan dan dinamika
masyarakat Indonesia.
(c) sistem filsafat harus bersifat mendasar, artinya suatu bentuk perenungan
mendalam yang sampai ke inti mutlak permasalahan, sehingga menemukan aspek
yang sangat fundamental. Pancasila sebagai sistem filsafat dirumuskan berdasarkan
inti mutlak tata kehidupan manusia menghadapi diri sendiri, sesame manusia, dan
Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(d) sistem filsafat yang menjadi titik awal yang menjadi pola dasar
berdasarkan penalaran logis.
B. Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Rumusan Pancasila sebagai hasil pemikiran para pendiri negara
diharapkan dapat menuntun tercapainya tujuan bangsa Indonesia, Pancasila termasuk
salah satu hasil pemikiran filsafat, Pancasila dikukuhkan sebagai dasar falsafah
negara. Pancasila sebagai hasil pemikiran bangsa Indonesia dirumuskan dalam
pembukaan UUD 1945.
C. Nilai, Moral dan Norma
Nilai adalah suatu bobot/kualitas perbuatan kebaikan yang mendapat
dalam berbagai hal yang dianggap sebagai sesesuatu yang berharga, berguna, dan
bermanfaat. Nilai-nilai Pancasila sangat penting untuk ditanamkan sejak dini, karena
nilai bermanfaat sebagai standar pegangan hidup.
Pengertian moral, menurut Suseno adalah ukuran baikburuknya seseorang,
baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara.

26
Norma adalah petunjuk hidup bagi warga yang ada dalam masyarakat, karena
norma tersebut mengandung sanksi. Siapa saja, baik individu maupun kelompok,
yang melanggar norma dapat hukuman yang berwujud sanksi

D. Pancasila sebagai Nilai Dasar


Sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan sistem totalitas, suatu kesatuan
yang organis, bulat dan utuh, bila sila-silanya dipisah-pisahkan, bukan lagi sebagai
Pancasila, sebagai dasar, proses pelaksanaan program, sekaligus sebagai tujuan
nasional bangsa Indonesia yakni masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.
Keutuhan sila-sila Pancasila dasar negara sebagai suatu kesatuan organis, bulat-utuh
dan totalitas, inilah yang sering mewarnai perdebatan dengan Pancasila Bung Karno
yang dapat diperas jadi Trisila dan Ekasila, yang tidak dikenal dengan keutuhan
Pancasila sebagai dasar negara, meski nilai gotong royong sebagai bentuk Ekasila
dikenal dalam nilai Pancasila. Agar hasilnya sesuai dengan kandungan Pancasila,
maka proses pelaksanaannya dalam perwujudan program-program harus didasarkan
pada nilai-nilai dari Pancasila, pelaksana pembangunan pun harus didasari pada
keyakinan akan kebenaran Pancasila.

BAB V PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI


A. Pengertian Ideologi
Menurut Carl J. Friederich (Darmawan, 2013), ideologi sebagai suatu sistem
pemikiran yang dikaitkan dengan tindakan. Dalam kaitannya dengan tindakan
ideologi mengandung suatu program atau strategi untuk mewujudkan cita-cita dari
pemikiran yang diperjuangkan, yakni cita-cita untuk mempersatukan organisasi yang
dibangun atas dasar pemikiran yang diyakini paling benar dan sesuai untuk
masyarakat yang dibentuknya.
B. Beberapa Ideologi Di Dunia
a) Filsafat Idealisme, mengedepankan paham rasionalisme dan individualisme,
yang dalam kehidupan berpolitik melahirkan ideologi Liberalisme dan
Kapitalisme.
b) Filsafat Materialisme, pemikiran ini mengedepankan paham emosionalisme,
berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivisme, yang dalam
berpolitik telah melahirkan ideologi sosialis-komunis.
c) Filsafat Teologisme, yang berkembang dalam bentuk filsafat teologi statis dan
dinamis.

27
d) Filsafat teologis statis, agama yang menempatkan ajaran Tuhan memegang
peran sentral dalam politik kenegaraan, yang dalam konstruk politik
kenegaraan menjadikan pemuka agama sebagai tokoh yang dikultuskan.
Pemuka agama sebagai wakil yang suci.
C. Ideologi Pancasila
Ideologi Pancasila menjunjung hak individu baik langsung maupun
tidak langsung, yakni tidak dipungkiri bahwa manusia yang merupakan
makhluk individu, bukanlah murni sebagai individu yang mandiri, tetapi
sekaligus sebagai makhluk sosial yang dalam kenyataan hidupnya tidak dapat
lepas dari masyarakat atau bantuan orang lain, pada sisi lain bangsa
Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang relegius yang mengakui adanya
kekuatan yang luar biasa di luar kemampuan manusia. . Sebagai ideologi
Pancasila mengandung nilai dasar pandangan hidup bangsa yang mampu
menyesuaikan zaman secara dinamis.

BAB VI PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN


REPUBLIK INDONESIA
A. Pengertian UUD dan Konstitusi
Pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaran umumnya dapat
berarti pertama lebih luas dari undang-undang dasar, karena pengertian
undang-undang dasar hanya meliputi konstitusi tertulis saja. Pada hal
masih terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercakup dalam undang-
undang dasar.
Di Indonesia Undang-Undang Dasar pada dasarnya adalah suatu
hukum dasar tertulis (konstitusi negara). Pengertian hukum dasar adalah
aturan-aturan dasar yang dipakai sebagai landasan dasar dan sumber bagi
berlakunya seluruh hukum/peraturan/ perundang-udangan dan
penyelenggaraan pemerintahan negara pada suatu negara. Hukum dasar
dibedakan menjadi dua, seperti berikut ini. Pertama, hukum tertulis adalah
suatu konstitusi negara yang menjadi dasar dan sumber dari peraturan-
peraturan lain atau perundang-undangan lain yang berlaku di suatu negara.
Kedua, aturan dasar yang mengatur penyelenggaraan negara yang
dituangkan dalam bentuk tertulis, contohnya UUD 1945. Oleh karena
sifatnya yang tertulis, maka Undang-Undang Dasar itu rumusnya tertulis
dan tidak mudah berubah.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya berisi 37 pasal, maka
28
sifat Undang-Undang Dasar adalah singkat dan supel. Maknanya Undang-
Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokoknya saja. Supel
mengandung makna masyarakat itu selalu berubah dan mengalami
perkembangan, maka kita harus menjaga supaya tidak ketinggalan zaman.
B. Fungsi UUD Bagi Negara
Fungsi UUD 1945 sebagai Dasar, Rangka, dan Suasana bagi Kehidupan
Negara dan Tertib Hukum Indonesia di antaranya adalah sebagai Isi Pembukaan
UUD 1945 bilamana terperinci secara sistematis merupakan satu kesatuan yang
bertingkat dan berfungsi sebagai dasar, rangka, dan suasana bagi negara dan terib
hukum Indonesia sebagai berikut :
1. Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
berkedudukan sebagai pandangan hidup bangsa adalah filsafat, azas
kerohanian dan basis bagi berdirinya NKRI (sebagai dasar).
2. Di atas dasar tersebut berdirilah negara Indonesia dengan azas politik negara
yang berupa bentuk republik yang berkedaulatan rakyat.
3. Berlandaskan kedua basis tersebut diwujudkanlah pelaksanaan dan
penyelenggaraan Negara Indonesia yang tercantum dalam peraturan pokok
hukum positif Indonesia yang termuat dalam UUD 1945 sebagai Undang-
Undang Negara RI.
C. Pembukaan UUD 1945
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hasil pemikiran para pendiri negara yang dilakukan dengan
proses yang tidak mudah, dan memuat Pancasila sebagai dasar negara dan
tujuan nasional bangsa Indonesia. Pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan satu kesatuan dengan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat
diubah karena di dalamnya terdapat dasar negara dan cita-cita luhur bangsa
Indonesia, sehingga mengubah Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sama dengan melakukan pembubaran Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pembukaan merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad
bangsa Indonesia, yang merupakan sumber dari cita hukum dan moral yang tinggi
yang ingin ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan untuk pergaulan antara
bangsa- bangsa di dunia.

29
D. Sistem Pemerintahan NKRI menurut UUD 1945
Sistem Pemerintahan Indonesia pada waktu awal kemerdekaan menganut sistem
hakikatnya merupakan perpaduan antara sistem Pemerintahan Presidensiil dan
Parlementer, tetapi dalam praktiknya lebih mengarah kepada sistem Pemerintahan
Presidensill. Hal ini berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, maka Presiden
memiliki kekuasaan tertinggi dan dibantu oleh menteri-menteri sebagai pembantu
presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Pada tanggal 12 September 1945 dibentuklah Kabinet
Presidensial ( Kabinet RI I) dengan 12 departemen dan 4 menteri negara. Selain itu
wilayah Indonesia yang begitu luas dibagi menjadi 8 provinsi dan 2 daerah istimewa
yang masing- masing wilayah dipimpin oleh gubernur.
E. Kelembagaan Negara Menurut UUD 1945
Menurut Trias Politica, kekuasaan (kelembagaan) negara dibagi menjadi 3 yaitu
kekuasaan (kelembagaan) legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tiga bidang kekuasaan
(kelembagaan) ini memiliki kedudukan yang sejajar dan ketiganya saling bekerja
sama serta saling melengkapi dalam sistem pemerintahan negara.

Sistem kelembagaan Indonesia terbentuk atas dasar pembagian kekuasaan.


Adapun dasar pembagian kekuasaan adalah keinginan untuk membatasi
kekuasaan atau penumpukan yang ada pada satu lembaga. Oleh hal itulah
kemudian di Indonesia dilaksanakan sistem pembagian kekuasaan, meliputi;
Legislatif, merupakan lembaga yang berkuasa untuk membuat undang-undang,
dalam hal ini yang berperan di Indonesia ada tiga lembaga, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD); Eksekutif, yaitu lembaga yang melaksanakan undang-
undang, dalam hal ini adalah Presiden dan Wakil Presiden dibantu dengan Menteri-
Menteri Khusus; dan Yudikatif, yaitu lembaga independen yang mengawasi dan
mengontrol jalannya pembuatan perundang-undangan dan jalannya pelaksanaan
pemerintahan atau perundang-undangan, dalam hal ini adalah Mahkamah Agung
(MA), Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam perkembangannya untuk masalah
keuangan Negara, walaupun dalam pembuatan Rancangan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (RAPBN) dibuat oleh DPR dan Presiden dan jajarannya, untuk
mengawasi dan mengontrol belanja Negara, di Indonesia memiliki lembaga yang
berkuasa secara Eksaminatif yaitu Badan Pengawas Keuangan (BPK).

BAB VII PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK


A. Pengertian Etika Politik
30
Etika selalu terkait dengan nilai, karena nilai adalah suatu standar
fundamental yang menjadi pegangan, acuan, pedoman, panduan atau prinsip
bagi seorang dalam bertindak, merupakan kriteria pentinguntuk mengukur
karakter seseorang, apakah perilakukan dapat dikategorikan etis atau tidak,
bermoral atau tidak. Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan
dari sila-sila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara di Indonesia. Karena itu dalam etika Pancasila terkandung
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Kelima nilai itu membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek
kehidupannya. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat awalnya
muncul di Yunani. Kelahirannya terjadi saat struktur politik tradisional
berangsur-angsur mulai rapuh sampai ambruk.
B. Dimensi Politik Manusia

Dimensi politis manusia memiliki dua hal fundamental, yaitu pengertian dan
kehendak untuk bertindak. Dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap
aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan
tindakan moral manusia. Apabila tindakan moralitas kehidupan manusia tidak
dapat dipenuhi, ketika berbenturan dengan orang lain dalam masyarakat, maka
harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif
masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat, hukum adalah
yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana
mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif
dan menjamin setiap anggota masyarakat taat kepada norma. Oleh karena itu, hal
yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat, hanyalah yang
mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya; lembaga itu adalah
negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penataan yang
berdasarkan kenyataan dalam menentukan tindakan masyarakat.

C. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik


1. Sila Ketuhanan yang Maha Esa
Sila pertama merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan. Berdasarkan sila pertama, Negara Indonesia bukanlah negara
teokrasi yang mendasarkan kekuasaan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan
kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan
berdasarkan legitimasi hukum dan demokrasi.
2. Kemanusian yang Adil dan Beradab
Sila kemanusiaan mengandung dimensi nilai humanus, insani, artinya
31
tindakan politik berdasarkan etika politik dapat menjadikan manusia lebih
manusiawi, meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama.
Hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, tindakan manusia berbasis
etika politik mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan
dengan actus homini, tindakan manusia yang biasa.
3. Persatuan Indonesia
Sila persatuan mengandung dimensi solidaritas, rasa kebersamaan, cinta
tanah air, dan nasionalis. Hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk
hidup bersama sebagai warga negara dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika,
yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau
kelompok. Sistem etika politik yang berlandaskan pada semangat kebersamaan,
solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai
yang memecahbelah bangsa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan
Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai dan etika politik untuk respek,
menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang, dan tidak memaksakan
kehendaknya kepada orang lain. Hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip
musyawarah untuk mufakat, dengan cara menghargai diri sendiri sama halnya
dengan menghargai orang lain. Bukan hanya semata pengambilan keputusan
suara terbanyak (voting) dan konflik dalam penyelesaian problem dan pembuatan
keputusan politik.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila keadilan mengandung dimensi nilai dan etika politik untuk peduli dan
empati terhadap nasib orang lain, dan kesediaan membantu kesulitan orang lain.
Hakikat sila keadilan merupakan perwujudan dari sistem etika yang
menonjolkan keutamaan, yakni keadilan, bukan hanya kewajiban semata atau
menekankan tujuan saja.

BAB VIII PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN


A. Pengertian Paradigma
Paradigma diartikan sebagai sebuah pandangan atau pun cara pandang yang
digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran
atau pun perspektif umum berupa cara – cara untuk menjabarkan berbagai macam
permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks.
Pengertian paradigma menurut George Ritzer (1980) adalah suatu pandangan
32
yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan
yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan.
B. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa
Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
a. Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik,
budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan.
c. Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan.
d. Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
Sila Keempat Pancasila. Sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu
pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi
Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi
Pancasila.
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial-Budaya pada hakikatnya
bersifat humanistik karena memang Pancasila bertolak dari hakikat dan
kedudukan kodrat manusia itu sendiri.Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab.Oleh karena itu, pembangunan sosial
budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi
manusia yang berbudaya dan beradab.Pembangunan sosial budaya yang
menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas
bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum Dalam
kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia berarti
Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur segala aspek
penyelenggaraan negara. Fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia adalah aktualisasi atau realisasinya sebagai sumber tertib
hukum Indonesia.

33
BAB IX AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
KEHIDUPAN DI LINGKUNGAN KAMPUS
A. Pengertian Aktualiasi
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap lapisan
masyarakat dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dan dapat terlihat dalam
perilaku yang sesungguhnya

B. Aktualisasi Pancasila di Lingkungan Kampus


Sesuai dengan tujuan perguruan tinggi sebagaimana dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1990 tentang Perguruan Tinggi, ialah
bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau
kesenian, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, dan
kesenian serta menyumbangkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat
dan memperkaya kehidupan nasional. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan
tersebut perguruan tinggi memiliki motto yang dikenal “Tri Dharma Perguruan
Tinggi”, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian. (PP. No. 30 Tahun 1999).
Aktualisasi pengabdian kepada masyarakat ini pada hakikatnya merupakan
suatu aktualisasi pengembangan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan umat
manusia. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat sebenarnya merupakan suatu
aktualisasi kegiatan masyarakat ilmiah perguruan tinggi yang dijiwai oleh nilai-
nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
(Sutiadja, 2001:64).

C. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Pada Kegiatan Mahasiswa


Mahasiswa merupakan bagian daripemuda yang mempunyai keunggulan di
bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Oleh sebab itu,
mahasiswa harus berdiri di garis depan dalam mempelopori pembangunan
bangsanya. Gerakan- gerakan perubahan yang terjadi pada bangsa Indonesia
yang dimulai semenjak pra-kemerdekaan sampai sekarang tercatat bahwa
mahasiswa sebagai pelopornya.
Sebagai pelopor pembangunan tentunya harus dapat menjadi tauladan bagi
keseluruhan warga negara. Pemikiran, ide, dan sampai pada tingkah laku sehari-
hari menjadi sorotan dan panutan. Untuk itu, tentunya tingkah laku mahasiswa
pun harus menuju pada pola, di mana pola tersebut berdasar pada nilai-nilai
34
yang sesuai dengan budaya bangsa, agar pemikiran, ide, dan perbuatannya dapat
diterima bahkan menjadi tauladan warga masyarakatnya.

2.3. Buku Pembanding 2


BAB I PENDAHULUAN
A. Lingkup Pembahasan Pancasila Yuridis Kenegaraan
Pancasila yuridis kenegaraan meliputi pemba- hasan Pancasila dalam
kedudukannya sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis dan ketatanegaraan,
realisasi Pancasila dalam segala aspek penyelenggaraan negara secara
resmi baik yang menyangkut norma hukum maupun norma moral dalam
kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan negara.
B. Landasan Pendidikan Pancasila
1. Landasan Historis
Secara historis bahwa nilai-nilai yang terkan- dung dalam setiap
sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar
Negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh Bangsa
Indonesia sendiri.
2. Landasan Kultural
Pancasila meru- pakan suatu asas kultural yang melekat dalam
diri Bangsa Indonesia. Pancasila digali dari nilai-nilai yang telah
lama tumbuh dalam kehidupan Bangsa Indonesia serta telah menjadi
kepribadian dan jati diri Bangsa Indonesia.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis perkuliahan Pendidikan Panca- sila di
pendidikan tinggi tertuang dalam Pasal 39 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional telah me- netapkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur
dan jenjang pendidikan, wajib memuat Pendidikan Panca- sila,
Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewargane- garaan.

35
C. Pengertian Pancasila
Pancasila sejak dari nilai-nilai yang terdapat dalam pandangan
hidup bangsa sampai menjadi dasar negera bahkan sampai pada
pelaksanaannya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia kita jumpai
berbagai macam rumusan Pancasila yang berbeda-beda, yang dalam hal
ini harus kita deskripsikan secara objektif sesuai dengan kedudukannya
serta sejarah perumusan Pancasila itu secara objektif.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk meng- hasilkan peserta
didik yang beriman dan bertakwa. Melalui Pendidikan Pancasila,
warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu memahami,
menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat bangsanya secara berkesinam- bungan dan konsisten
berdasarkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.
Kajian Pancasila secara esen- sial pada hakikatnya untuk
mendapatkan suatu pengetahuan tentang intisari atau makna yang
terdalam dari sila-sila Pancasila, atau secara ilmiah filosofis untuk
mengkaji hakikat sila-sila Pancasila.

BAB II PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


A. Pengertian Filsafat
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang di
miliki manusia. Filsafat terdiri dari dua bagian yaitu filsafat teoritis dan
praktis, filsafat teoritis mencakup ilmu pengetahuan alam, seperti fisika,
biologi, ilmu pertambangan, astronomi, filsafat praktis mencakup norma-
norma, sosial dan politik.
B. Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Sebagai suatu sistem, Pancasila terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila
pancasila. Setiap sila Pan- casila pasa hakikatnya merupakan suatu asas
dan fungsi tersendiri.
Sebagai suatu kesatuan yang organis, Pancasila merupakan suatu
kesatuan yang utuh dan bulat. Pan- casila harus di pandang sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dipecahbelahkan. Berkaitan dengan hal ter- sebut,
36
Soekarno mengatakan:
Pancasila adalah merupakan satu kesatuan, setiap sila

nya tidak boleh di pisah-pisahkan. Tidak boleh orang setuju Pancasila


karena salah satu silanya Ketuhanan Yang Maha Esa, atau kebangsaan
saja, kedaulatan rakyat saja,keadilan sosial saja atau perikemanusiaan
saja (Gazalba, 1963:131).”

C. Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat


1. Ontologi Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bulat tidak
hanya merupakan suatu kesatuan yang bersifat formal saja, melainkan
juga meliputi kesatuan dasar ontologis dari setiap sila Pancasila.
Dengan kata lain, kesatuan yang terkandung dalam Pancasila tidak
hanya mencakup kesatuan dari sila-silanya saja, akan tetapi meliputi
juga hakikat dasar setiap sila. Jadi setiap sila Pancasila bukan
merupakan suatu asas yang berdiri sendiri, tetapi memiliki satu
kesatuan dasar ontologis.
Berbicara mengenai ontologi Pancasila berarti berbicara
mengenai realita terdalam yang terdapat da- lam Pancasila. Salah satu
cara untuk mencapai hal itu adalah dengan mengkaji esensi, subtansi
dan realita dari Pancasila
2. Epistemologi Pancasila
Merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai hakikat ilmu
pengetahuan,yang meliputi asal, syarat, susunan, metode dan validitas ilmu
pengeta- huan. Dengan kata lain, epistemologi berbicara menge- nai
hakikat kebenaran suatu sistem ilmu pengtahuan. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka epistemologi Pan- casila pada hakikatnya membicarakan
hakikat ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini
dikarenakan sebagai sistem filsafat, Pancasila juga merupakan suatau
sistem ilmu pengetahuan.
Berbicara mengenai aspek epistemologi Panca- sila, berarti kita tidak
bisa memisahkannya dari aspek ontologisnya. Hal ini dikarenakan
Pancasila merupakan suatu sistem filsafat yang bersumber pada nilai-nilai
37
dasar yang berasal dari dirinya sendiri, yaitu nilai-nilai yang biasa
dilakukan oleh manusia Indonesia dan telah menjadi kepribadian manusia
Indonesia sejak awal kelahirannya. Oleh karena itu, dasar epistemologi
Pancasila tidak bisa dilepaskan dari hakikat subjek pendu- kung utama
Pancasila, yaitu manusia.

3. Aksiologi Pancasila
Secara etimologi, aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu
axios yang berarti nilai, manfaat, pikiran. Dalam pngertian modern,
aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki tentang makna
nilai, sumber nilai, jenis nilai, tingkatan nilai dan hakikat nilai terma-
suk estetika, etika, ketuhanan dan agama. Dengan kata lain, aksiologi
merupakan teori tentang nilai. Berkaitan dengan hal tersebut Brameld,
mengatakan bahwa aksiologi itu merupakan cabang filsafat yang
menye- lidiki tingkah moral, yang berwujud etika, ekspresi etika yang
estetika atau seni dan keindahan, sosio politik yang berwujud ideologi
(Syahrial, 2004:24).
A. Pancasila Sebagai Dasar Filsafat Negara Kesatuan Republik
Indonesia
1. Pengertian Pancasila Dasar Filsafat Negara Kesatu- an Republik
Indonesia
Pancasila dalam kedudukan nya sebagai dasar negara sering disebut sebagai dasar
filsafat dasar negara. Dalam pengertian ini, Pancasila merupakan suatu dasar nilai
serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau dengan kata lain Pancasila
merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Konsekuensi
dari kedudukannya ini, seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara
terutama segala peraturan perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam
segala bidang dewasa ini, dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian
Pancasila merupakan sum- ber dari segala sumber hukum. Pancasila merupakan
sumber kaidah hukum negara yang secara konstitusional mengatur Negara
Kesatuan Republik Indonesia beserta seluruh unsurnya yaitu rakyat, wilayah dan
pemerintahan negara.
2. Nilai Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada dasarnya merupakan
38
suatu sistem nilai, sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran
norma baik norma hukum, norma moral maupun norma keagamaan
lainnya. Dengan demikian Pancasila selain sebagai dasar negara, juga
merupakan suatu sumber nilai yang memberikan aturan-aturan dasar
bagi Warga Negara Indonesia baik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara maupun dalam merancang suatu konsep
penbangunan masyarakat bangsa dan negara.
BAB III Pancasila Sebagai Etika Politik
Sebagai suatu sistem filsafat, Pancasila mempu- nyai kedudukan
dan peran utama sebagai dasar filsafat negara. Dengan kedudukannya
seperti ini, Pancasila mendasari dan menjiwai semua proses
penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang serta menjadi rujukan
bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bersikap dan bertindak dalam
kehidupannya sehari-hari. Pancasila memberikan suatu arah dan
kriteria yang jelas mengenai layak atau tidaknya suatu sikap dan
tindakan yang dilakukan oleh setiap Warga Negara Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Proses kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari dimensi kehidupan
politik. Akan tetapi, kehidupan politik di setiap negara tentu saja
berbeda. Salah satu penyebabnya adalah faktor perbedaan ideologi.
Kehidupan politik orang hidup di negara yang menganut paham liberal,
tentu saja berbeda dengan yang hidup di negara sosialis atau komunis.
Begitu juga dengan kehidupan politik rakyat Indonesia, pasti berbeda
dengan rakyat bangsa lainnya.
Kehidupan politik rakyat Indonesia selalu dida- sari oleh nilai-nilai
Pancasila. Pancasila merupakan landasan dan tujuan kehidupan politik
bangsa kita. Berkaitan dengan hal tersebut, proses pembangunan politik
yang sedang berlangsung di negara kita sekarang ini harus diarahkan pada
proses implementasi sistem
A. Pengertian Etika Politik
1. Pengertian Etika
Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang berkaitan
39
dengan moralitas tingkah laku manusia. Etika termasuk ke dalam
golongan filsafat praktis, yaitu filsafat yang menitikberatkan
bahasannya terhadap permasalahan sikap yang diambil manusia
terhadap segala fenomena yang ada dalam kehidupannya. Adapun
fenomena tersebut telah diklarifikasi oleh filsafat teoritis.
Sebagai bagian dari filsafat praktis, etika membicarakan seluruh
kepribadian baik hati nurani, ucapan dan perbuatan manusia baik
sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Hati nurani merupakan hal
yang paling penting, tetapi ia adalah yang paling sukar untuk diamati.
Ucapan manusia juga masih agak sukar untuk diketahui. Sedangkan
perbuatan atau tingkah laku sangat mudah untuk diamati. Oleh karena
itu, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku
manusia yang dilakukan dengan sadar dilihat dari sudut baik buruknya
(Sunoto, 1985:39).
2. Pengertian dan Hubungan Nilai, Norma, dan Moral
a. Pengertian nilai
Nilai atau dalam kosakata bahasa Inggris disebut value termasuk
salah satu bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas
dan dipelajari dalam salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai. Filsafat
sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai- nilai. Istilah nilai di dalam
bidang filsafat dipakai untuk menunjukkan kata benda abstrak yang
artinya keber- hargaan atau kebaikan. Selain itu, istilah nilai juga untuk
menunjukkan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu
dalam menilai atau melakukan penilaian. Di dalam Dictionary of
Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah
kemampuan yang dipercayai ada dan melekat pada suatu benda un- tuk
memuaskan manusia. Dengan demikian, secara se- derhana nilai dapat
diartikan sebagai sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi
kehidupan manu- sia serta dianggap baik.
b. Pengertian norma
Setiap manusia mempunyai sifat dan keinginan atau kepentingan
yang berbeda-berbeda. Perbedaan ter- sebut mengakibatkan manusia
40
berhubungan denganmanusia yang lainnya. Mereka saling bekerja sama,
tolong-menolong, saling bantu dan sebagainya dengan Tujuan untuk
memenuhi kepentingannya itu. Untuk mengatur hubungan antar manusia
ini sangat diperlu- kan suatu norma.
Norma adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi dalam
menjalankan kehidupan. Norma berlaku dalam semua lapangan
kehidupan. Norma berlaku dalam kehidupan di keluarga, masyarakat dan
kehidu- pan berbangsa dan bernegara. Norma merupakan kai- dah,
petunjuk, panduan, tatanan dan kendali terhadap tingkah laku manusia
sebagai anggota masyarakat. Nor- ma merupakan ukuran perilaku baik
atau buruk, dan pantas atau tidak pantas. Biasanya norma itu disesu- aikan
dengan kebiasaan atau adat istiadat masyarakat setempat. Norma juga
dipengaruhi oleh keyakinan ag- ama yang dianut warga masyarakat.
c. Pengertian moral
Moral berasal dari kata mores yang artinya ke- susilaan tabiat,
kelakukan. Moral adalah ajaran tentang hal baik dan buruk yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Istilah moral berkaitan
dengan integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian
seseorang ditentukan oleh moralitas yang ditentukannya. Makna moral
yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap
tingkah lakunya.

d. Hubungan nilai, norma dan moral


Nilai, norma dan moral adalah tiga hal yang saling berkaitan dan
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia dalam berbagai aspek.
Dengan kata lain, kehidupan manusia dalam masyarakat, baik se- bagai
individu maupun sebagai insan sosial, senantiasa berhubungan dengan
nilai, norma, dan moral. Nilai, norma dan moral memberikan motivasi
bagi manusia untuk berbuat, bertingkah dan bersikap.

41
3. Pengertian Politik
Secara harafiah kata politik berasal dari bahasa Yunani yaitu
polls yang berarti kota yang bersatus negara kota. Dalam bahasa Arab,
istilah politik diartikan sebagai siyasyah yang berarti strategi.

BAB IV Pancasila Sebagai Ideologi Nasional


Dalam setiap undang-undang dasar selalu ter- dapat secara
ekspisit atau pun implisit pandangan- pandangan dan Nilai-nilai dasar yang
melandasi penyelenggaraan Negara. Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jelas menyatakan bahwa
Pancasila adalah dasar filsafat Negara. Dengan demikan Pancasila
merupakan nilai dasar yang normatif terhadap seluruh penyelenggaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, Pancasila murupakan
ideologi Negara, karena memuat norma- norma paling mendasar untuk
mengukur dan menen- tukan keabsaan bentuk penyelenggaraan negara
serta kebijakan-kebijakan penting yang diambil dalm pemerintahan.

a. Hakikat Ideologi
Pada abad ke-18, seorang filosofi berkembang- saan Perancis,
Destut De Tracy (tahun 1796) menggu- nakan kata ideologi untuk
menunjukan pada suatu ilmu, yaitu sebagai analisis ilmiah dan pikiran
manusia. Pada zaman Napoleon, kata ideologi mempunyai makna
konotatif, yaitu cacian atau hinaan terhadap bawahanya yang suka
berkhayal; kata ideologi kemudian diartikan sebagai kumpulan ide atau
pendapat abstrak (tidak realistis). Pengaruh terbesar tehadap pemaknaan
kata ideologi berasal dari Karl Marx. Ia mengunakan kata ideologi dalam
arti khusus, ideologi digolongkan ber- sama dengan agama, filsafat dan
moral. Semua diten- tukan oleh materi.

b. Makna Ideologi Bagi Bangsa Dan Negara

42
Ideologi pada hakikatnya adalah hasil refleksi manusia berkat
kemampuanya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupanya.
Ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat, tetapi juga
membentuk masya- rakat menuju cita-cita. Dengan demikian, ideologi
bu- kanlah sekadar pengetahuanteoritis berkala, tetapi merupakan
sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah suatu
pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya.

C. Pancasila Sebagai Ideologi Nasional


Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diar- tikan sebagai suatu
pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah,
manusia, masya- rakat, hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang bersumber dari kebudayaan nasional. Pancasila sebagai basis teori
dalam penyelenggaraan negara.

BAB V Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila

A. Penghayatan Dan Nilai-Nilai Pancasila


Pancasila tidak lahir secara mendadak pada ta- hun 1945, melainkan
telah melalui proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan
Bangsa Indonesia, dengan melihat pengalaman besar dunia, dan dengan
tetap berakar pada kepribadian Bangsa Indonesia dan gagasan-gagasan besar
Bangsa Indonesia sendiri.
Pancasila sebagai pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian
bangsa dan yang merupakan cer- minan dari jiwa Bangsa Indonesia, diterima
sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak
dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak
berbeda, namun dalam tiga buah undang-undang dasar yang pernah dimiliki
Ne- gara Indonesia (yaitu pembukaan Undang-Undang Da- sar 1945,
Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Se- rikat 1949 dan Mukaddimah
Undang-Undang Dasar Se- mentara 1950) Panca-sila tetap tercantum
didalamnya. Pancasila yang selalu dikukuhkan dalam kehidupan
43
konstitusional itu, Pancasila yang selalu nmenjadi pe- gangan bersama saat-
saat terjadi krisis nasional dan an- caman terhadap eksistensi Bangsa
Indonesia, meru- pakan bukti sejarah banwa Pancasila memang selalu
dikehendaki oleh Bangsa Indonesia sebagai dasar kehor- matan negara,
dikehendaki sebagai dasar negara.
B. Nilai-Nilai Luhur Pancasila
Kegiatan manusia menghubungkan sesuatu de- ngan sesuatu untuk
selanjutnya diambil keputusan, disebut menilai dalam arti menimbang. Sedang
kepu- tusan yang diambilnya disebut dengan “nilai”. Kepu- tusan nilai dapat
mengatakan berguna atau tidak bergu- na, benar atau tidak benar, baik atau tidak
baik, indah atau tidak indah, religius atau tidak religius.
C. Pengamalan Pancasila Dasar Negara
Setelah memahami dan menghayati Pancasila fungsi dan kedudukannya
sebagai filsafat hidup bangsa yang merupakan penghayatan material, dan
sebagai dasar negara yang merupakan penghayatan formal, maka selanjutnya
diuraikan juga tentang pengama- lannya, sebagai perwujudan penghayatan
Pancasila. Pengamalan Pancasila dibedakan menjadi 2 (dua) ma- cam yaitu:
objektif dan subjektif

BAB VI Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik


Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan
norma dasar yang mengatur sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan
Republik Indo- nesia. Proses penyelenggaraan negara tidak boleh ber-
tentangan dengan Pancasila. Begitu juga dengan berbagai peraturan
perundang-undangan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
ketatanegaraan Ne- gara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ber-
tentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam sistem hukum Indonesia, Pancasila berpe- ran sebagai cita
hukum yang mempunyai fungsi kons- titutif dan regulatif terhadap sistem
norma hukum Indonesia. Artinya, Pancasila menentukan dasar tata hukum
Indonesia supaya tidak kehilangan arti dan mak- nanya sebagai hukum
44
(fungsi konstitutif) serta menen- tukan apakah hukum positif yang berlaku di
Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak (Attamimi, 1992:69).

Hubungan Pancasila Dengan Undang-Undang Da- sar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945
1. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dasar negara dan konstitusi merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dan mutlak dimiliki oleh suatu negara merdeka. Dengan demikian
dasar negara dan konstitusi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini
disebabkan lahirnya konstitusi merupakan usaha untuk melaksanakan dasar
negara. Dasar negara me- muat norma-norma dasar yang bersifat ideal,
sedangkan konstitusi berusaha menangkap suasana batin dalam penyelenggaraan
negara yang sejalan dengan perkem- bangan peradaban. Pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia, keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi sangat
terlihat jelas dalam rumusan Pembu- kaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 secara tersurat mencantumkan rumusan
Pancasila pada alinea keempat
BAB VII Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Bermasyarakat,
Bernegara Dan Berbangsa
Sebagai bangsa dan negara yang merdeka, Negara Kesatuan
Republik Indonesia mempunyai nilai filosofis ideologis, dan
konstitusional sebagai asas normatif fundamental serta sumber
motivasi dan cita- cita nasional. Nilai fundamental ini adalah
pandangan hidup bangsa dan filsafat negara yang tertuang dalam
pembukuan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun
1945 yang kemudian nilai tersebut kita kenal Pancasila. Pancasila
sebagai hakikatnya menjamin kesatuan bangsa, kemerdekaan dan
kedaulatan nasional. Pancasila juga mengakui dan menjamin
kebhinekaan kita sebagai rakyat Indonesia dalam mengelola kehidupan
berbangsa dan bernegara sekaligus melaksanakan pembangunan

45
nasional sebagai upaya berkelanjutan mencapai tujuan nasional Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kita tentunya tahu


rumusan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea IV. Dalam rumusan tersebut di nyatakan bahwa tujuan
Negara Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa indoneai
dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesehjateraan umum;
mencerdaskan kehidupan bangsa; perdamaian abadi dan keadilan sosial.

BAB III
KEUNGGULAN BUKU
3.1 Keterkaitan Antar Bab
Pada buku utama yang berupa e-book dengan judul buku “ Dasar
Negara Pancasila. Dimana keterkaitan antar bab nya ada. Hal ini terlihat dari
pembahasan dari isi bab II Dinamika Perumusan Pancasila dan bagaimana
relavansinya dari buku utama ini terhadap topik Pendidikan Pancasila.
Dimana di dalam Buku ini juga dijelaskan mengenai hal-hal yang dijadikan
pijakan awal untuk memahami segala pengetahuan umum terhadap dinamika
Pancasila. Dan pada buku utama ini memberikan penjelasan tentang peran
dan kedudukan Pancasila serta pengimplementasian nya.
Dan tidak hanya itu, pada bab lainnya yaitu juga menjelaskan tentang
implementasi pancasila dalam kehidupan sehari – hari sebagai warga negara
yang baik dan itu sangat memberi dampak bagi masyarakat.
Keterkaitan dengan buku pembanding 1 dan 2 memberikan makna
peran dan penjelasan tentang Pancasila dan Kedudukan Pancasila yang agar
kiranya Masyarakat bisa dapat memahami peran dan kedudukan Pancasila
serta pengimplementasiannya.
3.2 Kemutakhiran Isi Buku
Pada buku utama yang berupa e-book dengan judul “Dasar Negara
Pancasila”, kemuktahiran isi buku secara keseluruhan sudah baik. Apalagi
pada bab-bab yang menjelaskan tentang Pancasila dan Dinamika Pancasila
46
serta Peran dan Kedudukannya. Dimana dalam penjelasannya, bahasa yang
digunakan sangat baik dan mudah dipahami. Dan bahasa yang digunakan
dalam penyampaiannya juga sangat baik.
Untuk buku pembanding 1 dengan judul “Pendidikan Pancasila
Pendekatan Berbasis Nilai-Nilai”, dimana kemukhtahiran dalam isi buku juga
sangat baik dan mudah dimengerti . Dan hal ini didorong karena dalam
penyampaian dari isi buku pembanding ini disampaikan dengan bahasa baku
sesuai EYD dan tepat terhadap apa yang dijabarkan . Sehingga untuk hal ini
memberikan kemudahan pembaca dalam memahaminya. Pada buku
pembanding 2 yang berupa e-book berjudul “Pancasila Yuridis Kenegaraan ”
Dan jika dikaitkan antara buku utama dengan buku pembanding tersebut,
dalam isinya yang menjelaskan dari tentang Pancasila dari masing-masing
buku dan pada bab yang menjelaskan topik tersebut, memiliki kemukhtahiran
yang sangat baik dalam pemaparannya.
3.3 Keterkaitan Isi Buku dengan Bidang Ilmu
Pada buku utama yang berupa e-book dengan judul “ Dasar Negara
Pancasila” dimana di dalam buku ini memiliki keterkaitan isinya dengan
bidang ilmu Pendidikan Pancasila. Menurut Tim 1 Kelompok 2 , isi dan
penjelasan buku ini sangat berkaitan dengan bidang ilmu pancasila karena
didalam buku tersebut menjelaskan bagaimana peran dan kedudukan
pancasila serta dinamika pancasila sekarang ini di indonesia. Dengan
demikian pendidikan pancasila dapat dijadikan sebagai pedoman dan
pandangan hidup dalam memperoleh ilmu di berbagai bidang serta
menjadikan pancasila sebagai ideologi dasar negara.

47
BAB IV
KEKURANGAN ISI BUKU
4.1 Keterkaitan Antar Bab
Pada buku utama yang merupakan e-book dengan judul “Dasar Negara
Pancasila” pada bagian-bagian tertentu pada buku tersebut seperti pada Bab 8
yang dimana pada isi buku di bab-bab tersebutlah terdapat kekurangan dalam
kemukhtahiran isi untuk buku utama ini. Dimana dalam bab-bab tersebut
bahasa yang digunakan hanya untuk menjelaskan dari maksud bab tersebut
tanpa ada penjelasan yang menyinggung mengenai Bagaimana Menjadi
Negara Sejahtera yang menjadi judul atau topic dari buku yang direview.
Sehingga dengan hal ini, dapat membuat bingung pembaca.

4.2 Kemutakhiran Isi Buku


Pada buku pembanding ketiga yang merupakan e-book dengan judul “
Pancasila Yuridis Kenegaraan” pada bagi-bagian tertentu pada buku tersebut
seperti pada Bab 5 dimana pada isi buku di bab-bab tersebutlah terdapat
kekurangan dalam kemukhtahiran isi untuk buku pembanding ini.

48
4.3 Keterkaitan Antara Isi Buku Dengan Bidang Ilmu
Selain ketiga kategori kekurangan yang dapat dilihat diatas tersebut,
kekurangan pada buku juga dapat dilihat dari sampul atau covernya buku yang
direview. Dimana kekurangan untuk hal ini, buku utama dan buku
pembanding yang memiliki kekurangan dalam cover atau sampulnya yang
sehingga lebih sedikit menarik minat pembaca.

BAB V
HASIL ANALISIS
Pada buku utama yang berupa e-book dengan judul “ Dasar Negara Pancasila
disampaikan dari bab-bab yang memiliki keterkaitan dengan judul buku, dimana
teori-teori yang disampaikan dapat berupa : adanya pendefenisian-pendefenisian dari
beberapa ahli dalam mendefenisikan materi dari bab-bab yang ada di dalam buku
utama ini. Dan tidak hanya itu, di dalam buku utama ini juga disertai dengan adanya
teori-teori berupa kutipan dari para ahli mengenai dari materi yang dibahas. Dimana
pada buku utama ini menjelaskan tentang Pancasila sebagai dasar negara yang
mencakup aspek Pancasila secara keseluruhan. Untuk pengaplikasian atau aplikasi
bidang ilmu terhadap buku utama ini ditinjau dari kelebihan dan kekurangannya
yaitu:

Penyajian materi pada topik ini sangat baik karena diajarkan bagaimana cara
pengimpelemetadian pancasila di dalam berkehdiupan mulai dari sekedar
mengetahui, memahami dan menerapkannya. Sedangkan dalam buku pembanding 1
yang berupa buku dengan judul “Pendidikan Pancasila Pendekatan Berbasis Nilai-
49
Nilai” dan buku pembanding 2 yang berupa e-book berjudul “Pancasila Yuridis
Kenegaraan ” dimana teori-teori pada kedua buku yang disampaikan tidak jauh
berbeda dengan buku utama yaitu berupa adanya pengutipan dari bebarapa ahli dari
buku yg relevan terghadap topic atau materi serta judul buku yang diriview.Teori-
teori yang diberikan tidak terlepas dari adanya suatu penceritaan masalah yang sesuai
dengan topic atau tema yang dibahas dalam buku tersebut,yaitu tentang Aspek
Pencasila. Untuk pengaplikasian atau aplikasi bidang ilmu terhadap buku
pembanding ini ditinjau dari kelebihan dan kekurangannya yaitu:

Untuk bagian kelebihan buku seperti yang telah dijelaskan


sebelumnya,dimana didalam hal tersebut pengaplikasiannya dalam bidang ilmu
adalah berupa Dimana dalam pengaplikasian dalam praktiknya, penyampaian dan
pelaksanaan butir-butir sila pancasila pancasila. buku pembanding 1 dan 2 ini dalam
pengaplikasiannya sudah cukup baik sehingga dilihat dari kekurangannya tidak ada
hal ini dikarenakan untuk pengaplikasiannya terhadap bidang ilmu khususnya
mengenai pendidikan pancasila dalam berkehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.

50
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Diantara buku utama dengan buku pembanding 1 dan buku pembanding 2,
ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain mengenai pendidikan pancasila dan
aspek keseluruhannya. Hanya saja di dalam buku utama, tidak terlalu luas dibahas,
Sedangkan, pada buku pembanding 1 Pendidikan Pancasila Pendekatan Berbasis
Nilai-Nilai dibahas berdasarkan ilmu pendidikan pancasila lebih spesifiknya
berdasarkan ilmu yang mempelajari tentang pancasila. Pada buku pembanding 2
Pancasila Yurudis Kenegaraan yang dibahas secara luas seperti buku pembanding 2
sama halnya. Namun ketiga buku ini samasama ingin memberikan gambaran yang
baik dari bagaimana seharusnya kita menerapkan pancasila di kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
6.2 Saran
Diantara tiga buku, baik itu buku utama,buku pembanding 1 dan buku
pembanding 2 sama-sama masih memiliki kekurangan. Dimana kekurangan di buku
utama terlihat dari isi buku bab 8 saja sehingga materi yang paparkan sedikit.
Sedangkan, pada buku pembanding 1 kekurangannya terlihat dari sampul dan cover
buku. Buku pembanding 2 juga begitu halnya Sehingga dengan adanya kekurangan-
kekurangan tersebut diharapkan adanya perbaikan dari penulis terhadap buku-buku
tersebut agar kedepannya dapat lebih baik lagi.

51
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Sarbaini, M. R. (2018). Pendidikan Pancasila Berbasis Nilai-Nilai. Depok.


Sleman: Penerbit Aswaja Pressindo.
Dra. Hj. Siti Afiyah, S. M. (2015). Pancasila Yuridis Kenegaraan. Malang:
R.A.De.Rozarie.
Sulasmono, B. S. (2015). Dasar Negara Pancasila. Depok: Pt. Kanisius.

52

Anda mungkin juga menyukai