Anda di halaman 1dari 3

CONTOH LEGAL OPINION (HANYA UNTUK BAHAN PEMBELAJARAN; TIDAK UNTUK DIKUTIP)

Kijang & Associates


Jalan Kemanggisan Ilir III No. 45
Jakarta Barat 11480 Sans Prejudice

Yth. Direktur Utama 27 April 2020


PT DEF
Jalan Kampus No. 12, Jakarta 11440

LEGAL OPINION
No. surat 002/SHI-IV/2020

Duduk Perkara

PT DEF berencana untuk melaporkan PT GHI (sesama produsen sirup) ke Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) atas tindakan GHI yang telah melancarkan strategi marketing
dengan mengajak toko-toko retail (Indomaret dan Alfamart) di Jabodetabek agar menaruh
produk GHI di rak-rak di bagian depan toko yang langsung menarik perhatian pengunjung,
sedangkan produk selain GHI disisihkan di rak yang lebih tersembunyi di pojok toko. Sebagai
imbalannya, apabila total penjualan sirup GHI (segala varian) di atas 100 botol dalam satu
bulan (berlaku kelipatannya), maka toko retail itu akan mendapat pembagian keuntungan
20%.

Sebagai tambahan informasi, DEF dan GHI pada tanggal 2 Februari 2019 pernah membuat
kesepakatan bahwa DEF dalam satu minggu ke depan akan mengeluarkan varian sirup rasa
pandan wangi; sedangkan GHI yang sebenarnya juga ingin mengeluarkan varian sirup rasa
yang sama, pada saat itu menunda dulu, tetapi menggantikannya dengan varian rasa vanila
orange. Sebaliknya, DEF juga tidak akan mengeluarkan varian rasa vanila orange sampai ada
kesepakatan baru. Pada tanggal 1 April 2019, GHI secara sepihak (tanpa kesepakatan dengan
DEF) mengeluarkan varian pandan wangi. Diduga hal ini karena DEF bersama-sama dengan
produsen sirup JLK, MNQ, PQR, dan STU membuat kesepakatan menaikkan harga sirup
pandan wangi secara bersama-sama sebanyak 10% dari harga sebelumnya.

Atas duduk perkara tersebut, DEF meminta LO dari kami mengenai rencana pelaporan
tindakan GHI sejak tanggal 1 April 2019 ke pihak KPPU.

Dasar Hukum
Terkait dengan duduk perkara di atas, kami mencatat sejumlah peraturan di dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, yakni Pasal 19 dan 24.

Pendapat Hukum

Tindakan GHI yang melancarkan strategi marketing seperti disebutkan di atas telah
memenuhi unsur-unsur Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999. Pasal ini melarang pelaku usaha
(dalam hal ini GHI) untuk melakukan satu kegiatan (dalam hal ini melancarkan strategi
marketing dengan menaruh produk GHI di rak-rak bagian depan toko dan menyisihkan
produk lain di rak yang lebih tersembunyi di pojok toko) baik sendiri maupun bersama pelaku
usaha lain (dalam hal ini toko-toko retail Indomaret dan Alfamart di wilayah Jabodetabek
(pasar bersangkutan yang sama dengan DEF), yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Kegiatan sendiri maupun bersama sebagaimana dimaksud Pasal 19 ini, bentuknya ada dua
kemungkinan. Hal ini diatur dalam huruf a dan huruf b Pasal 19.

Pertama, menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Tampaknya, kemungkinan pertama ini tidak
sesuai untuk dikenakan pada kasus ini. Alasannya adalah karena DEF sudah berada di pasar
bersangkutan. Kegiatan yang dilarang di dalam Pasal 19 huruf a belaku untuk pemain baru
yang mengalami hambatan untuk masuk (entry barrier). Selain DEF bukanlah pemain baru,
juga strategi marketing GHI tidak menghalangi produk DEF masuk ke pasar bersangkutan.

Kedua, mematikan usaha pesaingnya (pesaing GHI, dalam hal ini termasuk DEF) di pasar
bersangkutan (di Jabodetabek) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan huruf b ini dengan jelas telah dilanggar
oleh GHI karena ia telah mematikan usaha pesaing yang sudah ada di pasar bersangkutan.
Kegiatan "mematikan" ini dilakukan dengan cara menghambat pemasaran produk DEF dan
produsen lain. Strategi marketing seperti ini pernah diputuskan sebagai pelanggaran oleh
KPPU, antara lain dalam putusan perkara Nomor 06/KPPU-L/2004. Dalam kasus tersebut,
Pasal 19 ikut dinyatakan sebagai ketentuan yang dilanggar.

Selain Pasal 19, kami mengidentifikasi Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 juga telah dilanggar oleh
GHI. Pasal ini menyatakan bahwa pelaku usaha (dalam hal ini GHI) dilarang bersekongkol
dengan pihak lain (dalam hal ini toko-toko retail Indomaret dan Alfamaret di Jabodetabek)
untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha
pesaingnaya (dalam hal ini menyingkirkan produk selain GHI dari rak-rak depan toko-toko
tersebut) dengan maksud agar barang dan/atau jasa yagn ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan (Jabodebatek) menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang dipersyaratkan. Dengan strategi marketing GHI, jelas-jelas telah berpotensi
menyebabkan omzet pemasaran DEF berkurang. Data tentang pengurangan omzet ini tidak
kami peroleh, tetapi sebaiknya disiapkan oleh DEF untuk dokumen apabila kasus ini akan
diproses di KPPU. Hal ini juga karena Pasal 19 dan 20 bersifat rule of reason dalam arti perlu
ada akibat yang harus dibuktikan.
Kami mencatat kemungkinan ada saja pasal-pasal lain di UU No. 5 Tahun 1999 yang dilanggar,
seperti Pasal 15. Namun, kami berpendapat pasal ini tidak tepat karena perjanjian GHI dengan
pihak lain (toko-toko retail itu) tidak dalam rangka memuat persyaratan untuk hanya
memasok produk GHI atau menolak memasok produk di luar GHI. Produk DEF dan produk
produsen lain tetap dibiarkannya terpasok di toko-toko tersebut, namun strategi marketing-
nya yang membuat ada perbedaan. Pembedaan ini merupakan indikasi dari persaingan usaha
tidak sehat.

Terhadap pelanggaran Pasal 19 dan 24 UU No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 48 berupa
pengenaan pidana pokok dan kemungkinan pidana tambahan. Dalam praktik, KPPU selama
ini punya kewenangan menetapkan pidana denda ini. Terhadap pelanggaran Pasal 19 pidana
dendanya adalah minimal Rp25milyar dan maksimal Rp100milyar dan pidana kurungan
pengganti denda maksimal enam bulan. Untuk pelanggaran Pasal 24 dikenakan pidana denda
minimal Rp5milyar dan maksimal Rp25 milyar atau pidana kurungan pengganti denda
maksimal lima bulan.

Terlepas dari itu semua, kami ingin memberikan informasi tambahan dalam LO ini di luar yang
dimintakan kepada kami untuk kasus pasca-tanggal 1 April 2019. Kami cermati bahwa DEF
dan GHI pernah terikat kesepakatan pada tanggal 2 Februari 2019. Kami beranggapan
kesepakatan ini mengandung problematika hukum karena berpotensi melanggar Pasal 11 UU
No. 5 Tahun 1999. Pasal ini mengatur tentang larangan kartel. Jika DEF melaporkan kasus
strategi marketing ini ke KPPU, harus diantisipasi apabia KPPU menelusuri permasalahannya
sampai ke perjanjian tanggal 2 Februari 2019.

Kesimpulan

Kami menyimpulkan bahwa terdapat cukup alasan dan dasar hukum untuk melaporkan
kegiatan yang dilakukan oleh GHI sehubungan dengan strategi marketing yang dijalankannya
ke KPPU. Selain terdapat dasar hukum di dalam Pasal 19 dan 24 UU No. 5 Tahun 1999, juga
ada preseden kasus serupa yang telah diputuskan dan dihukum pelakunya oleh KPPU.

Namun, kami tidak menyarankan hal ini dilakukan. Kecuali DEF juga siap dengan konsekuensi
lain, mengingat adanya kemungkinan kasus ini akan merembet ke fakta-fakta yang terjadi
sebelum tanggal 1 April 2019, yaitu DEF pernah membuat kesepakatan mengatur produksi
dan pemasaran produk dengan GHI.

Kami menyarankan agar DEF dapat melakukan tindakan persuasif dengan meminta GHI
menghentikan strategi marketing tesebut, sebelum menempuh jalur hukum melaporkan
kasus ini ke KPPU sebagai tindakan ultimum remedium.

Terima kasih.
Advokat,
ttd
Dr. Kijang, S.H., M.H.

Anda mungkin juga menyukai