Disusun oleh :
KELOMPOK 3
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Tidak lupa juga kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad
Shallallahu `alaihi Wa Sallam, beserta keluarganya, para sahabatnya dan semua ummatnya
yang selalu istiqomah sampai akhir zaman.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas bapak Ismail
Nura selaku dosen pada mata kuliah Etika Akademik. Kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah bekerja sama dengan membagikan ilmunya kepada kami di penulisan
makalah ini hingga kami dapat dengan rampung menyelesaikan makalah ini.
Kami ucapkan terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kita dapat menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari bahwa makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, kami meminta kritik dan
saran diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dan kami berharap semoga para pembaca
dapat menambah pengetahuan dari maklah yang kami buat.
Kelompok 3
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman wahdatul ulum memiliki akar dalam tradisi keilmuan Islam yang kaya.
Konsep ini menekankan bahwa ilmu pengetahuan yang beragam seharusnya tidak dianggap
sebagai entitas terpisah, tetapi sebagai bagian integral dari satu kesatuan yang lebih besar.
Dengan kata lain, ilmu alam, ilmu sosial, ilmu humaniora, dan ilmu-ilmu lainnya tidak berdiri
sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain. Pemahaman ini
menggugah untuk melihat dunia dalam konteks yang lebih luas dan kompleks.
Ketika diterapkan dalam pendidikan, konsep wahdatul ulum memiliki potensi untuk
membantu Mahasiswa mengembangkan pemahaman yang lebih holistik tentang ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat membantu mereka melihat bagaimana pengetahuan yang mereka
peroleh dalam berbagai mata pelajaran dapat saling melengkapi dan memberikan pandangan
yang lebih kaya tentang dunia. Selain itu, pendekatan wahdatul ulum juga dapat membantu
memperkuat koneksi antara pendidikan dan nilai-nilai etika, moral, dan sosial, yang sangat
penting dalam membentuk karakter Mahasiswa.
Dalam latar belakang ini, kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang konsep wahdat al-
ulum dan relevansinya dalam konteks etika akademik. Kami juga akan mengidentifikasi
beberapa tantangan dalam menerapkan konsep ini dan menjelaskan mengapa pemahaman yang
lebih mendalam tentang wahdatul ulum dapat memberikan dasar yang kuat untuk transformasi
etika akademik yang lebih baik dan lebih seimbang.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Persfektif Islam tentang ilmu?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pandangan Islam tentang ilmu.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sementara menurut istillah ilmu diartikan idroku syai bihaqiqotih (mengetahui secara
hakiki). M. Quraish Shihab menjelaskan dari kata 'i-l-m terbentuk kata 'ulmah yang berarti
bibir sumbing, a'lam yang bermakna gunung-gunung atau 'alamat yang bermakna alamat atau
tanda yang jelas dan sebagainya.2 Dengan demikian dari makna bahasa ini dapat dikatakan
bahwa ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.3
Dalam pemakaian kata ilmu, setidaknya ada tiga makna yang dikandungnya yaitu
pengetahuan, aktivitas, dan metode. Dalam hal pertama ilmu secara umum dimaknakan dengan
pengetahuan (knowledge). Namun pengetahuan yang dimaksud ialah kumpulan yang
sistematis dari pengetahuan (a systematic body of knowledge). Sering dinyatakan ilmu adalah
pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by
means of the scientific methode).4
Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang
sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalan
persoalan duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyu Allah.5
Al-Qur’ān dan al-Hadīts merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai petunjuk
(hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas
ilmiah. Al-Qur’ān memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah.
1
Imam Syafi'i, konsep ilmu pengetahuan dalam Al Qur'an, Yogyakarta: UII Pers, 2000, h. 25-26
2
M. Quraish Shihab, kosa kata keagamaan, h. 387
3
M. Quraish Shihab, membumikan Al Qur'an, Bandung: Mizan, 1992
4
Imam Syafi'i, konsep ilmu pengetahuan, h. 26
5
A.Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
Departemen Agama RI, 2003), hlm. 13.
3
Terbukti, ayat yang pertama kali turun berbunyi : “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang telah menciptakan”. Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama
dalam kegiatan ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia bukan
sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur’ān.6
6
Al-Qur’ān surat al-‘Alaq : 96 : 1
4
2) Pendekatan transdisipliner adalah mengintegrasikan dan mentransformasikan bidang-
bidang pengetahuan dari berbagai perspektif untuk meningkatkan kualitas pemecahan
masalah, agar memperoleh keputusan dan pilihan yang lebih baik.7
Maka dapat dipahami bahwa transdisipliner adalah suatu pendekatan dalam penelitian
dan pembahasan, bukan hanya menggunakan satu atau beberapa perspektif, melainkan
menggunakan banyak perspektif keilmuan yang melintasi tapal batas disiplin keilmuan, untuk
menciptakan pendekatan yang holistik. Diberi perspektif yang beragam sejak awal hingga
pengambilan kesimpulan dan keputusan. Dari ruang lingkup tersebut perlu dipahami dua hal,
yakni sebagai berikut:
2) Dalam pendekatan transdisipliner, seorang scholar atau peneliti yang memiliki keahlian
dalam bidang tertentu dalam penelitian dan pembahasan melibatkan perspektif lain sejak
rencana penelitian dan pembahasan hingga pengambilan keputusan. Jika hal ini sudah
diterapkan di Fakultas Syariah dan Hukum, maka sudah menerapkan Transdisipliner.
7
Maharani Sartika Ritonga, “Implementasi Paradigma Wahdatul ‘Ulum dengan Pendekatan Transdisipliner
Untuk Menghasilkan Ulul Albab Pada Lulusan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara”, Journal of Social
Research, Vol. 1 (Maret 2022), hlm 746.
5
Namun Transdisipliner mensyaratkan satu hal penting harus dilakukan yaitu keharusan
para ahli, profesional, dan ilmuwan dari berbagai disiplin untuk terus berusaha memahami dalam
pikiran, cara kerja mitra yang berbeda disiplin dan keahlian. Melalui kesaling mengertian dan
keinginan mempelajari apa yang dikerjakan ahli lain akan dapat memecah permasalahan
masyarakat.8
Penerapan konsep wahdatul ulum dalam pendidikan memiliki implikasi yang signifikan.
Ini membuka pintu bagi integrasi ilmu-ilmu yang berbeda ke dalam kurikulum pendidikan.
Sebagai contoh, Mahasiswa tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan alam secara terpisah
dari ilmu sosial atau humaniora. Sebaliknya, mereka diajak untuk melihat bagaimana semua
disiplin ilmu tersebut saling melengkapi dan memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif tentang dunia.
Kesadaran akan Allah sebagai sumber ilmu pengetahuan, pada gilirannya akan
melahirkan manusia-manusia yang rendah hati, tidak sombong dan angkuh. Kesadaran ini
terbangun karena ia menyadari dirinya bahwa ia terlahir bukan saja lemah tetapi tidak tahun
apapun. Kemudian Allah yang memberinya ilmu pengetahuan yang beragam, sehingga ia
menjadi tahu akan sesuatu. Jika demikian, siapa sesungguh- nya yang Maha Tahu? Jawabnya
adalah Allah SWT.
Dengan demikian menjadi jelas, dalam perspektif etika akademik itu bukan hanya
berkaitan antara pembelajar, murid, mahasiswa dengan dirinya dan guru, dosen atau
pembimbingnya, bukan pula antara guru dengan murid dan koleganya, namun lebih jauh dari
itu etika akademik juga bertautan dengan relasi kita dengan Allah SWT. Sebagaimana yang
8
Maharani Sartika Ritonga, “Implementasi Paradigma Wahdatul ‘Ulum dengan Pendekatan Transdisipliner
Untuk Menghasilkan Ulul Albab Pada Lulusan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara”, Journal of Social
Research, Vol. 1 (Maret 2022), hlm 747.
6
telah disebutkan di muka, dalam konteks ini Allah bukan hanya sebagai Khaliq, Sang Pencipta
tetapi juga sebagai 'Alim (sang pemilik Ilmu) dan sebagai zat yang maha tahu terhadap segala
sesuatu.
"Relasi akademik" antara manusia dan Tuhan bukan hanya diwujudkan dengan etika
pribadi agar tidak sombong dan angkuh terhadap ilmu yang dimiliki, karena ilmu bersumber
dari Allah. Namun lebih dari itu, relasi akademik itu lebih dalam upaya bagaimana kita
memperoleh ilmu-ilmu yang lebih luas dan dalam dari Allah SWT.
Di dalam surah Al-Kahfi, Allah menjelaskan betapa luasnya ilmu Allah sebagaimana dapat
dilihat pada ayat berikut ini :
ت َربِ ْي لَنَ ِفدَ ْالبَ ْح ُر قَ ْب َل اَ ْن ت َ ْنفَدَ َكلِمٰ تُ َربِ ْي َولَ ْو ِجئْنَا بِمِ ثْل ِٖه َمدَدًا
ِ ٰقُ ْل لَّ ْو َكانَ ْالبَحْ ُر مِ دَادًا ِل َكلِم
Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-
kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat- kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."
Do'a ini sesungguhnya menegaskan bahwa Allah adalah rabb yang akan memberikan
kepada manusia ilmu-ilmu zahir (muhkam) dan ilmu-ilmu yang membutuhkan penalaran yang
lebih mendalam dan luas (ta'wil). Khusus ilmu jenis yang kedua ini, keterbatasan yang dimiliki
manusia membuatnya tidak mungkin menangkap pesan-pesan yang tersirat. Hanya Allah yang
dapat memberikan petunjuk kepada manusia sehingga manusia dapat memahami pesan-pesan
Tuhan tersebut. Kesadaran bahwa Allah sebagai sumber ilmu pengetahuan akan melahirkan
satu sikap atau akhlak kepada Allah yaitu, setiap pembelajar adalah mereka yang dekat dengan
sang pemilik ilmu Para pembelajar harus berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada khalık.
Cara mendekati Allah SWT adalah di samping dengan kesuciaan jiwa haruslah dengan ibadah
yang teratur dan sesuai dengan syari'ah. Oleh karena itulah seperti apa yang akan dikaji pada
bab-bab mendatang, para ulama selalu mensyaratkan untuk etika normor satu itu adalah, jiwa
yang bersih dan niat yang lurus.
Persoalannya adalah, saat ini banyak mahasiswa, bahkan sang pembelajar ataupun
pengajarnya memiliki masalah bagaimana membangun relasi dengan Allah SWT. Akibat dari
habl min Allah yang tidak baik itulah, kerap terjadi problema kejiwaan pada diri mahasiswa
termasuk dosen itu sendiri. Sebut saja misalnya, kesunyian, kegelisahan yang tidak jelas, split
personality, kehampaan spiritual dan lain sebagainya. Menurut Syahrin Harahap sebagaimana
7
telah disinggung sedikit di muka, penyebab terjadinya disorientasi manusia yang membuatnya
mengalami kehampaan, kendati bisa jadi ada sederet gelar di depan dan belakang namanya,
tetap saja tidak memperoleh kedamaian dan kebahagiaan, adalah dikotomi. Itulah mengapa
pada bab awal, Prof. Syahrin merasa perlu menjelaskan jenis-jenis dikotomi yang dapat dialami
oleh siapa saja, termasuk pembelajar dan pengajar.
1. Dikotomi Vertikal, pada saat ilmuan merasa tidak memiliki keterikatan dengan Tuhan.
Tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan Allah. Merasa capaian
intelektualnya yang mencengangkan adalah hasil dari jerih payahnya sendiri.
3. Dikotomi aktualitas, pada saat Ilmu dan Ilmuannya berada di menara gading. Alih-
alih dapat menyelesaikan problema kemanusiaan, justru ilmu sibuk "berdebat" dan
"bercengkerama" di dalam rumahnya sendiri dan menyentuh realitas. Adalah wajar
jika ilmu tak berkontribusi dalam mendorong kehidupan manusia yang lebih baik dan
bermartabat.
4. Dikotomi Etis, ketika ilmu tidak memberi pengaruh kepada perilaku pemiliknya. Ilmu
tak mencerminkan akhlak. Ketinggian ilmu tak sebanding dengan keagungan adab.
5. Dikotomi intrapersonal. Untuk hal ini ada pertanyaan yang menarik. Apakah para
ilmuan dan mahasiswa, orang-orang yang berbahagia dalam kehidupannya. Apakah
mereka dapat menikmati kehidupan dan selanjutnya memberi makna setiap peristiwa.
Apakah ilmu yang dimiliki membuat mereka menjadi orang yang arif dan bijaksana
dan hidup dalam kebijaksanaan itu.
8
D. Karakter Ulul Albab
Ulul Al-bab terdiri dari ulul dan juga Al-albab, Ulul berbentuk jamak dimana artinya yaitu
ashab/pemilik, sedangkan Al-albab merupakan kata yang berbentuk jamak kata lubb, yang
memiliki arti inti sesuatu hal.
1. Ulul al-bab merupakan salah satu seseorang yang mempunyai suatu ilmu pengetahuan
yang sangat besar serta mampu ikhlas dalam mengembangkannya. Ulul al-bab
dikatakan dapat menunjukkan tingkat pengetahuan yang tinggi dan penting dalam
perkembangannya, terutama dalam disiplin yang didedikasi.
Artinya: Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia; (demikian pula)
para malaikat serta orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain dia,
yang maha perkassa, maha bijaksana.
3. Memiliki perspektif anda sendiri tentang keseimbangan antara pikiran dan ingatan.
Diyakinini bahwa keseimbangan berpikir dan ingatan untuk aktivitas ilmiah
merupakan suatu syarat agar dapat diterima kebijaksanaan, beserta nilai nilai yang
terkandung dalam suatu Ilmu yang telah diberikan oleh guru tertinggi pencipta alam
dan seisinya yaitu sang pencipta Allah SWT.
5. Memiliki suasana yang dinamis dan karakter berkomitmen. Sifat hamba ini vertical
dan horizontal.
6. Shaleh dan mulia, Ulul Albab memiliki sifat kenabian, memiliki sifat atau menerapkan
karakter yang dilakukan oleh Nabi. Karena, satu diantaranya arti umum seseorang
9
yang memiliki kecerdasan serta memiliki wawasan yang luas (Ulul Ilmi) merupakan
salah satu watak Ulul Al-Albab yaitu Al-Anbiya (karakter nabi) (Majid Abdul, 2011).
7. Berpikir terbuka dan berwawasan luas mengenai bangsa dan negaranya. Merupakan
salah satu karakteristik dari Ulul Al-albab yang mempunyai sifat wasathiyyah serta
mempunyai pemikiran luas untuk bangsa dan negranya, dimana mereka berkerja keras
untuk dapat menjadi contoh untuk seluruh rakyatnya.
8. Jika memiliki visi berperadaban (hadharrah), merupakan suatu ciri khas dari karakter
Ulul Al-albab yang dimana seseorang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi agar
dapat berkontribusi buat pembangunan dalam pradaban dunia Islam.
Berdasarkan derivasi Ulul Albab dalam ayat-ayat Al-Qur´an, para ulama merumuskan ciri-ciri
yang menonjol dari ayat ulul al-bab yang terdapat dalam (QS. Ali Imran: Ayat190).
ِ َۙ اَّل ْلبَا
ب ٍ ار َ َّٰل ٰي
َ ْ ت َِّلُولِى ِ اخت ََِلفِ الَّ ْي ِل َوالنَّ َه
ْ ض َو َ ْ ت َو
ِ اَّل ْر ِ ا َِّن فِ ْي خ َْل
ِ ق السَّمٰ ٰو
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam hingga siang
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.
Pada penjelasan yang telah dijabarkan di dalam ayat di atas, Ulama Buya Hamka telah
memjelaskan dalam Tafsiran Al-Azhar mengenai surat Ali Imran di atas bahwa Allah sang
pencipta langit dan bumi memerintahkan seluruh ciptaannya agar merenungi segala hal mulai
dari Alam, Langit serta Bumi yang merupakan ciptaan Allah. Allah menginstruksikan
pelayannya para ciptaanya untuk menggunakan akal serta merasakan perputaran waktu mulai
dari siang hingga malam hari, dimana semua peristiwa yang terjadi merupakan kuasa kebesaran
dari Allah. Seseorang yang dapat memahami mengenai proses dari penciptaanya langit, bumi
hingga silih bergantinya waktu di bumi ini merupakan salah satu dari besarnya kuasa Allah
SWT, dan seseorang yang dapat memahami ini adalah mereka yang memiliki sifat Ulul Al-
Albab.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu al-'ilm yang berarti pengetahuan. Secara istilah
ilmu diartikan idroku syai bihaqiqotih (mengetahui secara hakiki). Dalam perspektif Islam,
ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) dari para
ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalan persoalan duniawī dan ukhrāwī dengan
bersumber kepada wahyu Allah.
Wahdatul Ulum adalah suatu visi, konsep dan paradigma keilmuan yang memiliki
kesatuan atau keberadaan seluruh ilmu. Transdisipliner adalah suatu pendekatan dalam
penelitian dan pembahasan, bukan hanya menggunakan satu atau beberapa perspektif,
melainkan menggunakan banyak perspektif keilmuan yang melintasi tapal batas disiplin
keilmuan, untuk menciptakan pendekatan yang holistic.
Penerapan konsep wahdatul ulum dalam pendidikan memiliki implikasi yang signifikan.
Ini membuka pintu bagi integrasi ilmu-ilmu yang berbeda ke dalam kurikulum pendidikan.
Etika akademik itu bukan hanya berkaitan antara pembelajar, murid, mahasiswa dengan dirinya
dan guru, dosen atau pembimbingnya, namun lebih jauh dari itu etika akademik bertautan
dengan relasi kita dengan Allah SWT. Allah bukan hanya sebagai Khaliq, Sang Pencipta tetapi
juga sebagai 'Alim (sang pemilik Ilmu) dan sebagai zat yang maha tahu terhadap segala sesuatu.
Ulul Albab memiliki Sembilan karakter yaitu seseorang yang mempunyai suatu ilmu
pengetahuan yang sangat besar serta mampu ikhlas dalam mengembangkannya, Istikamah
untuk mempertahankan karakter yang baik dan istiqamah untuk menerapkanya dalam
kehidupan sehari-hari, Memiliki perspektif anda sendiri tentang keseimbangan antara pikiran
dan ingatan, Memiliki kemampuan menerapkan pendekatan ilmu secara holistic, Memiliki
suasana yang dinamis dan karakter berkomitmen, Shaleh dan mulia, Berpikir terbuka dan
berwawasan luas mengenai bangsa dan negaranya, memiliki visi berperadaban (hadharrah),
merasa senang/puas dengan ilmu dan pekerjaan yang dilakukannya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan, serta keterbataasan kami dalam mencari sumber referensi dan menyajikan
kepada Dosen maupun pembaca semua. Maka dari itu, penulis menerima kritik dan saran
positif dari saudara/i. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis sampaikan banyak terima kasih.
11
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/document/707558457/Penerapan-Wahdatul-Ulum-dalam-
Pendidikan-dan-Pengajaran
Labib, M. D., Suryani, I., Rangkuti, K. H., Harahap, P. H., Hayati, M., & Pane, F. A. P.
(2023). Karakter Ulul Albab. MODELING: Jurnal Program Studi PGMI, 10(3), 343-
352.
12