Makalah Pancasila Kel10
Makalah Pancasila Kel10
Disusun Oleh :
Esya Dewi Clarissa Arisanti 230401110249
Mahardika Putra Sumarsono 230401110261
Aprilia Firdani 230401110263
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PEMBAHASAN
4
terhadap penerimaan negara mclalui APBN 2021 karena target penerimaan APBN di
prediksi mengalami kendala dalam ketercapaian.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 tahun 2020 (PMK 23 Tahun 2020)
tentang insentif wajib pajak yang memiliki pengaruh akibat wabah virus Covid-19 telah
dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi penurunan di sektor pajak. Pemberian insentif
ini merupakan upaya dari pemerintah atas menurunnya produktivitas para pelaku usaha
akibat perekonomian wajib pajak yang menurun drastis. Kebijakan tersebut
diantaranya pemberian insentif pegawai selama 6 bulan yang diatur dalam PPh Pasal
21, pembebasan pembayaran pajak impor melalui pph pasal 22 [mpor untuk
meningkatkan aktivitas pelaku impor, pemberian insentif berupa pengurangan
besarnya angsuran sebesar 30% dari total angsuran yang diatur dalam Angsuran PPh
Pasal 25, serta termasuk restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Beberapa kebijakan untuk menghadapi dampak pandemi Covid-19 telah
tempuh pemerintah, seperti pada bidang kesehatan, memberikan tambahan insentif
bagi tenaga medis, menjamin perlindungan sosial, menaikkan anggaran kartu pra kerja,
tariff listrik, pemulihan ekonomi, antisipasi defisit APBN, memberikan keringanan
angsuran pada nasabah KUR, membuat kebijakan non fiskal, refocusing dan relokasi
belanja serta menyiapkan beberapa perpu terkait (Dhyaksa, 2020). Selain itu, beberapa
langkah kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan sebagai upaya mengurangi
dampak di Sisi pengeluaran berupa penerbitan Surat Utang Negara (SUN) untuk
menekan pembayaran bunga, jangan terlalu tergesa dalam menambah supply dolar AS,
melakukan refocusing APBN 2021, serta memberikan konsekuensi hukum terhadap
penyelewengan dana penanggulangan Covid-19 (Silalahi & Rasinta, 2020).
Pada bidang kebijakan moneter, BI telah menurunkan suku bunga acuan
sebesar 100 bps secara kumulatif pada bulan Februari, Maret, Juni, dan Juli 2020
menjadi 4 persen. Junaedi mengemukakan fakta penelitian menunjukkan bahwa
kebijakan penanganan pandemi dalam bentuk apapun akan membuat penurunan posisi
mlai tukar rupiah. Pemberlakuan masa transisi new normal berdampak paling besar
dalam menekan nilai tukar rupiah. Sementara pembentukan satgas dampaknya lebih
ringan dalam menekan rupiah dibandingkan kebijakan Iainnya. Urutan dampak dalam
mengatasi pandemi terhadap stabilitas rupiah dari yang terberat ke yang paling ringan,
adalah pemberlakuan transisi new normal, WFH, PSBB2, PSBBI dan pembentukan
(Junaedi, dkk., 2021)
5
1.2 Analisis Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Agama
Perdebatan tentang Undang-Undang Dasar 1945 setelah kemerdekaan
Indonesia secara eksplisit menjanjikan hak warga negara secara bebas menganut dan
menjalankan ajaran dan keyakinan agamanya. Pasal 29 ayat 2 dengan jelas
menyatakan: “Nagara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.” Jaminan dilatarbelakangi oleh perdebatan seputar keragaman agama yang sudah
dimulai sejak masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1920-an yang kemudian
dipertajam lagi sepanjang masa pendudukan Jepang tahun 1942 sampai tahun 1945.
Pancasila merupakan produk perdebatan yang sengit antara para pendiri
bangsa. Meskipun sejumlah pemimpin Muslim mengkritiknya terlalu inklusif,
Soekarno tetap bersikukuh bahwa toleransi beragama merupakan kunci bagi persatuan
Indonesia. Dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada tahun 1953, Soekarno
mengatakan: “Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang
penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Kepulauan Kei, Sulawesi
akan memisahkan diri.”
Setelah Indonesia didirikan pada tahun 1945 dengan landasan Pancasila,
sejumlah kelompok militant mencoba meyatakan bagian dari Indonesia sebagai Negara
Islam. Salah satu kelompok yang menamakan dirinya sebagai garakan “Darul Islam”,
mengumumkan pembentukan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Pergolakan ini
melahirkan sejumlah aksi kekerasan antara pejuang yang mau memisahkan diri dan
mendirikan negara Islam dengan militer Indonesia yang mengakibatkan sekitar 11.000
korban meninggal sejak tahun 1953 sampai tahun 1958.
Pada tahun 1959, Sukarno membubarkan Majelis Konstituante, menghidupkan
kembali Udang-Undang Dasar 1945 dan memperkenalkan “Demokrasi Terpimpin”,
yakni sebuah konsep yang terbukti dijadikan jastifikasi bagi pemerintahan yang
otoriter. Pada tahun 1960 an, Muslim konservatif mendekati pemerintahan Sukarno
agar mengambil tindakan terhadap aliran-aliran mistik/kepercayaan termasuk
kepercayaan pribumi seperti Sunda Wiwitan yang telah “mencemari” Islam.
Pada bulan November 1967, rezim Suharto mengorganisir konferensi antar
umat beragama di Makasar untuk membicarakan ketegangan antara Muslim dan
Kristen. Dalam konferensi itu sejumlah oraganisasi Muslim meminta gereja-gereja
Kristen tidak berdakwah atau membangun gereja baru di daeah yang mayoritas
penduduknya Muslim. Para pemimpin Kristen menolak permintaan itu dan konferensi
berakhir tanpa adanya kesepakatan.
6
Pada Bulan September 1969, Menteri Agama Mohammad Dahlan dan Menteri
Dalam Negeri Amir Mahmud mengeluarkan keputusan yang memperkuat pejabat
daerah untuk mengjinkan atau menolak pemberian izin terhadap rumah ibadah yang
baru.
Antara tahun 1971 sampai tahun 1977, Suharto mengorganisir enam kali
pemilihan umum yang dikontrol secara ketat dan terus mempertahankan kebijakan
yang represif terhadap masyarakat sembari menekankan pembangunan ekonomi dan
kebijakan modernisasi. Aktifitas politik, termasuk organisasi Islam dibatasi secara
ketat. Pemerintahan Suharto dalam beberapa kesempatan menggunakan serangan
mematikan terhadap aktifis Islam yang sebenarnya tidak diperlukan.
Kejatuhan Presiden Suharto dari kekuasaannya pada tahun 1998 telah
membuka aktifitas politik dalam sekala yang lebih luas. Aktifis Islam, yang semakin
menguat melalui kebebasan yang disediakan oleh Indonesia yang lebih demokratis,
mengorganisir diri mereka sendiri menjadi kelompok kecil yang tumbuh dan
berkembang yang kemudian menjadi kekuatan politik. Beberapa partai politik,
termasuk partai politik mainstream, berusaha melobi presiden berikutnya untuk
meloloskan dan mengimplementasikan undang-undang dan mengadopsi kebijakan
yang membatasi kebebasan beragama bagi kaum minoritas.
Sejak kejatuhan Suharto, Islam konservatif telah berkembang pengaruh
politiknya, hal ini sebagiannya karena partai politik Islam telah dibolehkan untuk
memainkan peran secara legal dan terbuka di arena politik Indonesia dan sebagiannya
lagi karena kelompok civil society garis keras yang beroperasi diluar system politik
telah berkembang ukuran, jumlah dan kecanggihannya. Pada bulan juni 1999 saat
pemilihan anggota legislatif, partai politik yang secara terbuka mengidentifikasikan
dirinya sebagai pengusung prinsip-prinsip Islam ada 20 dari 48 partai yang ikut
berkompetisi dalam pemilihan umum.
Di era pasca Suharto, kelompok Islam, seperti kelompok lainnya, juga
menggunakan ruang demokrasi yang semakin luas untuk mempublikasikan dan
mempromosikan ide-ide mereka. Kelompok Islam militan yang populis secara
signifikan semakin tumbuh menjadi kuat. Merka termasuk FPI (Front Pembela Islam)
diciptakan tahun 1998, tiga bulan setelah jatuhnya Suharto, dengan dukungan dari
aparat keamanan sebagai alat untuk menandingi kelompok mahasiswa yang memegang
peran kunci dalam menekan presiden Suharto untuk mundur.
Sejak Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih kekuasaan pada bulan
Desember 2004, ada peningkatan eskalasi kekerasan yang sasarannya adalah
Ahmadiyah, Kristen Syi’ah dan kelompok agama minoritas sebagai mana yang
ditunjukan oleh data dari Setara Institut. Lebih dari 430 gereja telah diserang sejak
7
tahun 2004, menurut Persekutuan Gereja Indonesia. Serangan terhadap masjid
Ahmadiyah juga meningkat sejak Yudhoyono mendapat tekanan dari kelompok Islam
garis keras dan mengeluarkan keputusan anti terhadap Ahmadiyah pada bulan Juni
tahun 2008. Sejak saat itu masjid Ahmadiyah setidaknya 30 masjid Ahmadiyah dipaksa
untuk ditutup.
Meskipun empat presiden yang muncul setelah Suharto telah membuat
kemajuan dalam mentransformasikan Indonesia menjadi negara demokrasi yang
menghargai hak asasi manusia, mereka juga menghadapi tantangan serius dari
kelompok Islam militant. Tantangan itu meliputi pengeboman, serangan mematikan
terhadap komunitas Ahmadiyah dan penutupan terhadap sejumlah gereja Kristen.
Sementara kelompok Islam melakukan penyerangan, kegagalan penguasa di tungkat
lokal dan nasional untuk mengambil tindakan serius terhadap pihak-pihak yang
bertanggung jawab telah menciptakan iklim di Indonesia dimana kelompok penganut
agama minoritas merasa ketakutan. Untuk itu, pemerintah mulai dari presiden sampai
kebawah mesti bertanggung jawab.
8
kesempatan mengenyam pendidikan berarti derajatnya tidak berbeda dengan binatang.
Dalam pepatah Arab dikenal dengan istilah insanun hayawanun nathiq yang artinya
manusia adalah binatang yang berakal (berpengetahuan).
Bukan tanpa sebab bila kondisi dunia pendidikan kita amatlah memprihatinkan.
Ada banyak hal yang membuat pendidikan melenceng semakin jauh dari cita-cita
idealnya sebagai wahana pembebasan dan pemberdayaan. Pertama, kecenderungan
pendidikan semakin elitis dan tak terjangkau rakyat miskin. Dalam hal ini pemerintah
dituding banyak melahirkan kebijakan diskriminatif yang justru menyulitkan akses
rakyat miskin ke pendidikan. Kedua, manajemen pendidikan yang masih birokratis dan
hegemonik. Sistem pendidikan yang ada saat ini bukanlah memberdayakan dan
populis. Terbukti berbagai kebijakan yang lahir tidak mendukung terwujudnya
pendidikan yang emansipatoris karena kebijakan tersebut lahir semata-mata untuk
mendukung status quo dan memapankan kesenjangan lewat industrialisasi pendidikan
(Darmaningtyas, 2005).
Industrialisasi pendidikan ini dapat kita lihat secara jelas dari berbagai
kebijakan oleh pemerintah yang mengarah pada privatisasi pendidikan. Pertama,
kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Di negara-negara lain seperti Selandia Baru, Australia dan Amerika Serikat yang lebih
dulu menjalankan MBS, memaknai MBS sebagai proses demokratisasi pengambilan
keputusan di sekolah. Bila semula keputusan dilakukan secara tunggal oleh negara,
dengan adanya MBS itu proses pengambilan keputusan dilakukan bersama pihak-pihak
yang terlibat (multi stakeholder), termasuk orang tua murid dan murid sendiri. MBS
sama sekali tidak berkait dengan masalah biaya karena pembiayaan tetap menjadi
tanggung jawab negara.
Namun, di Indonesia MBS dimaknai lain, terutama melakukan mobilisasi dana,
bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. MBS hanya
menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan warganya. Dengan kata lain, menurut Darmaningtyas, MBS merupakan
kependekan dari “Masyarakat Bayar Sendiri”. karena MBS, masyarakat membayar
sendiri pendidikannya.
Kedua, kondisinya akan lebih buruk lagi bila RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP) disahkan menjadi UU BHP. Berubahnya status lembaga
pendidikan dari milik publik ke bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya belum jelas.
9
Ketiga, kehadiran UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN)
yang semula diharapkan dapat melindungi warga, ternyata malah mengaburkan hak-
hak warga negara untuk memperoleh akses pendidikan dari negara. Pasal 34 Ayat (2)
UU No 20 tahun 2003 menyatakan “Pelaksanaan Wajib belajar sembilan tahun tanpa
memungut biaya”. Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 Ayat (1) yang
menyatakan, “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.”
Adanya dua pasal kontradiktif itu memperlemah posisi warga. Warga yang
menuntut pelayanan pendidikan secara gratis dapat dituntut balik dengan kata-kata
“bukankah pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat?” Pasal 46 UU No 20 Tahun 2003 inilah yang lalu
menjadi cantolan pelaksanaan MBS.
Keempat, kebijakan otonomisasi kampus yang menghasilkan status 4
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) besar yang terdiri dari UGM, UI, ITB dan IPB menjadi
BHMN (Prasetyo, 2005). Otonomisasi kampus dimaknai pemerintah sebagai
penyerahan pendanaan biaya operasional kampus dari pemerintah kepada keempat
universitas tersebut. Artinya, beban operasional kampus yang selama ini ditanggung
oleh pemerintah sekarang diserahkan seluruh pembiayaannya pada kampus. Dan pada
akhirnya mahasiswalah yang menanggung beban tersebut dengan naiknya biaya
pendidikan yang berlipat ganda (Nugroho, 2002).
Sebelum adanya otonomi kampus, keempat kampus tersebut yang merupakan
terbesar di Indonesia dengan kualitas yang sangat baik mudah diakses oleh masyarakat
dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan biaya operasional
ditanggung oleh pemerintah, sehingga biaya pendidikan terjangakau oleh mahasiswa.
Setelah dilaksanakan otonomi kampus, keempat universitas tersebut tidak mungkin
lagi diakses oleh mereka yang berpenghasilan pas-pasan karena melambungnya biaya
pendidikan, bahkan melebihi universitas swasta. Penerimaan mahasiswa tidak lagi
berdasarkan prestasi akademik dan kecerdasan otak, namun ditentukan seberapa besar
sumbangan yang diberikan pada universitas. Padahal modal Pendidikan Tinggi inilah
sebenarnya yang menjadi syarat seseorang untuk bisa hidup secara layak sebagaimana
kami jelaskan dalam pendahuluan.
Kelima, sebagaimana dilansir Ki Supriyoko, pemerintah telah meratifikasi
WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994, yang melalui GATS (General Agreement on Trade
Indonesia Service) memposisikan pendidikan sebagai jasa yang dapat saling
diperdagangkan –dan di dalamnya termasuk sekolah dasar, menegah dan Perguruan
Tinggi- maka perdagangan jasa pendidikan akan semakin sulit untuk dielakkan. Secara
10
lebih rinci, di dalam GATS disebutkan belasan jasa yang dapat diperdagangkan secara
internasional dan salah satunya adalah pendidikan.
Pemerintah sangat mengerti apa yang diingikan oleh eksil 65’ dan diaspora,
tidak payah sebenarnya mengikuti kemauan mereka sebab apa yang mereka
inginkan adalah sesuatu yang saat ini dilakukan oleh kebanyakan negara maju
maupun berkembang yaitu, Dwi Kewarganegaraan, bahkan hingga tanggal 12 juli
2020 sebanyak 7.219 orang telah menandatangi petisi “DPR dan Presiden Segera
Mengesahkan UU Kewarganegaraan Ganda RI” di situs change.org.
Ada beberapa statement utama yang coba dikeluarkan oleh pemerintah guna
menjadikan wacana kebijakan kewarganegaraan dengan kontruksi pengetahuan
“kewarganegaraan” nya, sebagai “the truth one” yang musti diikuti oleh rakyat.
Pertama, kebijakan kewarganegaraan dibentuk oleh pemerintah berdasarkan
11
urgensi yang ada sebagai pertanggungjawaban negara untuk melindungi rakyatnya
begitupun dengan dibentuknya kartu diaspora.
Kedua, pemerintah menyatakan bahwa rakyat Indonesia hingga saat ini hanya
dibenarkan untuk memiliki kewarganegaraan tunggal sebab itulah sampai hari ini
ini korban eksil 65’ dan Indonesia Diaspora Network (IDN) terus berupaya
membujuk pemerintah agar segara disahkannya dwi kewarganegaraan. Ketiga,
terkait urgensi pengaturan kewarganegaraan ganda pada 26 November 2019,
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengatakan bahwa DPR
mempertimbangkan masukan Indonesia Diaspora Network (IDN) untuk
memasukan RUU Dwi Kewarganegaraan kedalam program legislasi nasional
2020 (Prolegnas).
12
2. Teknokratik;
3. Partsipatif;
4. Atas-bawah (Top-Down);
5. Bawah-Atas (Bottom-Up).
Pendekatan politik diartikan bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah
merupakan proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya
berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan oleh calon masing-masing
Capres/Kepala Daerah. Selanjutnya, bisa diartikan rencana pembangunan adalah penjabaran
dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan oleh Presiden/Kepala Daerah, pada
saat kampanye ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek. Pendekatan teknokrat
dimaksudkan sebagai suatu pendekatan dengan pembangunan metode dan kerangka
berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja (SATKER) yang secara fungsional bertugas
untuk itu. Pendekatan partisipasi maksudnya adalah suatu pendekatan yang melibatkan
semua pihak yang berkepentingan (Stake Holder) terhadap pembangunan. Pelibatan tersebut
untuk mendapatkan aspirasi dan rasa memiliki.
Adapun pendekatan atas-bawah dan bawah atas dalam perencanaan dilaksanakan
menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas
diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat Nasional,
Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa. Secara lebih konkrit inti dari Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) berjangka waktu/periode 20
tahunan
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) berjangka waktu/periode 5 tahunan
3. Rencana Pembangunan Tahunan berjangka waktu 1 tahun.
13
pembangunan nasional, dalam kenyataannya setelah lahirnya UU No. 25 Tahun 2004
penekanan kebijakan pembangunannya masih dalam tataran normatif (regulatif), aspek
budaya hukum tidak tersentuh secara ekspilisit. Kerangka kebijakan regulatif ini
dapat ditentukan dan terlihat jelas dalam Pasal 4 Ayat (2) dan (3) UU No. 25
Tahun 2004, yang selengkapnya dinyatakan sebagai berikut:
(2) RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat Strategi
Pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementrian/Lembaga dan lintas
Kementrian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk
arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif .
(3) RKP merupakan gambaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementrian/Lembaga, lintas
Kementrian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif. Pembangunan hukum yang penekanannya lebih
berorientasi pada pola berpikir regulasi tersebut perlu didukung dengan strategi
pembangunan hukum yang tepat agar tujuan dari sistem perencanaan pembangunan
nasional dapat tercapai, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (4):
a. mendukung koordinasi antar pelaku Pembangunan
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar
ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan
d. mengoptimalkan partsisipasi masyarakat, dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,
dan berkelanjutan
14
Daftar Pustaka
http://repository.uinmataram.ac.id/172/1/Kebijakan%20Pemerintah%20Dalam%20Du
nia%20Pendidikan.pdf
https://jurnalkhatulistiwabpsdm.kalbarprov.go.id/khatulistiwa/article/view/7
https://digilib.uinsgd.ac.id/8795/
https://journal.uir.ac.id/index.php/wedana/article/view/14397/5681
Abdurrahman. Tebaran Pikiran tentang Studi Hukum, Media Sarana Press,
1986
15