Anda di halaman 1dari 3

Nurcholis Madjid atau yang sering disebut “Cak Nur” merupakan kelahiran Mojoanyer,

Jombang, Jawa Timur pada 17 Maret 1939 Masehi yang bertepatan pada tanggal 26 Muharram
1358 Hijriyah. Ayahnya merupakan K.H Abdul Majdid seorang Kyai alumni Pesantren
Tebuireng Jombang yang didirikan oleh pendiri Nahdatul Ulama, yaitu Syaikh Hasyim Asy’ari.
Sementara ibunya Hajjah Fathonah Mardiyah yang merupakan ayah seorang aktivis Syarikat
Dagang Islam di Kediri.

Cak Nur terlahir dari kalangan keluarga pesantren dari kedua orangtuanya beliau
mewarisi darah intelektualisme serta aktivisme.1 Istrinya bernama Omi Komariah kemudian
memiliki anak yang bernama Nadia Madjid dan Ahmad Mikail.

Cak Nur merumuskan modernisasi sebagai rasionalitas hal ini berarti proses perombakan
pola pikir dan tata kerja baru yang aqliyah. Kegunaannya untuk memperoleh efisiensi yang
maksimal untul kebahagiaan umat manusia. Pendekatan yang digunakan Cak Nur dalam
memahami umat dan ajaran islam lebih bersifat cultural normative sehingga ada kesan bahwa
lebih mementingkan komunitas dan integralistik.

Cak Nur menekankan pentingnya diadakan pembaruan setelah melihat kondisi dan
persoalan yang dihadapi umat islam. Menurutnya pembaharuan harus dimulai dengan dua
tindakan, yang mana satu dan lainnya sangat erat hubunganya. Yaitu melepaskan diri dari nilai-
nilai tradisional dan mencari nilai baru yang berorientasi kemasa depan.

Diantara salah satu contoh pemikiran Nurcholis Madjid adalah ketika Nurcholis Madjid
menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 62, yaitu,

‫ِاَّن اِذَّل ْيَن ٰا َم ُنْو ا َو اِذَّل ْيَن َهاُد ْو ا َو الَّنٰرٰص ى َو الَّص اِب َنْي َمْن ٰا َم َن اِب ِهّٰلل َو اْلَيْوِم اٰاْلِخ ِر َو ِمَعَل َص اِلًح ا َفَلُهْم‬
‫ِٕــ‬
‫َاْج ُر ْمُه ِع ْنَد َر ِهِّب ْۚم َو اَل َخ ْو ٌف َعَلِهْي ْم َو اَل ْمُه ْحَي َز ُنْو َن‬.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Sabi'in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan
melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka,
dan mereka tidak bersedih hati.”

1
Siti Nadroh, wacana Keagamaan dan Politik Nurcholis Madjid ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1999)
Bagi Cak Nur, ayat ini memberi jaminan kepada seluruh umat beragama asalkan mereka
beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan hari akhir dan melalukan amal baik maka
kelak akan terbebas dari neraka. Penafsiran Cak Nur ini menuai kontroversi. Karena, menurut
keumuman mufasir ayat di atas sulit dibenarkan bilamana umat yang tidak beriman kepada Nabi
Muhammad atau orang kafir yang artinya orang kelak tidak mendapatkan keselamatan atau
masuk surga. Untuk pandangannya tersebut, Cak Nur berdasarkan tafsir Baydhawi. Dalam tafsir
tersebut dijelaskan bahwa kebaikan dan ajaran mereka pada hakikatnya akan mendapat pahala di
sisi Tuhan serta tidak akan menderita ketakutan dan perasaan khawatir.

Setiap umat yang percaya kepada tuhan dan hari akhir serta berbuat baik dalam agama
masing-masing sebelum agama itu sirna, dan di saat yang sama mereka membenarkan dalam hati
akan pangkal pertama dan tujuan akhir, serta berbuat sejalan dengan aturan atau syariat agama
tersebut. Juga ditemukan pendapat bahwa, siapa saja orang-orang yang kafir yang benar-benar
beriman secara tulus dan sungguh-sungguh masuk al-islam. Kemudian, pendapat ini didukung
oleh Yusuf Ali yang mengatakan bahwa sesungguhnya pesan Tuhan itu sama (Satu), maka agama
Islam mengakui keimanan yang benar dalam bentuk yang lain, asalkan keimanan itu murni tulus
yang didorong oleh akal sehat dan dilandaskan dengan tingkah laku yang baik.2

Sementara siapa sajakah agama yang termasuk dalam golongan ahli kitab, Cak Nur
berpendapat bahwa memang benar umat Yahudi dan Kristen banyak tercantum dalam kitab suci
Al-Quran. Akan tetapi dalam ayat di atas juga disebutkan adanya kaum Sabi’an demikian pula di
tempat lain disebut umat Majusi. Bahkan konsep Ahli Kitab, baik dalam lintasan sejarah Islam
seperti kerajaan di India atau pun dalam penjelasan-penjelasan ulama Islam. Maka, konsep ahli
kitab itu kemudian diperluas menjadi setiap golongan yang menganut kitab suci.3

Adapun untuk golongan-golongan agama di China, Jepang bahkan di India tetaplah


tergolong dalam ahlu kitab sebab mengandung ajaran tawhid atau keimanan yang tulis. Hal ini
berdasarkan firman Tuhan yang mengatakan bahwa Allah telah mengutus rasul untuk setiap
umat, lalu sebagian dari rasul-rasulnya itu ada yang diceritakan dan sebagian yang lain tidak.
Dengan begitu, prinsip-prinsip di atas dengan jelas mengartikan bahwa ajaran agama Islam

2
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 184.
3
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 185.
mengajarkan sikapsikap yang terbuka dalam masyarakat serta mengakui keberagaman termasuk
keberagaman agama.4

4
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 187.

Anda mungkin juga menyukai